Anda di halaman 1dari 4

KABAR DARI BAMBANG

Ratna Indraswari Ibrahim

Dini (wartawati di kota ini) masuk ke sembarang tempat praktik dokter (sudah hampir jam
sepuluh malam). Dini tidak bisa menanahan gatal, yang sudah menjadi bengkak di seluruh
tubuhnya (dokter itu sebetulnya sudah menutup pintu ruang praktiknya).
“Tadi makan udang? Di pernikahan sahabat Anda, berarti alergi udang hindari makan itu, ini
resepnya.”
“Saya tidak pernah alergi apa pun termasuk udang. O ya, saya harus mengejar deadline,
dokter apa bisa hilang dalam berapa jam lagi?”
“Proses obat biasanya bekerja enam jam setelah diminum, sebaiknya Anda tidur dulu, besok
saja mengetiknya.”
“Dokter, sebaiknya Anda memberi saya obat yang mahal, bukan generik, agar cepat sembuh!
Saya mengejar deadline untuk berita besok!”
Dokter Bambang tersenyum.
Peristiwa ini diingat Dini pada saat ini, karena pada waktu itulah, dia pertama kali bertemu
dengan Bambang (dia sudah menganggap lelaki yang lembut ini cocok menjadi jodohnya).
Pertemuan berikutnya, begitu dicari­cari olehnya (waktu itu umurnya sudah 28 tahun). Mama
mendesaknya berulang kali, agar secepatnya menikah! Hal itu, akhir­akhir ini memang sering
dibicarakan, bukan saja oleh mama, juga oleh papanya yang bisanya tidak pernah
membicarakan, “Saya kira ada banyak lelaki yang cukup akrab denganmu, mengapa tidak
kamu pilih salah satu dari mereka?”
“Mengapa Papa serius, apakah Mama yang menyuruh Papa berkata begitu?”
“Tidak, saya kira sudah waktunya kamu memilih jodohmu. Kami suka sekali kepada Kemal,
apakah tidak ingin serius dengannya?”
Dini membelalakkan mata, “Bagaimana mungkin, masih ada cerita Siti Nurbaya.”
Mama dari tadi diam, menyela pembicaraan mereka, “Kau tahu, adikmu Adit, sudah lama
pacaran dan tadi orangtua pacarnya menelepon kami, menanyakan keseriusan adikmu. Kami
tidak suka kamu didahului oleh adikmu. Sekarang pilih untuk dirimu sendiri atau kami yang
memilihkan. Kau tahu, kami menyukai Kemal! Kami percaya di antara sekian teman laki­
lakimu, dia bakal menjadi suami yang baik untukmu. Karena kau begitu keras kepala, sedang
Kemal kelihatan bisa sabar kepadamu.”
Dini tercengang dan papanya bicara dari ujung meja sana, “Ini masalah pelik bagi kami. Hal
itu tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Buat kami perempuan pada usia 28 tahun, belum
menikah dan masih meniti karier bukan masalah. Tapi, ketika adik laki­lakimu akan menikah
persoalannya tidak jadi sesederhana itu. Ini memang problem sosial. Kami tidak rela jika
orang melihatmu dengan mata penuh kasihan, karena adik laki­lakimu menikah lebih
dahulu.”
“Kalau adik mau menikah lebih dahulu, itu bukan masalah bagiku,” kata Dini hampir
berteriak.
Mama memeluknya dan malam itu papa, mama, Dini berjalan ke sembaramg arah sampai
larut malam!
Waktu itu, kenapa dia memilih Bambang. Dia tahu Bambang tidak memiliki teman dekat dan

