REFERAT

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

MATA PUTIH VISUS TURUN


PERLAHAN
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Oleh:
Andrie Devin Susilo Hadi 22004101080

Dosen Pembimbing:
dr. Fitria Romadiana, Sp.M

LABORATORIUM ILMU KEDOKTERAN MATA


RSUD SYARIFAH AMBAMI RATU EBU BANGKALAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2021
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah, karena dengan rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat “Mata Putih Visus Menurun Perlahan” ini
tepat pada waktunya. Terima kasih juga yang sebesar-besarnya kepada dr. Fitria Romadiana,
Sp.M selaku pembimbing yang selalu meluangkan waktunya untuk membimbing kami
selama kepaniteraan klinik stase mata ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak yang membaca, agar penulis dapat mengkoreksi dan
dapat membuat referat yang lebih baik kedepannya.
Demikianlah referat ini dibuat sebagai tugas dari kegiatan klinis di stase Ilmu
Kedokteran Mata serta untuk menambah pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya.

Bangkalan, 7 Juli 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Mata tenang atau mata putih yaitu tidak adanya pelebaran pembuluh darah yang
dikarenakan radang atau infeksi pada ekstraokuler. Sedangkan penglihatan menurun
adalah berkurangnya penglihatan atau gangguan pada media penglihatan baik yang terjadi
secara perlahan atau mendadak. Penglihatan turun perlahan disebabkan beberapa penyakit
seperti kelainan refraksi, katarak, glaukoma, retinopati, dan retinitis pigmentosa.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.3 TUJUAN
1.4 MANFAAT
1.4.1 MANFAAT TEORITIS
1.4.2 MANFAAT PRAKTIS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KELAINAN REFRAKSI


2.2.1 HIPERMETROPIA
DEFINISI
Hipermetropia adalah kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang masuk
ke mata dalam keadaan istirahat (tanpa akomodasi) akan dibiaskan membentuk
bayangan dibelakang retina.

Gambar …… Refraksi pada mata hipermetropi

PATOFISIOLOGI
 Hipermetropia Aksial
Karena sumbu aksial mata lebih pendek dari normal. Pemendekan 1mm
menyebabkan penambahan +3.00 D.
 Hipermetropia Kurvatura
Karena kurvatura kornea atau lensa lebih datar dari normal. Peningkatan
radius 1mm menyebabkan penambahan +6.00 D.
 Hipermetropia Indeks
Karena indeks bias mata lebih rendah dari normal.
 Afakia
Afakia (tidak adanya lensa) menyebabkan hipermetropi berat.
DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan refraksi
 Anamnesa
− Asimtomatik  Tidak memberikan keluhan dikarenakan mampu
melakukan akomodasi kuat yang biasanya terjadi pada usia muda.
− Gejala Astenopia  Mata Lelah dan sakit karena terus menerus
berakomodasi, terutama bila melihat pada jarak dekat dan waktui
malam hari. Gejala: Mata Lelah, nyeri kepala frontotemporal, berair
dan fotofobia ringan.
− Penglihatan kurang jelas untuk objek yang dekat
− Spasme akomodasi yang dapat menimbulkan pseudomiopia. Mata
juling dapat terjadi karena akomodasi yang berlebihan akan diikuti
konvergensi yang berlebihan pula (esotropia).
 Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi
 Ukuran bola mata tampak kecil secara keseluruhan terutama pada
hypermetropia tinggi.
 Kornea sedikit lebih kecil dari biasanya
 Bilik mata depan relatif dangkal
 Pemeriksaan Visus
 Menggunakan Snellen Chart
 Pemeriksaan Refraksi
 Refraksi subjektif: Menggunakan metode trial lens dan trial
frame
 Refraksi Objektif: Retinoskopi dan Autorefraktometer

