Anda di halaman 1dari 46

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fasilitas Kesehatan

1. Definisi

Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu tempat yang digunakan

untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,

preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah,

pemerintah daerah dan/atau masyarakat (Peraturan Menteri Kesehatan RI No

43 tahun 2019, 2019). Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama adalah

pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik (primer)

meliputi pelayanan rawat jalan dan rawat inap. Rawat Jalan Tingkat Pertama

adalah pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik yang

dilaksanakan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama untuk keperluan

observasi, diagnosis, pengobatan, dan/atau pelayanan kesehatan lainnya.

Rawat Inap Tingkat Pertama adalah pelayanan kesehatan perorangan yang

bersifat non spesialistik dan dilaksanakan pada fasilitas kesehatan tingkat

pertama untuk keperluan observasi, perawatan, diagnosis, pengobatan,

dan/atau pelayanan medis lainnya, dimana peserta dan/atau anggota

keluarganya dirawat inap paling singkat 1 (satu) hari (Permenkes RI, 2016).

2. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama


Fasilitas Kesehatan tingkat pertama Menurut (Permenkes RI, 2016)

dapat berupa:

a. Puskesmas atau yang Setara

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah organisasi fungsional

yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu,

merata, dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat, dengan peran serta

aktif masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah

dan masyarakat. Upaya kesehatan tersebut diselenggarakan dengan

menitikberatkan kepada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai

derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada

perorangan. Puskesmas adalah unit pelayanan kesehatan di tingkat kecamatan

dan merupakan Unit Pelaksanaan Teknis Daerah (UPTD) Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota.

b. Praktik Dokter, termasuk Dokter Gigi

Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi,

dokter gigi spesialis yang merupakan lulusan pendidikan kedokteran atau

kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh

Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan

(Permenkes, 2017).

c. Klinik Pratama atau yang Setara


Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan

pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar

dan/atau spesialistik, diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga

kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga medis. Tenaga medis adalah

dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi spesialis (Permenkes RI,

2011). Berdasarkan jenis pelayanannya, klinik dibagi menjadi Klinik Pratama

yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar dan Klinik utama

menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik atau pelayanan medik dasar

dan spesialistik (Kementrian Kesehatan RI, 2014).

d. Rumah Sakit (Kelas D Pratama atau yang setara)

Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat

dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu

pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi

masyarakat. Rumah Sakit harus tetap mampu meningkatkan pelayanan

kesehatan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud

derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dengan

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna,

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat,

melakukan upaya kesehatan yang dilaksanakan secara serasi, terpadu,

menyeluruh, dan berkesinambungan dengan tujuan untuk mewujudkan derajat


kesehatan yang optimal bagi masyarakat (Depkes RI, 2009 dalam Satibi,

2016).

B. Puskesmas

1. Definisi

Menurut (Peraturan Menteri Kesehatan RI No 43 tahun 2019, 2019)

yang dimaksud dengan puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan

perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif

dan preventif di wilayah kerjanya. Untuk mewujudkan pusat kesehatan

masyarakat yang efektif, efisien, dan akuntabel dalam penyelenggaraan

pelayanan kesehatan tingkat pertama yang bermutu dan berkesinambungan

dengan memperhatikan keselamatan pasien dan masyarakat, dibutuhkan

pengaturan organisasi dan tata hubungan kerja pusat kesehatan masyarakat,

pengaturan pusat kesehatan masyarakat perlu disesuaikan dengan kebijakan

pemerintah untuk memperkuat fungsi pusat kesehatan masyarakat dalam

penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan

perseorangan tingkat pertama di wilayah kerjanya.

2. Tujuan Puskesmas

Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan

untuk mewujudkan masyarakat yang (Peraturan Menteri Kesehatan RI No 43

tahun 2019, 2019) :


a. Memiliki perilaku sehat meliputi kesadaran, kemauan, dan kemampuan

hidup sehat

b. Mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu

c. Hidup dalam lingkungan sehat

d. Memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga,

kelompok, dan masyarakat.

Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan

untuk mewujudkan wilayah kerja Puskesmas yang sehat, dengan masyarakat

yang memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan, dan

kemampuan hidup sehat, mampu menjangkau Pelayanan Kesehatan bermutu,

hidup dalam lingkungan sehat, dan memiliki derajat kesehatan yang optimal,

baik individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Pembangunan kesehatan

yang diselenggarakan di dalam rangka mewujudkan kecamatan sehat.

Kecamatan sehat dilaksanakan untuk mencapai kabupaten/kota sehat

(Peraturan Menteri Kesehatan RI No 43 tahun 2019, 2019).

3. Prinsip Penyelenggaraan, Tugas, Fungsi, dan Wewenang Puskesmas

Prinsip penyelenggaraan Puskesmas meliputi; paradigma sehat

pertanggungjawaban wilayah kemandirian masyarakat ketersediaan akses

pelayanan kesehatan teknologi tepat guna; dan keterpaduan dan

kesinambungan. Berdasarkan prinsip paradigma sehat, puskesmas mendorong

seluruh pemangku kepentingan berpartisipasi dalam upaya mencegah dan


mengurangi risiko kesehatan yang dihadapi individu, keluarga, kelompok, dan

masyarakat melalui Gerakan Masyarakat Hidup Sehat. Berdasarkan prinsip

pertanggungjawaban, puskesmas menggerakkan dan bertanggung jawab

terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya. Berdasarkan prinsip

kemandirian masyarakat, puskesmas mendorong kemandirian hidup sehat

bagi individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat (Peraturan Menteri

Kesehatan RI No 43 tahun 2019, 2019).

Berdasarkan prinsip ketersediaan akses pelayanan kesehatan,

puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang dapat diakses dan

terjangkau oleh seluruh masyarakat di wilayah kerjanya secara adil tanpa

membedakan status sosial, ekonomi, agama, budaya, dan kepercayaan.

Berdasarkan prinsip teknologi tepat guna, puskesmas menyelenggarakan

Pelayanan Kesehatan dengan memanfaatkan teknologi yang sesuai dengan

kebutuhan pelayanan, mudah dimanfaatkan, dan tidak berdampak buruk bagi

lingkungan. Berdasarkan prinsip keterpaduan dan kesinambungan, puskesmas

mengintegrasikan dan mengoordinasikan penyelenggaraan UKM dan UKP

lintas program dan lintas sektor serta melaksanakan Sistem Rujukan yang

didukung dengan manajemen Puskesmas (Peraturan Menteri Kesehatan RI No

43 tahun 2019, 2019).

Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk

mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya. Untuk


mencapai tujuan pembangunan kesehatan, puskesmas mengintegrasikan

program yang dilaksanakannya dengan pendekatan keluarga. Pendekatan

keluarga merupakan salah satu cara Puskesmas mengintegrasikan program

untuk meningkatkan jangkauan sasaran dan mendekatkan akses pelayanan

kesehatan di wilayah kerjanya dengan mendatangi keluarga. Dalam

melaksanakan tugas, puskesmas memiliki fungsi; penyelenggaraan UKM

tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan penyelenggaraan UKP tingkat

pertama di wilayah kerjanya (Peraturan Menteri Kesehatan RI No 43 tahun

2019, 2019).

