Anda di halaman 1dari 7

Nama : Yani Rahmawati

Kelas : IX C
No.Absn : 32

A Thousand Sakura Petals

Musim ini sakura bermekaran dengan indah…


Seorang perempuan terlihat sedang duduk di kursi taman bunga central park. Parasnya yang
lembut menambah kecantikan sang gadis. Perempuan itu duduk tepat di hadapan pohon sakura
yang sedang bermekaran. Tapi, walaupun perempuan itu disuguhi pemandangan bunga sakura
yang indah, raut wajahnya terlihat sedih ketika memandang kelopak sakura yang mulai berjatuhan
itu. Ekspresinya menggambarkan kesedihan, kepedihan, dan rasa putus asa akan sesuatu yang
mungkin tak akan ada satu orang pun yang mengerti.
Nama gadis itu adalah Ageha. Sebulan yang lalu, dokter memvonis bahwa Ageha positif
terkena kanker hati akut dan sudah masuk stadium akhir. Dan dia hanya menunggu sisa-sisa
hidupnya sebelum ajal menjemput. Ageha putus asa dan ingin mengakhiri hidupnya. Tapi, berapa
kali pun ia melakukan percobaan bunuh diri. Usaha yang ia lakukan selalu gagal oleh beberapa hal
yang selalu menghalanginya.
Suatu hari dokter menyarankan untuk menjalani operasi, tapi kemungkinan untuk berhasil
sangatlah sedikit dan taruhannya adalah nyawa Ageha sendiri. Ageha sangat sedih dan merasa ia
takkan bisa sembuh juga tidak akan bisa bersekolah seperti dahulu. Dia marah kepada tuhan,
Kenapa engkau memberikanku cobaan yang sangat berat? Aku tak ingin meninggalkan ibuku
sendirian. Kenapa engkau begitu tega memberikanku penyakit yang sangat mengerikan ini, tuhan.
Jika engkau mencabut nyawaku, lalu ibuku bagaimana? Aku tak mau melihat ibuku terus menangis
karena kepergianku. Batinnya.
Sekarang Ageha duduk di kursi taman central park, sembari merenungkan nasibnya kelak
dan berusaha untuk menentukan pilihan, dioperasi atau tidak.
Dari kejauhan, terlihat seorang pemuda berdiri memperhatikan seorang perempuan sedang
duduk dengan raut wajah sedih melalui kelopak sakura yang berjatuhan. Ia memandang perempuan
itu dengan penuh tanya. Sedang apa gadis itu? Batinnya. Ia mendekati perempuan tersebut,
semakin mendekat raut wajah pria itu berubah menjadi terpesona. Ia tidak terpesona dengan paras
perempuan tersebut, melainkan pandangan sedih akan gadis tersebut. Ia merasa ditarik oleh mata
sayu itu. Mata yang berwarna hitam kehijauan tajam tersebut. Perlahan ia berjalan mendekati
perempuan itu, ketika ia mulai berada di dekatnya…

