Siti Norazizah - CTS
Siti Norazizah - CTS
Rehabilitasi Medik
Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
Oleh
Pembimbing
Puji syukur kami ucapkan pada Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahNya
kami dapat menyelesaikan Referat ini yang berjudul “Carpal Tunnel Syndrome”.
Referat ini penulis susun dengan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu kami sampaikan banyak terima kasih, terutama kepada dr. Nuryatin Husna,
Sp.KFR selaku dosen pembimbing klinik Ilmu Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi
Medik dan semua pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyusunan
Referat ini.
Penulis menyadari bahwa Referat ini mungkin memiliki kekurangan, maka penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan referat
ini. Harapan penulis, semoga Referat ini dapat memberikan tambahan ilmu khususnya
bagi penulis dan umumnya bagi semua pihak.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
Makalah referat ini akan membahas mengenai CTS dimulai dari
definisi, faktor resiko, gejala klinis, pemeriksaan fisik, diagnosis, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan serta prognosis.
1.3 Tujuan
Mengetahui definisi, epidemologi, faktor resiko, patofisiologi, gejala
klinis, penegakkan diagnosa, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan serta
prognosis dari CTS
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Anatomi
6
terjadinya pembengkakan jaringan di sekeliling N. median. Di sisi lain, kondisi
tersebut juga dapat menyebabkan terjadinya peradangan dan pembengkakan
pada lapisan pelindung tendon, serta penebalan dan pembesaran ligamen pada
bagian atas terowongan kapal. Hal tersebut yang dapat menimbulkan tekanan
pada serat serat N. median sehingga menghambat penyaluran saraf.7
7
2.3 Epidemologi
Satu dari setiap lima subjek, umumnya melaporkan rasa sakit, mati rasa
dan sensasi kesemutan di tangan. Dilaporkan tingkat kejadian tahunan sekitar
276:100.000 di dunia. Carpal Tunnel Syndrome lebih banyak terjadi pada
wanita daripada pria, dengan frekuensi 9,2% pada wanita dan 6% pada pria.
Usia rata-rata adalah 40 sampai 60 tahun. Di Eropa 60% dari gangguan yang
berhubungan dengan pekerjaan dikaitkan dengan CTS. Beberapa kegiatan
seperti pengolahan ikan dikaitkan dengan sekitar 73% tingkat kejadian CTS di
antara para karyawan. Pasien diabetes memiliki tingkat prevalensi masing-
masing 14% dan 30% tanpa dan dengan neuropati diabetik, sedangkan
prevalensi CTS selama kehamilan telah dilaporkan sekitar 2%.2
Berdasarkan laporan American Academy of Orthopaedic Surgeons
tahun 2007, kejadian CTS di Amerika Serikat diperkirakan 1-3 kasus per 1.000
subyek per tahun. Prevalensinya berkisar sekitar 50 kasus per 1000 subyek pada
populasi umum. National Health Interview Study (NHIS) memperkirakan
prevalensi CTS 1,55%. Lebih dari 50% dari seluruh penyakit akibat kerja di
USA adalah Cummulative Trauma Disorders, dimana salah satunya adalah
CTS.8 Data epidemiologi CTS di Indonesia sejauh ini belum jelas. Di Jakarta,
prevalensi CTS pada pekerja industri garmen mencapai 20,3%. Pada studi yang
dilakukan di Karanganyar, Jawa Tengah, 62% dimana penderita pada sebuah
industri pabrik saus dan kecap didominasi oleh perempuan.3
1. Usia
Kelompok usia di bawah 30 tahun jarang mengalami CTS. Kondisi ini
sering ditemui terjadi pada pasien dengan usia 40-60 tahun. Pada populasi
kerja, kemungkinan meningkat 30% per dekade. Hal ini mendukung
8
hipotesis bahwa N. median terganggu oleh peristiwa degeneratif yang
dihasilkan dari peningkatan aktivitas tangan.