TATALAKSANA
2.2.2 MIOPI
2.2.3 ASTIGMATISME
2.2.4 PRESBIOPI
2.2 KATARAK
2.3 GLAUKOMA
 DEFINISI
Kelainan mata dengan Neuropati Optik Kronik yang progresif secara perlahan
yang ditandai dengan:
1. Atrofi dan gaung papil saraf optik (PSO) yang khas
2. Berkurang/hilangnya luas lapang pandangan
3. Peningkatan TIO (>21 mmHg) merupakan faktor resiko utama
2.3.1 GLAUKOMA SUDUT TERBUKA PRIMER (POAG)
DEFINISI
Glaukoma (yang memenuhi 3 kriteria diagnosis) dengan sudut bilik mata
depan terbuka.
FAKTOR RESIKO
− Adanya peningkatan tekanan intra okuler (TIO)
− Usia tua lebih rentan terpapar
− Ras kulit hitam lebih rentan terjadinya POAG
− Riwayat keluarga
− Pada gangguan refraksi yaitu miopi lebih tinggi terjadinya POAG
− Penyakit sistemik seperti diabetes mellitus
DIAGNOSIS
 Anamnesa
− Awal: asimptomatik hingga timbul gejala penglihatan yaitu hilangnya
lapang pandang
− Nyeri kepala dan nyeri pada mata (kadang)
− Kesulitan dalam membaca dan pekerjaan jarak dekat  tekanan pada
musculus siliaris dan syaraf, sehingga sering berganti kacamata
presbiopi.
− Mengalami keterlambatan dalam adaptasi gelap
 Pemeriksaan Fisik
− Visus: normal/bermasalah pada stadium lanjut
− Lapang pandang terbatas
− Tekanan intraokuli (TIO): kemungkinan bisa normal, periksa lagi dalam
3-4 jam kemudian.
− Perubahan diskus optikus: pemeriksaan funduskopi (melalui
oftalmoskop/ slit lamp dengan menggunakan lensa +90D  gaung papil
(normal 0,3-0,4) abnormal >0,5
TATALAKSANA
− Obat-obatan sebagai pilihan pertama (antiglaucoma)
 Tujuan: Mempertahankan fungsi penghilatan dan kualitas hidup
 Strategi:
o Menurunkan TIO
o Meningkatkan sirkulasi darah pada PSO
o Mencegah meluasnya kematian sel ganglion retina
neuroprotection
 Prinsip:
o Target terapi: 16-18 mmHg (jarang ditemukan progresivitas)
o Kerusakan yang parah: target 12-14 mmHg
o Hasil dari Advanced Glaucoma Intervention Study (AGIS)
menunjukkan TIO <18 mmHg terutama bila ≤14 mmHg tidak
menunjukkan progresivitas penyakit
o Monitoring: perubahan disc, lapang pandang, TIO
 Regimen:
o Prostaglanding analog (pilihan pertama jika mampu):
Meningkatkan outflow melalui uvea-sklera
a. Latanoprost 0,005% : 1x/malam
b. Travoprost 0,004% : 1x/malam
c. Bimatropost 0,03% : 1x/malam
d. Unoprostone 0,15% 2x/hari
o Beta-Bloker Topikal (pilihan pertama ekonomi kebawah) :
Menghmbat produksi akuos pada reseptor beta di
processus siliaris.
a. Timolol maleat 0,25-0,5% : 1-2x/hari
b. Betaxolol 0,25% : 2x/hari
c. Levobunomol 0,25-0,5% : 1-2x/hari
d. Carteolol 1% : 1-2x/hari
o Obat adrenergik
a. Epineprine hydrochloride 0,5-1-2 % : 1-2 x/hari dan
Dipivefrin hydrochloride 0.1% : 1-2 x/hari. Tetapi
epinefrin tidak lagi digunakan. Namun, dipivefrin
dapat dikombinasikan dengan beta-blocker pada
pasien kontraindikasi dengan obat lain.
b. Brimonidine 0,15% 2x/hari. Dapat menurunkan akuos
tetapi sering menyebabkan reaksi alergi dan
takifilaksis.
o Dorzolamide 2% : 2-3x/hari atau Brizolamide 1% : 2x/hari.
Obat ini menggantikan Pilocarpine sebagai linikedua dan
bahkan sebagai obat tambahan.
o Pilocarpine 1, 2, 4% : 3-4 x/hari. Jarang digunakan karena
efek samping yang sangat menggangu kenyaman penderita
 spasme iris  gangguan akomodasi dan miosis (visus
terganggu terutama malam hari dan terjadi nyeri di sekitar
mata).
− Laser: Argon Laser Trabeculoplasty (ALT) atau Laser Trabeculoplasty
(LTP)
− Bedah filtrasi: Trabekulektomi
2.4 RETINOPATI
2.4.1 RETINOPATI DIABETIK
DEFINISI
Kelainan retina dan system vascular akibat diabetes mellitus. Retinopati
diabetic merupakan salah satu penyebab utama kebutaan.
FAKTOR RESIKO
Faktor resiko penyebab retinopati diabetic sebagai berikut:
− Penderita usia <30 tahun dengan riwayat DM lebih dari 10 tahun memiliki
insidensi retinopati diabetic sebesar 50% dan >30 tahun sebesar 90%
− Insidensi ↑ pada gula darah tak terkontrol
− Retinopati diabetik lebih sering terjadi pada DM tipe 1
− Penderita DM pada hamil dapat mempercepat proses retinopati diabetik.
Perlu dilakukan pemeriksaan pada trimester 1 diikuti pemeriksaan setiap 3
bulan
− Faktor resiko lainnya: hipertensi, nefropati, hiperlipidemia, merokok,
operasi katarak, obesitas dan anemia.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik
terutama funduskopi.
 Anamnesa
Pada stadium awal tidak didapatkan keluhan (asimptomatis). Jika kondisi
berlanjut akan dikeluhkan gejala berikut :
− Pandangan kabur
− Dark floaters/spots
− Metamorphopsia: melihat garis lurus seperti bergelombang

