RINGKASAN
Penelitian ini bertujuan mengetahui ada tidaknya residu antibiotik golongan tetrasiklin dan
penisilin dalam daging sapi bali di beberapa pasar di Bali Indonesia. Pemakaian antibiotik sering
digunakan untuk menyembuhkan suatu infeksi pada hewan (misalnya sapi), atau sebagai pemacu
pertumbuhan. Bila antibiotik tersebut diberikan belum sampai waktu habis obat (withdrawal time) dan
hewan di potong untuk dikonsumsi, maka akan berdampak tidak baik bagi konsumen (kesehatan
manusia). Oleh karena itu sangat penting untuk dilakukan penelitian tentang residu antibiotik pada
daging sapi yang dipasarkan di beberapa pasar wilayah Bali. Penelitian ini menggunakan 60 sampel
daging berasal dari 5 pasar yang berbeda (Negara, Tabanan, Denpasar, Singaraja, dan
Karangasem). Setiap pasar diambil 12 sempel (masing-masing 100 gram) yang dibeli dari
pedagang yang berbeda. Pengujian residu antibiotik dalam daging dilakukan dengan metode uji
tapis (Bioassay atau screening test) dilakukan di Laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar.
Hasil menunjukkan hanya 3 sempel yang positif mengandung antibiotik yaitu positif tertrasiklin 2
sempel (3,33%) dan positif penisilin 1 sempel (1,66%). Sehingga keseluruhan 4,66 % positif
antibiotik.
SUMMARY
This study aims to determine residual tetracycline and penicillin antibiotics on beef bali cattle in
some markets in Bal,i Indonesia. The antibiotics commonly used to treat an infection in animals
(eg cattle), or growth promoters. When antibiotics are given yet until withdrawal time, and the
animal to be consumed, it will be risk to the consumer (human health). Therefore it is very
important to do research on antibiotic residues in beef in some market areas in Bali. This study
using 60 samples of meat come from 5 different markets (Negara, Tabanan, Denpasar, Singaraja,
and Karangasem). Every market is taken 12 sempel (each 100 g) were purchased from different
merchants. Screening tests (bioassay or screening test) used to determine antibiotic residues in
meat. Screening tests carried out in the Laboratory Center for Veterinary Denpasar. The results
showed that only three samples positive containing antibiotics which is positive tertrasiklin 2
samples (3.33%) and positive penicillin 1 sample (1.66%). So overall a positive 4.66% antibiotics.
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang.
Dalam bidang kesehatan hewan termasuk dalam bidang budi daya ternak misalnya
peternakan sapi potong (sapi penggemukan), antibiotik sangat penting untuk mengendalikan dan
atau membasmi bibit penyakit (bakteri). Sehingga antibiotik merupakan senjata yang ampuh bagi
peternak untuk menjaga dan meningkatkan produktivitasnya. Jenis antibiotik yang banyak
digunakan antara lain tetrasiklin (dan turunannya), penisilin (dan turunannya). Berdasarkan
Standar Nasional Indonesia (SNI No. 01-6366-2000) batas maksimum residu antibiotik dalam
makanan yang masih boleh dikonsumsi untuk antibiotik amoksisilin, ampisilin, dan kloramfenikol
adalah 0,01 μg/g dan batas maksimum residu antibiotik tetrasiklin adalah 0,1 μg/g. Sedangkan
Australia dalam polesenya daging yang dikonsumsi tidak boleh mengandung residu antibiotik
sama sekali.
terutama pada peternakan ayam pedaging dan petelur cenderung berlebihan tanpa memperhatikan
aturan pemakaian yang benar. Daging dan hati ayam banyak pula yang tercemar residu antibiotik
terutama golongan penisilin dan tetrasiklin dan cemaran pada organ hati lebih tinggi dibanding
pada daging, Pada daging dan hati sapi juga dijumpai residu antibiotik dan hormon.