2. Obesitas
Dilaporkan bahwa adanya hubungan positif antara Body Mass Index
(BMI) tinggi dengan rasio kejadian terjadinya CTS. Pada pasien dengan
obesitas atau BMI>29,9 risiko CTS meningkat menjadi dua kali lipat
dibandingkan dengan pasien non-obesitas.
3. Trauma
Pasien dengan patah tulang pergelangan tangan sebelumnya memiliko
resiko dua kali lipat dalam perkembangan CTS. Carpal Tunnel Syndrome
dapat muncul bersamaan dengan fraktur pergelangan tangan, yang terjadi
akibat trauma langsung pada nervus median dan atau perdarahan atau
edema yang menyebabkan adanya tekanan di dalam terowongan.
Selain itu, tekanan eksternal yang dihasilkan oleh gips atau bidai juga
akan menyebabkan terjadinya CTS subakut. Sedangkan, CTS kronis dapat
muncul sebagai akibat dari deformitas yang menyebabkan sempitnya ruang
terowongan.
4. Penyakit atau keadaan tertentu
Pasien dengan Rheumatoid arthritis dilaporkan sebanyak 10-20%
cenderung mudah terkena CTS. Mekanisme yang disebutkan melibatkan
peningkatan tekanan pada terowongan karpal yang diakibatkan oleh
adnaya peningkatan ketebalan synovium di dalam sendi pergelangan
tangan.
Kondisi lain yang juga dilaporkan berkaitan dengan perkembangan
penyakit CTS adalah diabetes. Pasien dengan diabetes 2-3 kali lebih
mungkin untuk mengembangkan CTS dibandingkan dengan pasien non-
diabetes. Disebutkan bahwa mekanisme yang terlibat adalah polineuropati
dan anomali muskuloskeletal yang menekan N. median sehingga
menyebabkan gerakan sendi terbatas dan tenosinovitis.
9
Selain itu, pada pasien dengan dialisis ginjal jangka panjang, resiko
terjadinya CTS tinggi yakni 80-90%. Penyebab potensial termasuk
deposisi amyloid pada ligamen karpal transversal, selubung tendon fleksor,
dan beberapa struktur lain pada terowongan karpal.
5. Kehamilan
Sekitar 1 dari 4 wanita hamil datang dengan gejala CTS. Resiko
terjadinya CTS tinggi terutama pada trimester ketiga (60%) dibandingkan
dengan trimester pertama (20%) dan trimester kedua (20%). Wanita hamil
lebih rentan untuk terjadi edema dan hipertensi yang juga dapat
berkontribusi dalam perkembangan penyakit CTS. Kondisi ini dapat
sembuh dalam beberapa minggu setelah melahirkan, namun juga dapat
bertahan terutama pada wanita menyusui. Pada beberapa individu, kelainan
anatomi pada terowongan karpal dapat diturunkan seperti aplasia N.
median dan atau penebalan ligamentum karpal teransversum.
6. Faktor penggunaan tangan
Penggunaan tangan karena hobi atau perkerjaan adalah salah satu faktor
resiko tinggi yang terlibat dalam terjadinya CTS. Penggunaan tangan yang
berhubungan dengan hobi contohnya pekerjaan rumah tangga (menjahit,
merajut, menusuk, memasak) kesenian dan olahraga. Sedangkan,
penggunaan tangan yang bergubungan dengan pekerjaan meliputi kegiatan
yang membutuhkan kekuatan, penggunaan berulang atau lama pada
tangan, pergelangan tangan. Mekanisme yang diduga terlibat yakni akibat
inflamasi atau pembengkakan tenosinovial di dalam terowongan karpal.7
7. Jenis kelamin
Hasil penelitan menyebutkan bahwa wanita mempunyai resiko tiga kali
lipat lebih tinggi dibandingkan laki laki. Mekanisme yang mungkin terlibat
belum dapat dijelaskan.
