Anda di halaman 1dari 18

REVIEW JURNAL BIMBINGAN KONSELING ISLAM

BROKEN HOME PADA REMAJA DAN PERAN KONSELOR

Sumber: Sabilla Hasanah, Elvi Sahaara, Indah Permata Sari, Sri

Wulandari, dan Kamil Pardomuan Hutasuhut. Indonesian Institute

for Counseling, Education and Therapy (IICET) Vol. 2, No. 2, 2017,

hlm 1-6, ISSN 2503-1619.

Disusun Sebagai Salah Satu Tugas Mandiri Yang Diwajibkan


Dalam Mengikuti Perkuliahan BIMBINGAN KONSELING ISLAM

Oleh,

YOGI FEBRIAN

(0304182138)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena berkat


rahmat-Nya, penulis masih diberikan kesehatan dan waktu sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini ini tepat pada waktunya. Makalah ini
berjudul Semantics and Pragmatics. Tujuan penulisan Makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas ujian akhir mandiri yang diwajibkan
dalam mengikuti perkuliahan Semantics and Pragmatics.
Shalawat dan salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita semua dari zaman yang gelap menuju
zaman yang diterangi ilmu pengetahuan.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan
Makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca untuk menyempurnakan Makalah ini.
Semoga Makalah ini bermanfaat dan dapat dijadikan referensi
dalam belajar Semantics and Pragmatics.

Medan, 12 Juni 2021

Penulis,

Yogi Febrian

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.............................................................................................................i
Daftar Isi........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
BAB II RINGKASAN JURNAL....................................................................................4
A. Identitas Jurnal..................................................................................................4
B. Bagian Jurnal.....................................................................................................4
2.1 Pembahasan.............................................................................................................7
A. Broken Home dan Ciri-ciri Anak Broken Home.........................................7
B. Peran Konselor dalam Mengatasi Keluarga Broken Home........................9
BAB III PEMBAHASAN...............................................................................................11
A. Relevansi.............................................................................................................11
B. Argumentasi.......................................................................................................11
C. Pemilihan Kajian Teori......................................................................................12
D. Metodologi Penelitian dan Relevansinya.......................................................12
E. Kerangka Berfikir Penulis Pada Pembahasan Journal..................................12
F. Pembahasan.................................................................................................................13
BAB VI PENUTUP..................................................................................................................14
A. Kesimpulan........................................................................................................14
B. Saran.....................................................................................................................15
BAB I

PENDAHULUAN

Fenomena broken home dalam keluarga sudah selayaknya mendapatkan


perhatian dan penanganan yang efektif, terutama dari segi psikologisnya. Sejalan
dengan prinsip yang dikemukakan oleh Kierkegaard (dalam Palmer Donald,
2001) bahwa zu den sachen selhst (kembali pada realitasnya sendiri).
Kierkegaard dalam eksistensialismenya mengemukakan bahwa pentingnya
menempatkan dan menghargai nilai-nilai subjektivitas diri tiap orang. Jika ini
diabaikan suatu kondisi yang harmonis akan jauh dari realitas.
Bagi anak keluarga merupakan lembaga primer yang tidak dapat diganti
dengan kelembagaan yan lain. Di dalam keluargalah anak mengenal arti hidup,
cinta kasih, dan arti kebersamaan. Di dalam keluarga tersebut anak dibesarkan,
diberikan pendidikan dengan suasana aman yang dapat mengantarkan di masa-
masa perkembangannya. Pada kenyataannya, tidak semua keluarga dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Di antara unit sosial, keluarga merupakan
unit yang sangat komplek. Banyak persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para
anggota keluarga yang satu dengan anggota keluarga yang lain. Seringkali
keseimbangan akan terganggu dan membahayakan kehidupan keluarga yang
mengakibatkan keluarga tidak akan merasakan kebahagiaan. Tidak jarang
perselisihan-perselisihan dan pertengkaran-pertengkaran diantara suami-istri
tersebut berakhir dengan perceraian. Maka timbulah rentetan-rentetan kesulitan
terutama bagi seorang anak yang selalu membutuhkan kehadiran orangtua
disepanjang hidupnya. (Gunarsa, 1986: 135).
Harlock (1978) mengatakan bahwa terdapat banyak cara untuk
mengekspresikan kreativitas selama masa kanak-kanak, yang paling umum
diantaranya adalah permainan animisme, permainan drama dan permainan
konstruktif, teman imajiner, melamun, bercerita, aspirasi untuk berprestasi, dan
konsep diri yang ideal. Ada banyak kegiatan yang dapat dilakukan anak-anak
ketika bergabung dengan teman-teman sebayanya, namun untuk melatih emosi