Tess… tess…
Ia terkejut melihat air mata yang mengalir dari pipi gadis itu. Ia terpana akan tangisan yang
ditahan gadis itu walaupun air matanya tak tertahankan lagi. Ia pikir, gadis ini mengalami hal pahit
yang membuatnya sedih. Saat itu dia seakan ingin rasa pahit gadis itu cepat sirna dan dia ingin
melihat seulas senyuman terlukis di bibirnya.
“Kamu tak apa-apa?” Ageha menoleh, ia mendapati sosok laki-laki rupawan yang
menyodorkan sapu tangan kepadanya sambil tersenyum lembut. Ageha meraih sapu tangan itu
dengan senyum kecil di bibirnya.
“Aku… tidak apa-apa,” jawabnya, sembari menyeka air matanya.
“Sedang apa kamu sendirian di sini? Dan… kenapa kamu menangis?”
Ageha diam. Laki-laki itu menyadari kata-katanya yang sangat tidak sopan untuk seseorang
yang baru saja bertemu. Ia pun mulai mencari kalimat yang dapat menghibur Ageha.
“Maaf, jika aku asal tanya. Oh iya, namaku Ryuga. Salam kenal.” Sahut laki-laki itu dengan
senyuman lebar di bibirnya.
“Aku Ageha. Salam kenal juga.”
“Wah… nama yang indah. Hm… kupu-kupu ya… indah sekali. Menurutku… kupu-kupu
itu adalah hewan yang cantik,”
Kening Ageha mengerut. Apa dia baru saja menggodaku?. Batinnya.
“Oh, maaf. Jika aku berkata yang tidak-tidak. Tapi kenapa kamu menangis sendirian di sini.
Apa tidak bahaya, di sini banyak orang mabuk, lho.”
“Tidak. Aku hanya ingin berfikir jernih saja. Lagi pula rumahku ada di dekat sini.”
“Benarkah? Rumahku juga ada di dekat sini. Aku baru pindah, makanya rumahku agak
berantakan. Jadi
aku malas di rumah. BE-RAN-TAK-AN sekali.”
Ageha merasa geli dengan perilaku laki-laki yang ada di hadapannya ini. Tapi ia pikir,
lelaki ini bukanlah orang jahat. Senyuman tersinggung dari bibir Ageha.
“Kenapa tersenyum. Emang ada yang lucu dari aku?”
“Tidak. Tidak ada, kok. Aku hanya heran, dari semua orang yang melewati taman ini dari
tadi. Tidak ada
satu pun yang berani menyapaku. Tapi… aku salut dengan keberanian kamu untuk
menyapaku.”
“Yah… tidak usah sungkan-sungkan. Aku orangnya memang seperti ini. Tidak bisa melihat
seorang perempuan menangis begitu saja.”
Ageha tersenyum.
“Makasih karena kamu sudah menghiburku. Aku mau pulang dulu, sampai nanti,” “Eh,
kapan-kapan ketemuan lagi ya.”
Ageha meninggalkan Ryuga dengan senyumannya. Ryuga menatap sosok Ageha yang
perlahan hilang ditelan kegelapan malam dihiasi bulan yang indah.
Keesokan harinya, Ageha pergi ke sekolah untuk menimba ilmu. Tapi, karena panyakit
yang diidapnya. Dia tak ingin turun sekolah. Tapi ibunya memaksanya untuk tetap bersekolah dan
mencari hal yang dapat menenangkan hati dan pikirannya. Karena tak ingin menyakiti hati ibu
untuk kedua kalinya. Akhirnya Ageha pergi ke sekolah dengan perasaan tak enak mengganjal di
hatinya. Sesampainya di sekolah, Ageha langsung disambut oleh kerabat baiknya dengan raut
wajah simpati atas apa yang menimpanya. Dan hal itu membuat Ageha kesal, sangat kesal. Ia tak
ingin teman-temannya menganggap bahwa ia sebentar lagi akan meninggalkan mereka.
“Ageha, aku turut prihatin dengan keadaan kamu.”
“Iya, aku juga. Bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat di mana kita bisa menikmati
masa-masa terakhir kami denganmu.”
“Iya. Kami tidak ingin kamu pergi, Ageha”
“Sudah cukup!!!!! Aku tak ingin medengarkan omongan kalian tentang aku akan pergi atau
tidak. Kalian seperti mengharapkan aku lekas mati! Seharusnya kalian memberikanku semangat
untuk hidup! Bukan sebaliknya!” Bentaknya.
Semua murid yang ada di kelas menatap Ageha dengan pandangan yang menusuk. Tanpa
peduli, ia berjalan melewati teman-temannya, dan duduk di kursinya. Setelah inisiden itu, guru
yang mengajar fisika pun masuk ke dalam kelas. Ketua kelas langsung memberikan aba-aba
kepada semua murid untuk memberi hormat.

