Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wawasan kebangsaan lahir ketika bangsa Indonesia berjuang membebaskan
diri dari segala bentuk penjajahan, seperti penjajahan oleh Portugis, Belanda,
Inggris, dan Jepang. Perjuangan bangsa Indonesia yang waktu itu masih bersifat
lokal ternyata tidak membawa hasil, karena belum adanya persatuan dan
kesatuan, sedangkan di sisi lain kaum colonial terus menggunakan politik “devide
et impera”. Kendati demikian, catatan sejarah perlawanan para pahlawan itu telah
membuktikan kepada kita tentang semangat perjuangan bangsa Indonesia yang
tidak pernah padam dalam usaha mengusir penjajah dari Nusantara. Dalam
perkembangan berikutnya, muncul kesadaran bahwa perjuangan yang bersifat
nasional, yakni perjuangan yang berlandaskan persatuan dan kesatuan dari
seluruh bangsa Indonesia akan mempunyai kekuatan yang nyata. Istilah
Wawasan Kebangsaan terdiri dari dua suku kata yaitu “Wawasan” dan
“Kebangsaan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) dinyatakan bahwa
secara etimologis istilah “wawasan” berarti:
1) hasil mewawas, tinjauan, pandangan dan dapat juga berarti
2) konsepsi cara pandang. Wawasan Kebangsaan sangat identik dengan
Wawasan Nusantara yaitu cara pandang bangsa Indonesia dalam mencapai
tujuan nasional yang mencakup perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai
kesatuan politik, sosial budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan (Suhady
dan Sinaga, 2006).
“Kebangsaan” berasal dari kata “bangsa” yang menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2002) berarti kelompok masyarakat yang bersamaan asal
keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. ciri-ciri
yang menandai golongan bangsa, perihal bangsa; mengenai (yang bertalian
dengan) bangsa, kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara.
Dengan demikian wawasan kebangsaan dapat diartikan sebagai
konsepsi cara pandang yang dilandasi akan kesadaran diri sebagai warga dari
suatu negara akan diri dan lingkungannya di dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Prof. Muladi, Gubernur Lemhannas RI, meyampaikan bahwa wawasan
kebangsaan adalah cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan
lingkungannya, mengutamakan kesatuan dan persatuan wilayah dalam
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

1
Kesatuan atau integrasi nasional bersifat kultural dan tidak hanya
bernuansa struktural mengandung satu kesatuan ideologi, kesatuan politik,
kesatuan sosial budaya, kesatuan ekonomi, dan kesatuan pertahanan dan
keamanan. Wawasan kebangsaan berkaitan erat dengan Nasionalisme Indonesia.
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan
kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan
satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.Nasionalisme dapat
menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan
negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya,
keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan
teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut.
Nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai jawaban atas
kolonialisme. Pengalaman penderitaan bersama sebagai kaum terjajah melahirkan
semangat solidaritas sebagai satu komunitas yang mesti bangkit dan hidup
menjadi bangsa merdeka. Semangat tersebut oleh para pejuang kemerdekaan
dihidupi tidak hanya dalam batas waktu tertentu, tetapi terus-menerus hingga kini
dan masa mendatang.
Pada masa sekarang ini satu hal yang perlu dibenahi oleh bangsa
Indonesia adalah mentalitas warga masyarakatnya. Sikap mental yang kuat dan
konsisten serta mampu mengeksplorasi diri adalah salah satu bentuk konkrit yang
dibutuhkan bangsa Indonesia pada saat ini. Saat ini memang bangsa Indonesia
sedang mengalami massa-masa keterpurukanya dalam dunia intetrnasional. Krisis
multidimensi yang di barengi dengan krisis ekonomi yang berkepanjanganlah yang
menyebabkan kegoncangan dan keterpurukan mental Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan “Masyarakat Indonesia adalah Masyarakat Pluralistis?


2. Apa yang membedakan wawasan lokal dengan wawasan nusantara?
3. Bagaimana substansi wawasan kebangsaan pluralitas masyarakat Indonesia ?
4. Bagaimana nasionalisme pada bangsa Indonesia berjalan?

C. Tujuan
1. Untuk Memahami akan pemahamankritis SARA dalam pluralitas bangsa
2. Untuk Menambah wawasan akan arti daripada hakikat wawasan kebangsaan
3. Untuk meningkatkan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN

A.
Masyarakat Indonesia
Masyarakat Pluralistis Kondisi geografis dan sosial budaya nusantara lebih banyak
mewarnai corak kehidupan bangsa Indonesia. Saudara pasti masih ingat – sebuah
ungkapan lama namun tetap penting untuk kita catat sampai hari ini – bahwa masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang majemuk (pluralistis). Kemajemukan masyarakat
Indonesia itu ditandai oleh beberapa faktor, yang antara lain oleh perbedaan suku,
agama, ras/etnis dan antar golongan serta kebudayaan lokal yang beraneka ragam.
Sebagai konsekuensi masyarakat yang pluralistis, masyarakat Indonesia secara kultural
memiliki kebudayaan yang bersifat majemuk (kebhinekaan) pula Dan jika kita kaji secara
mendalam, kemajemukan budaya tidak saja memiliki makna sosial, akan tetapi juga bisa
bermakna politis. Hal ini disebabkan bukan saja karena setiap etnik mempunyai daerah
asal yang jelas otonomi dan batas-batasnya, melainkan juga memiliki kultur politik
(political culture) yang beragam.

Dalam kondisi variasi kultur ini, kultur politik yang berkembang pada masyarakat
lokal bisa sama dan bisa berbeda dengan kultur politik negara. Pernyataan ini
mengisyaratkan kepada kita, bahwa persoalan kebudayaan tidak saja penting menjadi
agenda masyarakat lokal akan tetapi juga penting menjadi tanggungjawab pemerintah
(negara). Dan ini terkadang bisa menyebabkan hubungan antara masyarakat lokal dan
negara menjadi tidak seimbang, lantaran terdapatnya benturan nilai-nilai kultural rakyat
dan nilai yang dikembangkan sebagai kultur negara. Dalam hubungannya dengan
masyarakat majemuk, Berghe (Nasikun, 1993) mengidentifikasi karakteristiknya yang
meliputi:
1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang memiliki sub
kebudayaan yang berbeda satu sama lain
2) memiliki struktur sosial yang terbagi dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-
komplementer;
3) kurangnya mengembangkan konsensus di antara para anggota terhadap nilai-nilai
yang bersifat mendasar;
4) secara relatif sering kali mengalami konflik di antara kelompok dengan kelompok lain;
5) secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coersion) dan saling
ketergantungan; dan
6) adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok lain. Masyarakat
Indonesia yang majemuk, yang ditandai oleh beragamnya kebudayaan daerah, pada
dasarnya merupakan masyarakat yang rentan akan konflik. Hal ini disebabkan karena
masing-masing kebudayaan daerah secara ideasional dan fisik, memiliki karakteristik
yang berbeda yang sulit untuk berintegrasi.
Masing-masing pendukung kebudayaan daerah (baca: suku-suku bangsa) saling
berupaya agar kebudayaan yang dihasilkan mampu bertahan sebagaimana kebudayaan-
kebudayaan daerah yang lain. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh suatu masyarakat
terkadang justru berbeda dengan nilai-nilai budaya yang telah disepakati oleh masyarakat
di tempat dan lingkungan geografis lain. Kendatipun disadari adanya pepatah Jawa; “desa
mawa cara” dan “kutha mawa tata” (desa dan kota yang memiliki cara dan aturan sendiri-
sendiri), hal demikian bisa jadi akan berpengaruh bagi wawasan mereka, ketika pola pikir

