Anda di halaman 1dari 20

Geisler, Norman L.; MacKenzie, Ralph E.

Roman Catholics and Evangelicals: Agreements and Differences––Alih bahasa, Heman


Elia, Necholas David––Cet. 1––Malang: Literatur SAAT, 2019.
539 hlm.; 24,5 cm.

Judul terjemahan: Katolik Roma dan Injili–Kesamaan dan Perbedaan

ISBN 978-602-7788-45-9

ROMAN CATHOLICS AND EVANGELICALS


AGREEMENTS AND DIFFERENCES
Oleh: Norman L. Geisler, Ralph MacKenzie

Diterbitkan oleh
LITERATUR SAAT
Jalan Anggrek Merpati 12, Malang 65141
Telp. (0341) 490750, Fax. (0341) 494129
website: www.literatursaat.com

Copyright © 1995 by Norman L. Geisler and Ralph MacKenzie


Originally published in English under the title
Roman Catholics and Evangelicals
by Baker Academic,
a division of Baker Publishing Group,
Grand Rapids, Michigan, 49516, U.S.A.
All rights reserved.

Penulis : Norman L. Geisler, Ralph E. MacKenzie


Alih Bahasa : Heman Elia, Necholas David
Penyun ng : Heman Elia, Chilianha Jusuf
Penata Letak : Yusak P. Palulungan
Gambar Sampul : Lie Ivan Abimanyu

Edisi terjemahan telah mendapat izin dari penerbit buku asli.


Cetakan Pertama : 2019

Dilarang memproduksi sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Daftar Isi

Ucapan Terima Kasih 7


Kata Pengantar 9
Pendahuluan 13

Bagian Satu: Wilayah Kesepakatan Doktrinal


1 Wahyu 17
2 Allah 33
3 Umat Manusia 51
4 Kristus 65
5 Keselamatan 79
6 Gereja 105
7 Etika 119
8 Gereja 141

Bagian Dua: Wilayah Perbedaan Doktrinal


9 Apokrifa 161
10 Kitab Suci 181
11 Infalibilitas 209
12 Pembenaran 229
13 Sakramentalisme 261
14 Eklesiologi 285
15 Mariologi 315
16 Purgatorium 349

Bagian Tiga: Wilayah Kerja Sama Praktis


17 Aksi Sosial 379
18 Tujuan Pendidikan 397
19 Warisan Spiritual 411
20 Injili 427

Epilog 451
Lampiran-lampiran
A Gereja-gereja Timur 455
B Kontra Reformasi dan Perkembangan Selanjutnya 465
C Katolikisme Modern/Liberal 477
D Vatikan II dan Situasi Saat Ini 485
E Baptisan Kelahiran Kembali (Baptismal Regeneration) 499
F Deklarasi Colson—Neuhaus 513

Bibliografi 525
1
Wahyu

Katolik dan Injili memiliki jauh lebih banyak kesamaan daripada yang mereka akui.
Pada bagian ini kita akan menyelidiki isi doktrin yang sama-sama dipegang oleh
Katolik Roma dan Injili.1 Tabel berikut dapat menolong upaya tersebut (sumber
tidak diketahui). Kita memiliki kesamaan dalam hal:

Satu Alkitab
Dua Perjanjian Lama dan Baru
Tiga Kredo Pengakuan Iman Rasuli (ca. 150M). Membedakan orang percaya sejati
dengan mereka yang mengikuti Gnostikisme dan Marsionisme.
Pengakuan Iman Nicea (326M). Mengutuk Arius yang antitrinitarian,
yang menyangkali keilahian Kristus.
Pengakuan Iman Athanasius (428M). Mengajarkan doktrin Tritunggal
dan inkarnasi.

1. Sumber-sumber yang akan digunakan berikut ini sebagian besar merupakan tulisan para
bapa gereja dan/atau tulisan-tulisan Katolik Roma. Kitab Suci yang dikutip dalam buku ini, kecuali
disebutkan lain, berasal dari the New American Bible, Edisi St. Joseph—dengan berbagai catatan (New
York: Catholic Book Publishing, 1986). Terjemahan ini baik, khususnya PB, dan terjemahan ini
menyajikan titik temu dengan Katolik.
Referensi standar untuk artikel yang membicarakan iman dan moral Gereja Katolik Roma adalah
Enchiridion Symbolorum karya Henry Denzinger. Buku aslinya ditulis dalam bahasa Latin dan Yunani
telah diterbitkan lebih dari tiga puluh edisi. Buku ini disusun secara kronologis yang dimulai dengan
Pengakuan Iman Rasuli dan meliputi kredo, konsili, dan dokumen Kristen keuskupan Roma.
Satu masalah yang dihadapi kaum cendekia modern adalah bahwa susunan (indeks) dalam
berbagai dokumen berubah seiring dengan terbitnya edisi yang lebih baru. Dalam buku ini, kami akan
menggunakan edisi berikut dan oleh karena itu semua nomor indeks yang digunakan dalam catatan kaki
akan dipertahankan dalam edisi ini: Henry Denzinger, The Sources of Catholic Dogma, diterjemahkan
oleh Roy J. Deferrari dari edisi yang ke-30 Enchiridion Symbolorum karya Henry Denzinger (St. Louis:
B. Herder Book Co., 1957).
Dalam karya-karya terbaru, yang diedit oleh J. Neuner, S. J., dan J. Dupuis, S. J., The Christian Faith:
Doctrinal Documents of the Catholic Church, revisi ke-5 (New York: Alba House, 1990), dokumen-
dokumen telah disusun secara kronologis berdasarkan tema untuk mempermudah referensi.
Umumnya Katolik Roma tradisional terkini mendukung studi Alkitab yang sedang berlangsung
sekarang: The Navarre Bible, edisi ke-2, penjelasan oleh anggota Fakultas Teologi dari University of
Navarre, Spanyol (Dublin: Four Courts Press, 1991). Karya ini telah terbit dengan 12 volume, hanya
tentang PL. Teks kitab suci diambil dari Revised Standard Version, Catholic Edition (RSVCE), dan
Versi Vulgata Baru.
Katekismus resmi pertama sejak Konsili Trente (1545-1563 M) diterbitkan pada tahun 1994:
Katekismus Gereja Katolik: Libreria Editrice Vaticana (Boston: St. Paul Books and Media, 1994).
Katekisme baru ini dibagi menjadi empat bagian utama: (1) keyakinan (apa yang Gereja percayai);
(2) sakramen-sakramen (apa yang dirayakan oleh Gereja); (3) perintah-perintah (apa yang dijalankan
Gereja); dan (4) “Bapa Kami” (apa yang Gereja doakan). Ada sistem referensi silang internal di
antara paragraf-paragraf yang mempermudah kita menemukan semua kutipan dalam katekismus
yang membicarakan subjek tertentu.
18 Wilayah Kesepakatan Doktrinal
Empat Konsili Nicea Pertama (325M). Mengajarkan bahwa Yesus Kristus adalah Sang
Anak dengan substansi yang sama seperti Bapa.
Konstantinopel Pertama (381M). Mengajarkan keilahian Roh Kudus.
Efesus (431M). Maria adalah theotokos: “yang mengandung Allah.”
Chalcedon (451M). Menegaskan dua natur Kristus: Ilahi dan manusia.
Lima Abad Sejak zaman para rasul hingga akhir abad kelima.

