Anda di halaman 1dari 15

Pemanfaatan mikroorganisme sebagai probiotik ...

Pengembangan Inovasi Pertanian 2(3), 2009: 177-191

177

PEMANFAATAN MIKROORGANISME SEBAGAI PROBIOTIK UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI TERNAK UNGGAS DI INDONESIA1)
I Putu Kompiang
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jalan Raya Pajajaran Kav. E-59, Bogor 16143

PENDAHULUAN Perkembangan dan kemajuan suatu masyarakat tidak terlepas dari kemajuan dan perkembangan pertanian sebagai penghasil pangan. Sejalan dengan revolusi industri pada tahun 1930-an dan diikuti dengan revolusi hijau pada tahun 1950-an, jumlah penduduk dunia berkembang pesat. Jumlah penduduk Indonesia dalam kurun waktu 50 tahun terakhir bertambah lebih dari tiga kali lipat, dari 60-an juta menjadi sekitar 200-an juta. Hal ini dapat terjadi karena berbagai hal, salah satunya adalah peningkatan produksi pertanian melalui penerapan berbagai teknologi yang dimotori oleh revolusi industri dan revolusi hijau, seperti teknologi budi daya, bibit unggul, pupuk anorganik, bahan anorganik pemacu pertumbuhan, serta dapat diatasinya berbagai kendala seperti hama, penyakit, dan cekaman lingkungan. Misused atau abused dalam penerapan teknologi akan memberikan dampak yang negatif. Pupuk anorganik urea, misalnya, semula dikembangkan sebagai suplemen

1)

Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 4 Mei 2006 di Bogor.

pupuk organik. Namun, pemanfaatannya berubah menjadi pupuk utama dan pupuk organik sebagai suplemen. Bahkan sering dijumpai pupuk anorganik digunakan sebagai pupuk tunggal dan pupuk organik hampir tidak digunakan. Hal ini mengakibatkan berubahnya komposisi mikroorganisme dan menurunnya kandungan bahan organik dalam tanah, yang berdampak pada penurunan kualitas tanah dan produktivitasnya. Penelitian rumah kaca yang dilakukan Suratmini et al. (2002) menunjukkan bahwa penambahan mikroba tanah Bacillus sp. dapat meningkatkan kuantitas maupun kualitas produksi rumput Panicum maximum. Verifikasi di lapangan memberikan hasil serupa (Sajimin et al. 2000). Uji coba di rumah kaca dengan menggunakan tanaman jagung juga memberi hasil serupa, yaitu hasil meningkat sampai 20% dengan menambahkan mikroba tanah, walaupun takaran urea dikurangi 50% dari standar yang direkomendasikan. Di samping itu, mutu jagung yang dihasilkan lebih baik, kandungan protein jagung meningkat dari 7,8% menjadi 9,2%. Dengan kata lain, terjadi perbaikan ganda, yakni dalam kuantitas maupun kualitas. Tersedianya teknologi budi daya, bibit unggul, dan pakan yang memadai secara kualitatif maupun kuantitatif, menyebabkan

178

I Putu Kompiang

budi daya ternak dan ikan berkembang lebih intensif. Pada usaha intensif, pakan merupakan biaya tertinggi, dapat mencapai 70% atau lebih dari total biaya produksi. Oleh karena itu, berbagai penelitian dilakukan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pakan atau mencari bahan baku pakan yang lebih murah. Upaya tersebut antara lain meliputi: 1. Mempelajari kebutuhan nutrisi ternak sehingga bisa diformulasikan pakan yang sesuai dengan kebutuhannya. 2. Meningkatkan kandungan nutrisi dan kecernaan bahan baku yang berkualitas rendah. Pada onggok atau ampas dari produksi tapioka, proses fermentasi padat dapat meningkatkan kandungan protein onggok yang kurang dari 3% menjadi lebih dari 18% (Kompiang et al. 1995a, 1995b). 3. Menghilangkan antinutrisi yang terdapat dalam bahan baku pakan, seperti pemanasan (steaming) kedelai untuk menghancurkan antitripsin. 4. Meningkatkan efisiensi penggunaan pakan (feed conversion ratio, FCR), antara lain dengan menambahkan berbagai imbuhan pakan seperti enzim dan antibiotik. Dari keempat cara tersebut, tiga cara terakhir banyak dilakukan Balai Penelitian Ternak.

IMBUHAN PAKAN UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI PENGGUNAAN PAKAN Dari berbagai jenis imbuhan pakan, yang paling banyak digunakan pada skala komersial adalah subtherapeutical, pharmaceutical-type antibiotics sebagai growth (egg) promotor. Diperkirakan

13,7% dari total antibiotik di bidang peternakan adalah sebagai pemacu pertumbuhan. Penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (antibiotic growth promotor, AGP) pada peternakan mulai berkembang pada tahun 1950-an. Pada saat itu, produksi antibiotik sudah mulai efisien sehingga secara ekonomi dapat digunakan untuk peternakan. AGP dapat meningkatkan produktivitas ternak, menekan angka kematian, dan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan. Jenis antibiotik yang digunakan sebagai AGP antara lain adalah zinc-bacitracine, monensin, chloroxytetracycline, virginiamycine, benzyl penicillin, dan tetracycline (Yeo dan Kim 1997; Greitzer dan Leitgeb 1998). Mekanisme kerja AGP belum ada kesepakatan. Pemberian AGP tidak berpengaruh pada ternak yang bebas mikroba (germ-free animal). Pada unggas, pengaruh AGP bergantung pada tingkat sanitasi peternakan. Dampaknya makin nyata pada peternakan yang sanitasinya kurang baik. Dengan demikian, diperkirakan penekanan populasi mikroba dalam usus merupakan salah satu cara kerja AGP dalam memacu pertumbuhan atau produksi. AGP juga ikut terserap dengan nutrien dan tertimbun pada daging, telur atau susu, sehingga secara tidak langsung konsumen juga mendapatkan antibiotik dalam jumlah yang rendah. Para ahli kesehatan masyarakat memperkirakan penggunaan antibiotik pada level subtherapeutic sebagai AGP, kemungkinan besar merupakan penyebab berkembangnya populasi bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Akibatnya, penggunaan antibiotik sebagai terapi tidak efektif. Hal ini menjadi alasan makin ketatnya regulasi penggunaan antibiotik sebagai AGP dan diperkirakan penggunaannya sebagai AGP akan dilarang secara menyeluruh.