Dalam melaksanakan fungsi penyelenggaraan UKM tingkat pertama di

wilayah kerjanya. Puskesmas berwenang untuk:

a. Menyusun perencanaan kegiatan berdasarkan hasil analisis masalah

kesehatan masyarakat dan kebutuhan pelayanan yang diperlukan

b. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan

c. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan

masyarakat dalam bidang kesehatan

d. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan

masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang

bekerja sama dengan pimpinan wilayah dan sektor lain terkait

e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap institusi, jaringan pelayanan

Puskesmas dan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat


f. Melaksanakan perencanaan kebutuhan dan peningkatan kompetensi sumber

daya manusia Puskesmas

g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan

h. Memberikan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada keluarga,

kelompok, dan masyarakat dengan mempertimbangkan faktor biologis,

psikologis, sosial, budaya, dan spiritual

i. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu,

dan cakupan Pelayanan Kesehatan

j. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat kepada

dinas kesehatan daerah kabupaten/kota, melaksanakan sistem kewaspadaan

dini, dan respon penanggulangan penyakit

k. Melaksanakan kegiatan pendekatan keluarga

l. Melakukan kolaborasi dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat

pertama dan rumah sakit di wilayah kerjanya, melalui pengoordinasian

sumber daya kesehatan di wilayah kerja Puskesmas (Peraturan Menteri

Kesehatan RI No 43 tahun 2019, 2019).

Dalam melaksanakan fungsi penyelenggaraan UKP tingkat pertama di

wilayah kerjanya, puskesmas berwenang untuk:

a. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar secara komprehensif,

berkesinambungan, bermutu, dan holistik yang mengintegrasikan faktor


biologis, psikologi, sosial, dan budaya dengan membina hubungan dokter -

pasien yang erat dan setara

b. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan upaya

promotif dan preventif

c. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang berpusat pada individu,

berfokus pada keluarga, dan berorientasi pada kelompok dan masyarakat

d. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan kesehatan,

keamanan, keselamatan pasien, petugas, pengunjung, dan lingkungan kerja

e. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan prinsip koordinatif dan

kerja sama inter dan antar profesi

f. Melaksanakan penyelenggaraan rekam medis

g. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan akses

Pelayanan Kesehatan

h. Melaksanakan perencanaan kebutuhan dan peningkatan kompetensi sumber

daya manusia Puskesmas

i. Melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan Sistem

Rujukan

j. Melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan Fasilitas Pelayanan

Kesehatan di wilayah kerjanya, sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan (Peraturan Menteri Kesehatan RI No 43 tahun 2019,

2019).
4. Sumber Daya Manusia Puskesmas

Sumber daya manusia puskesmas terdiri dari dokter dan/atau dokter

layanan primer. Selain dokter dan/atau dokter layanan primer ; Puskesmas

harus memiliki: dokter gigi; Tenaga Kesehatan lainnya; tenaga nonkesehatan.

Jenis Tenaga Kesehatan lainnya paling sedikit terdiri atas: perawat; bidan;

tenaga promosi kesehatan dan ilmu perilaku; tenaga sanitasi lingkungan;

nutrisionis; tenaga apoteker dan/atau tenaga teknis kefarmasian; dan ahli

teknologi laboratorium medik. Tenaga nonkesehatan harus mendukung

kegiatan ketatausahaan, administrasi keuangan, sistem informasi, dan kegiatan

operasional lain di Puskesmas (Peraturan Menteri Kesehatan RI No 43 tahun

2019, 2019).

5. Kategori Puskesmas

Dalam rangka pemenuhan Pelayanan Kesehatan yang didasarkan pada

kebutuhan dan kondisi masyarakat, Puskesmas dapat dikategorikan

berdasarkan; karakteristik wilayah kerja; dan kemampuan pelayanan.

Berdasarkan karakteristik wilayah kerja Puskesmas dikategorikan menjadi:

a. Puskesmas kawasan perkotaan

b. Puskesmas kawasan perdesaan

c. Puskesmas kawasan terpencil

d. Puskesmas kawasan sangat terpencil.

Berdasarkan kemampuan pelayanan. Puskesmas dikategorikan menjadi:


a. Puskesmas nonrawat inap; dan

b. Puskesmas rawat inap.

Puskesmas nonrawat inap merupakan Puskesmas yang

menyelenggarakan pelayanan rawat jalan, perawatan di rumah (home care),

dan pelayanan gawat darurat. Puskesmas nonrawat inap dapat

menyelenggarakan rawat inap pada pelayanan persalinan normal. Sedangkan

Puskesmas rawat inap merupakan Puskesmas yang diberi tambahan sumber

daya sesuai pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan untuk

menyelenggarakan rawat inap pada pelayanan persalinan normal dan

pelayanan rawat inap pelayanan kesehatan lainnya. Puskesmas yang dapat

menjadi Puskesmas rawat inap merupakan Puskesmas di kawasan perdesaan,

kawasan terpencil dan kawasan sangat terpencil, yang jauh dari Fasilitas

Pelayanan Kesehatan rujukan tingkat lanjut (Peraturan Menteri Kesehatan RI

No 43 tahun 2019, 2019).

Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat tingkat

pertama dan upaya kesehatan perorangan tingkat pertama. Upaya kesehatan

masyarakat esensial yang dilaksanakan di Puskesmas meliputi :

a. Pelayanan promosi kesehatan

b. Pelayanan kesehatan lingkungan

c. Pelayanan kesehatan keluarga

d. Pelayanan gizi
e. Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit.

Sedangkan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama di

Puskesmas di laksanakan dalam bentuk :

a. Rawat jalan, baik kunjungan sehat maupun kunjungan sakit;

b. Pelayanan gawat darurat

c. Pelayanan persalinan normal

d. Perawatan di rumah (home care)

e. Rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan

(Peraturan Menteri Kesehatan RI No 43 tahun 2019, 2019).

6. Jaringan Pelayanan Puskesmas, Jejaring Puskesmas, dan Sistem Rujukan

Dalam rangka meningkatkan wilayah kerja atau aksebilitas Puskesmas

yang sehat, Puskesmas didukung oleh jaringan pelayanan yaitu :

a. Puskesmas pembantu

Puskesmas pembantu memberikan pelayanan kesehatan secara

permanen di suatu lokasi dalam wilayah kerja Puskesmas (Peraturan

Menteri Kesehatan RI No 43 tahun 2019, 2019).

b. Puskesmas keliling

Puskesmas keliling memberikan pelayanan kesehatan yang sifatnya

bergerak (mobile), untuk meningkatkan jangkauan dan mutu pelayanan

bagi masyarakat di wilayah kerja Puskesmas yang belum terjangkau oleh


pelayanan dalam gedung Puskesmas (Peraturan Menteri Kesehatan RI No

43 tahun 2019, 2019).

c. Praktik Bidan desa

Praktik Bidan desa merupakan praktik bidan yang memiliki Surat

Izin Praktik Bidan (SIPB) di Puskesmas, dan bertempat tinggal serta

mendapatkan penugasan untuk melaksanakan praktik kebidanan dari

Pemerintah Daerah pada satu desa/kelurahan dalam wilayah kerja

Puskesmas yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan (Peraturan Menteri Kesehatan RI No 43 tahun 2019,

2019).

C. Penggunaan Obat Rasional

1. Definisi Penggunaan Obat Rasional

Penggunaan obat yang dapat dikatakan rasioanl apabila pasien atau

penderita menerima obat yang tepat untuk kebutuhan klinis, dalam dosis yang

memenuhi kebutuhan dengan biaya yang terjangkau dan dengan waktu yang

cukup (World Health Organization, 2007). Oleh sebab itu Tenaga kesehatan di

Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten /Kota diharapkan mampu

melakukan :

a. Menerapkan penggunaan obat yang rasional dalam praktek

b. Mengenal dan mengidentifi kasi berbagai masalah pengggunaan obat yang

tidak rasional
c. Mengindentifi kasi berbagai dampak ketidakrasionalan penggunaan obat

d. Mengindentifi kasi berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya

penggunaan obat yang tidak rasional e.

e. Melakukan upaya-upaya perbaikan yang dapat dilakukan untuk mengatasi

masalah penggunaan obat yang tidak rasional.

f. Menetapkan upaya intervensi yang sesuai berdasarkan masalah

ketidakrasionalan penggunaan obat yang ada (Kemenkes RI, 2011).

