Look Inside Roman Catholics and Evangelicals
Look Inside Roman Catholics and Evangelicals
ISBN 978-602-7788-45-9
Diterbitkan oleh
LITERATUR SAAT
Jalan Anggrek Merpati 12, Malang 65141
Telp. (0341) 490750, Fax. (0341) 494129
website: www.literatursaat.com
Dilarang memproduksi sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Daftar Isi
Epilog 451
Lampiran-lampiran
A Gereja-gereja Timur 455
B Kontra Reformasi dan Perkembangan Selanjutnya 465
C Katolikisme Modern/Liberal 477
D Vatikan II dan Situasi Saat Ini 485
E Baptisan Kelahiran Kembali (Baptismal Regeneration) 499
F Deklarasi Colson—Neuhaus 513
Bibliografi 525
1
Wahyu
Katolik dan Injili memiliki jauh lebih banyak kesamaan daripada yang mereka akui.
Pada bagian ini kita akan menyelidiki isi doktrin yang sama-sama dipegang oleh
Katolik Roma dan Injili.1 Tabel berikut dapat menolong upaya tersebut (sumber
tidak diketahui). Kita memiliki kesamaan dalam hal:
Satu Alkitab
Dua Perjanjian Lama dan Baru
Tiga Kredo Pengakuan Iman Rasuli (ca. 150M). Membedakan orang percaya sejati
dengan mereka yang mengikuti Gnostikisme dan Marsionisme.
Pengakuan Iman Nicea (326M). Mengutuk Arius yang antitrinitarian,
yang menyangkali keilahian Kristus.
Pengakuan Iman Athanasius (428M). Mengajarkan doktrin Tritunggal
dan inkarnasi.
1. Sumber-sumber yang akan digunakan berikut ini sebagian besar merupakan tulisan para
bapa gereja dan/atau tulisan-tulisan Katolik Roma. Kitab Suci yang dikutip dalam buku ini, kecuali
disebutkan lain, berasal dari the New American Bible, Edisi St. Joseph—dengan berbagai catatan (New
York: Catholic Book Publishing, 1986). Terjemahan ini baik, khususnya PB, dan terjemahan ini
menyajikan titik temu dengan Katolik.
Referensi standar untuk artikel yang membicarakan iman dan moral Gereja Katolik Roma adalah
Enchiridion Symbolorum karya Henry Denzinger. Buku aslinya ditulis dalam bahasa Latin dan Yunani
telah diterbitkan lebih dari tiga puluh edisi. Buku ini disusun secara kronologis yang dimulai dengan
Pengakuan Iman Rasuli dan meliputi kredo, konsili, dan dokumen Kristen keuskupan Roma.
Satu masalah yang dihadapi kaum cendekia modern adalah bahwa susunan (indeks) dalam
berbagai dokumen berubah seiring dengan terbitnya edisi yang lebih baru. Dalam buku ini, kami akan
menggunakan edisi berikut dan oleh karena itu semua nomor indeks yang digunakan dalam catatan kaki
akan dipertahankan dalam edisi ini: Henry Denzinger, The Sources of Catholic Dogma, diterjemahkan
oleh Roy J. Deferrari dari edisi yang ke-30 Enchiridion Symbolorum karya Henry Denzinger (St. Louis:
B. Herder Book Co., 1957).
Dalam karya-karya terbaru, yang diedit oleh J. Neuner, S. J., dan J. Dupuis, S. J., The Christian Faith:
Doctrinal Documents of the Catholic Church, revisi ke-5 (New York: Alba House, 1990), dokumen-
dokumen telah disusun secara kronologis berdasarkan tema untuk mempermudah referensi.
Umumnya Katolik Roma tradisional terkini mendukung studi Alkitab yang sedang berlangsung
sekarang: The Navarre Bible, edisi ke-2, penjelasan oleh anggota Fakultas Teologi dari University of
Navarre, Spanyol (Dublin: Four Courts Press, 1991). Karya ini telah terbit dengan 12 volume, hanya
tentang PL. Teks kitab suci diambil dari Revised Standard Version, Catholic Edition (RSVCE), dan
Versi Vulgata Baru.
