Anda di halaman 1dari 13

RESIDU ANTIBIOTIK DALAM DAGING SAPI BALI

DI BEBERAPA PASAR DI BALI


oleh
Siswanto1, I Nym. Sulabda2
1, dan 2. Laboratorium Fisiologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana, Denpasar, Bali
Email : siswanto@unud.ac.id

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan mengetahui ada tidaknya residu antibiotik golongan tetrasiklin dan
penisilin dalam daging sapi bali di beberapa pasar di Bali Indonesia. Pemakaian antibiotik sering
digunakan untuk menyembuhkan suatu infeksi pada hewan (misalnya sapi), atau sebagai pemacu
pertumbuhan. Bila antibiotik tersebut diberikan belum sampai waktu habis obat (withdrawal time) dan
hewan di potong untuk dikonsumsi, maka akan berdampak tidak baik bagi konsumen (kesehatan
manusia). Oleh karena itu sangat penting untuk dilakukan penelitian tentang residu antibiotik pada
daging sapi yang dipasarkan di beberapa pasar wilayah Bali. Penelitian ini menggunakan 60 sampel
daging berasal dari 5 pasar yang berbeda (Negara, Tabanan, Denpasar, Singaraja, dan
Karangasem). Setiap pasar diambil 12 sempel (masing-masing 100 gram) yang dibeli dari
pedagang yang berbeda. Pengujian residu antibiotik dalam daging dilakukan dengan metode uji
tapis (Bioassay atau screening test) dilakukan di Laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar.
Hasil menunjukkan hanya 3 sempel yang positif mengandung antibiotik yaitu positif tertrasiklin 2
sempel (3,33%) dan positif penisilin 1 sempel (1,66%). Sehingga keseluruhan 4,66 % positif
antibiotik.

Kata kunci : residu antibiotik, uji tapis, daging sapi bali.

RESIDUAL OF ANTIBIOTICS IN BEEF BALI CATTLE IN SOME MARKET IN BALI

SUMMARY

This study aims to determine residual tetracycline and penicillin antibiotics on beef bali cattle in
some markets in Bal,i Indonesia. The antibiotics commonly used to treat an infection in animals
(eg cattle), or growth promoters. When antibiotics are given yet until withdrawal time, and the
animal to be consumed, it will be risk to the consumer (human health). Therefore it is very
important to do research on antibiotic residues in beef in some market areas in Bali. This study
using 60 samples of meat come from 5 different markets (Negara, Tabanan, Denpasar, Singaraja,
and Karangasem). Every market is taken 12 sempel (each 100 g) were purchased from different
merchants. Screening tests (bioassay or screening test) used to determine antibiotic residues in
meat. Screening tests carried out in the Laboratory Center for Veterinary Denpasar. The results
showed that only three samples positive containing antibiotics which is positive tertrasiklin 2
samples (3.33%) and positive penicillin 1 sample (1.66%). So overall a positive 4.66% antibiotics.

Keywords: antibiotic residues, screening tests, beef bali cattle.

1
PENDAHULUAN

Latar Belakang.

Dalam bidang kesehatan hewan termasuk dalam bidang budi daya ternak misalnya

peternakan sapi potong (sapi penggemukan), antibiotik sangat penting untuk mengendalikan dan

atau membasmi bibit penyakit (bakteri). Sehingga antibiotik merupakan senjata yang ampuh bagi

peternak untuk menjaga dan meningkatkan produktivitasnya. Jenis antibiotik yang banyak

digunakan antara lain tetrasiklin (dan turunannya), penisilin (dan turunannya). Berdasarkan

Standar Nasional Indonesia (SNI No. 01-6366-2000) batas maksimum residu antibiotik dalam

makanan yang masih boleh dikonsumsi untuk antibiotik amoksisilin, ampisilin, dan kloramfenikol

adalah 0,01 μg/g dan batas maksimum residu antibiotik tetrasiklin adalah 0,1 μg/g. Sedangkan

Australia dalam polesenya daging yang dikonsumsi tidak boleh mengandung residu antibiotik

sama sekali.

