6-Babak 1 (Lembaran Yang Usang PT 1)

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 7

Babak-1

Kebetulan yang Menyebalkan

Kepalaku masih kutaruh pada bantal mini yang kubawa dari rumah. Acara
pernikahan kemarin lalu, berangkat ke Sidoarjo pukul empat pagi dan jam
setengah lima pagi sampai dirumahku sendiri. Aku tidak menyangka bahwa
rumah kosong yang didepan rumahku adalah milik pria itu. Bayangkan, betapa
memalukan.. ah tidak. Maksudku, betapa beruntungnya aku berangkat sekolah
dengan pemilik sekolah itu duduk menyetir disebelahku.
Ponselku bergetar, membuatku terbangun begitu saja. Nama ibuku muncul
begitu saja, menampilkan pesan yang memberitahukan bahwa mereka akan
pulang malam. Setelah memastikan balasan untuk ibuku terkirim, aku kembali
memejamkan mata. Niatku untuk kembali tertidur hilang ketika pipiku disentuh
oleh benda dingin. Ternyata, Tasya membelikanku susu cokelat kesukaanku.
Padahal aku tidak meminta untuk dibelikan. Tumben..
“Buset Zar, berantakan banget wajahmu.”
“Entah, minum dulu nih.”
Aku menatap wajahku lewat layar ponsel. Rambutku yang mulai
memanjang itu terlihat begitu berantakan, ditambah dengan wajah kuyu seperti
orang yang belum makan saja. Kuambil susu pemberian Tasya. Sementara ketiga
temanku mulai fokus pada film mereka lihat lewat laptop milik Tasya. Aku sedikit
mengintip film horor yang berjudul ‘The Rings”. Karena, aku pribadi tidak
menyukai film horor, aku memilih untuk tidur lagi. Lagi pula, jam pelajaran
selanjutnya akan kosong karena rapat guru yang diadakan hari ini.
Hanya saja, tidur di kelas dalam keadaan tenang itu ibarat oasis di padang
pasir. Sangat jarang ada. Naufal mulai menyambungkan speaker kelas ke
ponselnya. Aku mengkerutkan dahi, menunjukkan moodku yang semakin hancur.
Lagu Senorita dari Shawn Mendes dan Camilla sudah pasti tidak dapat
membuatku tidur tenang. Kutatap Naufal yang sudah mulai asik berjoget sambil
menyanyikan potongan lirik itu. Naufal yang mengetahui tatapanku yang
menyeramkan hanya membalasnya dengan senyuman konyol.
Aku mulai menggerutu dalam hati. Pintu mulai terbuka, menampilkan
Balqis bersama Sherin yang baru saja kembali dari kamar mandi. Balqis berjalan
menghampiriku, pipinya memerah yang membuatku heran. Balqis segera
membisikkan beberapa kalimat yang membuat moodku naik seketika. Kuambil
sisir mini dari dalam tasku dan merapikan penampilanku. Ketiga temanku
menatapku dengan heran yang kubalas dengan mengedipkan sebelah mataku.
Mereka bergidik melihat kelakuanku yang kubalas dengan tawa receh khas
milikku.
Pintu kembali terbuka, kali ini dua kakak kelas bersama dengan wali kelas
baru kami. Seisi kelas mulai ricuh dan duduk rapi, termasuk Naufal yang lansung
mematikan musiknya sebelum kembali duduk. Ketiga temanku kini paham
penyebab aku yang lansung merapikan diri tadi. Salah satu kakak kelas yang
memakai kaca mata itu maju, mewakilkan temannya. Tapi mataku tetap saja
menatap orang disebelahnya.
“Jadi, maksud kedatangan kami disini untuk menyampaikan untuk acara
bazar di hari Jum’at besok...”
ASTAGA...
Aku tersentak kaget ketika orang yang sejak tadi kutatap membalas
tatapanku. Kakak kelas tersebut menampilkan senyum begitu saja sambil
membalas tatapanku. Pipiku terasa menghangat. Yayak menatapku dengan tatapan
khawatir, tangannya terulur memegang tanganku. Kali ini, teman kelasku diam-
diam ikut melirikku. Sudah rahasia umum di kelas kami, siapa saja yang menjadi
tambatan hati para siswanya. Karena itu, beberapa teman kelasku menatapku
dengan sedikit khawatir. Tidak seperti ketika mereka akan menyoraki nama teman
mereka jika pada kondisi saat ini. Itu karena..
“Sekian dari kami.”
Yah.. Aku sudah ditolak.
***
Mataku masih menatap pintu kelas yang tertutup. Padahal sudah ada wali
kelas yang kini duduk di depan. Yayak mulai menggoyangkan tubuhku, bersama
dengan Tasya yang memanggil namaku. Sayangnya pikiranku masih melayang
pada senyum milik kakak kelas tadi.
“Sumpah Yak, senyumnya Mas Adit bikin ambyar.”