3
lokal ditempatkan dalam kerangka pikir kehidupan berbangsa dan bernegara (nasional).
Dalam kaitan itu, ketika persoalan kebudayaan dipandang penting sebagai agenda
pemerintah dan demikian seringnya persoalan kebudayaan dimasukkan dalam konteks
kehidupan berbangsa, berakibat penanganan masalah kebudayaan berubah menjadi
argumen politik pemerintah. Dalam kasus negara kita, kebudayaan politik (political
culture) sebagian besar ditandai oleh usaha pemerintah untuk mencapai politik
kebudayan (political culture).
Berkaitan dengan dua konsep itu, Emersen (dalam Egnas Kleden, 1987),
menegaskan bahwa kebudayaan politik adalah orientasi budaya kelompok elite politik
yang sangat menentukan orientasi politik mereka sendiri; sedangkan politik kebudayaan
menunjukkan kepada kenyataan dimana perbedaan-perbedaan kebudayaan
diperpolitikkan dan perbedaan politik diungkapkan dalam idiom-idiom kebudayaan. Agar
urusan budaya tidak mudah terseret dalam kawasan politik-politikkan dan hanya
mengarah pada argumen politik pemerintah (negara) harus mampu merumuskan
kebijakan nasional tentang budaya, yang tidak menguntungkan negara saja, tetapi juga
menguntungkan masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk tadi. Dalam hal
kebudayaan, negara tidak perlu merumuskan kebijakan nasional seperti apa, melainkan
cukup memberikan kelonggaran bagi budaya lokal (daerah) agar mampu berekspresi dan
menghormati aspirasi dan keunggulan masing-masing. Perlu disadari, bahwa dalam
konteks bangsa dan negara Indonesia, aspirasi budaya lokal merupakan sebuah potensi
bangsa yang sangat bermakna bagi pembangunan nasional, terutama bagi nation and
character building Indonesia. Oleh karena itu, lembaga-lembaga kenegaraan seyogyanya
berkonsentrasi penuh dalam memahami hal ini, dan secara politik berperan sebagai
culture broker (pialang budaya) antara negara dengan entitas budaya masyarakat lokal
yang beragam.
Pentingnya posisi ‘penghubung’ dalam menjembatani antara dua kubu negara dan
masyarakat, elite dengan massa, logika nasional dan logika lokal (daerah) menjadi
keharusan yang dilakukan bagi para pengambil keputusan dan penentu arah
pembangunan. Selain faktor politik, budaya juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan
suatu masyarakat, khususnya bagi pengembangan manusia itu sendiri. Clifford Geertz
(dalam Ali, 1997), mengatakan bahwa budaya merupakan way of life, suatu petunjuk bagi
tindakan dan tingkah laku manusia, yaitu ekspresi nilai-nilai dan cita-citanya. E. B Tylor,
mengartikan budaya sebagai keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, kesusilaan, hukum, adat-istiadat, serta kemampuan-
kemampuan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota
masyarakat (Keontjaraningrat, 1982). Sementara itu, Kroeber dan Kluckhohn (dalam
Mulyana, 1993) mengidentifikasikan budaya sebagai pola (pattern) yang eksplisit dan
implisit dalam perilaku manusia yang dipelajari dan diwariskan melalui simbol-simbol yang
merupakan prestasi khas manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda
budaya. Sebagai suatu pola, budaya selalu mengacu pada sistem pengetahuan dan
kepercayaan yang disusun sebagai pedoman manusia dalam mengatur pengalaman dan
persepsi mereka, dalam menentukan tindakkan dan memilih di antara alternatif yang ada.
Senada dengan itu, Philips R. Harris (dalam Mulyana, 1993) mengatakan bahwa budaya
adalah gaya hidup kelompok manusia tertentu. Oleh karena itu, budaya memberi identitas
kepeda sekelompok orang. Dia memiliki karateristik yang terjabar dalam aspek-aspek
budayanya, misalnya bahasa, pakaian, penampilan, kebiasaan makan, nilai dan norma,
kepercayaan dan sebagainya. Budaya memang sangat erat dengan kehidupan manusia,

4
mulai dari gagasan pola aktivitas tingkah laku sampai dengan produkbenda-benda
budaya. Demikian halnya dengan kehidupan politik.
Tingkah laku manusia dan pilihan-pilihan politiknya, banyak ditentukan oleh latar
belakang budaya; atau bahkan orientasi politik pun sangat ditentukan oleh budaya.
Bagaimana cara penguasa mengambil keputusan politiknya, tentu tidak bisa dipisahkan
dengan budaya yang melekat di benak mereka. Apakah yang melekat itu banyak
didominasi oleh wawasan lokal atau nasional, atau keduanya yang bersifat integratif.
Itulah sebabnya, budaya memberikan ‘arah’ bagaiman manusia bertingkah laku dan
bagaimana mereka merespon perubahan dalam masyarakat. Dalam rangka merespon
terhadap perubahan atau bertahan sekali pun, ragam budaya yang dianut manusia
banyak mewarnai perilaku mereka. Katakanlah, ragam budaya Jawa dan budaya luar-
Jawa. Budaya Jawa yang dikenal dengan sebagai budaya tertutup, lebih banyak
menggunakan tat cara berkomunikasi dengan secara tidak langsung dan lebih banyak
dicerminkan lewat simbol-simbol. Karena itu, dalam merespon perubahan biasanya lebih
menggunakan kekuatan ‘endoginnya’ sehingga cenderung bertahan dan melakukan
proses adaptasi yang cenderung lambat. Sedangkan budaya luar-Jawa, lebih banyak
mewakili kebudayaan yang cenderung terbuka terhadap perubahan. Cara komunikasi dan
interaksi yang menjadi acuan bagi individu nampak bersifat langsung, tidak berbelit dan
sedikit menggunakan simbol atau perlambang. Karakteristik budaya tersebut,
menunjukkan aspirasi lokal yang tumbuh dan berkembang pada daerah-daerah di mana
bangsa Indonesia berada. Pemahaman dan pengkajian secara cermat, kritis dan penuh
kehati-hatian terhadap aspirasi budaya itu, akan menentukan proses interaksi sosial bagi
masyarakat Indonesia yang beraneka ragam. Karena itu aspirasi lokal akan menentukan
bagi berkembangnya wawasan lokal, yang sama pentingnya dengan wawasan nasional.

