Anda di halaman 1dari 9

PROSES PRAPRODUKSI SEBAGAI FAKTOR

PENTING DALAM MENGHASILKAN PRODUK


TERNAK YANG AMAN UNTUK MANUSIA

Sjamsul Bahri, E. Masbulan, dan A. Kusumaningsih

Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114

ABSTRAK
Pangan asal ternak sangat dibutuhkan untuk menunjang kehidupan dan kualitas hidup manusia, sekaligus sebagai
komoditas dagang. Oleh karena itu, produk peternakan dituntut memiliki mutu tinggi agar berdaya saing serta aman
dikonsumsi. Makalah ini menyajikan data dan informasi mengenai berbagai cemaran dan residu senyawa asing pada
produk peternakan di Indonesia, serta mengulas berbagai faktor yang terkait dengan rantai penyediaan pangan dan
sistem keamanan produk peternakan. Dari bahasan ini diketahui bahwa penggunaan obat hewan, terutama yang
dicampur dalam pakan sudah sangat meluas dan cenderung tidak mengikuti ketentuan. Sementara itu berbagai residu
(antibiotik, preparat sulfa, mikotoksin, hormon, dan pestisida) ditemukan pada produk ternak seperti susu, telur,
daging, dan organ hati ternak. Pakan, penyakit ternak, obat hewan, pengawasan dan manajemen pada proses
praproduksi memegang peranan penting dalam menghasilkan produk ternak yang bermutu tinggi dan aman
dikonsumsi. Pengetahuan dan kesadaran peternak (produsen) untuk menghasilkan produk peternakan yang bermutu,
bebas dari penyakit dan cemaran atau residu perlu ditingkatkan. Penerapan HACCP (hazard critical controle point)
pada proses praproduksi diyakini dapat menghasilkan produk ternak yang bermutu dan aman untuk manusia.
Kata kunci: Pemeliharaan ternak, produk ternak, residu, kesehatan

ABSTRACT
Praproduction process as an important factor in producing livestock products for human health

Food originally from livestock are very important for human live and quality of human being, more over as trade
commodity. To achieve these, livestock products must have a good quality, free of animal diseases or residues, safe
for human consumption, and have a high competition in global market. This paper present some information on
residues at livestock products and factors involved in that process of the whole food chain in Indonesia. The data
showed that animal medicine (especially antibiotics, feed additive, and feed supplement) is widely used by farmers
in incorrect doses. A high level of some residues (e.g. antibiotics, sulpha preparation, mycotoxins, hormones, and
pesticides) were also found in the products, including milk, eggs, meat, and liver. So it is very important to control
and manage all stage of the food chain, rather than food products alone. A good quality of training and extension
in this field for farmers or producers should be developed. Application of hazard analysis of critical control points
(HACCP) in every steps of the whole food chain process will give a good quality of livestock products and safe for
human consumption.
Keywords: Animal husbandry, animal products, residues, health

P angan asal ternak sangat dibutuhkan


manusia sebagai sumber protein.
Protein hewani menjadi sangat penting
apabila tidak aman. Oleh karena itu,
keamanan pangan asal ternak merupa-
kan persyaratan mutlak (Winarno 1996).
keamanan pangan asal ternak selalu
merupakan isu aktual yang perlu men-
dapat perhatian dari produsen, aparat,
karena mengandung asam-asam amino Pentingnya keamanan pangan ini konsumen, dan para penentu kebijakan,
yang mendekati susunan asam amino sejalan dengan semakin baiknya ke- karena selain berkaitan dengan kesehat-
yang dibutuhkan manusia sehingga akan sadaran masyarakat akan pangan asal an masyarakat juga mempunyai dampak
lebih mudah dicerna dan lebih efisien ternak yang berkualitas, artinya selain ekonomi pada perdagangan lokal, regio-
pemanfaatannya (Institut Pertanian nilai gizinya tinggi, produk tersebut aman nal maupun global.
Bogor 1982). Namun demikian, pangan dan bebas dari cemaran mikroba, bahan Pada akhir tahun 1960-an, perhatian
asal ternak akan menjadi tidak berguna kimia atau cemaran yang dapat meng- masyarakat dunia terhadap berbagai
dan membahayakan kesehatan manusia ganggu kesehatan. Oleh karena itu, residu senyawa asing (xenobiotics) pada

Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 27


bahan pangan asal ternak masih sangat yang dihasilkan. Faktor-faktor tersebut hambatan dalam perdagangan nasional,
kurang, karena pada saat itu perhatian adalah tanah, air, udara, bahan kimia, regional maupun global. Kasus penyakit
masyarakat masih terpusat kepada obat hewan, pakan, dan penyakit ternak antraks pada burung unta di Purwakarta,
masalah residu pestisida pada buah- (Gambar 1). Jawa Barat pada akhir tahun 1999 telah
buahan dan sayuran. Namun, setelah Faktor lingkungan (tanah, air, udara) menyebabkan 34 orang yang meng-
terungkap kandungan senyawa DDT, di mana ternak dipelihara dapat mem- konsumsi daging tercemar antraks ter-
dieldrin, tetrasiklin, hormon, dan obat- pengaruhi keamanan ternak dan produk tular penyakit tersebut (Hardjoutomo et
obatan lain pada produk ternak, produk yang dihasilkan. Tanah dan sumber air al. 2000; Widarso et al. 2000). Demikian
asal ternak mulai mendapat perhatian yang tercemar mikroba patogen seperti juga dengan kasus penyakit antraks
khusus (Bahri 1994). E. coli, Salmonella, antraks dan Clos- pada manusia di Kabupaten Bogor,
Seiring dengan peningkatan kualitas tridium maupun logam berat atau disebabkan mengkonsumsi daging domba
hidup dan kehidupan, maka pembangun- senyawa toksik lainnya, dapat ber- yang terserang antraks (Noor et al.
an peternakan tidak hanya dituntut untuk pengaruh terhadap ternak dan keamanan 2001; Pusat Penelitian dan Pengem-
menyediakan produk ternak dalam jumlah produk yang dihasilkan. bangan Peternakan 2004). Hal ini di-
yang mencukupi, tetapi juga produk Pestisida dan bahan kimia lain yang karenakan produk ternak yang dihasilkan
tersebut harus berkualitas dan aman digunakan dalam pemeliharaan ternak ternak penderita antraks menjadi tidak
bagi konsumen. Keadaan ini semakin dapat mengkontaminasi sumber pakan, aman, baik bagi manusia maupun ling-
mendesak dengan adanya UU No. 8 tahun air minum, kandang, dan lingkung- kungan budi daya ternak. Demikian
1998 tentang perlindungan konsumen. an sekitarnya sehingga dapat mem- halnya dengan kasus penyakit BSE (sapi
Keberadaan residu obat hewan golongan pengaruhi kesehatan ternak maupun gila) di Inggris dan beberapa negara
antibiotik dan sulfa, hormon, dan senyawa produknya. Cemaran pestisida (golongan Eropa lainnya, telah menyebabkan daging
mikotoksin pada produk ternak seperti organokhlorin dan organofosfat) pada sapi tersebut menjadi tidak aman di-
susu, telur, dan daging telah dilaporkan daging ayam, susu sapi, daging dan konsumsi manusia (Darminto dan Bahri
di Indonesia (Maryam et al. 1995; Dewi lemak sapi asal Jawa Barat telah dilapor- 1996: Sitepu 2000).
et al. 1997; Widiastuti et al. 2000; 2004a). kan oleh Murdiati et al. (1998) serta
Untuk mendapatkan produk ternak Indraningsih dan Sani (2004) seperti
yang aman bagi manusia harus dimulai tercantum pada Tabel 1. PERAN OBAT HEWAN
dari farm (proses praproduksi) sampai DALAM KEAMANAN
penanganan pascaproduksinya. Pada Kontaminasi oleh Penyakit PRODUK TERNAK
makalah ini dibahas keamanan pangan Hewan Menular
asal ternak dengan fokus pada proses Pada tahap praproduksi, penggunaan
praproduksi (pemeliharaan ternak di Status penyakit hewan menular atau obat hewan merupakan suatu keharusan
peternakan) karena proses tersebut penyakit zoonosis seperti antraks, virus agar produktivitas ternak dapat diper-
merupakan bagian penting dalam upaya nipah, cystisercosis, dan mad cow (sapi tahankan atau ditingkatkan. Dari peng-
menghasilkan produk ternak yang aman gila) akan mempengaruhi kesehatan ter- amatan di lapang, pemakaian antibiotik
dikonsumsi. Penulisan makalah ini nak maupun keamanan produknya. terutama pada peternakan ayam pedaging
bertujuan untuk mengingatkan kembali Penyakit ini bahkan dapat menjadi dan petelur cenderung berlebihan tanpa
semua pihak, terutama pelaku agri-
bisnis peternakan di Indonesia agar
menghasilkan pangan asal ternak yang
berdaya saing tinggi dan aman di-
konsumsi. Penyakit ternak
Bahan kimia Tanah

s
FAKTOR-FAKTOR PENTING
s

UNTUK MENGHASILKAN Proses Praproduksi


PRODUK TERNAK YANG Obat hewan (Pemeliharaan) di Air
s

Peternakan
AMAN DAN BERMUTU
s

Kontaminasi Produk dari


Lingkungan Pakan/tanaman
s
Udara
Produk ternak
Proses praproduksi berperan penting (telur, daging, susu)
dalam menghasilkan produk ternak yang
aman dan bermutu untuk konsumsi
manusia. Dalam proses praproduksi ini,
berbagai faktor akan mempengaruhi Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi ternak dan keamanan produk ternak
kehidupan ternak dan keamanan produk pada proses praproduksi (pemeliharaan) di peternakan.

