Anda di halaman 1dari 74

1

BAHKAN TUHAN PUN BERSYUKUR1


Jejen Musfah
Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1
Diterbitkan oleh Penerbit Hikmah pada 2003
2

DAFTAR ISI
Pengantar Penulis

Urgensi Hati Dalam Kehidupan (KH. Dr. Didin Hafiduddin)


Bahkan Tuhan Pun Bersyukur
Dan Tuhan Pun Menjawab
Dari Hitam Menjadi Putih
Islam Dan Etos Kerja
Memenuhi Hak Anak
Hijrah Dan Rekonstruksi Moral
Hidup Tentram Dengan Ikhlas
Kebersihan Hati
Keseimbangan Jasmani Dan Ruhani
Menggali Makna Puasa
Malu Kepada Allah
Menghormati Orang Tua
Mematahkan Tipu Daya Syetan
Membimbing Pembantu
Menahan Marah
Menebar Kasih Sayang, Menuai Damai
Meneladani Akhlak Suci Al-Amien
Mengejar Pangkat
Menjalankan Urusan Akhirat
Menuju Ketenangan Hati
Namimah Melampaui Langit
Pilih Mana, Materialis Atau Spiritualis?
Riya Itu Syirik Kecil
Sabar
Setelah Memperoleh Petunjuk:
Memahami Rahasia Hati
Takabur
Takut Kepada Allah
Allah Yang Maha Pengampun
Tawakkal
Munajat
3

PENGANTAR PENULIS

Hanya bagi Allah milik segala pujian yang ada di bumi dan langit. Dialah Tuhan alam
semesta ini. Saya bersujud di hadapan-Nya dengan hati yang khusu‟ dan pikiran yang tertuju
hanya kepada-Nya. Dialah yang telah memberikan nikmat sehat jasmani dan ruhani kepada saya,
juga kepada manusia seluruhnya. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad
Saw., kepada keluarga, para sahabat, juga para pengikutnya yang setia dalam menjalankan
sunnahnya. Dialah yang mengajarkan kepada umatnya betapa kehidupan akhirat lebih utama
dibanding kehidupan dunia ini. Juga yang telah menunjukkan akhlak mulia di hadapan para
sahabat dan pengikutnya.
Karena pertolongan Allah pula saya bisa menyelesaikan penulisan buku ini tanpa ada
kesulitan yang berarti. Sebab kalimat-kalimat yang sampai tertulis dalam setiap lembaran kertas
ini mengalir begitu saja, padahal kesibukkan bekerja dan kuliah tak bisa dihindarkan. Sebagian
buku ini merupakan kumpulan tulisan ringan saya yang pernah dimuat di media massa, Jurnal,
maupun Bulletin. Sebagiannya lagi sengaja ditulis untuk melengkapi topik bahasan yang dirasa
perlu—utamanya yang berkaitan dengan hati. Saya menulisnya saat istirahat, di mana saja,
bahkan saat melakukan perjalanan dengan mobil dan kereta sekalipun.
Mengapa harus menulis perkara qalbu? Ada apa dengan qalbu?
Qalbu atau hati adalah motor penggerak setiap perbuatan manusia. Setiap hari bahkan
setiap saat kita melakukan aktivitas berdasarkan bisikan hati. Dari perilaku manusia kita bisa
melihat bagaimana kualitas hatinya. Hati yang bersih akan condong pada kebaikan dan
kebenaran. Sebaliknya hati yang kotor akan cenderung pada keburukan dan kesalahan. Di sinilah
pentingnya membasuh hati agar tetap bersih. Sehingga dari cahaya hati inilah akan keluar akhlak
terpuji dan mulia. Cahaya hati tidak saja akan menyinari pemiliknya, tapi orang lain pun akan
merasakan hangatnya.
Jika manusia ingin mencapai derajat takwa dan muslim yang “sempurna”, maka ia harus
terlebih dahulu mensucikan hatinya. Ada banyak cara melatih agar hati tetap bersih. Inilah yang
sering luput dari perhatian manusia pada umumnya. Bahwa manusia terdiri dari unsur jasmani
dan ruhani. Sebagaimana jasmani, ruhani juga membutuhkan makanan, yaitu spiritual. Sari pati
makanan spiritual inilah yang akan melekat dalam hati manusia. Hati bukan saja akan menjadi
keras dan hitam, bahkan beku jika tidak pernah mendapatkan sentuhan dan siraman air spiritual.
Manusia dapat memenuhi berbagai kebutuhan jasmaninya kapan dan di mana saja ia
suka. Semuanya sudah tersedia dalam aneka warna, rupa, dan bentuk yang melimpah ruah. Coba
lihat, berapa jumlah warung nasi, toko pakaian, toko perhiasan, dan seterusnya. Belum termasuk
yang namanya mall, hotel, dan villa. Lalu bagaimana cara mengisi kebutuhan spiritual ruhani
kita?
Kecuali dengan mengikuti pengajian, siraman ruhani, puasa, shalat dan dzikir, membaca
buku-buku tasawuf bisa menjernihkan hati. Tidak banyak orang yang punya kesempatan ikut
serta dalam kajian-kajian keagamaan, mungkin sebab kesibukannya yang padat atau perkara
malas saja. Bagi mereka, buku ini mungkin bisa dibaca saat di perjalanan, saat istirahat, kapan
dan di mana saja. Sebab, cara penulisannya sengaja dibuat dengan gaya yang ringan sehingga
mudah ditangkap isinya. Demikian apa yang saya rasakan. Mudah-mudahan apa yang saya
rasakan itu juga sama dengan tuan-tuan saat membaca buku ini.
Materi buku ini memang tidak selalu membicarakan tentang hati secara langsung.
Dibahas juga soal puasa dan bagaimana sosok Nabi itu, serta bagaimana ajaran-ajaran beliau
4

dalam banyak hal—yang penting diketahui oleh umat Muhammad. Inti pesan moral dari semua
tulisan itu adalah ingin hati pembacanya menjadi lembut dan selalu condong pada kebenaran dan
kebaikan—sesuai ajaran Nabi.
Kepada tuan-tuan yang telah membeli buku ini saya ingin mengucapkan terima kasih.
Saya sadar buku ini banyak kelemahan dan kekurangan di sana-sini. Karena itu, jika ada di antara
tuan-tuan yang lebih ilmunya dari saya, sudi kiranya memberikan masukkan koreksinya untuk
perbaikan buku ini di masa mendatang. Semoga Tuhan memberikan pahala yang setimpal atas
kebaikan tuan.
Akhirnya, semoga karya sederhana ini punya manfaat untuk membangun moral umat
dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Semoga pula ia dicatat sebagai amal saleh yang
akan meringankan penulis dari siksa kubur dan api neraka. Wallahu a'lam.