Katekismus resmi pertama sejak Konsili Trente (1545-1563 M) diterbitkan pada tahun 1994:
Katekismus Gereja Katolik: Libreria Editrice Vaticana (Boston: St. Paul Books and Media, 1994).
Katekisme baru ini dibagi menjadi empat bagian utama: (1) keyakinan (apa yang Gereja percayai);
(2) sakramen-sakramen (apa yang dirayakan oleh Gereja); (3) perintah-perintah (apa yang dijalankan
Gereja); dan (4) “Bapa Kami” (apa yang Gereja doakan). Ada sistem referensi silang internal di
antara paragraf-paragraf yang mempermudah kita menemukan semua kutipan dalam katekismus
yang membicarakan subjek tertentu.
18 Wilayah Kesepakatan Doktrinal
Empat Konsili Nicea Pertama (325M). Mengajarkan bahwa Yesus Kristus adalah Sang
Anak dengan substansi yang sama seperti Bapa.
Konstantinopel Pertama (381M). Mengajarkan keilahian Roh Kudus.
Efesus (431M). Maria adalah theotokos: “yang mengandung Allah.”
Chalcedon (451M). Menegaskan dua natur Kristus: Ilahi dan manusia.
Lima Abad Sejak zaman para rasul hingga akhir abad kelima.
Suci satu-satunya yang dapat dikatakan ditulis oleh Allah.”7 Dalam hal ini kita
dapat melihat keselarasan yang mendasar mengenai tempat yang sentral dalam
pembentukan teologi Kristen.8 Sekarang kita akan membahas Kitab Suci secara
langsung.
DATA ALKITABIAH
Seluruh dokumen Gereja Katolik Roma menyatakan kebenaran bahwa Kitab Suci
merupakan pusat pemahaman terhadap wahyu Allah. Walaupun Katolik dan
Protestan memiliki perbedaan mengenai apakah kitab-kitab apokrifa (Deutero-
kanonika) merupakan bagian PL ataukah tidak, ada kesepakatan di antara keduanya
mengenai keseluruhan 66 kitab dalam Alkitab. Konsili Vatikan I berpandangan
bahwa Gereja Katolik Roma “mendasarkan diri pada kepercayaan para rasul,
mengakui bahwa seluruh kitab-kitab dalam PL dan PB, . . . adalah kudus dan kanonis
karena telah ditulis menurut inspirasi Roh Kudus . . . Allah adalah penulisnya.”9
Agustinus merefleksikan pemikiran gereja sejak zaman para rasul hingga
Abad Pertengahan, ketika dia mengatakan bahwa kebenaran adalah “yang Allah
inginkan untuk dimasukkan ke dalam tulisan-tulisan kudus demi keselamatan
kita.”10 Demikian pula Konsili Vatikan Pertama menyatakan: “Karena merupakan
wahyu Ilahi, maka kebenaran-kebenaran tentang hal-hal Ilahi . . . dapat . . . diketahui
oleh setiap orang.”11 Rasul Paulus mengungkapkannya demikian: “Segala tulisan
(yang) diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyata-
kan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam
kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi
untuk setiap perbuatan baik” (2Tim. 3:16-17). Mengenai tujuan Kitab Suci: “Semua
Kitab Suci tidak lain merupakan satu kitab, dan satu kitab itu adalah Kristus, karena
seluruh Kitab Suci yang Ilahi berbicara tentang Kristus, dan seluruh Kitab Suci yang
Ilahi tergenapi di dalam Kristus.”12
PERJANJIAN LAMA
Dalam PL, Allah meletakkan fondasi keselamatan. Pertama, sebuah perjanjian yang
dibuat dengan Abraham menyatakan: “Kepada keturunanmulah Kuberikan negeri
ini, mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai Efrat” (Kej. 15:18).
