Anda di halaman 1dari 6

RESUME SISTEM MANAJEMEN STASIUN KA

DOSEN

Dr. Ir. Nico Djajasinga, M.Sc, IP

DISUSUN OLEH :

Nama Taruna Muda : Irfani Dwi Arifianto

Notar : 2003042

Kelas : MTP 1.3

POLITEKNIK TRANSPORTASI DARAT INDONESIA STTD-BEKASI

MANAJEMEN TRANSPORTASI PERKERETAAPIAN

T.A 2020/2021
PENGEMBANGAN STASIUN KERETA API TERINTEGRASI
Perkembangan kota-kota diseluruh dunia mengalami perkembangan yang sangat cepat,
salah satunya disebabkan oleh adanya aktivitas urbanisasi. Urbanisasi menyebabkan kota kota
menjadi padat akan penduduk, tingginya aktivitas yang terjadi meningkatkan pergerakan manusia
didalamnya serta terjadinya pemekaran atau berkembangnya kawasan perkotaan. Meluasnya
kawasan perkotaan dengan berkembangan kawasan pinggiran sebagai alternatif lokasi hunian bagi
masyarakat merupakan residu dari efek padatnya sebuah kota, masyarakat akan terus terdesak
hingga keluar dari wilayah inti perkotaan menunuju ke pinggiran kota atau disebut sebagai Urban
Sprawl (Kusumantoro, 2007).
Pada konteks pembangunan berkelanjutan, Urban Sprawl dianggap sebagai salah satu
pembawa efek buruk bagi suatu daerah, salah satunya adalah gaya hidup yang
memungkinkan penggunaan kendaraan pribadi sebagai pilihan transportasi utama bagi
masyarakat yang tinggal dikawasan pinggiran kota. Penggunaan kendaraan pribadi sebagai
alat transportasi utama bagi masyarakat pinggiran kota dapat memberikan dampak negatif,
salah satunya peningkatan mobilitas yang berpengaruh kepada terciptanya kemacetan lalu
lintas disuatu wilayah.
Permasalahan Urban Sprawl telah lama menjadi fokus bagi para perencana, untuk
mengatasi permasalahan tersebut, Peter Calthorpe, seorang Arsitek Perencana
berkebangsaan Amerika memperkenalkan sebuah konsep TOD (Transit-Oriented
Development) untuk mengatasi permasalahan Urban Sprawl. TOD sendiri didefinisikan
sebagai penggunaan lahan campuran, kota dengan kepadatan yang relative tinggi, serta
pengembangan yang berorientasi kepada pejalan kaki di sekitar stasiun kereta api atau bus
(Staricco, 2017). TOD memiliki tujuan guna merivitalisasi daerah dengan mempromosikan
gaya hidup yang baru, yakni gaya hidup sehat, nyaman dan aman.
Pesatnya perkembangan kawasan pinggiran seolah menjadi momok tersendiri bagi
berbagai kebijakan penataan ruang. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, Urban
Sprawl dianggap sebagai salah satu pembawa efek buruk bagi suatu daerah, salah satunya
adalah gaya hidup yang memungkinkan penggunaan kendaraan pribadi sebagai pilihan
transportasi utama bagi masyarakat yang tinggal dikawasan pinggiran kota. Penggunaan
kendaraan pribadi sebagai alat transportasi utama bagi masyarakat pinggiran kota dapat
memberikan dampak negatif, salah satunya peningkatan mobilitas yang berpengaruh
kepada terciptanya kemacetan lalu lintas disuatu wilayah. Tindakan tindakan yang diambil
dalam mengatasi permasalahan kota-kota berkembang umumnya masih terpaku pada
permasalahan sektoral dan internal kota, seperti permasalahan kemiskinan perkotaan,
kawasan permukiman kumuh, ketersediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan persoalan
internal kota lainya, sehingga masalah perkembangan kawasan pinggiran relatif kurang
tersentuh (Kusumantoro, 2007).
Transit Oriented Development (TOD)
Transit Oriented Development (TOD) merupakan konsep pengembangan atau
pembangunan kota yang memaksimalkan penggunaan lahan yang bercampur dan
terintegrasi dengan mempromosikan gaya hidup yang sehat (berjalan kaki dan bersepeda)
dan penggunaan angkutan umum massal (TOD guidebook, 2006).
Sistem Transportasi
Sistem transportasi merupakan bentuk interaksi antara penumpang, barang, sarana
serta prasarana untuk bergerak atau berpindah dengan tujuan tertentu yang mencangkup
dalam tatanan alami maupun buatan (Aziz&Asrul, 2014).
Transportasi Berkelanjutan
Transportasi berkelanjutan merupakan sistem transportasi yang dapat digunakan
secara efektif, efisien, mereduksi emisi yang tidak meninggalkan masalah dan tidak menimbulkan
dampak negatif dimasa yang akan datang, serta memiliki tiga pilar yaitu