Dilaporkan di majalah Infovet bahwa dari pengamatan di lapangan, pemakaian antibiotik

terutama pada peternakan ayam pedaging dan petelur cenderung berlebihan tanpa memperhatikan

aturan pemakaian yang benar. Daging dan hati ayam banyak pula yang tercemar residu antibiotik

terutama golongan penisilin dan tetrasiklin dan cemaran pada organ hati lebih tinggi dibanding

pada daging, Pada daging dan hati sapi juga dijumpai residu antibiotik dan hormon.

Keberadaan residu antibiotik dalam makanan asal hewan erat kaitannya dengan

penggunaan antibiotik untuk pencegahan dan pengobatan penyakit serta penggunaan sebagai

imbuhan pakan. Pencampuran bahan baku imbuhan pakan dalam ramuan yang dilakukan sendiri

di tempat peternakan yang kurang dapat dijamin ketepatan takarannya dapat menyebabkan residu

pada pangan asal hewan. Penggunaan antibiotik untuk meningkatkan berat badan juga sering

diakukan oleh peternak. Residu antibiotik pada produk-produk peternakan masing-masing pada

daging ayam; hati ayam; dan daging sapi masing-masing 4,25; 28,6; dan 78,8% mengandung

residu antibiotik tetrasiklin dan aminoglikosid (Masrianto, dkk., 2013). Menurut Murdiati et al.

2
(1998) setiap residu akan hilang dalam suatu produk peternakan dalam waktu seminggu setelah

pemberian terakhir.

Adanya residu antibiotik dalam daging bila dikonsumsi manusia akan berefek tidak baik

bagi kesehatan, karena akan muncul kekebalan bakteri terhadap antibiotik tersebut dan efeknya

akan muncul resistensi atau berkurangnya kekebalan manusia terhadap suatu penyakit. Residu

antibiotik dalam daging maupun organ dalam akan tetap berefek buruk walaupun sudah

mengalami pemananasan. Oleh karena bahayanya residu antibiotik dalam daging produk ternak

dan masih jarangnya laporan tentang kadar residu antibiotik dalam daging sapi di Bali, maka

sangat perlu dilakukan pengamatan tentang residu antibiotik pada daging sapi di Bali.

Tujuan dari pengamatan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam daging sapi yang dipasarkan

di beberapa pasar kota di sekitar Bali mengandung residu antibiotik atau tidak. Diharapkan dari

hasil pengamatan akan memberikan informasi terhadap masyarakat, sehingga masyarakat akan

lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi daging sapi.

Urgensi dari pengamatan ini adalah apabila didapat hasil yang positif yaitu terdapat residu

antibiotik dalam daging sapi maka harus dilakukan pemberian pengertian dan pendidikan pada

peternak sebagai penghasil daging yaitu pendidikan tentang tata cara dan aturan pemberian

antibiotik pada sapi penggemukan.

TINJAUAN PUSTAKA

Antibiotik

Antibiotik adalah zat yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri dan

yang terkait dengan mikroorganisme dan sangat penting dalam pengobatan manusia dan hewan.

Terdapat bermacam-macam jenis atau golongan antibiotik antara lain :

- golongan Penisilin, Polipeptida dan Sefalosporin, misalnya ampisilin, penisilin G bekerja

melalui Inhibitor sintesis dinding sel bakteri.

3
- golongan Quinolone, misalnya rifampisin, aktinomisin D, asam nalidiksat bekerja melalui

inhibitor transkripsi dan replikasi.

- golongan Makrolida, Aminoglikosida, dan Tetrasiklin, misalnya gentamisin, kloramfenikol,

kanamisin, streptomisin, tetrasiklin, oksitetrasiklin, eritromisin, dan azitromisin bekerja melalui

inhibitor sintesis protein.

- golongan ionomisin, valinomisin bekerja melalui inhibitor fungsi membran sel.

- golongan sulfa atau sulfonamida, misalnya oligomisin, tunikamisin.

- golongan antimetabolit, misalnya azaserine.

