Anda di halaman 1dari 3

Mencuri Prestasi

Cerita dari Wisnu Aimariyadi

Bersekolah di sekolah penuh prestasi, menjadikan beban Anya dan Ola semakin
berat. Pasalnya, semua siswa selain mereka berdua mempunyai pencapaian dalam
bidang masing-masing. Tak jarang Anya dan Ola dibuat terpojok oleh para guru atas
kegagalan mereka.
Akan tetapi, Anya dan Ola tampak biasa saja. Mereka merupakan sahabat yang
cukup akrab. Support dari masing-masing menjadikan mental mereka sekuat baja.
Suatu hari, petugas sekolah menempelkan kertas pengumuman di mading
sekolah. Tak disangka, kertas itu berisi pengumuman bahwa Ola telah memenangkan
lomba literasi nasional.
“Keren juga si Ola, gue kira dia gak bisa apa-apa. Eh ternyata… Sekali ikut
lomba ginian, langsung juara. Gak kaya yang satunya tuh,” ujar seorang siswa.
Anya kesal. Dia pergi meninggalkan Ola. Ola mencoba untuk memanggilnya,
namun Anya tak menghiraukannya. Ola mengejar Anya. Sayangnya, dia telah
kehilangan jejaknya.
Anya menangis sendirian di dalam toilet. Rasa kecewa terhadap temannya
memicu kesedihan yang mendalam. Dia merasa, Ola telah mengingkari janjinya
(padahal gak ada janji-janjian sih).
Menjelang sore, bel pertanda pulang dibunyikan. Dalam perjalanan pulang, Anya
masih menangis. Dia tidak menyangka bahwa sahabatnya telah mengkhianatinya.
Tiba-tiba, Anya terpikirkan sebuah cara untuk menghadapi semua ini.
Di rumah, dia segera menuju kamarnya dan meraih handphone-nya. Dia
membuka google lalu mengetik ‘lukisan terbaik siswa-siswa SMA’. Setelah memilah-
milah lukisan yang dirasa paling indah, dia mengunggah lukisan tersebut ke media
sosial dan mengaku bahwa itu hasil karyanya.
Tak lama, ada bunyi notifikasi masuk dari handphone-nya. Dia melihat ada yang
memberikan like pada postingannya. Waktu pun berjalan, hingga postingannya
mencapai 1000 likes. Bukan hanya itu, banyak sekali komentar positif dari teman-
temannya di sekolah.
Popularitasnya pun meningkat. Followers akun media sosialnya semakin
bertambah. Karena hal ini, dia kembali mengunggah sebuah lukisan (tentu saja ini
bukan punya Anya). Dia mengunggah lukisan tersebut dengan caption:
“Selamat menikmati karya tangan kiriku.”
Postingan ini sontak membuat followers Anya takjub dengan ‘kemampuannya’.
Mereka tak menyangka bahwa Anya ‘bisa’ melukis menggunakan kedua tangannya.
Tak ada sedikit pun masalah yang muncul atas perilakunya itu, hingga suatu hari,
kepala sekolah menyuruh Anya untuk pergi ke ruangannya.
“Jadi gini Nya, sekolah kita akan menjadi tuan rumah acara Pentas Seni Nasional.
Nah, bapak mau kamu melukis secara langsung di atas panggung. Kalau kamu
bersedia, kamu akan mendapatkan beasiswa kuliah dari pihak penyelenggara lho!”
ujar kepala sekolah.
Anya kaget mendengar tawaran itu.
“Jadi gimana? Kamu mau nggak?” celetuk Kepala Sekolah.
“Erghh… Saya pikir-pikir dulu ya pak?” tawar Anya.
“Oke, jangan lama-lama ya.”
“Iya pak,” ujar Anya.
Anya bingung mengenai apa yang semestinya dia lakukan. Saat berjalan menuju
kelas, dia berpapasan dengan Ola.
“Ola!” seru Anya.
“Oh, hei!” seru Ola membalas sapaan Anya.
“Kamu sibuk nggak?” tanya Anya.
“Nggak, ada apa?”
“Ikut aku yuk bentar!”
“Ke mana?”
“Ikut aja dulu!” kata Anya sambil meraih tangan Ola dan menariknya ke toilet.
Sesampainya di toilet, Ola disuruh menunggu sebentar. Anya keluar dan
kemudian masuk membawa sebuah batu di tangannya.
“Minggu depan, sekolah kita ada acara Pentas Seni Nasional. Aku diminta oleh
kepala sekolah untuk melukis di atas panggung,” terang Anya.
“Bagus dong, terus kenapa?” tanya Ola yang masih kebingungan
“Sebenarnya, aku gak bisa melukis. Lukisan itu, Aku mengambilnya dari
internet.”
“Ini beneran Nya? You’re joking, aren’t you?” ucap Ola yang terkejut dengan
pengakuan Anya.
“Ini beneran.”