Bogor, 28 September 2002

Jejen Musfah
5

Urgensi Hati dalam Kehidupan

Pengantar: KH. Dr. Didin Hafiduddin

Buku yang sedang anda baca ini bicara persoalan hati, Meraih Ketenangan Qalbu.
Sebuah tema yang sedang amat digandrungi oleh masyarakat dewasa ini. Membicarakan tentang
hati tidak akan lepas dari tasawuf. Jika filsafat berusaha mengetahui Tuhan lewat akal dan pikiran
manusia, maka tasawuf berusaha mendekati dan mengetahui Tuhan Yang Maha Suci dan Maha
Tinggi itu dengan hati atau dalam bahasa Arab disebut qalbu.
Di tengah situasi krisis ekonomi dan politik bangsa Indonesia yang belum kunjung usai
ini, tata kehidupan masyarakat semakin tak menentu. Kemudian muncullah situasi chaos dalam
perilaku masyarakat: penjarahan, penodongan, pembunuhan, pembakaran, korupsi dan kolusi
semakin menggurita serta sikap-sikap anarkis lainnya, pada satu sisi. Namun ada sebagian
anggota masyarakat yang berduyun-duyun memenuhi pengajian spiritual, pada sisi yang lain. Apa
yang mereka damba adalah keinginan memperoleh kesejukan dan ketenangan hati melalui ajaran-
ajaran tasawuf.
Dalam konteks itu, buku ini bisa menjadi pengisi kekosongan jiwa manusia dari udara
spiritual. Lewat tema-tema yang erat kaitannya dengan kehidupan ini, penulis buku ini telah
berusaha mengaktualisasikan pesan-pesan yang dikandung dalam tema-tema itu dengan tutur
bahasa yang mudah dimengerti dan menyejukkan.
Kembali kepada persoalah inti (core) buku ini. Persoalan hati adalah persoalan yang
sangat esensial, bahkan paling vital bagi kehidupan umat manusia. Ucapan yang baik, terukur dan
terkontrol, pikiran yang jernih dan cerdas serta prilaku yang terpuji, merupakan refleksi dan
manifestasi dari hati yang baik. Sebaliknya, ucapan yang kotor, tidak bernilai, bahkan cenderung
merusak, seperti berdusta, memfitnah, mengadu domba dan perilaku tercela lainnya, adalah
refleksi dan manifestasi dari hati yang kotor dan rusak.
Demikianlah, pada hakikatnya hati terbagi menjadi dua. Hati yang baik dan tidak baik.
Hati atau kalbu yang tidak baik dikemukakan Allah dalam ayat Al-Quran dengan menggunakan
berbagai istilah. Pertama, qalbun qaswah, yaitu hati yang tidak pernah mau menerima nasihat
dan pelajaran—baik pelajaran dari ayat-ayat tanzîliyah maupun ayat-ayat kauniyah. Allah
menyebut hati kaum Nabi Musa dengan sebutan hati yang keras, sebab mereka tidak mau
menerima nasihat dan pelajaran yang telah Allah berikan kepada mereka. Misalnya, dengan
menghidupkan orang yang sudah meninggal dunia. Setelah nyata kekuasaan dan kebesaran Allah
di depan mata mereka, namun hati mereka tidak juga lemah dan tunduk kepada Allah. Hati
manusia yang demikian digambarkan oleh Allah seperti batu, bahkan kerasnya melebihi batu.
Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di
antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan di antaranya
sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya dan di antaranya sungguh ada
yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. dan sekali-kali tidak lengah dari apa yang kemu
kerjakan. (QS Al-Baqarah [2]: 74)
Kedua, qalbun ghalîdh, yaitu hati yang kasar, kejam dan cenderung ingin menang sendiri.
Allah berfirman dalam menyebutkan di antara sifat nabi Muhammad:
6

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya. (QS Âli „Imrân [3]: 159)
Ketiga, qalbun marîdh (QS Al-Baqarah [2]: 10), yaitu hati yang sakit dan lemah, yang
cenderung mendorong kepada perilaku kemunafikan, tidak berani mengemukakan identitas diri
ketika bergaul dengan sesama kaum muslim. Kelihatan keislamannya, tetapi ketika bergaul
dengan orang-orang kafir, kelihatan pula kekafirannya. Mulutnya mengucapkan iman kepada
Allah dan hari akhir, tetapi yang sebenarnya ia tidak beriman sama sekali.
Sedangkan untuk hati yang baik, Al-Quran mengistilahkan dengan: pertama, qalbun
salîm (QS Al-Syu‟arâ‟ [26]: 89), yaitu hati yang pasrah kepada peraturan Allah Swt. Orang yang
mempunyai hati yang pasrah akan mendapatkan kehidupan yang selamat di dunia maupun di
akhirat nanti. Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah agar ia diselamatkan pada hari kebangkitan
nanti. Pada hari itu, baik harta maupun anak laki-laki tidak akan berguna. Yang akan menuai
selamat adalah orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.
Kedua, qalbun munîb (QS Qâf [50]: 33), yaitu hati yang banyak bermuhasabah,
melakukan introspeksi dan evaluasi diri sehingga banyak kembali kepada Allah Swt. Hal tersebut
ditunjukkan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupan umat manusia
di dunia ini. Disebutkan dalam Al-Quran bahwa, hati yang senantiasa bertaubat akan memperoleh
balasan berupa kenikmatan syurga. Hati mereka senantiasa tertuju kepada Allah, dan merasa takut
kepada-Nya jika berbuat salah.
Ketiga, qalbun itmi‟nan (QS Al-Ra‟d [13]: 28-29), yaitu hati yang selalu berusaha untuk
meraih ketenangan dengan banyak berdzikir kepada Allah Swt., baik dzikir dengan lisan, kalbu,
maupun amal perbuatan. Singkatnya, mewujudkan nilai-nilai Ilahi dalam kehidupan
kesehariannya.
Hati yang tenang inilah yang kelak akan dipanggil oleh Allah Swt. dengan panggilan
yang sangat indah, sebagaimana dikemukakan dalam QS [89]: 27-30: “Hai jiwa yang tenang,
kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam
jamaah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam syurga-Ku”.
Yang perlu disadari adalah, bahwa kalbu—sesuai dengan makna bahasanya—selalu
berpindah-pindah dari satu kondisi kepada kondisi yang lain. Kadangkala memiliki ketenangan
pada suatu waktu, tetapi dalam waktu yang tidak lama berubah menjadi suatu kegelisahan.
Kadangkala memiliki kegembiraan pada suatu waktu, tetapi dalam waktu yang tidak lama
berubah menjadi suatu kesedihan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Kadangkala
memiliki rasa takut dan pesimistik yang luar biasa, tetapi kemudian berubah menjadi optimistik
dan penuh harapan. Karena itu, upaya-upaya untuk menjadikan hati penuh ketenangan, harus
terus menerus dilakukan dengan berbagai macam cara. Bagaimana cara menenangkan kalbu telah
banyak digariskan di dalam Al-Quran maupun Sunnah Rasulullah Saw.
Di sinilah nilai penting kehadiran buku Meraih Ketenangan Kalbu ini. Buku yang ditulis
oleh Sdr. Jejen Musfah ini merupakan buku yang berisikan cara-cara mengusir kegelisahan hati,
sehingga menjadikan hati senantiasa merasa tenang. Dengan demikian, buku ini akan sangat
bermanfaat bagi kita semua, karena memang kita selalu berusaha untuk mendapatkan ketenangan
kalbu.
7