28 Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005


bahwa pemakaian obat yang dilakukan
Tabel 1. Cemaran berbagai senyawa toksik (mikotoksin dan pestisida) pada oleh peternak sendiri telah menyebabkan
susu, telur, daging, dan hati ayam serta daging dan hati sapi di penyimpangan residu obat pada produk
Jawa. ternak sebesar 63−65%. Keadaan ini
kemungkinan besar berkaitan dengan
Jenis bahan Senyawa Kadar rata-rata Sumber
dosis dan waktu henti obat yang tidak
pangan (N) toksik (ppb) diikuti. Di Australia, sekitar 35,40%
pemakaian obat antimikroba tidak di-
Susu, Boyolali (25) AFM1 1,69 Maryam et al. (1993)
lakukan secara tepat (Spence 1993).
Susu, Bogor (12) AFM1 0,04–0,17 Bahri et al. (1994)
Telur ayam buras, Ro 1,04 Maryam et al. (1994) Kesalahan semacam ini kemungkinan
Blitar (20) juga terjadi di Indonesia dengan per-
Telur itik, Blitar (10) AFB1 0,37 Maryam et al. (1994) sentase yang jauh lebih tinggi.
Ro 1,50 Maryam et al. (1994) Kusumaningsih et al. (1996) menya-
Hati ayam broiler, AFM1 12,07 Maryam (1996)
takan bahwa hanya 20% peternak sapi
Jawa Barat (31) Ro 1,54 Maryam (1996)
Telur ayam ras, Bandung AFM1 0,123 Maryam et al. (1995) perah di Jawa Barat mengetahui jenis
(20) Ro 0,147 Maryam et al. (1995) obat yang digunakan oleh petugas Dinas
Daging ayam broiler, AFM1 7,36 Maryam (1996) Peternakan atau koperasi. Dari 20%
Jawa Barat (31) Ro 0,34 Maryam (1996) tersebut hanya 14,28% peternak yang
Daging sapi, Jawa AFB1 0,456−1,139 Widiastuti (2000)
mengetahui adanya waktu henti obat,
Barat (30)
Hati sapi, Jawa Barat (20) AFB1 0,33–1,44 Widiastuti (2000) sedangkan yang mematuhi waktu henti
Daging ayam, Jawa Lindane 38 (62%)* Murdiati et al. (1998) obat dengan tidak menjual susu ke
Barat (61) Aldrin 18 (29%)* Murdiati et al. (1998) koperasi selama 2−5 hari setelah peng-
Endosulfan 15 (25%)* Murdiati et al. (1998) obatan hanya 8,16%.
DDT 20 (33%)* Murdiati et al. (1998)
Waktu henti obat hewan sangat
Diazinon 3 (5%)* Murdiati et al. (1998)
Heptachlor 37 (61%)* Murdiati et al. (1998) bervariasi, bergantung pada: 1) jenis obat,
Susu sapi, Jawa Barat (37) AFM1 0,13 Widiastuti et al. (2004a) 2) spesies hewan, 3) faktor genetik ternak,
Susu, Pengalengan (25) OC 20,50 Indraningsih dan Sani (2004) 4) iklim setempat, 5) cara pemberian, 6)
OP 50,10 dosis obat, 7) status kesehatan hewan, 8)
Daging sapi, Bogor (44) OC 19,60 Indraningsih dan Sani (2004)
produk ternak yang dihasilkan, 9) batas
OP 219,90
Hati sapi, Bogor (44) OC 23,60 Indraningsih dan Sani (2004) toleransi residu obat, dan 10) formulasi
OP 452,90 obat. Oleh karena itu, sudah sewajarnya
Lemak sapi, Bogor (44) OC 0,70 Indraningsih dan Sani (2004) setiap perusahaan yang memproduksi
OP 619,90 obat hewan mencantumkan keterangan
secara jelas tentang waktu henti
AFB1= aflatoksin B1, OC = organoklorin, Ro = aflatoksikol, OP = organofosfat, AFM1 =
aflatoksin M1. pemberian obat.
*Jumlah dan persentase positif dengan kadar masih berada di bawah BMR. Waktu henti pemberian obat hewan
yang tidak dipatuhi menyebabkan
terjadinya residu obat hewan pada pro-
duk ternak (Bahri et al. 1992; Murdiati et
memperhatikan aturan pemakaian yang et al. 1993; 2000). Waktu henti adalah al. 1998; INIANSREDEF 1999; Widiastuti
benar (Bahri et al. 2000). Penggunaan obat kurun waktu dari saat pemberian obat et al. (2004b). Data pada Tabel 2 dan 3
hewan yang kurang tepat ini kemungkin- terakhir hingga ternak boleh dipotong menunjukkan bahwa persentase kejadian
an berkaitan dengan pola pemasaran atau produknya dapat dikonsumsi. cemaran antibiotik pada susu cukup
obat hewan di lapangan, di mana 33,30% Herrick (1993) dan Spence (1993) me- tinggi (lebih dari 50%), dan jenis anti-
peternak ayam petelur skala kecil dan laporkan bahwa walaupun peternak biotik yang paling sering mencemari
30,80% peternak broiler skala kecil yang mengetahui adanya waktu henti obat, susu adalah golongan penisilin dan
tidak mempunyai dokter hewan, mendapat sebagian dari mereka tidak mematuhinya. tetrasiklin. Murdiati dan Widiastuti
obat langsung dari distributor atau Herrick (1993) melaporkan bahwa (2003) juga mengungkapkan adanya
importir, sehingga dikhawatirkan peng- sekitar 50% penyimpangan residu obat cemaran kloramfenikol pada susu, pada-
gunaan obat-obatan tersebut tidak pada produk ternak disebabkan tidak hal obat tersebut dilarang digunakan
mengikuti aturan yang benar (Kusuma- dipatuhinya waktu henti pemberian obat. pada hewan. Daging dan hati ayam
ningsih et al. 1997). Seharusnya hanya Menurut Spence (1993), 15,60% peternak banyak pula yang tercemar residu anti-
peternak besar yang memiliki tenaga di Australia tidak mematuhi ketentuan biotik terutama golongan penisilin dan
dokter hewan yang boleh berhubungan waktu henti obat, sedangkan di Indonesia tetrasiklin dan cemaran pada organ hati
langsung dengan distributor atau importir hanya 8,16% peternak sapi perah yang lebih tinggi dibanding pada daging,
obat. Selain itu, peternak sering kurang mematuhi waktu henti obat dengan Pada daging dan hati sapi juga dijumpai
memahami waktu henti (withdrawal tidak menjual susu segar ke koperasi residu antibiotik dan hormon.
time) suatu obat hewan sehingga meng- selama 2−5 hari setelah pengobatan Residu antibiotik pada susu diper-
akibatkan munculnya residu pada produk (Bahri et al. 1993; Kusumaningsih et al. kirakan sebagai akibat pengobatan
ternak (Kusumaningsih et al. 1996; Bahri 1996). Herrick (1993) juga melaporkan terhadap penyakit mastitis, karena

Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 29


Tabel 2. Residu obat hewan dan hormon pada produk ternak asal beberapa daerah di Jawa dan Bali.

Produk ternak Jumlah Persen Jenis residu Sumber


dan asalnya sampel positif (obat/hormon)

Susu segar (Jawa Tengah) 91 5,50 Tetrasiklin Bahri et al. (1992)


91 63,70 Khlortetrasiklin Bahri et al. (1992)
91 70,30 Oksitetrasiklin Bahri et al. (1992)
Susu pasteurisasi 206 32,50 Penisilin Sudarwanto et al. (1992)
Susu segar 22 59,10 Penisilin Sudarwanto et al. (1992)
Daging ayam (Jawa Timur) 60 13,20 Antibiotik Hartati et al. (1993)
Hati ayam (Jawa Timur) 40 82,50 Antibiotik Hartati et al. (1993)
Hati ayam kampung (Jawa Timur) 30 76,70 Oksitetrasiklin Darsono (1996)
Hati broiler (Jawa Timur) 30 83,33 Oksitetrasiklin Darsono (1996)
Daging ayam (Bali) 50 8 Sulfa Dewi et al. (1997)
Telur ayam (Bali) 50 38 Sulfa Dewi et al. (1997)
Daging ayam (Jawa Barat) 93 70 Oksitetrasiklin Murdiati et al. (1998)
93 30 Khlortetrasiklin Murdiati et al. (1998)
Daging sapi (Jakarta) 49 16,30 Penisilin-G Yuningsih et al. (2000)
Daging sapi impor (Jakarta) 34 58,80 17-β Trenbolone Widiastuti et al. (2000)
Hati sapi impor (Jakarta) 16 37,50 17-β Trenbolone Widiastuti et al. (2000)
Susu sapi (Jawa Barat) 29 20,70 Kloramfenikol Murdiati dan Widiastuti (2003)
Daging ayam (Jawa Barat) 25 8 Siprofloksasin Widiastuti et al. (2004b)
25 28 Enrofloksasin
Hati ayam (Jawa Barat) 10 10 Siprofloksasin Widiastuti et al. (2004b)
10 20 Enrofloksasin

