Anda di halaman 1dari 19

STUDI IN-VIVO EFIKASI TOKSIN BINDER DALAM PAKAN

YANG TERKONTAMINASI AFLATOKSIN B1 TERHADAP


PRODUKTIVITAS AYAM BROILER

Oleh:

Adhe Humaera
18/430633/PT/07788

PROGRAM STUDI ILMU DAN INDUSTRI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Proposal penelitian yang berjudul:

STUDI IN-VIVO EFIKASI TOKSIN BINDER DALAM PAKAN YANG


TERKONTAMINASI AFLATOKSIN B1 TERHADAP PRODUKTIVITAS
AYAM BROILER

Disusun oleh :

Adhe Humaera
18/430633/PT/07788

Disetujui pada tanggal:

....................................

Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Lies Mira Yusiati, SU., IPU., ASEAN Eng.
NIP. 19530623 197803 2 001

Pembimbing Pendamping

Dr. Ir. Chusnul Hanim, M.Si., IPM.


NIP 19650316 199803 2 001
STUDI IN-VIVO EFIKASI TOKSIN BINDER DALAM PAKAN YANG
TERKONTAMINASI AFLATOKSIN B1 TERHADAP PRODUKTIVITAS
AYAM BROILER

Adhe Humaera
18/430633/PT/07788

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian toxin


binder pada pakan yang terkontaminasi aflatoksin B1 terhadap
produktivitas ayam broiler. Total 105 day old chick (DOC) jantan Lohman
MB202 ditempatkan pada 21 kandang koloni. Penelitian ini menggunakan
rancangan acak kelompok yang terdiri dari 4 macam inklusi toxin binder
yang diberikan pada pakan yang tidak terkontaminasi aflatoksin B1 dan
pakan yang terkontaminasi aflatoksin B1. Terdapat 7 perlakuan yang
terdiri dari P0 (kontrol, basal diet, tanpa penambahan AFB1), P1 (P0 + 4
g/kg EX113), P2 (P0 + 4 g/kg toxisorb classic), P3 (P0 + 2 g/kg toxisorb
classic + 2 g/kg toxisorb premium), P4 (P0 + 4 g/kg EX 113 + 100 µg/kg
AFB1), P5 (P0 + 4 g/kg toxisorb classic + 100 µg/kg AFB1), P6 (P0 +2
g/kg toxisorb classic + 2 g/kg toxisorb premium + 100 µg/kg AFB1). Pada
setiap perlakuan terdiri dari 3 ulangan, di setiap ulangan terdapat 5 ekor
ayam broiler. Pakan perlakuan diberikan pada broiler dari hari pertama
hingga akhir penelitian pada hari ke-35. Data yang diambil berupa data
konsumsi pakan, pertambahan bobot badan (PBB) dan nilai konversi
pakan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis variansi.
Toksin binder mampu mengurangi tingkat aflatoksis pada ternak unggas
dengan dosis yang sesuai.

Kata kunci: Aflatoksin, Ayam Broiler, Produktivitas, Toksin binder.


PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perkembangan industri ayam broiler saat ini melaju sangat pesat. .
Kesadaran masyarakat akan konsumsi protein hewani mulai terbangun
dengan baik. Hal tersebut mengakibatkan konsumsi daging ayam broiler
meningkat yang juga meningkatkan produksi ayam broiler. Data dari
Badan Pusat Statistik (2021) menjelaskan bahwa terjadi peningkatan
populasi ayam broiler dari tahun 2018-2019. Sejak tahun 2019 hingga
2018 populasi ayam broiler di Indonesia meningkat sebesar 32 juta
populasi. Berdasarkan data BPS perkembangan konsumsi per kapita
daging ayam ras pedaging masyarakat Indonesia pada tahun 2019 5,69
kg/kapita/tahun pada tahun 2020 konsumsinya meningkat menjadi
5,81/kg/kapita/tahun. Data tersebut adalah data yang berasal dari
konsumen rumah tangga belum termasuk data dari rumah makan,
restoran, dan hotel maka konsumsi per kapita akan menjadi lebih tinggi
lagi.
Pakan merupakan faktor penting kehidupan hewan ternak. Pakan
mengandung berbagai nutrien yang berfungsi menunjang pertumbuhan,
pertahanan hidup, menghasilkan produk hewani, berkembang biak dan
memelihara daya tahan tubuh. Kualitas pakan harus terjamin sehingga
bisa dimakan, dicerna, dapat diserap tubuh ternak, bermanfaat bagi ternak
serta tidak menimbulkan efek samping negatif bagi ternak. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi kualitas bahan pakan sehingga berbahaya
atau beracun bagi hewan ternak, faktor tersebut diantaranya fisik, kimia
dan biologi. Moenek (2014) menyatakan bahwa pakan bagi industri
peternakan, memegang peranan yang sangat penting untuk mendukung
pertumbuhan dan produksi dari ternak yang dibudidayakan dan dipelihara
peternak, sehingga pakan yang diberikan harus dapat dijaga kualitasnya.
Jagung merupakan bahan pakan sumber energi yang bisa
digunakan untuk semua jenis hewan ternak. Jagung juga dikenal sebagai
king of cerealia. Arti kiasan tersebut berdasarkan dari kandungan yang
ada di jagung seperti BETN (bahan ekstrak tanpa nitrogen), pro vitamin A,
thiamin, sistin dan kriptosantin yang berguna memberi warna pada kaki
dan kulit broiler. Aristyawati et al. (2017) menyatakan bahwa jagung
memilki berbagai kandungan nutrien seperti karbohidrat, protein, dan
vitamin yang tinggi serta kandungan lemak yang rendah. Akan tetapi,
jagung merupakan salah satu komoditas yang mempunyai masalah
terhadap kapang atau jamur. Kapang yang paling sering mengkontaminasi
biji-bijian yaitu Aspergillus sp. Aspergillus sp. pada biji-bijian yang
disimpan dapat mengakibatkan perubahan warna bahan, perubahan
susunan kimia di dalam bahan dan produksi akumulasi mikotoksin
didalam bahan. Akumulasi mikotoksin yang berlebih dalam jagung akan
menurunkan kualitas dan mengakibatkan keracunan bagi hewan ternak.
Cemaran miktoksin banyak ditemukan pada tingkat pemipil dan pengecer.
Hal tersebut terjadi karena penyimpanan yang lama serta jagung yang
tidak kering sempurna. Penelitian yang dilakukan Moenek (2014) di Kota
Kupang menemukan beberapa jagung yang memiliki kadar aflatoksin 53
ppb.
Mikotoksin merupakan hasil metabolit sekunder dari kapang
dengan genus Aspergillus, Penicillium dan Fussarium. Jenis mikotoksin
antara lain aflatoksin, okratoksin, fumonisin, trikotesena, deoksinivalenol
dan zearalenon. Aflatoksin menyerang beberapa tumbuhan biji-bijian
bahan pakan seperti jagung, kacang dan kapas. Yu (2012) menyatakan
bahwa mikotoksin merupakan salah satu hasil metabolit sekunder yang
berasal dari jamur yang bergenus Aspergillus. Aspergillus flavus tumbuh
optimal di suhu 28°C sampai 37°C. Aspergillus flavus menghasilkan
aflatoksin B1 dan B2 sedangkan Aspergillus parasticus memproduksi
aflatoksin B1, B2, G1, and G2. Daou et al. (2021) menyatakan bahwa
aflatoksin terdapat pada tanaman gandum, beras, kacang, jagung, dan biji
kapuk. Faktor yang mempengaruhi produksi aflatoksin adalah suhu,
kelembaban, pH, dan strain jamur.
Aflatoksin B1 yang mengontaminasi jagung bisa mengakibatkan
keracunan pada ternak apabila jagung tersebut dimakan oleh hewan
ternak. Gejala keracunan biasanya berlangsung lama dan bisa
menyebabkan kematian apabila racun terakumulasi dalam tubuh ternak.
Pada ayam broiler keracunan aflatoksin B1 dapat menyebabkan