2. Kriteria Rasionalitas Penggunaan Obat

WHO memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di

dunia diresepkan, diberikan dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan

separuh dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Adapun tujuan

penggunaan obat rasional ialah untuk menjamin pasien mendapatkan

pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang

adekuat dengan harga yang terjangkau.

Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:

a. Tepat Diagnosis

Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang

tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat

akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat

yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya

(Kemenkes RI, 2011).


b. Tepat Indikasi Penyakit

Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifi k. Antibiotik,

misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian

obat ini hanya dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi

bakteri (Kemenkes RI, 2011).

c. Tepat Pemilihan Obat

Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis

ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang

memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit (Kemenkes RI,

2011).

d. Tepat Dosis

Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek

terapi obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang

dengan rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek

samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin

tercapainya kadar terapi yang diharapkan (Kemenkes RI, 2011).

e. Tepat Cara Pemberian Obat

Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula

antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk

ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan

efektivtasnya (Kemenkes RI, 2011).


f. Tepat Cara Pemberian

Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula

antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk

ikatan, sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan

efektivtasnya (Kemenkes RI, 2011).

g. Tepat lama pemberian

Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masingmasing.

Untuk Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6

bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14

hari. Pemberian obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang

seharusnya akan berpengaruh terhadap hasil pengobatan (Kemenkes RI,

2011).

h. Waspada terhadap efek samping

Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak

diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena

itu muka merah setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek

samping sehubungan vasodilatasi pembuluh darah di wajah (Kemenkes RI,

2011).

Pemberian tetrasiklin tidak boleh dilakukan pada anak kurang dari 12

tahun, karena menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang yang sedang

tumbuh (Kemenkes RI, 2011).


i. Tepat penilaian kondisi pasien

Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas

terlihat pada beberapa jenis obat seperti teofi lin dan aminoglikosida. Pada

penderita dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya

dihindarkan, karena resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini

meningkat secara bermakna. Beberapa kondisi berikut harus

dipertimbangkan sebelum memutuskan pemberian obat.

1) β-bloker (misalnya propranolol) hendaknya tidak diberikan pada

penderita hipertensi yang memiliki riwayat asma, karena obat ini

memberi efek bronkhospasme.

2) Antiinflamasi Non Steroid (AINS) sebaiknya juga dihindari pada

penderita asma, karena obat golongan ini terbukti dapat mencetuskan

serangan asma. - Peresepan beberapa jenis obat seperti simetidin,

klorpropamid, aminoglikosida dan allopurinol pada usia lanjut

hendaknya ekstra hati-hati, karena waktu paruh obatobat tersebut

memanjang secara bermakna, sehingga resiko efek toksiknya juga

meningkat pada pemberian secara berulang.

3) Peresepan kuinolon (misalnya siprofl oksasin dan ofl oksasin),

tetrasiklin, doksisiklin, dan metronidazol pada ibu hamil sama sekali

harus dihindari, karena memberi efek buruk pada janin yang dikandung

(Kemenkes RI, 2011).


j. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta

tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau

Untuk efektif dan aman serta terjangkau, digunakan obat-obat dalam

daftar obat esensial. Pemilihan obat dalam daftar obat esensial didahulukan

dengan mempertimbangkan efektivitas, keamanan dan harganya oleh para

pakar di bidang pengobatan dan klinis. Untuk jaminan mutu, obat perlu

diproduksi oleh produsen yang menerapkan CPOB (Cara Pembuatan Obat

yang Baik) dan dibeli melalui jalur resmi. Semua produsen obat di

Indonesia harus dan telah menerapkan CPOB (Kemenkes RI, 2011).

k. Tepat informasi

Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting

dalam menunjang keberhasilan terapi. Sebagai contoh: - Peresepan

rifampisin akan mengakibatkan urine penderita berwarna merah. Jika hal

ini tidak diinformasikan, penderita kemungkinan besar akan menghentikan

minum obat karena menduga obat tersebut menyebabkan kencing disertai

darah. Padahal untuk penderita tuberkulosis, terapi dengan rifampisin harus

diberikan dalam jangka panjang (Kemenkes RI, 2011).

l. Peresepan antibiotik harus disertai informasi bahwa obat tersebut harus

diminum sampai habis selama satu kurun waktu pengobatan (1 course of

treatment), meskipun gejala-gejala klinik sudah mereda atau hilang sama

sekali. Interval waktu minum obat juga harus tepat, bila 4 kali sehari berarti
tiap 6 jam. Untuk antibiotik hal ini sangat penting, agar kadar obat dalam

darah berada di atas kadar minimal yang dapat membunuh bakteri

penyebab penyakit (Kemenkes RI, 2011).

m. Tepat tindak lanjut (follow-up)

Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan

upaya tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh

atau mengalami efek samping. Sebagai contoh, terapi dengan teofi lin

sering memberikan gejala takikardi. Jika hal ini terjadi, maka dosis obat

perlu ditinjau ulang atau bisa saja obatnya diganti. Demikian pula dalam

penatalaksanaan syok anafi laksis, pemberian injeksi adrenalin yang kedua

perlu segera dilakukan, jika pada pemberian pertama respons sirkulasi

kardiovaskuler belum seperti yang diharapkan (Kemenkes RI, 2011).

n. Tepat penyerahan obat (dispensing)

Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah

obat dan pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke

apotek atau tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten

apoteker menyiapkan obat yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk

kemudian diberikan kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus

dilakukan secara tepat, agar pasien mendapatkan obat sebagaimana

harusnya. Dalam menyerahkan obat juga petugas harus memberikan

informasi yang tepat kepada pasien (Kemenkes RI, 2011).


Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan,

ketidaktaatan minum obat umumnya terjadi pada keadaan berikut:

a. Jenis dan/atau jumlah obat yang diberikan terlalu banyak

b. Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering

c. Jenis sediaan obat terlalu beragam

d. Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi

e. Pasien tidak mendapatkan informasi/penjelasan yang cukup mengenai cara

minum/menggunakan obat

f. Timbulnya efek samping (misalnya ruam kulit dan nyeri lambung), atau

efek ikutan (urine menjadi merah karena minum rifampisin) tanpa

diberikan penjelasan terlebih dahulu (Kemenkes RI, 2011).

Penilaian
kondisi pasien

Diagnosis Indikasi Harga


terjangkau
TEPAT
Waspada Kepatuhan
Informasi Jenis Obat ESO pasien

Dosis, cara, dan


lama pemberian
Gambar II.I Gambaran penggunaan obat rasional

3. Indikator Penggunaan Obat Rasional

Dalam melakukan identifikasi masalah maupun melakukan monitoring

dan evaluasi Penggunaan Obat Rasional, WHO menyusun indikator, yang

dibagi menjadi indikator inti dan indikator tambahan. Tujuan indikator

penggunaan obat rasional ialah untuk melakukan pengukuran terhadap

capaian keberhasilan upaya dan intervensi dalam peningkatan penggunaan

obat yang rasional dalam pelayanan kesehatan (Kemenkes RI, 2011).

a. Indikator Inti:

1) Indikator peresepan

a) Rerata jumlah item dalam tiap resep.

b) Persentase peresepan dengan nama generik.

c) Persentase peresepan dengan antibiotik.

d) Persentase peresepan dengan suntikan.

e) Persentase peresepan yang sesuai dengan Daftar Obat Esensial

(Kemenkes RI, 2011).

2) Indikator Pelayanan

a) Rerata waktu konsultasi.

b) Rerata waktu penyerahan obat.

c) Persentase obat yang sesungguhnya diserahkan.


d) Persentase obat yang dilabel secara adekuat (Kemenkes RI, 2011).