B.Wawasan Lokal dan Wawasan Nasional Wawasan nasional

Pada dasarnya menjadi cara pandang suatu bangsa yang didalamnya


menampakkan bagaimana suatu bangsa itu melakukan dialogis dengan kondisi geografis
dan sosial budayanya. Wawasan nasional, juga diartikan sebagai cara pandang nasional
yang merupakan salah satu gagasan falsafah hidup bangsa yang berisikan dorongan-
dorongan (motives) dan rangsangan (drives) di dalam merealisasikan dan mencapai
aspirasi serta tujuan nasionalnya. Bangsa Indonesia telah memiliki wawasan nasional ini,
yaitu ‘wawasan nusantara’. Wawasan ini, tidak saja berlatar filosofis dan normatif, akan
tetapi juga sekaligus sebagai analisis kajian empirik terhadap segala sesuatu yang
menjadi realitas bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, wawasan nusantara (sebagai wawasan nasional) hendaknya
diposisikan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, yaitu sebagai
cara pandang bangsa, aspek kewilayahan dan wawasan pembangunan nasional.
Implementasinya tidak saja sebagai pola pikir yang didasarkan pada tata budaya dan tata
krama nasional, akan tetapi juga dalam tata hukum nasional yang mencakup ke seluruh
aspek kehidupan bangsa (ipoleksosbudhankam). Namun demikian, dalam tataran lokal
(daerah) bangsa Indonesia memiliki apa yang disebut dengan ‘wawasan lokal. Hal ini
disebabkan karena bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, yang
memeluk agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda-beda,
berbicara dalam bahsa daerah yang berbeda-beda, memiliki adat – kebiasaan (budaya
daerah) yang berbeda-beda pula. Wawasan lokal dirasakan sangat perlu bagi kehidupan

5
masyarakat di daerah, karena dapat digunakan dalam mengembangkan potensi dan
kelebihan setiap daerah. Selain itu, dengan ‘wawasan lokal’ dapat digunakan sebagai
cara pandang setiap daerah untuk mengetahui dan memperbaiki berbagai kekurangan
yang dimilikinya. Bangsa Indonesia secara politis memang satu bangsa, namun secara
sosial budaya, kita hidup dalam sebuah masyarakat dan geografis yang berbeda-beda. Ini
adalah sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri serta sebuah kenyataan yang
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya wawasan lokal dan menuju ke wawasan
nasional. Berkaitan dengan dua wawasan tersebut, hubungan wawasan nasional
(wawasan nusantara) dengan wawasan lokal, hendaknya tidak kita maknai sebagai
sesuatu yang kontradiktif. Sebab, antara keduanya selalu memiliki hubungan yang erat
dan tidak terpisahkan.
Munculnya keanekaragaman wawasan lokal jangan sampai sebagai sebab
timbulnya perpecahan (disintegrasi) bangsa. Persoalannya sekarang, bagaimanakah
eksistensi ‘wawasan nasional’ itu, jika dikaitkan dengan keberadaan ‘wawasan lokal’yang
melekat dalam kehidupan bangsa Indonesia yang serba majemuk (pluralistis), dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, keberadaan wawasan nasional, pada
dasarnya digunakan sebagai ‘jembatan’ penghubung dan pemersatu bagi wawasan lokal
yang terdapat di setiap atau geografis nusantara. Jadi, wawasan lokal pada dasarnya
boleh berbeda dengan wawasan nasional, namun ada jembatan yang menghubungkan
kedua wawasan tersebut. Selanjutnya, wawasan lokal tidak boleh bertentangan dengan
wawasan nasional, dalam arti tidak boleh keluar dati konteks wawasan nasional.
Keperbedaan wawasan lokal dengan wawasan nasional, harus diartikan sebagai variasi
dan kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang diangkat dari keanekaragaman
budaya yang ada. Secara demikian, munculnya wawasan nasional merupakan
resultante (hasil)interaksi dari wawasan lokal yang beranekaragam. Agar eksistensi
wawasan nasional dan wawasan lokal tersebut dapat dikembangkan dan dilestarikan,
maka kebijakan nasional yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan kebijakan daerah
yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah (dalam konsep otonomi daerah) harus terjadi
saling mebdukung. Kalau tidak, maka konflik bisa dipastikan akan selalu muncul dalam
daerah-daerah di seluruh nusantara. Kebijakan nasional, hendaknya juga harus mampu
menjadi jembatan yang berfungsi memfasilitasi bagi hubungan antara dua wawasan tadi,
Konsekuensinya, perumusan kebijakan nasional harus selalu memperhatikan aspirasi
yang berkembang dalam kehidupan masyarakat lokal. Ragam kehidupan yang terjadi
dalam sifat kemajemukan bangsa Indonesia, hendaknya patut ditangkap dan dimaknai
secara kritis, bahwa mereka saling memiliki ‘keunggulan’ diantara yang lain. keunggunlan
inilah yang harus dijadikan sebagai wacana negara (pemerintah) atau juga suku-suku
bangsa di lingkungan wilayah negara itu, agar negara atau suku bangsa tersebut sama-
sama merasa memiliki nilai lebih dalam suasana kehidupan kebersamaan dan
kekeluargaan. Kebijakan negara, tidak bisa hanya ditunjukkan kepada sebagian wilayah
dan masyarakat tertentu saja.
Selain itu, kebijakan pemerintah kiranya juga tidak benar jika diupayakan untuk
‘melebur’ berbagai perbedaan lokal menjadi wacana nasional yang bersifat ‘unifikatif’.
Apabila hal ini dipaksakan oleh negara (pemerintah), maka sama halnya pemerintah
(negara) tidak menghormati aspirasi yang berkembang pada tingkat masyarakat lokal.
Lebih parah lagi, ini mengenai munculnya suatu kebijakan yang tidak mendasarkan diri
pada prinsip demokrasi dan keadilan, atau bahkan menunjukkan tidak adanya
keberadapan (civilizing) negara. Melalui kebijakan tersebut, secara horisontal aspirasi

6
masyarakat lokal tidak harus dilihat dari sisi ‘benar’ atau ‘salah’, akan tetapi lebih
didasarkan prinsip bahwa masing-masing senantiasa memiliki kebaikan sendiri-sendiri.
Secara demikian, pendekatan etnosentris, tidak akan berlaku untuk melihat atau bahkan
tidak mungkin untuk menilai kebudayaan atau aspirasi masyarakat atau orang lain yang
hidup dalam alam kemajemukan di nusantara ini.