menurunnya konsumsi pakan, saluran pencernaan, produktivitas, dan
sistem imun yang bisa menyebabkan ternak rawan sakit. Kontaminasi
mikotoksin pada pakan unggas yang tinggi dapat mengakibatkan kerugian
ekonomi sebagai akibat dari terhambatnya pertumbuhan. Nalle et al.
(2021) menyatakan bahwa aflatoksin B1 berefek negatif pada ternak
unggas. Efek negatif yang timbul di ternak unggas diantaranya adalah
menyerang sistem organ hati dan jaringan, perubahan saluran
pencernaan, menyerang sistem imun. Iritasi yang terjadi di saluran
pencernaan bisa mengakibatkan kurangnya penyerapan nutrien dalam
pakan sehingga produktivitas ternak akan menurun. Produktivitas ternak
yang menurun juga akan mengakibatkan dampak kerugian ekonomi akibat
dari konsumsi pakan yang terlalu tinggi. Konsumsi aflatoksin 20-120 µg/kg
bobot badan/hari bisa merusak organ hati karena hati mendetoksifikasi
aflatoksin yang terkontaminasi dalam pakan. Produktivitas ternak yang
menurun juga akan mengakibatkan dampak kerugian ekonomi akibat dari
konsumsi pakan yang terlalu tinggi.
Aflatoksin bisa dicegah efek negatifnya dengan penambahan zat
yang berfungsi sebagai pengikat aflatoksin (toxin binder). Zat yang bisa
digunakan untuk mengikat aflatoksin bisa berupa zat organik dan
anorganik. Zat organik yang bisa digunakan antara lain antioksidan dan
probiotik. Zat anorganik yang bisa digunakan antara lain sodium bentonite,
clinoptilolite, cyclopiazonic acid, alumuniumsilikat. Barati et al (2017)
menyatakan bahwa gabungan antara bakteri strain Bacillus, Lactobacilus
dan Saccharomyces bisa meningkatkan imun ayam broiler yang pakannya
terkontaminasi aflatoksin. Alumuniumsilikat sebagai pengikat racun
aflatoksin bekerja dengan menyelubungi jamur aflatoksin sehingga
aflatoksin tidak terserap oleh villi-villi usus. Maka dari itu, diperlukan uji in
vivo toksin binder terhadap pakan yang terkontaminasi aflatoksin B1 pada
ayam broiler.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh penambahan
toksin binder dalam pakan ayam broiler terhadap kerusakan hati dan
produktivitas ayam broiler.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Memberikan rekomendasi penggunaan toksin binder komersial
kepada peternak untuk menurunkan efek kerugian ekonomi akibat
aflatoksin B1 pada ayam broiler
TINJAUAN PUSTAKA
Aflatoksin
Kemunculan awal aflatoksin dideteksi pada ternak kalkun yang
dinamakan “Turkey X disease” . Penyakit tersebut mengakibatkan
kematian 100.000 ayam kalkun di Inggris sepanjang tahun 1960. Setelah
diidentifikasi dan diisolasi racun tersebut diberi nama aflatoksin (Leeson et
al., 1995). Aspergillus flavus dan Aspergillus parasticus merupakan jenis
jamur yang menghasilkan metabolit sekunder berupa aflatoksin. yaitu B1
(AFB1), B2 (AFB2), G1 (AFG1), G2 (AFG2). Aflatoksin yang memilki
tingkat bahaya yang paling tinggi bagi ternak unggas adalah AFB1, urutan
selanjutnya adalah AFG1, AFB2 dan AFG2 (Nalle et al. 2021).
Daou et al. (2021) menyatakan bahwa biji-bijian memilki peluang
besar dalam kontaminasi aflatoksin, seperti gandum, jagung, dan beras.
Filazi et al. (2017) menyatakan bahwa pakan pada unggas memiliki resiko
yang tinggi terhadap cemaran aflatoksin. Gomori et al. (2013) menyatakan
bahwa aflatoksin diproduksi oleh jamur saat masa pertumbuhan inang,
masa pemanenan, penyimpanan yang tidak sesuai dan pemasakan yang
tidak benar.
Standar yang digunakan SNI (2000) bahwa batasan cemaran
aflatoksin pada bahan pakan adalah sebesar 50 ppb (part per billion).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kusumaningrum et al. (2010)
jagung yang paling banyak terkontaminasi adalah jagung pipil dengan
kadar aflatoksin sebesar 11,98 – 19,63 ppb. Kadar tersebut masih berada
di bawah batas SNI yang dibuat pemerintah, akan tetapi apabila di
konsumsi oleh ternak secara terus menerus akan menjadikan penyakit
kronis. Cemaran terbanyak didapati pada tingkat pemipil jagung dan
pegecer. Hal tersebut disebabkan karena kelembaban relatif dan
penyimpanan yang terlalu lama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Moenek (2014) di Kota Kupang terdapat pakan ayam di 3 peternak yang
terkontaminasi aflatoksin sebesar 21 ppb, 70 ppb dan 67 ppb. Kadar
tersebut sudah berada di atas ambang batas yang ditetapkan pemerintah.