Pemanfaatan mikroorganisme sebagai probiotik ...

179

Dengan adanya dampak negatif penggunaan AGP, para peneliti menganjurkan untuk melarang penggunaan AGP. Di beberapa negara maju, penggunaan AGP sudah dilarang. Upaya mencari penggantinya difokuskan pada bahan-bahan alami, seperti mikroba maupun hasil metabolitnya berupa asam-asam organik. Penggunaan bahan-bahan alami diharapkan dapat menurunkan atau meniadakan dampak negatif tanpa menurunkan kinerja ternak. Kelompok mikroorganisme yang menguntungkan ini diberi nama probiotik.

PERKEMBANGAN PROBIOTIK Jasa mikroorganisme sebenarnya telah banyak dimanfaatkan manusia sejak lama. Berdasarkan gambar-gambar pada dinding dalam goa dari zaman purba, telah ada indikasi yang kuat bahwa bangsa Sumaria pada tahun 2500 sebelum Masehi, telah mempunyai kebiasaan menambahkan inokulum pada susu untuk menstimulasi fermentasi, dan kebiasaan tersebut masih dilakukan sampai sekarang (Kroger et al. 1989). Hampir semua bangsa di dunia mempunyai makanan tradisional, yang pembuatannya atau pengawetannya menggunakan mikroba. Pada umumnya, mereka menggunakan bakteri asam laktat saja atau dikombinasikan dengan mikroba lainnya. Di Indonesia, makanan yang disiapkan menggunakan mikroba antara lain adalah tape, asinan, bakasang, tempe, dan oncom. Dengan demikian, konsumsi mikroba dalam bentuk hidup maupun metabolitnya untuk kesehatan telah dilakukan oleh manusia sejak zaman dahulu. Namun apakah mereka sadar atau mengetahui manfaat mengonsumsinya, tidak diketahui dengan pasti.

Metschnikoff pada tahun 1908 adalah orang yang pertama kali mengadvokasi konsumsi bakteri asam laktat untuk mengontrol autointoksikasi yang disebabkan oleh perubahan imbangan mikrobiota dalam usus serta untuk mencegah dan mengobati berbagai penyakit. Namun, dengan pecahnya Perang Dunia I dan meninggalnya Metschnikoff pada tahun 1916, perhatian terhadap probiotik, kumpulan mikroba yang menguntungkan, menghilang, dan baru pada akhir tahun 1920-an perhatian mulai timbul kembali dengan penelitian yang lebih rinci sampai percobaan tingkat klinik pada manusia (Rettger dan Chepalin 1921; Rettger et al. 1935; Kopeloff 1926 dalam Fuller 1989). Kegiatan ini pun kemudian diinterupsi oleh Perang Dunia II, dan baru pada tahun 1950an dilakukan lagi dan yang paling penting oleh kelompok Fretter (1955, 1956). Sampai saat ini, telah disepakati bahwa mikrobiota dari sistem pencernaan merupakan satu sistem ekologi yang sangat esensial untuk kesehatan. Keseimbangan ekologi tersebut selalu mendapat tekanan dari berbagai faktor, yang sering memberi kesempatan bagi mikroba yang kurang atau tidak diharapkan untuk berkembang biak sehingga memberikan dampak negatif bagi kesehatan maupun kinerja ternak. Disepakati bahwa pengobatan dengan antibiotik akan mengganggu stabilitas ekologi mikrobiota usus, sehingga menurunkan pertumbuhan dan daya tahan terhadap infeksi, terutama setelah pengobatan dihentikan. Penelitian Metschnikoff dapat dianggap sebagai awal pemanfaatan mikroba untuk kesehatan. Namun, pada saat itu kurang mendapat sambutan karena pada saat yang sama juga ditemukan antibiotik neomisin, yang daya kerjanya jauh lebih

180

I Putu Kompiang

cepat dari probiotik untuk mengatasi infeksi sistem pencernaan. Sistem pencernaan berperan vital dalam ekstraksi nutrien dari pakan dan penyerapannya untuk dapat digunakan oleh sel tubuh. Kunci utama yang terjadi dalam sistem pencernaan adalah kemampuannya untuk mencerna pakan yang memungkinkan nutrien tersebut diserap tubuh. Pencernaan merupakan proses kimiawi dan fermentasi oleh mikrobiota yang ada di dalam usus. Interaksi antara mikrobiota dan nutrisi sangat kompleks. Mikrobiota dapat mempengaruhi pencernaan dan penyerapan nutrien. Produk hasil metabolisme mikroba juga merupakan nutrien atau mempengaruhi kesehatan inangnya. Dengan kata lain, keseimbangan mikroba dalam sistem pencernaan berperan penting bagi kesehatan, kecernaan pakan, dan efisiensi produksi. Kumpulan mikroba yang menguntungkan diberi istilah probiotik, satu kata yang berasal dari kata Yunani yang berarti untuk kehidupan. Di antara para peneliti terdapat sedikit perbedaan pendapat mengenai apa saja yang dapat disebut sebagai probiotik, antara lain: Probiotik adalah suatu senyawa yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme yang dapat memacu pertumbuhan mikroorganisme lainnya, jadi merupakan kebalikan dari antibiotik (Lilly dan Stillwell 1965). Probiotik adalah ekstrak dari jaringan yang dapat menstimulasi pertumbuhan mikroorganisme (Sperti 1971). Probiotik adalah organisme dan substrat yang mempunyai pengaruh ter-

hadap keseimbangan mikrobiota dalam sistem pencernaan (Parker 1974). Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang bila dikonsumsi oleh inang akan memberikan pengaruh yang menguntungkan baginya dengan memperbaiki lingkungan mikrobiota yang ada dalam sistem pencernaan (Fuller 1989). Dari berbagai definisi tersebut, penulis mengartikan probiotik sebagai mikroba hidup atau sporanya yang dapat hidup atau berkembang dalam usus; dan dapat menguntungkan inangnya baik secara langsung maupun tidak langsung dari hasil metabolitnya. Substrat dapat mengubah mikroekologi usus sedemikian rupa sehingga mikroba yang menguntungkan dapat berkembang dengan baik. Akhir-akhir ini, probiotik diberi istilah prebiotik, dan kombinasi antara probiotik dan prebiotik diberi nama sinbiont. Probiotik, mikroba yang menguntungkan, adalah mikroba yang dapat memperbaiki mikroekologi usus yang berdampak positif terhadap kesehatan inang. Timbul pertanyaan, apakah mungkin mengembangkan probiotik atau prebiotik untuk ternak. Dalam rumen ternak ruminansia, dijumpai berbagai jenis mikroba yang membantu pencernaan. Dengan lain kata, ternak secara alami telah memanfaatkan bantuan mikroba dalam pencernaannya, dan oleh karenanya mereka telah menggunakan probiotik. Ternak mampu memanfaatkan serat kasar karena adanya mikroba dalam rumen yang mampu memecahnya menjadi senyawa sederhana yang kemudian diserap tubuh. Pada ternak nonruminansia seperti unggas, dalam ususnya juga dijumpai berbagai mikroba, baik yang

Pemanfaatan mikroorganisme sebagai probiotik ...