C. Pemahaman Kritis SARA


dalam Pluralitas Bangsa SARA, yang merupakan akronim dari Suku, Agama, Ras,
dan Antar Golongan, adalah sebuah fenomena kemasyarakatan yang tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, SARA adalah
gejala inhern (menyerta dan bersamaan) dengan kondisi masyarakat Indonesia yang
bersifat pluralistis. Lebih dari itu, SARA nampak menjadi kekayaan bangsa dan
masyarakat Indonesia, karena dengan itu masyarakat menjadilebih variatif dan dinamis.
Namun demikian, tidak jarang muncul persepsi negatif berkaitan dengan SARA ini.
Berbagai konflik, kerusuhan dan gejolak sosial yang timbul di dalam masyarakat kita,
hampir semua dikaitkan dan bahkan dituduhka kepada persoalan SARA. Masyarakat
cenderung tidak pernah bergeming dari perspektif yang diyakininya dalam memahami
penyebab kerusuhan, kecuali SARA selalu dijadikan tersangka utamanya dan causa
prima dari gejolak sosial masyarakat.
Dampak sosiologis dari kondisi ini, konstruksi sosial tentang SARA dalam
masyarakat lebih didominaerspsi oleh pektif rezim. Karena SARA menurut negara
merupakan sumber perpecahan sosial, maka menjadi suatu pengetahuan atau realitas
yang ditabukan. SARA oleh mereka selalu dipandang sebagai potensi konflik daripada
energi politis yang mewujudkan demokrasi dan kemajemukan sosial. Sekarang,
pemahaman realitas SARA hendaknya harus dirajutkembali. Ideologi dan perspektif
terhadap SARA, perlu penataan ulang dalam dimensi pikir, dari ideologibahwa SARA
sebagai sumber pemicu perpecahan sosial, menjadi SARA sebagai kekuatan untuk
pemberdayaan dan demokrasi masyarakat. Langkah ini, kiranya tidak bisa dilakukan
secara ‘gegabah’, dan karena itu memerlukan pemikiran yang serius dan penuh kehati-
hatian. Sebab realitas SARA memang rentan dengan konflik yang kadang penuh dengan
kerawanan untuk saling bertubrukan. Agar hal itu tidak muncul dalam praktik kehidupan,
salah satu caranya adalah dengan meletakkan peran negara sebagai fasilitator,
dinamisator, dan stabilisator kekuatan-kekuatan yang ada dalam komponen SARA.
Negara jugaharus mampu menjembatani atau mengakomodasi setiap benturan
kepentingan. Syaratnya, negara harus benar-benar embedded (tertanam dan mengakar)
dalam masyarakatnya sehingga setiap kebijakan yang ditelurkan selalu mewakili
masyarakatnya (Nugroho, 1997). Dengan kata lain, peran tersebut hanya bisa terjadi
dalam negara yang sistem politiknya bersifat demokratis.
Dalam negara yang monopolitik maka realitas SARA cenderung dilenyapkan,
tentu saja demi kepentingan sebuah rezim, lewatkekuatan dominasi atau bahkan salah
satu elemennya, misalnya melakukan kooptasi dan depolitisasi agama. Sebagai contoh,
agama tidak boleh digunakan sebagai sarana berpolitik, akan tetapi kenyataannya oleh
penguasa, agama justru digunakan sebagai alat bermobilisasi rakyat demi kepentingan
rezim. Contoh lain, kebudayaan sering diperpolitikkan oleh penguas sehingga aspirasi
pemilik dan pendukungbudaya itu tidak nampak, dan celakanya ekspresi budaya selalu
berada dalamhegemoni negara demi suksesnya ideologi penguasa.

7
D. Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional
Secara sederhana, ‘wawasan kebangsaan’ Indonesia dapat didefisinikan sebagai
cara pandang kesatuan kebangsaan Indonesia. Dan bukanlah benda, akan tetapi lebih
erat dengan konsep kerangka berpikir dan mentalitas.
Jika dikaitkan dengan sifat pluralitas masyarakat Indonesia, maka substansi
wawasan kebangsaan adalah ‘integrasi nasional’, atau setidaknya integrasi nasional ini
merupakan unsur atau aspek terpenting dalam wawasan kebangsaan. Wawasan
kebangsaan dan integrasi nasional merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Dia
ibarat ‘kepingan mata uang’, yang selalu menyatu dan saling menentukan kadar atau
nilainya dalam pasar. Karena itu, terbentuknya integrasi nasional yang kokoh, akan
banyak ditentukan oleh pengetahuan dan wawasan kebangsaan. Dengan kata lain,
semakin kuat wawasan kebangsaan yang dimiliki oleh suatu bangsa akan semakin
mantap pula integrasi nasionalnya. Secara demikian, wawasan kebangsaan dan integrasi
nasional adalah ‘kata kunci’ untuk membina dan mempertahankan persatuan dan
kesatuan bangsa. Dalam kaitan itu,ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk
membangun wawasan kebangsaan Indonesia yang ‘solid’ dan integrasi nasional yang
mantap serta kokoh. Pertama, kemampuan dan kesadaran bangsa dalam mengelola
perbedaan-perbedaan suku,agama,ras dan antara golongan serta keanekaragaman
budaya dan adat istiadat yang tumbuh dan berkembang di wilayah nusantara.Perbedaan-
perbedaan itu bukanlah sebagai suatu hal yang harus dipertentangkan,akan tetapi harus
diartikan sebagai kekayaan dan potensi bangsa. Kedua, kemampuan mereaksi
penyebaran ideologi asing,dominasi ekonomi asing serta penyebaran globalisasi dalam
berbagai aspeknya.Dunia memang selalu berubah seirama dengan perubahan
masyarakat dunia. Bersamaan dengan itu,ideology dunia juga merambah dikawasan
global yang siap menyebarkan ‘virus’ perubahannya keseluruh penjuru dunia yang
meliputi seluruh aspek kehidupan. Dalam kaitan ini, perwujudan wawasan kebangsaan
dan integrasi nasional,terkadang sering goyah akibat tuntutan dunia yang tidak kenal
batas itu. Persoalan yang perlu dicermati, bagaimana suatu bangsa mampu membangun
wawasan nasional dan integrasi nasional dengan mantap dan kokoh, sebagai modal
dalam membangun sebuah ‘pendirian’ketika isu-isu global itu mulai ditawarkan.
Sebagai warga dunia , setiap warga negara dan bangsa hendaknya mampu
berpikir kritis terhadap kemajuaan dunia, agar mereka selalu memiliki world view
(pandangan dunia) secara mantap dan tidak ketinggalan oleh kemajuan bangsa-bangsa
lain. Namun demikian, perspektif global juga tidak lepas dengan sebuah paradox,yang
kadang bisa membingungkan masyarakat dunia.Dalam rangka ini, kematangan pendirian
sebuah bangsa menjadi penting, karena dengan itu, suatu bangsa akan mampu
melakukan pilihan-pilihan secara rasional (rational choices) terhadap apa yang sedang
muncul sebagai ‘gebyar jaman’ (dunia). Posisi lokal hendaknya juga perlu diperhatikan
dalam menentukan pendirian bangsa Indonesia atas semangat kebangsaannya. Abad ke-
21, milenium baru yang bercirikan liberalisasi dan perdagangan serta mendewa-dewakan
budaya global itu,bisa melanda bangsa-bangsa yang melewah wawasan kebangsaannya.
Itulah sebabnya, mantra abad baru sebagaimana oleh John Neisbiett (1994) yang
berbunyi “Berpikirlah Lokal, bertindaklah Global” (think locally, act globally), menjadi
penting diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.Mantra itu,
sebagai kebalikan dari frasa lama,yaitu “Berpikirlah Global,Bertindaklah Lokal” (think
globally,act locally). Sebab menurutnya, pola ‘berpikir lokal,bertindak global’, hanya bisa
dilakukan bangsa yang kuat semangat kebangsaannya.Sebagai ilustrasi, misalnya