Dampak Aflatoksin
Pencemaran aflatoksin merupakan masalah yang dapat
menimbulkan perubahan fisik dan kimia. Perubahan fisik akibat
pertumbuhan dan populasi jamur yang mengakibatkan perubahan bau,
warna dan tekstur. Bau bahan pakan yang terkontaminasi cenderung
apek. Warna berubah menjadi hijau hingga kecoklatan. Tekstur menjadi
hancur berbentuk bubuk. Perubahan kimia terjadi akibat adanya
mikotoksin dari jamur tersebut (Moenek, 2014).
Bahan pakan unggas yang tercemar aflatoksin menyebabkan
berbagai permasalahan yang terjadi pada organ tubuh ternak. Aflatoksin
dapat menyerang organ seperti saluran pencernaan, hati, dan sistem
imun. Kerusakan yang terjadi di organ-organ tersebut dapat menyebabkan
mengurangi produktivitas ternak dan apabila aflatoksin terakumulasi di
dalam tubuh ternak terlalu tinggi akan mengakibatkan mortalitas pada
ternak. Penurunan produktivitas terjadi akibat dari nafsu makan ternak
yang berkurang sehingga berat badan menurun dan meningkatnya feed
eficiency ratio (FCR) (Murugesan et al., 2015). Ternak yang
terkontaminasi racun mengakibatkan penurunan konsumsi ransum yang
berakibat juga pada kenaikan konversi pakan, hal tersebut terjadi karena
organ hati mengalami kerusakan setelah mendetoksifikasi racun sebagai
mekanisme pertahanan diri (Sumiati et al., 2011). Aflatoksin 20-120 µg/kg
bobot badan/hari dalam jangka waktu 1 sampai 3 minggu dapat
menyebabkan hepatoksisitas akut (Broto, 2018). Kadar aflatoksin dan
lamanya paparan dalam tubuh ternak mempengaruhi tingkat keparahan
aflatoksisotis (Abedi dan Talebi, 2015).
Tempat metabolisme utama aflatoksin adalah organ hati.
Metabolisme aflatoksin terdiri atas tiga tahap, yaitu bioaktivasi, konjugasi,
dan dekonjugasi. Bioaktivasi aflatoksin mengubah aflatoksin menjadi
bentukan metabolit yang lebih toksik ketika masuk ke sistem metabolisme
tubuh. Proses oksidasi melibatkan reaksi epoksidasi menghasilkan
metabolit AFB 1- 8,9-epoksida,reaksi hidroksilasi menghasilkan metabolit
AFMl dan AFQl, reaksi 0-dimetilisasi menghasilkan metabolit AFPl, dan
reaksi reduksi menghasilkan metabolit aflatoksikol (AFL). Reaksi
konjugasi glutathione dad metabolit epoksida membentuk AFB I-
terkolugasi GSH. Reaksi glukoronidasi dad metabolit reaksi hidroksilat
menghasilkan metabolit yang mudah dikeluarkan dari tubuh seperti air
seni dan empedu (Ahmad, 2009). Aflatoksin dapat menyebabkan
penurunan fungsi usus dan penyerapan nutrien (Murugesan et al., 2015).
Toxin Binder
Dampak yang merugikan dari aflatoksin dari aflatoksin dapat
dikurangi dengan pemberian toksin binder. Toksin binder adalah zat yang
melindungi tubuh ternak dari bahaya yang ditimbulkan oleh mikotoksin.
Ada dua jenis toksin binder yaitu organik dan anorganik. Toksin binder
organik berasal dari yeast, probiotic dan antioksidan. Toksin binder
anorganik berasal dari bahan non organik seperti sodium bentonite,
clinoptilolite dan cyclopiazonic. Efektivitas dari masing-masing toksin
binder tergantung dari kadar aflatoksin dan jenis ternak (Nalle et al.,
2021).
Penelitian yang dilakukan Rosa et al. (2001) menyatakan bahwa
0.5 gram bentonite yang dicampur dalam pakan broiler yang
mengandung 2.5 ppb aflatoksin dengan masa pemeliharaan 22 hari
mampu meningkatkan pertumbuhan berat badan dan menurunkan FCR.
Bentonite bersifat tidak beracun bagi ternak. Penelitian yang dilakukan
Azeem et al. (2019) menyatakan bahwa probiotik Lactobacilli memiliki
kemampuan untuk mengurangi tingkat toksisitas aflatoksin melalui
pengikatan dinding sel aflatoksin. Penelitian yang dilakukan Ortatli et al.
(2005) menyatakan bahwa clinoptilolite 15 g/kg mampu mengurangi
tingkat toksisitas pada organ pencernaan ayam broiler yang diberi pakan
yang terkontaminasi 100 ppb aflatoksin. Fowler et al. (2015) calcium
bentonite memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menyerap aflatoksin
hal tersebut dibuktikan dengan penambahan 2% calcium bentonite dalam
600 ppb aflatoksin dalam pakan yang tidak memberikan pengaruh nyata
dibandingkan tanpa penambahan aflatoksin. Mineral lainnya yang
digunakan sebagai toksin binder adalah kerolite dan saponite yang
merupakan mineral berbentuk seperti tanah liat berwarna putih yang
memilki lapisan hidrofilik dan hidrofobik yang mampu mengikat aflatoksin
B1 dalam saluran pencernaan ternak.

