Anda di halaman 1dari 10

ARSITEKTUR KLASIK EROPA

“ARSITEKTUR BISANTIN (BYZANTINE)


(330 – 1453 DAN SETERUSNYA)”

DISUSUN SEBAGAI TUGAS KEDUA MATA KULIAH


PERKEMBANGAN ARSIEKTUR I

DOSEN :

GATOR TIMBANG, ST., MT

FRATIKA JULIA, ST., MT

FIDELIN DJILOY

F 221 19 051

KELAS A

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI S1 TEKNIK ARSITEKTUR

UNIVERSITAS TADULAKO

2021
BAB IV

ARSITEKTUR BISANTIN (BYZANTINE)


(330-1453 dan Seterusnya)

Geografi, Geologis dan Iklim.

Bisantin (Bizantine) adalah suatu imperium, berkuasa pada wilayah


hampir seluruh pantai Laut Mediterania termasuk sebagian Asia Minor, pada 330
hingga 1453. Bisantin dapat berarti budaya dan karakteristik dari masyarakat
bermukim pada wilayah kekuasaan imperium, pada waktu berkuasa.

Bisantin juga sering dipakai untuk menyebut imperium dan wilayah


kekuasaan tersebut di atas, setelah Konstantin Agung (Constantine the Great),
pendiri imperium memindahkan pusat pemerintahan dari Roma ke Istanbul di
Asia Minor (Sekarang Turki). Sejak itu (330) nama kota kemudian diubah
menjadi Konstantinopel (Constantinople) dan sering disebut sebagai “Roma
Baru” (“New Rome”). Kota ini terletak di sebuah semananjung yang berada pada
titik simpul anatar ujung selatan Selat Bosporus dengan Laut Marmora. Letak kota
Konstantinopel, cukup strategis, sebagai pusat kekuasaan Bisantin yang
wilayahnya mencakup sebagian besar Eropa dan Asia Minor.

Konstantinopel dan wilayah sekitarnya tidak mempunyai batu-batuan yang


baik untuk konstruksi, oleh karena itu banyak digunakan bata. Bahan-bahan
penting seperti marmer, didatangkan dari pulau-pulau di Laut Mediterania bagian
timur. Sebagian bahan lainnya didatangkan dari wilayah kekuasaan Romawi di
sebelah barat. Para seniman dari wilayah Romawi, mengadaptasikan diri dengan
kondisi termasuk iklim, budaya dan cara hidup wilayah timur di mana sudah ada
tradisi seni setempat.

Sejarah, Sosial dan Budaya.

Bisantium berdiri sebagai wilayah koloni Yunani sudah sejak 600 SM dan
telah disebut di atas, pada 330 dijadikan pusat pemerintahan Imperium Romawi
yang baru. Karena kematian Kaisar Theodosius I pada 395, kekaisaran akhirnya
dibagi menjadi dua, dengan Konstantinopel tetap menjadi pusat pemerintahan
bagian timur. Selama Jaman Pertengahan Middle Ages, kota ini menjadi benteng
pertahanan orang-orang Kristen, dari serangan orang-orang Barbar dari arah
Barat. Honorius (395 – 432), imperior pertama dari barat setelah wilayah dan
pemerintahan dibagi menjadi dua, memindahkan kediaman dan pusat
pemerintahan di Ravenna. Pada masa Justinian (527 – 565), Italia termasuk Sisilia
(Cicily) dikuasai oleh Imperium Timur, menjadi jaman kebangkitan arsitektur di
wilayah itu. Pada jaman tersebut kembali pengaruh Bisantin menjadi dominan
dalam arsitektur dan banyak bangunan bersejarah di sana dikategorikan dalam
gaya Bisantin dengan ciri yang khas. Dengan sejarah singkat ini, maka secara
garis besar dapat terlihat bahwa kota Ravenna dan Konstantinopel menjadi poros
pemerintahan Bisantin dan pusat perkembangan budaya termasuk arsitektur.

Arsitektur Gereja

Telah dikemukakan pada bab sebelum ini, bahwa kebanyakan gereja pada
jaman sesudah Romawi, yaitu Jaman Kristen Awal berdenah segi empat, sedikit
sekali yang lingkaran atau poligonal. Yang denahnya segi banyak atau lingkaran
biasanya untuk babtistery dan makam.

Arsitektur Bisantin, bertolak belakang dengan kecenderungan pada jaman


sebelumnya, meskipun tidak semuanya namun lebih banyak gereja yang berdenah
lingkaran atau segi banyak (poligonal).