3) Indikator Fasilitas

a) Pengetahuan pasien mengenai dosis yang benar.

b) Ketersediaan Daftar Obat Esensial.

c) Ketersediaan key drugs (Kemenkes RI, 2011).

b. Indikator Tambahan :

Indikator ini dapat diperlakukan sebagai tambahan terhadap indikator

inti. Indikator ini tidak kurang pentingnya dibandingkan indikator inti, namun

sering data yang dipergunakan sulit diperoleh atau interpretasi terhadap data

tersebut mungkin sarat muatan lokal.

1) Persentase pasien yang diterapi tanpa obat.

2) Rerata biaya obat tiap peresepan.

3) Persentase biaya untuk antibiotik.

4) Persentase biaya untuk suntikan.

5) Peresepan yang sesuai dengan pedoman pengobatan.

6) Persentase pasien yang puas dengan pelayanan yang diberikan.

7) Persentase fasilitas kesehatan yang mempunyai akses kepada informasi


yang obyektif.

D. Antiinflamasi Non Steroid


a. Sejarah Industri Analgesik: Evolusi Analgesik dan Antipiretik

1) Penetapan Nyeri

Selama berabad-abad di dunia Barat, rasa nyeri dianggap tak

terhindarkan. Di era yang lebih religius, semua rasa sakit memiliki arti dan

tujuan, dan oleh karena itu tidak boleh dihilangkan hanya demi kenyamanan

atau kemudahan pribadi yang lebih besar. Dokter juga memberi makna pada

rasa sakit dengan mengidentifikasinya sebagai gejala penting yang

memberikan petunjuk untuk identitas penyakit tertentu atau memperingatkan

beberapa bahaya yang signifikan bagi tubuh. Nyeri tidak bisa dibiarkan, dan

tidak bisa diabaikan, karena akan memberikan efek buruk. Selain itu, dokter

menyetujui pengurangan gejala sebagai empirisme belaka, hampir tidak lebih

baik dari pengobtaan tradisional, dan tentu saja tidak layak untuk warisan

intelektual dari profesi mereka. Alih-alih dokter lebih memilih untuk

mengatasi penyebab penyakit biasanya mendasarkan perawatan mereka pada

konsep empat humor klasik yang diyakini membentuk konstitusi setiap orang.

Itu adalah tujuan dokter untuk menjaga atau memulihkan keseimbangan

humoral yang sehat dengan menyesuaikan keseimbangan antara individu dan

lingkungannya (Rainsford, 2016).

Nyeri akan mereda ketika ketidakseimbangan yang menyebabkannya

diperbaiki. Oleh karena itu sulit untuk mengidentifikasi zat apa yang secara

historis digunakan sebagai analgesik. Bahkan opiat lebih sering digunakan


untuk membuat kesan yang kuat pada sistem saraf, dengan maksud untuk

menghentikan tindakan tidak wajar daripada hanya untuk menghilangkan rasa

sakit . Dengan demikian, sejarah analgesik tidak benar-benar dimulai sampai

pertengahan abad kesembilan belas, ketika hasil dari penemuan anestesi

bedah, masalah nyeri dan pengendaliannya lebih banyak ditangani dalam

praktik medis. Tidak sampai pertengahan 1840-an Inggris bahkan memiliki

istilah bahasa sehari-hari untuk analgesik, kata pertama kali muncul dalam

nama dagang terdaftar dari obat eksklusif: 'Perry Davis' Painkiller '. Namun,

penting bahwa kata dan ramuan yang diwakilinya tidak diperkenalkan oleh

praktisi medis ortodoks atau biasa. Faktanya, riwayat awal obat penghilang

rasa sakit dan analgesik menunjukkan dua fitur penting dan saling

berhubungan. Pertama, stimulus obat analgesik berasal dari masyarakat

umum, bukan dari kalangan medis. Dan kedua, pada akhir Perang Dunia

Pertama, reaksi terhadap tuntutan publik menghasilkan pembentukan industri

obat 'over-the-counter' (OTC) yang sangat menguntungkan. Hubungan erat

antara nyeri dan keuntungan dengan demikian menginformasikan

perkembangan obat analgesik, dan bahkan dapat dikatakan sebagai model

untuk banyak aspek lain dari industri farmasi modern (Rainsford, 2016).

2) Pandangan Filosofi dan Teraupetik Demam

Pada abad kesembilan belas, kedokteran ortodoks mulai

menghilangkan konsep-konsep humoral kuno dan mengembangkan disiplin


ilmu kedokteran baru yang berbasis ilmiah seperti neurologi dan biokimia.

Prinsip terapeutik baru, bagaimanapun, tetap sulit dipahami. Praktisi tetap

waspada terhadap pendekatan empiris atau simtomatik, dan terus bergantung

pada obat dan perawatan tradisional. Sayangnya, upaya untuk memulihkan

keseimbangan konstitusional pasien tampaknya sebagian besar tidak efektif

saat menangani korban penyakit seperti kolera dan tifus, yang melanda

populasi abad kesembilan belas dalam epidemi masif. Bahkan kokain, morfin,

strychnine, quinine dan obat lain yang baru diisolasi dari sumber nabati

memiliki pengaruh yang kecil dalam situasi ini. Selain itu, banyak orang yang

sembuh dari penyakitnya baik dirawat maupun tidak, terapi dalam arti tertentu

sia-sia. Meskipun tidak ada praktisi yang melepaskan pengobatan sepenuhnya,

seperti Sir William Osler, mengambil sikap skeptis yang dikenal sebagai

'nihilisme' dan menganjurkan lebih banyak ketergantungan pada kekuatan

penyembuhan dari alam. Seperti sebelumnya, ini berarti bahwa pengobatan

simtomatik tidak didukung (Rainsford, 2016).

Ini bukanlah pandangan yang dibagikan oleh masyarakat umum tidak

dapat menemukan banyak bantuan dalam pengobatan ortodoks, banyak orang

beralih ke obat-obat tradisonal/jamu, yang mengabaikan seluk-beluk teori

medis dan langsung menuju inti permasalahan, dengan tegas menjanjikan

kesembuhan dari penderitaan. Karena sebagian besar ramuan ini mengandung

narkotika dan / atau alkohol dalam jumlah yang cukup tinggi, mereka
sebagian besar mampu memenuhi jaminan mereka. Dalam kasus nyeri yang

secara spesifik ditargetkan, penjual obat-obat tradisonal/jamu telah

menemukan penggunaan yang menguntungkan untuk morfin dan kokain yang

sebagian besar masih digunakan obat biasa karena alasan lain(Rainsford,

2016).

Penjualan obat penghilang rasa sakit meroket di seluruh dunia pada

paruh kedua abad kesembilan belas. Dengan cara ini, pengobatan sendiri,

selalu menjadi pilihan dalam sejarah pengobatan, menjadi tantangan yang

lebih serius bagi profesi medis yang berjuang tidak hanya untuk menegaskan

otoritasnya atas penyakit, homeopati dan praktik tidak teratur lainnya, dan atas

anggotanya sendiri, tetapi juga untuk mengatasi prasangka publik terhadap

dokter (Rainsford, 2016).