Selama abad-abad permulaan,2 gereja menaruh perhatian utama pada pribadi


Kristus, yaitu tentang siapakah Dia. Kemudian mereka mendiskusikan tentang apa
yang Dia lakukan. Sebuah buku pegangan mengenai doktrin resmi dokumen Katolik
Roma menyatakannya demikian: “Pada awalnya pengakuan iman merupakan hasil
dari penggabungan antara dua pernyataan, yang satu Trinitarian dan yang satunya
lagi kristologikal, keduanya didasarkan pada PB.”3 Dalam perkembangan selanjutnya,
tulisan itu pun menambahkan: “Setelah melewati berabad-abad, pengakuan iman
menjadi semakin akurat ketika ada tuntutan situasi konkret untuk mempertahankan
iman terdahulu tersebut.”4
Semua sistem kepercayaan dan ajaran sesat merupakan penyimpangan teologis
dari doktrin yang dikembangkan pada periode ini. Bagi Katolik maupun Protestan,
wahyu merupakan pusat pemahaman tentang kekristenan. Sebuah katekismus
tradisional Katolik Roma menyatakannya demikian, “Tujuannya adalah untuk mem-
perkenalkan Alkitab itu sendiri kepada anak yang bahkan usianya masih sangat
belia, bahwa kita memiliki Pribadi maupun berita Yesus Kristus, Tuhan kita, yang
dinyatakan oleh Roh Kudus sendiri” (The Baltimore Catechism).5 Mengenai keunikan
wahyu Kristen, seorang teolog menambahkan, “Di sepanjang sejarah manusia dan
di seluruh agama di dunia, agama Yahudi-Kristen-lah satu-satunya yang memiliki
landasan sejarah.”6
Meskipun banyak teolog Katolik memandang tradisi sebagai sumber penyataan
(wahyu) yang berada di urutan kedua (lih. bab 10), akademisi Katolik Roma, Louis
Bouyer mencatat bahwa “menurut Konsili Trent maupun Vaticanum, hanya Kitab
2. Penjelasan yang berharga dan ringkas mengenai doktrin-doktrin yang muncul pada periode
pembentukan sejarah gereja dapat dilihat pada J. N. D. Kelly, Early Christian Doctrines, edisi revisi
(San Francisco: Harper Collins, 1978), dan Gerald Bray, Creeds, Councils and Christ (Downers Grove,
Ill.: InterVarsity Press, 1984).
3. Neuner dan Dupuis, Christian Faith, h. 1. Sebuah edisi terkini yang mencakup kontribusi para
akademisi Injili seperti R. C. Sproul dan Walter Martin menyatakan tentang pentingnya pengakuan
iman: “Protestan, Katolik Roma, dan Ortodoks Kristen telah menerima pengakuan iman tersebut
meskipun mereka memiliki beragam pandangan mengenai banyak hal; ajaran-ajaran sesat dan pihak
yang menentang gereja telah membantah pengakuan iman tersebut. “Bagi kaum Injili, Kitab Suci
tetap merupakan satu-satunya otoritas mutlak dari ortodoksi teologis, tetapi pengakuan iman tersebut
penting karena “membangun ringkasan pengajaran Alkitab yang umum yang diterima secara historis
menyangkut poin-poinnya yang paling mendasar.” “Appendix A: The Ecumenical Creeds,” dalam The
Agony of Deceit: What Some TV Preachers Are Really Teaching, editor Michael Horton (Chicago: Moody
Press, 1990), h. 253.
4. Ibid., h. 2.
5. Edisi Revisi resmi, No. 1, dijelaskan oleh Rev. Bennet Kelley, C.P. (New York: Catholic Book
Publication, 1964), h. 4.
Wahyu 19

Suci satu-satunya yang dapat dikatakan ditulis oleh Allah.”7 Dalam hal ini kita
dapat melihat keselarasan yang mendasar mengenai tempat yang sentral dalam
pembentukan teologi Kristen.8 Sekarang kita akan membahas Kitab Suci secara
langsung.

DATA ALKITABIAH

Seluruh dokumen Gereja Katolik Roma menyatakan kebenaran bahwa Kitab Suci
merupakan pusat pemahaman terhadap wahyu Allah. Walaupun Katolik dan
Protestan memiliki perbedaan mengenai apakah kitab-kitab apokrifa (Deutero-
kanonika) merupakan bagian PL ataukah tidak, ada kesepakatan di antara keduanya
mengenai keseluruhan 66 kitab dalam Alkitab. Konsili Vatikan I berpandangan
bahwa Gereja Katolik Roma “mendasarkan diri pada kepercayaan para rasul,
mengakui bahwa seluruh kitab-kitab dalam PL dan PB, . . . adalah kudus dan kanonis
karena telah ditulis menurut inspirasi Roh Kudus . . . Allah adalah penulisnya.”9
Agustinus merefleksikan pemikiran gereja sejak zaman para rasul hingga
Abad Pertengahan, ketika dia mengatakan bahwa kebenaran adalah “yang Allah
inginkan untuk dimasukkan ke dalam tulisan-tulisan kudus demi keselamatan
kita.”10 Demikian pula Konsili Vatikan Pertama menyatakan: “Karena merupakan
wahyu Ilahi, maka kebenaran-kebenaran tentang hal-hal Ilahi . . . dapat . . . diketahui
oleh setiap orang.”11 Rasul Paulus mengungkapkannya demikian: “Segala tulisan
(yang) diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyata-
kan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam
kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi
untuk setiap perbuatan baik” (2Tim. 3:16-17). Mengenai tujuan Kitab Suci: “Semua
Kitab Suci tidak lain merupakan satu kitab, dan satu kitab itu adalah Kristus, karena
seluruh Kitab Suci yang Ilahi berbicara tentang Kristus, dan seluruh Kitab Suci yang
Ilahi tergenapi di dalam Kristus.”12

PERJANJIAN LAMA
Dalam PL, Allah meletakkan fondasi keselamatan. Pertama, sebuah perjanjian yang
dibuat dengan Abraham menyatakan: “Kepada keturunanmulah Kuberikan negeri
ini, mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai Efrat” (Kej. 15:18).