Keberadaan residu antibiotik dalam makanan asal hewan erat kaitannya dengan
penggunaan antibiotik untuk pencegahan dan pengobatan penyakit serta penggunaan sebagai
imbuhan pakan. Pencampuran bahan baku imbuhan pakan dalam ramuan yang dilakukan sendiri
di tempat peternakan yang kurang dapat dijamin ketepatan takarannya dapat menyebabkan residu
pada pangan asal hewan. Penggunaan antibiotik untuk meningkatkan berat badan juga sering
diakukan oleh peternak. Residu antibiotik pada produk-produk peternakan masing-masing pada
daging ayam; hati ayam; dan daging sapi masing-masing 4,25; 28,6; dan 78,8% mengandung
residu antibiotik tetrasiklin dan aminoglikosid (Masrianto, dkk., 2013). Menurut Murdiati et al.
2
(1998) setiap residu akan hilang dalam suatu produk peternakan dalam waktu seminggu setelah
pemberian terakhir.
Adanya residu antibiotik dalam daging bila dikonsumsi manusia akan berefek tidak baik
bagi kesehatan, karena akan muncul kekebalan bakteri terhadap antibiotik tersebut dan efeknya
akan muncul resistensi atau berkurangnya kekebalan manusia terhadap suatu penyakit. Residu
antibiotik dalam daging maupun organ dalam akan tetap berefek buruk walaupun sudah
mengalami pemananasan. Oleh karena bahayanya residu antibiotik dalam daging produk ternak
dan masih jarangnya laporan tentang kadar residu antibiotik dalam daging sapi di Bali, maka
sangat perlu dilakukan pengamatan tentang residu antibiotik pada daging sapi di Bali.
Tujuan dari pengamatan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam daging sapi yang dipasarkan
di beberapa pasar kota di sekitar Bali mengandung residu antibiotik atau tidak. Diharapkan dari
hasil pengamatan akan memberikan informasi terhadap masyarakat, sehingga masyarakat akan
Urgensi dari pengamatan ini adalah apabila didapat hasil yang positif yaitu terdapat residu
antibiotik dalam daging sapi maka harus dilakukan pemberian pengertian dan pendidikan pada
peternak sebagai penghasil daging yaitu pendidikan tentang tata cara dan aturan pemberian
TINJAUAN PUSTAKA
Antibiotik
Antibiotik adalah zat yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri dan
yang terkait dengan mikroorganisme dan sangat penting dalam pengobatan manusia dan hewan.
3
- golongan Quinolone, misalnya rifampisin, aktinomisin D, asam nalidiksat bekerja melalui
Kegunaan
Penggunaan antibiotik dalam bidang kesehatan hewan terbatas pada dua fungsi penting
yaitu sebagai agen terapi (yaitu diterapkan untuk mengobati gejala klinis dari infeksi bakteri) dan
sebagai agen profilaksis (yaitu diterapkan untuk hewan yang sehat dianggap beresiko infeksi
untuk mencegah penyakit yang terjadi). Kebijakan ini menetapkan prinsip-prinsip panduan untuk
industri daging untuk memastikan bahwa pengembangan resistensi antibiotik diminimalkan dan
daging tidak terkontaminasi dengan residu antibiotik. Oleh karena itu antibiotik tidak boleh
digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan, tetapi antibiotik hanya digunakan untuk perawatan,
terapi atau pencegahan terhadap penyakit serius. Antibiotik harus digunakan di bawah
pengawasan dokter hewan dan sesuai dengan praktik dokter hewan yang baik (Australian Chicken
Meat Federation Inc, 2005). Penggunaan antibiotika golongan tetrasiklin baik sebagai tindakan
pengobatan pencegahan penyakit maupun sebagai bahan makanan tambahan (food additive)
dalam makanan atau minuman ayam broiler memungkinkan terdapatnya residu antibiotika
golongan tetrasiklin pada daging ayam broiler. Penyalah gunaan antibiotik dalam bidang
peternakan penyedia daging dan telur adalah sering digunakannya antibiotik tidak hanya untuk
mencegah terinfeksinya hewan/ayam oleh penyakit bakterial, akan tetapi digunakan juga untuk
4
Residu dan Bahayanya
resistensi ternak terhadap jenis-jenis mikro-organisme phatogen tertentu. Hal ini telah terjadi pada
peternakan unggas di North Carolina (Amerika Serikat) akibat pemberian antibiotik tertentu,
ternak resisten terhadap Enrofloxacin yang berfungsi untuk membasmi bakteri Escherichia coli.