2.5 Patofisiologi
Carpal tunnel syndrome idiopatik dapat didefinisikan sebagai
peningkatan tekanan di dalam terowongan karpal yang menyebabkan obstruksi
10
aliran darah akibat dari ketidaksesuaian antara ukuran saraf dengan komponen
terowongan.9 Patofisiologi terjadinya CTS dapat dikaitkan dengan kombinasi
beberapa parameter antara lain :
a. Peningkatan tekanan
Peningkatan tekanan dapat meningkat tinggi menjadi 8-10 kali lipat
pada kondisi CTS dibandingkan dengan tekanan normal sekitar 2-10
mmHg.10 Studi menunjukkan bahwa adanya hubungan langsung antara
durasi dan intensitas tekanan dengan keparahan disfungsi saraf.11
b. Cedera saraf
Tekanan berulang pada saraf menyebabkan demielinasi N. median
di tempat kompresi dan kemudian menyebar ke seluruh segmen intermodal.
Kompresi persisten selanjutnya dapat menyebabkan gangguan pada sistem
kapiler endoneurial dan berujung pada edema endoneurial.2
c. Cedera iskemik
Telah terbukti bahwa iskemia pada tungkai dapat meningkatkan
parestesia pada pasien CTS. Tiga tahap cedera iskemik telah diidentifikasi:
peningkatan tekanan intrafunicular, degenerasi kapiler dengan kebocoran
dan edema dan obstruksi aliran arteri.2
d. Kerusakan Blood-Nerve-Barrier
Blood-nerve-barrier dibentuk oleh sel-sel bagian dalam
perineurium dan sel-sel endotel kapiler endoneurial, yang melewati saraf
median di terowongan karpal. Kenaikan tekanan di dalam terowongan dapat
menyebabkan pembuluh darah rusak di dalam penghalang ini,
menyebabkan protein dan sel inflamasi menumpuk. Hal ini dapat
meningkatkan permeabilitas, menambah tekanan cairan endoneurial dan
menyebabkan edema intra fasikular. Pasien dengan komplikasi vaskular
atau paparan beban statis yang persisten biasanya rentan terhadap kerusakan
pada sawar darah saraf. 12
11
e. Perubahan biokimia
Tekanan mekanis pada jaringan sinovial di dalam terowongan
karpal juga dapat menyebabkan perubahan biokimia.9 Ekspresi keratin
sering meningkat pada pasien CTS dibandingkan dengan individu normal.
Pemaparan tendon yang terus menerus terhadap tegangan dapat
meningkatkan komposisi proteoglikan dari matriks dalam tendon, yang
menyebabkan peningkatan tekanan di dalam terowongan karpal. Tenascin-
C adalah protein yang terlibat dalam remodeling jaringan dan telah terlibat
dalam patogenesis CTS. Ketegangan mekanis pada sinovium fleksor
mengontrol produksi tenascin-C oleh lapisan sinovial. Cedera fisik pada
tendon fleksor karena gerakan berulang pada pergelangan tangan dapat
menyebabkan kerusakan pada sinovium dan memperbesar terowongan
karpal dari dalam.13
f. Peradangan
Tenosinovitis atau peradangan pada jaringan sinovial dari tendon
fleksor, juga dapat menyebabkan tekanan tinggi di terowongan karpal dan
mengakibatkan CTS.14 Hal ini telah dibuktikan dengan peningkatan
ekspresi prostaglandin E2 dan faktor pertumbuhan endotel vaskular pada
jaringan biopsi sinovial dari pasien dengan gejala CTS.15 Setelah cedera,
terjadi peningkatan densitas fibroblas, ukuran serat kolagen, proliferasi
vaskular, dan kolagen tipe III pada jaringan ikat synovial.16 Hal ini
menyebabkan pembentukan jaringan parut konstriktif di sekitar N. median,
yang selanjutnya dapat menyebabkan penarikan saraf.
