Anda di halaman 1dari 5

Seribu Kelopak Bunga Sakura

Tinggalkan Balasan

Musim ini sakura bermekaran dengan indah. Seorang perempuan terlihat sedang duduk di kursi
taman bunga central park. Parasnya yang lembut menambah kecantikan sang gadis. Perempuan
itu duduk tepat di hadapan pohon sakura yang sedang bermekaran. Tapi, walaupun perempuan
itu disuguhi pemandangan bunga sakura yang indah, raut wajahnya terlihat sedih ketika
memandang kelopak bunga sakura yang mulai berjatuhan itu. Ekspresinya melukiskan
kesedihan, kepedihan, dan rasa putus asa asa akan sesuatu yang mungkin tak akan ada satu orang
pun yang mengerti.

Nama gadis itu adalah Ageha. Sebulan yang lalu, dokter memvonis bahwa Ageha positif terkena
kanker hati akut dan sudah masuk stadium akhir. Dan dia hanya menunggu sisa hidupnya
sebelum ajal menjemput. Ageha putus asa dan ingin mengakhiri hidupnya. Tapi, berapa kali pun
ia melakukan percobaan bunuh diri. Usaha yang ia lakukan selalu gagal oleh beberapa hal yang
selalu menghalanginya.

Suatu hari dokter menyarankan untuk menjalani operasi, tapi kemungkinan berhasil sangatlah
sedikit dan taruhannya adalah nyawa Ageha sendiri. Ageha sangat sedih dan merasa dia tidak
akan bisa sembuh juga tidak akan bisa sembuh seperti dulu. Dia marah kepada tuhan, kenapa
kamu memberikanku cobaan yang sangat berat? Aku tak ingin meninggalkan ibuku
sendirian. Kenapa kamu begitu tega memberikanku penyakit yang sangat mengerikan ini,
tuhan. Jika mencabut nyawaku, lalu ibuku bagaimana? Aku tak mau melihat ibuku terus
menangis karena kepergianku. Batinnya. Sekarang Ageha duduk di kursi taman pusat taman,
sambil memikirkan nasibnya kelak dan berusaha untuk menentukan pilihan, beroperasi atau
tidak.

Dari kejauhan, terlihat seorang pemuda berdiri memperhatikan seorang perempuan sedang duduk
dengan raut wajah sedih melalui kelopak bunga sakura yang berjatuhan. Ia memandangi
perempuan itu dengan penuh tanya. Sedang apa gadis itu? Batinnya. Ia mendekati perempuan
tersebut, semakin mendekat raut wajah pria itu berubah menjadi terpesona. Ia tidak terpesona
dengan para perempuan tersebut, melainkan pandangan sedih akan gadis tersebut. Ia merasa
ditarik oleh mata sayu itu. Mata yang berwarna hitam kehijauan tajam tersebut. Perlahan ia
berjalan mendekati perempuan itu, ketika ia mulai berada di dekat…

Tess… tess…
Ia terkejut melihat air mata yang mengalir dari pipi gadis itu. Ia terpana akan tangisan yang
ditahan gadis itu walaupun matanya tak tertahan lagi. Ia pikir, gadis ini mengalami hal pahit
yang membuatnya sedih. Saat itu dia seolah ingin rasa pahit gadis itu dengan cepat sirna dan dia
ingin melihat seulas senyuman terlukis di atasnya.