Ya, setiap manusia mendambakan ketenangan hati dalam mengarungi hidup ini. Hati
yang tenang akan melahirkan kebahagiaan dan kenikmatan hidup sang pemiliknya. Sebaliknya,
hati yang gelisah akan menuntun manusia kepada kesengsaraan dan nestapa hidup, yang tidak
jarang menjadi bencana seumur hidup. Hati yang tenang hanya bisa dirasakan oleh hati yang baik.
Pun sebaliknya, hati yang senantiasa merasa resah dan gelisah merupakan tanda bahwa hati itu
tidak baik.
Karena itu, penting ditegaskan di sini bahwa, dzikir akan membuahkan hati yang baik
dan tenang. Dzikir lisan bisa dilakukan dengan membaca—dengan mengeluarkan suara pelan—
asma-asma Allah dalam setiap keadaan, khususnya setelah melakukan shalat fardhu dan sunnah.
Dzikir kalbu berarti di mana hati senantiasa mengingat kebesaran dan kesucian Allah. Sehingga
dalam keadaan apa pun—senang maupun susah, sibuk maupun santai—hati selalu mengingat-
Nya.
Sedangkan yang terakhir, dzikir amali. Maksudnya, setiap perbuatan hendaknya
ditujukan hanya kepada Allah Swt. Dengan demikian, karena tujuan perbuatan itu kepada Yang
Suci dan Tinggi, maka yang akan lahir adalah perbuatan-perbuatan yang suci dan bernilai tinggi
pula. Karena perbuatan itu bernilai tinggi, maka hasilnya akan bermanfaat untuk kemaslahatan
umat di dunia ini. Sebaliknya, Yang lahir bukan tindakan kotor dan keji serta bernilai rendah.
Perbuatan yang kotor dan keji inilah yang menghilangkan maujudnya nilai-nilai kemanusiaan di
muka bumi ini.
Demikianlah, ketenangan hati bisa diraih dengan mensinergikan ketiga macam dzikir di
atas. Ketiganya harus berjalan seiring. Dengan ungkapan lain, dzikir (ingat) kepada Sang
Pencipta tidak boleh melupakan kita dari dzikir kepada sesama ciptaan-Nya. Sebesar dan sekuat
keinginan manusia untuk mengingat Allah Swt., sebesar dan sekuat itu pula seharusnya ia
mengingat nasib manusia lainnya di bumi ini. Wallahu a‟lam bi al-shawâb.

Bogor, Syawal 1423 H/Desember 2002


8

BAHKAN TUHAN PUN BERSYUKUR

“Kesyukuran berarti tidak mengingkari Allah dengan karunia yang telah


dilimpahkan-Nya atau membuat karunia-Nya itu sebagai sumber keingkaran”. Abul
Qasim Al-Junaid

Kita mungkin sering mendengar kata syukur. Tidak heran kalau hati (tepatnya:
perasaan) tidak merasakan apa-apa ketika mendengar kata tersebut. Mungkin karena
sudah sejak lama kita terlatih mendengar kata syukur. “Pandailah bersyukur kepada
Allah,” demikian biasanya orang tua kita mengajarkan. Sehingga kata itu bisa berlalu
begitu saja tanpa bekas. Tetapi kali ini, mari kita coba bertanya pada diri kita masing-
masing, tahukah kita apa itu makna syukur yang sebenarnya?
Mungkin di antara tuan-tuan ada yang diam sejenak mendengar pertanyaan
sederhana ini. Tuan-tuan terpaksa membuka file-file lama dalam otak, siapa tahu ada
sedikit informasi tentang “makhluk” yang bernama syukur tersebut. Saya yakin jawaban
yang keluar pasti berbeda dari setiap kita. Dan setiap orang punya hak untuk memberikan
jawaban menurut seleranya masing-masing, sesuai dengan kapasitas intelektual yang
dimiliki.
Saya tidak bermaksud pesimis, dengan mengangkat tema syukur ke hadapan
tuan-tuan. Tapi anggaplah saya ini sebagai orang yang mengingatkan kembali pelajaran
yang telah tuan-tuan terima dahulu. Mungkin ada manfaat yang bisa kita raih bersama
dari penjelasan tema syukur ini. Dan karena saya orang awam, maka saya coba sekuat
kemampuan saya untuk mengambil rujukan pada Kitab Suci Al-Quran.
Tidak ada yang menyangkal bahwa Allah Swt. telah melimpahkan banyak
kenikmatan kepada hamba-hamba-Nya di dunia ini. Sebut saja misalnya, mereka dikasih
pendengaran, penglihatan dan hati, namun sedikit sekali yang mau bersyukur (Baca QS
Al-Mu‟minûn [23]: 78). Menurut ayat ini, ada manusia yang tidak menggunakan panca
inderanya untuk memperhatikan bukti-bukti Kebesaran dan Keesaan, serta Kepemurahan
Allah, yang dapat membawa mereka beriman, taat dan patuh kepada-Nya.
Jadi definisi syukur menurut Al-Quran adalah ungkapan terima kasih atas
nikmat-nikmat yang telah diberikan, dengan jalan menggunakan nikmat-nikmat tersebut
sebagai sarana beribadah kepada Allah. Dalam konteks ini, menggali kebenaran ilmu
pengetahuan dan agama termasuk ibadah, jika diiringi niat untuk menemukan Kebesaran
Allah yang ada pada alam raya ini. Dengan kata lain, tujuan semua itu untuk menambah
keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Pencipta.
Setiap makhluk yang bernafas di muka bumi ini pasti merasakan kenikmatan
yang diberikan oleh Allah Swt. Kenikmatan tersebut amatlah banyak dan tak terhingga.
Sehingga tidak ada satu pun diantara manusia yang akan mampu menghitung berapa
banyak nikmat yang telah diberikan-Nya kepada setiap individu manusia ini. Bahkan
seandainya—meminjam istilah Al-Quran—dedaunan yang ada di muka bumi ini
dijadikan kertas dan lautan sebagai tintanya, maka niscaya tidak akan mampu
menghitung nikmat Tuhan.
Untuk itulah Allah Swt. dalam banyak ayat memerintahkan manusia untuk
pandai bersyukur. Ketika seorang hamba Allah bersyukur, bukan saja ia akan
memperoleh keselamatan dunia-akhirat, Allah akan menambah nikmat yang telah
9