Di bagian lain residu dari antibiotik akan terbawa dalam produk-produk ternak seperti daging,
telur dan susu dan akan berbahaya bagi konsumen yang mengkonsumsinya. Seperti dilaporkan
oleh Rusiana dengan meneliti 80 ekor ayam broiler di Jabotabek menemukan 85% daging ayam
broiler dan 37% hati ayam tercemar residu antibiotik tylosin, penicilin, oxytetracycline dan
kanamycin. Begitu juga Nur Imtihan dan Nur (2010 ) menemukan bahwa dalam daging ayam
yang dipasarkan di beberapa kota di Malam juga positif residu antibiotik tetrasiklin. Penggunaan
senyawa antibiotik dalam ransum ternak pun menjadi perdebatan sengit oleh para ilmuan akibat
efek buruk yang ditimbulkan tidak hanya bagi ternak tetapi juga bagi konsumen yang
mengkonsumsi produk ternak tersebut melalui residu yang ditinggalkan baik pada daging, susu
maupun telur. Beberapa negara tertentu telah membatasi penggunaan zat aditif tersebut dalam
pakan ternak seperti di Swedia tahun 1986, Denmark tahun 1995, Jerman tahun 1996 dan Swiss
tahun 1999. Selanjutnya pada 1 Januari 2006 Masyarakat Uni Eropa berdasar regulasi nomor
1831/2003 menetapkan tonggak pemusnahan berbagai macam antibiotik di mana selama beberapa
dekade belakang merupakan substansi yang kerap digunakan oleh peternak di berbagai belahan
pertumbuhan dalam pakan ternak, telah terjadinya peningkatan pendapatan peternak berkat
kemampuan senyawa tersebut mengkonversikan nutrisi dalam pakan secara efisien dan efektif.
Akan tetapi, pelarangan tersebut tidak menyeluruh hanya terbatas pada jenis antibiotik tertentu
5
misalnya avoparcin (Denmark), vancomycin (Jerman), spiramycin, tylosin, virginiamycin dan
chinoxalins (Uni Eropa). Hingga kini, hanya tersisa empat antibiotik yang masih diizinkan
Residu antibiotik berkaiatan erat dengan maktu habis antibiotik dalam sirkulasi darah, sehingga
diperlukan waktu henti pemberiah antibiotik. Waktu henti adalah kurun waktu dari saat pemberian
obat terakhir hingga ternak boleh dipotong atau produknya dapat dikonsumsi.Walaupun peternak
mengetahui adanya waktu henti obat, sebagian dari mereka tidak mematuhinya. Sekitar 50%
penyimpangan residu obat pada produk ternak disebabkan tidak dipatuhinya waktu henti
pemberian obat. Sejumlah 15,60% peternak di Australia tidak mematuhi ketentuan waktu henti
obat, sedangkan di Indonesia hanya 8,16% peternak sapi perah yang mematuhi waktu henti obat
dengan tidak menjual susu segar ke koperasi selama 2−5 hari setelah pengobatan. Pemakaian obat
yang dilakukan oleh peternak sendiri telah menyebabkan penyimpangan residu obat pada produk
ternak sebesar 63−65%. Keadaan ini kemungkinan besar berkaitan dengan dosis dan waktu henti
obat yang tidak diikuti. Di Australia, sekitar 35,40% pemakaian obat antimikroba tidak di-lakukan
secara tepat. Kesalahan semacam ini kemungkinan juga terjadi di Indonesia dengan persentase
yang jauh lebih tinggi. Hanya 20% peternak sapi perah di Jawa Barat mengetahui jenis obat yang
digunakan oleh petugas Dinas Peternakan atau koperasi. Dari 20% tersebut hanya 14,28%
peternak yang mengetahui adanya waktu henti obat, sedangkan yang mematuhi waktu henti obat
dengan tidak menjual susu ke koperasi selama 2−5 hari setelah pengobatan hanya 8,16%.