Dalam ketaatannya kepada Allah, Musa “mengambil darah itu dan menyiramkannya
pada bangsa itu serta berkata: ‘Inilah darah perjanjian yang diadakan TUHAN dengan
kamu, berdasarkan segala firman ini’” (Kel. 24:8). Karena itu, “rencana keselamatan,
yang dinubuatkan, disaksikan, dan dijelaskan oleh para penulis kudus, ditemukan
dalam kitab-kitab PL sebagai firman Allah yang sesungguhnya.”13
Sekalipun PB dibangun melalui Kristus, gereja selalu mengakui bahwa Injil
berakar di dalam PL. Agustinus menangkap kebenaran ini ketika ia mendeklarasikan
bahwa “PB terselubung di dalam PL, PL tersingkap dalam PB.”14
PERJANJIAN BARU
Bagi Katolik maupun Protestan, rencana keselamatan Allah memasuki tahap akhir-
nya dalam PB. Dalam prolog Injil-nya, Yohanes menulis: “Firman itu telah menjadi
manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu
kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih
karunia dan kebenaran” (Yoh. 1:14).15 Hal ini terjadi “setelah genap waktunya” yang
disebutkan Paulus dalam Galatia 4:4. Penulis kitab Ibrani menggambarkan transisi
keselamatan itu sebagai berikut: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan
dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-
nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan
Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada.
Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta” (Ibr. 1:1-2).
Dalam kitab-kitab Injil, Kristus dinyatakan sebagai Anak Allah dan yang akan
memperkenalkan Kerajaan Allah. Natur-Nya secara khusus diungkapkan kepada
para rasul, dan Yesus juga mengungkapkan Bapa: “Semua telah diserahkan kepada-
Ku oleh Bapa-Ku dan tidak ada seorang pun yang tahu siapakah Anak selain Bapa,
dan siapakah Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan
menyatakan hal itu” (Luk. 10:22). Konsili Vatikan II menyatakan: “Oleh sebab itu,
dispensasi Kristen adalah memiliki perjanjian (kovenan) yang baru dan definitif, yang
tidak akan lenyap, dan kita sekarang tidak lagi menantikan sebuah wahyu umum
yang baru sebelum penyataan kemuliaan Tuhan kita Yesus Kristus (bdk. 1Tim. 6:14;
Tit. 2:13).”16
Dalam surat-surat Paulus, penekanannya adalah pada “misteri” Kristus. Paulus
beranggapan bahwa kebenaran akan keselamatan ada di dalam Kristus, sekalipun
sebelumnya tersembunyi, kini telah dinyatakan oleh Allah (Ef. 3:5). “Bagi Dia, yang
berkuasa menguatkan kamu, menurut Injil yang kumasyhurkan dan pemberitaan
13. Walter M. Abbott, S.J., ed., The Documents of Vatican II (New York: Guild Press, 1966), h. 122.
14. Quest in Hept 2.73: PL 34, 623.
15. Catatan studi NAB pada ayat di atas adalah sebagai berikut: “Flesh (daging): Keseluruhan orang
tersebut, digunakan mungkin untuk melawan kecenderungan doketistik, yaitu pandangan bahwa Yesus
tidak memiliki tubuh manusia (bdk. 1Yoh. 4: 2; 2Yoh. 7). Diam di antara kita: harfiah, mendirikan
kemah/tabernakel-Nya”.
16. Ibid., Dogmatic Constitution Dei Verbum, “Revelation,” 4.
Wahyu 21
tentang Yesus Kristus, sesuai dengan pernyataan rahasia, yang didiamkan berabad-
abad lamanya” (Rm. 16:25). Perhatikan bahwa Injil Yesus dan Paulus adalah satu dan
sama.17 Paulus juga berbicara tentang tahap terakhir penyataan ini, “Hari Tuhan,”
parousia itu, “apabila Ia datang pada hari itu untuk dimuliakan di antara orang-orang
kudus-Nya dan untuk dikagumi oleh semua orang yang percaya, sebab kesaksian
yang kami bawa kepadamu telah kamu percayai” (2Tes. 1:10).18
PERKEMBANGAN TEOLOGIS
Jika Allah tidak berinisiatif melalui wahyu umum dan wahyu khusus, kita tidak akan
mengetahui apa pun tentang diri-Nya. “Dalam kebaikan dan hikmat-Nya, Allah
memilih untuk menyatakan diri-Nya dan mengungkapkan kepada kita rencana-
rencana tersembunyi dari kehendak-Nya.”19 Wahyu ini datang kepada kita dalam
dua tingkatan, pertama dalam dunia ciptaan yang Ia jadikan melalui kuasa Firman,
yaitu Kristus. Rasul Yohanes memberitahukan kita, “Pada mulanya adalah Firman;
Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. Ia pada mula-
nya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia
tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yoh. 1:1-3).