8
Jepang, dengan budaya yang paling homogen itu, telah bekerja luar biasa baiknya dalam
berpikir secara lokal dan bertindak secara global selama bertahun-tahun. Ketiga,
membangun sistem politik dan pemerintahan yang sesuai dengan ideologi nasional
(pancasila) dan konstitusi UUD 1945. Keempat,penyelenggaraan ‘proyeksi budaya’
dengan cara melakukan pemahaman dan sosialisasi terhadap simbol-simbol identitas
nasional misalnya : Bahasa Indonesia,Lagu Indonesia Raya, Bendera Merah Putih dan
Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persoalan
sekarang , integrasi nasional yang seperti apa yang hendak kita kembangkan di
Indonesia, yang masyarakatnya bersifat majemuk (pluralistis), Beranalog dengan konsep
wawasan kebangsaan tadi, maka integrasi nasional hendaknya juga diartikan bukan
sebagai benda akan tetapi harus diartikan sebagai “semangat” untuk melakukan
penyatuan terhadap unsur-unsur dan potensi masyarakat Indonesia yang
beranekaragam.Secara demikian, integrasi nasional di Indonesia, bukanlah sebuah
‘peleburan’ yang sifatnya ‘unifikatif’,akan tetapi lebih tepat disebut integrasi nasional yang
bersifat ‘difersifikasi’ (pembedaan). Dengan cara ini perbedaan tetap diakui, karena
dengan ini masyarakat akan bebas berekspresi selaras dengan aspirasi dan way of life
yang diangkat dengan nilai-nilai moral yang bersumber dari budaya daerah setempat
(local).Disamping itu, integrasi nasional yang defersifikatif lebih nampak
demokratis,ketimbang integrasi nasional yang unifikatif yang justru mengarah pada
perkosaan HAM dan memungkiri realitas perbedaan.Integrasi nasional yang
defersifikatif,lebih sesuai dengan semboyan yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya
berbeda-beda itu pada hakekatnya adalah satu.
Karena perbedaan masyarakat merupakan realitas sosial, maka keberadaannya
tidak bisa dilenyapkan. Bahkan setiap upaya untuk melenyapkan dengan dalih apa pun,
termasuk menuju ‘unifikasi’ masyarakat,cenderung akan menimbulkan keresahan,gejolak
sosial,kerusuhan massa dan pasti berakhir dengan disintegrasi bangsa.Kemajemukan
masyarakat (plures) tidak dapat dilenyapkan demi jargon persatuan dan kesatuan,sebab
persatuan itu harus dicapai lewat keberadaan pluralitas (Berger dan Neuhauss, 1977).

E. Nasionalisme dalam Perspektif Indonesia


Nasionalisme dan Negara bangsa (nation state) sebagai wadah organisasi sosial
yang membungkusnya yang merupakan dua kekuatan terbesar di dunia.Keduannya
mampu mendominasi wacana politik dunia selama abad 20 secara bertahap tetapi pasti,
sekarang mulai berhadapan dengan sejumlah tantangan yang menempatkan keduannya
dalam posisi yang cukup sulit. Kajian atas nasionalisme dan bangsa, dan juga negara
bangsa,hingga kini masih tetap menjadi perdebatan oleh para ahli. Bagi sejumlah ahli,
bangsa dan kesadaran berbangsa diyakini merupakan representasi atau perwakilan dari
negara masa lalu yang terkait dalam upaya-upaya realisasi diri. Bangsa dalam makna ini
adalah suatu entitas primordial yang merupakan bawaan yang melekat dalam nature dan
sejarah manusia. Secara objektif suatu bangsa dapat diidentifikasi lewat perbedaan-
perbedaannya dengan bangsa lain dalam hal cara pandang,keterikatan dengan tanah air,
dan perjuangan-perjuangan untuk mendapatkan otonomi politik. Namun demikian,
rumusan yang pasti mengenai nasionalisme dan negara bangsa sangat sulit untuk
digagaskan. Tetapi jika diperhatikan arena persemaian awal, konsepsi tentang
nasionalisme dan negara bangsa dan diikuti logika dibalik kehadiran nasionalisme dan
negara bangsa yang tumbuh di negara-negara bekas jajahan, kita akan menemukan
bahwa keduannya pada dasarnya adalah fakta perjanjian antara warga negara yang

9
berdaulat dengan negara (Lay, 1997). Nasionalisme dan negara bangsa secara radikal
telah merombak struktur kesetiaan politik rakyat dari kesetiaan kepada dinasti menjadi
prinsip kedaulatan rakyat.Ia juga telah merombak secara radikal struktur kesetiaan pada
tuan penjajah untuk digantikan dengan gagasan tentang kewarganegaraan. Karena itu,
nasionalisme telah mentransformasikan masyarakat dan individu dari posisi sebagai
subyek pasif dalam politik menjadi warga negara aktif yang mampu mengatur diri sendiri.
Secara demikian, nasionalisme dan negara bangsa bukan saja memperhatikan
kesejajaran antara massa rakyat dengan penguasa, tapi sekaligus didalamnya melekat
impian-impian (harapan dan inspirasi) massa rakyat yang harus diwujudkan. Subtansi
nasionalisme dan negara bangsa mencakup antara lain mengenai demokrasi, keadilan
sosial,kesejahteraan dan HAM.Oleh karena itu, mustahil berbicara nasionalisme dan
negara bangsa tanpa mengkaitkan dengan isu-isu di atas. Jika gagasan nasionalisme dan
negara bangsa diatas dicermati, logikanya sangat sedikit orang tidak sepakat dengan
keduanya.
Di dalam konsep nasionalisme dan negara bangsa melekat semua nilai-nilai
kemanusiaan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap peradapan manusia. Tetapi seperti
terungkap pada tingkat praktis dalam masyarakat politik Indonesia, nasionalisme bisa
dengan muda melahirkan penolakan atau sinisme dikalangan masyarakat. Nasionalisme
secara politik agar ‘menjauhi’ atau ‘menerima’ sesuatu yang bertentangan dengan hati
nurani dan aspirasinya. Dalam konteks ‘menjauhi’ atau ‘menerima’ tersebut, nasionalisme
Indonesia, sering mengalami hambatan di hadapan massa rakyat dan pemerintahannya
sendiri. Dalam kaitan ini Cornelis Lay (1997) sempat mengidentifikasi, yang antara lain
disebabkan oleh beberapa hal. Pertama,berkaitan dengan pemahamannya yang
mendalam sebagai suatu ideologi. Ia bahkan dipahami sebatas sebagai salah satu aliran
politik yang pernah malang-melintang dirimba raya politik (masa lalu) Indonesia. ‘Dike-
rangkengnya’ nasionalisme Indonesia dalam salah satu kekuatan politik dimasa lalu, telah
mewarnai dan memerosotkan posisi nasionalisme sampai pada fase sebatas sebagai
aliran politik. Padahal nasionalisme bukan semata-mata berfungsi sebagai ideologi.
Sekalipun ia merupakan gejala yang mudah ditemui disembarang belahan dunia, dan
sekalipun ia menduduki dasar moral dan emosi seperti halnya dengan ideologi, ia tidak
memiliki prinsip-prinsip universilitas seperti sosialisme atau kapitalisme misalnya yang
memungkinkannya untuk diklaim semata-mata sebagai ideologi.
Dalam sejarah politik masa lalu Indonesia, kita mengetahui bahwa berbagai
aliran politik, termasuk nasionalisme, yang tumbuh pada waktu itu terlibat dalam ‘perang’
dan ‘konflik’ tanpa henti. Karena itu, ketika nasionalisme dimengerti sebatas sebagai
salah satu dari aliran politik di Indonesia, maka ia dengan mudah akan diperlakukan
sebagai lawan oleh aliran politik lainnya. Kedua,berkaitan dengan praksis nasionalisme
yang mengikuti logika nasionalisme internal. Jenis nasionalisme ini, memberikan
penekanan pada superioritas dan keabsahan negara atas warganya dan mengabaikan
substansi dari nasionalisme sebagai suatu ‘fakta perjanjian’ antara warga negara dengan
negara. Padahal, sebagai ‘fakta perjanjian’, nasionalisme harus menekankan bukan saja
bahwa warga negara bangsa memiliki hak untuk merdeka lewat negara, tapi yang
bersangkutan juga memiliki hak yang sebanding untuk mengekspresikan diri,
mendapatkan kemerdekaan dan kemungkinan untuk berkembang.
Bung karno, telah sejak dini menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia, hanya
sebatas sebagai ‘jembatan emas’. Karena itu, didalam Negara Indonesia yang merdeka,
terletak kewajiban bagi negara dan kita semua untuk memerdekakan setiap individu.