Terlepas dari kesulitan ini, sains dan kedokteran tetap

mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang proses penyakit yang

berpotensi meletakkan dasar untuk terapi yang lebih efektif. Para peneliti

berkonsentrasi pada penjelasan fisik atau kimiawi penyakit, dengan fokus

khusus pada sindrom umum suhu tinggi, kekakuan, pengecilan otot, denyut

nadi cepat, perubahan metabolisme, dan delirium yang umumnya dikenal

sebagai demam. Pengalaman dalam mengobati demam malaria sejak abad

ketujuh belas dengan kina (kulit kayu Peru) menyebabkan isolasi kina dari

kulit kayu pada tahun 1820. Meskipun tidak efektif dalam semua kondisi
demam, namun kina dianggap sebagai antipiretik terbaik, dan ahli kimia. di

abad pertengahan dengan penuh semangat mencari versi sintetik atau sesuatu

yang sangat terkait. Pencarian itu menghasilkan hasil yang tidak terduga: pada

tahun 1856 remaja Inggris William Henry Perkin, berharap mendapatkan kina

dari turunan tar batubara, malah menemukan ungu muda anilin dan

meluncurkan bukan lini baru zat farmasi tetapi industri zat warna sintetis.

Namun, tidak akan lama lagi, sebelum pembuatan obat dan pewarna kembali

berhubungan erat (Rainsford, 2016).

3) Salisilat

Asal usul aspirin (asam asetilsalisilat, ASA) sangat tidak berhubungan

dengan analgesik antipiretik lainnya. Sering diklaim bahwa aspirin hanyalah

versi modern dari pengobatan kuno, tanaman yang mengandung salisilat

seperti willow (Salix alba), meadowsweet (Spirea ulmaria), dan wintergreen

(Gaultheria procumbens) yang telah digunakan sebagai obat sejak zaman

kuno. Ketika ahli kimia organik dari awal abad kesembilan belas tertarik pada

tanaman ini, mereka dapat memperoleh banyak produk darinya, tetapi hanya

satu - salisin (salisil alkohol glikosida, penemuan yang dikaitkan dengan

Leroux pada tahun 1830), muncul dengan frekuensi apa pun dalam materia

medica, di samping bubuk kulit pohon willow (yang sebenarnya hanya

digunakan sejak Pendeta Edward Stone menggunakannya untuk mengobati

'ague' di abad sebelumnya). Kedua item tersebut digambarkan memiliki sifat


yang mirip dengan kina, dan ada harapan bahwa salicin akan terbukti seefektif

kina karena harganya yang jauh lebih murah. Namun, sebagian besar dokter

mengatakan salisilat kurang cukup (Rainsford, 2016).

Kulit kayu dan ekstraknya dianggap 'lebih rendah kekuatannya' dari

kina, dan kebutuhan untuk menggunakan dosis yang lebih besar untuk

mencapai efek yang sama membuat lebih mahal dalam jangka panjang.

Salisilat dengan demikian memiliki popularitas klinis yang terbatas, meskipun

pada tahun 1830-an ahli kimia dan fisiologi terus menemukan dan

mempelajari versi baru yang mengarah ke identifikasi asam salisilat di willow,

meadowsweet dan spirea oleh Piria, Löwig dan Gerhardt antara lain (Gross

dan Greenberg, 1948). Seorang dokter militer Italia, misalnya, ingin tahu

tentang nasib asam salisilat dalam tubuh, memeriksa urin subjek uji untuk

produk sampingan metabolik , dan pada tahun 1859 ahli kimia Jerman

Hermann Kolbe mensintesis asam salisilat dari fenol sebagai masalah yang

menarik dalam kimia organik . Namun, dalam kedua kasus, aplikasi klinis

tidak penting. Untuk 15 tahun berikutnya asam salisilat mendapat sedikit

perhatian dari dokter, tetapi menjadi pengganti kina sebagai upaya terakhir

(Rainsford, 2016).

4) Aspirin

Pada bulan Juni, Dreser menerbitkan studi farmakologisnya. Apa pun

pendapat aslinya tentang aspirin, artikel ini memberi obat itu laporan yang
cemerlang. Dia memasukkan temuan klinis para dokter dan kemudian

menjelaskan sifat-sifat aspirin seperti yang diamati dalam percobaan in vitro,

pada katak dan kelinci, dan pada dirinya sendiri. Menguji urinnya sendiri

untuk mengetahui keberadaan aspirin setelah menelan sampel obat, Dreser

tidak menemukan satupun meskipun ada bukti salisilat bebas. Dia

menyimpulkan bahwa aspirin melewati perut sebagian besar tidak berubah,

yang dalam pandangannya menjelaskan tidak adanya iritasi lambung. Aspirin

kemudian diurai di usus, di mana asam salisilat bebas menghasilkan efek yang

signifikan secara farmakologis (Rainsford, 2016).

Pada tahun 1902, menurut satu perhitungan, sekitar 160 artikel tentang

aspirin telah muncul, 'sebuah literatur begitu banyak sehingga hampir tidak

mungkin untuk meninjaunya'. Mayoritas artikel ini menyatakan obat tersebut

bermanfaat, dan khususnya merekomendasikannya sebagai pengganti natrium

salisilat dalam pengobatan rematik akut. Efek samping dosis terapeutik kecil

dan dapat ditangani, termasuk tinitus, ruam kulit, keringat berlebih, dan iritasi

lambung. Semua menghilang setelah beberapa jam, gangguan perut dapat

dihindari dengan meminta pasien minum cukup air atau dengan menyertai

obat dengan minuman asam seperti jus lemon, yang akan mencegah aspirin

membusuk sampai mencapai lingkungan alkali usus. Dreser sebenarnya telah

menunjukkan bahwa alkali menguraikan aspirin menjadi asam salisilat dengan


cukup cepat. Jika ini terjadi di perut, pasien akan menderita semua efek

samping yang menyebabkan asam salisilat terkenal (Rainsford, 2016).

Reaksi parah terhadap aspirin jarang terjadi. Bahkan dokter yang

melaporkan kasus toksisitas pada umumnya telah merawat ratusan pasien

tanpa insiden. Meskipun aspirin tampaknya hampir bebas risiko, Bayer tidak

menyetujui gagasan untuk mengiklankannya langsung kepada publik.

Tindakan seperti itu akan membahayakan status perusahaan sebagai produsen

etis (Rainsford, 2016).

Selain digunakan dalam kondisi rematik, aspirin, seperti

pendahulunya, ditemukan sebagai antipiretik, yang dapat diandalkan untuk

menurunkan suhu dalam kondisi seperti tuberkulosis, infeksi pascapartum,

dan tifus. Itu bahkan dianggap bermanfaat pada diabetes mellitus ringan

dengan mengurangi ekskresi gula urin; selain itu, anak-anak mengambilnya

dengan sukarela. Sebagai analgesik, aspirin digunakan untuk sakit gigi, nyeri

haid dan bahkan nyeri kanker tertentu, meskipun penerapannya dalam situasi

ini selalu diimbangi oleh kebutuhan untuk hubungkan pengobatan dengan

penyebab nyeri yang mendasari. Popularitasnya sebagai obat penghilang rasa

sakit umum dan obat sakit kepala, oleh karena itu, lebih besar di antara pasien

daripada dokter - yang cenderung memesan aspirin untuk sakit kepala yang

berasal dari 'diatesis gout' atau kondisi 'yang sesuai' lainnya. Pasien yang

diresepkan obat untuk sakit kepala gout mungkin, tentu saja, menemukan
bahwa obat itu juga bekerja pada sakit kepala akibat mabuk. Karena tidak ada

resep yang diwajibkan secara hukum, siapa pun dapat membeli aspirin hanya

dengan bertanya kepada apoteker. Yang membuat Bayer senang, publik

tampaknya sudah cukup sering bertanya. Pada tahun 1906, ketika aspirin

masih disebut-sebut sebagai 'antirematik' etis (Rainsford, 2016).

Aspirin dalam dekade sejak diperkenalkan menjadi begitu populer

sehingga tak tertandingi oleh obat lain. Karena Aspirin sifatnya yang mudah

dicerna, efeknya yang umumnya cepat dan berkepanjangan, dan di atas semua

itu, efek analgesik yang melekat dan menonjol pada semua jenis kondisi.