diberikan tersebut (Baca QS Ibrâhim [14]: 7). Sungguh ini merupakan bukti Kemurahan
Tuhan bagi manusia. Betapa Allah sangat menyayangi hamba-Nya yang pandai
bersyukur.
Akan tetapi, dalam kenyataannya masih banyak manusia yang tidak pandai
bersyukur. Mereka habiskan harta dan waktu sehatnya untuk hal-hal yang tidak
berfaidah. Aktivitas-aktivitas keseharian mereka, banyak digunakan untuk sesuatu yang
hanya membawa kesenangan sesaat, bukan kesenangan jangka panjang. Manusia
kebanyakan belum terbiasa memanfaatkan potensi pendengaran, penglihatan dan hati
untuk menggali rahasia ke-Maha Besar-an Tuhannya. Sehingga keyakinan mereka akan
adanya Tuhan bertambah kuat.
Bersyukur bukan hanya sebatas ucapan alhamdulillâh. Syukur melebihi sekedar
ucapan tahmîd. Seraya mengucapkan tahmîd, orang harus pula bergerak maju untuk
menyibak rahasia yang tersembunyi dari alam ini. Dengan ungkapan lain, galilah dan
raihlah ilmu pengetahuan (science) sedalam dan setinggi mungkin. Inilah makna syukur
secara hakiki. Nah, setelah kita memperoleh ilmu pengetahuan, di sana kita akan
menemukan Kebesaran Tuhan.
Bagi orang-orang yang bersyukur (baca: berfikir) itulah, Allah pun bersyukur
(QS An-Nisâ‟ [4]: 147). Artinya, Allah akan memberi mereka pahala, mengampuni
kesalahannya, dan menambahkan nikmat-Nya. Beruntunglah orang-orang yang demikian.
Sebab mereka memperoleh kenikmatan dan kedudukan di sini. Di akhirat nanti, mereka
akan diterima di sisi Allah Swt. dengan kenikmatan yang tidak pernah terpikirkan sedikit
pun oleh mereka.
Seiring dengan perkembangan zaman, memiliki semangat belajar dan dinamis
adalah arti lain dari syukur. Inilah makna esoteris dari syukur. Dimana manusia
memanfaatkan potensi inderawi, akal, dan qalbunya untuk memperoleh kebenaran di
bidang ilmu pengetahuan maupun agama. Sudah tidak diragukan lagi, manusia seperti
inilah yang akan survive dalam percaturan dunia saat ini. Sebaliknya manusia yang
santai, malas berfikir, akan hidup laksana buih ombak di lautan. Hidupnya akan
terombang-ambing, tidak punya arah tujuan yang pasti.
Inilah sisi lain dari tanda orang yang bersyukur menurut tinjauan Al-Quran. Ada
juga sebagian ulama yang menjelaskan, bahwa tanda atau ciri orang bersyukur itu adalah
ia rajin mendermakan hartanya di jalan Allah. Misalnya, menyumbangkan sebagian
hartanya untuk fakir-miskin atau pembangunan Masjid. Dan sebagian ulama lainnya
menyebutkan, orang yang bersyukur adalah orang yang rajin menjalankan ibadah vertikal
maupun horizontal.
Saya bersyukur kepada Allah Swt. dengan setulus hati dan perasaan. Sebab Dia
telah memberi saya kekuatan untuk menulis tema ini ke hadapan tuan-tuan dengan
perasaan cukup tenang dan damai, disertai rintik hujan di luar sana menjelang adzan
Subuh berkumandang. Karena saya yakin, tanpa pertolongan-Nya, tenaga sisa bekerja
semalam ini, takkan bisa menyelesaikan tulisan ini. Akhirnya—sebagaimana Nabi
Sulaiman, kita berdoa bersama: semoga Allah menjadikan setiap tarikan nafas dan
gerakan tubuh kita sebagai tanda rasa syukur kita kepada-Nya yang Maha Bersyukur.***
10