“Kamu tak apa-apa?” Ageha menoleh, ia mendapati sosok laki-laki rupawan yang menyodorkan
sapu tangannya sambil tersenyum lembut. Ageha meraih sapu tangan itu dengan senyum kecil di
surga.
“Aku… tidak apa-apa,” jawabnya sambil menyeka air matanya.
“Sedang apa kamu sendirian di sini? Dan… kenapa kamu menangis?”
Ageha diam. Laki-laki itu menyadari kata- katanya yang sangat tidak sopan untuk seseorang
yang baru saja bertemu. Ia pun mulai mencari kalimat yang dapat menghibur Ageha.
“Maaf, jika saya asal tanya. Oh ya, namaku Ryuga. Salam kenal." Sahut laki-laki itu dengan
senyuman lebar di tepinya.
“Aku Ageha. Salam kenal juga.”
“Wah… nama yang indah. Hm… kupu-kupu ya… indah sekali. Menurutku… kupu-kupu itu
adalah hewan yang cantik,”
Kening Ageha mengerut. Apa dia baru saja menggodaku?. Batinnya.
“Oh, maaf. Jika saya berkata yang tidak-tidak. Tapi kenapa kamu menangis sendirian di
sini. Apa tidak bahaya, di sini banyak orang mabuk, lho.”
“Tidak. Aku hanya ingin berfikir jernih saja. Lagi pula rumahku ada di dekat sini.”
“Benarkah? Rumahku juga ada di dekat sini. Aku baru pindah, makanya rumahku agak
berantakan. Jadi aku malas di rumah. BE-RAN-TAK-AN sekali.”
Ageha merasa geli dengan perilaku laki-laki yang ada di hadapannya ini. Tapi dia pikir, lelaki ini
bukanlah orang jahat. Senyuman pucat dari bibir Ageha.
“Kenapa tersenyum. Emang ada yang lucu dari aku?”
“Tidak. Tidak ada, kok. Aku hanya heran, dari semua orang yang melewati taman ini dari
tadi. Tidak ada satu pun yang berani menyapaku. Tapi… aku salut dengan keberanian kamu
untuk menyapaku.”
“Yah… tidak usah sungkan-sungkan. Aku orangnya memang seperti ini. Tidak bisa melihat
perempuan menangis begitu saja.”
Ageha tersenyum.
“Makasih karena kamu sudah menghiburku. Aku mau pulang dulu, sampai nanti,”
“Eh, kapan-kapan ketemuan lagi ya.”
Ageha meninggalkan Ryuga dengan senyumannya. Ryuga menatap sosok Ageha yang perlahan
menghilang ditelan bayangan malam yang dihiasi bulan yang indah.

Keesokan harinya, Ageha pergi ke sekolah untuk menimba ilmu. Tapi, karena panyakit yang
diidapnya. Dia tidak ingin turun sekolah. Tapi ibunya memaksanya untuk tetap bersekolah dan
mencari hal yang dapat menenangkan hati dan pikirannya. Karena tak ingin menyakiti hati ibu
untuk yang kedua kalinya. Akhirnya Ageha pergi ke sekolah dengan perasaan tak enak
mengganjal di hatinya. Sesampainya di sekolah, Ageha langsung diterima oleh kerabat baik
dengan raut wajah simpati atas apa yang menimpanya. Dan hal itu membuat Ageha kesal, sangat
kesal. Ia tak ingin teman-temannya mengira bahwa sebentar lagi ia akan meninggalkan mereka.

“Ageha, aku ikut prihatin dengan keadaanmu.”


“Iya, aku juga. Bagaimana kalau kita pergi ke suatu tempat di mana kita bisa menikmati masa-
masa terakhir kita denganmu.”
“Iya. Kami tidak ingin kamu pergi, Ageha”
“Sudah cukup!!!!! Aku tak ingin mendengar omongan kalian tentang aku akan pergi atau
tidak. Kalian seperti mengharapkan aku lekas mati! Seharusnya kalian memberikanku semangat
untuk hidup! Bukan sebaliknya!” Bentaknya.

Semua murid yang ada di kelas menatap Ageha dengan tatapan yang menusuk. Tanpa peduli, ia
berjalan melewati teman-temannya, dan duduk di kursinya. Setelah itu, guru yang mengajar
fisika pun masuk ke dalam kelas. Ketua kelas langsung memberikan aba-aba kepada semua
murid untuk memberi rasa hormat.

“Berdiri,”
“Beri rasa hormat,”
“Selamat pagi, pak.” Ucapkan semua murid yang ada di dalam kelas.
“Selamat pagi. Ya, anak-anak. Hari ini kalian mendapatkan teman baru.”
Seluruh murid mulai bergemuruh.
“Tenang… tenang! Dia adalah murid pindahan dari Tokyo, jadi kalian semua harus
membantunya beradaptasi di lingkungan sekolah.”
“Baik pak…”
“Ya, bagus. Kalo begitu silahkan masuk, Suzuki.”

