Dalam dunia industri unggas, penyakit enteric mendapatkan posisi yang sangat penting terutama
dilihat dari segi ekonomi. Penyakit enterik sangat merugikan karena efek negatifnya dapat
produk unggas untuk konsumsi manusia. Untuk menghilangkan ancaman penyakit enterik dan
untuk memacu pertumbuhan unggas, produsen banyak bergantung pada penggunaan antibiotik
Antibiotic Growth Promoter (AGP) merupakan antibiotik dengan dosis kecil yang digunakan
sebagai suplemen dalam pakan ternak. AGP bekerja dengan menekan stres, memproduksi
amonia, mengurangi infeksi, mengurangi racun, dan mengoptimalkan penyerapan nutrisi dari
pakan ke dinding usus. Jenis AGP yang sering digunakan oleh petani di Indonesia seperti seng
enramycin.
Antibiotic Growth Promoter / AGP (antibiotik imbuhan pakan), antibiotik diberikan untuk
mengeliminir bakteri merugikan saluran pencernaan agar mendapatkan bobot badan serta rasio
konversi pakan yang lebih baik. AGP sendiri diberikan pada unggas dengan dosis sub-
Karena target AGP sendiri adalah kepada bakteri di permukaan saluran pencernaan, sehingga
pemberian dosis sub-terapeutik diharapkan tidak terdistribusi jauh hingga ke dalam organ dan
Walaupun undang-undangnya sudah ada, namun hingga tahun ini antibiotik imbuhan pakan
belum sepenuhnya dapat dieliminasi. Hal ini dikarenakan jika langsung dihilangkan begitu saja,
maka industri perunggasan dapat mengalami krisis. Diantaranya konversi pakan membengkak
Walapun demikian, Ionofor (Monensin, Salinomisin, Lasalocid, dll), salah satu jenis
unggas sebagai pencegahan koksidia dan NE, walaupun penggunaannya pada ruminansia
manajemen di farm akan sangat tidak mungkin dapat dilakukan demi mendapatkan performa
ammonia di farm tentu akan sangat membantu pengganti AGP tersebut dalam mengontrol flora
di saluran pencernaan.
Pada akhirnya, AGP sebenarnya sangat diperlukan di unggas. Namun karena dampak
Pengawasan penggunaan antibiotik di hewan, baik unggas khususnya atau hewan lain pada
umumnya juga harus lebih diperketat oleh dokter hewan (antibiotic stedwardship), karena pada
prinsipnya kasus resistensi disebabkan karena pemberian antibiotik yang tidak tepat sasaran.
Tantangan besar bagi peternak broiler di Indonesia adalah beragam penyakit yang menyerang
unggas baik akut maupun kronis. Hal ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat
besar, sementara tidak semua vaksin tersedia untuk mencegah penyakit menular. Selain itu,
cuaca ekstrem di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan kerugian bagi
petani, seperti panas tinggi hingga 43 °C, dengan penurunan kelembaban hingga 40%. Kehadiran
mikotoksin dalam jagung lokal sebagai bahan pakan utama untuk ayam di Indonesia juga
menjadi masalah, selain itu penerapan biosekuriti tidak maksimal di peternakan rakyat. Oleh
karena itu AGP telah digunakan sebagai solusi oleh ternak untuk mengatasi hambatan-hambatan
ini sehingga peternak masih dapat menghasilkan ayam yang dipanen dengan berat maksimum
hingga tiga kilogram per ekor dengan masa pemeliharaan 35-42 hari.
Berbeda dengan sinbiotik, mekanisme kerja utama AGP adalah menekan jumlah
mikroorganisme yang berada dalam saluran pencernaan (Bray, 2008). Pemberian AGP dapat
meningkatkan panjang vili usus sebagai akibat dari pengurangan populasi mikroba dan
9).
Menurut Gabungan perusahaan Makanan Ternak (GPMT, 2017) menyebutkan bahwa
pemberhentian AGP pada pakan diperkirakan akan terjadi pemborosan pakan sekitar 2,5%.
Pada penelitian ini didapat rata-rata konsumsi pakan tiap minggu antara lain: pada minggu
pertama konsumsi pakan mencapai 193 g/ekor, minggu kedua konsumsi pakan mencapai 400,9
g/ekor minggu ketiga konsumsi pakan mencapai 655,2 g/ekor, minggu keempat konsumsi pakan
mencapai 896,8 g/ekor, minggu kelima konsumsi pakan mencapai 1056,2 g/ekor.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa rata-rata konsumsi pakan, bobot badan, PBB mingguan, dan
umur panen pasca pemberhentian AGP pada pakan mengalami penurunan sedangkan rata-rata