DAN TUHAN PUN MENJAWAB

Mengapa ibadah puasa begitu istimewa? Berbagai macam cara dilakukan


untuk menyambut kedatangan bulan puasa. Malam-malam di bulan ini begitu
semarak dengan gema kalam Ilahi yang dibacakan dari surau, masjid, mushala,
dan bahkan dari rumah-rumah penduduk muslim. Gerangan rahasia apakah yang
menjadikan bulan Ramadhan ini begitu agung?
Puasa, kata Hasbi Ashshiddiqy, disandarkan kepada Allah, karena puasa itu
berarti meninggalkan segala keinginan diri dan segala hasrat hati yang memang
telah menjadi tabi‟at pada manusia. Meninggalkan keinginan-keinginan diri,
tidak terdapat pada ibadat-ibadat yang lain. Contoh, saat ihram kita hanya tidak
boleh menyetubuhi isteri, makan dan minum dibolehkan. Sementara dalam
shalat, kita hanya sebentar saja menahan diri dari makan dan minum.
Demikianlah, puasa merupakan puncak perjuangan seorang muslim sebagai bukti
pengabdiannya pada Allah Swt.
Dalam puasa terasa benar kepedihan dan kesulitan menahan makan, minum
dan mendekati isteri. Kesulitan akan lebih terasa bagi shaim yang berada dalam
tekanan udara panas, dan apalagi jika ia tinggal di daerah terpencil. Tapi ia tetap
menahan nafsu sebab Tuhannya dan karena menjalankan perintah Allah semata.
Karena orientasinya itu orsinil untuk Allah an sich, maka puasa juga merupakan
ibadah yang hampir jauh dari sikap riya‟ (ingin dipuji orang).
Orang puasa meninggalkan nafsu syahwatnya guna mendekatkan diri pada
Allah. Padahal perbuatan menjauhi nafsu bukanlah perkara mudah bagi manusia.
Sebab sekali lagi, ia merupakan tabiat manusia. Argument ini semakin
mendapatkan legitimasi dari sabda Nabi saat beliau dan pasukannya selesai
dalam perang Badar, “Ada perang yang lebih besar dari perang Badar ini, yaitu
memerangi hawa nafsu”. (HR Bukhari Muslim)
Di sisi lain ibadah puasa adalah rahasia antara hamba dengan Khaliq
(Pencipta), yang tidak ada satu pun mengetahui kecuali Allah. Dalam pandangan-
Nya puasa sangatlah istimewa. Jika setiap amal ibadah umat Islam itu untuk
mereka sendiri—diberikan langsung balasannya di dunia, maka lain halnya
dengan puasa. Puasa untuk Allah dan akan dibalas oleh-Nya, yang tidak ada satu
orang pun tahu berapa besar pahala orang berpuasa itu.
Karena itu, wajar kalau orang puasa itu dijanjikan dua kesenangan sekaligus.
Pertama, saat berbuka puasa. Tidak ada rasa bahagia dan kemenangan yang
sangat yang mampu menggetarkan kalbu, kecuali saat tenggorokan dibasahi oleh
air tanda puasa kita telah selesai. Kedua, saat bertemu Tuhannya. Konon, di
akhirat orang-orang yang puasa akan bertemu Tuhannya dengan wajah berseri-
seri. Saat itulah mereka merasakan seribu kenikmatan dan kedamaian kalbu yang
sebelumnya tidak pernah terbayangkan oleh pikiran seklipun.
Dari paparan di atas, tak diragukan lagi bahwa puasa memang menempati
posisi penting bukan saja bagi manusia muslim, tapi juga bagi Allah Swt. Tidak
heran memang kalau kemudian banyak orang yang menyambut Ramadhan ini
dengan penuh suka cita. Di samping jaminan pahala bagi orang yang senang
dengan datangnya Ramadhan, kegembiraan umat Islam juga merupakan
11

ungkapan syukur atas diberikannya kesempatan berpuasa. Di mana amalan


manusia itu dilipatgandakan pahalanya, segala doa akan terkabul, dan yang
penting lagi adalah pemberian ampunan dari Allah pada sepuluh hari kedua
Ramadhan. Dan kesempatan ini tidak akan kita temui, kecuali pada bulan
Ramadhan.
Kedudukan shaim yang tinggi dan dekat dengan Tuhan itu hendaknya
mampu membangkitkan optimisme dalam hidup. Maksudnya, inilah saat yang
tepat lagi baik untuk memohon rakhmat, ampunan, dan pertolongan pada-Nya.
Panjatkanlah seribu harapan dan cita-cita kepada-Nya pada Ramadhan ini,
niscaya doa kita terkabul. Kalau bulan-bulan kemarin kita mengalami putus asa,
karena merasa doa tak pernah terjawab, saat ini, saat dimana kita sedang
berpuasa, angkatlah tangan ke atas seraya berdoa pada-Nya. Dengan berkah dan
karamah bulan suci ini, mudah-mudahan Tuhan menjawab panggilan kita.
Kecuali itu, karena Tuhan begitu dekat, jagalah diri kita dari perbuatan-perbuatan
hina dan tercela. Sebab inilah yang menjadikan tak terjawabnya doa-doa kita.***
12

DARI HITAM MENJADI PUTIH

Tentu kita semua sepakat, bahwa bulan Ramadhan ini sejatinya mampu membawa
perubahan yang lebih baik pada sisi spiritual dan kemanusiaan kita. Kehadirannya diharapkan
mampu menyadarkan manusia pada kefitrahannya sebagai makhluk yang selalu haus dan rindu
pada air ketundukan pada Sang Khâliq. Untuk menundukkan keakuan yang ada dalam diri
manusia, ibadah puasa adalah medium yang paling efektif yang bisa menyadarkan manusia pada
kesadaran hakikat kehidupannya.
Maka jelas, kualitas Ramadhan seorang muslim akan sangat menentukan bagi kehidupan
sebelas bulan berikutnya. Dengan kehadiran Ramadhan diharapkan kita bisa memperbaiki
beberapa aspek penting dalam hidup ini. Pertama, memperbaiki iman dan taqwa. Tentu saja
mudah ditebak kalau kita semua sudah beriman kepada Allah. Tapi iman saja belum cukup.
Pengakuan lisan saja belum sempurna sehingga diikuti oleh amal nyata berupa, menjalankan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa. (QS Al-Baqarah [2]: 183) Puasa, jika dilakukan dengan benar dan penuh keikhlasan,
akan melahirkan manusia yang kuat iman dan taqwa.
Kedua, memperbaiki kedekatan dengan Al-Quran. Pada malam-malam Ramadhan,
tadarusan menggema memenuhi langit bumi. Malam-malam itu menjadi malam Al-Quran. Bulan
Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta menjadi pembeda (antara yang haq dan yang
bathil) (QS Al-Baqarah [2]: 185). Nah, kita yang mengalami Ramadhan ini seharusnya
menjadikan Al-Quran sebagai pegangan hidup (way of life). Dengan petunjuknya kita mampu
membedakan halal dan haram, baik dan buruk, dan seterusnya. Jadi, tugas kita bukan saja harus
meramaikan Ramadhan dengan Al-Quran, tapi yang terpenting adalah menjadikannya sebagai
guidance dalam hidup kita.
Ketiga, memperbaiki kedekatan dengan Allah. Karena kita yakin Tuhan itu dekat, maka
pasti Ia tahu sekecil apa pun perbuatan kita. Tuhan mengawasi kita pada saat kita terjaga dan
tidak terjaga. Keyakinan ini akan menimbulkan sikap kehati-hatian dalam bertindak, sehingga
hidup kita teratur. Semuanya diukur oleh kaca mata kebenaran Ilahi, bukan oleh kaca mata
kebenaran pikiran manusia.
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku dekat. (QS Al-Baqarah [2]: 186) Bagi saya makna firman Tuhan ini adalah, kita
seharusnya merasa tenang dan jangan gelisah mengarungi hidup ini, sebab Tuhan selalu ada di
samping kita. Dia pasti memberikan petunjuk-Nya bagi hamba-hambanya yang berbuat kebaikan
(„amal shâlih).
Keempat, ketundukan pada Allah, dengan jalan berdoa. …Aku mengabulkan permohonan
orang-orang yang berdoa apabila ia berdoa, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah)-Ku, dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu dalam kebenaran.
(QS Al-Baqarah [2]: 186) Berbeda dengan manusia, bagi Allah semakin banyak dimintai, Ia
semakin senang. Sebab doa merupakan simbol kelemahan kita di hadapan-Nya. Maka orang yang
enggan berdoa adalah orang-orang yang sombong. Bagaimana supaya doa kita terkabul? Mudah.
Kerjakanlah perintah-perintah Allah dengan penuh keikhlasan. Tunjukkan terlebih dahulu bukti
13