Dengan banyak penerapannya bahkan dalam keluhan kecil, Aspirin telah

memenangkan kepercayaan publik dan telah menjadi obat rumah tangga

dalam arti sebenarnya dari kata tersebut (Rainsford, 2016).

b. Farmakologi dan Biokimia

Aspirin dan salisilat telah dipelajari secara ekstensif untuk memahami

efek farmakologis dan toksikologisnya. Dalam banyak hal, salisilat telah

digunakan tidak hanya sebagai standar perbandingan, tetapi juga sebagai

prototipe untuk pengembangan NSAID dan agen antiradang analgesik

lainnya. Sungguh luar biasa bahwa hampir sebulan berlalu tanpa laporan yang

menunjukkan bahwa aspirin dan salisilat lainnya memiliki efek pada sistem

biokimia atau seluler yang baru ditemukan yang terlibat dalam beberapa

proses yang berkaitan dengan aktivitas klasik sebagai aktivitas anti-inflamasi,


analgesik atau antipiretik. Beberapa aktivitas baru yang sedang dieksplorasi

untuk aktivitas terapeutik potensial - mis. pencegahan pertumbuhan dan

perkembangan kanker, regulasi apoptosis atau melawan penyakit Alzheimer.

Pengamatan ini kemudian secara logis mengarah pada studi tentang efek agen

anti-inflamasi lainnya, atau pengembangan agen baru yang menargetkan

beberapa proses ini. Contoh terbaru termasuk efek aspirin dan salisilat pada

jalur transduksi sinyal yang mengontrol produksi siklo-oksigenase 2 (COX-2)

yang dapat diinduksi, metaloproteinase, sitokin, dan mediator lain dari

peradangan atau aktivasi seluler (Rainsford, 2016).

Secara filosofis, aspirin telah digambarkan sebagai obat 'anti-defensif'

oleh mendiang Harry Collier. Mungkin merupakan salah satu upaya pertama

dalam merumuskan aksi fundamental aspirin dalam satu konsep. Mudah untuk

memahami bagaimana konsep ini telah berkembang, karena inflamasi pada

dasarnya dianggap sebagai respons pertahanan tubuh terhadap infeksi. Sifat

anti-defensif aspirin jelas mencerminkan aktivitas antiinflamasi, analgesik dan

antipiretik gabungan yang melekat dalam obat ini. Penemuan selanjutnya dari

sifat farmakologis yang lebih baru (misalnya pencegahan kanker usus besar

dan aktivasi limfosit) mungkin menimbulkan tantangan pada konsep ini. Ini

karena jelas bahwa studi tentang pencegahan kanker usus besar, misalnya,

menyiratkan bahwa aspirin, seperti NSAID lainnya, mungkin membantu

proses ofensif tubuh untuk mengatasi pertumbuhan tumor dan menyebar ke


seluruh tubuh. Bagian dari tindakan ini mungkin berpengaruh pada fungsi

limfosit dan dengan demikian pengawasan kekebalan, serta efek langsung

pada pertumbuhan tumor dan metastasis. Oleh karena itu kita mungkin harus

memikirkan kembali konsep kita tentang tindakan aspirin sesuai dengan

keadaan penyakit yang diterapkan (Rainsford, 2016).

Hal mendasar untuk memahami cara kerja aspirin, seperti halnya obat

apa pun, adalah apresiasi pola absorpsi, metabolisme distribusi, dan eliminasi

(ADME). Salah satu ciri utama yang membedakan aspirin dari semua NSAID

dan analgesik lainnya adalah kemampuan obat ini untuk mengasetilasi

berbagai biomolekul, efek yang mendahului produksi salisilat dan karenanya

merupakan bagian integral dari metabolisme obat. Situs asetilasi di tubuh

sangat bervariasi, derajat tertinggi terjadi di saluran pencernaan bagian atas di

tempat di mana obat hadir dalam konsentrasi tertinggi setelah absorpsi, yaitu

mukosa saluran cerna, serta dalam sirkulasi yang melewati daerah saluran GI

ini. Pengakuan bahwa asetilasi siklo-oksigenase adalah bagian dari tindakan

aspirin yang tidak dapat diubah dalam memblokir aktivitas enzim ini,

ditambah dengan banyak pengamatan bahwa salisilat yang dihasilkan dari

aspirin memiliki sifat farmakologis yang unik, telah memunculkan konsep

bahwa ada mungkin dua obat menjadi satu dalam hal aktivitas farmakologis.

Intinya, oleh karena itu, aspirin dapat dianggap sebagai 'obat bifungsional'

(Rainsford, 2016).
Dengan demikian, nasib kelompok asetil menjadi bagian untuk

membentuk biomolekul asetil kovalen, termasuk asetilasi daerah dekat situs

aktif siklo-oksigenase, dan setengah molekul salisilat yang memiliki tindakan

farmakologis uniknya sendiri menekankan peran ganda aspirin. . Beberapa

orang mungkin menganggap aspirin sebagai 'pro-obat' salisilat, terutama saat

melihat penggunaan aspirin dalam pengobatan kondisi peradangan kronis

seperti rheumatoid arthritis, di mana aspirin dosis tinggi diberikan. Dalam

keadaan ini salisilat atau dimernya, salsalat atau diplosal, secara kasar

ekuipoten dalam mengendalikan manifestasi sendi, termasuk pembengkakan

jaringan lunak, dan pereda nyeri. Dengan demikian dapat dikatakan dalam

keadaan ini bahwa kontribusi penghambatan siklo-oksigenase untuk efek

terapi obat dalam mengendalikan nyeri dan pembengkakan sendi mungkin

kecil dibandingkan dengan tindakan yang melekat pada salisilat (termasuk

yang dihasilkan dari hidrolisis salisilat. dimer, salsalate) (Rainsford, 2016).

Aktivitas analgesik salisilat sebagian besar berada di lokasi perifer, dan

sebagian terkait dengan aktivitas antiradang obat ini. Ada juga komponen

penting dari aksi obat pada sistem saraf pusat. Efek antipiretik salisilat

terutama disebabkan oleh efek hipotalamus obat ini pada kerja pirogen

endogen pada reseptor suhu / area regulasi di wilayah sistem saraf pusat ini.

Sekarang telah diakui bahwa sebagian besar efek antiinflamasi, analgesik dan

antipiretik dari salisilat, seperti banyak NSAID, disebabkan oleh efek


penghambatan COX-2 dan iNOS yang diinduksi selama inflamasi, induksi.

rangsangan nyeri, dan respon pada tingkat tanduk dorsal dan pusat di sistem

saraf pusat dan di hipotalamus selama perkembangan demam. Meskipun efek

penghambatan salisilat pada aktivitas COX-2 tidak diragukan lagi memainkan

peran utama dalam regulasi peradangan yang dimediasi prostaglandin dan

respons lainnya, ada bukti yang meningkat bahwa penghambatan COX-1 juga

dapat berkontribusi pada anti-inflamasi dan mungkin tindakan analgesik.

Lebih lanjut, terdapat beberapa bukti bahwa, sementara COX-2 dapat

'mendorong' proses peradangan, dalam tahap perbaikan COX-1 mungkin

bertanggung jawab untuk memodulasi peradangan kronis, penghambatan

selektif yang dapat mengontrol peradangan granulomatosa (Rainsford, 2016).

c. Analgesik

Aktivitas Analgesik

Induksi, modulasi dan persepsi nyeri

Konsep terkini dari mekanisme nyeri nosiseptif menunjukkan bahwa:

1) Nyeri yang dimulai di perifer umumnya melibatkan berbagai tingkat

peradangan lokal

2) Nyeri dimediasi oleh jalur aferen sensorik

3) Modulasi dan integrasi jalur aferen terjadi pada tingkat sumsum tulang

belakang, batang otak, formasi retikuler, talamus dan akhirnya di korteks

sensorik-motorik
4) Respons eferen dari SSP melibatkan aktivasi saraf di periaqueductal grey

(PAG) dan dimediasi oleh aktivasi saraf ke bawah di batang otak dan

sistem tulang belakang, yang pada akhirnya mengintegrasikan sinyal yang

terutama melibatkan 5-HT, NA dan neuron opioid endogen (Rainsford,

2016).