Waktu henti obat hewan sangat bervariasi, bergantung pada: 1) jenis obat, 2) spesies hewan, 3)
faktor genetik ternak, 4) iklim setempat, 5) cara pemberian, 6) dosis obat, 7) status kesehatan
hewan, 8) produk ternak yang dihasilkan, 9) batas toleransi residu obat, dan 10) formulasi obat.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya setiap perusahaan yang memproduksi obat hewan
mencantumkan keterangan secara jelas tentang waktu henti pemberian obat. Waktu henti
6
pemberian obat hewan yang tidak dipatuhi menyebabkan terjadinya residu obat hewan pada
produk ternak.
Persentase kejadian cemaran antibiotik pada susu cukup tinggi (lebih dari 50%), dan jenis
antibiotik yang paling sering mencemari susu adalah golongan penisilin dan tetrasiklin. Adanya
cemaran kloramfenikol pada susu, pada-hal obat tersebut dilarang digunakan pada hewan. Daging
dan hati ayam banyak pula yang tercemar residu antibiotik terutama golongan penisilin dan
tetrasiklin dan cemaran pada organ hati lebih tinggi dibanding pada daging, Pada daging dan hati
sapi juga dijumpai residu antibiotik dan hormon. Residu antibiotik pada susu diperkirakan sebagai
akibat pengobatan terhadap penyakit mastitis, karena prevalensi mastitis subklinis di Indonesia
sangat tinggi yaitu 87,10%. Keadaan ini diperkuat bahwa cukup banyak peternak sapi perah yang
mengobati ternaknya sendiri, sedangkan peternak yang memahami waktu henti obat sangat
sedikit. Kandungan residu obat yang melewati batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan
akan menyebabkan daging dan susu tersebut tidak aman dikonsumsi karena dapat menimbulkan
reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau mengakibatkan gangguan fisiologis
pada manusia. Penggunaan obat hewan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan
memperhatikan antara lain waktu henti dan kesesuaian dosis. Selain itu, penyimpanan obat hewan
juga harus mengikuti petunjuk yang ada. Namun demikian Yuningsih (2009) telah meneliti bahwa
Pada tahap praproduksi, penggunaan obat hewan merupakan suatu keharusan agar
pemakaian antibiotik terutama pada peternakan ayam pedaging dan petelur cenderung berlebihan
tanpa memperhatikan aturan pemakaian yang benar. Penggunaan obat hewan yang kurang tepat
ini kemungkinan berkaitan dengan pola pemasaran obat hewan di lapangan, di mana 33,30%
peternak ayam petelur skala kecil dan 30,80% peternak broiler skala kecil yang tidak mempunyai
dokter hewan, mendapat obat langsung dari distributor atau importir, sehingga dikhawatirkan
7
penggunaan obat-obatan tersebut tidak mengikuti aturan yang seharusnya hanya peternak besar
yang memiliki tenaga dokter hewan yang boleh berhubungan langsung dengan distributor atau
importir obat. Selain itu, peternak sering kurang memahami waktu henti (withdrawal time) suatu
obat hewan sehingga meng-akibatkan munculnya residu pada produk ternak. Hasil survei di
(terutama golongan antibiotik) pada daging ternak. Beberapa kasus gangguan terhadap resistensi
bakteri Campylobacter yang berkaitan dengan masalah residu antibiotik di Amerika Serikat juga
dilaporkan. Penilaian terhadap daging, susu, dan telur bergantung pada kadar dan jenis residu
yang ditemukan pada produk tersebut. Produk asal ternak yang mengandung residu obat di atas
BMR sebaiknya tidak dikonsumsi apalagi diekspor. Namun, pada kenyataannya residu obat
hewan pada daging dan telur ayam banyak yang di atas BMR.
Penggunaan obat hewan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan
memperhatikan antara lain waktu henti dan kesesuaian dosis. Selain itu, penyimpanan obat hewan
juga harus mengikuti petunjuk yang ada. Penggunaan pestisida dan bahan kimia lain untuk
sanitasi lingkungan (kandang) juga harus hati-hati agar tidak mengkontaminasi pakan atau sumber
METODE PENELITIAN
Penelitian menggunakan 60 sample daging sapi yang berasal dari 5 pasar kota yaitu di
Negara, Tabanan, Denpasar, Singaraja, dan Karangasem. Masing-masing pasar 12 sampel dengan
berat masing-masing 100 gram. Metode pengujian residu antibiotik dalam daging dilakukan
dengan metode tapis (sreening test) secara Bioassay di Laboratorium Balai Besar Veteriner
Denpasar.