prevalensi mastitis subklinis di Indonesia


Tabel 3. Persentase residu antibiotik pada susu, daging sapi, hati sapi, daging sangat tinggi yaitu 87,10% (Sudarwanto
ayam, dan hati ayam dari berbagai sumber di Jawa, Bali, dan 1995). Keadaan ini diperkuat oleh
Lampung. Kusumaningsih et al. (1996) yang menya-
takan bahwa cukup banyak peternak sapi
Persentase sampel positif perah yang mengobati ternaknya sendiri,
Produk/ Sumber/
sampel sampel Antibiotik Penisilin Makrolida Amino Tetra-
sedangkan peternak yang memahami
keseluruhan glikosida siklin waktu henti obat sangat sedikit.
Kandungan residu obat yang me-
Susu (24) Peternak (10) 63,60 18,20 18,20 18,20 54,50 lewati batas maksimum residu (BMR)
Koperasi (11) 63,60 54,50 18,20 0 54,50 yang ditetapkan akan menyebabkan
Pengolahan susu (3) 50 50 50 0 50
Total (24) 62,50 37,50 20,80 8,30 54,20
daging dan susu tersebut tidak aman
Daging RPH (16) 87,50 87,50 0 0 0 dikonsumsi karena dapat menimbulkan
sapi (56) Pasar tradisional (12) 100 100 0 0 8,30 reaksi alergis, keracunan, resistensi
Supermarket (20) 100 100 18,80 0 18,80 mikroba tertentu atau mengakibatkan
Distributor (8) 100 100 0 0 0 gangguan fisiologis pada manusia. Hasil
Total (56) 96,50 96,50 5,30 0 7
Hati sapi RPH (22) 100 100 4,50 0 0
survei di Amerika menunjukkan sekitar
(48) Pasar tradisional (10) 100 100 11,10 0 22,20 77% responden mengkhawatirkan ma-
Supermarket (8) 100 100 12,50 0 12,50 salah residu obat-obatan (terutama
Distributor (8) 87,50 87,50 0 0 0 golongan antibiotik) pada daging ternak
Total (48) 97,90 97,90 6,40 0 6,40 (Resurreccion dan Galvez 1999). Beberapa
Daging RPU (16) 25 18,80 0 0 0
ayam (40) Pasar tradisional (12) 25 25 0 0 0
kasus gangguan terhadap resistensi
Supermarket (12) 41,70 41,70 0 0 0 bakteri Campylobacter yang berkaitan
Total (40) 30 27,50 0 0 0 dengan masalah residu antibiotik di
Hati ayam RPU (15) 100 100 6,70 0 13,30 Amerika Serikat dilaporkan oleh Hurd et
(32) Pasar tradisional (10) 100 100 10 30 10 al. (2004).
Supermarket (7) 100 100 0 14,30 0
Total (32) 100 100 6,30 12,50 9,40
Penilaian terhadap daging, susu, dan
telur bergantung pada kadar dan jenis
Total sampel (200) 80 76,50 6,50 3 11,50 residu yang ditemukan pada produk
tersebut. Produk asal ternak yang
Sumber: INIANSREDEF (1999). mengandung residu obat di atas BMR
sebaiknya tidak dikonsumsi apalagi

30 Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005


diekspor. Namun, pada kenyataannya dengan pakan, seperti SK Menteri duktivitas ternak telah meluas, terutama
residu obat hewan pada daging dan telur Pertanian, SK Dirjen Peternakan sampai pada ayam petelur dan pedaging, babi,
ayam banyak yang di atas BMR (Darsono dengan SNI tentang pakan No. 01-3930- sapi perah, dan sapi potong karena
1996; Dewi et al. 1997; Murdiati et al. 1998). 1995. secara ekonomis menguntungkan pe-
ternak. Keadaan ini menyebabkan ternak
terus-menerus terekspose obat hewan
Obat Hewan sebagai Imbuhan hampir sepanjang hidupnya, sehingga
PERAN PAKAN DALAM
Pakan produk ternak yang dihasilkan kemung-
KEAMANAN PRODUK kinan besar masih mengandung residu
TERNAK Menurut Bahri et al. (2000), hampir obat, terutama apabila dosis obat dan
semua pabrik pakan menambahkan obat waktu hentinya tidak dipatuhi.
Pakan memegang peranan terpenting hewan berupa antibiotik ke dalam pakan Pemakaian antibiotik dan obat
dalam sistem keamanan pangan asal komersial, sehingga sebagian besar hewan yang tergolong obat keras perlu
ternak karena mutu pakan akan tercermin pakan komersial yang beredar di Indo- memperhatikan waktu henti. Setelah waktu
dalam produk ternak yang dihasil- nesia mengandung antibiotik (Tabel 4). henti terlampaui diharapkan residu tidak
kan. Pakan yang tercemar oleh berbagai Keadaan ini diperkuat oleh informasi ditemukan lagi atau telah berada di bawah
senyawa toksik maupun yang mengan- bahwa sebagian besar sampel pakan BMR sehingga produk ternak aman
dung obat hewan akan berinteraksi ayam dari Cianjur, Sukabumi, Bogor, dikonsumsi (Debackere 1990). Tidak
dengan jaringan (organ) dalam tubuh Tangerang, dan Bekasi positif mengan- dipatuhinya waktu henti obat kemung-
ternak. Kadar cemaran senyawa toksik dung residu antibiotik golongan tetra- kinan disebabkan 1) bahaya residu anti-
yang cukup tinggi dengan cepat dapat siklin dan obat golongan sulfonamida biotik pada pangan asal ternak belum
mematikan ternak, bergantung pada sifat (Balai Penelitian Veteriner 1990; 1991). dipahami, 2) peternak belum mengetahui
toksisitas senyawa tersebut. Dalam Dengan demikian, apabila peternak yang waktu henti obat setelah pemakaian
jumlah kecil, cemaran ini tidak menim- menggunakan ransum tersebut tidak antibiotik, dan 3) banyak perusahaan
bulkan efek langsung, tetapi akan berefek memperhatikan aturan pemakaiannya, obat hewan tidak mencantumkan waktu
kronis dan tetap berada dalam tubuh. Di diduga kuat produk ternak mengandung henti obat dan tanda peringatan khusus.
dalam tubuh, sebagian senyawa kimia residu antibiotik yang dapat meng- Beberapa pabrik pakan telah me-
(toksik) tersebut akan dimetabolisir ganggu kesehatan manusia, antara lain lakukan uji mutu bahan baku pakan dan
menjadi senyawa lain (metabolit) yang berupa resistensi terhadap antibiotik pakan komersial yang diproduksinya
umumnya kurang toksik, tetapi ada tertentu (Hurd et al. 2004). Terlebih lagi (Bahri et al. 2000; Tabel 5). Pemeriksaan
sebagian senyawa kimia yang meta- sepertiga dari pabrik pakan yang diamati dilakukan terhadap bau, ketengikan,
bolitnya menjadi lebih toksik daripada juga menambahkan obat koksidiostat jamur, serta kandungan aflatoksin.
senyawa induknya, misalnya nitrit. selain antibiotik (Bahri et al. 2000), Sebagian pabrik pakan (50%) juga
Senyawa induk maupun metabolit- sehingga akan menambah jenis residu memeriksa cemaran mikroba patogen.
nya sebagian akan dikeluarkan dari pada produk ternak. Selain cemaran aflatoksin, logam berat,
tubuh melalui air seni dan feses, tetapi Penggunaan imbuhan pakan untuk dan mikroba, juga ditemukan senyawa
sebagian lagi akan tetap tersimpan di meningkatkan efisiensi pakan dan pro- obat-obatan seperti golongan antibiotik,
dalam jaringan (organ tubuh) yang
selanjutnya disebut sebagai residu.
Apabila pakan yang dikonsumsi ternak
selalu (sering) terkontaminasi atau
mengandung senyawa kimia (toksik) Tabel 4. Penambahan feed additive dan feed supplement pada pakan yang
maupun obat hewan, maka residu diproduksi oleh beberapa pabrik pakan dan peternak di Jabotabek.
senyawa kimia atau obat tersebut akan
terakumulasi di dalam jaringan (organ Jenis senyawa Pabrik pakan
tubuh) dengan konsentrasi yang ber- tambahan A B C D E F Kelompok
variasi antara jaringan (organ tubuh) yang peternak
satu dengan lainnya. Dengan demikian, Feed additive
senyawa kimia (toksik) atau obat hewan Antibiotik − + + + + + +
yang semula terdapat dalam bahan pa- Koksidiostat − − − + + + −
Enzim − + − − − − −
kan atau ransum makanan ternak telah Antijamur − + − + − − −
berpindah (menyatu) pada produk asal Antioksidan − − + + − + −
ternak, sehingga dapat membahayakan Feed supplement
kesehatan masyarakat yang mengkon- Vitamin +* + + +* + + +
sumsinya. Mineral + + + +* + + −
Asam amino +** + + +* + + −
Keamanan pangan asal ternak
berkaitan erat dengan pengawasan pakan *Dalam bentuk campuran premix, ** asam amino lisin dan metionin, + = dilakukan
atau bahan pakan. Berkaitan dengan hal penambahan, − = tidak dilakukan penambahan.
ini, pemerintah menerbitkan berbagai Sumber: Bahri et al. (2000).
kebijakan atau peraturan yang berkaitan

Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 31


berkembangnya isu tentang tanaman
Tabel 5. Uji mutu bahan baku pakan dan pakan jadi (ransum) yang transgenik, yaitu tanaman hasil rekayasa
diproduksi oleh beberapa pabrik pakan dan peternak di Jabotabek. genetik seperti jagung Bt dan kedelai Bt
yang diproduksi Amerika Serikat. Se-
Pabrik pakan
bagian ilmuwan mengkhawatirkan dampak
Kategori uji
negatif akibat mengkonsumsi produk
A B C D E F Kelompok
peternak
pertanian hasil rekayasa genetik tersebut.
Kekhawatiran ini juga dapat terjadi pada
Bahan pakan produk ternak yang proses budi dayanya
Kualitas fisik + + + + + + +
(bau, tengik, jamur)
menggunakan produk-produk tanaman
Residu logam transgenik seperti jagung Bt dan kedelai
berat − − − − + − − Bt. Folmer et al (2002) menyatakan bahwa
pestisida − − − − + − − sapi yang diberi pakan dasar jagung Bt
aflatoksin + + + + + + − tidak memperlihatkan perbedaan yang
Mikroba patogen − − + + − + −
nyata dalam pertumbuhan bobot badan
Ransum jadi dan performan lainnya, tetapi penelitian
Nutrisi (proksimat) + + + + + + −
Aflatoksin + + + + + + −
ini tidak mempelajari aspek kesehatannya.
Asam amino − + + + + − − Sampai saat ini, kekhawatiran terhadap
Feed additive − + − − − − − keamanan produk ternak akibat konsumsi
Feed supplement − + − − − − − tanaman transgenik masih menjadi
Cemaran mikroba . − − − − − − − perdebatan, baik di kalangan ilmuwan
Penandaan dan pengemasan maupun pemegang kebijakan dan
ransum (SNI-01-3930-1995) masyarakat luas.
Nama dan merek + − + + + + −
Nama dan alamat + − + + + + −
perusahaan
Nomor dan izin perusahaan + − + + + + − Meat and Bone Meal pada
Jenis dan kode ransum + − + + + + − Pakan
Bentuk ransum + − + + + + −
Berat ransum + − + + + + −
Tanggal produksi − − − − − − −
Permasalahan lain pada pakan adalah
Tanggal Kedaluwarsa − − − − − − − kekhawatiran penggunaan meat and bone
Cara penggunaan − − + + + + − meal (MBM) sebagai campuran pakan,
ransum terutama untuk ternak ruminansia. Hal ini
+ = Dilakukan pengujian atau penandaan, − = tidak dilakukan. berkaitan dengan isu penyakit sapi gila
Sumber: Bahri et al. (2000). yang salah satu penularannya diduga
kuat melalui penggunaan MBM asal
ternak ruminansia yang menderita atau
tertular penyakit sapi gila (Darminto dan
Bahri 1996; Sitepu 2000). Dengan
koksidiostat, dan antijamur yang secara acid, dan okratoksin A (Ginting 1984; demikian, pakan yang mengandung
sengaja dicampur ke dalam pakan Widiastuti et al. 1988; Maryam 1994; Bahri MBM berpotensi menghasilkan produk
(ransum) untuk tujuan tertentu seperti et al 1995). Dari berbagai mikotoksin ternak yang tidak aman bagi kesehatan
sebagai pemacu pertumbuhan. tersebut yang paling dominan adalah manusia. Oleh karena itu, negara-negara
Data pada Tabel 5 mengindikasikan aflatoksin khususnya aflatoksin B1 Uni Eropa dan Amerika telah melarang
bahwa hampir semua pakan komersial (AFB1). Cemaran mikotoksin pada pakan penggunaan MBM untuk pakan ternak
(85,70%) mengandung antibiotik, 50% terjadi sepanjang tahun dengan kadar ruminansia.
mengandung koksidiostat, dan 33,30% yang bervariasi, sehingga produk ternak,
mengandung obat antijamur. Hal ini terutama daging ayam, telur, dan susu
mempertegas bahwa peluang adanya perlu diwaspadai terhadap residu miko- Kontaminan Lain pada Pakan
residu antibiotik dan obat-obatan lain- toksin (Tabel 1). Bahri et al (1994)
nya pada daging dan telur ayam semakin melaporkan terdapat korelasi yang positif Berbagai kontaminan baik berupa bahan
besar. antara keberadaan AFB1 pada pakan kimia maupun mikroorganisme dapat
dengan AFM1 pada susu yang dihasilkan mencemari pakan secara alami maupun
ternak sapi perah. nonalami. Beberapa contoh kasus ini
Masalah Mikotoksin pada adalah cemaran dioksin pada daging ayam
Pakan dan babi serta susu dan telur yang terjadi
Tanaman Transgenik sebagai di Belgia, Belanda dan Perancis pada
Selain mengandung antibiotik, pakan Bahan Pakan tahun 1999. Dalam kasus ini, kandungan
dan bahan pakan ayam di Indonesia juga dioksin pada telur ayam berkisar 265–737
tercemar berbagai mikotoksin seperti Masalah pakan yang juga berkaitan pg/g lemak, ayam potong 536 pg /g lemak,
aflatoksin, zearalenon, cyclopiazonic dengan keamanan produk ternak adalah dan daging babi 1 pg/g lemak, sedangkan