Impuls saraf yang dihasilkan oleh stimulasi nosiseptor ditransmisikan

melalui serat A dan C ke sumsum tulang belakang dan batang otak. Nyeri

yang singkat, tajam, dan menusuk biasanya terlokalisasi di epidermis dan GI

serta jaringan mukosa lainnya. Jenis nyeri ini terbawa sepanjang serat A

mielin tipis dengan kecepatan 2,5 hingga 3,0 m / detik, memberikan transmisi

cepat rangsangan nyeri. Rasa sakit yang dalam, rasa terbakar atau gatal lebih

menyebar dan bertahan lebih lama dengan C dibandingkan dengan serat A.

Nyeri ini ditularkan oleh serat C yang tidak bermielin (Rainsford, 2016).

Gambar II.III Aktivasi Analgesik


Diagram yang menunjukkan jalur nyeri utama yang memediasi jalur

nyeri aferen (nyeri menaik) dan nyeri eferen (modulasi) dengan lokasi

produksi COX-2 dan oksida nitrat (NO) dari sintase NO di dorsal yang

ditunjukkan dan saluran spinotalamikus. Aspirin dan NSAID lainnya

memengaruhi aktivitas COX-2 dan NOS di tanduk dorsal, saluran

spinotalamikus, serta di pinggiran. Aspirin, salisilat dan parasetamol

menyebabkan peningkatan pergantian 5-hidroksitriptamin (5-HT, serotonin)

pada jalur serotonergik dan noradrenalin pada serat yang menonjol ke bawah

sehingga menyebabkan modulasi respons nyeri, dengan cara yang mirip

dengan, tetapi tidak identik dengan, opioid. Dan dimodifikasi untuk

menunjukkan situs COX-2, NOS, serotonergik dan nor-adrenergik dari efek

salisilat dan obat lain (Rainsford, 2016).

1) Mediator Nyeri

Kerusakan jaringan yang disebabkan oleh cedera, penyakit, atau

peradangan menyebabkan pelepasan bahan kimia algogenik atau algesik

endogen, dan ini dapat mencapai cairan ekstraseluler yang mengelilingi

nosiseptor, sehingga memediasi informasi tentang rangsangan yang

menyakitkan, yang menyebabkan hiperalgesia. Di antara mediator ini adalah

amina sel mast, kinin, substansi P dan neurokinin, prostaglandin E2 dan I2,

oksida nitrat, faktor pengaktif platelet adenosin dan sitokin, yang semuanya

dilepaskan selama respon inflamasi yang menyertai kerusakan jaringan.


Target efek NSAID adalah mengontrol produksi sel saraf dari prostaglandin

turunan COX-1 dan COX-2 (PGF2, PGE2; Ballou et al., 2000) yang bekerja

pada EP1, EP3, EP4 dan reseptor IP di aferen. jalur dan oksida nitrat,

meskipun efek tidak langsung terjadi dari obat-obat ini pada produksi

mediator yang mendasari reaksi peradangan di perifer, mengakibatkan

sensitisasi saraf dan inisiasi respons nyeri melalui stimulasi aferen (Rainsford,

2016).

2) Aktivitas Analgesik Salisilat

Sebagian besar mekanisme analgesik salisilat disebabkan oleh

tindakan antiradang perifer dari obat ini. Bukti untuk komponen semacam itu

berasal dari eksperimen perfusi silang yang elegan pada anjing Lim dan rekan

kejanya. Studi selanjutnya oleh kelompok yang sama menetapkan peran

bradikinin dalam respons nyeri yang ditimbulkan oleh rangsangan listrik dari

alas kaki kucing, dan efek morfin (analgesik yang bekerja secara terpusat)

dibandingkan dengan aspirin pada jalur sistem saraf pusat (SSP) yang terkait

dengan respon nyeri. Studi terakhir ini menyiratkan bahwa mungkin ada efek

SSP kecil dari aspirin, meskipun mode perifer jelas merupakan fitur dominan.

Studi oleh Dubas dan Parker (1971) tentang efek salisilat pada stimulasi

perifer (alas kaki) dan pusat (yaitu hipotalamus) (dari elektroda yang

ditanamkan) pada tikus menunjukkan bahwa mungkin ada komponen sentral

yang cukup besar dalam efek analgesik salisilat (Rainsford, 2016).


Peran yang dimainkan oleh prostaglandin E2 dan I2 dalam

memunculkan komponen pusat (mungkin vaskular) dari analgesia,

menunjukkan bahwa agen-agen ini dapat memediasi respons SSP tertentu dan

bahwa aspirin dapat melemahkan beberapa di antaranya. Bukti penting lebih

lanjut diperoleh bahwa aspirin dan salisilat mungkin memiliki efek yang

berbeda pada SSP yang dimediasi oleh mekanisme non-prostaglandin,

sebagian dengan menyebabkan perubahan pada tingkat otak 5-HT (serotonin),

sebuah neurotransmitter yang diketahui memiliki efek dalam memediasi rasa

sakit di jalur saraf pusat. Karena aspirin diketahui menghambat agregasi

trombosit dan trombosit merupakan sumber serotonin yang kaya,

dimungkinkan bahwa dengan mencegah akumulasi trombosit (yang terjadi di

SSP selama keadaan tertentu yang menimbulkan rasa sakit seperti sakit

kepala), aspirin dapat secara langsung mempengaruhi jenis penyakit tertentu

(Rainsford, 2016).

3) Mekanisme Respon Nyeri

Komponen utama dari apa yang digambarkan sebagai nyeri radang

disebut 'hiperalgesia', dan melibatkan sensitisasi ujung saraf tepi khusus,

nosiseptor, terhadap rangsangan mekanis dan atau kimiawi. Jalur transmisi

nyeri melibatkan sistem somatosensori. Ini memiliki dua komponen, yaitu

lemniscal (yang melibatkan transmisi neurotransmisi cepat ke korteks dan

medula dengan konsekuensi adaptasi cepat), dan sistem anteriolateral (yang


menginformasikan hewan dan mungkin pasien manusia tentang keadaan

cedera jaringan oleh termal, mekanis atau kimiawi. rangsangan; tanggul.

Beberapa jalur aferen yang terlibat dalam transmisi sinyal nyeri di batang otak

dan medula spinalis bersifat serotoninergik, dan karenanya menarik perhatian

pada efek aspirin dan salisilat pada produksi serotonin di SSP (Rainsford,

2016).

4) Pengobatan Analgesik
Gambar II.IV Obat Analgesik

d. Antipiretik

Antipirresis adalah respons umum dari reaksi peradangan. Konsep

terkini dari regulasi respon demam fokus pada pandangan bahwa kejadian

awal melibatkan pelepasan, mengikuti stimulasi leukosit dengan organisme

mikroba atau sebagai respon terhadap cedera, dari apa yang awalnya

digambarkan sebagai pirogen endogen tetapi sekarang diketahui terdiri dari


beberapa sitokin ( IL-1, IL-1, TNF, IL-6, IL-18, IFN-). Ini bekerja pada

reseptor di wilayah dekat dengan organum vasculosum laminae terminalis

(OVTL), berdekatan dengan hipotalamus, dan merangsang sintesis dan

pelepasan glutamat. PGE2 bekerja pada reseptor EP3, sebuah efek yang telah

terbukti tidak ada pada tikus yang kekurangan gen reseptor ini. Karena obat

selektif COX-2 (misalnya rofecoxib) tampak efektif sebagai antipiretik ada

kemungkinan bahwa PGE2 yang distimulasi oleh pirogen mungkin dihasilkan

melalui COX-2. Studi tikus knock-out COX-2 dan efek dari inhibitor COX-2

rofecoxib yang sangat selektif menunjukkan bahwa LPS dan sitokin pirogenik

mungkin memediasi tindakan mereka dengan mengatur produksi COX-2 dari

PGE2 (Rainsford, 2016).