kebaktian kita sebagai hamba pada-Nya, niscaya doa-doa kita akan terkabul. Inilah janji Tuhan
dalam firman-Nya di atas.
Kelima, hubungan dengan sesama. Sudah lazim terjadi pada masyarakat muslim, kita
berbuka puasa bersama di masjid, mushalla atau rumah, karena kedermawanan beberapa orang
yang memberikan makanan „pembuka‟. Kita juga diwajibkan membayar zakat fitrah dan mal
untuk saudara-saudara kita yang miskin. Puncaknya, kita berkumpul di tanah lapang bersama
saudara-saudara kita seiman, untuk shalat Idul Fitri, selanjutnya bersalaman tanda saling maaf-
maafan.
Aktifitas-aktifitas tersebut menunjukkan betapa bulan Ramadhan memberikan tempat yang
khusus bagi berseminya ikatan persaudaraan sesama muslim. Hendaknya, rasa persaudaraan yang
dibalut kasih sayang dan rasa memiliki itu dijaga dan dipelihara pada bulan-bulan berikutnya.
Utamanya terhadap orang miskin, kita harus senantiasa ingat Hadits Nabi, “Barangsiapa yang
tidak memperhatikan (tidak peduli) dengan persoalan kaum muslimin, maka dia bukan
termasuk golongan mereka.”
Keenam, ketajaman hati dan ruhani dalam membedakan yang hak dan yang bathil. Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan cara yang
bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan harta sebagian dari harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal
kamu mengetahui. (QS Al-Baqarah [2]: 188) Tipu daya, suap menyuap dan perilaku culas yang
semerbak dewasa ini, jelas dilarang Al-Quran. Tapi kenyataan menunjukkan perilaku kotor itu
mewarnai dengan jelas dunia hukum kita.
Tuhan benar. Orang-orang yang di dunia ini suka menyogok hakim, menyuap Jaksa
Agung, dan menebalkan kantong Mahkamah Agung, sebenarnya mereka bukan manusia „bodoh‟.
Mereka tahu bahwa perbuatannya tidaklah benar ditinjau dari sudut mana pun, agama maupun
kemanusiaan. Karena itu, pada bulan yang suci ini, kita hendaknya juga menyucikan hati dan
otak kita dari hal-hal yang dilarang agama.
Demikianlah, dengan menyelami makna ajaran-ajaran Qurani tersebut, diharapkan kita bisa
sampai pada keadaan fitri kita. Keadaan dimana hati kita suci dari pikiran-pikiran kotor yang
memabukkan. Kita awali langkah kita dengan niat yang suci. Bahwa tidak ada tujuan paling
utama dalam hidup ini, kecuali untuk kembali kepada Allah. Jagalah perilaku sebaik mungkin.
Kita harus berubah, dari hitam menjadi putih, dari abu-abu menjadi terang. Kalau tidak mau
sekarang, kapan lagi. Sebab saya yakin seyakin-yakinnya, tidak lama lagi mentari segera
menjemput impian. ***
14

ISLAM DAN ETOS KERJA

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian
Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”
(QS Al-Tîn [95] :4-6)

Islam adalah iman dan amal. Artinya, iman merupakan fondasi pertama dalam perbuatan
amal. Begitu juga amal, merupakan follow up dari ”perbuatan iman” itu sendiri. Jadi, Islam
adalah integrasi dari dua entitas (iman dan amal) dalam suatu “kerja”. Singkatnya, hidup seorang
muslim senantiasa bekerja demi terwujudnya kemaslahatan dunia (rahmatan lil „âlamîn).
Manusia (suka atau tidak) merupakan “binatang kerja” (animal lobarans). Demikianlah
hakikat eksistensi kelahiran manusia: untuk bekerja. Sebaliknya, jika manusia itu menganggur
terancamlah harga dan hakikat dirinya, karena ia tidak dapat mengaktualisasikan diri dengan
masyarakat.
Menurut arti secara letterlijk, etos berarti semangat. Yaitu semangat dalam menjalani
setiap pekerjaan yang digeluti, demikian apa yang dimaksud tema di atas. Persoalannya kemudian
adalah semangat dalam dan untuk pekerjaan seperti apa? Sehingga pekerjaan itu mampu
mengantarkan manusia pada kedudukan yang tinggi—tentu saja karena manusia adalah khalifah
di muka bumi ini.
Manusia bekerja—jika dicermati secara mendalam—untuk kepentingan dirinya sendiri
pada satu sisi, dan untuk kepentingan bersama pada pihak lain. Dalam konteks tersebut kehidupan
ini berjalan dialektis; individu satu dengan lainnya saling mengisi kekurangan (kalau bisa disebut
kekurangan) masing-masing pihak. Hal ini, memang, merupakan sesuatu yang taken for
granted—yang dalam bahasa agama disebut sunnatullâh. Dengan kata lain, manusia sendiri
secara fitrah memiliki keterbatasan kemampuan untuk bisa survive menapaki hidup ini. Manusia
diciptakan hidup dalam sebuah kondisi saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Menurut
Goethe, sebagaimana dikutip Cak Nur, “Manusia membawa dalam dirinya tidak hanya pribadinya
sendiri tetapi seluruh kemanusiaan—dengan segala potensinya—sekalipun dia dapat mewujudkan
potensi-potensi itu hanya dengan suatu cara yang terbatas, disebabkan pembatasan-pembatasan
dari luar terhadap eksistensi pribadinya”. (Islam Kemerdekaan Dan Keindonesiaan, 1997: 129)
Berari jelas, dengan bekerja dalam kerangka di atas terpenuhi hubungan horizontal, atau
manusia dengan manusia. Namun persoalannya tidak cukup sampai disitu, bagaimana bekerja
tidak saja sekedar untuk memenuhi kebutuhan dasar fisik dan biologis , juga secara teologis, yaitu
bekerja untuk aktualisasi harga dan harkat manusia sebagai makhluk Tuhan—kita sering
menyebutnya dengan hubungan vertikal. Bahkan dalam diskursus keagamaan ada apa yang
disebut dengan menjalin hubungan positif dengan alam atau lingkungan (hablum minal „âlam)
dimana kita hidup.
Yang saya maksud di sini adalah integralisasi humanisasi kerja. Yaitu humanisasi kerja
yang tetap mampu memelihara nilai-nilai harga, dan harkat kemanusiaan. Pekerja tidak saja
hanya menjadi komoditas produksi. Bekerja tanpa memahami substansi pekerjaan yang
digelutinya saban waktu dan hari. Ia menjadi manusia patuh yang seakan sulit menolak perintah
atasan. Yang terjadi kemudian adalah sikap fatalistik, segala sesuatu yang serba pasti.
Dalam agama (Islam) terdapat penilaian terhadap manusia, yaitu adanya dua fungsi:
teologi negatif, meminjam istilah intelektual muslim, Muslim Abdurrahman, yang dalam bahasa
15