“Berdiri,”
“Beri hormat,”
“Selamat pagi, pak.” Ucap semua murid yang ada di dalam kelas.
“Selamat pagi. Ya, anak-anak. Hari ini kalian mendapatkan teman baru.”
Seluruh murid mulai bergemuruh.
“Tenang… tenang! Dia adalah murid pindahan dari Tokyo, jadi kalian semua harus
membantunya beradaptasi di lingkungan sekolah.”
“Baik pak…”
“Ya, bagus. Kalo begitu silahkan masuk, Suzuki.”
Lelaki muda berbadan tegap dan berbahu bidang yang tampan masuk ke dalam kelas. Dia
adalah murid baru yang diungkit guru tadi. Ketika laki-laki itu masuk, semua perempuan yang ada
di dalam kelas tercengang. Melihat betapa gagahnya murid baru itu. Dan mulai bergemuruh.
“Tenang semuanya! Jangan ribut! Ya, silahkan suzuki. Perkenalkan dirimu.”
“Baik. Perkenalkan nama saya Suzuki Ryuga. Kalian bisa panggil saya Ryuga, mohon
bantuannya.”
Ageha yang sedang memasukan buku pelajarannya ke dalam laci. Merasa mendengar nama
yang tak asing di telinganya. Ia kemudian menoleh ke anak baru yang berdiri di depan kelas itu.
Dan ia langsung tahu bahwa murid baru itu adalah lelaki yang ia temui malam tadi. Tapi reaksi
Ryuga ketika melihat Ageha sangatlah dingin. Dia hanya melihat Ageha dengan pandangan dingin
dan kembali berkonsentrasi dengan seisi kelas.
“Terima kasih. Kamu bisa duduk sekarang.”
Ryuga berjalan melalui bangku-bangku murid lain dengan tatapan berbinar dari para gadis.
Ia menemukan bangku kosong di belakang Ageha, dan ia berjalan menuju bangku kosong itu. Saat
mereka berpapasan, Ageha hanya tertunduk diam dan mebiarkan laki-laki itu melewatinya serta
duduk di belakangnya.
Ternyata semua laki-laki sama saja. Batinnya.
Guru fisika yang sering dipanggil Nakao sensei itu mengabsen semua murid yang ada di
dalam kelas.
“Abbechi?” “Hadir.”
“Ageha? Apa Ageha hadir?”
“Saya hadir, sensei.” Jawab Ageha.
Guru tersebut memandang Ageha yang tertunduk diam. Sewaktu dokter memvonis bahwa
ia kena kanker hati. Ageha tidak pernah masuk sekolah. Dan walaupun masuk sekolah, ia tidak ada
di dalam kelas. Melainkan di atas atap.
“Ageha, nanti bisa ikut saya ke kantor guru?” “Iya, sensei.”
Ageha beranjak dari tempat duduknya, diikuti pak Nakao. Tapi sebelum keluar, pak Nakao
berpesan kepada muridnya.
“Anak-anak, kalian saya tinggal sebentar. Kalian self–study saja. Kalau begitu bapak
permisi.” “Baik, sensei.”
Ketika pak Nakao dan Ageha meninggalkan ruangan kelas 3-2, seluruh murid yang ada di
kelas langsung ribut dan siswi perempuan mulai mengerubungi Ryuga. Bertanya-tanya apa dia
punya pacar, rumahnya di mana, alamat E-mailnya apa, serta tipe perempuan yang ia sukai. Ryuga
menanggapinya denga santai, ia menjawab semua pertanyaan yang di berikan oleh semua siswi
perempuan yang nge-fans dengannya. Sementara siswa laki-laki mulai mendekati Ryuga dan
mengajaknya bergaul dan dia langsung berbaur dengan mereka. Sebuah kalimat muncul di
pikirannya. Ternyata gadis yang kutemui malam tadi bersekolah di sini. Aku tak menyangka itu.
Tapi melihat dari ekspresi wajahnya, sepertinya ia terkejut dengan perlakuanku yang sangat
berbeda dari malam itu. Dasar perempuan bodoh, perempuan memang mudah dikelabui. Batinnya.
Sementara itu di kantor guru. Ageha terduduk diam dengan wajah tertunduk. Di depan
Nakao sensei terdapat tumpukan absensi dirinya yang sudah terlalu banyak. Pak Nakao menghela
nafas, ia sangat tidak mengerti dengan muridnya ini.
“Ageha, bapak tahu dengan keadaan yang sedang yang kau alami saat ini. Tapi hal tersebut
jangan membuatmu berhenti bersekolah.”
Ageha hanya diam, tidak mendengar kalimat yang dikatakan pak Nakao.
“Hhh… jika kamu terus seperti ini. Bapak tidak jamin kamu akan lulus. Kamu terlalu
banyak absen. Apa kamu ingin membuat ibumu kecewa?”
Ageha menggelengkan kepalanya. Dan berkata.
“Sensei. Menurut sensei apakah saya akan sembuh?”
Nakao terkejut mendengar perkataan muridnya yang tiba-tiba. Ia tahu Ageha terkena kanker
hati stadium akhir yang sukar untuk di sembuhkan. Tapi jika Ageha bertanya seperti itu
membuatnya kehabisan kalimat dan terdiam.
“Apakah saya bisa mengikuti ujian negara? Dengan keadaan yang saya yang seperti ini.
Dan tidak adanya orang yang memberikan saya semangat untuk hidup. Apakah saya akan bertahan
menghadapi semuanya…”