1
anak tetap membutuhkan kedekatan dengan orangtua. Oleh karena itu, keluarga
dikenal sebagai lingkungan pendidikan yang pertama dan utama bagi anak,
karena didalam keluarga lah anak mendapat pengasuhan pertama dan
pendidikan yang pertama. Pandangan tersebut memanglah tepat untuk
melukiskan peran keluarga karena, orang tua merupakan orang pertama yang
memberikan contoh tingkah laku dan tutur bahasa yang baik maupun kurang
baik pada anak.
Dari pengertian di atas, dapat di simpulkan bahwa keluarga merupakan
himpunan kecil dari pengelompokan individu yang terdiri dari ayah, ibu, anak,
paman dan tante, kakek, nenek dan lain-lain. Keluarga khususnya orang tua
merupakan pilar utama dalam pertumbuhan da perkembangan anak. Sedangkan
keluarga broken home yaitu kelompok sosial dalam rumah tangga yang hampir
setiap hari mengalami perselisihan dan pertengkaran di antara kedua orang tua,
sehingga hilanglah pendidikan utama yang sangat dibutuhkan anak dalam
proses pembentukan nilai-nilai kemanusiaan, akhlak dan perilaku, kerohanian,
dan pendidikan agama sebagai dimensi penting bagi anak.
Menurut Golden dan Sherwood (dalam latpun, 2001) konseling keluarga
adalah metode yang dirancang dan difokuskan pada masalah-masalah keluarga
dalam usaha untuk membantu memecahkan masalah pribadi klien. Masalah ini
pada dasarnya bersifat pribadi karena yang dialami oleh klien sendiri. Akan
tetapi, konselor menganggap permasalahan yang dialami klien tidak semata
disebabkan oleh klien sendiri melainkan dipengaruhi oleh system yang terdapat
dalam keluarga klien sehingga keluarga diharapkan ikut serta dalam menggali
dan menyelesaikan masalah klien.
Konseling keluarga memandang keluarga sebagai kelompok tunggal
yang tidak dapat terpisahkan sehingga diperlukan sebagai satu kesatuan.
Maksudnya adalah apabila terdapat salah satu anggota keluarga yang memiliki
masalah maka hal ini dianggap sebagai symptom dari sakitnya keluarga, karena
kondisi emosi salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh anggota
lainnya. Anggota keluarga yang mengembangkan symptom ini disebut sebagai
“identified patient” yang merupakan product dan kontributor dari gangguan
interpersonal keluarga.
Maka dalam hal ini sangat dibutuhkan seorang konselor pada lingkungan
keluarga apalagi pada lingkungan keluarga yang broken home. Karena
konseling keluarga menekankan permasalahan klien sebagai masalah yang ada
dalam keluarga sehingga memandang klien sebagai bagian dari kelompok
tunggal atau satu kesatuan dengan keluarganya.
BAB II
RINGKASAN JURNAL

A. Identitas Jurnal
Judul : Broken Home Pada Remaja dan Peran
Konselor
Volume dan Halaman : 2 (1-6)
Tahun 2017
Penulis : 1. Sabilla Hasanah
2. Elvi Sahaara
3. Indah Permata Sari
4. Sri Wulandari
5. Kamil Pardomuan Hutasuhut
Reviewer : Yogi Febrian
Tanggal Review : 12 Februari 2021