6. Ignace de la Potterie, “Exegesis: Truth as Event,” 30 Days, no. 2, 1993, h. 64.


7. Gustaf Aulén, Reformation and Catholicity (Edinburgh and London: Oliver and Boyd, 1962), h. 21.
8. Perbedaan Katolik Roma dan Injili dalam hal cakupan kanon dan masalah otoritas akan dibahas
di bab 9 dan 10.
9. Augustine, Dogmatic Constitution on the Catholic Faith, dikutip dalam Denzinger, Sources of
Catholic Dogma, no. 1787, h. 444.
10. Bandingkan St. Augustine, “Gen ad Litt” 2.9.20: PL 34, h. 270-271.
11. Denzinger, Sources of Catholic Dogma, 1786, bab 2, “Revelation.”
12. “Hugh of St. Victor,” De arca Noe 2.8: PL 176, 642; dikutip dalam Catechism 1994, h. 37.
20 Wilayah Kesepakatan Doktrinal

Dalam ketaatannya kepada Allah, Musa “mengambil darah itu dan menyiramkannya
pada bangsa itu serta berkata: ‘Inilah darah perjanjian yang diadakan TUHAN dengan
kamu, berdasarkan segala firman ini’” (Kel. 24:8). Karena itu, “rencana keselamatan,
yang dinubuatkan, disaksikan, dan dijelaskan oleh para penulis kudus, ditemukan
dalam kitab-kitab PL sebagai firman Allah yang sesungguhnya.”13
Sekalipun PB dibangun melalui Kristus, gereja selalu mengakui bahwa Injil
berakar di dalam PL. Agustinus menangkap kebenaran ini ketika ia mendeklarasikan
bahwa “PB terselubung di dalam PL, PL tersingkap dalam PB.”14

PERJANJIAN BARU
Bagi Katolik maupun Protestan, rencana keselamatan Allah memasuki tahap akhir-
nya dalam PB. Dalam prolog Injil-nya, Yohanes menulis: “Firman itu telah menjadi
manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu
kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih
karunia dan kebenaran” (Yoh. 1:14).15 Hal ini terjadi “setelah genap waktunya” yang
disebutkan Paulus dalam Galatia 4:4. Penulis kitab Ibrani menggambarkan transisi
keselamatan itu sebagai berikut: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan
dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-
nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan
Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada.
Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta” (Ibr. 1:1-2).
Dalam kitab-kitab Injil, Kristus dinyatakan sebagai Anak Allah dan yang akan
memperkenalkan Kerajaan Allah. Natur-Nya secara khusus diungkapkan kepada
para rasul, dan Yesus juga mengungkapkan Bapa: “Semua telah diserahkan kepada-
Ku oleh Bapa-Ku dan tidak ada seorang pun yang tahu siapakah Anak selain Bapa,
dan siapakah Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan
menyatakan hal itu” (Luk. 10:22). Konsili Vatikan II menyatakan: “Oleh sebab itu,
dispensasi Kristen adalah memiliki perjanjian (kovenan) yang baru dan definitif, yang
tidak akan lenyap, dan kita sekarang tidak lagi menantikan sebuah wahyu umum
yang baru sebelum penyataan kemuliaan Tuhan kita Yesus Kristus (bdk. 1Tim. 6:14;
Tit. 2:13).”16
Dalam surat-surat Paulus, penekanannya adalah pada “misteri” Kristus. Paulus
beranggapan bahwa kebenaran akan keselamatan ada di dalam Kristus, sekalipun
sebelumnya tersembunyi, kini telah dinyatakan oleh Allah (Ef. 3:5). “Bagi Dia, yang
berkuasa menguatkan kamu, menurut Injil yang kumasyhurkan dan pemberitaan

13. Walter M. Abbott, S.J., ed., The Documents of Vatican II (New York: Guild Press, 1966), h. 122.
14. Quest in Hept 2.73: PL 34, 623.
15. Catatan studi NAB pada ayat di atas adalah sebagai berikut: “Flesh (daging): Keseluruhan orang
tersebut, digunakan mungkin untuk melawan kecenderungan doketistik, yaitu pandangan bahwa Yesus
tidak memiliki tubuh manusia (bdk. 1Yoh. 4: 2; 2Yoh. 7). Diam di antara kita: harfiah, mendirikan
kemah/tabernakel-Nya”.
16. Ibid., Dogmatic Constitution Dei Verbum, “Revelation,” 4.
Wahyu 21

tentang Yesus Kristus, sesuai dengan pernyataan rahasia, yang didiamkan berabad-
abad lamanya” (Rm. 16:25). Perhatikan bahwa Injil Yesus dan Paulus adalah satu dan
sama.17 Paulus juga berbicara tentang tahap terakhir penyataan ini, “Hari Tuhan,”
parousia itu, “apabila Ia datang pada hari itu untuk dimuliakan di antara orang-orang
kudus-Nya dan untuk dikagumi oleh semua orang yang percaya, sebab kesaksian
yang kami bawa kepadamu telah kamu percayai” (2Tes. 1:10).18

PERKEMBANGAN TEOLOGIS

Jika Allah tidak berinisiatif melalui wahyu umum dan wahyu khusus, kita tidak akan
mengetahui apa pun tentang diri-Nya. “Dalam kebaikan dan hikmat-Nya, Allah
memilih untuk menyatakan diri-Nya dan mengungkapkan kepada kita rencana-
rencana tersembunyi dari kehendak-Nya.”19 Wahyu ini datang kepada kita dalam
dua tingkatan, pertama dalam dunia ciptaan yang Ia jadikan melalui kuasa Firman,
yaitu Kristus. Rasul Yohanes memberitahukan kita, “Pada mulanya adalah Firman;
Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mula-
nya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia
tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yoh. 1:1-3).
Allah atas ciptaan ini telah menyatakan diri-Nya dalam alam sehingga semua orang
dapat melihatnya “dengan jelas.” Sehingga mereka yang menolak Dia “tidak dapat
berdalih” (Rm. 1:19-20). Sesungguhnya Allah telah menuliskan hukum-Nya dalam
hati semua orang (Rm. 2:12-15). Kedua, Allah berbicara kepada kita melalui Alkitab.
Ini disebut sebagai wahyu “khusus.”

WAHYU UMUM
Wahyu umum ada sebelum wahyu khusus, dan tidak mencakup komunikasi
verbal. Pemazmur berkata, “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala
memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan
malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam” (Mzm. 19:1-2). Mengenai
wahyu umum, Pius IX menyatakan: “Tetapi betapa banyak, betapa menakjubkan,
betapa gamblang argumen-argumen yang tersedia sehingga akal budi seharusnya
diyakinkan sepenuhnya bahwa agama Kristus bersifat Ilahi.”20
Wahyu Primitif. Katolik Roma juga menggunakan konsep “wahyu primitif ”
untuk mengenali kebenaran-kebenaran supranatural yang dinyatakan pada awal
sejarah manusia.21 Wahyu yang “diwariskan” ini dapat menjelaskan elemen-elemen