“Zar, bangun Zar.”
“Zar, inget udah ditolak.”
Tanganku spontan melemparkan penghapus karet di atas meja ke arah
meja sebelah milik Bejo. Sial, moodku mulai buruk. Kutatap Pak Mada yang
hanya menggelengkan kepala melihat tingkahku. Kuucapkan maaf padanya, yang
dibalas dengan tawa kecil.
“Kalian sudah tahu belum, kalau hari ini pulang lebih cepat?”
“HAH?!”
“Eh, beneran?”
“Asekk, Go Food rek.”
“EH, MCD LANSUNG AJA.”
“EHEM!”
Suara ricuh milik anak kelas dengan mudah ditangani oleh Pak Mada itu
membuatku kagum. Biasanya hanya beberapa guru yang dapat membuat anak
kelas terdiam begitu saja. Aku mulai menyandarkan kepalaku ke bahu milik
Yayak sambil menunggu Pak Mada melanjutkan kalimatnya.
“Karena akan ada pertandingan bola di GOR, kalian harus pulang lebih
cepat.”
“Jangan main kemana-mana dulu, lansung pulang saja.”
“Soalnya, orang-orang yang berkerumun ditempat itu semakin membludak
kalau semakin sore.”
“Tapi, kami bosen pak kalau dirumah.”
“Yaudah, kita main ke rumah Pak Mada aja.”
Aku menggigit lidah, mendengar kalimat iseng yang baru diucapkan oleh
Rafi. Yayak spontan menoleh ke arah teman kami, membuat kepalaku yang masih
nyaman bersandar dibahunya menjadi oleng hingga hampir terpukul oleh
sandaran kursinya. Liza yang sejak tadi menatap Pak Mada dengan pandangan
terpesona mengangkat tangannya.
“Iya pak, biar kita semakin akrab.”
“Setuju!”
“Kita janji enggak nakal kok pak,” Bejo ikut menyetujui usulan itu yang
membuat anak sekelas ikut menyetujui juga. Ponselku yang masih dalam mode
getar menampilkan pesan dari ayahku.
‘Pulang nanti bareng sama Mas Raja saja, ada pertandingan bola di
GOR jadi hati-hati. Kalau sudah sampai rumah, bilang ya.’
“Iya, aku juga pengen lihat rumahnya Pak Mada,” Ujarku spontan begitu
saja setelah melihat chat yang dikirim oleh ayahku itu. Pulang bersama dia lagi.
Tentu tidak, aku lebih baik naik gojek saja. Ketiga temanku mengangguk
kepadaku, menandakan mereka ikut untuk pergi ke rumah Pak Mada.
“Yasudah, kalian bisa kerumah saya.”
Aku ikut bersorak bahagia bersama anak kelas lain. Bel istirahat kedua
berbunyi yang berarti tanda untuk pulang cepat. Setelah berpamitan kepada anak
muridnya, Pak Mada berjalan keluar. Devi menawarkan diri agar aku ke rumah
Pak Mada dengan dirinya. Aku hanya mengiyakan karena fokusku kini pada
pesan text yang kukirim pada ayahku.
//Hari ini, Zahra pulang cepat. Tapi, Zahra mau main ke rumahnya wali
kelas ya. Nanti pulang bisa pake ojol.//
//Iya, hati-hati.//
Aku tersenyum senang, ayahku memang perhatian sekali. Devi memegang
tanganku mengajakku untuk keluar kelas. Bertepatan dengan aku yang keluar
kelas, Yudhis juga keluar dari kelasnya.
“Mau kemana kamu sama anak kelasmu? Ramet banget.”
“Mau main ke rumahnya Pak Mada, numpang makan.”
Yudhis berjalan di sebelah kiriku itu tampak kaget, namun segera
menormalkan reaksinya. Kami bertiga sama-sama memilih diam. Ketika, kami
berjalan melewati ruang kepala sekolah untuk ke parkiran. Aku sedikit terkejut
melihat orang yang dibicarakan oleh ayahku keluar dari sana. Berpura-pura tidak
melihatnya, tanganku semakin erat menggandeng Devi dan Yudhis. Berusaha
menyembunyikan diri diantara tubuh tinggi kedua temanku. Yudhis
meminjamkan jaketnya kepadaku ketika mengetahui rok sekolah yang kupakai
hari itu pendek. Tentu saja, kuterima dengan senang hati. Aku dan Devi segera
berpamitan kepada Yudhis yang dibalas dengan lambaian tangan.
“Zar, buka maps cepetan!”
“Oke, bentar.”
“Bisa baca mapskan?”
“Tenang.. Kalau kesasar, kita nyasar bareng.”
“Kampret,” Tawaku meledak mendengar Devi mengumpat. Aku kembali
fokus keponselku, menatap jalur yang ditunjukkan aplikasi ketika sebuah
notifikasi pesan muncul dengan nomer asing. Karena, sedang sibuk memberi
panduan arah jalan untuk Devi kuabaikan saja pesan dari nomer asing tersebut.
“Zar, depan belok kanan apa kiri?”
“Kiri..”
“EH.. KANAN DEP, KANAN.”
“TELAT!”
***
Tanganku melepas helm milik Devi dengan tertawa, Devi hanya