B. Bagian Jurnal
Pendahuluan
Keluarga merupakan taman pendidikan pertama(Indonesia, 2003),
terpenting dan terdekat yang bisa dinikmati anak. Anak akan tumbuh
menjadi remaja yang merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan
manusia. Masa remaja sering digambarkan sebagai masa yang paling
indah, dan tidak terlupakan karena penuh dengan kegembiraan dan
tantangan. Namun masa remaja juga identik dengan kata
‘pemberontakan’(Fadli, 2014).
Masalah dalam keluarga atau di rumah seperti interaksi anggota
keluarga kurang harmonis, perpecahan rumah tangga (broken home),
keadaan ekonomi yang terlalu kurang atau terlalu mewah, perhatian
orangtua yang kurang terhadap prestasi belajar di sekolah atau dalam
belajar di rumah misalnya motivasi belajar yang kurang atau menuntut
terlalau banyak (Simanjuntak, 2013).
Begitu juga masalah dengan remaja yang broken home tentunya
beda dengan tiap remaja yang mengalaminya, itu semua banyak faktor
yang menyebabkan remaja broken home berprilaku negatif karena
kejiwaan remaja yang broken home sangat mudah terpengaruh oleh hal-
hal yang negatif. Broken home menyebabkan pertengkaran dan berakhir
dengan perceraian (Sulistiyanto, 2017). Keadaan broken home seperti
perceraian, akan menimbulkan dampak negatif terhadap semua anggota
keluarga.

Kajian Teori
Judul yang penulis review, yaitu bertujuan untuk mengetahui
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya broken home, dampak dari
broken home, ciri-ciri remaja yang broken home dan peran konselor
dalam mengatasi keluarga yang broken home. Serta menemukan jawaban
dari permasalahan yang telah dihadapi oleh beberapa konselor dari
terjadinya broken home di lingkungan keluarga, mengurangi dampak
buruk dari broken home terhadap sang anak. Pentingnya juga dalam
mengenal ciri-ciri remaja yang mengalami broken home, agar tidak salah
dalam mengambil sikap dalam menghadapi sang anak.

Subyek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini melibatkan beberapa remaja, orang
tua, anggota keluarga yang dihadapi oleh peniliti secara langsung, hal-hal
yang telah dialami oleh beberapa konselor dan yang di alami oleh
berbagai orang yang mengalami keluarga broken home. Rentang usia
pada remaja yaitu umur 12 tahun sampai dengan 22 tahun. Dalam hal ini
juga berfokus pada perubahan sikap dan karakteristik anak,
perkembangan anak, kegelisahan dan pertentangan dari anak, menghayal
serta keinginan untuk mencoba sesuatu.
Alat Ukur
Instrumen yang digunakan dalam penelitian terdiri dari tiga alat
ukur yaitu alat ukur sosiometri, observasi dan kuesioner. Tiga hal ini
bertujuan sebagai berikut, Sosiometri untuk mengukur hubungan sosial
antara struktur sosial dan kesejahteraan psikologis. Observasi yaitu alat
ukur yang di lakukan sebagai metode mengamati dan mendeskripsikan
tingkah laku subjek. Kuesioner adalah alat ukur yang dilakukan dengan
cara instrumen penelitian yang terdiri dari beberapa dan rangkaian
pertanyaan untuk mengumplkan beberapa informasi dari responden.

Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian merupakan sebuah cara untuk hasil dari
sebuah permasalahan yang secara spesifik, dimana permasalahan
tersebut disebut juga dengan permasalahan penelitian. Peneliti
menggunakan berbagai kriteria yang berbeda untuk memecahkan suatu
masalah penelitian yang ada. Penggunaan metode juga merupakan salah
satu cara untuk memecahkan suatu masalah. Dalam metodologi terdapat
dua metodologi penelitian, yaitu metode kualitatif dan kuantitatif.
Metodologi penelitian yang digunakan oleh penulis jurnal ialah
metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif merupakan salah
satu jenis metode penelitian yang spesifikasinya adalah sistematis,
terencana, dan terstruktur dengan jelas sejak awal hingga pembuatan
desain penelitiannya. Selain itu penulis jurnal juga menerapkan metode
kualitatif dikarenakan hal ini bersifat umum, fleksibel dan dinamis,
dimana penelitian ini berkembang selama proses penelitian berlangsung.
Metode ini banyak menuntut penggunaan angka, mulai dari
pengumpulan data, penafsiran terhadap data, serta penampilan dari hasil
data tersebut. Kedua metode ini juga umumnya dilakukan pada individu
tertentu secara random ataupun acak.
2.1 PEMBAHASAN

A. Broken Home dan Ciri-ciri Anak Broken Home


Broken home adalah suatu keadaan keluarga yang ditandai
dengan perceraian orangtua, atau mereka yang mempunyai orang tua
tungga (Single Parent)”(Ikawati, n.d.). Broken home adalah keluarga
yang tidak normal”. Keadaan keluarga yang kurang menguntungkan
dapat menyebabkan terganggunya perkembangan remaja yang dapat
menimpulkan kenakalan remaja dan gangguan psikologis seperti stres
(Barseli, Ifdil, & Nikmarijal, 2017; Sandra, & Ifdil, 2015), kecemasan dan
depresi.
Yang dimaksud kasus Broken Home dapat dilihat dari dua aspek
yaitu (1) keluarga itu terpecah karena strukturnya tidak utuh sebab salah
satu dari kepala keluarga itu meninggal dunia atau telah bercerai, (2)
orang tua tidak bercerai akan tetapi struktur keluarga itu tidak utuh lagi
karena ayah atau ibu sering tidak di rumah, atau tidak memperlihatkan
kasih sayang lagi. Misalnya orang tua sering bertengkar sehingga
keluarga itu tidak sehat secara psikologis. Hal tersebut juga menyebabkan
ketidakberfungsiaan keluarga yang menyebabkan broken home,
pecahnya suatu unit keluarga, terputusnya, retaknya struktur peran
sosial jika satu/beberapa anggotakeluarga gagal menjalankan kewajiban
peran mereka dengan baik (Rahmi, Mudjiran, & Nurfahanah, 2016)
Menurut Sanusi (2006) sebab- sebab timbulnya kondisi keluarga
Broken Home yaitu: (1)Perceraian yang memisahkan antara seorang istri
dan seorang suami yang tidak tinggal dalam satu rumah, menunjukkan
tidak ada lagi rasa kasih sayang sebagai dasar perkawinan yang telah
terbina karena telah goyah dan tidak mampu menopang keutuhan
keluarga yang harmonis.(2)Perselingkuhan, baik yang dilakukan oleh
suami maupun istri.(3)Maternal deprivation, ini bisa terjadi misalnya,
kedua orangtua bekerja dan pulang pada sore hari dalam keadaan lelah
mereka tidak sempat bercanda dengan anak- anak mereka.
Beberapa dampak yang muncul dari seseorang yang mengalami
broken home antara lain :Academic Problem (Warga, 2014)seseorang
yang mengalami Broken Home akan menjadi orang yang malas belajar,
dan tidak bersemangat serta tidak berprestasi, Behavioural Problem,
mereka mulai memberontak, kasar, masa bodoh, memiliki kebiasaan
merusak, seperti mulai merokok, minum-minuman keras, judi dan lari
ketempat pelacuran.,Sexual problem, krisis kasih mau coba ditutupi
dengan mencukupi kebutuhan hawa nafsu,Spiritual problem, mereka
kehilangan Father’s figure sehingga tuhan, pendeta atau orang-orang
rohani hanya bagian dari sebuah sandiwara kemunafikan (Pebrilian,
2015).
Dari segi kejiwaan ( psikologis ), seseorang yang mengalami
broken home akan berakibat seperti :Broken Heart, seseorang akan
merasakan kepedihan dan kehancuran hati sehingga memandang hidup
ini sia sia dan mengecewakan. Kecenderungan ini membentuk si individu
tersebut menjadi orang yang krisis kasih dan biasanya lari kepada yang
bersifat keanehan sexual. Misalnya sex bebas, homo sex, lesbian, jadi
simpanan orang, tertarik dengan istri atau suami orang lain dan lain-lain
(Amin, 2018), Broken Relation Seseorang merasa bahwa tidak ada orang
yang perlu di hargai, tidak ada orang yang dapat dipercaya serta tidak
ada orang yang dapat diteladani (Astuti, 2015). Kecenderungan ini
membentuk si individu menjadi orang yang masa bodoh terhadap orang
lain, ugal ugalan, cari perhatian, kasar, egois, dan tidak mendengar
nasihat orang lain, cenderung “semau gue”, Broken Values (Prabandani
& Santoso, 2017) seseorang kehilangan ”nilai kehidupan” yang benar.
Ciri- ciri Remaja Broken Home adalah sebagai berikut: Berperilak
nakal, Mengalami depresi,melakukan hubungan seksual secara aktif (free
sex), kecenderungan terhadap obat-obatan terlarang. Selain itu perilaku
remaja broken home lainnya dapat berupa sering membolos, terlibat
kenakalan (bahkan ditangkap/diadili), dikeluarkan atau di skors karena
berkelakuan buruk (Aroma & Suminar, 2012) seringkali lari dari rumah
(minggat), selalu berbohong, melakukan hubungan seks meski belum
akrab, mabuk miras dan pengguna narkotika, mencuri, merusak barang
milik orang lain, prestasi rendah, melawan otoritas, dan perkelahian
dan“minggat” broken home menjadi salah satu tanda remaja yang
antisosial (Kartono, 2005).
Menurut Supratiknya (1995) Ciri- ciri dari remaja broken home
lainnya dapat terlihat dari indikator masalah kesehatan mental pada
remaja yang lainnya adalah : suka mengganggu hak orang lain atau
melanggar hukum, melakukan perbuatan yang dapat mengancam
kehidupan pribadi remaja, menghindari persahabatan atau senang hidup
menyendiri, sering menampilkan perilaku yang kurang baik atau
melakukan kenakalan dan lain-lain.