17. Lihat G. G. Machen, The Origin of Paul’s Religion (1925; cetak ulang, Grand Rapids: Eerdmans,
1976).
18. Bandingkan “Concept of Revelation,” New Catholic Encyclopedia, vol. 12 (New York: McGraw-
Hill, 1967), h. 438-439.
19. John A. Hardon, S. J., The Catholic Catechism (New York: Image Books, 1966), h. 30.
20. Denzinger, Sources of Catholic Dogma, 1638, h. 411, Encyclical Letter, “Qui Pluribus” (1846).
21. Ludwig Ott, Fundamentals of Catholic Dogma (Rockford, Ill.: Tan Books, 1960), h. 15, dst.
22 Wilayah Kesepakatan Doktrinal

kebenaran yang ditemukan dalam agama-agama primitif/non-Kristen. Jadi konsep-


konsep yang ada pada wahyu primitif dapat berfungsi sebagai petunjuk kepada
iman.22
Hukum natural. Ketika manusia berpaling dari wahyu umum Allah yang ada di
alam dan di dalam hati manusia, maka mereka akan memetik bencana moral. Paulus
menggambarkannya demikian: “Pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati mereka yang
bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi
mereka telah menjadi bodoh. Mereka menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana
dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatang-
binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar” (Rm. 1:21-23).
Apa yang Paulus ungkapkan telah terpapar secara gamblang di sepanjang sejarah
manusia. Ketika kemuliaan Allah diabaikan, hasilnya ialah penyembahan berhala.
Namun ada yang lebih dari itu: “Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada
keinginan hati mereka akan kecemaran, sehingga mereka saling mencemarkan
tubuh mereka. Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan
memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang harus
dipuji selama-lamanya, amin” (Rm. 1:24-25).
Uskup dari Hippo, pengamat yang jeli tentang kondisi manusia, berbicara
tentang isu ini. “Sebagaimana yang kemudian dijelaskan St. Agustinus dalam
Confessions-nya, ada akibat yang serius bagi manusia yang menolak mengakui
Allah sebagai Tuannya. Allah mengizinkan roh manusia tidak lagi dapat mengen-
dalikan tubuhnya. Nafsu adalah konsekuensi wajar dari kesombongan.”23 Paulus
melanjutkan dengan mengembangkan skenario yang menyedihkan ini dengan
memperkenalkan doktrin hukum natural: “Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak
memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut
hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka
menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab dengan itu mereka menun-
jukkan bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati
mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela”
(Rm. 2:14-15, penekanan ditambahkan).
Dalam wilayah moral, wahyu umum disebut sebagai “hukum natural.” Thomas
Aquinas mengembangkan topik ini secara luas. Berkenaan dengan hukum natural
sebagai pedoman dalam masyarakat, Aquinas mengajarkan bahwa “karena hukum
natural merupakan hal yang umum bagi semua orang, tidak hanya bagi orang-orang
percaya, maka hukum natural dapat digunakan sebagai dasar bagi hukum sipil
dalam masyarakat yang agamanya majemuk.”24 Kemudian, “hak dasar terutama
yang tercakup dalam hukum kekekalan dan yang juga merupakan bagian dari akal
budi manusia yang memberikan pertimbangan secara natural.”25 Hukum natural

22. New Catholic Encyclopedia, 12:440.


23. Ibid., h. 31.
24. Norman L. Geisler, Thomas Aquinas: An Evangelical Appraisal (Grand Rapids: Baker, 1991),
h. 164-170, 174.
25. Aquinas, Summa Theologiae, 1a2ae. 71, 6, ad 4.
Wahyu 23

merupakan partisipasi manusia dalam hukum kekekalan melalui akal budinya.


Hukum natural tidak lain adalah “impresi cahaya Ilahi dalam diri kita.”26 Semua
makhluk yang memiliki rasio, jadi bukan hanya orang percaya saja, memiliki hukum
natural yang sama. Hukum natural merupakan hukum yang tertulis dalam hati
manusia sebagaimana yang dikatakan oleh Paulus dalam Roma 2:12-15.
Bagi penganut Katolik sebagaimana juga Protestan, hukum natural merupakan
dasar moral bagi masalah-masalah sosial. Isu-isu seperti aborsi, euthanasia, dan
homoseksualitas dapat dan memang dihadapi dari sudut pandang hukum natu-
ral. Salah seorang penulis telah mengajukan argumen yang meyakinkan untuk
menentang euthanasia yang dianut oleh staf medis dari sebuah rumah sakit besar
dengan hanya menggunakan hukum natural.27 Clarence Thomas menggunakan
realitas “hukum natural” dalam perdebatannya yang sengit dalam memperebutkan
posisi di Mahkamah Agung.28
Diskusi mengenai hukum natural adalah tugas Paus Yohanes Paulus II yang
dia tetapkan bagi dirinya dalam surat ensiklik kepada uskup-uskup Katolik Roma.
Veritatis Splendor (“Semarak Kebenaran”) adalah tesis yang disusun secara baik yang
mengajukan sebuah uraian baru yang menentang relativisme moral.29 Surat ensi-
klik itu “menentang para antropolog yang percaya bahwa moralitas tidak memiliki
makna di luar budaya yang menetapkan moralitas tersebut.” Yohanes Paulus tidak
mengemukakan sejumlah aturan moral yang spesifik, melainkan hanya sekadar
mendeskripsikan “hukum natural universal yang diungkap oleh akal budi manusia;
yang ada pada setiap manusia, tidak peduli apa pun budayanya, dan yang niscaya
membimbing kita untuk melakukan penilaian baik-buruk terhadap tindakan-
tindakan—terlepas dari apa pun tujuan mereka dan apakah tindakan tersebut
menolong atau membahayakan orang lain.”30
Teologi Natural. Oleh karena wahyu umum dipercaya oleh umat Katolik, maka
teologi natural dimungkinkan. Jadi, Konsili Vatikan I menyatakan bahwa “awal dan
akhir segala sesuatu dapat diketahui secara pasti oleh cahaya alami akal manusia yang
dipancarkan oleh ciptaan” sebab “apa yang tidak tampak daripada-Nya sejak dunia
diciptakan dapat dengan jelas tampak dan dipahami melalui ciptaan” (Rm. 1:20).31

26. Ibid., 1a2ae. 91, 2.


27. Norman L. Geisler, “To Die or Not to Die: That Is the Fatal Question,” makalah yang dipresentasikan
di Naval Hospital, San Diego, Calif. (7 December 1992). Lihat juga Francis Beckwith dan Norman L.
Geisler, Matters of Life and Death (Grand Rapids: Baker, 1991). Untuk penjelasan homoseksualitas
dari perspektif ini, lihat Harry V. Jaffa, Homosexuality and the Natural Law (Montclair: Claremont
Institute, 1990).
28. Charles Colson, The Body (Dallas: Word, 1992), h. 169.
29. “Encyclical Letter of John Paul II,” The Splendor of Truth: Veritatis Splendor (Boston: St. Paul
Books and Media, 1993). Satu minggu setelah publikasi pertamanya, Daughters of St. Paul di San
Diego terjual 1.200 eksemplar, terutama untuk kaum awam.
30. James Q. Wilson, “‘Calvin and Hobbes’ and the Pope’s Case for Morality,” The San Diego Union-
Tribune (29 November 1993).
31. Denzinger, Sources of Catholic Dogma, 1785. Vatican I, “Dogmatic Constitution Concerning the
Catholic Faith,” h. 443.
24 Wilayah Kesepakatan Doktrinal