Ciri paling menonjol dari arsitektur Bisantine yang berkembang sejak abad
IV adalah adanya kubah yang mengatapi ruang berdenah poligonal ataupun segi
empat. Perbedaan bentuk lingkaran dari kaki atau alas kubah dengan denah baik
poligonal maupun segi empat (bujur sangkar), membentuk bagian konstruksi
disebut pendentive, juga menjadi cirinya.

Telah disebut di atas, dalam sejarah Eropa Imperium Romawi terpecah


menjadi dua dengan pusat masing-masing Ravenna di barat dan Konstantinopel di
timur. Di Ravenna pada bab sebelum ini, banyak terdapat peninggalan arsitektur
Kristen Awal dan juga Bisantin. Sebaliknya di Konstantinopel lebih banyak
berkembang arsitektur Bisantin, salah satunya Gereja SS. Sergius dan Bacchus
(525 – 30), didirikian oleh Justinian.

Bila dibanding dengan gereja-gereja pada jaman Kristen Awal pada


umumnya, biasanya gereja Bisantin tidak mempunyai atrium. Seperti pada gereja
ini, ruang peralihan luar dan dalam hanya berupa narthex. Pengaruh Turki cukup
menonjol dalam gereja ini antara lain pada teras depan (portico), melebar selebar
bangunannya. Konstruksinya berupa kolom-kolom berderet, pada masing-masing
bagian atas berbentuk bujur sangkar, terdapat kubah kecil, semuanya ada enam
buah. Di sisi kanan atau utara depan, terdapat minaret, mungkin pada jaman
Ottoman diubah fungsinya menjadi masjid, seperti kebanyakan gereja pada masa
itu.

Arsitektur Bisantin di luar Konstantinopel dan Ravenna

Disebut di depan bahwa pusat pemerintahan Romawi pada Jaman Bisantin


terbagi menjadi menjadi dua : barat di Ravenna dan timur di Konstantinopel.
Bangunan-bangunan berciri Bisantin, tidak hanya terdapat di kedua kota tersebut,
namun juga di kota-kota lain di wilayah kekuasaan, terutama kota-kota pusat
perdagangan dan pelabuhan.

Venesia (Venice) merupakan salah satu kota pelabuhan penting, beberapa


puluh kilometer di utara dari kota Ravenna. Venesia dikenal sebagai “kota
terapung” karena letaknya pada kepulauan di sebuah laguna, pada sudut barat-
utara dari Laut Adriatik. Kepualauan pada laguna tersebut terbentuk oleh sedimen
tiga sungai kuno berhulu di Pegunungan Alpine.

Venesia mulanya didominasi Ravenna dalam arti di bawah kekuasaan


Imperium Romawi Bagian Barat. Kemudian kota ini berkembang menjadi
kekuatan utama di wilayahnya, berkat lokasi yang strategis, menjadi titik simpul
perdagangan terpenting di laut Mediterania. Pola kota Venesia bercorak Jaman
Pertengahan (Mediaeval), dengan jalan-jalan sempit, bangunan-bangunan berdiri
langsung di tepiannya, berdempetan tanpa halaman depan maupun samping.
Sebagian jalan berupa kanal-kanal dengan sistem transportasi air, menjadi
keunikannya, sehingga mendapat julukan “Kota Air”. Seperti kota-kota berpola
pada semacam ini, pada tempat-tempat tertentu terdapat ruang terbuka untuk
publik. Salah satu ruang terbuka di Venesia terbesar dan terpenting adalah Piazza
St. Mark, menjadi pusat kota untuk kegiatan umum dari warga kota, termasuk
upacara-upacara keagamaan, kesenian dan tradisional.

Arsitektur Bisantin di Asia Minor

Telah disebutkan pada bagian terdahulu, bahwa Eropa dan Asia,


sebetulnya mrupakan satu daratan, di tengah dipisahkan oleh Selat Bosporus.
Segala sesuatu terkait dengan budaya di daratan sebelah barat disebut Occidental,
di sebelah timur Orriental. Wilayah di seberang Selat Borporus disebut Asia
Minor, sekarang mencakup sebagian besar wilayah Turki dan Siria. Wilayah di
seberang timur Selat Bosporus hingga wilayah sekarang berbatasan dengan Iran,
Irak, bagian barat Semenanjung Asia, di utara hingga Laut Hitam di selatan Laut
Mediterania disebut Asia Minor, dahulu disebut Anatolia. Asia Minor atau
Anatolia merupakan wilayah pengaruh arsitektur Bisantin pada jamannya. Namun
sejak pertengahan abad XI, dominasi Kristen berakhir dengan jatuhnya ketangan
orang-orang muslim di bawah pemerintahan mulai dari Dinasti Saljuk hingga
Ottoman.