181

menguntungkan maupun yang merugikan atau patogen (Tabel 1). Namun dalam usus ayam hanya sedikit dijumpai mikroba yang mampu mendegradasi serat kasar, sehingga ternak kurang dapat memanfaatkan serat sebagai sumber energi atau nutrien seperti halnya ternak ruminansia. Adanya mikroba yang menguntungkan yang secara alami ada dalam usus memberi peluang (kemungkinan) untuk mengisolasi dan memperbanyaknya, yang kemudian diintroduksi kembali ke sistem pencernaan serta dipakai sebagai probiotik. Agar probiotik efektif, mikroorganisme tersebut harus dapat aktif dalam berbagai kondisi lingkungan yang berbeda dan tetap hidup dalam berbagai bentuk. Mikroba tersebut harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain: (1) dapat diproduksi secara massal; (2) tetap stabil dan viable dalam waktu lama dalam kondisi penyimpanan dan di lapang; (3) dapat bertahan hidup (akan lebih baik kalau dapat tumbuh) di dalam saluran pencernaan; dan (4) memberikan dampak yang menguntungkan pada inang. Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, banyak penelitian dilakukan untuk mengkaji peluang penggunaan mikroba atau metabolitnya

sebagai imbuhan pakan untuk menggantikan AGP yang diketahui mempunyai dampak negatif, baik bagi ternak ruminansia, nonruminansia, perikanan maupun manusia. Prospek penggunaan probiotik pada sapi, unggas, dan babi telah banyak diulas (Barrow 1992; Goldin dan Gorbach 1992; Jonsson dan Conway 1992; Wallace dan Newbold 1992; Huber 1997). Dalam upaya mengembangkan probiotik untuk unggas, bila dominasi mikroba yang menguntungkan dapat dicapai, diharapkan kinerja ayam akan lebih baik. Penambahan kultur Lactobacillus (Yeo dan Kim 1997; Jin et al. 1998), Saccharomyces cerevisiae (Najib 1996), Streptococcus faecium (Angelovicova 1996) pada ransum mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan, produksi telur, dan efisiensi penggunaan pakan. Kumprecht dan Zobac (1998) juga melaporkan bahwa penambahan kultur S. cerevisiae dan Enterococcus faecum pada ransum dapat mencukupi sebagian kebutuhan ayam akan vitamin B. Beberapa mikroba yang mempunyai potensi sebagai probiotik antara lain adalah Lactobacillus acidophilus, L. casei, L.

Tabel 1. Kandungan mikroba utama yang viable pada saluran pencernaan ayam (Log10 median 5-7 ayam). Mikroba E. coli Clostridia Enterococci Lactobacilli Yeast Nonsporing obligate anaerobe Anaerobe streptococci Sumber: Smith (1965). Tembolok 1,7 4,0 8,7 2,7 Ampela 3,7 7,3 Usus 2,0 4,0 8,2 1,7 Sekum 5,6 9,0 6,7 8,7 2,0 Feses 611 2,0 6,5 8,5 1,7 10,1 10,0

182

I Putu Kompiang

fermentum, L. plantarum, L. salivarius, L. reuteri, L. delbrueckti, L. lactis, L. cellobiosus, L. brevis, Aspergillus oryzae, Bifidobacterium longum, B. pseudologum, B. bifidum, B. suis, B. thermophilum, Bacillus subtilis, Enterococcus faecum, Saccharomyces cerevisiae, Streptococcus faecium, dan S. intermedius. PENGEMBANGAN PROBIOTIK UNTUK UNGGAS Pada tahun 1999-2000, Balai Penelitian Ternak mulai mengembangkan probiotik untuk unggas (ayam). Untuk memperoleh kandidat probiotik, dilakukan isolasi mikroba dari ayam ras yang mendapat pakan komersial yang kemungkinan besar mengandung AGP, dan ayam kampung yang kemungkinan besar tidak memperoleh AGP. Mikroba dari dalam usus ayam dipilih dengan harapan mikroba tersebut merupakan mikroba indigenous, sehingga berpeluang dapat tumbuh dan berkembang dalam usus ayam. Dari isolat yang diperoleh, perhatian difokuskan pada Bacillus sp. karena bakteri tersebut memiliki beberapa sifat sebagai berikut:

1. Bersifat aerob fakultatif sehingga diharapkan mampu hidup dan berkembang dalam usus ternak, dan untuk memproduksinya memerlukan peralatan yang sederhana. 2. Berspora sehingga penyimpanannya lebih sederhana, dan tetap viable pada saat proses pembuatan pakan. 3. Menghasilkan enzim pencernaan seperti protease dan amilase yang dapat membantu pencernaan, serta memproduksi asam-asam lemak rantai pendek yang mempunyai sifat antimikroba. Dari berbagai mikroba yang diisolasi, yang dijadikan kandidat sebagai probiotik adalah B. apiarius. Uji coba di laboratorium dengan menggunakan ayam ras menunjukkan bahwa kultur B. apiarius yang diberikan melalui air minum maupun pakan, efektif menggantikan AGP, baik untuk ayam pedaging maupun petelur (Kompiang et al. 2002, 2004). Pemberian B. apiarius secara nyata meningkatkan produksi, memperbaiki FCR, dan menekan mortalitas (Tabel 2). Laporan senada disampaikan oleh Arslan dan Saattci (2004) dengan menggunakan burung puyuh.