Bahan dan alat yang digunakan antara lain kertas cakram diameter 8 mm, cawan petri
100x12 mm, tabung reaksi 7 ml, labu ukur 100 ml, tabung sentrifus 50 ml, Erlenmeyer 250 ml,
8
pipet volumetric 1 ml dan 5 ml, pipet graduasi 1 ml, dan 5 ml, dan botol media (roux’s bottle).
Alat lainnya adalah sentrifus, penangas air, lemari steril, homogenizer, autoklaf, lemari pendingin,
freezer, timbangan analitik, incubator, magnet pengaduk dan pHmeter. Adapun alat penunjang
meliputi pipet mikro 50-300 µl, jangka sorong, burner, ose, pinset, dan gunting. Prosedur kerja
adalah sebagai berikut : Membuat larutan baku pembanding tetrasiklin (sebagai stok) yaitu
melarutkan oksitetrasiklin hidroklorida kedalam air suling hingga konsentrasi 1000 µg/ml.
Selanjutnya membuat larutan baku pembanding penisilin dengan cara melarutkan natrium
penisilin dalam larutan dapar sehingga diperoleh kadar 1000 µg/ml. Selanjutnya disimpan dalam
refrigenerator.
Konsentrasi tetrasiklin dari konsentrasi 0,25; 0,50; 1,0; 2,0 dan 4,0 µg/ml sedangkan penisilin dari
konsentrasi 0,0025; 0,005; 0,01; 0,02; dan 0,04 IU/ml. Meneteskan larutan baku tersebut kedalam
kertas cakram sebanyak 75 µl dan dan larutan dapar fospat sebagai kontrol negatip, ditunggu
sampai terserap semua. Dimasukkan kedalam petri dan ditaruh dalam suhu kamar selama 1
sedangkan tetrasiklin pada 30 0C. Masing-masing selama 16 jam. Mengukur diameter hambatan
yang terbentuk. Membuat kurve linier yang menggambarkan hubungan antara konsentrasi
Daging seberat 10 gram dipotong kecil-kecil ditaruh dalam erlenmeyer ditambahkan larutan dapar
Di sentrifus 3000 rpm selama 10 menit dan diiambil supernatannya. Supernatan ini siap untuk
9
Pelaksanaan pengujian.
Menanam bakteri pada media agar dengan cara memipet 1 ml biakan bakteri dicampaurkan
kedalam meedia agar tersebut. Kemudian memipet campuran media agar dan bakteri sebanyak 8
ml. kedalam petridis, dimana setiap jenis antibiotic menggunakan tiga cawan petri. Dibiarkan
sampai membeku. Berikutnya meneteskan larutan baku pembanding dan larutan dapar ke masing-
masing kertas cakram sebanyak 75 µl sampai merata. Selanjutnya menaruh kertas cakram ke
dalam cawan petri dan diinkubasikan pada suhu 36 0C untuk tetrasiklin dan 55 0C untuk penisilin
selama 16 jam. Pembacaan hasil dengan cara mengukur diameter daerah hambatan yang terbentuk
di sekeliling kertas cakram. Hal yang sama juga dilakukan pada control positif dan control
negatif. Kontrol positif harus membentuk daerah hambatan sedangkan control negatif harus tidak
Hasil uji dari 60 sempel yang berasal dari Denpasar, Tabanan, Negara, Singaraja, dan
Karangasem hanya 3 sempel yang positif mengandung antibiotik. Positif tertrasiklin 2 sempel
(3,33%) dan positif penisilin 1 sempel (1,66%). Sehingga keseluruhan 4,99 % positif antibiotik.