32 Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005


batas ambang maksimal kandungan UPAYA PENCEGAHAN DAN Pengawasan mutu pakan komersial
dioksin adalah 1 pg/g lemak (Putro 1999). PENANGGULANGAN agar ditingkatkan, termasuk pengawasan
Pencemaran bersumber dari salah satu terhadap obat hewan yang dicampur pada
bahan pakan yang diproduksi oleh suatu pakan. Pengawasan perlu diikuti dengan
Untuk memperoleh produk ternak yang
perusahaan di Eropa. Kontaminasi lain penertiban pemakaian obat hewan yang
aman dikonsumsi, berbagai faktor yang
pada pakan seperti logam berat, senyawa cenderung kurang terkontrol (Bahri et
terkait erat dalam proses praproduksi
pestisida maupun senyawa beracun al. 2000). Perlu dipertimbangkan agar
perlu diperhatikan dengan menerapkan
lainnya setiap saat dapat terjadi dan akan pengawas obat hewan yang dicampur
sistem jaminan mutu HACCP. Dengan
mempengaruhi keamanan produk ternak dalam pakan dibedakan dengan pe-
menerapkan sistem ini maka titik-titik kritis
yang dihasilkan. ngawas obat hewan yang akan langsung
akan mendapat perhatian serta berbagai
digunakan untuk pengobatan. Hal ini
upaya mengatasinya segera diterapkan.
karena obat hewan dalam pakan lebih
Kondisi lingkungan peternakan
Pengawasan Pakan kompleks dan penyebarannya meluas,
harus diyakini belum pernah tercemar
sehingga penyimpanannya tidak sebaik
oleh mikroba patogen seperti antraks,
obat yang digunakan langsung untuk
Tidak semua ransum pakan yang Clostridium spp. dan cemaran bahan
pengobatan. Dikhawatirkan potensi dan
mengandung obat hewan dilengkapi kimia berbahaya lainnya (Bahri et al. 2002).
sifat biologis obat hewan dalam pakan
etiket yang memuat penjelasan mengenai Keadaan ini dapat diketahui dengan
akan berubah karena pengaruh berbagai
penggunaan obat hewan seperti yang mencari informasi dari Dinas Peternakan
faktor seperti suhu dan kelembapan.
diatur dalam SK Dirjen Peternakan. Hal setempat serta memeriksakan sampel
ini karena kurangnya pengawasan oleh tanah dan air yang dijadikan sumber air
aparat yang berwenang. Selain ada pabrik minum bagi ternak.
pakan yang tidak mencantumkan pe- Penggunaan obat hewan harus KESIMPULAN DAN SARAN
nambahan obat hewan, pemeriksaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
kandungan obat hewan yang dicam- dengan memperhatikan antara lain waktu Keamanan pangan asal hewan berkaitan
purkan ke dalam pakan juga kurang henti dan kesesuaian dosis. Selain itu, erat dengan rantai penyediaan pangan
teliti sehingga kadar sebenarnya kurang penyimpanan obat hewan juga harus tersebut, terutama pada proses pra-
diketahui dengan pasti. Keadaan ini mengikuti petunjuk yang ada. Peng- produksi. Faktor pakan, penyakit hewan,
menyulitkan petugas dalam mengaman- gunaan pestisida dan bahan kimia lain dan penggunaan obat hewan memegang
kan produk asal ternak dari residu obat untuk sanitasi lingkungan (kandang) peranan penting dalam sistem keamanan
hewan yang berasal dari pakan atau juga harus hati-hati agar tidak mengkon- produk peternakan. Oleh karena itu, pe-
ransum. taminasi pakan atau sumber air minum nerapan HACCP pada setiap mata rantai
Dari pengamatan di lapang, pe- (Bahri 2003). penyediaan pangan asal ternak akan
makaian antibiotik pada peternakan Pakan harus diyakini bebas dari dapat menjamin keamanan produk yang
ayam niaga khususnya ayam broiler cemaran bakteri patogen, bahan kimia, dihasilkan.
sudah tidak terkontrol dan kurang dan senyawa toksik lainnya dengan Hampir semua ransum ternak yang
terawasi oleh pihak pengawas yang melakukan pemeriksaan di laboratorium. diproduksi oleh pabrik pakan komersial
berwenang. Oleh karena itu, perlu dikaji Pakan dan bahan pakan harus disimpan mengandung obat hewan terutama
kembali kedudukan pengawas obat pada tempat penyimpanan yang meme- golongan antibiotik. Umumnya peternak
hewan berdasarkan SK Mentan No. 808/ nuhi syarat sanitasi, kebersihan, tidak kurang mengetahui adanya waktu henti
1994 agar tugas dan fungsi pengawas lembap, dan berventilasi baik. Manajemen obat dan bahaya yang dapat ditimbul-
obat hewan dapat dijalankan sebagai- keluar masuk pakan harus mengacu kannya, sehingga diperkirakan berbagai
mana mestinya. Dengan demikian, ke- kepada first in first out sehingga tidak residu obat hewan (terutama golongan
amanan produk ternak dari residu obat ada pakan yang tersimpan terlalu lama. antibiotik) dapat dijumpai pada produk
hewan (antibiotik) dapat terjamin. Penggunaan pakan yang mengandung ternak seperti daging ayam dan susu.
Mungkin perlu dibedakan antara pe- antibiotik (obat hewan) harus dihentikan Pengawasan kandungan obat hewan
ngawas obat hewan yang langsung atau diganti dengan pakan yang bebas serta cemaran mikroba, mikotoksin, dan
diberikan kepada ternak dengan obat antibiotik pada sekitar satu minggu senyawa kimia lainnya pada pakan
yang dicampur ke dalam ransum ternak, sebelum ternak dipanen (dipotong), ternyata belum berjalan sesuai ketentuan
karena obat hewan yang dicampur dalam sedangkan untuk sapi perah yang sedang seperti kriteria yang tercantum dalam
ransum ternak lebih kompleks sehingga laktasi harus dicegah pemberian pakan SNI tentang pakan. Perlu digalakkan
memerlukan pengawasan khusus. Ber- yang mengandung obat hewan. Untuk sosialisasi atau penyuluhan kepada
kaitan dengan itu, perlu dilakukan upaya- kasus mastitis, susu tidak boleh di- peternak tentang pentingnya mengikuti
upaya seperti penyuluhan kepada konsumsi sampai dengan kurang lebih petunjuk penggunaan obat hewan, baik
peternak dan industri pakan. Selain itu 5 hari setelah pengobatan terakhir yang terdapat dalam pakan komersial
perlu ditingkatkan pengawasan dari (Debackere 1990; Kusumaningsih et al. maupun yang digunakan untuk peng-
aparat berwenang serta adanya sanksi. 1996; 1997). obatan ternak.

Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 33


DAFTAR PUSTAKA
Bahri, S., R. Maryam, Yuningsih, dan T.B. dijual di lima pasar Kodya Surabaya. Media Jawa Barat dan DKI Jaya. Hemerazoa 79
Murdiati. 1992. Residu Tetrasiklin, Khlor- Kedokteran Hewan 12(3): 178−182. (1−2): 72−80.
tetrasiklin dan Oksitetrasiklin pada Susu Debackere, M. 1990. Veterinary medicine Maryam, R., S. Bahri, P. Zahari, Y. Sani, dan S.
Segar asal Beberapa Dati II di Jawa Tengah. products: Their pharmacokinetics in relation Yuliastuti. 1993. Residu aflatoksin M1 pada
Laporan Intern Balai Penelitian Veteriner, to the residues problem. Euroresidue, susu. Laporan Penelitian. Balai Penelitian
Bogor. Noodwijkerhout, The Netherlands. p: 326− Veteriner. Bogor.
Bahri, S., A. Nurhadi, T.D. Soedjana, T.B. 395.
Maryam, R. 1994. Kontaminasi asam siklopia-
Murdiati, R. Widiastuti, dan P. Zahari. 1993. Dewi, A.A.S., N.L.P. Agustini, dan D.M.N. zonat (CPA) dan aflatoksin pada jagung.
Sistem Penyebaran dan Pemasaran Obat Dharma. 1997. Survei residu obat preparat Kumpulan Makalah Kongres Nasional
Hewan di DKI Jakarta Raya dan Jawa Barat. sulfa pada daging dan telur ayam di Bali. Perhimpunan Mikologi Kedokteran Indo-
Laporan Penelitian, Pusat Penelitian dan Buletin Veteriner 10(51): 9−14. nesia I dan Temu Ilmiah. Bogor, 21−24 Juli
Pengembangan Peternakan, Bogor. 1994. hlm. 289−293.
Folmer, J.D., R.J. Grant, C.T. Milton, and J. Beck.
Bahri, S. 1994. Residu obat hewan pada produk 2002. Utilization of Bt corn residues by Maryam, R., Indraningsih, Yuningsih, T.B.
ternak dan upaya pengamanannya. Kum- grazing beef steers and Bt corn silage and Sastrawihana, dan I. Noor. 1994. Laporan
pulan Makalah Lokakarya Obat Hewan. grain by growing beef catle and lactating survei penelitian residu aflatoksin dan
Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI). dairy cows. J. Anim. Sci. 80: 1.352−1.361. pestisida pada bahan pangan asal ter-
Jakarta, 16−18 November 1994. nak. Laporan Penelitian. Balai Penelitian
Ginting. 1984. Aflatoksin pada pakan ayam
Bahri, S., Ohim, dan R. Maryam 1994. Residu Veteriner, Bogor.
pedaging di Daerah Khusus Ibukota Jakarta
aflatoksin M1 pada air susu sapi dan Raya dan Kotamadya Pontianak. Penyakit Maryam, R., S. Bahri, dan P. Zahari. 1995.
hubungannya dengan keberadaan aflatoksin Hewan 16(28): 212−214. Deteksi aflatoksin B1, M1 dan aflatokol
B1 pada pakan sapi. Kumpulan Makalah dalam telur ayam ras dengan khromatografi
Kongres Nasional Perhimpunan Mikologi Hardjoutomo, S., M.B. Poerwadikarta, dan K.
cair kinerja tinggi. Prosiding Seminar
Kedokteran Manusia dan Hewan Indonesia Barkah. 2000. Antraks di Indonesia: Kejadian
Nasional Teknologi Veteriner untuk Mening-
1 dan Temu Ilmiah. Bogor, 21−24 Juli 1994. antraks pada burung unta di Purwakarta,
katkan Kesehatan Hewan dan Pengamanan
hlm. 269−275. Jawa Barat. Makalah Disajikan pada Seminar
Bahan Pangan Asal Ternak, Cisarua. Bogor.
dan Pameran Teknologi Veteriner, Jakarta,
Bahri, S., R. Maryam, R. Widiastuti, dan P. 22−24 Maret 1994. Balai Penelitian
14−15 Maret 2000.
Zahari. 1995. Aflatoksikosis dan cemaran Veteriner, Bogor. hlm. 412−416.
aflatoksin pada pakan serta produk ternak. Hartati, T., Sarmanu, S. Prawesthirini, dan M.
Maryam, R. 1996. Residu aflatoksin dan
Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Ivone. 1993. Pemeriksaan residu antibiotika
metabolitnya dalam daging dan hati ayam.
Veteriner. Jilid I. Pusat Penelitian dan pada ayam pedaging di beberapa pasar di
Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang
Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 95− wilayah Kotamadya Surabaya. Media
Veteriner Bogor. 12−13 Maret 1996. Balai
107. Kedokteran Hewan 9(1): 36−43.
Penelitian Veteriner, Bogor. hlm. 336−339.
Bahri, S., A. Kusumaningsih, T.B. Murdiati, A. Herrick, J.B. 1993. Food for thought for food
Murdiati, T.B., Indraningsih, and S. Bahri. 1998.
Nurhadi, dan E. Masbulan. 2000. Analisis animal veterinarians. Violative drug residues.
Contamination of animal products by pes-
kebijakan keamanan pangan asal ternak JAVMA 03: 1.122−1.123.
ticides and antibiotics In I.R. Kennedy, J.H.
(terutama ayam ras petelur dan broiler). Skerritt, G.I. Johnson, and E. Highley (Eds.).
Hurd, H.S., S. Doores, D. Hayes, A. Mathew, J.
Laporan Penelitian. Pusat Penelitian dan Seeking Agricultural Produce Free of
Maurer, P. Silley, R.S. Singer, and R.N. Jones.
Pengembangan Peternakan, Bogor. Pesticide Residues. ACIAR Proceedings No.
2004. Public health consequences of
Bahri, S., Indraningsih, R. Widiastuti, T.B. macrolide use in the food animals: A 85. p: 115−121.
Murdiati, dan R. Maryam. 2002. Keamanan deterministic risk assessment. J. Food Prot.
Murdiati, T.B. dan R. Widiastuti. 2003. Teknik
pangan asal ternak: Suatu tuntutan di era 67: 980−992.
deteksi residu antibiotika dalam produk
perdagangan bebas. Wartazoa 12(2): 47−64. ternak. Laporan Penelitian, Balai Penelitian
Indraningsih dan Y. Sani. 2004. Residu pestisida
Bahri, S. 2003. Beberapa Aspek Keamanan pada produk sapi: Masalah dan alternatif Veteriner, Bogor.
Pangan Asal Ternak di Indonesia. Bahan penanggulangannya. Wartazoa 14(1): 1−13.
Noor, S.M., Darminto, dan S. Hardjoutomo.
Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. 2001. Kasus antraks pada manusia dan hewan
INIANSREDEF. 1999. Case Study on Quality
Bogor, 2 Oktober 2003. Badan Penelitian di Bogor pada awal tahun 2001. Wartazoa
Control of Livestock Products in Indonesia.
dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 11(2): 8−14.
Indonesia International Animal Science
Balai Penelitian Veteriner. 1990. Residu pestisida, Research and Development Foundation
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
hormon, antibiotika, dan standarisasi kualitas (INIANSREDEF). Report prepared for Japan
2004. Laporan penyidikan kasus penyakit
broiler untuk ekspor. Laporan Penelitian International Cooperation Agency/JICA.
antraks pada manusia di Babakan Madang,
Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Kabupaten Bogor. Pusat Penelitian dan
Institut Pertanian Bogor. 1982. Laporan Loka-
Balai Penelitian Veteriner. 1991. Residu karya Peranan Protein dalam Pembangunan Pengembangan Peternakan, Bogor.
antibiotika pada daging ayam broiler dan Bangsa. Tim Protein, Institut Pertanian
Putro, S. 1999. Pencemaran Dioksin pada Daging
pakannya di Jawa Barat. Laporan Penelitian Bogor, Bogor.
Ayam di Belgia. Laporan Atase Pertanian
Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Indonesia di Belgia.
Kusumaningsih, A., T.B. Murdiati, dan S. Bahri.
Darminto dan S. Bahri. 1996 “Mad Cow” dan 1996. Pengetahuan peternak serta waktu
Resurreccion, A.V.A. and F.C.F. Galvez. 1999.
penyakit sejenis lainnya pada hewan dan henti obat dan hubungannya dengan residu
Will consumers buy irradiated beef ? Food
manusia. Jurnal Penelitian dan Pengem- antibiotika pada susu. Media Kedokteran
Technol. 53: 52−55.
bangan Pertanian 15(4): 81−89. Hewan 12(4): 260−267.
Sitepu, M. 2000. Sapi Gila (Bovine Spongiform
Darsono, R. 1996. Deteksi residu oksitetrasiklin Kusumaningsih, A., E. Martindah, dan S. Bahri.
Encephalopathy/BSE) Keterkaitan dengan
dan gambaran patologi anatomi hati dan 1997. Jalur pemasaran obat hewan pada
Berbagai Aspek. PT Gramedia Widasarana
ginjal ayam kampung dan ayam broiler yang peternakan ayam ras di beberapa lokasi di
Indonesia, Jakarta.