Tabel 2. Pengaruh Bacillus apiarius terhadap penampilan ayam petelur. Parameter Konsumsi pakan (g/ekor/hari) Persentase produksi harian (% HD) Total produksi telur (kg/ekor/16 minggu) Bobot telur (g/butir) Rasio konversi pakan Mortalitas (ekor/400 ekor) Sumber: Kompiang et al. (2004) AGP 123,50 77,83 4,85 55,58 2,86 20 Kultur B. apiarius 128,50 88,75 5,82 58,52 2,48 9 Bacillus sp. campuran 122,10 88,58 5,64 56,35 2,43 5 S.EM 2,45 1,85 0,21 1,78

Pemanfaatan mikroorganisme sebagai probiotik ...

183

Kemampuan Hidup Bacillus sp. dalam Saluran Pencernaan Dari observasi tersebut timbul pertanyaan mengenai mekanisme kerja kultur B. apiarius, apakah yang berfungsi mikrobanya atau metabolitnya. Untuk itu, perkembangan jumlah Bacillus sp. dalam saluran pencernaan diteliti. Jumlah Bacillus dalam tembolok mencapai 3,2 x 108 coloni forming unit (CFU)/ml, dalam ampela menurun menjadi 2,8 x 107 CFU/ml, kemudian dalam usus halus meningkat menjadi 8,2 x 109 CFU/ml, dalam kloaka menurun menjadi 5,7 x 107 CFU/ml, dan dalam feses menurun lagi menjadi 2,4 x 104 CFU/ml (Sjofjan 2003). Dari observasi ini dapat disimpulkan bahwa Bacillus sp. mampu berkembang dalam saluran pencernaan ayam sehingga memenuhi salah satu kriteria sebagai probiotik.

Probiotik dan FCR Perbaikan FCR pada ayam yang memperoleh probiotik juga dilaporkan oleh banyak peneliti (Yeo dan Kim 1997; Denli et al. 2003; Arslan dan Saattci 2004). Perbaikan FCR menunjukkan bahwa kecernaan dan absorbsi pakan lebih baik. Suplementasi E. facium pada pakan ayam akan meningkatkan kecernaan selulosa. Sjofjan (2003) melaporkan bahwa kecernaan protein meningkat dari 65,7% menjadi 71,5% dan kandungan energi termetabolis pakan meningkat dari 2.558 kkal/kg menjadi 2.601 kkal/ kg pada ayam yang memperoleh probiotik Bacillus sp. dibandingkan dengan kontrol yang memperoleh AGP. Peningkatan tersebut kemungkinan besar berkaitan erat dengan meningkatnya aktivitas enzim protease pada usus halus menjadi 5,28 IU, lebih tinggi dari kontrol yang hanya 1,82 IU.

Begitu pula halnya dengan aktivitas enzim amilase meningkat dari 58,92 IU menjadi 69,50 IU (Sjofjan 2003). Sumber enzim ini belum jelas, apakah diproduksi ayam itu sendiri atau hasil ekskresi Bacillus sp. Bacillus sp. diketahui merupakan penghasil protease yang baik, sehingga banyak protease komersial yang diproduksi dengan menggunakan Bacillus sp. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa probiotik juga mempengaruhi anatomi usus. Secara makroskopis, usus ayam menjadi lebih panjang, dan secara mikroskopis probiotik mempengaruhi densitas dan panjang villi. Ayam yang memperoleh Bacillus sp. mempunyai villi yang lebih panjang (78,12 um vs 46,14 um) dan densitas lebih padat (16,25 vs 12,00/10 cm2) daripada ayam yang memperoleh AGP. Dengan kata lain, luas permukaan usus untuk menyerap nutrien lebih luas pada ayam yang memperoleh probiotik Bacillus sp. dibandingkan dengan yang mendapat AGP (Sjofjan 2003; Winarsih 2005). Perbaikan FCR pada ayam yang memperoleh probiotik Bacillus sp. kemungkinan besar karena kecernaan bahan pakan lebih sempurna. Hal tersebut tercermin dari meningkatnya aktivitas (kandungan) enzim pencernaan dan penyerapannya lebih sempurna dengan makin luasnya area absorpsi. Dari segi biaya produksi, perbaikan FCR 10% berarti penekanan biaya sekitar 7% dari total biaya. Dengan lain kata, dengan modal yang sama, produksi dapat meningkat sampai 7%, yang merupakan nilai yang cukup signifikan.

Probiotik dan Mikroflora Usus Pada penggunaan AGP, populasi mikroba secara menyeluruh ditekan, sedangkan

184

I Putu Kompiang

pada penambahan probiotik, komposisi mikroflora usus kemungkinan berubah sehingga jumlah mikroba yang menguntungkan meningkat. Jin et al. (1996) melaporkan bahwa ayam pedaging yang diberi probiotik B. subtilis atau kultur laktobasilus, kandungan laktobasilusnya dalam usus, yang diketahui mempunyai pengaruh baik terhadap kesehatan, lebih tinggi dari yang memperoleh AGP. Begitu pula pada ayam petelur, Sjofjan (2003) melaporkan peningkatan kandungan laktobasilus pada ayam yang diberi probiotik campuran Bacillus sp. Pada saat yang sama, kandungan E. coli menurun dan Salmonella sp. tidak terdeteksi. Percobaan pada itik dengan menggunakan B. circulan sebagai probiotik juga tidak mendeteksi adanya Salmonella sp. pada usus maupun telur (Manin 2003). Pada percobaan di mana ayam yang memperoleh kultur Bacillus sp. ditantang dengan Salmonella, ternyata dalam waktu 2 minggu pascainfeksi, Salmonella tidak terdeteksi dalam sekumnya. Pada ayam kontrol, sampai minggu keempat masih terdeteksi adanya Salmonella (Kompiang et al. 2004). Penambahan mikroorganisme juga dapat mencegah berbagai penyakit, seperti diare pada babi dengan penambahan B. cereus (Zani et al. 1998). Gilberg et al. (1997) juga melaporkan bahwa suplementasi pakan dengan bakteri asam laktat dapat meningkatkan daya tahan Atlantic cod (Gadus morhua) terhadap serangan vibrio. Menurun atau tereliminasinya mikroba patogen mungkin merupakan salah satu penyebab membaiknya penampilan ayam yang diberi probiotik. Mekanisme kultur Bacillus sp. dalam mengeliminasi Salmonella dan patogen lainnya belum jelas. Winarsih (2005) melaporkan bahwa di dalam usus, Bacillus sp. melakukan adhesi