1
lelaki itu kelihatannya begitu lembut sekali meskipun kelewat sensitive (Dini tidak akan
pernah suka lelaki yang dominan terhadap perempuan mana pun).
Setelah tiga bulan berteman dan jalan bersama, mereka menikah. Lantas, semuanya berjalan
baik­baik saja. Mereka baru saja memiliki seorang bayi perempuan, yang matanya sebagus
bapaknya.
MEREKA sudah menikah tiga tahun yang kadang­kadang mengherankan Dini, dia sering
melihat suaminya sendirian di teras. Dini tidak pernah tahu apa yang membuat suaminya
gelisah. Pernah ditanyakannya hal itu, tapi Bambang bilang dia cuma kepingin sendiri sesaat.
Dini menghormati privasi suaminya, sepaham dengan pendapat mamanya bahwa suami­istri,
masih butuh ruang pribadi yang tidak bisa dimasuki oleh pasangannya masing­masing.
Mereka masih suka ngobrol dengan topik yang melompat­lompat, tetapi tetap dengan interes
yang sama. Bambang seorang pembaca koran yang sangat teliti pada bahasa, di sisi lain
sebagai wartawati, Dini bisa keliru menuliskan atau mengeksplorasi sebuah bahasa dalam
wacana.
Yang lainnya, seminggu dua kali Bambang memang praktik di luar kota, jaraknya 80 km dari
kotanya. Bambang selalu bilang, “Bukankah kita bertemu pertama kali di kota itu dan
rasanya, aku punya ikatan emosional dengan pasienku.”
Buat Dini itu bukan masalah, Bambang juga tidak pernah melarangnya bekerja, tugasnya
sebagai wartawati juga sering berada di luar kota.
Hari ini, dia merasa ingin berbuat sesuatu untuk Bambang (hal yang tidak pernah dilakukan
sejak mereka menikah). Dia ingin menata koper kecil, yang selalu dibawa Bambang untuk
praktik di luar kota.
Dini merasa bermimpi yang sangat buruk! Dia menemukan di sela­sela jas­lab: baju
perempuan berikut alat­alat make up. Seharusnya pada waktu itu, dia mengamuk. Namun,
yang dilakukan Dini ingin menyelidiki dulu sebelum memutuskan perceraiannya dengan
Bambang. Yang pasti, Bambang sudah berselingkuh dengan perempuan lain! Dia ingin tahu
semodel apa perempuan yang bisa merebut hati Bambang (Dini merasa ada ledakan di
hatinya). Dia akan bersaing dengan saingannya!
Setelah Bambang menutup praktiknya. Dini mengikuti mobil Bambang yang kini di parkir di
sebuh kafe (pasti perempuan laknat itu sudah berada di sana). Apakah, Dini sedang
bermimpi? Yang memakai baju perempuan dan wig itu adalah suaminya yang dengan
kemayunya, tertawa bahagia bersama beberapa teman se­gengnya!
Dia tidak tahu bagaimana caranya, bisa pulang ke rumah. Cuma keasingan yang menyerbu
dirinya dan matanya basah sendiri. Kalau saingannya perempuan, dia sudah menyusun
strategi untuk mengalahkan saingannya. Jika, perempuan itu lebih cantik dari dirinya, dia
akan mencari potensi yang ada dalam dirinya, dia tahu Bambang melihat kecerdasan adalah
bagian yang indah dalam dirinya. Namun, saingannya bukan perempuan! Masalahnya lebih
dahsyat dari itu. Bisa jadi, Bambang seorang biseks yang mencintai laki­laki lain. Bambang
menangkap kesedihan itu dan berkata pelan, “Apakah, saya sudah menyakiti kamu? Saya
tidak pernah ingin menyakiti istriku.”
Semalaman, Dini menangis tanpa bisa menjawab omongan Bambang. Tapi, apakah ini naluri
kewartawanan? Dini mengikuti lagi Bambang keluar kota dan berharap itu cuma mimpi!
Sebab yang terjadi, dengan bahagia Bambang duduk di pojok kafe memakai baju