“Teman baik yang dulu saya punyai selalu mengatakan hal yang sangat saya benci. Mereka
merasa saya akan segera meninggalkan dunia ini. Terlebih lagi, saya tentu tidak ingin
mengecewakan ibu saya dan juga tidak ingin meninggalkannya. Saat ini saya tidak memiliki tujuan
hidup dan tidak mendapatkan semangat hidup dari orang lain…”
“Mendapatkan semangat hidup dari orang lain… orang lain…”
Ageha meneteskan air matanya.
“Mendapatkan semangat hidup dari orang lain yang peduli dengan saya. Dan saat ini tidak
ada satu pun orang yang peduli dengan saya. Dan saya takut, saya takut jika ajal tersebut
mendatangi saya dengan cepat. Saya takut…”
Ageha mengeluarkan isi hatinya sambil meneteskan air mata. Pak Nakao melihat muridnya
dengan pandangan iba, ia tidak menyangka Ageha yang selalu berekspresi kuat dan tak takut
dengan penyakitnya. Ternyata sangat rapuh dan rentan. Nakao menatap mantap muridnya.
“Maka… maka berusahalah untuk selalu hidup!”
Ageha mengangkat wajahnya, terkejut akan kalimat yang dikatakan pak Nakao.
“Berusahalah hidup untuk ibumu. Berusahalah hidup untukku. Berusahalah hidup untuk
orang yang menyayangimu. Berusahalah hidup untuk dirimu sendiri. Berusahalah hidup untuk
masa depanmu…”
Pak Nakao mendekati Ageha dan bediri di sampingnya serta memegang tangan Ageha.
“Berusahalah hidup untuk satu hal yang dapat membuatmu kuat. Kuatlah, karena putus asa
bukanlah jalan keluar untuk sembuh dari penyakitmu. Buanglah rasa takut yang ada di dalam
dirimu. Bapak akan selalu mendukungmu untuk hidup, dan begitu pula ibumu. Dia tentu tidak
ingin melihat anaknya menjadi seperti ini. Maka untuk itu, berusahalah hidup untuk semua orang
yang peduli dan sayang padamu.”
Ageha terdiam sejenak mendengar semangat yang diberikan oleh pak Nakao. Tangis Ageha
lepas dalam pelukan pak Nakao yang hangat. Air mata kesedihan yang selama ini ia tahan
terlepaskan. Yang ada hanyalah air mata kebahagiaan yang telah diberikan oleh pak Nakao untuk
dirinya.
“Sebenarnya semua nilai yang kau peroleh ketika kau aktif. Semuanya nilai yang baik.
Dengan nilai ini, mungkin kamu akan dengan mudah diterima di SMA bergengsi.”
Pak Nakao membolak-balik data Ageha yang ia pegang.
“Asalkan kau aktif belajar dan selalu masuk sekolah. Bapak yakin kamu akan lulus
walaupun absensi kamu yang banyak akan merepotkan bapak. Karena harus berdebat dengan guru
yang lain.” “Iya, pak. Saya akan berusaha. Terima kasih atas bantuan bapak selama ini.”
“Oh, tidak apa-apa. Kamu sudah bapak anggap seperti anak bapak sendiri. Jadi jangan
sungkan.”
Ageha tersenyum.
“Kalau begitu. Saya permisi dulu, pak.” “Ageha…”
Langkah Ageha terhenti dan tidak jadi menutup pintu ruang pak Nakao.
“Kamu harus selalu mengingat kata-kata bapak tadi.” “Baik, pak. Saya akan selalu
mengingatnya.”
Ageha meninggalkan ruangan pak Nakao. Ageha berjalan menelusuri koridor SMP Swasta
Madoka High yang sangat panjang. Sebersit perasaan bersalah muncul. Dari dulu Cuma pak Nakao
yang selalu mensuportnya, sedangkan teman baiknya hanya ingin bersenang-senang bersamanya.
Ketika ia sedang tertimpa masalah, temannya menghilang tak tau kemana. Saat itu Ageha
memutuskan untuk melawan penyakit yang di deritanya. Ia tidak peduli kapan ajal itu akan
mencabut nyawanya. Dia sadar, betapa salahnya ia menyalahkan tuhan yang menciptakannya tanpa
ada kekurangan apa pun. Dan saat itu juga ia berfikir, bahwa penyakit yang diberikan tuhan
untuknya adalah sebuah berkah. Berkah untuk hidup dan melawan segala rintangan dengan tegar
dan tanpa putus asa.

To Be Continue…
A. Sinopsis :
Menceritakan seorang gadis yang terkena penyakit,dan ia memiliki semangat untuh
sembuh.

B. Unsur Intrinsik
1. Tema : Kesabaran
2. Tokoh : Ageha (protagonis)
Suzuki Ryuga ( protagonis)
Pak Nakao (protagonis)
Tidak ada tokoh antagonis karena konflik yang terjadi merupakan
konflik batin dari tokoh utamanya.

Penokohan : Ageha (Sabar, Tabah)


Suzuki Ryuga (Baik, Berani)
Pak Nakao (Baik Hati, Peduli)

3. Latar
Tempat : Taman Bunga Central Park, Sekolah.
Suasana : Sedih (Raut Wajahnya Terlihat Sedih Ketika Memandang Kelopak
Sakura Yang Berjatuhan)
Waktu : Siang
4. Alur : Maju
5. Amanat : Tetap Semangat Jangan Putus Asa.
6. Sudut Pandang :
 Orang Pertama
 Orang Ketiga

Anda mungkin juga menyukai