ekonomi, sosial, dan lingkungan (Brotodewo, 2010).
Struktur Kawasan TOD
Dalam proses perencanaan kawasan transit pada konsep TOD, perlu dilakukan identifikasi terkait
batas antara kawasan TOD dan kawasan nonTOD untuk mencegah sprawl. TCRPC (2012)
mengklasifikasikan kawasan TOD menjadi empat area:
A. Premium transit station, yaitu titik transit yang melayani moda transportasi massal premium (kereta
api komuter, light rail, bus rapid transit).
B. Transit core, adalah area transit yang berada dalam radius seperempat mil (400 meter) dari titik transit
utama dengan luas area mencapai 125 acre (50 ha).
C. Transit neighbourhood, merupakan area setelah pusat transit yang berjarak setengah mil (500 meter) dari
titik transit utama dengan luas mencapai 375 acre (151 ha).
D. Transit supportive area adalah area pendukung transit dengan jarak 1 mil (1600 meter) dari titik transit
utama. TCPC kemudian mengklasifikiasikan kawasan TOD (TOD Station Area) adalah kawasan yang
mencakup transit core dan transit neighborhood.
Prinsip dan Indikator Konsep TOD
Dalam proses pengembangan kawasan berbasis TOD, perlu diketahui karakteristik utama yang
mencirikan penerapan konsep TOD. Karakteristik tersebut dijabarkan secara lebih rinci ke dalam prinsip
dan indikator konsep TOD. Prinsip dan indikator tersebut disarikan dari beberapa literatur yang dirumuskan
oleh institusi pegiat pembangunan kota dan transportasi seperti Florida Department of Transportation
(TCRPC), Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) dan Calthorpe Associates. Berikut
adalah prinsip dan indikator konsep TOD:
A. Kepadatan atau densify adalah pembentukan pola dan tata ruang yang rapat serta padat, dengan
menekankan pertumbuhan kota secara vertikal (densifikasi) daripada pertumbuhan kota secara horizontal
(sprawl). Menurut TCRP (2002) dan TCRPC (2012) tingkat kepadatan hunian atau properti menjadi
indikator yang dapat menjelaskan prinsip kepadatan. Sementara ITDP (2015) cenderung memperhatikan
tingkat kepadatan penggunaan lahan, dengan berpedoman pada nilai koefisien dasar bangunan (KDB) dan
koefisien lantai bangunan (KLB).
Kepadatan penggunaan lahan akan mendekatkan berbagai aktivitas hingga pemanfaatan moda transportasi
umum dapat dimaksimalkan.
B. Land-Use Mixes bertujuan untuk mendukung efisiensi mobilitas dan meningkatkan livability Kawasan
dengan mengintegrasikan hunian dengan tempat bekerja, tempat berbelanja, dan sekolah. Prinsip mix
bertujuan untuk mendekatkan antar guna lahan yang berkaitan sehingga akan mendorong aktivitas berjalan
dan bersepeda masyarakat sekitar (ITDP, 2015). TCRP (2002) membagi indikator mixed-uses ke dalam
dua hal yaitu jumlah guna lahan mixeduses dan keberadaan retail dengan skala pelayanan yang beragam.
C. Jalur Pedestrian dibutuhkan untuk mendukung pergerakan yang berorientasi pada penggunaan
transportasi umum massal, dengan menyediakan infrastruktur yang mampu memberikan kenyamanan dan
keamanan bagi pejalan kaki juga termasuk pesepeda.
D. Interkoneksi jaringan jalan dan blok dibutuhkan guna membentuk lingkungan yang walkable. Jaringan
jalan yang padat dengan komposisi jalan-jalan kecil dan jumlah persimpangan yang tinggi akan
memperlambat laju kendaraan sehingga dapat memberikan keuntungan bagi para pejalan kaki. Untuk
mengetahui tingkat interkoneksi jaringan jalan dan blok, indikator yang dapat digunakan yaitu dengan
menghitung jumlah persimpangan yang ada di suatu kawasan. Semakin banyak persimpangan yang ditemui
maka semakin tinggi tingkat interkoneksi jaringan jalan dan blok.
E. Parkir dalam konsep TOD diarahkan pada sistem pembatasan parkir dengan penyediaan ruang parkir
yang lebih sedikit pada pusat kawasan transit dibandingkan pada area pinggiran kota/secondary area
(TCRPC, 2012). Salah satu metode pembatasan lahan parkir menurut TCRPC adalah metode parkir
disrictwide dengan menyediakan parkir kolektif. Metode ini mampumengakomodasi kebutuhan parkir di
titik transit dan atau kawasan transit dengan meningkatkan efisiensi lahan dan membatasi lahan parkir
individu. Parkir dengan metode ini biasanya berupa gedung parkir, kantong parkir, atau fasilitas parkir titik