B. Peran Konselor dalam Mengatasi Keluarga Broken Home


Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi keluarga broken home
adalah Konseling keluarga yaitu terdiri dari interaksi antar keluarga,
kontrak awal sebelum melakukan konseling (A. Sari, 2016) membantu
keluarga berkomunikasi pada sesi awal, meningkatakan kesadaran dan
dinamika keluarga, memadukan konseling individual dengan kerja
keluarga keseluruhan. Konseling keluarga melibatkan seluruh anggota
keluarga, dari upaya yang telah dilakukan orang tua dibutuhkan ketaatan
remaja “bermasalah” agar segera keluar dari permasalahan (internal
ataupun eksternal).
Upaya yang dapat dilakukan guru bimbingan dan konseling untuk
membantu menentaskan permasalahan yang dihadapi siswa yang berasal
dari keluarga broken home dengan melaksanakan program bimbingan
yang menerapkan berbagai jenis layanan bimbingan dan konseling yang
ada. Program bimbingan konseling dapat dilaksanakan menggunakan
acuan beberapa pernyataan instrumen penelitian yang menggungkapkan
bahwa siswa tersebut bermasalah.
1. Layanan Informasi, layanan yang memberikan pemahaman
kepada individu yang berkepentingan tentang berbagai hal
yang diperlukan untuk menjalani suatu tugas atau kegiatan.
2. Layanan Konseling Individual, layanan konseling yang
diberikan secara perorangan yang terkait masalah
berkurangnya perhatian ayah atau ibu karena waktu sehari-
hari lebih banyak untuk bekerja daripada dengan anaknya.
3. Layanan Bimbingan Kelompok, layanan yang diberikan dalam
suasana kelompok hal ini berguna untuk menyusun rencana
dan membuat keputusan atau keputusan lain yang relevan
dengan informasi yang dibutuhkan.
4. Layanan Konseling Kelompok, layanan ini berbeda dengan
bimbingan kelompok karena layanan ini diharapkan kepada
klien untuk mampu membuka menyampaikan masalahnya
sehingga masalah yang dialaminya dapat dientaskan bersama-
sama melalui dinamika kelompok.
5. Layanan Penguasaan Konten, layanan bantuan kepada
individu untuk menguasai kemampuan atau kompetensi
tertentu melalui kegiatan belajar. Menguasai cara-cara atau
kebiasaan tertentu untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi
masalah-masalah.
BAB III