Konsili Vatikan II menambahkan bahwa “Allah, yang menciptakan dan memelihara


segala sesuatu dengan Firman-Nya (bdk. Yoh. 1:3) senantiasa memberi bukti-bukti
mengenai diri-Nya dalam realitas ciptaan (bdk. Rm. 1:19-20).”32 Berdasarkan wahyu
umum mengenai Allah yang ada pada setiap manusia inilah, Aquinas membangun
teologi natural yang membuktikan eksistensi Allah.”33
Teologi natural menyelidiki apa yang dapat diketahui akal budi mengenai
Allah di luar wahyu khusus. Sebab itu, teologi natural ini bertentangan dengan
“teologi wahyu.” Perbedaan utamanya dijelaskan oleh skolastikisme pada abad
Pertengahan.34 Baik Katolik Roma maupun Protestan konsevatif sepakat bahwa
wahyu umum tidaklah memadai untuk membimbing seseorang kepada pengetahuan
Injil yang menyelamatkan. Masuknya dosa ke dalam ciptaan Allah menghalangi
manusia menyadari kondisi spiritualnya yang memprihatinkan. Imago Dei (citra
Ilahi) tidaklah terhapus, melainkan memudar. Bagi Aquinas, meskipun penge-
tahuan mengenai keberadaan Allah dapat ditunjukkan oleh akal budi (wahyu
umum), kepercayaan kepada Allah hanya dapat diperoleh melalui wahyu khusus/
supranatural.35
Alam dan Nilai Wahyu Umum. Rasul Paulus menjabarkan keadaan melalui
wahyu umum dalam Roma 1 dengan bersikukuh bahwa terdapat gambaran yang
jelas mengenai seluruh umat manusia tanpa kecuali, termasuk melalui wahyu khusus.
Sebab murka Allah nyata dari sorga atas segala kefasikan dan kelaliman manusia,
yang menindas kebenaran dengan kelaliman. Karena apa yang dapat mereka
ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya kepada
mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang
kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia
diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih. Sebab sekalipun mereka menge-
nal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucap syukur
kepada-Nya (Rm. 1:18-21a, penekanan ditambahkan).

Sekalipun nilainya terbatas, wahyu umum bukanlah tidak berharga. Wahyu


umum Allah membentuk latar belakang pesan-Nya kepada kita melalui Kitab Suci.
Paulus menggunakan wahyu umum dalam khotbahnya kepada para filsuf Epikurean
dan Stoik di Aroepagus, Atena, dengan hasil yang baik. Karena khotbahnya memper-
lihatkan dengan jelas tujuan wahyu umum dan juga transisi dari wahyu umum ke
wahyu khusus, kami kutipkan kembali khotbah tersebut secara utuh.
Paulus berdiri di Areopagus dan berkata: “Hai orang-orang Atena, aku lihat,
bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-dewa. Sebab ketika
aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku
menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal.

32. Vatican Council II, vol. 1, h. 751.


33. Lihat Geisler, Thomas Aquinas, bab 9.
34. F. L. Cross, ed., The Oxford Dictionary of the Christian Church, rev. (Oxford: Oxford University
Press, 1983), h. 956.
35. Geisler, Thomas Aquinas, h. 37-38, 43-49.
Wahyu 25

Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu.
Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas
langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, dan juga
tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan, karena Dialah yang
memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang. Dari satu
orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami
seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan
batas-batas kediaman mereka, supaya mereka mencari Dia dan berharap dapat
menyentuh dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing.
Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga
dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga.
Karena kita berasal dari keturunan Allah, kita tidak boleh berpikir, bahwa keadaan
Ilahi sama seperti emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian
manusia. Dengan tidak memandang lagi zaman kebodohan, maka sekarang
Allah memberitakan kepada manusia yang ada di mana pun, bahwa mereka
semua harus bertobat. Karena Ia telah menetapkan suatu hari, pada waktu mana
Ia dengan adil akan menghakimi dunia oleh seorang yang telah ditentukan-Nya,
sesudah Ia memberikan kepada semua orang suatu bukti tentang hal itu dengan
membangkitkan Dia dari antara orang mati” (Kis. 17:22-31).

Jelas Paulus percaya bahwa kita dapat menggunakan akal sehat kita ketika berbicara
dengan orang yang tidak percaya berdasarkan wahyu umum karena wahyu umum
dapat menjadi jalan masuk untuk mempresentasikan kebenaran yang lebih lengkap
yang terpancar dari wahyu khusus. Hal ini disebut sebagai “pra-penginjilan” oleh
mendiang Francis Schaeffer.36

WAHYU KHUSUS
Meskipun menekankan teologi natural, Aquinas berargumen bahwa wahyu khusus
dibutuhkan karena keterbatasan pikiran manusia dan keberdosaan yang muncul
dari kehendak manusia. Dengan empatik Aquinas menekankan bahwa, “Akal budi
manusia sangatlah terbatas jika menyangkut Allah. Tandanya bagi para filsuf adalah
bahwa dalam penyelidikan mereka terhadap hal ihwal manusia melalui penelitian
alami, mereka mengalami banyak kesalahan dan mereka tidak sepakat di antara
mereka sendiri.” Akibatnya, supaya manusia dapat memiliki pengetahuan tentang
Allah dan bebas dari keraguan dan ketidakpastian, kebenaran Ilahi perlu disampaikan
kepada mereka melalui iman, diberitahukan kepada mereka apa adanya, oleh Allah
sendiri yang tidak dapat berdusta.”37
Karunia wahyu khusus dibutuhkan untuk mengatasi dampak dosa pada akal
budi manusia. Aquinas menyimpulkan, “Jika sesuatu berada di dalam kekuasaan
kita itu mengandung makna bahwa kita dapat melakukannya tanpa pertolongan
melalui anugerah, maka kita terikat pada banyak hal yang tidak berada dalam

36. Lihat juga Norman L. Geisler and Ron Brooks, When Skeptics Ask (Wheaton: Victor, 1990), h.
9-10.
37. Aquinas, Summa Theologiae, 2a2ae. 2, 4.
26 Wilayah Kesepakatan Doktrinal