yang kuat dengan dinding usus, mencegah kolonisasi usus oleh mikroba patogen, sehingga kesempatan Salmonella untuk menempel pada usus jauh berkurang. Dengan demikian, Salmonella hanya berada dalam lumen dan akan dikeluarkan bersama feses. Percobaan in vitro menunjukkan bahwa kultur Bacillus dapat menekan perkembangan Salmonella. Bacillus sp. dapat menghasilkan asam-asam organik rantai pendek seperti asam asetat, butirat, propionat, dan asam laktat. Asam-asam organik rantai pendek diketahui mempunyai sifat antimikroba dan digunakan dalam produksi silase ikan secara kimiawi untuk mencegah pembusukan (Kompiang 1979, 1981; Kompiang dan Ilyas 1981). Asam organik secara luas digunakan di Eropa untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen, seperti Salmonella dalam bahan baku pakan maupun pakan jadi. Asam organik dapat melewati dinding sel bakteri dalam bentuk tidak terdisosiasi. Begitu ada di dalam sel, asam tersebut akan berdisosiasi menghasilkan ion H+ yang akan menurunkan pH sel, sehingga bakteri tersebut akan menggunakan energinya untuk mengembalikan keseimbangan yang normal. Sebaliknya, radikal anion RCOOakan mengganggu DNA dan sintesis protein sehingga organisme tersebut menjadi stres dan tidak mampu bereplikasi (Nursey 1997). Nilai keasaman yang lebih rendah akan melindungi ternak dari infeksi, terutama pada ternak muda. Perbaikan penampilan ayam yang diberi asam organik tidak sebesar pada babi (Patten dan Waldroup 1988; Thompson dan Hinton 1997). Efektivitas asam organik pada ayam kemungkinan juga bergantung pada komposisi pakan dan buffering capacity-nya. Asam organik juga dapat menurunkan produksi toksin oleh bakteri dan meng-

Pemanfaatan mikroorganisme sebagai probiotik ...

185

ubah morfologi dinding usus dan mengurangi kolonisasi bakteri patogen (Langhout 2000). Dengan kemampuan asam organik mengeliminasi Salmonella dari saluran pencernaan, perlu dilakukan pengkajian mengenai peluang asam organik tersebut digunakan sebagai pengendali Salmonella di lapang, mengingat sampai saat ini belum ada cara yang efektif untuk mengendalikannya. Infeksi Salmonella subklinis merupakan salah satu kendala yang sukar ditanggulangi dan menyebabkan kerugian yang cukup besar.

Uji Coba (Verifikasi) Probiotik di Lapang Walaupun pemberian probiotik dalam skala kandang percobaan di Balai Penelitian Ternak memberikan respons yang memuaskan, hasil yang sama belum tentu akan diperoleh di lapang. Oleh karena itu, probiotik, kultur Bacillus sp. yang telah diuji coba di laboratorium perlu diuji (diverifikasi) di lapangan. Uji coba secara multilokasi (tingkat manajemen) dan multitahun memberikan hasil yang sama dengan uji coba di kandang percobaan. Namun, dampaknya bervariasi, bergantung pada lokasi. Besarnya dampak, seperti

halnya penggunaan AGP, kelihatannya dipengaruhi oleh sanitasi di peternakan. Pada peternakan komersial dan sanitasinya baik, dampak kultur Bacillus sp. lebih kecil dibanding di peternakan rakyat yang sanitasinya relatif lebih buruk (Tabel 3). Dampak probiotik yang bervariasi di berbagai lokasi atau sistem pemeliharaan dimungkinkan, karena probiotik bukan merupakan faktor tunggal, tetapi banyak faktor yang mempengaruhi kinerjanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja probiotik antara lain adalah: (1) komposisi mikrobiota inang, (2) cara pemberian probiotik, (3) umur dan jenis inang, serta (4) kualitas dan jenis probiotik yang digunakan.

Komposisi Mikrobiota Inang Kinerja ternak seperti diuraikan di atas dipengaruhi oleh komposisi mikrobiota dalam ususnya. Oleh karena itu, agar probiotik mempunyai dampak, mikrobiota pada usus harus mengandung mikroba yang mempunyai dampak negatif terhadap inangnya, misalnya mikroba yang menekan pertambahan bobot hidup. Bila mikroba semacam itu tidak ada maka penambahan probiotik tidak ada atau kurang manfaat-

Tabel 3. Penampilan ayam pedaging yang diberi kultur Bacillus apiarius di berbagai lokasi. Peubah Mortalitas Konversi pakan PBBb Perlakuan Kontrol Kultur B. apiarius Kontrol Kultur B. apiarius Kontrol Kultur B. apiarius Peternakan komersial 2,60 1,90 1,53 1,51 1.385 1.490 Peternakan rakyat 5,50 2,80 1,78 1,65 -

186

I Putu Kompiang

nya. Kenyataan ini juga berlaku pada penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan. Walaupun dalam mikrobiota usus terdapat berbagai jenis mikroba, probiotik tidak harus mengandung kesemuanya, karena ternak kemungkinan hanya kekurangan satu atau beberapa strain saja. Pada ayam, misalnya, diperlukan sekitar 48 strain untuk dapat melindunginya dari serangan Salmonella (Mead dan Impey 1987). Penambahan laktobasilus akan meningkatkan daya tahan ayam terhadap serangan Salmonella. Namun demikian, bila hanya ada laktobasilus, kolonisasi Salmonella sulit dicegah. Dengan demikian, apakah probiotik mengandung mikroba yang benar atau tidak, sesuai dengan kebutuhan, bergantung pada jenis mikroba yang tidak dimiliki ternak.

Kompiang (2000) melaporkan bahwa pada ayam petelur, pengaruh pemberian probiotik masih terdeteksi sampai 2 minggu setelah pemberian dihentikan.

Umur dan Jenis Inang Komposisi mikrobiota pada usus ternak terus berubah dengan bertambahnya umur. Pada umumnya, probiotik akan lebih efektif bila diberikan pada ternak yang masih muda. Pemberian probiotik pada babi periode stater menunjukkan respons yang lebih baik dibandingkan pada stadia finisher (Pollman et al. 1980). Begitu pula pada sapi perah. Kebiasaan mengubah jenis pakan yang sering dilakukan mengikuti umur ternak juga dapat mengubah komposisi mikrobiota dalam usus, yang selanjutnya akan mempengaruhi pemberian probiotik dengan kandungan mikroba yang sama.

