REFERAT
REFERAT
REFERAT
Oleh:
Andrie Devin Susilo Hadi 22004101080
Dosen Pembimbing:
dr. Fitria Romadiana, Sp.M
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah, karena dengan rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat “Mata Putih Visus Menurun Perlahan” ini
tepat pada waktunya. Terima kasih juga yang sebesar-besarnya kepada dr. Fitria Romadiana,
Sp.M selaku pembimbing yang selalu meluangkan waktunya untuk membimbing kami
selama kepaniteraan klinik stase mata ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak yang membaca, agar penulis dapat mengkoreksi dan
dapat membuat referat yang lebih baik kedepannya.
Demikianlah referat ini dibuat sebagai tugas dari kegiatan klinis di stase Ilmu
Kedokteran Mata serta untuk menambah pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
PATOFISIOLOGI
Hipermetropia Aksial
Karena sumbu aksial mata lebih pendek dari normal. Pemendekan 1mm
menyebabkan penambahan +3.00 D.
Hipermetropia Kurvatura
Karena kurvatura kornea atau lensa lebih datar dari normal. Peningkatan
radius 1mm menyebabkan penambahan +6.00 D.
Hipermetropia Indeks
Karena indeks bias mata lebih rendah dari normal.
Afakia
Afakia (tidak adanya lensa) menyebabkan hipermetropi berat.
DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan refraksi
Anamnesa
− Asimtomatik Tidak memberikan keluhan dikarenakan mampu
melakukan akomodasi kuat yang biasanya terjadi pada usia muda.
− Gejala Astenopia Mata Lelah dan sakit karena terus menerus
berakomodasi, terutama bila melihat pada jarak dekat dan waktui
malam hari. Gejala: Mata Lelah, nyeri kepala frontotemporal, berair
dan fotofobia ringan.
− Penglihatan kurang jelas untuk objek yang dekat
− Spasme akomodasi yang dapat menimbulkan pseudomiopia. Mata
juling dapat terjadi karena akomodasi yang berlebihan akan diikuti
konvergensi yang berlebihan pula (esotropia).
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Ukuran bola mata tampak kecil secara keseluruhan terutama pada
hypermetropia tinggi.
Kornea sedikit lebih kecil dari biasanya
Bilik mata depan relatif dangkal
Pemeriksaan Visus
Menggunakan Snellen Chart
Pemeriksaan Refraksi
Refraksi subjektif: Menggunakan metode trial lens dan trial
frame
Refraksi Objektif: Retinoskopi dan Autorefraktometer
TATALAKSANA
2.2.2 MIOPI
2.2.3 ASTIGMATISME
2.2.4 PRESBIOPI
2.2 KATARAK
2.3 GLAUKOMA
DEFINISI
Kelainan mata dengan Neuropati Optik Kronik yang progresif secara perlahan
yang ditandai dengan:
1. Atrofi dan gaung papil saraf optik (PSO) yang khas
2. Berkurang/hilangnya luas lapang pandangan
3. Peningkatan TIO (>21 mmHg) merupakan faktor resiko utama
2.3.1 GLAUKOMA SUDUT TERBUKA PRIMER (POAG)
DEFINISI
Glaukoma (yang memenuhi 3 kriteria diagnosis) dengan sudut bilik mata
depan terbuka.
FAKTOR RESIKO
− Adanya peningkatan tekanan intra okuler (TIO)
− Usia tua lebih rentan terpapar
− Ras kulit hitam lebih rentan terjadinya POAG
− Riwayat keluarga
− Pada gangguan refraksi yaitu miopi lebih tinggi terjadinya POAG
− Penyakit sistemik seperti diabetes mellitus
DIAGNOSIS
Anamnesa
− Awal: asimptomatik hingga timbul gejala penglihatan yaitu hilangnya
lapang pandang
− Nyeri kepala dan nyeri pada mata (kadang)
− Kesulitan dalam membaca dan pekerjaan jarak dekat tekanan pada
musculus siliaris dan syaraf, sehingga sering berganti kacamata
presbiopi.
− Mengalami keterlambatan dalam adaptasi gelap
Pemeriksaan Fisik
− Visus: normal/bermasalah pada stadium lanjut
− Lapang pandang terbatas
− Tekanan intraokuli (TIO): kemungkinan bisa normal, periksa lagi dalam
3-4 jam kemudian.