− Riwayat menderita DM >10 tahun dengan gula darah tak terkontrol


Gambar…..Dark floaters Gambar……Metamorphopsia

 Pemeriksaan Fisik
− Funduskopi

1. Retinopati diabetik non proliferatif: Mikroaneurisma, perdarahan


retina (blot hemorrhage), soft exudate, hard exudate, daerah
hipoksia dan iskemia (cotton wool spots). Dapat disertai dengan
atau tanpa edema makula.
Gambar….Non-proliferative diabetic retinopathy
2. Retinopati diabetik proliferatif:
neovaskularisasi, perdarahan vitreous,
perdarahan di subhyaloid jaringan ikat
vitreo-retinal, dan ablasio retina.
Dapat disertai dengan atau tanpa
makula.

Gambar…. Proliverative diabetic retinopathy


 Pemeriksaan Penunjang
− Fundal Fluorescin Angiography (FFA)
a) Mikroaneurisma yang berdifusi atau tidak berdifusi
b) Daerah hipoksia atau iskemia
c) Neovaskularisasi di retina, papil, atau vitreus
d) Melihat pasti adanya edema di makula atau di retina, serta intra
renital micro angiopathy (IRMA)

e) Untuk mencari indikasi dilakukan fotokoagulasi LASER

Gambar….. FFA pada mata normal Gambar….. FFA pada retinopati


diabetik

− Optical Coherence Tomography (OCT)


 Untuk mengetahui kualitas dari edema makula
Gambar…….. OCT pada retinopati diabetik

TATALAKSANA
− Regulasi kadar glukosa di darah pada penderita DM
− Fotokoagulasi LASER
Setiap penderita DM > 5 tahun dengan keluhan penglihatan harus
diperiksa fundus okuli. Jika terdapat mikroaneurisma, eksudat, perdarahan
retina yang mengancam daerah makula harus dilakukan FFA untuk
mencari indikasi dilakukan fotokoagulasi LASER.
 Indikasi (+): Dilakukan fotokoahulasi LASER. Monitoring 3-6 bulan
untuk mengetahui kemajuan pengobatan.
 Indikasi (-): Diperiksa FFA setiap tahun
− Injeksi anti vascular endothelial growth factor (VEGF) intravitreal
dipertimbangkan untuk kasus dengan edema makula dan retinopati
diabetik tipe proliferatif yang akan dilakukan vitrektomi untuk mengontrol
perdarahan prabedah, intrabedah, dan paskabedah.
KOMPLIKASI
− Pada tipe non-proliferatif dapat menjadi tipe proliferative
− Pada kondisi lanjut dapat terjadi diabetic macular edema (DME)
PROGNOSIS
Tergantung pada regulasi kadar gula darah dan ketepatan waktu
pengobatan fotokoagulasi LASER.