Cara Pemberian Penggunaan probiotik yang sama kemungkinan akan memberi hasil yang berbeda pada lokasi yang berlainan bila cara pemberiannya berbeda, seperti diberikan secara terus-menerus atau dengan menggunakan dosis tunggal. Sampai saat ini belum diketahui dosis probiotik minimal yang efektif. Beberapa percobaan menunjukkan bahwa pengaruh probiotik biasanya akan cepat atau lambat hilang setelah pemberiannya dihentikan. Dalam percobaan pada tikus dan manusia, pengaruh probiotik segera hilang setelah pemberian probiotik dihentikan (Cole dan Fuller 1984; Goldin dan Gorbach 1984). Pada babi dan ayam, mikroorganisme probiotik tidak dapat lagi diisolasi dari perutnya setelah 7 hari pemberian probiotik dihentikan (Johnson 1986; Votava et al. 1987).

Kualitas dan Jenis Probiotik yang Digunakan Viabilitas probiotik sangat berpengaruh pada hasil penggunaannya. Pada percobaan atau aplikasi di lapang, sangat jarang dilakukan verifikasi untuk mengetahui apakah kandungan probiotik yang digunakan sesuai dengan yang tertera pada label, baik jumlah maupun strain mikrobanya. Hasil yang kurang memuaskan kemungkinan besar dapat terjadi karena viabilitas mikroba tidak sebaik yang tertera pada label. Di samping itu, mikroba dari spesies yang sama namun beda strain, kemungkinan mempunyai efektivitas yang berbeda. Barrow et al. (1980) melaporkan bahwa pada babi, strain streptokokus dan

Pemanfaatan mikroorganisme sebagai probiotik ...

187

laktobasilus yang paling efektif adalah yang diisolasi dari babi itu sendiri. Uji verifikasi di lapangan memberikan hasil yang senada dengan di laboratorium, bahkan dampaknya lebih besar, terutama pada peternakan rakyat. Ini berarti penggunaan probiotik dapat meningkatkan produktivitas ternak dan pendapatan peternak kecil.

Probiotik dan Mutu Produk Penghentian penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan akan menghilangkan residu antibiotik pada produk ayam seperti telur dan daging. Demikian pula kemungkinan berkembangnya mikroba yang resisten terhadap antibiotik dapat diperkecil atau ditiadakan. Dengan hilangnya residu antibiotik dalam daging maupun telur maka produk ternak tersebut aman untuk dikonsumsi, suatu hal yang sangat penting bagi kesehatan masyarakat. Seperti diuraikan di atas, probiotik dari kelompok Bacillus sp. mampu menekan mikroba patogen (Salmonella dan E. coli) dalam usus, sehingga kandungan Salmonella dalam daging maupun telur akan menurun atau hilang. Dengan kata lain, produk yang dihasilkan bebas dari Salmonella sehingga aman bagi konsumen. Probiotik juga dilaporkan mempengaruhi metabolisme kolesterol. Ayam yang diberi probiotik (B. licheniformis dan B. subtilis) memiliki kandungan kolesterol dalam serumnya 115 mg/100 ml, lebih rendah dibanding kontrol (130 ml/100 ml). Namun, Arslan dan Saattci (2004) melaporkan tidak ada perbedaan yang nyata dari pengaruh pemberian probiotik (Lactobacillus bulgaris) terhadap serum koles-

terol pada burung puyuh, namun kadar gula secara nyata lebih rendah. Afriani (2003) melaporkan kandungan kolesterol pada ayam pedaging yang diberi probiotik Bacillus sp. (83,83 mg/100 ml plasma) atau S. cerevisiae (82,50 mg/100 m1 plasma) lebih rendah dari kontrol yang memperoleh AGP (109,33 mg/100 ml plasma). Pemberian probiotik juga dapat menurunkan kandungan kolesterol pada kuning telur. Sjofjan (2003) melaporkan kandungan kolesterol telur ayam yang diberi probiotik Bacillus sp. (3,34 mg/100 g kuning telur) lebih rendah dari kontrol yang memperoleh AGP (4,58 mg/100 g kuning telur). Mekanisme penurunan kandungan kolesterol pada plasma maupun kuning telur belum diketahui. Kemungkinan mikroba probiotik memanfaatkan kolesterol yang ada dalam pakan untuk metabolismenya sendiri sehingga jumlah kolesterol yang tersedia untuk inangnya menurun. Pemberian probiotik berdampak positif terhadap mutu daging maupun telur dengan kandungan kolesterol yang lebih rendah, serta bebas dari residu antibiotik, Salmonella atau patogen lainnya. Kolesterol akhir-akhir ini dianggap sebagai penyebab berbagai penyakit, terutama arteriosklerosis, penyebab tekanan darah tinggi dan sebagainya. Oleh karena itu, produk ternak dengan kandungan kolesterol rendah merupakan dambaan masyarakat. Pemanfaatan probiotik akan dapat memenuhi tuntutan tersebut. Begitu pula residu antibiotik pada produk ternak, yang oleh para ahli kesehatan masyarakat dianggap sebagai penyebab resistensi berbagai mikroba terhadap antibiotik untuk pengobatan pada manusia, dapat dieliminasi melalui pemberian probiotik sebagai imbuhan pakan menggantikan AGP.

188

I Putu Kompiang

KESIMPULAN DAN LANGKAH KE DEPAN Probiotik, Bacillus sp. mempunyai prospek untuk digunakan sebagai imbuhan pakan dan dapat diberikan melalui pakan maupun air minum. Dengan materi yang sama, produksi unggas intensif/ras dapat meningkat sampai 10% melalui perbaikan konversi pakan dan penekanan angka kematian hingga 50%. Suplementasi probiotik dapat menekan angka kematian unggas lokal sampai 50% atau lebih sehingga produktivitasnya pun meningkat dengan nyata. Probiotik dapat mengendalikan infeksi berbagai penyakit seperti Salmonella, suatu penyakit zoogenesis yang dapat menulari manusia. Bagi peternak, infeksi subklinis Salmonella juga merugikan karena menurunkan produktivitas ternak, satu kerugian yang tidak mudah terdeteksi. Penurunan produktivitas dapat mencapai 10%, yang dapat dihindari dengan memberikan probiotik pada ternak. Pemberian probiotik juga akan menghasilkan daging dan telur yang lebih sehat bagi konsumen karena tidak mengandung residu antibiotik serta kolesterolnya lebih rendah. Kekhawatiran akan berkembangnya mikroba/bakteri yang resisten terhadap antibiotik juga dapat dihindari, sehingga pemanfaatan antibiotik untuk pengobatan manusia akan tetap efektif. Pemanfaatan mikroba tidak hanya pada unggas, tetapi juga pada semua jenis ternak akan memberikan dampak positif bagi ternak maupun hasil ternak, juga pada konsumen. Pencarian mikroba yang lebih efektif perlu terus dilakukan, misalnya untuk memperoleh probiotik yang mampu menghasilkan enzim selulase, agar ternak monogastrik lebih mampu memanfaatkan