10
Dengan demikian, bukan semata-mata kemerdekaan bangsa yang menjadi pusat
perhatian nasionalisme, akan tetapi sekaligus kemerdekaan individu yang menjadi warga
dari bangsa yang bersangkutan. Ketiga,bertalian dengan kenyataan bahwa nasionalisme
kadang digunakan sebagai sarana untuk mengabsahkan atau membela sesuatu yang
bertentangan dengan logika. Kita sering berhadapan dengan kenyataan bahwa atas
nama nasionalisme kita diharuskan untuk membenarkan langkah-langkah yang bahkan
merugikan bangsa secara keseluruhan. Banyak contoh kasus disekitar kita, dimana
nasionalisme secara gegabah telah digunakan untuk melegalisasi hal-hal yang
sebenarnya tidak punya kaitan dengan kepentingan Negara dan bangsa. Misalnya kasus
penggungsuran demi pembangunan nasional, jika menolak penggungsuran berarti anti
pembangunan dan tidak nasionalisasi. Berdasarkan hambatan-hambatan diatas, maka
persoalan pokok nasionalisme di Indonesia pada dewasa ini, bagaimana rakyat bisa
diberdayakan. Hal ini sesuai dengan cita-cita reformasi total terutama dalam rangka
pemberdaya civil society (masyarakat sipil). Gagasan pemberdayaan masyarakat sipil,
hendaknya digunakan sebagai wacana dalam mengisi cita-cita reformasi dan sekaligus
dalam membangun nasionalisme Indonesia. Sebenarnya kalau kita cermati, gagasan
pemberdayaan masyarakat sipil itu sudah ada dalam UUD 1945. Sebuah contoh, ambil
saja pasal 31 UUD 1945, yang menegaskan bahwa :
“setiap warga negara berhak mendapat pengajaran, dan pemerintah menyelenggarakan
sistem pendidikan nasional yang diatur dengan undang-undang”.
Penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah, menunjukkan
negara (pemerintah) memiliki komitmen tinggi terhadap pemberdayaan warga negara
(rakyatnya). Selain itu masih banyak lagi tuntutan pasal-pasal konstitusi yang memuat
hak-hak asasi manusia yang harus direalisasi oleh negara dan ditujukan kepada rakyat
(warga negara). Tercantumnya hak-hak individu (warga negara) dalam sebuah konstitusi
(UUD 1945). Belum tentu menjamin apakah kebijakan pemerintah mampu
memperdayakan potensi bangsa yang melekat pada masyarakat atau rakyat. Hal ini
menurut adanya kemauan dan kesadaran negara (pemerintah), bahwa keberadaannya
dalam organisasi ini adalah semata-mata untuk mengemban ‘misi suci’, yaitu
menciptakan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, kinerja pemerintah dalam membuat
kebijakan,akan sangat berpengaruh bagi dampak kebijakan itu, apakah mampu
memperdayakan rakyat atau masyarakat sipil, atau bahkan terjadi sebaliknya, justru
mengarah pada dominasi negara (pemerintah) terhadap masyarakat sipil. Pemberdayaan
masyarakat sipil,pada dasarnya juga merupakan proyek kebudayaan (cultural) yang harus
diciptakan oleh bangsa dalam menyongsong format Indonesia baru dan nasionalisme
Indonesia. Salah satu cirinya, adalah terdapatnya ruang publik, dimana semua orang
harus mampu tumbuh dan mengaktualisasikan diri serta mandiri dan sukarela untuk
mengambil bagian dalam pemerintahan.
Perilaku setiap warga negara dan pemerintahannya, terikat oleh dan harus
tunduk pada hukum yang dihasilkan oleh sebuah perjanjian masyarakat (kontrak social).
Untuk menciptakan masyarakat yang berkeabsaan (termasuk negara juga pemerintah
yang beradab), adalah merupakan rangkaian perjuangan untuk selalu menegakkan
prinsip-prinsip keadilan dan menempatkan komponen masyarakat dan negara dalam
suatu kederajatan. Jika hal ini disadari oleh seluruh komponen bangsa (baca:pemerintah
dan rakyatnya), maka cita-cita reformasi akan segera terwujud, begitu juga nasionalisme
Bangsa Indonesia akan semakin menjadi kokoh.