agama disebut amar ma‟rûf nahi munkar. Teologi positif, tutur Muslim, berkaitan dengan etos
kerja manusia di dunia sebagai khalifah Tuhan untuk membangun kehidupan yang lebih baik.
Dalam kaca mata agama bekerja pada dasarnya merupakan ibadah, karenanya akan
mendapatkan pahala. Bekerja dalam pandangan agama memiliki tujuan pada dua entitas, dunia
dan akhirat. Bekerja memiliki tujuan yang tinggi, yakni bersifat transenden, maka bekerja bukan
sekedar mengejar sejumlah upah an sich. Bekerja yang dilandasi oleh hasrat menyumbangkan
kontribusi kepada peradapan yang didorong oleh keinginan mencari keridlaan Tuhan.
Masalah mencari keridlaan ini penting agar kita tidak terjebak pada dikhotomi dunia dan
akhirat. Padahal dunia dan akhirat merupakan konsep waktu yang kontinyu dari perjuangan hidup
manusia yang secara religius harus ditempatkan dalam pandangan eskatologis yang panjang
(Muslim, 1995). Orang kebanyakan terjangkiti sikap eskapistis, yaitu menempatkan pengharapan
surga secara berlebihan dan kurang mementingkan karya nyata di dunia. Dan selanjutnya hidup
bergantung pada takdir Tuhan.
Di sinilah kelemahan kita, padahal banyak ajaran agama Islam yang menggugah manusia
untuk mengejar kemakmuran hidup di dunia. Hidup tidak melulu mengejar tiket akhirat an sich,
tapi melupakan kehidupan di dunia. Dengan bahasa lain, kehidupan yang ideal adalah kehidupan
yang balance antara dunia dan akhirat. Tentunya sikap keseimbangan tersebut dengan sendirinya
akan melahirkan keadaan yang positif. Misalnya: sikap puritan, kerja keras, hemat, menghargai
waktu, kesediaan menunda kesenangan sesaat demi peningkatan prestasi, dan lain sebagainya.
Namun demikian betulkah persoalannya sesederhana itu, mampukah kita menciptakan
kondisi bagi tumbuhnya benih-benih etika keagamaan semacam itu? Mungkin tepat apa yang
dikemukakan oleh Muslim, bahwa hal itu bisa kita wujudkan, asal kita berani menonjolkan
orientasi “kekhalifahan” daripada “kepahalaan”. Dengan kata lain, kerja sebagai ibadah, dan kerja
tidak hanya sebagai penyangga kehidupan.
Kerja tidak saja hanya dipahami sebagai wahana menumpuk sejumlah materi, tapi
sebagai tugas kekhalifahan di muka bumi. Dan menjadikan manusia yang memanusia dan
dimanusiakan. Penting juga kiranya menjaga stabilitas lingkungan kita bekerja. Di sinilah kita
melihat bahwa persoalan kerja tidak bisa dilihat dalam satu sisi per se, tapi merupakan proses
aktualisasi manusia dalam mencari harga dan harkat kemanusiaannya.
Pada akhir tulisan ini saya ingin mengutip pendapat Weber, “Agama mungkin dapat
memberikan motivasi bagi peningkatan prestasi kerja atau ekonomi dalam lingkungan tertentu
jika ada faktor-faktor yang menumbuhkan affinitas ekletif.” ***
16