Salonika (Thessalonica/Thessaloniki), adalah sebuah kota di pantai Teluk


Salonika, di Laut Aegean sebelah barat. Sekarang kota ini menjadi bagian dari
Yunani di utara-tengah. Di kota ini terdapat sebuah gereja yang berciri arsitektur
Bisantin., bernama Panagia tôn Chalkeôn atau St. Marry of the Coppersmiths,
dibangun 1028.

Masa di mana gereja didirikan, adalah ketika wilayahnya menjadi bagian


dari Imperium Bizantin. Kemungkinan besar gereja adalah bagian dari sebuah
biara dan nama aslinya tidak dapat diketahui. Namun yang jelas dalam prasasti di
atas pintu utama tertulis pendirinya pernah menjadi gubernur Longobardia, sebuah
propinsi Bisantin di Itali Selatan.

Penyebaran Arsitektur Bisantin di Eropa Timur

Pengaruh arsitektur Bisantin di negara-negara di luar imperium setelah


Jaman Pertengahan, tidak lagi terkait dengan kekuasaan. Oleh karena itu
pengaruhnya tidak hanya di negara-negara di bawah Imperium Bisantin.

Pada jaman itu terjadi kecenderungan percampuran atau ekelektisme


(eclecticism) antara unsur-unsur arsitektur Bisantium dengan tradisi setempat.
Unsur-Unsur Bisantin seperti antara lain, denah sialng salib, kubah, jendela atas
disekeliling kubah dan lain-lain, digabung seperti misalnya dengan dekorasi corak
lokal. Arsitektur Basilika S. Marco dibahas di depan adalah contoh jelas dari
kecenderungan ini. Kubah Bisantin kemudian berkembang dalam bentuk
bervariasi, bukan semata-mata bertujuan untuk membuat bentangan lebar, namun
lebih pada aspek keindahannya.

Kadang ada kecenderungan untuk menjadi tanda bahwa di bawah kuabah


terbesar adalah ruang terbesar pula. Dalam hal ini biasanya nave, yang dalam tata-
ruang berbentuk silang salib terdapat pada titik persilangan kaki dan lengan.
Kemudian di atas kubah ditutup dengan konstruksi kerangka dan penutup
biasanya dari logam, membentuk kubah lebih runcing menggelembung di dalam
sering disebut kubah bawang (onion dome), seperti pada Basilika S.Marco di
Venesia, Itali. Konstruksi jubah dalam berfungsi ganda, selain bagian dari struktur
atap, juga sebagai plafond dihias dengan berbagai ragam.

 Bulgaria

Wilayah Burgaria secara geografis terletak dekat dengan


Konstantinopel, pusat pemerintahan dan budaya Bisantin. Antara 987 –
1018 Bulgaria berada dalam pemerintahan singkat dari kerajaan Samuel
berpusat di Prespa dan Ohrid. Kerjaan Bulgaria ke dua berpusat di Trnovo,
dibawah John Asen II (1218 – 41), mendominasi wilayah Balkan.

Sejak 1018, wilayah kekuasaan Bulgaria terbagi menjadi beberapa


propinsi di bawah Bisantin. Pada jaman itu di Ohrid dibangun sebuah
katedral dari keuskupan, diberi nama St. Sophia.

Denah katedral segi empat hampir bujur sangkar. Di depan dimana


ada narthex terdapat kubah di ujung kiri-kanan berbentuk mirip dengan
kubah Gereja Parigorittisa dibahas sebelum ini : tambur tinggi, ditutup
dengan atap piramidal tidak runcing, pada dinding tambur dikelilingi
jendela atas. Pengaruh Romawi yang kemudian menjadi ciri khas
arsitektur Bisantin terlihat dibagian depan atau barat dari gereja, berupa
pelengkung-pelengkung disangga oleh kolom-kolom silindris dan
langsing. Apse cukup besar, di luar denahnya segi banyak, diapit kembar
apse lebih kecil di kiri-kanan.

Selain gereja katedral dibahas sebelum dibahas sebelum ini di


Ohrid, terdapat gereja lainnya bernama S. Clement (1295). Bentuk secara
keseluruhan dari gereja ini cukup banyak mempunyai perbedaan dibanding
dengan gereja S. Sophia di kota yang sama. Namun ciri Bisantin jelas
terlihat antara lain pada : kubah utama di atas nave yang duduk di atas
tambur tinggi, beratap kubah tidak terlalu cembung. Hiasan berupa
pelengkung-pelengkung pada dinding, melingkari jendela dan jendela atas,
juga merupakan unsur arsitektur Bisantin.