“Lebih baik kamu jujur aja deh Nya.”
“Nggak segampang itu. Malu-maluin!”
“Terus, kamu punya ide yang lebih bagus?”
“Itulah kenapa kita ke sini. Aku mau kamu pukul tangan aku jadi aku punya
alasan untuk tidak mengikuti pentas seni itu,” pinta Anya kepada Ola sambil
memberikan batu itu.
“Nggak, aku gak bakalan mau! Lebih baik kamu ngaku aja deh!”
“Ah, terserah lah!” Anya memukul tangan kanannya dengan batu dan dia pun
berteriak kesakitan.
Siswa-siswa di sekitar toilet segera menuju ke sumber suara.
“Ola yang ngelakuin ini! Dia yang mukul tangan gue!” ujar Anya dengan tangan
yang masih kesakitan.
Ola yang mendengar hal tersebut, hanya bisa terdiam dan menangis. Dia tidak
menyangka bahwa Anya bisa setega ini. Ola pun pergi meninggalkan mereka.
“Kamu gak papa Nya?” tanya salah seorang siswa.
“Ya nggak lah! Udahlah, aku mau ke UKS dulu,” ujar Anya kepada siswa yang
lain.
Sesudah dari UKS, dia pergi ke ruangan kepala sekolah dan menjelaskan bahwa
Ola telah memukul tangannya karena dia iri atas pencapaian Anya (tentu saja itu
bohong).
“Jadi gitu pak. Saya mohon Ola gak usah dihukum. Sepertinya dia depresi pak.
Dan juga, sepertinya saya gak bisa ikut acara pentas seni itu deh pak,” terang Anya.
“Eh kata siapa? Kan yang luka tangan kanan kamu. Kamu kan bisa melukis pakai
tangan kiri. Gak ada alasan untuk menolak Nya, beasiswanya lumayan loo,” kata
Kepala Sekolah.
Anya terdiam. Ingin rasanya Anya menampar wajahnya sendiri atas
kebodohannya.
“Jadi, gimana? Bisa nggak?”
“Baiklah pak,” kata Anya. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan
Hari yang ditunggu pun tiba. Anya berkeringat dingin menunggu gilirannya
tampil.
“Dan sekarang, kita akan menyaksikan penampilan seorang pelukis ulung yang
luar biasa. Siapakah dia? Mari kita panggil, Anya!!” ucap sang pembawa acara diikuti
dengan kemeriahan para penonton.
Anya naik ke atas panggung dengan ekspresi muram.
“Kamu akan melukis apa hari ini?” tanya si pembawa acara.
“Erghh… Aku… akan melukis…. Bunga matahari,” ujar Anya terbata-bata.
“Kenapa kamu melukis bunga matahari? Apakah ada suatu ikatan batin antara
kamu dengan bunga matahari?”
“Erhh… gak ada sih,” kata Anya ragu-ragu.
“Baiklah. Berikan tepuk tangan yang meriah untuk Anya!!”
Anya mulai melukis di atas panggung. Tangan kirinya menggerakan kuas dengan
gemetar. Waktu berjalan. Penonton dipenuhi dengan rasa heran karena lukisan Anya
tidaklah lebih bagus daripada lukisan anak TK.
Mungkin tangan kirinya juga sakit, jadi gak bisa maksimal….
Para penonton mencoba untuk berpikiran positif. Tiba-tiba, ada satu siswa yang
naik ke atas panggung.
“Pencuri! Semua lukisan itu bukanlah karyamu! Itu adalah salah satu karya
temanku di Thailand!” ujar salah seorang siswa sekolah lain.
Anya memasang raut wajah kebingungan. Seolah-olah dia tidak tahu apa yang
terjadi.
“Apakah kamu punya bukti hah!?” cela kepala sekolah.
“Ini adalah foto temanku dan lukisannya!” ujar siswa tersebut sambil
menyodorkan handphone miliknya.
“Kamu jangan sembarangan ya! Siswa kami semuanya jujur! Kalau kamu iri
dengan pencapaian sekolah kami, gunakanlah cara yang adil! Jangan asal tuduh!
Lebih baik kamu keluar dari sini!” ucap kepala sekolah membela Anya.
Siswa tersebut kesal. Siswa yang lain pun menyorakinya agar cepat pergi.
Anya hanya bisa menangis dan terdiam.
“Anya,” ujar kepala sekolah lembut,”Kamu tidak perlu sedih, dia hanya iri
dengan pencapaian sekolah kita. Lukisan kamu bagus kok! Penuh makna abstrak!
Kamu adalah orang yang jenius! Semuanya, mari kita beri semangat kepada Anya!!”
Seisi sekolah memberikan tepuk tangan respect kepada Anya. Selain itu, pihak
penyelenggara bersedia untuk memberikan beasiswa kuliah kepadanya. Sungguh,
cerita yang ‘membahagiakan’!

Anda mungkin juga menyukai