Kegunaan

Penggunaan antibiotik dalam bidang kesehatan hewan terbatas pada dua fungsi penting

yaitu sebagai agen terapi (yaitu diterapkan untuk mengobati gejala klinis dari infeksi bakteri) dan

sebagai agen profilaksis (yaitu diterapkan untuk hewan yang sehat dianggap beresiko infeksi

untuk mencegah penyakit yang terjadi). Kebijakan ini menetapkan prinsip-prinsip panduan untuk

industri daging untuk memastikan bahwa pengembangan resistensi antibiotik diminimalkan dan

daging tidak terkontaminasi dengan residu antibiotik. Oleh karena itu antibiotik tidak boleh

digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan, tetapi antibiotik hanya digunakan untuk perawatan,

terapi atau pencegahan terhadap penyakit serius. Antibiotik harus digunakan di bawah

pengawasan dokter hewan dan sesuai dengan praktik dokter hewan yang baik (Australian Chicken

Meat Federation Inc, 2005). Penggunaan antibiotika golongan tetrasiklin baik sebagai tindakan

pengobatan pencegahan penyakit maupun sebagai bahan makanan tambahan (food additive)

dalam makanan atau minuman ayam broiler memungkinkan terdapatnya residu antibiotika

golongan tetrasiklin pada daging ayam broiler. Penyalah gunaan antibiotik dalam bidang

peternakan penyedia daging dan telur adalah sering digunakannya antibiotik tidak hanya untuk

mencegah terinfeksinya hewan/ayam oleh penyakit bakterial, akan tetapi digunakan juga untuk

penambah berat badan.

4
Residu dan Bahayanya

Namun disayangkan penggunaan antibiotik berakibat buruk bagi ternak dikarenakan

resistensi ternak terhadap jenis-jenis mikro-organisme phatogen tertentu. Hal ini telah terjadi pada

peternakan unggas di North Carolina (Amerika Serikat) akibat pemberian antibiotik tertentu,

ternak resisten terhadap Enrofloxacin yang berfungsi untuk membasmi bakteri Escherichia coli.

Di bagian lain residu dari antibiotik akan terbawa dalam produk-produk ternak seperti daging,

telur dan susu dan akan berbahaya bagi konsumen yang mengkonsumsinya. Seperti dilaporkan

oleh Rusiana dengan meneliti 80 ekor ayam broiler di Jabotabek menemukan 85% daging ayam

broiler dan 37% hati ayam tercemar residu antibiotik tylosin, penicilin, oxytetracycline dan

kanamycin. Begitu juga Nur Imtihan dan Nur (2010 ) menemukan bahwa dalam daging ayam

yang dipasarkan di beberapa kota di Malam juga positif residu antibiotik tetrasiklin. Penggunaan

senyawa antibiotik dalam ransum ternak pun menjadi perdebatan sengit oleh para ilmuan akibat

efek buruk yang ditimbulkan tidak hanya bagi ternak tetapi juga bagi konsumen yang

mengkonsumsi produk ternak tersebut melalui residu yang ditinggalkan baik pada daging, susu

maupun telur. Beberapa negara tertentu telah membatasi penggunaan zat aditif tersebut dalam

pakan ternak seperti di Swedia tahun 1986, Denmark tahun 1995, Jerman tahun 1996 dan Swiss

tahun 1999. Selanjutnya pada 1 Januari 2006 Masyarakat Uni Eropa berdasar regulasi nomor

1831/2003 menetapkan tonggak pemusnahan berbagai macam antibiotik di mana selama beberapa

dekade belakang merupakan substansi yang kerap digunakan oleh peternak di berbagai belahan

dunia (Australian Chicken MeatVederation INC. 2005).

Tidak dapat dipungkiri sejak digunakannya antibiotik sebagai senyawa promotor

pertumbuhan dalam pakan ternak, telah terjadinya peningkatan pendapatan peternak berkat

kemampuan senyawa tersebut mengkonversikan nutrisi dalam pakan secara efisien dan efektif.