CRITICAL JOURNAL REVIEW


A. Relavansi
Menurut Helmawati Broken home (2014: 16) yaitu suatu kondisi
keluraga yang mengalami perpecahan baik secara fisik maupun
psikologis. Suatu keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang terikat
dalam sebuah perkawinan. Suatu perkawinan mengalami perpecahan
fisik maupun psikologis, perpisahan secara fisik bisa terjadi jika salah
satu dari kedua orang tua meninggal, maupun karena perceraian.
Menurut Chaplin (2004:71), mengungkapkan bahwa broken home
adlah keluarga atau rumah tangga tanpa hadirnya salah seorang dari
kedua orang tua(ayah dan ibu) disebabkan meninggal, perceraian,
meninggalkan keluarga dan lain-lain. Kondisi keluarga yang kurang
memberikan peran dalam kehidupan remaja sebagaimana mestinya ini
berakibat kurang baik pula bagi pertumbuhan dan perkembangannya.
Sesuai dengan yang ditulis oleh penulis jurnal, bahwa broken
home adalah suatu keadaan yang tidak menguntungkan di dalam
keluarga, seperti perceraian, kematian pasangan, maupun kehidupan di
dalam keluarga yang tidak harmonis lagi.
B. Argumentasi
Di dalam jurnal ini dinyatakan bahwa terdapat satu kesatuan
antara konselor dengan broken home. Serta di jurnal ini juga menjelaskan
beberapa ciri-ciri dari keluarga broken home dan selanjutnya pembaca
dapat mengambil langkah bagaimana untuk menghadapi seorang yang
mengalami broken home. Di jurnal ini juga dijelaskan bahwa orang tua
hendaknya lebih memperhatikan tugas dan tanggung jawabnya agar hak-
hak dan kewajiban sang anak khususnya pada usia remaja dapat
terpenuhi dengan baik.
C. Pemilihan Kajian Teori
Jurnal ini menggunakan teori yang tepat dan sesuai dengan
penelitian tersebut. Kajian teori yang digunakan penulis jurnal mencakup
keseluruhan dari penelitian ini.
D. Metodologi Penelitian dan Kajiannya
Metodologi penelitian merupakan sebuah cara untuk hasil dari
sebuah permasalahan yang secara spesifik, dimana permasalahan
tersebut disebut juga dengan permasalahan penelitian. Peneliti
menggunakan berbagai kriteria yang berbeda untuk memecahkan suatu
masalah penelitian yang ada. Penggunaan metode juga merupakan salah
satu cara untuk memecahkan suatu masalah. Dalam metodologi terdapat
dua metodologi penelitian, yaitu metode kualitatif dan kuantitatif.
Metodologi penelitian yang digunakan oleh penulis jurnal ialah
metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif merupakan salah
satu jenis metode penelitian yang spesifikasinya adalah sistematis,
terencana, dan terstruktur dengan jelas sejak awal hingga pembuatan
desain penelitiannya. Selain itu penulis jurnal juga menerapkan metode
kualitatif dikarenakan hal ini bersifat umum, fleksibel dan dinamis,
dimana penelitian ini berkembang selama proses penelitian berlangsung.
Metode ini banyak menuntut penggunaan angka, mulai dari
pengumpulan data, penafsiran terhadap data, serta penampilan dari hasil
data tersebut. Kedua metode ini juga umumnya dilakukan pada individu
tertentu secara random ataupun acak.
E. Kerangka Berfikir Pada Pembahasan Jurnal
Penulis jurnal memaparkan dengan jelas dan tepat bahwa remaja
yang mengalami broken home mudah mengalami depresi, melakukan
hubungan seksual secara aktif, kecenderungan terhadap obat-obatan
terlarang. Selain itu juga perilaku anak broken home lainnya adalah
sering membolos sekolah terlibat dalam kenakalan di ruang lingkup
sekolahnya, serta mengalamai masalah kesehatan mental.
Maka dalam hal ini peran seorang konselor sangat di perlukan
untuk membimbing serta mengarahkan anak yang mengalami
permasalah broken home. Agar sang anak juga tidak terlampau dan
bertindak terlalu jauh ke hal-hal yang tidak di inginkan dan hal yang
dapat merugikan dirinya sendiri.
F. Pembahasan
Saya sangat setuju dengan pemaparan dan penelitian yang
diberikan penulis jurnal, bahwa remaja pada usia 12 tahun hingga 22
tahun sangat membutuhkan perhatian serta pengawasan dari orang
tuanya. Selain itu keadaan di dalam keluarganya mulai dari perceraian
orang tua hingga pertengkaran juga merupakan hal yang sangat
berpenggaruh bagi pertumbuhan dan perkembangannya.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN

Broken home adalah suatu keadaan yang tidak menguntungkan


di dalam keluarga, seperti perceraian, kematian pasangan, maupun
kehidupan di dalam keluarga yang tidak harmonis lagi. Broken home
disebabkan karena kesenjangan dalam keluarga yang dapat berdampak
negatif pada mental remaja yang menyebabkan kenakalan remaja.
Kenyataan perceraian orang tua, tak dapat dihindari ketika terjadi
masalah pada orangtua, baik pada pihak bapak atau pihak ibu. Selain itu
dapat pula perceraian disebabkan oleh adanya pihak ketiga. Bagi anak,
apapun penyebab perceraian orang tuanya merupakan pukulan
psikologis yang cukup berat, sehingga dapat menyebabkan
disharmonisasi hubungan anak-orangtua dan disorientasi anak.
Ciri- ciri dari remaja broken home lainnya dapat terlihat dari
indikator masalah kesehatan mental pada remaja yang lainnya adalah :
suka mengganggu hak orang lain atau melanggar hukum, melakukan
perbuatan yang dapat mengancam kehidupan pribadi remaja,
menghindari persahabatan atau senang hidup menyendiri, sering
menampilkan perilaku yang kurang baik atau melakukan kenakalan dan
lain-lain.
Konseling keluarga yaitu terdiri dari interaksi antar keluarga,
kontrak awal sebelum melakukan konseling (A. Sari, 2016) membantu
keluarga berkomunikasi pada sesi awal, meningkatakan kesadaran dan
dinamika keluarga, memadukan konseling individual dengan kerja
keluarga keseluruhan. Konseling keluarga melibatkan seluruh anggota
keluarga, dari upaya yang telah dilakukan orang tua dibutuhkan ketaatan
remaja “bermasalah” agar segera keluar dari permasalahan (internal
ataupun eksternal).
B. SARAN
Penulis lebih baik memaparkan beberapa teori yang berkaitan
dengan broken home dan peran penting konselor pada broken home.
Penulis juga sebaiknya mengkaji faktor lainnya yang dapat
mempengaruhi perilaku remaja di luar sekolah serta ruang lingkup
pergaulannya. Selain itu, peneliti selanjutnya disarankan untuk
menambah jumlah subjek yang lebih banyak, objek yang ingin diteliti
serta memperluas cakupan subjek agar hasil penelitian dapat menambah
wawasan pembaca.

Anda mungkin juga menyukai