serat sehingga biaya pakan menurun. Bahan baku pakan yang banyak tersedia umumnya merupakan hasil samping agroindustri yang kadar serat kasarnya tinggi dan kecernaannya rendah. Pengembangan probiotik untuk budi daya perikanan mempunyai potensi yang cukup besar. Penambahan probiotik Bacillus sp. dapat memperbaiki efisiensi penggunaan pakan pada ikan kerapu dan meningkatkan kelangsungan hidup pada pembenihan maupun budi daya udang. Salah satu cara introduksi mikroba ke tanah adalah melalui kompos. Pembuatan kompos dari sisa-sisa organik, baik berupa hasil ikutan kegiatan pertanian maupun sampah rumah tangga, pasar dan kota perlu digalakkan. Teknologi pembuatan kompos yang lebih efektif, dengan menggunakan starter atau mikroba yang mempercepat dekomposisi bahan organik dan juga menguntungkan bagi tanaman perlu lebih ditingkatkan. Pemberian kompos pada lahan pertanian memberikan keuntungan ganda, yaitu memperbaiki komposisi mikroba tanah dan meningkatkan kandungan bahan organik tanah. Agar pemanfaatan mikroba dalam perbaikan pertanian, peternakan maupun perikanan efektif, diperlukan pengembangan microbial cocktail untuk setiap spesies tanaman, ternak atau ikan. Cocktail tersebut harus: (1) dapat disiapkan dalam skala cukup besar, (2) tetap stabil dan viable dalam waktu cukup lama, (3) dapat hidup dan berkembang biak, dan (4) memberikan dampak positif pada inangnya.

DAFTAR PUSTAKA Afriani, H. 2003. Pengaruh dosis kultur Bacillus sp. dan Saccharomyces cere-

Pemanfaatan mikroorganisme sebagai probiotik ...

189

visiae sebagai probiotik terhadap performa, kadar lemak dan kolesterol karkas ayam broiler. Tesis Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung. Angelovicova, M. 1996. The effect of Streptococcus faecium M-74 based probiotic on the performance of laying hens. ZivocisnaVyroba 41(9): 391-395. Arslan, C. and M. Saattci. 2004. Effects of probiotic administration either as feed additive or by drinking water on performance and blood parameters of Japanese quail. Arch. Geflugelk. 68: 160-163. Barrow, P.A., B.E. Brooker, R. Fuller, and M.J. Newport. 1980. The attachment of bacteria to the gastric epithelium of the pig and its importance in the microecology of the intestine. J. Appl. Bacteriol. 48: 147-154. Barrow, P.A. 1992. Probiotics for chickens. p. 225-257. In R. Fuller (Ed.). Probiotics. The scientific basis. Chapman and Hall, London. Cole, C.B. and R. Fuller. 1984. A note on the effect of host specific fermented milk on the coliform population of the neonatal rat gut. J. App. Bateriol. 56: 495-498. Denli, M., F. Okan, and K. Celik. 2003. Effect of dietary probiotic, organic acid and antibiotic supplementation to diets on broiler performance and carcass yield. Pakistan J. Nutr. 2: 89-91. Fretter, R. 1955. The fatal enteric chlorela infection in the guinea pig achieved by inhibition of normal enteric flora. J. Infection Dis. 97: 57-65. Fretter, R. 1956. Experimental enteric Shigella and Vibrio infections in mice and guinea pigs. J. Exp. Med. 104: 411418.

Fuller, R. 1989. Probiotics in man and animals. J. Appl. Bacteriol. 66: 365-378. Gilberg, A., H. Mikkeisen, E. Sandaker, and E. Ringo. 1997. Probiotic effect of lactic acid bacteria in the feed on growth and survival of fry of Atlantic cod (Gadus morhua). Hidrobiologia 352: 279-285. Goldin, B.R. and S.L. Gorbach. 1984. The effect of milk and lactobacillus feeding on human intestinal bacterial enzyme activity. Amer. J. Glin. Nutr. 39: 756-761. Goldin, B. R. and S.L. Gorbach. 1992. Probiotic for human. p. 355-376. In R. Fuller (Ed.). Probiotics. The scientific basis. Chapman and Hall, London. Greitzer, K. and R. Leitgeb. 1998. Evaluation of the effectiveness of antibiotic and probiotic growth promotors on the performance of fattening bulls. Bodenkultur 49: 51- 69. Huber, J.T. 1997. Probiotic in cattle. p. 162185. In R. Fuller (Ed.), Probiotics. 2 Application and practical aspects. Chapman and Hall, London. Jin, L.Z., Y.W. Ho, N. Abdullah, and S. Jalaludin. 1996. Influence of dried Bacillus subtilis and Lactobacillus culture on intestinal microflora and performance in broiler. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 9: 397-404. Jin, L.Z., Y.W. Ho, N. Abdullah, M.A. AIi, and S. Jalaludin. 1998. Effect of adherent lactobacillus cultures on growth, weight of organs and intestinal microflora and volatile fatty acids in broiler. Anim. Feed. Sci. Technol. 70(3): 197-209. Johnson, E. 1986. Persistence of Lactobacillus strain in the gut of suckling piglet and its influence on performance and health. Swed. J. Agric. Res. 6: 43-47.