Akan tetapi, pelarangan tersebut tidak menyeluruh hanya terbatas pada jenis antibiotik tertentu

5
misalnya avoparcin (Denmark), vancomycin (Jerman), spiramycin, tylosin, virginiamycin dan

chinoxalins (Uni Eropa). Hingga kini, hanya tersisa empat antibiotik yang masih diizinkan

penggunaannya dalam ransum ternak pada masyarakat Eropa yaitu flavophospholipol,

avilamycin, monensin-Na dan salinomycin-Na (Australian Chicken MeatVederation INC., 2005).

Residu antibiotik berkaiatan erat dengan maktu habis antibiotik dalam sirkulasi darah, sehingga

diperlukan waktu henti pemberiah antibiotik. Waktu henti adalah kurun waktu dari saat pemberian

obat terakhir hingga ternak boleh dipotong atau produknya dapat dikonsumsi.Walaupun peternak

mengetahui adanya waktu henti obat, sebagian dari mereka tidak mematuhinya. Sekitar 50%

penyimpangan residu obat pada produk ternak disebabkan tidak dipatuhinya waktu henti

pemberian obat. Sejumlah 15,60% peternak di Australia tidak mematuhi ketentuan waktu henti

obat, sedangkan di Indonesia hanya 8,16% peternak sapi perah yang mematuhi waktu henti obat

dengan tidak menjual susu segar ke koperasi selama 2−5 hari setelah pengobatan. Pemakaian obat

yang dilakukan oleh peternak sendiri telah menyebabkan penyimpangan residu obat pada produk

ternak sebesar 63−65%. Keadaan ini kemungkinan besar berkaitan dengan dosis dan waktu henti

obat yang tidak diikuti. Di Australia, sekitar 35,40% pemakaian obat antimikroba tidak di-lakukan

secara tepat. Kesalahan semacam ini kemungkinan juga terjadi di Indonesia dengan persentase

yang jauh lebih tinggi. Hanya 20% peternak sapi perah di Jawa Barat mengetahui jenis obat yang

digunakan oleh petugas Dinas Peternakan atau koperasi. Dari 20% tersebut hanya 14,28%

peternak yang mengetahui adanya waktu henti obat, sedangkan yang mematuhi waktu henti obat

dengan tidak menjual susu ke koperasi selama 2−5 hari setelah pengobatan hanya 8,16%.

Waktu henti obat hewan sangat bervariasi, bergantung pada: 1) jenis obat, 2) spesies hewan, 3)

faktor genetik ternak, 4) iklim setempat, 5) cara pemberian, 6) dosis obat, 7) status kesehatan

hewan, 8) produk ternak yang dihasilkan, 9) batas toleransi residu obat, dan 10) formulasi obat.

Oleh karena itu, sudah sewajarnya setiap perusahaan yang memproduksi obat hewan

mencantumkan keterangan secara jelas tentang waktu henti pemberian obat. Waktu henti

6
pemberian obat hewan yang tidak dipatuhi menyebabkan terjadinya residu obat hewan pada

produk ternak.

Persentase kejadian cemaran antibiotik pada susu cukup tinggi (lebih dari 50%), dan jenis

antibiotik yang paling sering mencemari susu adalah golongan penisilin dan tetrasiklin. Adanya

cemaran kloramfenikol pada susu, pada-hal obat tersebut dilarang digunakan pada hewan. Daging

dan hati ayam banyak pula yang tercemar residu antibiotik terutama golongan penisilin dan

tetrasiklin dan cemaran pada organ hati lebih tinggi dibanding pada daging, Pada daging dan hati

sapi juga dijumpai residu antibiotik dan hormon. Residu antibiotik pada susu diperkirakan sebagai

akibat pengobatan terhadap penyakit mastitis, karena prevalensi mastitis subklinis di Indonesia

sangat tinggi yaitu 87,10%. Keadaan ini diperkuat bahwa cukup banyak peternak sapi perah yang

mengobati ternaknya sendiri, sedangkan peternak yang memahami waktu henti obat sangat

sedikit. Kandungan residu obat yang melewati batas maksimum residu (BMR) yang ditetapkan

akan menyebabkan daging dan susu tersebut tidak aman dikonsumsi karena dapat menimbulkan

reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba tertentu atau mengakibatkan gangguan fisiologis

pada manusia. Penggunaan obat hewan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan

memperhatikan antara lain waktu henti dan kesesuaian dosis. Selain itu, penyimpanan obat hewan

juga harus mengikuti petunjuk yang ada. Namun demikian Yuningsih (2009) telah meneliti bahwa

pada daging sapi relatif mengandung antibiotik di bawah BMR.