34 Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005


Spence, S. 1993. Antimicrobial residues survey. Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Perspective 18: 79−82. 609−613. Bogor. hlm. 515−518.
Sudarwanto, M., W. Sanjaya, dan P. Trioso. 1992. Widiastuti, R., T.B. Murdiati, dan Yuningsih. Widarso, H.S., T. Wandra, dan W.H. Purba. 2000.
Residu antibiotika dalam susu pasteurisasi 2000. Residu hormon 17-β-trenbolone pada Kejadian luar biasa (KLB) antraks pada
ditinjau dari kesehatan masyarakat. J. Ilmu daging dan hati sapi impor yang beredar di burung unta di Kabupaten Purwakarta
Pertanian Indonesia 2(1): 37−40. DKI Jakarta. Prosiding Seminar Nasional bulan Desember 1991 dan dampaknya pada
Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian masyarakat. Makalah disajikan pada Seminar
Sudarwanto, M. 1995. Mastitis pada sapi perah.
dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. dan Pameran Teknologi Veteriner. Pusat
Prosiding Seminar Nasional peternakan dan
578−581. Penelitian dan Pengembangan Peternakan,
Veteriner. Bogor 7−8 November 1995. Jilid
Jakarta 14−15 Maret 2000.
I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Widiastuti, R., R. Maryam, S. Bahri, dan R.
Peternakan. hlm. 249−255. Firmansyah. 2004a. Residu aflatoksin M1 Winarno, F.G. 1996. Undang-undang tentang
pada susu sapi segar asal Kodya Bogor dan pangan. Kumpulan Makalah pada Musyawa-
Widiastuti, R., R. Maryam, B.J. Blaney, Salfina.
Pengalengan, Jawa Barat. Makalah disajikan rah II dan Seminar Ilmiah Persatuan Ahli
and D.R. Stoltz. 1988. Cyclopiazonic acid
pada Kongres dan Temu Ilmiah Nasional III Teknologi Laboratorium Kesehatan Indo-
in combination with aflatoxin, zearalenon
Perhimpunan Mikologi Kedokteran Indo- nesia. Jakarta, 25−26 November 1996.
and ochratoxin A in Indonesian corn.
nesia (PMKI), Semarang, 1−3 Oktober
Mycopathology 104: 153−156. Yuningsih, R. Widiastuti, T.B. Murdiati, dan H.
2004.
Yusrini. 2000. Deteksi residu antibiotika
Widiastuti, R. 2000. Residu aflatoksin pada
Widiastuti, R., Yuningsih, dan T.B. Murdiati. penisilin-G pada daging dan hati. Prosiding
daging dan hati sapi di pasar tradisional dan
2004b. Residu enrofloksasin pada daging Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner.
swalayan di Jawa Barat. Prosiding Seminar
dan hati ayam pedaging. Prosiding Seminar Pusat Penelitian dan Pengembangan Peter-
Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor
Nasional Teknologi Peternakan dan Ve- nakan, Bogor. hlm. 572−577.
18−19 Oktober 1999. Pusat Penelitian dan
teriner, Bogor 3−4 Agustus 2004. Pusat

Jurnal Litbang Pertanian, 24(1), 2005 35

Anda mungkin juga menyukai