2
perempuannya, dia kelihatan begitu cantik! Lebih dari itu, di matanya yang indah terlihat
binar­binar kebahagiaan.
Dini merasa limbung, dia ingin menampar Bambang dan memakinya habis­habisan. Dini
kepingin segera bercerai. Tapi, ketika pulang ke rumahnya bayangan Bambang yang begitu
bahagia tersebar di mana­mana dan tiba­tiba, dia ingat sebuah buku yang sering dianjurkan
Bambang untuk membacanya, “Alangkah sulitnya kalau terjebak di tubuh laki­laki, sedang
kita adalah perempuan.”
Dini mencoba untuk menghilangkan perasaan jijiknya kepada Bambang. Sebetulnya selama
ini, sepanjang pernikahannya dengan Bambang, dia merasa punya sahabat dan seperti
layaknya setiap persahabatan, jauh dari pamrih. Selama ini, dia menafsirkan hubungan
mereka berdua sebagai simbol dari sebuah keluarga bahagia! Nyatanya ada sesuatu yang
begitu salah dan dahsyat di balik itu. Kemarahan semakin tebal setiap hari sehingga sulit
baginya untuk berbicara kepada siapa pun, juga pada mamanya (Padahal, dia selalu
menceritakan tentang apa pun pada mamanya, juga keanehan­keanehan Bambang).
Bodohnya, mereka tidak menganalisa lebih jauh kelakuan Bambang, padahal masalah ini
tidak sesederhana itu.
Beberapa minggu berjalan dengan begitu meyedihkan. Dini merasa Bambang tidak bisa lagi
jujur lagi! Sekalipun berulang­ulang Bambang berkata, “Saya juga bertemu dengan banyak
manusia dan pengetahuan itu membuatku tahu kalau kau sekarang tidak bahagia.”
“Aku selalu ingat waktu pertama kali ketemu kau di ruang praktikku, aku merasa seperti
ketemu adik perempuanku yang keras kepala, sensitive dan begitu cantik. Aku segera
menyukai kamu.”
“Sebagai adik perempuanmu?”
Bambang menganggukkan kepalanya.
Dini merasa tertekan dan sulit bernapas, dia menampar Bambang berulang­ulang, “Kamu
penipu kalau aku tahu kau seorang…, saya tidak pernah mau menikah dengan kau, ini
sungguh menjijikkan dan Adnan sebagai pengacara yang akan mengurus perceraianku
denganmu.”
Bambang menggelengkan kepalanya, “Aku tidak bermaksud menipumu. Aku sebetulnya
kepingin menjadi perempuan seperti kau, tapi keluargaku begitu mencintaimu! Berharap aku
segera menikahimu sebagai laki­laki. Aku memang tidak pernah berani mengatakan siapa
sebenarnya diriku sejak akte kelahiran, KTP, dan STTB bahkan namaku adalah laki­laki.”
Bambang menangis.
Lama mereka terdiam dan malam itu mereka memutuskan bercerai dengan baik­baik.
Sebelum Bambang keluar dari kamar ini, dia berkata pelan, “Kau tahu temanmu yang suka
mengantarmu kesini, menyukaimu! Aku selalu takut jika kau akan mendapat suami yang
suka kasar kepadamu.”
Dini melihat, “Saya ingin tetap kau menjadi kakakku bukan saja demi anak kita tapi juga
demi aku, kau tahu aku tidak pernah bisa care pada orang lain.”
Bambang tersenyum dan menciumnya sekilas.
Beberapa hari kemudian, dia mendapat surat dari Bambang.
Dini, yang saya sayangi,
Saya memutuskan untuk pindah Negara dan saya sangat bahagia sekali karena kau bisa

3
menerima aku seutuhnya dan kau berjanji untuk tidak menceritakan hal ini pada anak kita
sampai dia dewasa. O ya, pada sahabatku dokter Kemal (aku tahu dia menyukaimu) aku perlu
menceritakan semua tentang kita….
Dini yang baik,
Maaf, aku sudah mengatakan pada Kemal, aku akan merasa bahagia jika dia mau menikahi
kau. Mudah­mudahan sebagai kakakmu keinginan ini wajar dan didengar oleh Tuhan.
Beberapa tahun yang lampau, bukankah kau dijodohkan dengan Kemal, tapi kau merasa
harga dirimu terbanting dan kau juga merasa dirimu Siti Nurbaya yang harus kawin paksa.
My dearest, Dini.
Aku sendiri akan pergi dari satu negeri ke negeri yang lain dan mencoba mengerti tentang
diriku sendiri. Berharap di tempat lain akan kutemukan sebuah tempat dimana aku bisa
diterima seutuh­utuhnya. Aku selalu ingat kau sebagai perempuan yang aku sayangi dan
tentu saja aku akan tetap menyayangi anak perempuanku.
Salamku.
Kadang­kadang Bambang masih mengirim e­mail kepadanya dan setiap menerima surat
Bambang dia merasa seperti menerima surat dari orang yang menyayanginya. Dia bayangkan
Bambang (yang disayanginya) mengembara dari negeri satu ke negeri yang lain mencari jati
dirinya. Dan mencari tempat yang lebih baik, bukan saja bagi dirinya, bisa jadi juga untuk
Dini dan anaknya (Dini selalu sedih membaca e­mail­nya).
Akhirnya, Dini menelepon Kemal dan semuanya seperti sudah direncanakan, Dini menikah
dengan Kemal!
Sore itu, anak kedua dari hasil pernikahannya dengan dokter Kemal, lahir!
Dini ingin sekali Bambang tahu hal ini!

Malang, Januari­Mei 2003

Anda mungkin juga menyukai