Pada tahap praproduksi, penggunaan obat hewan merupakan suatu keharusan agar

produktivitas ternak dapat dipertahankan atau ditingkatkan. Dari pengamatan di lapangan,

pemakaian antibiotik terutama pada peternakan ayam pedaging dan petelur cenderung berlebihan

tanpa memperhatikan aturan pemakaian yang benar. Penggunaan obat hewan yang kurang tepat

ini kemungkinan berkaitan dengan pola pemasaran obat hewan di lapangan, di mana 33,30%

peternak ayam petelur skala kecil dan 30,80% peternak broiler skala kecil yang tidak mempunyai

dokter hewan, mendapat obat langsung dari distributor atau importir, sehingga dikhawatirkan

7
penggunaan obat-obatan tersebut tidak mengikuti aturan yang seharusnya hanya peternak besar

yang memiliki tenaga dokter hewan yang boleh berhubungan langsung dengan distributor atau

importir obat. Selain itu, peternak sering kurang memahami waktu henti (withdrawal time) suatu

obat hewan sehingga meng-akibatkan munculnya residu pada produk ternak. Hasil survei di

Amerika menunjukkan sekitar 77 % responden mengkhawatirkan masalah residu obat-obatan

(terutama golongan antibiotik) pada daging ternak. Beberapa kasus gangguan terhadap resistensi

bakteri Campylobacter yang berkaitan dengan masalah residu antibiotik di Amerika Serikat juga

dilaporkan. Penilaian terhadap daging, susu, dan telur bergantung pada kadar dan jenis residu

yang ditemukan pada produk tersebut. Produk asal ternak yang mengandung residu obat di atas

BMR sebaiknya tidak dikonsumsi apalagi diekspor. Namun, pada kenyataannya residu obat

hewan pada daging dan telur ayam banyak yang di atas BMR.

Pencegahan Dan Penanggulangan.

Penggunaan obat hewan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan

memperhatikan antara lain waktu henti dan kesesuaian dosis. Selain itu, penyimpanan obat hewan

juga harus mengikuti petunjuk yang ada. Penggunaan pestisida dan bahan kimia lain untuk

sanitasi lingkungan (kandang) juga harus hati-hati agar tidak mengkontaminasi pakan atau sumber

air minum (Balitvet)

METODE PENELITIAN

Penelitian menggunakan 60 sample daging sapi yang berasal dari 5 pasar kota yaitu di

Negara, Tabanan, Denpasar, Singaraja, dan Karangasem. Masing-masing pasar 12 sampel dengan

berat masing-masing 100 gram. Metode pengujian residu antibiotik dalam daging dilakukan

dengan metode tapis (sreening test) secara Bioassay di Laboratorium Balai Besar Veteriner

Denpasar.

Bahan dan alat yang digunakan antara lain kertas cakram diameter 8 mm, cawan petri

100x12 mm, tabung reaksi 7 ml, labu ukur 100 ml, tabung sentrifus 50 ml, Erlenmeyer 250 ml,

8
pipet volumetric 1 ml dan 5 ml, pipet graduasi 1 ml, dan 5 ml, dan botol media (roux’s bottle).

Alat lainnya adalah sentrifus, penangas air, lemari steril, homogenizer, autoklaf, lemari pendingin,

freezer, timbangan analitik, incubator, magnet pengaduk dan pHmeter. Adapun alat penunjang

meliputi pipet mikro 50-300 µl, jangka sorong, burner, ose, pinset, dan gunting. Prosedur kerja

adalah sebagai berikut : Membuat larutan baku pembanding tetrasiklin (sebagai stok) yaitu

melarutkan oksitetrasiklin hidroklorida kedalam air suling hingga konsentrasi 1000 µg/ml.