 Yugoslavia

Wilayah modern Yugoslavia disebelah barat berbatasan dengan


bagian di selatan berbatasan dengan Yunani, juga pernah menjadi begian
dari Imperium Bisantin. Pada awal Jaman Bisantin (abad VI dan VII)
wilayah ini dikuasai oleh beberapa kelompok suku Slav. Setelah melalui
jaman penguasa Bulgaria, kemudian wilayah ini jatuh di bawah kekuasaan
Bisantin dalam pemerintahan Basil II. Pada akhir abad XII pemerintahan
Durdjevi Stupovi, meninggalkan monumen di Studenica, Gereja Perawan
(Church of the Virgin) dibangun sesudah 1183. Denahnya masih sama
berbentuk silang, namun di sini nave di tengah lebarnya selebar bentangan
melintang, tidak mempunyai aisle. Pada setiap ujung dari kedua lengan
salib terdapat pintu samping, satu garis sumbu melintang dari nave. Kubah
beratap tidak terlalu cembung ditumpu oleh tambur tinggi, adalah ciri khas
dari arsitektur di wilayah ini pada jaman Bisantin.

Dinding luar kubah berpenampang segi enam belas, masing-


masing dinding sisinya mempunya jendela-atas, menerangi secara alami
bagian bawah (nave sentral) dan ceruk dari kubah. Tambur bertumpu pada
dinding nave yang berdenah bujur sangkar, keseluruhannya berbentuk
kubikal. Dekorasi berupa garis-garis lengkung pada dinding. Pada bagian
atas dari dinding ujung-ujung atap pelana berbentuk segi tiga atau gable,
dihias dengan pola hiasan arsitektur Lombard, berupa gerigi berderet.

 Rusia

Kejatuhan Imperium tidak berpengaruh pada perkembangan


arsitektur Bisantin. Selain di Wilayah Eropa Barat seperti di Itali dan
Perancis. Pengaruh Bisantin juga sampai ke wilayah Rusia. Hubungan
dagang antara Rusia – Konstantinopel saling mempengaruhi budaya
sejalan dengan penyebaran agama Kristen. Grand Duke Vladimir dari
Kiev, menjadi Kristen pada 988.

Para arsitek dan seniman dari Konstantinopel didatangkan untuk


merancang dan membangun berbaai gereja, antara lain Hagia Sophia di
Kiev (1015 – 37). Pengaruh Bisantin dalam gereja ini terlihat antara lain
pada kubah mejemuk dan pelengkung setengah kubah, menutup menjadi
atap sangat ramai besar-kecil, tinggi-rendah.
Konstruksi bata mulanya tidak dikenal di wilayah ini, namun
gereja menggunakan bata sebagai bahan bangunan utama, maka dapat
dipastikan merupakan pengaruh dari Bisantin. Hingga akhir abad XV,
Hagia, Sophia, Kiev, merupakan bangunan terbesar di wilyahnya.

Pada abad XVII mengalami kerusakan berat dan dipugar dengan


memasukkan elemen Barok (Baroque). Gereja mempunyai banyak kubah
dan setengah kubah, tiga belas diantaranya tersusun dalam bentuk
piramidal, semakin ke tengah, semakin tinggi dan besar, terbesar kubah
sentral. Konstruksi penopang banyak sekali kubah tersebut berupa kolom-
kolom juga banyak, di tengah ada 2 x 16 buah dan di depan berderet
sejajar dengan dinding apse 8 buah. Pada dinding keliling kolom-kolom
menyatu menjadi pliaster. Penampang kolom berbentuk silang, dari bata
sangat tebal lebih dari satu setengah meter. Total luas lantainya sekitar 40
x 30 m2.

Di Rusia kubah menjadi sangat bervariasi, mejemuk dan bentuknya


berbeda dengan kubah Bisantin pada umumnya.

Arsitektur kubah di Rusia pada jaman akhir Bisantin, selain yang


majemuk memenuhi atap dan bagian atas bangunannya, banyak juga yang
bentuk dan konstruksinya sama namun tunggal di tengah.
DAFTAR PUSTAKA

Sumalyo, Yulianto. 2014. Arsitektur Klasik Eropa. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Anda mungkin juga menyukai