2.4.2 RETINOPATI HIPERTENSI


DEFINISI
Perubahan fundus yang timbul pada penderita hipertensi. Perubahan
ditandai dengan gambaran fundus mata yang mengenai sistem vaskular, kapiler,
koroid, dan saraf optik.
FAKTOR RESIKO
− Tingginya tekanan darah
− Lamanya terjadinya hipertensi (penyebab utama dan usia (sklerotik)
KLASIFIKASI
Klasifikasi KEITH-WAGENER (1939) berdasarkan pemeriksaan
funduskopi sebagai berikut:

Tabel…….. Klasifikasi KEITH-WAGENER


Grade Tanda Klinis Gambar Funduskopi

Penyempitan arteriol
I
ringan

Gambar… Penyempitan arteriol ringan


Penyempitan arteriol Gambar… Penyempitan arteriol fokal
fokal, Salus’ sign
II Gambar….Salus’ sign
(Belokan vena pada AV
Crossing)
Grade Tanda Klinis Gambar Funduskopi

Gambar…. Copper-wiring of arterioles

Grade II + Copper-wiring
of arterioles, Bonnet sign,
Gunn sign, Perdarahan Gambar…. Bonnet sign (hitam)
III
“dot, blot, flame”, hard dan Gunn sign (putih)
exudates (macular star),
cotton-wool spots

Gambar…. Perdarahan retina

Gambar… Hard exudate, cotton-wool spots


Grade III + Silver-wiring Gambar… Silver-wiring of arterioles dan
IV of arterioles, Edema papil Edama papil saraf optik
saraf optik.

TATALAKSANA
1. Mengatasi penyebab primer yaitu hipertensi dengan mengontrol tekanan
darah
2. Fotokoagulasi LASER dilakukan bila terdapat komplikasi berupa oklusi
vaskuler. Pemeriksaan berupa Fundal Fluorescein Angiography (FFA)
diperlukan untuk fotokoagulasi LASER
3. Anti vascular endothelial growth factor (VEGF) bila terjadi edema makula

KOMPLIKASI
− Papil edema kronis yang mengakibatkan atrofi nervus optikus, pada
akhirnya terjadi penurunan penglihatan
− Oklusi arteri retina sehingga terbentuk daerah iskemia yang akhirnya terjadi
penurunan penglihatan

2.5 RETINITIS PIGMENTOSA


DEFINISI
Retinitis pigmentosa merupakan sekelompok degenerasi retina herediter
yang ditandai oleh disfungsi progresif fotoreseptor dan disertai oleh hilangnya
sel secara progresif dan akhirnya atrofi beberapa lapisan retina, atau
sekelompok gangguan retina yang menyebabkan hilangnya ketajaman
penglihatan secara progresif, defek lapangan penglihatan, dan kebutaan pada
malam hari (night blindess). Sebutan retinitis pigmentosa berasal dari deposit
pigmen yang merupakan yang merupakan karakteristik penyakit ini.
ETIOLOGI
Retinitis pigmentosa merupakan penyakit genetik yang diturunkan
secara mendel yang terjadi pada beberapa kasus. Beberapa kasus retinitis
pigmentosa disebabkan oleh mutasi DNA mitokondria. Pada tahun 1990 gen
pertama yang menunjukkan kelainan pada retinitis pigmentosa yaitu rodopsin,
yang merupakan  pengkodean rod visual pigmen. Sejak saat itu, banyak
kelainan gen yang bisa mengakibatkan terjadinya retinitis pigmentosa.
KLASIFIKASI
Adapun klasifikasi retinitis pigmentosa yaitu:
1. Rod-cone dystrophy (retinitis pigmentosa klasik)
2. Cone-rod dystrophy
3. Sectoral retinitis pigmentosa
4. Retinitis pigmentosa sine pigmento (bentuk tanpa pigmen)
5. Unilateral retinitis pigmentosa
GEJALA KLINIS
Gejala awal seringkali muncul pada awal masa kanak-kanak. Sel
batang pada retina (berperan dalam penglihatan malam hari) secara bertahap
mengalami kemunduran sehingga penglihatan di ruang gelap atau penglihatan
pada malam hari menurun. Lama-lama menjadi kehilangan fungsi penglihatan
tepi yang progresif dan bisa menyebabkan kebutaan. Sedangkan pada stadium
lanjut, terjadi penurunan fungsi penglihatan sentral.
Retinitis pigmentosa biasanya terkena bilateral pada kedua mata
dengan penurunan fungsi rod photoreseptors. Adapun simptom yang biasa
yaitu:
1. Sindrom Visual
 Nyctalopia, penglihatan yang buruk pada malam hari dengan
adaptasi penglihatan yang gelap.
 !enurunan penglihatan perifer, akibat dari densitas sel batang yang
lebih  besar di perifer.
 Penurunan penglihatan sentral
2. Perubahan pada Fundus
 Perubahan pigmen retina. Bni adalah jenis periaskuler dan
berbentuk seperti bone spicules. Pada awalnya perubahan ini
ditemukan hanya pada bagian equatorial dan kemudian berlanjut ke
bagian anterior dan posterior.
 Arteriol retina berkurang dan menjadi seperti benang pada tingkat
yang lanjut
 Diskus optikus menjadi pucat pada tingkat lanjut dan menjadi atrofi
 Perubahan yang lain yang dapat terlihat adalah colloid bodies,
choroidal    sclerosis, cystoid macular oedema, atrophic or
cellophane maculopathy.