Selanjutnya membuat larutan baku pembanding penisilin dengan cara melarutkan natrium

penisilin dalam larutan dapar sehingga diperoleh kadar 1000 µg/ml. Selanjutnya disimpan dalam

refrigenerator.

Membuat seri konsentrasi tertrasiklin dan penisilin.

Konsentrasi tetrasiklin dari konsentrasi 0,25; 0,50; 1,0; 2,0 dan 4,0 µg/ml sedangkan penisilin dari

konsentrasi 0,0025; 0,005; 0,01; 0,02; dan 0,04 IU/ml. Meneteskan larutan baku tersebut kedalam

kertas cakram sebanyak 75 µl dan dan larutan dapar fospat sebagai kontrol negatip, ditunggu

sampai terserap semua. Dimasukkan kedalam petri dan ditaruh dalam suhu kamar selama 1

sampai 2 jam. Selanjutnya penisilin dimasukkan ke dalam incubator pada temperatur 55 0C

sedangkan tetrasiklin pada 30 0C. Masing-masing selama 16 jam. Mengukur diameter hambatan

yang terbentuk. Membuat kurve linier yang menggambarkan hubungan antara konsentrasi

antibiotic dengan diameter daerah hambatan secara manual.

Persiapan contoh (sempel).

Daging seberat 10 gram dipotong kecil-kecil ditaruh dalam erlenmeyer ditambahkan larutan dapar

sebanyak 20 ml, kemudian dihomogenkan menggunakan homogenizer.

Di sentrifus 3000 rpm selama 10 menit dan diiambil supernatannya. Supernatan ini siap untuk

digunakan sebagai larutan contoh uji.

9
Pelaksanaan pengujian.

Menanam bakteri pada media agar dengan cara memipet 1 ml biakan bakteri dicampaurkan

kedalam meedia agar tersebut. Kemudian memipet campuran media agar dan bakteri sebanyak 8

ml. kedalam petridis, dimana setiap jenis antibiotic menggunakan tiga cawan petri. Dibiarkan

sampai membeku. Berikutnya meneteskan larutan baku pembanding dan larutan dapar ke masing-

masing kertas cakram sebanyak 75 µl sampai merata. Selanjutnya menaruh kertas cakram ke

dalam cawan petri dan diinkubasikan pada suhu 36 0C untuk tetrasiklin dan 55 0C untuk penisilin

selama 16 jam. Pembacaan hasil dengan cara mengukur diameter daerah hambatan yang terbentuk

di sekeliling kertas cakram. Hal yang sama juga dilakukan pada control positif dan control

negatif. Kontrol positif harus membentuk daerah hambatan sedangkan control negatif harus tidak

membentuk daerah hambatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil uji dari 60 sempel yang berasal dari Denpasar, Tabanan, Negara, Singaraja, dan

Karangasem hanya 3 sempel yang positif mengandung antibiotik. Positif tertrasiklin 2 sempel

(3,33%) dan positif penisilin 1 sempel (1,66%). Sehingga keseluruhan 4,99 % positif antibiotik.

Tabel 1. Hasil uji residu antibiotik dalam daging sapi bali yang berasal dari lima pasar di seluruh
bali
Jumlah sempel Positif
Asal daging Keterangan
(buah) Tetrasiklin Penisilin
Denpasar 12 0 1
Tabanan 12 1 0
Jumlah
Negara 12 2 1
keseluruhan
Singaraja 12 0 0
yang positif
Karangasem 12 0 0
4,99
Jumlah 60 3 2
% 3,33 % 1,66 %

Hasil positif 4,99 % menunjukkan bahwa kemungkinan besar daging yang dipasarkan di beberapa

pasar di Bali bukan berasal dari peternakan yang menggunakan antibiotik sebagai pemacu

pertumbuhan yang biasanya sering dilakukan oleh peternakan-peternakan modern atau peternakan