Tabel 1. Hasil uji residu antibiotik dalam daging sapi bali yang berasal dari lima pasar di seluruh
bali
Jumlah sempel Positif
Asal daging Keterangan
(buah) Tetrasiklin Penisilin
Denpasar 12 0 1
Tabanan 12 1 0
Jumlah
Negara 12 2 1
keseluruhan
Singaraja 12 0 0
yang positif
Karangasem 12 0 0
4,99
Jumlah 60 3 2
% 3,33 % 1,66 %
Hasil positif 4,99 % menunjukkan bahwa kemungkinan besar daging yang dipasarkan di beberapa
pasar di Bali bukan berasal dari peternakan yang menggunakan antibiotik sebagai pemacu
pertumbuhan yang biasanya sering dilakukan oleh peternakan-peternakan modern atau peternakan
10
penggemukan. Ditinjau dari pengamatan di lapangan ternyata hasil ternak sapi yang dagingnya
dipasarkan di bali berasal dari peternakan tradisional atau peternak masyarakat yang tidak
antibiotik dapat dikarenakan oleh antara lain injeksi hewan saat sakit dan belum masa withdrawal
habis, hewan tersebut kemudian dijual dan disembelih. Jadi bukan karena penggunaan antibiotik
sebagai pemacu pertumbuhan. Namun demikian seyogianya hewan yang akan dipotong harus
bebas dari penggunaan antibiotik, sehingga masyarakat benar-benar terbebas dari residu
antibiotik.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa adanya atau positif
residu antibiotik pada daging yang dipasarkan di beberapa pasar di Denpasar, Tabanan, Negara,
Singaraja, dan Karangasem dapat disebabkan pengobatan hewan sebelun pemotongan. Hal in bisa
terjadi karena peternak menjual ternak sapinya sehabis pengobatan (injeksi antibiotik) dan
sebelum waktu habis antibiotik dalam tubuh (withdrawal time) hewan dijual atau dipotong. Jadi
kecil kemungkinan berasal dari penggemukan ternak yang menggunakan antibiotik sebagai
pemacu pertumbuhan.
UCAPAN TERIMAKASIH
Kami ucapkan terimakasih kepada LPPM Universitas Udayana atas pendanaan melalui
program HUPS (Hibah Unggulan Program Studi) tahun 2016, sehingga terlaksananya penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Australian Chicken MeatVederation INC (2005). Antibiotics Policy of the Australian Chicken
Meat Industry.
Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan Infovet. Monday, February 16, 2015.
11
Masrianto, Fakhrurrazi, Dan Azhari (2013). Uji Residu Antibiotik Pada Daging Sapi Yang
Dipasarkan Di Pasar Tradisional Kota Banda Aceh. Jurnal Medikal Veterinaria Vol. 7,
No. 1, Februari 2013. ISSN : 0853-1943 13.
Nur Imtihan, Nur (2010 ). Studi Tentang Residu Antibiotika Golongan Tetrasiklin pada Daging
Ayam Boiler di Wilayah Kotamadya Malang. Universitas Negeri Malang
Sarmina Sattar, Mohammad Mahmudul Hassan, S. K. M. Azizul Islam, Mahabub Alam, Md.
Shohel Al Faruk, Suchayan Chowdhury and A. K. M. Saifuddin (2014). Antibiotic
residues in broiler and layer meat in Chittagong district of Bangladesh. Veterinary
World, EISSN: 2231-0916, Vol.7/September-2014.
Shareef, A.M., Z. T. Jamel and K. M. Yonis (2009). Detection of antibiotic residues in stored
poultry products. Iraqi Journal of Veterinary Sciences, Vol. 23, Supplement I, 2009 (45-
48. Proceedings of the 5th Scientific Conference, College of Veterinary Medicine,
University of Mosul. Department of Veterinary Public Health, College of Veterinary
Medicine, University of Mosul, Mosul, Iraq.
Hall, HC.,V. S. St. John, R. S. Watson, L. J. Padmore, and S. M. Parris (2002). Antibiotic residue
surveillance at the Veterinary Services Laboratory. Ministry of Agriculture & Rural
Development, Veterinary Services Laboratory, The Pine, St. Michael, Barbados.
Yuningsih (2009) Keberadaan Residu Antibiotika Dalam Produk Peternakan (Susu Dan Daging).
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan 48. Balai Penelitian
Veteriner Jl. Re. Martadinata No. 30, P.O. Box. 151, Bogor 16114.
12
13