Landasan Teori
Jagung merupakan salah satu bahan pakan ternak yang memilki
komponen terbesar dalam suatu ransum pakan. Jagung yang tidak
ditangani dengan baik akan memberikan peluang bagi tumbuhnya jamur
aflatoksin. Aflatoksin terbagi menjadi beberapa kategori yang mana
kategori yang paling berbahaya adalah kategori B1 atau aflatoksin B1.
Kelembaban relatif dan temperatur sangat mempengaruhi pertumbuhan
jamur dalam jagung. Indonesia yang termasuk negara tropis memilki
temperatur 25 - 30°C dan kelembaban >60% memberikan peluang bagi
pertumbuhan jamur aflatoksin. Lamanya proses di bagian pengepul dan
pembeli jagung serta gudang yang tidak memberikan sirkulasi udara yang
baik membuat pertumbuhan jamur aflatoksin meningkat.
Kontaminasi aflatoksin pada pakan memberikan efek negatif bagi
ternak ruminansia dan non ruminansia. Efek yang paling buruk terjadi di
ternak unggas yang termasuk ke dalam ternak non ruminansia karena
ternak non ruminansia tidak memilki mikroba rumen yang bisa membantu
mengurangi efek negatif yang ditimbulkan oleh jamur aflatoksin. Efek
ekonomi dan kesehatan akan timbul akibat dari jamur aflatoksin.
Munculnya kematian dan penurunan produktivitas membuat peternak rugi
secara ekonomi. Konsumsi daging yang tercemar aflatoksin dalam jangka
waktu yang lama juga akan menimbulkan penyakit kanker dalam tubuh.
Efek yang ditimbulkan oleh aflatoksin bisa dikurangi dengan
penambahan toksin binder. Toksin binder merupakan zat yang berfungsi
untuk mengikat jamur afaltoksin sehingga jamur aflatoksin tidak terserap
oleh tubuh dan dibuang melalui ekskreta. Toksin binder bisa terbuat yeast,
probiotic, bentonite, alumunium silikat, clinoptilolite dan cyclopiazonic.
Toksin binder ditambahkan ke dalam campuran pakan dengan dosis
tertentu. Toksin binder Classic yang diproduksi PT. Clariant mengandung
kalsium bentonite yang dipercaya untuk mengikat serta mendetoksifikasi
aflatoksin. Toksin binder Premium mengandung kerolite dan saponite
yang memilki kemampuan pengikatan aflatoksin yang lebih lebar karena
permukaan toksin binder premium yang lebih besar sehingga bisa
mengikat lebih banyak aflatoksin. Pemaikaian toksin binder diharapkan
bisa memperbaiki produktivitas, kerusakan hati, usus dan metabolisme
ternak.
Hipotesis
1. Pemberian toksin binder dalam pakan yang terkontaminasi
aflatoksin B1 dapat menurunkan efek negatif yang ditimbulkan
aflatoksin B1 dan meningkatkan produktivitas ayam broiler.
2. Toksin binder yang memilki komposisi yang berbeda memberikan
efek yang berbeda terhadap produktivitas ayam broiler.
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan dalam waktu dua bulan dengan
renatang waktu antara bulan Maret sampai April 2022. Penelitian akan
dilaksanakan pada empat tempat yaitu :
1. Laboratorium Terpadu Agrokompleks, Universitas Gadjah Mada
untuk produksi aflatoksin B1 pada jagung
2. Laboratorium Pengujian Pangan, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Gunung Kidul untuk pengujian kadar aflatoksin B1 pada
bahan pakan jagung
3. Kandang ayam closed house Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada untuk pemeliharaan ayam broiler secara in vivo
4. Laboratorium Biokimia Nutrisi Fakultas Peternakan, Universitas
Gadjah Mada untuk analisis data dan preparasi sampel.
Materi Penelitian

Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian adalah tabung
rekasi, timbangan digital, grinder, micro pipet, tabung erlenmeyer, kertas
saring Whatman 1, gelas ukur, gunting, parafilm, kapas, bunsen, corong
kaca, yellow tip, sentrifuge, vortex, dan unit ELISA reader.
Bahan penelitian
Bahan yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian adalah
aquades, ethanol 70%, potato dextrose agar (PDA), kapas, larutan tween,
jagung, isolat jamur aflatoksin B1, sabun, desinfektan, kapur, sekam,
koran, DOC broiler jantan Lohmann MB 202, ELISA kit menggunakan
Romer® Aflatoxin B1 (Romer Labs, Singapura), Toxin Binder EX 113,
Classic dan Premium yang berasal dari PT. Clariant Indonesia.
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan metode rancangan acak kelompok yang
terdiri dari 3 inklusi toxin binder, serta kelompok yang terkontaminasi dan
tidak terkontaminasi afaltoksin B1. Setiap perlakuan dalam penelitian
terdiri dari 3 ulangan, masing-masing ulangan terdapat 5 ekor broiler.
Pakan broiler diberikan dari hari 1 sampai akhir penelitian (hari ke 35). Air
dan pakan tersedia secara ad libitum. Perlakuan dalam penelitian terdiri
atas :
P0 = Kontrol (basal diet, tanpa penambahan AFB1)
P1 = P0 + 4 g/kg EX 113
P2 = P0 + 4 g/kg EX 113 + 100 µg/kg AFB1
P3 = P0 + 4 g/kg Toxisorb Classic
P4 = P0 + 4 g/kg Toxisorb Classic + 100 µg/kg AFB1
P5 = P0 + 2 g/kg Toxisorb Classic + 2 g/kg Toxisorb Premium
P6 = P0 + 2 g/kg Toxisorb Classic + 2 g/kg Toxisorb Premium + +
100 µg/kg AFB1
Penelitian tidak menggunakan pakan komersial. Ransum
penelitian, kontrol dan terkontaminasi mikotoksin, diformulasi dan
diproduksi sendiri. Bahan pakan diperoleh dari suplier bahan pakan.
Bahan pakan sumber kontaminan menggunakan jagung yang
terkontaminasi aflatoksin B1 yang diproduksi sendiri. Toksin binder EX
113, Classic dan Premium diperoleh dari PT. Clariant Indonesia.
Tabel 1. Formulasi dan komposisi kimia bahan pakan penelitian