− Perubahan diskus optikus: pemeriksaan funduskopi (melalui
oftalmoskop/ slit lamp dengan menggunakan lensa +90D gaung papil
(normal 0,3-0,4) abnormal >0,5
TATALAKSANA
− Obat-obatan sebagai pilihan pertama (antiglaucoma)
Tujuan: Mempertahankan fungsi penghilatan dan kualitas hidup
Strategi:
o Menurunkan TIO
o Meningkatkan sirkulasi darah pada PSO
o Mencegah meluasnya kematian sel ganglion retina
neuroprotection
Prinsip:
o Target terapi: 16-18 mmHg (jarang ditemukan progresivitas)
o Kerusakan yang parah: target 12-14 mmHg
o Hasil dari Advanced Glaucoma Intervention Study (AGIS)
menunjukkan TIO <18 mmHg terutama bila ≤14 mmHg tidak
menunjukkan progresivitas penyakit
o Monitoring: perubahan disc, lapang pandang, TIO
Regimen:
o Prostaglanding analog (pilihan pertama jika mampu):
Meningkatkan outflow melalui uvea-sklera
a. Latanoprost 0,005% : 1x/malam
b. Travoprost 0,004% : 1x/malam
c. Bimatropost 0,03% : 1x/malam
d. Unoprostone 0,15% 2x/hari
o Beta-Bloker Topikal (pilihan pertama ekonomi kebawah) :
Menghmbat produksi akuos pada reseptor beta di
processus siliaris.
a. Timolol maleat 0,25-0,5% : 1-2x/hari
b. Betaxolol 0,25% : 2x/hari
c. Levobunomol 0,25-0,5% : 1-2x/hari
d. Carteolol 1% : 1-2x/hari
o Obat adrenergik
a. Epineprine hydrochloride 0,5-1-2 % : 1-2 x/hari dan
Dipivefrin hydrochloride 0.1% : 1-2 x/hari. Tetapi
epinefrin tidak lagi digunakan. Namun, dipivefrin
dapat dikombinasikan dengan beta-blocker pada
pasien kontraindikasi dengan obat lain.
b. Brimonidine 0,15% 2x/hari. Dapat menurunkan akuos
tetapi sering menyebabkan reaksi alergi dan
takifilaksis.
o Dorzolamide 2% : 2-3x/hari atau Brizolamide 1% : 2x/hari.
Obat ini menggantikan Pilocarpine sebagai linikedua dan
bahkan sebagai obat tambahan.
o Pilocarpine 1, 2, 4% : 3-4 x/hari. Jarang digunakan karena
efek samping yang sangat menggangu kenyaman penderita
spasme iris gangguan akomodasi dan miosis (visus
terganggu terutama malam hari dan terjadi nyeri di sekitar
mata).
− Laser: Argon Laser Trabeculoplasty (ALT) atau Laser Trabeculoplasty
(LTP)
− Bedah filtrasi: Trabekulektomi
2.4 RETINOPATI
2.4.1 RETINOPATI DIABETIK
DEFINISI
Kelainan retina dan system vascular akibat diabetes mellitus. Retinopati
diabetic merupakan salah satu penyebab utama kebutaan.
FAKTOR RESIKO
Faktor resiko penyebab retinopati diabetic sebagai berikut:
− Penderita usia <30 tahun dengan riwayat DM lebih dari 10 tahun memiliki
insidensi retinopati diabetic sebesar 50% dan >30 tahun sebesar 90%
− Insidensi ↑ pada gula darah tak terkontrol
− Retinopati diabetik lebih sering terjadi pada DM tipe 1
− Penderita DM pada hamil dapat mempercepat proses retinopati diabetik.
Perlu dilakukan pemeriksaan pada trimester 1 diikuti pemeriksaan setiap 3
bulan
− Faktor resiko lainnya: hipertensi, nefropati, hiperlipidemia, merokok,
operasi katarak, obesitas dan anemia.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik
terutama funduskopi.
Anamnesa
Pada stadium awal tidak didapatkan keluhan (asimptomatis). Jika kondisi
berlanjut akan dikeluhkan gejala berikut :
− Pandangan kabur
− Dark floaters/spots
− Metamorphopsia: melihat garis lurus seperti bergelombang
Pemeriksaan Fisik
− Funduskopi
TATALAKSANA
− Regulasi kadar glukosa di darah pada penderita DM
− Fotokoagulasi LASER
Setiap penderita DM > 5 tahun dengan keluhan penglihatan harus
diperiksa fundus okuli. Jika terdapat mikroaneurisma, eksudat, perdarahan
retina yang mengancam daerah makula harus dilakukan FFA untuk
mencari indikasi dilakukan fotokoagulasi LASER.