190

I Putu Kompiang

Jonsson, E. and P. Conway. 1992. Probiotic for pigs. p. 260-316. In R. Fuller (Ed.), Probiotics. The scientific basis. Chapman and Hall, London. Kompiang, I P. 1979. Utilization of trash fish and fish wastes in Indonesia. p 131-137. In C.A. Schacklady (Ed.). The Use of Organic Residues in Rural Communities. The United Nation University. Kompiang, I P. 1981. Processing trash fish waste for animal feed. First ASEAN Workshop on the Technology of Animal Production Utilizing Food Waste. ASEAN Committees on Science and Technology. p 49-60. Kompiang, I P. and S. Ilyas. 1981. Fish silage: Its prospect and future in Indonesia. Indon. Agric. Res. Dev. J. 3(1): 9-12. Kompiang, I P., T. Haryati, T. Purwadaria, dan Supriyati. 1995a. Pengaruh kadar mineral terhadap sintesis protein dan laju pertumbuhan A. niger. hlm. 468473. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi LIPI, Bogor. Kompiang, I P., T. Haryati, T. Purwadaria, dan Supriyati. 1995b. Pengaruh suhu lingkungan dan kadar air terhadap kualitas cassapro. hlm. 109-114. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Balai Penelitian Ternak, Bogor. Kompiang, I P. 2000. Pengaruh suplementasi kultur Bacillus spp. melalui pakan atau air minum terhadap kinerja ayam petelur. Jurnal IImu Ternak dan Veteriner 5(4): 205-209. Kompiang, I P., D. Zaenuddin, dan Supriyati. 2002. Pengaruh suplementasi Bacillus apiarius atau Torulaspora

delbrueckii terhadap penampilan ayam pedaging. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 7: 139-143. Kompiang, I P., Supriyati, dan O. Sjofjan. 2004. Pengaruh suplementasi Bacillus apiarius terhadap penampilan ayam petelur. Jurnal IImu Ternak dan Veteriner 9: 1-4. Kroger, M., J.A. Kurmann, and J.L. Rasic. 1989. Fermented milks-past and present. Food Technol. 43: 92-99. Kumprecht, I. and P. Zobac. 1998. The effect of probiotic preparations containing Saccharomyces cerevisiae and Enterococcus faecium in diets with different level of B vitamins on chicken broiler performance. Czech. J. Anim. Sci. 43(2): 63-70. Langhout, P. 2000. New additives for broiler chicken. Feed Mix. The International Journal on Feed, Nutrition and Technology 9(6): 24-27. Lilly, D.M. and R.H. Stillwell. 1965. Probiotics: Growth promoting factors produce by microorganisms. Science 147: 747-748. Manin, F. 2003. Efektivitas kultur Bacillus circulans & Bacillus sp. dan Saccharomyces cerevisiae sebagai sumber probiotik dan implikasinya terhadap produktivitas ternak itik lokal Kerinci. Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung. Mead, G.G. and G.S. Impey. 1987. The present status of the Nurmi concept for reducing carriage of food poisoning salmonellae and other phatogens in poultry. p. 57-77. In F.J.M. Smulders (Ed.). Elimination of Pathogenic Organism from Meat and Poultry. Elsevier, Amsterdam. Najib, H. 1996. Effect of incorporating yeast culture Saccharomyces cerevi-

Pemanfaatan mikroorganisme sebagai probiotik ...

191

siae into the Saudi Baladi and White leghorn layers diet. J. App. Anim. Res. 10(12): 181-186. Nursey, I. 1997. Control of salmonella. Kraftfutter 10: 415-422. Parker, R.B. 1974. Probiotics, the other half of the antibiotic story. Anim. Nutr. Health 29: 109-121. Patten, J.D. and P.W. Waldroup. 1988. Use of organic acids in broiler diets. Poultry Sci. 67: 1178-1182. Pollman, D.S., D.M. Danielson, and E.R. Peo. 1980. Effect of microbial feed additives on performance of stater and growing-finishing pigs. J. Anim. Sci. 51: 577-581. Rettger, L.F. and H.A. Chepalin. 1921. A Treatise on the Transformation of the Intestinal Flora with Special Reference to the Implantation of Bacillus acidophilus. Yale University Press, New Heaven, Connecticut. Rettger, L.F., M.N. Levy, L. Weistein, and J.E. Weiss. 1935. Lactobacillus acidophilus and its therapeutic application. Yale University Press, New Heaven, Connecticut. Sajimin, I P. Kompiang, Supriyati, dan Lugiyo. 2000. Pengaruh pemberian berbagai cara dan dosis Bacillus sp. terhadap produktivitas dan kualitas rumput Panicum maximum. hlm 359365. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Sjofjan, O. 2003. Kajian Probiotik (Aspergillus niger dan Bacillus sp.) sebagai Imbuhan Ransum dan Implikasinya terhadap Mikroflora Usus serta Penampilan Produksi Ayam Petelur. Disertasi, Universitas Padjadjaran, Bandung.

Smith, H.W. 1965. The development of the flora of the alimentary tract in young animals. J. Pathol. Bacteriol. 90: 495-513. Suratmini, N.P., Supriyati, I. Heliati, dan I P. Kompiang. 2002. Pengaruh biofertilizer dan pupuk kimia pada pertumbuhan dan produksi rumput Panicum maximum. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 7: 259-264. Sperti, G.S. 1971. Probiotics. AVI Publishing Co., West Point, Connecticut. Thompson, J.L. and M. Hinton. 1997. Antibacterial activity of formic and propionic acids in diet of hens on Salmonellas in crop. British Poultry Sci. 38: 59-65. Votava, J., I. Kumprecht, and L. Borovan. 1987. Radioactive labelling of bacteria in probiotic preparations Lactiferm and Microferm and their single use in broiler. Sborved. praci. VUVZ Pohorelice 20: 257-276. Wallace, R.J. and C.J. Newbold. 1992. Probiotic for ruminants. p. 317-354. In R. Fuller (Ed.), Probiotics. The scientific basis. Chapman and Hall, London. Winarsih, W. 2005. Pengaruh Probiotik dalam Pengendalian Salmonellosis Subklinis pada Ayam: Gambaran patologis dan performan. Disertasi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Yeo, J. and K. Kim. 1997. Effect of feeding diets containing an antibiotic, a probiotic, or yucca extract on growth and intestinal urease activity in broiler chicks. Poultry Sci. 76: 381-385. Zani, J.K., F. Weykamp da Cruz, A. Freitas dos Santos, and C. Gill-Turner. 1998. Effect of probiotic CenBiont on control of diarrhoea and feed efficiency in pigs. J. Appl. Microbiol. 84: 68-71.

Anda mungkin juga menyukai