Anda di halaman 1dari 4

PRO AGP

Dalam dunia industri unggas, penyakit enteric mendapatkan posisi yang sangat penting terutama

dilihat dari segi ekonomi. Penyakit enterik sangat merugikan karena efek negatifnya dapat

menurunkan produktivitas, meningkatkan angka kematian, biaya pencegahan, dan kontaminasi

produk unggas untuk konsumsi manusia. Untuk menghilangkan ancaman penyakit enterik dan

untuk memacu pertumbuhan unggas, produsen banyak bergantung pada penggunaan antibiotik

dengan dosis subterapeutik (Bray, 2008).

Antibiotic Growth Promoter (AGP) merupakan antibiotik dengan dosis kecil yang digunakan

sebagai suplemen dalam pakan ternak. AGP bekerja dengan menekan stres, memproduksi

amonia, mengurangi infeksi, mengurangi racun, dan mengoptimalkan penyerapan nutrisi dari

pakan ke dinding usus. Jenis AGP yang sering digunakan oleh petani di Indonesia seperti seng

bacitracin, spiramycin, virginiamycin, bambermycin, tylosin phosphate, avilamycin, dan

enramycin.

Antibiotic Growth Promoter / AGP (antibiotik imbuhan pakan), antibiotik diberikan untuk

mengeliminir bakteri merugikan saluran pencernaan agar mendapatkan bobot badan serta rasio

konversi pakan yang lebih baik. AGP sendiri diberikan pada unggas dengan dosis sub-

terapeutik atau dibawah dosis normal untuk terapi.

Karena target AGP sendiri adalah kepada bakteri di permukaan saluran pencernaan, sehingga

pemberian dosis sub-terapeutik diharapkan tidak terdistribusi jauh hingga ke dalam organ dan

tidak meninggalkan residu pada daging dan telur saat dipanen.


Sementara yang lain saat ayam usia 8-10 hari. Kepala kandang salah satu peternakan mitra PT

Japfa Comfeed di Subang, SU, menuturkan, antibiotik diberikan saat ayam usia 2-5 hari

Walaupun undang-undangnya sudah ada, namun hingga tahun ini antibiotik imbuhan pakan

belum sepenuhnya dapat dieliminasi. Hal ini dikarenakan jika langsung dihilangkan begitu saja,

maka industri perunggasan dapat mengalami krisis. Diantaranya konversi pakan membengkak

dan deplesi yang tinggi akibat Necrosis Enteritis.

Walapun demikian, Ionofor (Monensin, Salinomisin, Lasalocid, dll), salah satu jenis

antibiotik yang ditujukan untuk mengatasi koksidia, masih diperbolehkan digunakan di

unggas sebagai pencegahan koksidia dan NE, walaupun penggunaannya pada ruminansia

telah dilarang karena tujuannya lebih sebagai AGP

Walaupun demikian, penggunaanya tanpa perbaikan mutu pakan di feedmill atau perbaikan

manajemen di farm akan sangat tidak mungkin dapat dilakukan demi mendapatkan performa

yang maksimal. Perbaikan di feedmill seperti perbaikan kecernaan pakan atau manajemen

ammonia di farm tentu akan sangat membantu pengganti AGP tersebut dalam mengontrol flora

di saluran pencernaan.

Pada akhirnya, AGP sebenarnya sangat diperlukan di unggas. Namun karena dampak

negatifnya terhadap manusia, penggunaan antibiotik hendaknya dikembalikan lagi hanya

sebagai terapeutik. Penambahan pengganti AGP, perbaikan pakan di feedmill dan manajemen


di farm harus dilakukan secara holistik untuk menjaga agar performa unggas tetap baik walaupun

AGP telah diberhentikan.

Pengawasan penggunaan antibiotik di hewan, baik unggas khususnya atau hewan lain pada

umumnya juga harus lebih diperketat oleh dokter hewan (antibiotic stedwardship), karena pada

prinsipnya kasus resistensi disebabkan karena pemberian antibiotik yang tidak tepat sasaran.

Tantangan besar bagi peternak broiler di Indonesia adalah beragam penyakit yang menyerang

unggas baik akut maupun kronis. Hal ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat

besar, sementara tidak semua vaksin tersedia untuk mencegah penyakit menular. Selain itu,

cuaca ekstrem di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan kerugian bagi

petani, seperti panas tinggi hingga 43 °C, dengan penurunan kelembaban hingga 40%. Kehadiran

mikotoksin dalam jagung lokal sebagai bahan pakan utama untuk ayam di Indonesia juga

menjadi masalah, selain itu penerapan biosekuriti tidak maksimal di peternakan rakyat. Oleh

karena itu AGP telah digunakan sebagai solusi oleh ternak untuk mengatasi hambatan-hambatan

ini sehingga peternak masih dapat menghasilkan ayam yang dipanen dengan berat maksimum

hingga tiga kilogram per ekor dengan masa pemeliharaan 35-42 hari.

Berbeda dengan sinbiotik, mekanisme kerja utama AGP adalah menekan jumlah

mikroorganisme yang berada dalam saluran pencernaan (Bray, 2008). Pemberian AGP dapat

meningkatkan panjang vili usus sebagai akibat dari pengurangan populasi mikroba dan

perubahan komposisi mikroflora ke arah yang lebih menguntungkan (Ma r k o v i c et al, 2 0 0

9).
Menurut Gabungan perusahaan Makanan Ternak (GPMT, 2017) menyebutkan bahwa

pemberhentian AGP pada pakan diperkirakan akan terjadi pemborosan pakan sekitar 2,5%.

Pada penelitian ini didapat rata-rata konsumsi pakan tiap minggu antara lain: pada minggu

pertama konsumsi pakan mencapai 193 g/ekor, minggu kedua konsumsi pakan mencapai 400,9

g/ekor minggu ketiga konsumsi pakan mencapai 655,2 g/ekor, minggu keempat konsumsi pakan

mencapai 896,8 g/ekor, minggu kelima konsumsi pakan mencapai 1056,2 g/ekor.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa rata-rata konsumsi pakan, bobot badan, PBB mingguan, dan

umur panen pasca pemberhentian AGP pada pakan mengalami penurunan sedangkan rata-rata

FCR dan mortalitas mengalami kenaikan.

Anda mungkin juga menyukai