11
F. Membina Rasa Nasionalisme dalam Ekspresi Kenegaraan Kesatuan Republik
Indonesia

Bentuk Negara Indonesia adalah “negara kesatuan”, artinya, di seluruh Negara


Indonesia hanya ada satu negara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dalam
Negara kesatuan tidak dibenarkan adanya daerah yang berbentuk Negara. Negara
kesatuan Indonesia didirikan dari perasaan bersatu seluruh masyarakat dan daerah-
daerah yang berada di seluruh wilayah Negara Indonesia (nusantara). NKRI memiliki
struktur pemerintah pusan dan pemerintahan daerah. Masing-masing pemerintah daerah
diberi hak otonomi, yaitu hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Antara daerah
yang satu dengan daerah yang lain, boleh’saling berbeda’, namun tidak boleh
bertentangan dengan cita-cita nasional atau cita-cita Bangsa Indonesia (tujuan
negaranya). Tegasnya, munculnya konsep otonomi daerah jangan diartikan sebagai
strategi daerah untuk memisahkan diri dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Strategi pembinaan persatuan bangsa Indonesia dalam konteks NKRI, dapat
dilaksanakan dengan beberapa program, antara lain sebagai berikut:

1.) Mempersatukan Potensi Perbedaan Bangsa Indonesia Bangsa Indonesia memang


memiliki kekayaan yang beranekaragam, namun jika keragaman itu tidak dibina dengan
baik, bisa melahirkan konflik antar suku, ras/etnis dan antara golongan (SARA) yang
terjadi di Indonesia, bisa berdampak merugikan dan mengancam persatuan dan kesatuan
bangsa. Agar bangsa Indonesia terhindar dari perpecahan, maka seluruh potensi bangsa
harus diperdayakan; dengan kegiatan antara lain adalah:
a. Menyelenggarakan dialog nasional secara terus-menerus yang dihadiri oleh tokoh-
tokoh daerah, masyarakat dan agama serta budaya;
b.Memanajemen konflik sosial,secara damai, demokratis manusiawi, adil dan religius;
c. Meyelenggarakan pekan budaya nasional, dengan menampilkan kebudayaan daerah
yang ada diseluruh nusantara;
d. Menggalakkan amal bakti dan peduli sosial kemanusiaan bagi daerah-daerah dan
keluarga yang terkena musibah atau rawa kemiskinan;
e. Melaksanakan pembangunan nasional tidak secara terpusat, dengan member
kebebasan kepada masing-masing daerah untuk menyelenggarakan otonomi dan
bersaing secara sehat, demokrasi serta berkeadilan social;
f. Menyelenggarakan program komunikasi lintas budaya antara daerah, dengan maksud
saling mengenal, menghormati dan mengahargai proses dan produk budaya masing-
masing secara empati yang tinggi;
g. Memasyarakatkan penghayatan dan pengalaman makna simbol-simbol identitas
nasional, seperti Lambang Negara Garuda Pancasila, bendera kebangsaan Sang Merah
Putih, Pancasila sebagai dasar Negara dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

2.) Menghormati Bendera Kebangsaan Sang Merah Putih, mengajarkan kepada bangsa
Indonesia agar keberanian yang kita kembangkan selama ini selalu berlandaskan pada
kesucian. Ingat, “Merah” berarti ‘berani’ dan “putih” artinya ‘suci’.Bendera Merah putih,
adalah bendera pusaka. Sebagai bendera pusaka, “Merah Putih” tidak sekedar
warna,akan tetapi harus diartikan sebagai lambang identitas persatuan dan kesatuan
bangsa Indonesia. Sebagai pusaka, Merah Putih harus disimpan, ditempatkan dan

12
digunakan sebagaimana mestinya. Bendera Merah Putih bukanlah suatu “hiasan”, akan
tetapi merupakan ‘senjata’ perjuangan bangsa Indonesia dalam mengejar cita-cita
nasionalnya. Setiap warga Negara Indonesi harus mampu mengibarkan bendera Merah
Putih dengan benar dan penuh rasa hormat.

3.) Menghormati dan Menghayati Isi dan Makna Lagu Kebangsaan Sungguh besar jasa
W.R.Soepratman (pahlawan nasional) dalam mempersembahkan syair dan lagu
gubahannya kepada Ibu Pertiwi, Indonesia tercinta. Sebuah lagu INDONESIA RAYA
kemudian dikukuhkan sebagai lagu kebangsaan Indonesia.
Dari syair lagu Indonesia Raya, bangsa Indonesia dapat mengambil
pelajaran,antara lain :
a.Bait pertama, mengajarkan bahwa kita semua memiliki tanah air Indonesia. Di tanah air
Indonesia kita dilahirkan dan dibesarkan. Oleh karena itu kita harus mampu menjadi
pemimpin dan pencinta Ibu Pertiwi (tanah air Indonesia);
b. Bait kedua, mengajarkan pengakuan kita semua terhadap bangsa dan tanah air satu ,
yaitu Indonesia. Bangsa Indonesia bersumpah untuk mempertahankan dan kesatuan
bangsa dan tanah air:
c. Bait ketiga, mengajarkan tentang kewajiban kita semua untuk membangun negara,
bangsa (rakyat) dan tanah air Indonesia. Kesemuanya itu, untuk kesejahteraan kita
bersama lahir dan batin:
d. Bait keempat, mengajarkan bahwa kemerdekaan itu mahal hargannya. Oleh karena itu
kita harus selalu mencintai terhadap tanah air kita (Indonesia).
Dengan kemerdekaannlah, kehidupan bangsa Indonesia bisa jaya (tertib),
aman, adil makmur dan sejahtera. Disamping itu, pada bait keempat juga mengajarkan
adanya semangat kecintaan terhadap tanah air Indonesia yang telah merdeka. Karena
itulah harus dipertahankan agar tetap hidup, hiduplah Indonesia raya! Menyanyikan lagu
kebangsaan tidak sama dengan lagu hiburan. Lagu kebangsaan bersifat resmi, begitu
juga dalam membawakannya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membawakan lagu kebangsaan, antara
lain adalah:
(1) dilakukan dalam sikap sempurna (berdiri dengan posisi siap)
(2) dalam suasana resmi, sidang rapat/resmi
(3) disertai dengan penghayatan dan makna kata-kata demi kata dalam syair lagunya
(4) dilagukan dengan penuh semangat (berjiwa patriotik) dan
(5) hitungan, ketukan dan nada yang tepat. Catatan : Lagu Indonesia Raya adalah “Lagu
Kebangsaan”. Dan karena itu harus didengungkan di seluruh wilayah, daerah-daerah
yang termasuk sebagai bagian negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Menghormati makna Lambang Negara Republik Indonesia GARUDA
PANCASILA, itulah Lambang Negara Indonesia. Pada saat proklamasi kemerdekaan kita
belum mempunyai lambang negara. Baru pada tahun 1950, panitia tim perumus lambang
negara berhasil merumuskan lambang negara kita. Lambang negara itu berbentuk
gambar burung Garuda. Mengapa tidak burung perkutut, cucak rawa atau burung
emperit? Dalam lakon (ceritera) pewayangan burung Garuda (jatayu) dikenal cinta akan
kebenaran dan anti terhadap kejahatan (keangkaramurkaan). Lambang negara Garuda
Pancasila yang disyahkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951, pada
tanggal 17 Oktober 1951 itu,seperti yang kita kenal dan miliki sampai sekarang.
Sebagai lambang negara, Garuda Pancasila memiliki struktur yang langsung

13
menggambarkan simbol-simbol ke-Indonesia-annya, yaitu:
a. Jumlah sayap 17, ekor 8, dan bulu leher 45, melambangkan proklamasi kemerdekaan
Indonesia tanggal 17-8-1945;
b. Menoleh ke kanan, melambangkan kebaikan (tujuan baik) sebagai cita-cita sekaligus
kondisi hendak diciptakan oleh negara Indonesia. Dalam konsep budaya Indonesia,
kanan berarti baik;
c. Kaki mencengkeram seloka “Bhinneka Tunggal Ika”, melambangkan betapa teguhnya
negara kita dalam menggalang persatuan bangsa, yang hidup menggambarkan kesatuan
dalam perbedaan (yang berbeda-beda itu pada dasarnya adalah satu);
d. Perisai Pancasila yang dikalungkan pada leher lambang negara, melambangkan
bahwa hidup dan matinya Garuda Pancasila (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
tergantung pada Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa
Indonesia.

