ESSAY
Permukiman kumuh merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua kota-kota
besar di Indonesia, bahkan kota-kota besar di negara berkembang lainnya. Telaah tentang
permukiman kumuh (slum), pada umumnya mencakup tiga segi, yaitu, pertama, kondisi fisiknya.
Kondisi fisik tersebut antara lain tampak dari kondisi bangunannya yang sangat rapat dengan
kualitas konstruksi rendah, jaringan jalan tidak berpola dan tidak diperkeras, sanitasi umum dan
drainase tidak berfungsi serta sampah belum dikelola dengan baik. Kedua, kondisi sosial
ekonomi budaya komunitas yang bermukim di permukiman tersebut. Kondisi sosial ekonomi
masyarakat yang berada di kawasan permukiman kumuh antara lain mencakup tingkat
pendapatan rendah, norma sosial yang longgar, budaya kemiskinan yang mewarnai
kehidupannya yang antara lain tampak dari sikap dan perilaku yang apatis. Ketiga, dampak oleh
kedua kondisi tersebut. Kondisi tersebut sering juga mengakibatkan kondisi kesehatan yang
buruk, sumber pencemaran, sumber penyebaran penyakit dan perilaku menyimpang, yang
berdampak pada kehidupan keseluruhannya.
Pembangunan perkotaan yang semakin maju, menyebabkan naiknya harga tanah dan
tempat tinggal di pusat kota. Harga tanah yang sangat tinggi menyebabkan mengecilnya peluang
bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki tempat tinggal yang layak huni. Sulitnya
mendapatkan tempat tinggal dengan harga terjangkau secara otomatis mendorong kaum
berpendapatan rendah membangun tempat tinggal darurat (tidak layak huni). Apabila keadaan
seperti ini dibiarkan saja tanpa pemecahan yang adil, akan membawa dampak negatif jangka
panjang, yaitu menjamurnya lingkungan permukiman liar dan kumuh di berbagai penjuru kota.
Salah satu metode alternatif untuk menangani masalah permukiman kumuh adalah Model Land
Sharing I. Model land sharing adalah penataan ulang di atas lahan dengan tingkat kepemilikan
masyarakat cukup tinggi. Dalam penataan tersebut, masyarakat akan mendapatkan kembali
lahannya dengan luasan yang sama sebagaimana yang selama ini dimiliki/dihuni secara sah,
dengan memperhitungkan kebutuhan untuk prasarana umum (jalan, saluran). Beberapa syarat
untuk penanganan yang akan dilakukan, antara lain, (1) tingkat pemilikan/penghunian secara sah
(mempunyai bukti pemilikan/penguasaan atas lahan yang ditempatinya) cukup tinggi dengan
luasan yang terbatas, (2) tingkat kekumuhan tinggi, dengan ketersediaan lahan yang memadai
untuk menempatkan prasarana dan sarana dasar, (3) tata letak bangunan tidak berpola.