menggelengkan kepala mengetahui aku masih tertawa. Setelah kejadian salah
belok tadi, untungnya aku dan Devi bertemu dengan Bejo yang tengah membeli
gorengan untuk anak-anak. Syukurlah, aku tidak membuat Devi kerepotan dengan
hal ini. Yah, sedikit membuat Devi kerepotan sebenarnya. Oleh, karena itu
kubelikan Devi Ichi Ocha di Indomaret sambil menunggu gorengan yangg
dipesan Bejo selesai.
“Pokoknya, lain kali pake asisten Google aja. Seenggaknya keluar suara,
biar aku bisa tau mana jalan yang benar, mana yang sesat.”
Aku mati-matian menahan tawa, sementara Devi mulai mendorongku
untuk masuk ke dalam teras rumah milik Pak Mada. Kami sama-sama terpukau
dengan taman yang berada di depan rumahnya ketika baru saja melewati pagar
kayunya. Beberapa anggrek terlihat digantung di dinding semakin menambah
kesan alami di rumahnya. Jangan lupakan aquarium besar, dengan sangkar
burungnya.
“Buset Dep, ini rumah apa bonbin?” Ujarku pada Devi.
Yayak dan Tasya yang melihat kedatangan kami melambai, menyuruh
kami segera masuk ke rumah. Kutinggalkan Devi yang masih menatap bunga-
bunga di taman. Dua temanku yang asik mengunyah kue kering itu menatap
kantong kresek bertuliskan Indomaret dengan berbinar. Setelah kutaruh ke meja,
aku menatap sekitar dengan aneh. Beberapa anak laki-laki tengah rebahan,
sebagian tengah asik mabar, sementara sisanya tengah asik bermain catur.
Beberapa anak perempuan juga sepertinya cukup sibuk di dapur milik wali kelas
kami itu. Hanya tersisa Tasya, Yayak, dan tiga perempuan lain yang sedang fokus
menonton film horor dari laptop milik Tasya.
“Lho, baru sampai Zahra?”
Aku mengangguk melihat Pak Mada datang sambil membawa beberapa
gelas sirup dingin. Kuhampiri Pak Mada, mengambil alih nampan ditangannya
untuk kutaruh di meja. Pak Mada juga duduk bersama anak-anak yang tengah
bermain catur. Aku menatapnya dengan seksama. Pandangan mata yang tajam
seolah tengah memikirkan strategi yang digunakan, alis tebalnya yang hampir
menyatu, dahi yang berkerut, bibir yang ikut menipis ditambah badan tinggi,
tegap dan... Astaga Zahra, dia wali kelasmu. Ingat, tidak boleh lemah dengan pria
tampan. Tipemu, adalah Min Yoongi dan Jeon Jungkook dari boyband BTS.
Jangan sampai, kamu terhasut oleh godaan pria tampan lagi.
Pada akhirnya aku lebih memilih pergi ke dapur. Bergabung dengan Sai
dan Rere yang tengah ribut memilih berapa sendok gula yang dimasukkan
kedalam mangkok untuk es buah. Tanganku mengambil buah naga yang belum
dipotong, lalu mulai mengupas dan memotongnya menjadi potongan dadu kecil.
“Dua sendok aja Re, biar enggak kemanisan.”
“Segitu, kurang manis.”
“Gak apa-apa, biar gak diabetes kok.”
Aku menoleh, menatap Yayak yang datang ikut bergabung dengan kami.
Diambilnya pisau yang kupegang. Setelah mencuci tangan, aku terigat tentang
pesan asing yang belum sempat kubalas. Tanganku mengambil ponsel dari saku
rokku. Mataku membelalak, menatap lima belas pesan dari nomer asing tersebut.
//Dimana?//
//Zahra, kamu dimana?//
//Sudah pulang?//
//Rumahmu sepi, belum pulang ya?//
//Tolong, segera dibalas ya?//
//Ternyata, dirumahnya si Mada ya kamu.//
Suara teriakan dari ruang tamu, membuatku panik ikut berlari bersama
yang lain untuk melihat apa yang terjadi. Yayak yang ikut berlari disebelahku itu,
berhenti termasuk aku yang hampir oleng jika tidak berpegangan pada Yayak.
Seorang pria dengan kaos hitam itu menarik perhatian semua orang, senyumnya ia
tampilkan sebagai permohonan maaf karena kedatangannya.
“Ngapain kamu kesini?”
Suara napas yang ditarik dengan paksa akibat rasa terkejut mendengar
kalimat informal yang diucapkan kepada sosok pemilik yayasan tempat kami
bersekolah dan menjadi tempat Pak Mada mengajar. Pria yang kupanggil Mas..
Eh maksudnya Pak Raja itu tersenyum lalu berjalan menghampiri Pak Mada. Aku
tersadar dari rasa terkejut segera bersembunyi dibelakang tubuh Yayak. Ya
Tuhan, kebetulan macam apa yang menyebalkan seperti ini.

Anda mungkin juga menyukai