10
penggemukan. Ditinjau dari pengamatan di lapangan ternyata hasil ternak sapi yang dagingnya

dipasarkan di bali berasal dari peternakan tradisional atau peternak masyarakat yang tidak

menggunakan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan. Didapatkannya 4,99% positif residu

antibiotik dapat dikarenakan oleh antara lain injeksi hewan saat sakit dan belum masa withdrawal

habis, hewan tersebut kemudian dijual dan disembelih. Jadi bukan karena penggunaan antibiotik

sebagai pemacu pertumbuhan. Namun demikian seyogianya hewan yang akan dipotong harus

bebas dari penggunaan antibiotik, sehingga masyarakat benar-benar terbebas dari residu

antibiotik.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa adanya atau positif

residu antibiotik pada daging yang dipasarkan di beberapa pasar di Denpasar, Tabanan, Negara,

Singaraja, dan Karangasem dapat disebabkan pengobatan hewan sebelun pemotongan. Hal in bisa

terjadi karena peternak menjual ternak sapinya sehabis pengobatan (injeksi antibiotik) dan

sebelum waktu habis antibiotik dalam tubuh (withdrawal time) hewan dijual atau dipotong. Jadi

kecil kemungkinan berasal dari penggemukan ternak yang menggunakan antibiotik sebagai

pemacu pertumbuhan.

UCAPAN TERIMAKASIH

Kami ucapkan terimakasih kepada LPPM Universitas Udayana atas pendanaan melalui

program HUPS (Hibah Unggulan Program Studi) tahun 2016, sehingga terlaksananya penelitian

ini dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Australian Chicken MeatVederation INC (2005). Antibiotics Policy of the Australian Chicken
Meat Industry.

Majalah Peternakan dan Kesehatan Hewan Infovet. Monday, February 16, 2015.

11
Masrianto, Fakhrurrazi, Dan Azhari (2013). Uji Residu Antibiotik Pada Daging Sapi Yang
Dipasarkan Di Pasar Tradisional Kota Banda Aceh. Jurnal Medikal Veterinaria Vol. 7,
No. 1, Februari 2013. ISSN : 0853-1943 13.

Nur Imtihan, Nur (2010 ). Studi Tentang Residu Antibiotika Golongan Tetrasiklin pada Daging
Ayam Boiler di Wilayah Kotamadya Malang. Universitas Negeri Malang

Sarmina Sattar, Mohammad Mahmudul Hassan, S. K. M. Azizul Islam, Mahabub Alam, Md.
Shohel Al Faruk, Suchayan Chowdhury and A. K. M. Saifuddin (2014). Antibiotic
residues in broiler and layer meat in Chittagong district of Bangladesh. Veterinary
World, EISSN: 2231-0916, Vol.7/September-2014.

Shareef, A.M., Z. T. Jamel and K. M. Yonis (2009). Detection of antibiotic residues in stored
poultry products. Iraqi Journal of Veterinary Sciences, Vol. 23, Supplement I, 2009 (45-
48. Proceedings of the 5th Scientific Conference, College of Veterinary Medicine,
University of Mosul. Department of Veterinary Public Health, College of Veterinary
Medicine, University of Mosul, Mosul, Iraq.

Alexander Pavlov L. Lashev, I. Vachin, V. Rusev Residues Of Antimicrobial Drugs In Chicken


Meat And Offals 92008). Trakia Journal of Sciences, Vol. 6, Suppl. 1, pp 23-25, 2008.
Faculty of Veterinary Medicine, Trakia University, Stara Zagora

Australian Chicken Meat Industry Version 2. 26 October 2005.

Hall, HC.,V. S. St. John, R. S. Watson, L. J. Padmore, and S. M. Parris (2002). Antibiotic residue
surveillance at the Veterinary Services Laboratory. Ministry of Agriculture & Rural
Development, Veterinary Services Laboratory, The Pine, St. Michael, Barbados.

Infovet (2011). Antibiotik Dalam Pakan Ternak. Edisi 168 Juli

Yuningsih (2009) Keberadaan Residu Antibiotika Dalam Produk Peternakan (Susu Dan Daging).
Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan 48. Balai Penelitian
Veteriner Jl. Re. Martadinata No. 30, P.O. Box. 151, Bogor 16114.

12
13

Anda mungkin juga menyukai