12
eritematosus sistemik, asam urat atau hipertiroidisme dapat mempengaruhi
synovium.9
2.6 Gejala Klinis
Gejala klinis CTS adalah nyeri di tangan atau lengan terutama pada
malam hari atau saat bekerja, pengecilan dan kelemahan otot-otot eminensia
tenar, hilangnya sensasi pada tangan pada distribusi N. median, parestesia
seperti kesemutan pada distribusi N. median, sering terjadi secara bilateral.
Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik, kemudian diikuti
gangguan motorik yang terjadi pada kondisi berat.7
2.7 Diagnosa
13
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan CTS dilakukan dimulai dari
ekstremitas atas termasuk leher, bahu, siku dan pergelangan tangan untuk
menyingkirkan penyebab lain. Kebanyakan pasien CTS ringan sampai sedang
tidak memilki temuan klinis. Namun, pemeriksaan awal pada tangan dan
pergelangan tangan dapat memberikan petunjuk tentang faktor pencetus, seperti
tanda-tanda cedera atau perubahan artritis. Pada penyakit yang lebih parah,
defisit sensorik dan motorik permanen terjadi. Pasien mungkin mengalami
penurunan sensasi nyeri (hipalgesia) pada aspek palmar jari telunjuk
dibandingkan dengan jari kelingking ipsilateral pada tangan yang terkena.
Sensasi pada eminensia tenar harus normal pada pasien dengan CTS karena
disuplai oleh cabang kutaneus palmaris dari N. median, yang bercabang
proksimal ke terowongan karpal. Oleh karena itu, penurunan sensasi di atas
eminensia tenar menunjukkan lesi saraf median proksimal ke terowongan
karpal. Kelemahan abduksi ibu jari dan oposisi serta atrofi eminensia tenar
dapat terjadi pada CTS lanjut. 18
14
2. Torniquet test
Pemeriksaan dilakukan dengan memasang torniquet serta
tensimeter yang diletakkan di atas siku dengan tekanan sedikit di atas
tekanan sistolik. Jika dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, maka tes ini
positif dan mendukung diagnose CTS.
3. Tinel’s sign
Pemeriksaan dilakukan dengan perkusi pada terowongan karpal
dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi. Tes positf dan mendukung
diagnosa CTS jika terjadi parasthesia atau nyeri pada daerah distribusi N.
median.
15
Gambar 2.5 Atrofi Otot Thenar6
6. Menilai kekuatan dan keterampilan serta kekuatan otot secara manual
maupun dengan alat dynamometer.
7. Wrist extension test
Penderita diminta untuk melakukan ekstensi tangan secara
maksimal, dilakukan secara bilateral bersamaan agar dapat dibandingkan.
Bila dalam 60 detik timbul gejala CTS, maka tes ini mendukung diagnosa
CTS.
16
9. Luthy’s sign (Bottle’s sign)
Penderita diminta untuk melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya
pada botol. Hasil positif jika kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh
dindingnya dengan rapat.
10. Pemeriksaan sensibilitas
Pemeriksaan sensibilitas positif jika penderita tidak dapat
membedakan 2 titik pada jarak lebih dari 6 mm di daerah N. median.
11. Pemeriksaan fungsi otonom
Hasil pemeriksaan yang dapat menunjang diagnosa CTS dapat
berupa didapatkan adanya perbedaan keringat, kulit yang kering atau licin
yang terbatas pada adaerah inervasi N. median.