Allah atas ciptaan ini telah menyatakan diri-Nya dalam alam sehingga semua orang
dapat melihatnya “dengan jelas.” Sehingga mereka yang menolak Dia “tidak dapat
berdalih” (Rm. 1:19-20). Sesungguhnya Allah telah menuliskan hukum-Nya dalam
hati semua orang (Rm. 2:12-15). Kedua, Allah berbicara kepada kita melalui Alkitab.
Ini disebut sebagai wahyu “khusus.”
WAHYU UMUM
Wahyu umum ada sebelum wahyu khusus, dan tidak mencakup komunikasi
verbal. Pemazmur berkata, “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala
memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan
malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam” (Mzm. 19:1-2). Mengenai
wahyu umum, Pius IX menyatakan: “Tetapi betapa banyak, betapa menakjubkan,
betapa gamblang argumen-argumen yang tersedia sehingga akal budi seharusnya
diyakinkan sepenuhnya bahwa agama Kristus bersifat Ilahi.”20
Wahyu Primitif. Katolik Roma juga menggunakan konsep “wahyu primitif ”
untuk mengenali kebenaran-kebenaran supranatural yang dinyatakan pada awal
sejarah manusia.21 Wahyu yang “diwariskan” ini dapat menjelaskan elemen-elemen
17. Lihat G. G. Machen, The Origin of Paul’s Religion (1925; cetak ulang, Grand Rapids: Eerdmans,
1976).
18. Bandingkan “Concept of Revelation,” New Catholic Encyclopedia, vol. 12 (New York: McGraw-
Hill, 1967), h. 438-439.
19. John A. Hardon, S. J., The Catholic Catechism (New York: Image Books, 1966), h. 30.
20. Denzinger, Sources of Catholic Dogma, 1638, h. 411, Encyclical Letter, “Qui Pluribus” (1846).
21. Ludwig Ott, Fundamentals of Catholic Dogma (Rockford, Ill.: Tan Books, 1960), h. 15, dst.
22 Wilayah Kesepakatan Doktrinal
Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu.
Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas
langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia, dan juga
tidak dilayani oleh tangan manusia, seolah-olah Ia kekurangan, karena Dialah yang
memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang. Dari satu
orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami
seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan
batas-batas kediaman mereka, supaya mereka mencari Dia dan berharap dapat
menyentuh dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing.
Sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga
dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga.
Karena kita berasal dari keturunan Allah, kita tidak boleh berpikir, bahwa keadaan
Ilahi sama seperti emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian
manusia. Dengan tidak memandang lagi zaman kebodohan, maka sekarang
Allah memberitakan kepada manusia yang ada di mana pun, bahwa mereka
semua harus bertobat. Karena Ia telah menetapkan suatu hari, pada waktu mana
Ia dengan adil akan menghakimi dunia oleh seorang yang telah ditentukan-Nya,
sesudah Ia memberikan kepada semua orang suatu bukti tentang hal itu dengan
membangkitkan Dia dari antara orang mati” (Kis. 17:22-31).
Jelas Paulus percaya bahwa kita dapat menggunakan akal sehat kita ketika berbicara
dengan orang yang tidak percaya berdasarkan wahyu umum karena wahyu umum
dapat menjadi jalan masuk untuk mempresentasikan kebenaran yang lebih lengkap
yang terpancar dari wahyu khusus. Hal ini disebut sebagai “pra-penginjilan” oleh
mendiang Francis Schaeffer.36
WAHYU KHUSUS
Meskipun menekankan teologi natural, Aquinas berargumen bahwa wahyu khusus
dibutuhkan karena keterbatasan pikiran manusia dan keberdosaan yang muncul
dari kehendak manusia. Dengan empatik Aquinas menekankan bahwa, “Akal budi
manusia sangatlah terbatas jika menyangkut Allah. Tandanya bagi para filsuf adalah
bahwa dalam penyelidikan mereka terhadap hal ihwal manusia melalui penelitian
alami, mereka mengalami banyak kesalahan dan mereka tidak sepakat di antara
mereka sendiri.” Akibatnya, supaya manusia dapat memiliki pengetahuan tentang
Allah dan bebas dari keraguan dan ketidakpastian, kebenaran Ilahi perlu disampaikan