Bahan Baku (%) Pre-Starter Starter Finisher


Jagung 55.95 58.51 64.60
SBM 33.43 29.50 21.88
CGM 2.21 2.72 3.71
MBM 2.50 3.50 4.00
Palm Oil 2.15 3.00 3.50
L – Lysine 0.30 0.23 0.24
DL – Methionine 0.32 0.22 0.17
L – Threonine 0.18 0.11 0.08
Limestone/CaCO3 1.07 0.82 0.60
Biofos 0.70 0.22 0.06
Garam 0.21 0.19 0.18
Sodium Bicarbonat 0.18 0.18 0.18
Choline Chloride 0.10 0.10 0.10
Trace Mineral Mix 0.05 0.05 0.05
Vitamin Mix 0.25 0.25 0.25
TOXIN BINDER 0.40 0.40 0.40
TOTAL 100.00 100.00 100.00

Produksi aflatoksin B1
Aspergillus flavus ditumbuhkan pada PDA sebagai kultur awal
untuk memproduksi Aflatoksin B1 pada substrat. A. flavus diinkubasi
selama 7 hari dengan suhu 30°C. Koloni jamur dipanen menggunakan 8
ml larutan steril 2% tween 80 kemudian di vorteks 30 detik hingga
tercampur.
Jagung digunakan sebagai substart aflatoksin B1. A. flavus
diinokulasikan pada jagung yang sudah berbentuk tepung. Kadar air
dalam jagung dikondisikan pada 25% dengan penambahan aquades
steril. Jagung kemudian disterilkan dengan autoclave selama 15 menit
dengan suhu 121°C dengan tekanan 105 atm.
Substrat jagung ditimbang 250 gram dan ditempatkan pada toples
plastik. Substrat diinokulasikan dengan 1 mL campuran A. flavus dan
larutan Tween 2%. Substrat yang yang sudah diinokulasi A. flavus
kemudian diinkubasi selama 5 hari dengan suhu 30°C. Pada hari kedua
ditambahkan 1 mL aquades steril untuk menjaga kelembaban jagung.
Jagung yang sudah diinokulasikan jamur A. flavus dipanen pada hari ke 6.
Total 5 g sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi ukuran 50 mL
dan diekstraksi dengan menambahkan 25 mL metanol 70% (V:V; 1:5).
Tabung digojok selama 3 menit menggunakan vortex, kemudian disaring
menggunakan kertas saring Whatman nomer 1. Hasil ekstraksi
merupakan sampel yang siap digunakan dalam pengujian kadar AFB1
dengan ELISA kit.
Tipe broiler dan kandang
Total 105 DOC broiler jantan digunakan dalam penelitian dengan
lama pemeliharaan 35 hari. DOC broiler jantan mendapatkan vaksin ND,
Gumboro, dan IB. Pemeliharaan dilakukan di kandang closed house
Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Kandang dibersihkan
terlebih dahulu seminggu sebelum digunakan untuk pemeliharaan dengan
cara fumigasi dengan formalin 4%.
Pada hari ke-1, DOC ditimbang untuk mengetahui bobot badan
awal. Kemudian DOC ditempatkan dalam 72 kandang koloni dengan
ukuran 100 x 75 cm sebanyak 5 ekor tiap kandang. Setiap kandang
dilengkapi dengan tempat pakan dan minum serta pengatur suhu untuk
menjaga temperatur sesuai dengan kebutuhan broiler.
Variabel yang diamati
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah produktivitas
ayam broiler dengan masa pemeliharaan 35 hari. Variabel yang diukur
meliputi konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, konversi pakan dan
mortalitas ayam broiler.
Konsumsi pakan. Konsumsi pakan (g/ekor) diperoleh dari hasil
perhitungan selisih antara pakan yang diberikan dengan pakan yang
tersisa. Penimbangan konsumsi pakan dilakukan setiap minggu pada
minggu 4 dan 5.
Pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan ayam
broiler (g/ekor) diperoleh dari perhitungan selisih antara bobot badan
ayam pada setiap fase pemeliharaan dengan awal pemeliharaan.
Konversi pakan. Konversi pakan diperoleh dari hasil perhitungan
konversi pakan yakni jumlah pakan yang dikonsumsi dibagi dengan
pertambahan bobot badan ayam broiler setiap fase pemeliharaan.
Mortalitas. Mortalitas dihitung dari jumlah ayam yang mati selama
pemeliharaan dibagi jumlah ayam penelitian dikalikan dengan 100%.

Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis statistik menggunakan
Completely Randomized Design (CRD) pola searah dengan aplikasi
SPSS version 16 berdasarkan nilai probabilitas kurang dari 5%. Data
dengan perbedaan yang nyata akan diuji lanjut dengan Duncan’s Multiple
Range Test. Model matematika rancangan acak lengkap sebagai berikut.
Yij = μ + αi + Ɛij
dengan I = 1, 2, …, t dan j = 1, 2, …, r
Yij = pengamatan pada individu ke-k pada toksin binder ke-i
μ = rerata populasi
αi = pengaruh toksin binder ke-i
Ɛij = penyimpangan efek lingkungan dan genetik yang tidak terkontrol dari
setiap individu