kendali kita tanpa anugerah yang memulihkan—misalnya, mengasihi Allah dan


sesama.” Selanjutnya, “hal yang sama adalah percaya pada iman. Namun dengan
pertolongan anugerah, maka kita memiliki kuasa. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Agustinus, barangsiapa mendapat pertolongan dari Allah, pertolongan itu diberikan
oleh belas kasihan; barangsiapa menyangkalinya, pertolongan itu ditolak dalam
keadilan, katakanlah bahwa hal tersebut karena dosa sebelumnya, bahkan andaikan
itu semata-mata dosa asal.”38 Bagaimana pun, Aquinas tidak percaya bahwa dosa
menghancurkan seluruh kemampuan rasional manusia. Sebaliknya, dia bersikukuh
bahwa “dosa tidaklah dapat menghancurkan seluruh rasionalitas manusia, karena
jika itu terjadi, maka manusia tidak lagi dapat berbuat dosa.”39
Vatikan II dalam Dogmatic Constitution on Divine Revelation menyimpulkan
bahwa “Oleh kerelaan-Nya, Allah dalam kebaikan dan kebijaksanaan-Nya berkenan
mengungkapkan diri-Nya dan menyingkapkan misteri kehendak-Nya (bdk. Ef.
1:9).” Selanjutnya, “dengan maksud menyatakan jalan menuju keselamatan surgawi,
Dia menyatakan diri-Nya sejak awal melalui orang tua pertama kita. Setelah
kejatuhan manusia dalam dosa, Dia menopang mereka dengan memberikan harapan
keselamatan melalui janji penebusan (bdk. Kej. 3:15); dan Dia tidak pernah berhenti
memerhatikan umat manusia. Karena Dia ingin memberikan hidup yang kekal
kepada semua orang yang mencari keselamatan yang dengan tekun berbuat baik
(bdk. Rm 2:6-7).”40
Konsili tersebut juga menyatakan bahwa, “Dengan Wahyu Ilahi, Allah ingin
mewujudkan dan mengomunikasikan diri-Nya dan pernyataan kekal kehendak-
Nya akan keselamatan umat manusia.”41 Mengenai sikap Gereja terhadap Kitab
Suci, “Gereja selalu menghormati Kitab Suci Ilahi.” Mengenai kebutuhan orang
Kristen membaca Alkitab, Konsili menegaskan bahwa, “Akses kepada Kitab Suci
harus terbuka lebar bagi orang Kristen yang setia.”42 Oleh karena itu, “Semua
pemimpin gereja, khususnya para hamba Kristus dan yang lainnya, seperti diaken
atau pengajar katekisasi, orang yang secara resmi terlibat dalam pelayanan firman,
harus membenamkan diri dalam Kitab suci dengan terus-menerus membaca
dan dengan rajin mempelajari firman.”43 Dalam konteks yang sama, Jerome
mengatakan: “Mengabaikan Kitab Suci berarti mengabaikan Kristus.”44 Jadi,
Katolik Roma secara resmi tampaknya sangat menghormati wahyu khusus dalam
bentuk Kitab Suci. Mempelajari dan memberitakan Alkitab bersifat wajib, bukan
opsional (pilihan).

38. Ibid., 2a2ae. 2, 6, ad 1.


39. Ibid., 1a2ae. 85, 2.
40. Austin Flannery, O. P., Vatican Collection: Vatican Council II, vol. 1, rev. (North Port: Costello
Publishing, 1992), h. 750-751.
41. Ibid., h. 752.
42. Ibid., h. 762.
43. Ibid., h. 764.
44. Jerome, Commentary in Isais, Prol: PL 24, 17.
Wahyu 27

Pada bagian pertama dari bab ini, kita telah mengidentifikasi akar spiritual
pewahyuan dalam PL dan PB. Sekarang kita beralih ke beberapa konsep yang mun-
cul dari pemahaman teologis tentang wahyu khusus.
Natur Wahyu yang Progresif. Wahyu khusus adalah wahyu tentang sejarah
penebusan. Tujuan wahyu khusus adalah penebusan umat manusia, memperbarui,
menerangi, dan mengarahkan kepada yang baik. Wahyu khusus memenuhi kita
dengan kasih kudus dan akhirnya mempersiapkan kita untuk turut serta dalam visi
yang penuh kebahagiaan (visi Allah yang mulia di surga).
Natur wahyu tersebut benar-benar progresif. Sepanjang sejarah Alkitab, kebe-
naran yang baru tentang penebusan dinyatakan dengan memberikan pemahaman
baru pada hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Kebenaran-kebenaran tersebut akhir-
nya tersingkap sepenuhnya dalam PB. Ketika membahas perkembangan dogma,
teolog Katolik, Ludwig Ott, mengatakan bahwa, “Dalam komunikasi Kebenaran
Wahyu kepada kemanusiaan, terjadi perkembangan yang sangat penting dalam
sejarah manusia hingga Wahyu mencapai puncaknya dan disimpulkan di dalam
Kristus (bdk. Ibr. 1:1).”45 Pada konteks yang sama, dia mengutip Gregorius Agung:
“Seiring berjalannya waktu, pengetahuan bapa-bapa rohani meningkat, sebab dalam
Ilmu Pengetahuan tentang Allah, Musa lebih banyak mendapat pengajaran dibanding
Abraham, lalu para nabi mendapat pengajaran lebih banyak dibanding Musa, dan
para Rasul lebih banyak dibanding para nabi.”46
Kita juga dapat membahas tentang tahapan-tahapan wahyu. Aquinas membagi
sejarah suci ke dalam tiga periode—sebelum hukum Musa, di bawah hukum Taurat,
dan di bawah kasih karunia—dan menyatukannya dengan wahyu yang masing-
masing diberikan kepada Abraham, Musa, dan para rasul.47
Natur Otoritatif Wahyu. Mengenai otoritas Kitab Suci, Agustinus menegaskan,
“Otoritas kitab-kitab ini diturunkan kepada kita dari para rasul . . . [dan] mengakui
tunduk pada setiap pikiran iman dan kesalehan.”48 Aquinas, penerus Agustinus pada
abad pertengahan, juga percaya bahwa “kita disatukan untuk percaya pada seluruh
isi Kitab Suci.”49 Alkitab sama-sama bersifat otoritatif sebagaimana perkataan Allah
yang bersifat otoritatif karena Alkitab adalah firman Allah. Hal-hal yang ditegaskan
para penulis itulah yang Allah tegaskan. Oleh karena itu, Kitab Suci sama seperti
Allah yang sempurna dan tanpa kesalahan.
Natur Wahyu yang Tidak Dapat Salah (Inerrant). Pada abad XX, kekristenan
ditandai dengan bangkitnya teologi-teologi yang menyerang integritas dan otoritas
Kitab Suci. Berbagai pendekatan yang dilakukan misalnya: (1) Alkitab tidak dapat
salah soal apa yang diajarkannya, namun tidak harus tanpa kesalahan pada apa

45. Ott, Fundamentals of Catholic Dogma, h. 6-7.


46. Ibid., h. 7. (Dalam Ezechielem lib. 2, hom. 4, 12.)
47. Dikutip oleh New Catholic Encyclopedia dari vol. 12, ST 2a2ae, 174.6, h. 443.
48. Against Faustus 11.5; dikutip dalam Norman L. Geisler, Decide for Yourself (Grand Rapids:
Zondervan, 1982), h. 34.
49. Aquinas, Summa Theologiae 1.61, ibi d., h. 38.
28 Wilayah Kesepakatan Doktrinal