kepada mereka melalui iman, diberitahukan kepada mereka apa adanya, oleh Allah
sendiri yang tidak dapat berdusta.”37
Karunia wahyu khusus dibutuhkan untuk mengatasi dampak dosa pada akal
budi manusia. Aquinas menyimpulkan, “Jika sesuatu berada di dalam kekuasaan
kita itu mengandung makna bahwa kita dapat melakukannya tanpa pertolongan
melalui anugerah, maka kita terikat pada banyak hal yang tidak berada dalam
36. Lihat juga Norman L. Geisler and Ron Brooks, When Skeptics Ask (Wheaton: Victor, 1990), h.
9-10.
37. Aquinas, Summa Theologiae, 2a2ae. 2, 4.
26 Wilayah Kesepakatan Doktrinal
Pada bagian pertama dari bab ini, kita telah mengidentifikasi akar spiritual
pewahyuan dalam PL dan PB. Sekarang kita beralih ke beberapa konsep yang mun-
cul dari pemahaman teologis tentang wahyu khusus.
Natur Wahyu yang Progresif. Wahyu khusus adalah wahyu tentang sejarah
penebusan. Tujuan wahyu khusus adalah penebusan umat manusia, memperbarui,
menerangi, dan mengarahkan kepada yang baik. Wahyu khusus memenuhi kita
dengan kasih kudus dan akhirnya mempersiapkan kita untuk turut serta dalam visi
yang penuh kebahagiaan (visi Allah yang mulia di surga).
Natur wahyu tersebut benar-benar progresif. Sepanjang sejarah Alkitab, kebe-
naran yang baru tentang penebusan dinyatakan dengan memberikan pemahaman
baru pada hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Kebenaran-kebenaran tersebut akhir-
nya tersingkap sepenuhnya dalam PB. Ketika membahas perkembangan dogma,
teolog Katolik, Ludwig Ott, mengatakan bahwa, “Dalam komunikasi Kebenaran
Wahyu kepada kemanusiaan, terjadi perkembangan yang sangat penting dalam
sejarah manusia hingga Wahyu mencapai puncaknya dan disimpulkan di dalam
Kristus (bdk. Ibr. 1:1).”45 Pada konteks yang sama, dia mengutip Gregorius Agung:
“Seiring berjalannya waktu, pengetahuan bapa-bapa rohani meningkat, sebab dalam
Ilmu Pengetahuan tentang Allah, Musa lebih banyak mendapat pengajaran dibanding
Abraham, lalu para nabi mendapat pengajaran lebih banyak dibanding Musa, dan
para Rasul lebih banyak dibanding para nabi.”46
Kita juga dapat membahas tentang tahapan-tahapan wahyu. Aquinas membagi
sejarah suci ke dalam tiga periode—sebelum hukum Musa, di bawah hukum Taurat,
dan di bawah kasih karunia—dan menyatukannya dengan wahyu yang masing-
masing diberikan kepada Abraham, Musa, dan para rasul.47
Natur Otoritatif Wahyu. Mengenai otoritas Kitab Suci, Agustinus menegaskan,
“Otoritas kitab-kitab ini diturunkan kepada kita dari para rasul . . . [dan] mengakui
tunduk pada setiap pikiran iman dan kesalehan.”48 Aquinas, penerus Agustinus pada
abad pertengahan, juga percaya bahwa “kita disatukan untuk percaya pada seluruh
isi Kitab Suci.”49 Alkitab sama-sama bersifat otoritatif sebagaimana perkataan Allah
yang bersifat otoritatif karena Alkitab adalah firman Allah. Hal-hal yang ditegaskan
para penulis itulah yang Allah tegaskan. Oleh karena itu, Kitab Suci sama seperti
Allah yang sempurna dan tanpa kesalahan.