Daftar Pustaka
Ahmad, R.Z. 2009. Cemaran kapang pada pakan dan pengendaliannya.
Jurnal Litbang Peternakan. 28(1):15-22.
Filazi, A., B. Y. Dikmen, O. Kuzukiram dan U. T. Sireli. 2017. Mycotoxin in
Poultry. Poultry Science Chapter 4. Turkey. Pp 75-76.
Fowler, J., W. Li, C. Bailer. 2015. Effect of calcium bentonite clay in diets
containing aflatoxin when measuring liver residues of aflatoxin B1 in
starter broiler chicken. Toxin. 7 : 3455-3464.
Moenek, D. Y. 2014. Evaluasi Cemaran Aflatoksin B1 pada Pakan Ayam
Pedaging Komersial Di Kota Kupang. Jurnal Kajian Veteriner.
2(1):89-101.
Aristyawati, N. D. P., N. N. Puspawati, N. M.I Hapsari dan A. S. Duniaji.
2017. Cemaran aspergillus flavus penghasil aflatoksin b1 pada
jagung manis (Zea Mays saccharata) selama penyimpanan. Jurnal
ITEPA. 6(2):51-60.
Daou, R., K. Joubrane, R. G. Maroun, L. R. Khabbaz, A. Ismail dan A. E.
Khoury. 2021. Mycotoxins: Factors influencing production and
control strategies. AIMS Agriculture and Food. 6(1) : 416-447.
Yu, J. 2012. Current Understanding on Aflatoxin Biosynthesis and Future
Perspective in Reducing Aflatoxin Contamination. Toxins. 4:1024-
1057.
Nalle, C. L., M. A. J. Suppit, A. H. Angi dan N. S. Yuliani. 2021. The
Performance, Nutrient Digestibility, Aflatoxin B1 Residue, and
Histopathological Changes of Broilers Exposed to Dietary
Mycosorb. Tropical Animal Science Journal. 44(2):160-172.
Barati, M., M. Chamani, S. N. Mousavi, S. A. Hoseini, M. T. A. Ebrahimi.
2017. Effects of biological and mineral compounds in aflatoxin-
contaminated diets on blood parameters and immune response of
broiler chickens. Journal Applied Animal Research. 46:707-713.
Leeson, S., G. J. Diaz, dan J. D. Summers.1995. Poultry Metabolic
Disorders and Mycotoxin. Canada. 283.
Gomori, C., E. N. Farkas, E. B. Kerekes, S. Kocsube, C. Vagvolgyi dan J.
Krisch. 2013. Evaluation of five essential oils for the control of food
spoilage and mycotoxin-producing fungi. Acta Biologica
Szegediensis. 57(2): 113-116.
Murugesan , G. R., D. R. Ledoux, K. Naehrer, F. Berthiller, T. J.
Applegate, B. Grenier, T. D. Phillips dan G. Schatzmayr. 2015.
Prevalence and effects of mycotoxins on poultry health and
performance, and
recent development in mycotoxin counteracting strategies. Poultry
Science. 1298-1315.
Kusumaningrum, H. D., Suliantri, A. D. Toha, S. H. Putra dan A. S. Utami.
2010. Cemaran Aspergillus flavus dan aflatoksin pada rantai
distribusi produk pangan berbasis jagung dan faktor yang
mempengaruhinya. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan.
21(2):171-176.
Broto, W. 2018. Status cemaran dan upaya pengendalian aflatoksin pada
komoditas serealia dan aneka kacang. Jurnal Litbang Pertanian.
37(2):81-90.
Moenek, D. Y. J. A. 2014. Evaluasi cemaran aflatoksin B1 pada pakan
ayam pedaging komersial di Kota Kupang. Jurnal Kajian Veteriner.
2(1):89-101.
Abedi, A. dan Talebi, E. 2015. Effect of aflatoxins on poultry production
and control methods of destructive influence. ARPN Journal of
Agricultural and Biological Science. 10(12):441-446.
Rosa, C. A. R., R. Miazzo, C. Magnoli, M. Salvano, S. M. Chiacchiera, S.
Ferrero, M. Saenz, E. C. Q. Carvalho dan A. Dalcero. 2001.
Evaluation of the Efficacy of Bentonite from the South of Argentina
to Ameliorate the Toxic Effects of Aflatoxin in Broilers. Poultry
Science. 80(2):139-144.
Azeem, N., M. Nawaz, A. A. Anjum, S. Saeed, S. Sana, A. Mustafa, & M.
R. Yousuf. 2019. Activity and Anti-Aflatoxigenic Effect of
Indigenously Characterized Probiotic Lactobacilli against
Aspergillus flavus-A Common Poultry Feed Contaminant. Animals.
9:166.
Ortatli, M., Oguz, H., F. Hatipoglu dan M. Karaman. 2005. Evaluation of
pathological changes in broilers during chronic aflatoxin (50 and
100 ppb) and clinoptilolite exposure. Research in Veterinary
Science 78. 61-68.
Sumiati, Farhanuddin, W. Hermana, A. Sudarman, N. Istichomah dan A.
Setiyono. Performa Ayam Broiler yang Diberi Ransum Mengandung
Bungkil Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Hasil Fermentasi
Menggunakan Rhizopus oligosporus. Media Peternakan. 34(2):117-
125.

Anda mungkin juga menyukai