saja yang dikatakannya, dan (2) Alkitab tidaklah salah dalam hal iman dan moral,
namun mungkin salah dalam hal sejarah dan sains. Katolik Roma tradisional dengan
senang hati menghindari berbagai penyimpangan yang berbahaya ini. Agustinus
mengatakan, “Bagi saya, malapetaka terburuk pasti kita alami bila kita percaya bahwa
ada suatu kesalahan yang ditemukan dalam Kitab Suci.”50 Pada kesempatan lain dia
menambahkan, “Jika kita dikacaukan oleh hal yang tampaknya kontradiktif dalam
Alkitab, kita tidak boleh mengatakan bahwa penulisnya keliru; melainkan naskahnya
rusak, atau terjemahannya salah, atau Anda salah memahaminya.”51 Aquinas men-
dukung pendapat teolog yang mendahuluinya, “Sesatlah yang mengatakan bahwa
ada kesalahan, apa pun itu, baik dalam Injil ataupun dalam Kitab Suci kanonik.”52
Beralih ke situasi saat ini, seorang akademisi Kitab Suci Katolik Roma masa kini
mengukuhkan kembali kata-kata dari Uskup Hippo dan “Doctor Anglicus” (Thomas
Aquinas): Inspirasi mengenyahkan kesalahan dalam bentuk apa pun pada Alkitab.
Karena itu Paus Leo XIII dalam Ensiklik Providentissimus Deus menulis bahwa
karena Allah adalah penulisnya, “Maka barangsiapa yang berpikir mengenai adanya
kesalahan pada ayat-ayat autentik Kitab Suci niscaya tersesat pikirannya menurut
Katolik mengenai inspirasi Ilahi ataupun menjadikan Allah sendiri sebagai sumber
kesalahan.”53
Konsili Vatikan I menyatakan tentang ineransi (ketidakmungkinan kesalahan)
Kitab Suci dengan mengatakan, “Kitab Suci berisi wahyu yang tanpa salah . . .
karena ditulis melalui inspirasi Roh Kudus dengan Allah sebagai penulisnya.”54
Leo XIII menegaskan bahwa, “Salah besar jika kita membatasi inspirasi hanya pada
beberapa bagian Kitab Suci atau membenarkan bahwa penulis Kitab Suci melakukan
kesalahan.”55 Vatikan II menambahkan, “Sebab itu penegasan dari semua penulis
yang mendapat inspirasi atau penulis kudus harus diperlakukan sebagai pengukuhan
oleh Roh Kudus, kita harus mengakui secara tegas bahwa Kitab Suci sungguh-
sungguh, dengan iman dan dengan tanpa ada kesalahan, mengajarkan kebenaran
yang Allah kehendaki untuk diungkap oleh Kitab Kudus demi keselamatan kita.”56
Para teolog Katolik yang lebih liberal keberatan dengan frasa “demi keselamatan kita,”
berargumen bahwa ineransi hanya mencakup kebenaran mengenai keselamatan,
namun hal ini bertentangan dengan seluruh tradisi Katolik dari dulu hingga zaman
modern. Semua orang menyetujui bahwa inspirasi dan ineransi hanya berlaku dalam
pengertian “yang dimaksud oleh penulis Kitab Suci untuk dinyatakan dan benar-
benar dinyatakan dalam bentuk sastra kontemporer.” Untuk “memahami dengan
benar apa yang penulis ingin tegaskan melalui karyanya, perhatian harus dicurahkan
baik terhadap adat istiadat maupun ciri khas pola persepsi, percakapan, dan narasi

50. Letters 23.33, 23, penekanan ditambahkan.


51. Against Faustus 11.5, ibid., h. 37.
52. In Job 13, lect. 1, Geisler, Thomas Aquinas, h. 47.
53. William G. Most, Free from All Error (Libertyville: Prow Books, 1985), h. 37.
54. Denzinger, Sources of Catholic Dogma, 1787, “The Source of Revelation,” h. 444.
55. Ibid., 1950, Encyclical, “Providentissimus Deus” (1893), h. 492.
56. Documents of Vatican II, “On Revelation,” h. 757.
Wahyu 29

yang berlaku pada masa hidup penulis tersebut, maupun terhadap kaidah-kaidah
umum yang dianut oleh masyarakat pada masa itu untuk saling berinteraksi satu
sama lain.”57
Wahyu Privat vs Publik. Topik terakhir yang akan dibahas dalam bagian ini
adalah wahyu “publik” versus “privat.” Mengenai wahyu publik, “St. Thomas menya-
takan bahwa wahyu profetik yang digolongkan sebagai doktrin telah terhenti pada
zaman para rasul.”58 Pengertian wahyu privat berbeda dengan wahyu publik, “Apa
pun yang Allah komunikasikan sejak zaman para rasul kepada orang-orang tertentu
yang diistimewakan tidak lagi dapat memberi tambahan bagi iman Kristen.”59 Selain
itu, “Sepanjang zaman telah ada semacam wahyu privat, beberapa di antaranya telah
diakui oleh otoritas gereja. Namun wahyu privat itu tidaklah merupakan bagian
dari iman.”60 Perbedaan antara Katolik Roma dengan Injili dalam hal relasi antara
wahyu publik dengan privat, juga antara Kitab Suci dengan tradisi, akan dibahas
dalam bab 10.

BAPA-BAPA GEREJA DAN KITAB SUCI


Kita telah menyebut nama Agustinus dan Aquinas dan menyelidiki pendekatan
mereka terhadap Alkitab. Banyak pemimpin dari gereja yang lebih kecil juga menjun-
jung tinggi firman Allah yang tertulis.
Periode Patristik. Didache (ca. 70 M), “Pengajaran Tuhan melalui Kedua Belas
Rasul,” adalah panduan awal gereja dalam hal moral dan praktik ibadah. Didache
merupakan ajaran kepada gereja untuk menguji autentisitas para pengajar dan
pemimpin dengan membandingkan kata-kata mereka dengan Kitab Suci. Clement
dari Roma (30-100 M) mendorong orang-orang percaya untuk “menyelidiki Kitab
Suci, yaitu perkataan sejati dari Roh Kudus, secara hati-hati.”61
Justin Martyr (100-165 M) menerbitkan bukunya First Apology dan menyam-
paikannya kepada Kaisar Antoninus Pius. Buku ini merupakan pembelaan bagi
kekristenan dan di dalamnya dia memberikan panduan untuk pelayanan ibadah rutin
dan memberikan tempat utama kepada Kitab Suci: “Dan pada hari yang disebut hari
Minggu, semua orang yang tinggal di kota maupun desa berkumpul di satu tempat,
dan tulisan-tulisan para rasul atau para nabi dibacakan.”62 Irenaeus (ca. 130-200 M)
memberi pernyataan bahwa, “Kitab Suci memang sempurna karena Ia diucapkan
oleh Firman Allah (Kristus) dan Roh-Nya.”63

57. Ibid., h. 757-758.


58. New Catholic Encyclopedia, 12:444.
59. Ibid. Lihat juga Most, Free from All Error, h. 2.
60. Catechism 1994, no. 67, h. 23.
61. The First Epistle of Clement to the Corinthians, h. 45; dikutip dalam Geisler, Decide for Yourself,
h. 24.
62. Bab LXVII dalam Ante-Nicene Fathers, vol. 7, 378; dikutip dalam Stott, Between Two Worlds,
h. 18-19.
63. Against Heresies 2.28.2; dikutip dalam Geisler, Decide for Yourself, h. 25.
30 Wilayah Kesepakatan Doktrinal