Natur Wahyu yang Tidak Dapat Salah (Inerrant). Pada abad XX, kekristenan
ditandai dengan bangkitnya teologi-teologi yang menyerang integritas dan otoritas
Kitab Suci. Berbagai pendekatan yang dilakukan misalnya: (1) Alkitab tidak dapat
salah soal apa yang diajarkannya, namun tidak harus tanpa kesalahan pada apa
saja yang dikatakannya, dan (2) Alkitab tidaklah salah dalam hal iman dan moral,
namun mungkin salah dalam hal sejarah dan sains. Katolik Roma tradisional dengan
senang hati menghindari berbagai penyimpangan yang berbahaya ini. Agustinus
mengatakan, “Bagi saya, malapetaka terburuk pasti kita alami bila kita percaya bahwa
ada suatu kesalahan yang ditemukan dalam Kitab Suci.”50 Pada kesempatan lain dia
menambahkan, “Jika kita dikacaukan oleh hal yang tampaknya kontradiktif dalam
Alkitab, kita tidak boleh mengatakan bahwa penulisnya keliru; melainkan naskahnya
rusak, atau terjemahannya salah, atau Anda salah memahaminya.”51 Aquinas men-
dukung pendapat teolog yang mendahuluinya, “Sesatlah yang mengatakan bahwa
ada kesalahan, apa pun itu, baik dalam Injil ataupun dalam Kitab Suci kanonik.”52
Beralih ke situasi saat ini, seorang akademisi Kitab Suci Katolik Roma masa kini
mengukuhkan kembali kata-kata dari Uskup Hippo dan “Doctor Anglicus” (Thomas
Aquinas): Inspirasi mengenyahkan kesalahan dalam bentuk apa pun pada Alkitab.
Karena itu Paus Leo XIII dalam Ensiklik Providentissimus Deus menulis bahwa
karena Allah adalah penulisnya, “Maka barangsiapa yang berpikir mengenai adanya
kesalahan pada ayat-ayat autentik Kitab Suci niscaya tersesat pikirannya menurut
Katolik mengenai inspirasi Ilahi ataupun menjadikan Allah sendiri sebagai sumber
kesalahan.”53
Konsili Vatikan I menyatakan tentang ineransi (ketidakmungkinan kesalahan)
Kitab Suci dengan mengatakan, “Kitab Suci berisi wahyu yang tanpa salah . . .
karena ditulis melalui inspirasi Roh Kudus dengan Allah sebagai penulisnya.”54
Leo XIII menegaskan bahwa, “Salah besar jika kita membatasi inspirasi hanya pada
beberapa bagian Kitab Suci atau membenarkan bahwa penulis Kitab Suci melakukan
kesalahan.”55 Vatikan II menambahkan, “Sebab itu penegasan dari semua penulis
yang mendapat inspirasi atau penulis kudus harus diperlakukan sebagai pengukuhan
oleh Roh Kudus, kita harus mengakui secara tegas bahwa Kitab Suci sungguh-
sungguh, dengan iman dan dengan tanpa ada kesalahan, mengajarkan kebenaran
yang Allah kehendaki untuk diungkap oleh Kitab Kudus demi keselamatan kita.”56
Para teolog Katolik yang lebih liberal keberatan dengan frasa “demi keselamatan kita,”
berargumen bahwa ineransi hanya mencakup kebenaran mengenai keselamatan,
namun hal ini bertentangan dengan seluruh tradisi Katolik dari dulu hingga zaman
modern. Semua orang menyetujui bahwa inspirasi dan ineransi hanya berlaku dalam
pengertian “yang dimaksud oleh penulis Kitab Suci untuk dinyatakan dan benar-
benar dinyatakan dalam bentuk sastra kontemporer.” Untuk “memahami dengan
benar apa yang penulis ingin tegaskan melalui karyanya, perhatian harus dicurahkan
baik terhadap adat istiadat maupun ciri khas pola persepsi, percakapan, dan narasi
yang berlaku pada masa hidup penulis tersebut, maupun terhadap kaidah-kaidah
umum yang dianut oleh masyarakat pada masa itu untuk saling berinteraksi satu
sama lain.”57
Wahyu Privat vs Publik. Topik terakhir yang akan dibahas dalam bagian ini
adalah wahyu “publik” versus “privat.” Mengenai wahyu publik, “St. Thomas menya-
takan bahwa wahyu profetik yang digolongkan sebagai doktrin telah terhenti pada
zaman para rasul.”58 Pengertian wahyu privat berbeda dengan wahyu publik, “Apa
pun yang Allah komunikasikan sejak zaman para rasul kepada orang-orang tertentu
yang diistimewakan tidak lagi dapat memberi tambahan bagi iman Kristen.”59 Selain
itu, “Sepanjang zaman telah ada semacam wahyu privat, beberapa di antaranya telah
diakui oleh otoritas gereja. Namun wahyu privat itu tidaklah merupakan bagian
dari iman.”60 Perbedaan antara Katolik Roma dengan Injili dalam hal relasi antara
wahyu publik dengan privat, juga antara Kitab Suci dengan tradisi, akan dibahas
dalam bab 10.