Indikasi (+): Dilakukan fotokoahulasi LASER. Monitoring 3-6 bulan
untuk mengetahui kemajuan pengobatan.
Indikasi (-): Diperiksa FFA setiap tahun
− Injeksi anti vascular endothelial growth factor (VEGF) intravitreal
dipertimbangkan untuk kasus dengan edema makula dan retinopati
diabetik tipe proliferatif yang akan dilakukan vitrektomi untuk mengontrol
perdarahan prabedah, intrabedah, dan paskabedah.
KOMPLIKASI
− Pada tipe non-proliferatif dapat menjadi tipe proliferative
− Pada kondisi lanjut dapat terjadi diabetic macular edema (DME)
PROGNOSIS
Tergantung pada regulasi kadar gula darah dan ketepatan waktu
pengobatan fotokoagulasi LASER.
Penyempitan arteriol
I
ringan
Grade II + Copper-wiring
of arterioles, Bonnet sign,
Gunn sign, Perdarahan Gambar…. Bonnet sign (hitam)
III
“dot, blot, flame”, hard dan Gunn sign (putih)
exudates (macular star),
cotton-wool spots
TATALAKSANA
1. Mengatasi penyebab primer yaitu hipertensi dengan mengontrol tekanan
darah
2. Fotokoagulasi LASER dilakukan bila terdapat komplikasi berupa oklusi
vaskuler. Pemeriksaan berupa Fundal Fluorescein Angiography (FFA)
diperlukan untuk fotokoagulasi LASER
3. Anti vascular endothelial growth factor (VEGF) bila terjadi edema makula
KOMPLIKASI
− Papil edema kronis yang mengakibatkan atrofi nervus optikus, pada
akhirnya terjadi penurunan penglihatan
− Oklusi arteri retina sehingga terbentuk daerah iskemia yang akhirnya terjadi
penurunan penglihatan
DIAGNOSIS
Retinitis pigmentosa merupakan penyakit retina degeneratif yang
memiliki karakteristik adanya deposit pigmen di retina. Kelainan ini
merupakan degenerasi primer fotoreseptor batang dengan fotoreseptor
kerucut sebagai degenerasi sekunder yang dapat menjelaskan mengapa
pasien dapat mengalami kebutaan pada malam hari.
Adapun untuk menegakkan diagnosis dari retinitis pigmentosa
berdasarkan temuan klinis retinitis pigmentosa yaitu berdasarkan sindrom
visual, perubahan pada fundus, perubahan lapang pandang penglihatan, dan
perubahan elektrofisiologi.
Selain itu, diagnosis juga dapat dibuat oleh ophtalmoskopi
berdasarkan gambaran klasik dasar. Rod-cone dystrophy (utamanya sel batang
yang terkena). Adanya “bone spicule” yang merupakan proliferasi epitelium
retina yang dapat dilihat pada bagian tengah perifer retina. Pada cone-rod
dystrophy (utamanya sel kerucut yang terkena), adanya penurunan visus
diawali dengan penurunan progres dari lapang pandang penglihatan. Kedua
bentuk kelainan dari retinitis pigmentosa ini dapat diketahui melalui
elektroretinografi.
TATALAKSANA
Sampai saat ini belum ada pengobatan efektif untuk penyakit ini.
Namu, ada beberapa hal yang dapat dilakukan seperti:
1. Pemberian vasodilator, ekstrak plasenta, transplantasi otot rektus
ke dalam ruang suprachoroidal, terapi eksklusi cahaya, terapi
ultrasonik dan terapi akupunktur. Baru-baru ini vitamin A (15000
IU, PO, qd bentuk palmitat) yang berfungsi untuk menghentikan
progresivitas penyakit ini.
2. Perbaikan kesalahan refraksi dengan penggunaan kacamata.
3. Asetazolamid sistemik 500 mg per oral untuk memperbaiki edema
makula sistoid.
4. Alat bantu low vision dalam bentuk “magnifying glasses’ dan
‘night vision device’.
5. Rehabilitasi pasien sesuai dengan sosial ekonominya.
6. Pemberian profilaksis dengan memberikan edukasi mengenai
larangan menikah sedarah untuk mengurangi insidensi penyakit
dan individu yang terkena disarankan untuk tidak menghasilkan
anak.