Lelaki muda berbadan tegap dan berbahu bidang yang tampan masuk ke dalam kelas. Dia adalah
murid baru yang diungkit guru tadi. Ketika laki-laki itu masuk, semua perempuan yang ada di
dalam kelas tercengang. Melihat betapa gagahnya murid baru itu. Dan mulai bergemuruh.
“Tenang semuanya! Jangan ribut! Ya, silahkan suzuki. Perkenalkan dirimu.”
“Baik. Perkenalkan nama saya Suzuki Ryuga. Kalian bisa memanggil saya Ryuga, mohon
bantuannya.”
Ageha yang sedang memasukkan buku pelajarannya ke dalam laci. Merasa mendengar nama
yang asing di telinganya. Ia kemudian menoleh ke anak baru yang berdiri di depan kelas itu. Dan
dia langsung tahu bahwa murid baru itu adalah lelaki yang dia temui malam tadi. Tapi reaksi
Ryuga ketika melihat Ageha sangatlah dingin. Dia hanya melihat Ageha dengan tatapan dingin
dan kembali berkonsentrasi dengan seisi kelas.
"Terima kasih. Kamu bisa duduk sekarang.”

Ryuga berjalan melewati bangku-bangku murid lain dengan tatapan berbinar dari para gadis. Ia
menemukan bangku kosong di belakang Ageha, dan ia berjalan menuju bangku kosong itu. Saat
mereka berpapasan, Ageha hanya tertunduk diam dan mebiarkan laki-laki itu melewatinya serta
duduk di belakangnya.
Ternyata semua laki-laki sama saja. Batinnya.

Guru fisika yang sering dipanggil Nakao sensei itu mengabsen semua murid yang ada di dalam
kelas.
"Abbechi?"
“Hadir.”
“Ageha? Apa Ageha hadir?”
“Saya hadir, sensei.” Jawab Ageha.
Guru tersebut memandang Ageha yang tertunduk diam. Sewaktu dokter memvonis bahwa ia
kena kanker hati. Ageha tidak pernah masuk sekolah. Dan walaupun masuk sekolah, dia tidak
ada di dalam kelas. kemiskinan di atas atap.
“Ageha, nanti bisa ikut saya ke kantor guru?”
“Iya, sensei.”

Ageha beranjak dari tempat duduknya, menyusul pak Nakao. Tapi sebelum keluar, pak Nakao
berpesan kepada muridnya.
“Anak-anak, kalian saya tinggal sebentar. Kalian belajar sendiri saja. Kalau begitu bapak
ijinkan.”
“Baik, sensei.”

Ketika pak Nakao dan Ageha meninggalkan ruangan kelas 3-2, seluruh murid yang ada di kelas
langsung ribut dan siswi perempuan mulai mengerubungi Ryuga. Bertanya-tanya apa dia punya
pacar, rumahnya di mana, alamat emailnya apa, serta tipe perempuan yang dia sukai. Ryuga
menanggapinya dengan santai, ia menjawab semua pertanyaan yang diberikan oleh semua siswi
perempuan yang nge-fans dengannya. Sementara siswa laki-laki mulai mendekati Ryuga dan
mengajaknya bergaul dan dia langsung berbaur dengan mereka. Sebuah kalimat muncul di
benaknya. Ternyata gadis yang kutemui malam tadi bangun di sini. Aku tak menyangka itu. Tapi
melihat ekspresi wajahnya, sepertinya dia terkejut dengan perlakuanku yang sangat berbeda dari
malam itu. Dasar perempuan bodoh, perempuan memang mudah dikelabui. Batinnya.