1) Khasiat komparatif dari salisilat yang berbeda

Efek penurun suhu yang cukup kuat dari salisilat telah dikenal selama

berabad-abad. Bukti eksperimental pertama dari efek antipiretik salisilat pada

manusia diperoleh oleh Stone pada tahun 1763, dan kemudian ditunjukkan

oleh Buss pada tahun 1876 pada kelinci dan pasien dengan demam tifoid.

Aspirin yang dicerna secara oral memiliki 1,5 kali aktivitas antipiretik salisilat

(pada basis molar) dalam manusia Perbedaan lebih terlihat pada hewan

laboratorium, dan harus dicatat bahwa potensi aspirin tergantung pada jenis

formulasi yang digunakan, tidak diragukan lagi mencerminkan perbedaan

farmakokinetik persiapan tersebut. Di fl unisal memiliki sekitar 1,5 kali


aktivitas antipiretik aspirin pada tikus dan kelinci yang disuntik dengan

endotoksin bakteri, sedangkan studi klinis menunjukkan tentang potensi yang

sama pada manusia. Benorylate dan fenil ester aspirin memiliki aktivitas

antipiretik yang jauh lebih rendah pada tikus dibandingkan dengan aspirin,

tetapi fenil ester asam salisilat sebenarnya lebih kuat daripada asam induknya.

Studi pada hewan laboratorium biasanya merupakan eksperimen akut, yaitu

respon obat terhadap pirogen, biasanya ragi, yang disuntikkan secara

parenteral diikuti selama beberapa jam (Rainsford, 2016).

2) Cara kerja salisilat

Sofi dan rekan kerja (1973) telah menyelidiki efek pemberian aspirin

kronis dalam menurunkan suhu kaki belakang yang meningkat pada tikus

artritis adjuvan. Ini adalah model pyresis kronis yang mungkin memiliki

komponen lokal dan sentral yang cukup besar, karena hindpaw yang tidak

diinjeksi memiliki keluaran termal yang cukup besar serta kaki yang diinjeksi

adjuvan. Studi ini menggambarkan aspek pengaturan suhu: bahwa salisilat

memberikan efek perifer melalui efek pada komponen respirasi jaringan juga

pada hipotalamus, keduanya berkontribusi pada tindakan antipiretik total obat

ini. Jelas model yang dipilih, rute pemberian dan jenis pirogen yang

disuntikkan memengaruhi respons terhadap salisilat (Rainsford, 2016).

Prostaglandin E2 adalah mediator demam pirogen, dan bahwa agen

antipiretik seperti aspirin memberikan efeknya pada demam pirogen terutama


melalui tindakan penghambatannya pada produksi PGE2. Pandangan ini telah

diperhalus sejak itu, tetapi peran sentral dari stimulasi produksi PGE2 oleh

pirogen pada dasarnya adalah pandangan yang dipegang saat ini. Berdasarkan

studi pada prinsipnya dengan salisilat (yang meskipun in vitro tidak efektif

sebagai penghambat sintesis PG memiliki efek yang lemah secara in vivo) dan

beberapa penghambat selektif sintesis PG, Cranston dan rekan kerja

menyimpulkan bahwa tipe-E prostaglandin tidak sendiri memainkan peran

yang signifikan dalam demam atau termoregulasi hipotalamus. Studi oleh para

penulis ini dengan 2,4-dinitrofenol dan dengan analog salisilat telah

menunjukkan bahwa (a) pelepasan fosforilasi oksidatif bukanlah cara kerja

senyawa ini (karena suntikan intraventrikular 2,4-dinitrofenol gagal untuk

menginduksi anti-pirresis yang signifikan. ), dan (b) aspirin dan salisilat

adalah dua agen dari berbagai asam benzoat yang dipelajari yang

menunjukkan aktivitas antipiretik (Rainsford, 2016).

Aspirin telah terbukti dapat menghilangkan atau membalikkan demam

yang disebabkan oleh injeksi E. coli endotoksin atau pirogen leukositik

endogen (EP) ke dalam daerah anterior tikus yang sadar atau kucing yang

dibius dengan uretan. Studi menunjukkan bahwa baik pirogen dan aspirin

memberikan efek masing-masing di daerah pre-optic / anterior hipotalamus,

tetapi antipiresis bukan karena persaingan oleh aspirin dengan situs 'reseptor'

untuk pirogen leukosit. Reseptor pada neuron termoregulasi di wilayah otak


ini secara langsung ditentang oleh aspirin saat obat diberikan sebelum

pirogen. Bukti dari para penulis ini dan dari penelitian selanjutnya

menunjukkan bahwa tempat kerja aspirin dan salisilat berada di daerah

hipotalamus pra-optik / anterior(Rainsford, 2016).

Gambar II.V Obat Antipiretik

Injeksi iontophoretik salisilat atau asetilsalisilat ke dalam daerah

hipotalamus menyebabkan eksitasi neuron sensitif hangat, yang merupakan

sel yang menghasilkan hipotermia sebagai respons terhadap neurotransmiter.

Injeksi serotonin ke dalam hipotalamus menginduksi peningkatan suhu usus

besar tikus. Karena salisilat menginduksi peningkatan tingkat pemancar ini di

hipotalamus (sebagai konsekuensi dari perpindahan triptofan dari albumin, itu

tampaknya mengurangi perubahan kadar serotonin yang diinduksi salisilat.

penting dalam menginduksi hipotermia, dan mungkin antipyresis. Peptida


endogen tertentu (arginin vasopresin, neurotensin) telah ditemukan

menunjukkan aktivitas piretik di SSP. Hipertermia yang disebabkan oleh

pemberian neurotensin 10 g intracisternal pada mencit yang dipertahankan

pada suhu 6 ° C tidak diblokir oleh aspirin 100mg / kg s.c., tetapi dipengaruhi

oleh indometasin 5mg / kg s.c., karena indometasin menghambat sintesis

prostaglandin di dalam SSP serta di organ perifer sedangkan aspirin hanya

bekerja di perifer, tampak bahwa hipertermia yang diinduksi neurotensi dalam

keadaan dingin. lingkungan ditingkatkan dengan pengurangan prostaglandin

di SSP (Rainsford, 2016).

Sebagai kesimpulan, sementara salisilat mempengaruhi produksi yang

dimediasi sitokin di hipotalamus PGE2 sebagai bagian utama dari mekanisme

antipirresis mereka mungkin dengan memblokir tindakan NF B tidak mungkin

untuk menyatakan secara tepat apa yang lain. mekanisme terlibat dalam

tindakan antipiretik dari salisilat. Pembalikan hipertermia yang dimediasi PGE

(misalnya dari prostaglandin yang masuk ke dalam darah di hipotalamus dari

tempat yang mengalami peradangan) dapat membentuk aksi parsial aspirin

melalui pengaruh obat di jaringan yang mengalami radang. Salisilat juga dapat

membawa efek pada hipotalamus dengan mempengaruhi noradrenalin dan

omset 5-HT serta penekanan glutamat di OVTL (Rainsford, 2016).

Anda mungkin juga menyukai