a. Elektrodiagnostik
Nerve Conduction Studies (NCS) dan Elektromiografi (EMG) adalah alat
terbaik yang tersedia untuk membuat diagnosis CTS. Alat ini berperan dalam
mengevaluasi keparahan kerusakan N. median, dapat membantu dalam
menentukan manajemen yang sesuai, dapat menilai hasil intervensi, dan
menentukan prognosis CTS. Selain itu, juga dapat menyingkirkan atau
mengidentifikasi kondisi neurologis lainnya. CTS dapat diklasifikasikan menurut
hasil NCS sebagai berikut:4
(1) CTS negatif: tidak ada bukti kelainan baik pada komparatif maupun
segmental tes
(2) CTS minimal: kelainan pada uji komparatif atau segmental
(3) CTS ringan: perlambatan kecepatan konduksi sensorik di saluran jari-
pergelangan tangan dengan rentang normal latensi motorik distal
4) CTS sedang: deselerasi pada kecepatan konduksi sensorik di saluran
pergelangan tangan dengan peninggian
17
(5) CTS parah: tidak adanya respon sensorik pada traktus finger-wrist
dengan peningkatan latensi motorik distal
(6) CTS ekstrim: tidak ada respon motorik otot tenar
b. Pemeriksaan Radiologi
Ultrasonografi saraf median telah digunakan sebagai alat diagnostik
pelengkap untuk CTS, meskipun beberapa penelitian menyarankan bahwa
ultrasonografi dapat menjadi tes awal dan dapat menggantikan NCS saat
mendiagnosis CTS. Kista ganglion atau tendinitis adalah kelainan struktural
yang dapat berdampak pada N. median dan dapat diidentifikasi dengan USG.
Ultrasonografi juga dapat mendukung diagnosis CTS dengan mendeteksi
pembengkakan dan pembesaran N. median yang rusak. Magnetic resonance
imaging (MRI) berguna dalam kasus di mana lesi yang menempati ruang
dicurigai, terutama sebelum operasi. Magnetic resonance imaging lebih unggul
daripada ultrasound untuk menggambarkan terowongan karpal, tetapi biaya dan
ketersediaannya membatasi penggunaannya sebagai rutinitas.4
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan umumnya untuk menyingkirkan
penyakit yang mendasari. Pasien diskrining pada pemeriksaan awal untuk tanda
tanda atau gejala penyakit diabetes, hipotiroidisme, kehamilan, arthritis, dan
penyakit inflamasi terkait. Pemeriksaan laboratorium jarang diindikasikan
kecuali pasien dengan gejala atau tanda yang memerlukan laboratorium
khusus.20
2.9 Penatalakasanaan
18
memperbaiki gejala dalam dua sampai enam minggu dan mencapai manfaat
maksimal dalam tiga bulan. Jika tidak ada perbaikan setelah enam minggu,
pendekatan lain harus dipertimbangkan.21
1. Terapi konservatif
a. Farmakologi
- Injeksi kortikosteroid
Injeksi kortikosteroid lokal untuk CTS dilaporkan dapat
memberikan perbaikan klinis yang lebih besar satu bulan setelah injeksi.
Cedera N. median merupakan komplikasi serius dari terapi ini, yang
dapat disertai dengan kelemahan sensorik dan mitorik serta atrofi otot.
Penempatan jarum yang tepat sangat penting untuk mencegah cedera
saraf. Pasien tidak boleh dibius berat dan harus diinstruksikan untuk
segera melaporkan adanya mati rasa atau parastesia selama prosedur
dilakukan.2
Deksametason 1-4 mg atau hidrokortison 10-25 mg atau
metilprednisolon 20 mg atau 40 mg diinjeksikan ke dalam terowongan
karpal dengan menggunakan jarum no.23 atau 25 pada lokasi 1 cm ke
arah proksimal lipat pergelangan tangan di sebelah medial tendon
musculus palmaris longus. Bila belum berhasil, suntikan dapat diulangi
setelah 2 minggu atau lebih. Tindakan operasi dapat dipertimbangkan
bila hasil terapi belum memuaskan setelah diberi 3 kali suntikan.7
19
Gambar 2.8. Prosedur injeksi kortikosteroid18
b. Non Farmakologi
- Splinting
Splinting adalah pengobatan lini pertama untuk CTS ringan
sampai sedang karena kesederhanaan, biaya rendah, dan tolerabilitas.18
Tujuan dari terapi menggunakan splinting adalah untuk menghindari
posisi pergelangan tangan yang dapat menyebabkan tekanan di dalam
20
terowongan karpal, mengurangi edema, meningkatkan parameter
hemodinamik, dan meminimalkan kompresi saraf. Pemakaian splinting
biasanya digunakan setidaknya dalam jangka waktu tiga bulan dan pada
malam hari.23
21
Gambar 2.8 A) Contoh urutan gerakan jari selama latihan tendon
gliding; B) Contoh urutan gerakan jari saat latihan luncur nervus
medianus. Pada urutan terakhir, ibu jari ditarik ke belakang dengan
lembut.22
22
2. Terapi Bedah
23
d. Mengubah metode kerja untuk sesekali istirahat pendek serta
mengupayakan rotasi kerja.