Clement dari Aleksandria (150-215 M) menyebut Alkitab sebagai “kriteria


iman yang sempurna,” dan dia mencatat bahwa, “Allah adalah asal-muasal dari
semua hal yang baik; dasarnya adalah PL dan PB; dan dengan demikian, yang lain
adalah filsafat.”64 Tertullian (160-225 M) bersikukuh bahwa, “Kita dipersatukan
. . . Kitab Suci Ilahi telah mempersatukan kita; tulisan-tulisan itu adalah perekat
kita.”65 Paus Gelasius (wafat 496 M), dalam sebuah dekrit yang diperkirakan dibuat
olehnya, membahas natur Alkitab: “Garis pemikirannya jelas. Tulisan Kudus, dalam
pengertian yang memadai, memastikan bahwa dasar dari Gereja adalah bergantung
kepada Yesus sendiri.”66 Sesungguhnya: “Tanda paling jelas dari hak istimewa yang
dinikmati oleh [Kitab Suci] adalah fakta bahwa hampir seluruh upaya teologis
bapa-bapa gereja, baik yang bertujuan polemik ataupun konstruktif, tercurah pada
sejumlah besar eksposisi Alkitab. Selain itu, di mana pun berlaku (prinsip) bahwa
setiap doktrin yang ingin diterima, dengan sendirinya haruslah dibangun pertama-
tama berdasarkan Alkitab.”67
Periode Abad Pertengahan. John Scotus Erigena (ca. 810-877 M) menegaskan
bahwa, “Dalam segala hal, otoritas Kitab Suci-lah yang harus ditaati.”68 Doa berikut
ini juga menunjukkan pengabdian Erigena kepada Kitab Suci: “Ya Tuhan Yesus, tiada
imbalan lain, tiada berkat lain, tiada sukacita lain yang aku minta selain pemahaman
yang murni, yang bebas dari kesalahan, terhadap perkataan-perkataan-Mu yang
diilhami Roh Kudus.”69 Rupert dari Deutz (ca. 1075-1129 M) mengajarkan bahwa
“Apa pun yang dihasilkan atau disimpulkan dari argumen-argumen di luar Kitab
Suci . . . bukanlah pujian dan pengakuan terhadap Allah yang Mahakuasa . . . Apa
pun yang berada di luar aturan Kitab Suci, tidak dapat dituntut dari seorang Katolik
secara hukum.”70 Anselm (ca. 1033-1109 M) menyatakan bahwa, “Manusia-Allah
itu sendiri berawal dari PB dan didukung oleh PL. Dan karena kita harus mengakui
bahwa Dia benar, tidak seorang pun dapat menolak apa pun yang ada di Alkitab.”71

KESIMPULAN

Dalam penyelidikan kita terhadap topik mengenai wahyu, kita telah membahas
pemikiran gereja sejak zaman Apostolik hingga Abad Pertengahan. Kita telah
melihat penghormatan dan pengabdian bapa-bapa gereja mula-mula dan yang
kemudian terhadap Kitab Suci. Baik Katolik maupun Protestan sama-sama memiliki

64. Stomata 5.5, ibid., h. 31.


65. On Modesty 5, ibid., h. 27.
66. George H. Tavard, Holy Writ or Holy Church (New York: Harper and Brothers, 1959), h. 7.
67. Kelly, Early Christian Doctrine, h. 46.
68. De Divina Natura, bk. l, ch. 64; PL, 122, 509; dikutip dalam ibid., h. 12.
69. Ibid., bk. 5; PL, 122, 1010, h. 12, 13.
70. De Omnipotentia Dei, 27; PL, 170, 477-478, ibid., h. 13.
71. Anselm, Cur Deus Homo 22, dalam St. Anselm: Basic Writings, terjemahan S. W. Deane (La Salle,
Ill.: Open Court Publishing, 1962), h. 288.
Wahyu 31

tradisi penting ini. Mengenai hal ini, Donald G. Bloesch mencatat, “Sebagian besar
bapa-bapa gereja dan teolog abad pertengahan sebelum abad XIV mengajarkan
bahwa Alkitab merupakan sumber wahyu yang unik dan satu-satunya.”72 Bloesch
melanjutkan: “Prioritas Alkitab yang berada di atas tradisi secara jelas disuarakan
oleh Thomas Aquinas: ‘Argumen-argumen Kitab Suci digunakan secara pas dan
memenuhi kebutuhan iman; sebab iman kita yang didasarkan pada wahyu diberikan
kepada para rasul dan nabi yang menulis kitab-kitab kanonik Alkitab dan tidak
didasarkan pada wahyu yang mungkin telah diciptakan oleh para doktor.’”73
Mengenai sola Scriptura, ada banyak kesamaan pandangan melebihi dari
yang kita perkirakan, setidaknya dalam arti material. Tentu saja Katolik Roma
menyangkal bahwa Alkitab telah memadai secara formal, mereka bersikukuh akan
perlunya wewenang pengajaran gereja (magisterium) yang sempurna (lih. bab 11).
Mengenai doktrin yang menjadi “poros roda” Reformasi ini, Harold O. J. Brown
menulis: “Alkitab merupakan otoritas final satu-satunya dalam hal iman dan moral
yang telah menjadi prinsip kekristenan sejak dahulu kala, tidak seorang pun dapat
menyangkalnya, tidak juga Gereja Roma”74 Bahkan beberapa teolog besar Katolik
seperti Aquinas dapat dikutip pendapatnya untuk mendukung prinsip ini: “Kami
percaya pada para penerus dari para rasul dan nabi hanya apabila mereka mem-
beritakan hal-hal yang ditulis oleh para rasul dan nabi.”75
Alkitab sebagai dasar iman Kristen juga ditekankan melalui karya Katolik Roma
bahwa “iman bukanlah lompatan menuju kegelapan, melainkan fondasi yang tak
tergoyahkan.”76 Tentu timbul pertanyaan mengenai bagaimanakah hubungan antara
Alkitab dengan gereja. Hal ini akan kita bahas di bab 9.
Menyangkut kesimpulan dari tujuan wahyu, secara resmi Katolik Roma menya-
takan, “Melalui penyataan diri-Nya, Allah ingin memampukan mereka [umat manusia]
merespons diri-Nya, dan mengenal-Nya, dan mengasihi-Nya jauh melampaui kapa-
sitas alami mereka sendiri.”77 Wahyu supranatural dibutuhkan untuk memenuhi
tujuan supranatural manusia.

72. Essentials of Evangelical Theology, vol. 1 (New York: Harper & Row, 1978), h. 57. Lihat juga Tavard,
Holy Writ or Holy Church, h. 22f.
73. Aquinas, Summa Theologiae I, 1.8.
74. Heresies: The Image of Christ in the Mirror of Heresy and Orthodoxy from the Apostles to the Present
(Grand Rapids: Baker, 1984), h. 308, cetak miring ditambahkan.
75. Aquinas, De veritate XIV, 10, ad 11, penekanan ditambahkan.
76. Neuner dan Dupuis, Christian Faith, h. 62. Komentar mengenai Paus Yohanes Paulus II, Catechesi
Tradendae, 16 Oktober 1979.
77. Catechism 1994, no. 52, h. 19.

Anda mungkin juga menyukai