Sementara itu di kantor guru. Ageha duduk diam dengan wajah tertunduk. Di depan Nakao
sensei terdapat tumpukan absensi dirinya yang sudah terlalu banyak. Pak Nakao menghela nafas,
dia sangat tidak mengerti dengan muridnya ini.
“Ageha, bapak tahu dengan keadaan yang sedang kau alami saat ini. Tapi hal tersebut jangan
berhenti berhenti.”
Ageha hanya diam, tidak mendengar kalimat yang diucapkan pak Nakao.
“Hhh… jika kamu terus seperti ini. Bapak tidak jamin kamu akan lulus. Kamu terlalu banyak
absen. Apa yang ingin membuat ibumu kecewa?”
Ageha menggelengkan kepalanya. Dan berkata.
“Sensei. Menurut sensei apakah saya akan sembuh?”
Nakao terkejut mendengar kata-kata muridnya yang tiba-tiba. Ia tahu Ageha terkena kanker hati
stadium akhir yang sukar untuk sembuhkan. Tapi jika Ageha bertanya seperti itu membuatnya
kehabisan kalimat dan terdiam.
“Apakah saya bisa mengikuti ujian negara? Dengan keadaan yang saya yang seperti ini. Dan
tidak adanya orang yang memberikan saya semangat untuk hidup. Apakah saya akan bertahan
menghadapi semuanya…”
“Teman baik yang dulu saya punyai selalu mengatakan hal yang sangat saya benci. Mereka
merasa saya akan segera meninggalkan dunia ini. Terlebih lagi, saya tentu tidak ingin
mengecewakan ibu saya dan juga tidak ingin meninggalkannya. Saat ini saya tidak memiliki
tujuan hidup dan tidak mendapatkan semangat hidup dari orang lain…”
“Mendapatkan semangat hidup dari orang lain… orang lain…”
Ageha meneteskan air matanya.
“Mendapatkan semangat hidup dari orang lain yang peduli dengan saya. Dan saat ini tidak ada
satu pun orang yang peduli dengan saya. Dan saya takut, saya takut jika ajal tersebut mendatangi
saya dengan cepat. Saya takut…”
Ageha mengeluarkan isi hatinya sambil meneteskan air mata. Pak Nakao melihat muridnya
dengan pandangan iba, ia tidak menyangka Ageha yang selalu berekspresi kuat dan tak takut
dengan penyakitnya. Ternyata sangat rapuh dan rentan. Nakao menatap mantap muridnya.
“Maka… maka berusahalah untuk selalu hidup!”
Ageha mengangkat wajahnya, kaget akan kalimat yang diucapkan pak Nakao.
“Berusahalah hidup untuk ibumu. Berusahalah hidup untukku. berusahalah hidup untuk orang
yang memulihkanmu. berusahalah hidup untuk dirimu sendiri. Berusahalah hidup untuk masa
depanmu…”
Pak Nakao mendekati Ageha dan bediri di sampingnya serta memegang tangan Ageha.
“Berusahalah hidup untuk satu hal yang dapat membuatmu kuat. Kuatlah, karena putus asa
bukanlah jalan keluar untuk sembuh dari penyakitmu. Buanglah rasa takut yang ada di dalam
dirimu. Bapak akan selalu mendukungmu untuk hidup, begitu pula ibumu. Dia tentu tidak ingin
melihat anaknya menjadi seperti ini. Maka untuk itu, berusahalah hidup untuk semua orang yang
peduli dan sayang padanya.”

Ageha terdiam sesaat mendengar semangat yang diberikan oleh pak Nakao. Tangis Ageha dalam
lepas pelukan pak Nakao yang hangat. Air mata kesedihan yang selama ini ia tahan
terlepaskan. Yang ada hanyalah air mata kebahagiaan yang telah diberikan oleh pak Nakao untuk
dirinya sendiri.

“Sebenarnya semua nilai yang kau peroleh ketika kau aktif. Semuanya nilai yang baik. Dengan
nilai ini, mungkin kamu akan dengan mudah diterima di SMA bergengsi.”
Pak Nakao membolak-balik data Ageha yang ia pegang.
“Asalkan kau aktif belajar dan selalu masuk sekolah. Bapak yakin kamu akan lulus walaupun
absen kamu yang banyak akan merepotkan bapak. Karena harus berdebat dengan guru yang
lain.”
“Iya, pak. Saya akan berusaha. Terima kasih atas bantuan bapak selama ini.”
“Oh, tidak apa-apa. Anda sudah menganggap seperti anak bapak sendiri. Jadi jangan sungkan.”
Ageha tersenyum.
“Kalau begitu. Saya permisi dulu, pak.”
“Ageha…”
Langkah Ageha terhenti dan tidak jadi menutup pintu ruang pak Nakao.
“Kamu harus selalu mengingat kata-kata bapak tadi.”
“Baik, Pak. Saya akan selalu mengingatnya.”

Ageha meninggalkan ruangan pak Nakao. Ageha berjalan menelusuri koridor SMP Swasta
Madoka High yang sangat panjang. Sebersit perasaan bersalah muncul. Dari dulu cuma pak
Nakao yang selalu mensuportnya, sedangkan teman baiknya hanya ingin bersenang-senang
dengannya. Ketika ia sedang tertimpa masalah, temannya menghilang tak tau kemana. Saat itu
Ageha memutuskan untuk melawan penyakit yang dideritanya. Ia tidak peduli kapan ajal itu
akan mencabut nyawanya. Dia sadar, seberapa salahnya dia menyalahkan tuhan yang
menciptakannya tanpa ada kekurangan apa pun. Dan saat itu juga ia berfikir, bahwa penyakit
yang diberikan tuhan untuknya adalah sebuah berkah. Berkah untuk hidup dan melawan segala
rintangan dengan tegar dan tanpa putus asa.

Anda mungkin juga menyukai