Gambar…. Fundus Gambar….. Atrofi Nervus


Optikus

3. Perubahan Lapang Pandang Penglihatan


Annular atau ring shaped scotoma adalah tanda khas yang
menunjukkan adanya degenerasi pada daerah equatorial retina. Seperti
perjalanan penyakitnya, skotoma meningkat pada anterior dan posterior
dan selanjutnya penglihatan pasien akan mengalami kebutaan.

Gambar….Perubahan lapang pandang


4. Perubahan Elektrofisiologi
Perubahan secara elektrofidiologi ini uncul diawal sebelum
gejala subjektif  dan tanda-tanda ojektif muncul.
 Elektroretinogram (ERG) subnormal atau terhapus (abolished)
 Electro-occulogram (EOG) menunjukkan tidak adanya puncak
cahaya

DIAGNOSIS
Retinitis pigmentosa merupakan penyakit retina degeneratif yang
memiliki karakteristik adanya deposit pigmen di retina. Kelainan ini
merupakan degenerasi primer fotoreseptor batang dengan fotoreseptor
kerucut sebagai degenerasi sekunder yang dapat menjelaskan mengapa
pasien dapat mengalami kebutaan pada malam hari.
Adapun untuk menegakkan diagnosis dari retinitis pigmentosa
berdasarkan temuan klinis retinitis pigmentosa yaitu berdasarkan sindrom
visual, perubahan pada fundus, perubahan lapang pandang penglihatan, dan
perubahan elektrofisiologi. 
Selain itu, diagnosis juga dapat dibuat oleh ophtalmoskopi
berdasarkan gambaran klasik dasar. Rod-cone dystrophy (utamanya sel batang
yang terkena). Adanya “bone spicule” yang merupakan proliferasi epitelium
retina yang dapat dilihat pada bagian tengah perifer retina. Pada cone-rod
dystrophy (utamanya sel kerucut yang terkena), adanya penurunan visus
diawali dengan penurunan progres dari lapang pandang penglihatan. Kedua
bentuk kelainan dari retinitis pigmentosa ini dapat diketahui melalui
elektroretinografi.

TATALAKSANA
Sampai saat ini belum ada pengobatan efektif untuk penyakit ini.
Namu, ada beberapa hal yang dapat dilakukan seperti:
1. Pemberian vasodilator, ekstrak plasenta, transplantasi otot rektus
ke dalam ruang suprachoroidal, terapi eksklusi cahaya, terapi
ultrasonik dan terapi akupunktur. Baru-baru ini vitamin A (15000
IU, PO, qd bentuk palmitat) yang berfungsi untuk menghentikan
progresivitas penyakit ini.
2. Perbaikan kesalahan refraksi dengan penggunaan kacamata.
3. Asetazolamid sistemik 500 mg per oral untuk memperbaiki edema
makula sistoid.
4. Alat bantu low vision dalam bentuk “magnifying glasses’ dan
‘night vision device’.
5. Rehabilitasi pasien sesuai dengan sosial ekonominya.
6. Pemberian profilaksis dengan memberikan edukasi mengenai
larangan menikah sedarah untuk mengurangi insidensi penyakit
dan individu yang terkena disarankan untuk tidak menghasilkan
anak.

Anda mungkin juga menyukai