KESIMPULAN
Dalam penyelidikan kita terhadap topik mengenai wahyu, kita telah membahas
pemikiran gereja sejak zaman Apostolik hingga Abad Pertengahan. Kita telah
melihat penghormatan dan pengabdian bapa-bapa gereja mula-mula dan yang
kemudian terhadap Kitab Suci. Baik Katolik maupun Protestan sama-sama memiliki
tradisi penting ini. Mengenai hal ini, Donald G. Bloesch mencatat, “Sebagian besar
bapa-bapa gereja dan teolog abad pertengahan sebelum abad XIV mengajarkan
bahwa Alkitab merupakan sumber wahyu yang unik dan satu-satunya.”72 Bloesch
melanjutkan: “Prioritas Alkitab yang berada di atas tradisi secara jelas disuarakan
oleh Thomas Aquinas: ‘Argumen-argumen Kitab Suci digunakan secara pas dan
memenuhi kebutuhan iman; sebab iman kita yang didasarkan pada wahyu diberikan
kepada para rasul dan nabi yang menulis kitab-kitab kanonik Alkitab dan tidak
didasarkan pada wahyu yang mungkin telah diciptakan oleh para doktor.’”73
Mengenai sola Scriptura, ada banyak kesamaan pandangan melebihi dari
yang kita perkirakan, setidaknya dalam arti material. Tentu saja Katolik Roma
menyangkal bahwa Alkitab telah memadai secara formal, mereka bersikukuh akan
perlunya wewenang pengajaran gereja (magisterium) yang sempurna (lih. bab 11).
Mengenai doktrin yang menjadi “poros roda” Reformasi ini, Harold O. J. Brown
menulis: “Alkitab merupakan otoritas final satu-satunya dalam hal iman dan moral
yang telah menjadi prinsip kekristenan sejak dahulu kala, tidak seorang pun dapat
menyangkalnya, tidak juga Gereja Roma”74 Bahkan beberapa teolog besar Katolik
seperti Aquinas dapat dikutip pendapatnya untuk mendukung prinsip ini: “Kami
percaya pada para penerus dari para rasul dan nabi hanya apabila mereka mem-
beritakan hal-hal yang ditulis oleh para rasul dan nabi.”75
Alkitab sebagai dasar iman Kristen juga ditekankan melalui karya Katolik Roma
bahwa “iman bukanlah lompatan menuju kegelapan, melainkan fondasi yang tak
tergoyahkan.”76 Tentu timbul pertanyaan mengenai bagaimanakah hubungan antara
Alkitab dengan gereja. Hal ini akan kita bahas di bab 9.
Menyangkut kesimpulan dari tujuan wahyu, secara resmi Katolik Roma menya-
takan, “Melalui penyataan diri-Nya, Allah ingin memampukan mereka [umat manusia]
merespons diri-Nya, dan mengenal-Nya, dan mengasihi-Nya jauh melampaui kapa-
sitas alami mereka sendiri.”77 Wahyu supranatural dibutuhkan untuk memenuhi
tujuan supranatural manusia.
72. Essentials of Evangelical Theology, vol. 1 (New York: Harper & Row, 1978), h. 57. Lihat juga Tavard,
Holy Writ or Holy Church, h. 22f.
73. Aquinas, Summa Theologiae I, 1.8.
74. Heresies: The Image of Christ in the Mirror of Heresy and Orthodoxy from the Apostles to the Present
(Grand Rapids: Baker, 1984), h. 308, cetak miring ditambahkan.
75. Aquinas, De veritate XIV, 10, ad 11, penekanan ditambahkan.
76. Neuner dan Dupuis, Christian Faith, h. 62. Komentar mengenai Paus Yohanes Paulus II, Catechesi
Tradendae, 16 Oktober 1979.
77. Catechism 1994, no. 52, h. 19.