Anda di halaman 1dari 2

Babak-1

Perkara Mantan

Suara tawa dari ruang tamu terdengar begitu keras hingga sampai di dapur. Aku
menatap Yayak yang mengeluarkan cookies dan menaruhnya didepanku. Kutatap uap panas
dari cookies tersebut. Devi yang baru saja muncul membawa toples kosong duduk
disebalahku. Aku menghela napas lelah, Devi yang disebelahku ikut menghela napas juga.
Yayak lalu menatap kami dengan pandangan heran. Hanya tersisa, tiga orang saja yang
menetap di dapur milik Pak Mada.
Tanganku memegang satu cookies yang masih sedikit panas lalu menggigitnya
sedikit. Suara ramai masih saja terdengar dari ruang tamu. Sejak, kedatangan Pak Raja anak
sekelasku semua mulai berusaha terlihat sopan. Tentu tidak bertahan lama, sampai Pak Raja
meminta mereka untuk tidak bersikap terlalu formal padanya. Setelah itu, beberapa anak
perempuan yang awalnya sibuk di dapur mulai terburu-buru menyelesaikan makanan yang
mereka buat. Oh, tentu saja aku berusaha untuk melambatkan pekerjaanku. Beruntungnya,
Yayak mendapatkan izin untuk membuat cookies dengan menggunakan oven milik wali kelas
kami.
“Mau pulang,” Bisikku pada mereka yang dibalas dengan mengiyakan permintaanku.
Devi tiba-tiba saja berkata ingin pergi ke kamar mandi, sementara Yayak yang mengantarkan
satu toples cookies buatanya ke ruang tamu. Meninggalkan aku yang tengah sibuk menata
sisa cookies. Awalnya semua biasa saja, sampai aku kembali mencium aroma melati lagi.
Kali ini, aromanya sedikit kuat dari pada yang kucium kemarin di acara pernikahan
sepupuku.
Mataku tertutup karena pandanganku yang pusing akibat wangi melati ini, sementara
tangan kiriku yang masih bersih dari serpihan cookies itu mulai memijit area diantara kedua
alisku. Aku mulai berhitung dari angka 1 sampai 10 lalu kembali mengulanginya lagi. Kursi
sebelah mengeluarkan suara gesekan, menandakan Devi sudah kembali duduk di sebelahku.
“Dep, pulang sekarang yuk.”
“Kamu mau pulang?”
Jika, hidupku bergerak layaknya animasi kartun spongebob yang sering kutonton.
Mungkin saja, jantungku sudah digambarkan meloncat keluar akibat rasa terkejut karena
orang yang sejak tadi ada dipikiranku kini duduk disebelahku. Sementara, Devi baru saja
keluar dari kamar mandi melewatiku dengan tatapan jahil. Lalu, kabur meninggalkan aku
sendirian dengan pria ini. Aku ikut berdiri, dari pada semakin membuat malu lebih baik aku
ikut kabur mengikuti jejak Devi. Mengetahui aku yang akan kabur, tangannya menarikku
untuk kembali duduk. Kutatap matanya dengan pandangan protes.
“Kalau kamu pergi, yang masukin cookiesnya ke toples siapa?”
YA BAPAK SAJA YANG MASUKIN!
Menahan rasa malu yang kini sudah diambang batas, kutarik toples kaca itu mendekat
dengan tangan gemetar kumasukkan sisa cookies tersebut. Sial, sial, sial sekali. Harusnya aku
menolak ikut ke rumah Pak Mada kalau tahu mereka itu berteman. Harusnya, aku pulang
bersama Yudhis saja. Aku yang masih asik menggerutu terkejut merasakan usapan di puncak
kepalaku. Tubuhku seakan kaku, bahkan bernapaspun seolah-olah aku lupa bagaimana
caranya. Melihat reaksiku karena ucapan yang dilakukannya membuatnya tertawa. Kutepis
tangannya, lalu kembali memasukkan cookies tersebut ke dalam toples dengan terburu-buru.
Wajahku mungkin sudah seperti kepiting rebus yang terlalu matang. Ah, sial kenapa
jantungku malah senam zumba lagi.
“Kamu lucu sekali kalau malu.”
Hah?! Apa katanya? Lucu?
“Bapak kenapa ganggu saya mulu?”
“Kamu lucu soalnya.”
“Saya tahu,” Ujarku dengan berpura-pura mengibaskan rambutku yang mulai panjang
sepunggung itu.
“Saya suka liat kamu,” Aku menoleh dengan cepat, membuat Pak Raja terkejut
dengan reaksiku. Kutatap matanya yang menampilkan sorot mata misterius yang aku yakini
dapat menarik perhatian banyak kaum hawa.
“Saya juga suka liat bapak,” Aku berujar sambil menutup toples, lalu berdiri diikuti
Pak Raja. “Soalnya, bapak ganteng.”
Pak Raja tertawa begitu saja. Seolah-olah yang kukatakan mengandung humor, tapi
itu fakta. Buktinya, hampir semua anak perempuan yang tadi sibuk di dapur lebih memilih
menatap wajah tampannya dari pada membantu mencuci alat masak tadi.
“Jadi, kamu suka saya ganteng atau jelek.”
“Saya lebih suka duitnya,” Satu usapan mendarat tepat di atas kepalaku, kali ini

Anda mungkin juga menyukai