G. Mengembangkan Perilaku Nasionalisme dalam Konteks Indonesia Sebagai


bangsa yang majemuk
bangsa indonesia harus mampu bergaul dalam rangka persatuan dan kesatuan
bangsa, yaitu “memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber
BHINNEKA TUNGGAL IKA”. Wujud perilaku yang mencerminkan persatuan dan kesatuan
tersebut adalah sebagai berikut.
1. Membina Keserasian, Keselarasan, dan Keseimbangan Walaupun masyarakat kita
berbeda-beda dalam keanekaragaman, jangan sampai terjadi pertentangan sehingga
menimbulkan perpecahan bangsa Indonesia. Oleh karena itu marilah kita bina kehidupan
yang serasi ,selaras dan seimbang diantara kita. “Serasi”, walaupun kita berbeda, tapi kita
tetap cocok. Ibarat pakaian, kita selalu serasi dan tidak kontras. “selaras”, berarti kita
berada dalam satu “laras” (alur,nada,aturan), maksudnya, bangsa Indonesia yang
beraneka ragam itu, memiliki kesamaan dalam tujuan hidup bersama. Sedangkan
‘seimbang”, artinya berkaitan dengan bobot atau beratnya. Kendatipun kita berbeda
dalam keahlian/profesi dan kehidupan,misalnya Si Kaya dan Si Miskin, dilihat dari bobot
manusiawinya sama.

2. Saling Mengasihi, Saling Membina dan Saling Memberi Hidup saling mengasihi
mengasih, membina, dan memberi antar sesama menjadi panggilan kita bersama dan
diwajibkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Terhadap siapa saja, tanpa membedakan
kedudukannya, kita harus saling asih (sayang), asuh (membina) dan asah (berhubungan).

3. Tidak menonjolkan perbedaan, melaikan mencari kesamaan Di antar kita memang


tidak satu pun yang memiliki kesamaan. Sekali pun orang kembar, pasti terdapat
perbedaannya. Demikian juga dengan suku-suku bangsa Indonesia. Walaupun kita serba
berbeda, jangan sampai kita menonjolkan perbedaan kita. Misalnya, baju kita lebih baik
dari pada baju teman-teman. Dalam hal ini, kita harus pandai menempatka persamaan-
persamaan, agaar kita tidak menjadi “sombong dan suka pamer”. Antara suku bangsa
yang satu dengan yang lain, sama-sama memiliki kebudayaan. Walaupun
kebudayaannya berbeda, kita harus tetap memandang sama.

14
4. Meningkatkan Kecintaan Terhadap Lingkungan Hidup Manusia merupakan bagian dari
seluruh ciptaan tuhan, oleh karena itu manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia hanya
dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya bila berhubungan dengan lingkungan
hidupnya yakni masyarakat sekitarnya, juga alam. Tindakan menjaga lingkungan hidup
berarti telah bekerja sama pula dengan pemerintah dalam progam pelerstarian lingkungan
hidup, misalnya menanam sejuta bunga. Menjaga seluruh isinya baik fauna maupun
floranya. Oleh karena itu kita harus mencintai seluruh lingkungannya hidup, dengan
menjaga kelestariannya, sehingga kebahagiaan hidup dapat terwujud.

5. Berkerjasama Sesama Warga, Lingkungan dan Pemerintahan Disamping sebagai


mahkluk sosial, manusia harus menjaga hubungan baik dengan lingkungan hidupnya baik
dengan tetangga, masyarakat, maupun alam sekitarnya. Sering kita mendengar
perkelahian pelajar, dibeberapa kota bahkan ada yang tewas dalam peristiwa tersebut.
Perbuatan tersebut akan mencederai rasa persatuan dan kesatuan, untuk itu kita harus
menghindari pertentangan bahkan perkelahian antar siswa atau antar pelajar. Adapun
kalau terjadi perselisihan alangkah lebih baik jika diselesaikan dengan musyawarah.

6. Menggalang Persatuan dan kesatuan melalui berbagai kegiatan Beberapa cara yang
ditempuh untuk menggalang persatuan dan kesatuan dapat dilakukan dengan berbagai
kegiatan antara lain:
(a) menggalakkan olah raga mellalui POIN, PORSENI, pertandingan persahabatan
lainnya;
(b) kesenian melalui pekan budaya, lomba tari daerah,kongres bahasa; dialog nasional;
(c)keramukaan melalui Jambore nasional, jambore daerah, lomba-lomba lainnya;
(d) dialog organisasi;
(e) pembauran antar suku antar etnis;
(g) menyiarkan melalui radio, TV dan media elektronika mengenai keaneka ragaman suku
bangsa untuk mengingatkan rasa kebangsaan kita, misalnya acara : anak seribu pulau,
aneka ria nusantara, bhinneka tunggal ika.
Dengan berbagai kegiatan tersebut kita dapat tersemangati dan terpupuk untuk
memiliki sikap sebagaimana yang dituntut olehsila Persatuan Indonesia terutama dalam
“menematkan persatuan dan kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara
diatas kepentingan pribadi dan golongan”.

15
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Masyarakat indonesia yang besifat pluralistis ditandai oleh berbagai faktor, yang
antara lain oleh perbedaan suku bangsa, agama, ras/etnis dan antar golongan. Sebagai
konsekuensi masyarakat yang pluralistis, masyarakat Indonesia secara kultural memiliki
kebudayaan lokal yang beranekaragam. Kondisi demikian, boleh jadi melahirkan berbagai
wawasan lokal yang berkembang di berbagai daerah nusantara, yang digunakan dalam
membangun wawasan nasional, sebagaimanapun dikenal dengan wawasan nusantara.
Persoalan yang berkaitan dengan SARA (suku,agama,ras dan antar
golongan),hendaknya dipandang secara positif, yaitu sebagai energi demokrasi atau
kemajemukan masyarakat Indonesia dan bukan dikatakan sebagai sumber konflik.
Manajemen konflik yang mungkin timbul dari perbedaan SARA, harus dipahami secara
kritis agar tidak menimbulkan disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, bangunan wawasan
kebangsaan yang dipetakan dari keanekaragaman wawasan lokal dan SARA di
Indonesia, akan menentukan bagi keberhasilan upaya intergrasi nasional dan sekaligus
juga pemaknaan bagi paham kebangsaan (nasionalisme) Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hakim. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia. Malang: PT.


Madani

16

Anda mungkin juga menyukai