e. Meningkatkan pengetahuan pekerja tentang gejala-gejala dini CTS
sehingga pekerja dapat mengenali gejala-gejala CTS lebih dini.
2.10 Prognosis
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
1) Istirahatkan tangan jika terasa lelah atau saat terlalu sering digunakan
untuk pencegahan terjadinya CTS.
2) Penggunaan benda ergonomis pada lingkungan kerja
25
DAFTAR PUSTAKA
26
11. Mackinnon SE. Pathophysiology of nerve compression. Hand Clin
2002;18(2):231–41.
12. MacDermid JC, Doherty T. Clinical and Electrodiagnostic Testing of Carpal
Tunnel Syndrome: A Narrative Review. Journal of Orthopaedic & Sports
Physical Therapy 2004;34(10):565–88.
13. Tsujii M, Hirata H, Yoshida T, Imanaka-Yoshida K, Morita A, Uchida A.
Involvement of tenascin-C and PG-M/versican in flexor tenosynovial
pathology of idiopathic carpal tunnel syndrome. Histol Histopathol
2006;21(5):511–8.
14. Phalen GS. The carpal-tunnel syndrome. Seventeen years’ experience in
diagnosis and treatment of six hundred fifty-four hands. J Bone Joint Surg Am
1966;48(2):211–28.
15. Hirata H, Nagakura T, Tsujii M, Morita A, Fujisawa K, Uchida A. The
relationship of VEGF and PGE2 expression to extracellular matrix remodelling
of the tenosynovium in the carpal tunnel syndrome. The Journal of Pathology
2004;204(5):605–12.
16. Ettema AM, Amadio PC, Zhao C, Wold LE, An K-N. A histological and
immunohistochemical study of the subsynovial connective tissue in idiopathic
carpal tunnel syndrome. J Bone Joint Surg Am 2004;86–A(7):1458–66
17. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2010.
18. Wipperman, Jennifer and Kyle Goerl. 2016. Carpal Tunnel Syndrome:
Diagnosis and Management. American Family Physician olume 94, Number 12
December 15, 2016
19. Prakoso, Tegar dwi dan Evi Kurniawaty. Perempuan Berusia 65 Tahun dengan
Carpal Tunnel Syndrome. J Medula Unila Volume 7 Nomor 2 April 2017 144.
20. Franklin GM, Javaher SP, Kearney RN. Medical Treatment Guidelines Work-
Related Carpal Tunnel Syndrome Diagnosis and Treatment Guideline.
Washington: Washington State Department of Labor and Industries. 2009.
27
21. Shi Q, MacDermid JC. Is surgical intervention more effective than non-surgical
treatment for carpal tun- nel syndrome? A systematic review. J Orthop Surg
Res. 2011;6:17.
22. Akalin E, El O, Peker O, Senocak O, Tamci S, Gülbahar S et al. Treatment of
carpal tunnel syndrome with nerve and tendon gliding exercises. Am J Phys
Med Rehabil. 2002;81(2):108-13. https://doi.org/10.1097/00002060-
200202000-00006
23. Martins, Roberto Sergio and Mario Gilberto Siqueira. 2017. Conservative
therapeutic management of carpal tunnel syndrome. Arq Neuropsiquiatr
2017;75(11):819-824
28