transit itu sendiri.
F. Ruang terbuka berperan sebagai wadah interaksi sosial sekaligus menciptakan keserasian lansekap di
tengah tingginya intensitas pemanfaatan lahan. Lokasi ruang terbuka pada kawasan berkonsep TOD bisa
berada di dekat titik transit, sempadan jalan, area permukiman, atau di area sekitar peruntukkan retail.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup wilayah dalam penelitian ini mencakup seluruh kawasan transit untuk titik transit
skala pelayanan regional di Kota Surakarta. Titik-titik transit tersebut adalah Stasiun Purwosari, Stasiun
Solo Balapan, dan Stasiun Solo Jebres. Batasan area didasarkan pada jangkauan titik transit di kawasan
TOD yang disesuaikan dengan jarak maksimal pejalan kaki yaitu sejauh 800 meter dari lokasi titik transit
(TCRP, 2002).
Strategi Konsep TOD
Sebagai langkah strategis untuk mencapai tujuan konsep TOD yakni memberi alternatif bagi pertumbuhan
pembangunan kota, subwilayah kota, dan lingkungan ekologis di sekitarnya maka dirumuskan delapan
prinsip urban design dalam transit oriented development yang di kutip dari TOD Standart, yaitu:
1. Berjalan Kaki (Walk)
Berjalan kaki adalah moda transportasi yang paling alami, sehat, tanpa emisi, dan terjangkau untuk jarak
pendek, serta merupakan komponen penting dari suatu perjalanan dengan angkutan umum. Maka dari itu,
berjalan kaki merupakan dasar dari sistem transportasi yang berkelanjutan.
2. Bersepeda (Cycle)
Bersepeda adalah opsi transportasi bebas emisi, sehat dan terjangkau, yang sangat efisien dan
mengkonsumsi sedikit sekali ruang dan sumber daya perkotaan.
3. Menghubungkan (Connect)
Jalur pejalan kaki yang singkat dan langsung membutuhkan jaringan jalan-jalan yang padat di antara blok-
blok kecil yang permeabel.
4. Angkutan Umum (Transit)
Angkutan umum menghubungkan dan mengintegrasikan wilayah-wilayah kota terlalu jauh bagi pejalan
kaki.
5. Pembauran (Mix)
Pembauran tata guna lahan dalam satu wilayah akan membuat jalan-jalan lokal terus hidup dan memberikan
rasa aman, mendorong aktivitas berjalan kaki dan bersepeda, serta membentuk lingkungan hidup yang
manusiawi.
6. Memadatkan (Densify)
Untuk dapat menopang pertumbuhan perkotaan dalam pola tata ruang yang rapat dan padat, kota harus
tumbuh secara vertikal (densifikasi) bukan horizontal (sprawl).
7. Merapatkan (Compact)
Prinsip dasar pembangunan perkotaan yang padat (dense) adalah tata ruang yang rapat (compact). Di
wilayah kota ataupun pinggiran kota yang rapat, berbagai kegiatan dan aktivitas hadir saling berdekatan
satu sama lainnya.
8. Beralih (Shift)
Ketika kota dibangun atas dasar tujuh prinsip di atas, kendaraan bermotor pribadi menjadi hamper tidak
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Berjalan kaki, bersepeda, dan menggunakan angkutan umum
menjadi pilihan bertransportasi yang mudah dan nyaman, dan dapat juga dilengkapi dengan moda angkutan
perantara atau kendaraan sewaan yang lebih hemat dalam penggunaan ruang.
Secara lebih detail, struktur TOD dan daerah di sekitarnya terbagi menjadi area-area sebagai berikut:
1. Fungsi public (Public Uses)
Fungsi public (public uses). Area fungsipublic di butuhkan untuk memberi pelayanan bagi
lingkungan kerja dan permukiman di dalam TOD dan kawsan di sekitarnya. Lokasi berada pada jarak yang
terdekat dengan titik transit pada jangkauan 5 menit berjalan kaki. (Calthorpe, 1993).
2. Pusat area komersil (core commercial area)
Lokasi berada pada area yang paling dekat dengan fungsi transit. Karakteristik ukuran dan lokasi
sesuai pasar, keterdekatan dengan transit, dan pentahapan pengembangan. Dilengkapi oleh ruang hijau.
Fasilitas yang ada umumnya berupa retail, perkantoran, supermarket, restoran, servis, hiburan, industry
ringan. (Calthorpe, 1993).
3. Area permukiman (residential area)
Lokasi berada di luar core commercial area. Jangkauan 10 menit berjalan kaki. Karakteristik
menyediakan beragam tipe hunian tipe, harga, maupun densitas. Fasilitas nya antara lain single-family
housing, townhouse/Soho Apartment. (Calthorpe, 1993).

Anda mungkin juga menyukai