MEMENUHI HAK ANAK

Kali ini kita akan membicarakan soal hak anak. Berarti kewajiban orang tua atas putera-
puteri mereka. Sebuah kenyataan yang sulit terbantah bahwa, betapa suka citanya orang tua saat
menerima kelahiran anaknya. Kebahagiaan itu bertambah besarnya manakala yang lahir adalah
anak pertama. Bagi Islam anak adalah titipan (amanah) Allah kepada kedua orang tua. Tulisan ini
berusaha menjelaskan ajaran Rasulullah Saw. tentang bagaimana menjalankan amanah Allah
tersebut. Rasulullah sangat memberi perhatian terhadap masa depan anak-anak yang merupakan
pewaris masa mendatang.
Sebuah Hadits yang datang dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw. bersabda, “Setengah
kewajiban orang tua memenuhi hak anak, ada tiga perkara. Yaitu memberi nama yang baik
ketika lahir, mendidiknya dengan agama Islam, mengawinkan ketika menginjak dewasa”.
Sementara kita dengar sebuah pepatah, “Apalah arti sebuah nama”. Namun pendapat
demikian tidak selamanya benar. Bagi sebagian umat Islam yakin bahwa nama yang diberikan
kepada putera-puteri mereka mengandung doa. Meskipun tidak semua mengungkapkannya secara
langsung. Namun jelas kiranya bahwa ada harapan di balik nama Shâlihîn atau Mukhlishîn,
misalnya. Nama yang baik di sini maksudnya adalah memberikan nama yang Islami—seperti
contoh di atas, dan mengandung arti yang baik. Hal ini bukan berarti nama yang berasal dari
bahasa daerah misalnya, menjadi tidak baik. Sepanjang memiliki arti yang baik tentu boleh-boleh
saja memakai nama apa pun. Nama yang baik akan memberikan rasa nyaman pemiliknya.
Sebaliknya, nama yang buruk tidak jarang membuat pemiliknya menjadi minder.
Pada zaman ini semakin tampak, sebagian orang tua kurang dalam memberikan
pendidikan agama untuk anaknya. Perhatian mereka tercurah hanya pada pemenuhan kebutuhan
fisik sang anak, sementara kebutuhan ruhani acapkali terabaikan. Dibawanya si anak ke mal
untuk santap fast food, dibelikan pakaian mahal, diberikan fasilitas mobil, tidak lupa kamar
anaknya dilengkapi dengan seperangkat musik stereo lengkap, dan seterusnya. Tetapi coba
tengok bagaimana kemampuan baca Al-Quran anak-anak itu. Mengkhawatirkan. Terus
bagaimana kemampuan mereka dalam bacaan wudlu dan shalat? Tanggung jawab siapakah
pendidikan agama anak ini? Orang tua. Kemampuan baca Al-Quran, bacaan dan tatacara wudlu,
bacaan dan tatacara shalat, adalah pengetahuan mendasar yang wajib diberikan kepada anak-
anak. Usaha para orang tua harus maksimal dalam hal terakhir ini. Dalam arti, tidak sepenuhnya
menyerahkan pengajaran ilmu agama pada para ustadz. Mereka juga harus terlibat, mengecek
sejauhmana kemampuan anak. Tentu alangkah baik jika anak-anak mengerti mana yang
dibolehkan dan mana yang dilarang oleh agamanya.
Sebuah kenyataan di masyarakat modern ini, banyak anak yang tidak punya rasa kasih
sayang kepada kedua orang tuanya. Kalau mesti dicari akal masalahnya adalah kurangnya
pendidikan agama. Sebabnya ialah orang tua yang mengabaikan penanaman akhlak Islami sejak
dini. Pada sisi lain, di rumah tangga tidak ada contoh panutan—baik ayah maupun ibu—bagi
anak-anak. Orang tua acap kali tidak sadar bahwa dalam kehidupan rumah tangga merekalah
figur sentral. Perkataan dan perilaku mereka akan membekas dalam jiwa sang anak. Di sinilah
peran orang tua sangat signifikan dalam membentuk pribadi dan perilaku si anak. Sejatinya orang
tua adalah suri tauladan bagi anak-anaknya. Dalam konteks inilah kita bisa mengatakan bahwa,
anak adalah cermin ibu-bapaknya.
Muhammad Saw. sendiri telah memberi isyarat bagaimana seharusnya orang tua
memperlakukan anak mereka. Kecuali memberi kasih sayang, mereka harus aktif mengajarkan
17

kebaikan, dan tidak menganggap anak seperti robot yang bisa disuruh melakukan apa saja. Dari
Asy-Syu‟i, Nabi Saw. bersabda: “Allah selalu mengasihi orang tua yang selalu mendorong
anaknya, agar berbakti kepadanya, yaitu ia tidak memerintahnya melakukan sesuatu di luar
kemampuannya”. Hendaknya setiap orang tua mengamalkan pesan Rasul ini, agar selamatlah
anak-anak mereka dari akhlak tercela.
Dalam hal apa tanggung jawab orang tua menikahkan anaknya yang sudah dewasa?
Sebelum menjawab ini, mungkin kita bisa ajukan pertanyaan, apakah semua orang tua tahu
bahwa menikahkan anak adalah tanggung jawab mereka? Sehingga jika mereka mampu, semua
biaya yang dikeluarkannya tidak perlu dikembalikan oleh sang anak, misalnya. Ini contoh kecil
dan sederhana, tapi kerap muncul di masyarakat, hingga saat sekarang ini. Bahwa orang tua
menuntut anaknya untuk mengembalikan biaya pernikahan.
Tanggung jawab orang tua adalah mencarikan jodoh yang baik untuk anaknya. Jika anak
punya pilihannya sendiri, mereka berhak mengetahui asal-usul calon menantunya. Selanjutnya,
ditimbanglah menurut ukuran agama dan masyarakat. Orang tua harus lapang dada, bahwa
pilihan anak tidak selamanya salah. Demikian pula pilihan mereka tidak selamanya pas. Memang,
dalam praktik soal mencari pasangan ini kadang menimbulkan teka-teki yang amat sulit dinalar.
Tetapi ada sebuah Hadits Nabi yang mashur mengisyaratkan kepada kita perihal mencari
pasangan hidup ini. Sebelum menikahi perempuan hendaknya kita melihat empat perkara:
Agamanya, kecantikannya, keturunannya, dan terakhir harta kekayaannya. Tentu akan sulit
mencari perempuan yang padanya terdapat empat hal ini. Jika pun dihadapkan pada pilihan, maka
hendaknya lebih memprioritaskan agama. Demikianlah yang tampak dalam pesan Hadits Nabi di
atas.
Ada ungkapan Sayyidina „Ali—semoga Allah memuliakan wajahnya, “Baitî jannatî”
(rumahku adalah surgaku). Penggambaran rumah seperti surga ini adalah manakala seluruh
anggota keluarga hidup dalam keharmonisan. Seiring dan sejalan. Anak menjalankan
kewajibannya kepada orang tua. Orang tua memenuhi hak-hak anak. Rasulullah Saw. bersabda,
“Kebahagiaan seseorang terletak pada empat perkara. 1. Istri yang baik, 2. Anak-anak yang
terdidik dan patuh, 3. Bergaul dengan orang-orang saleh, 4. Mata pencarian tidak jauh
tempatnya (cukup dalam negeri).”
Kemanusiaan yang beradab ialah: 1. Berbakti kepada orang tua, 2. Memelihara hubungan
baik dengan keluarga, 3. Bersikap ramah dan sopan kepada anak-istri dan pembantu, serta
memelihara agama mereka, 4. Pandai membelanjakan harta untuk keluarga dan kerabat serta
kepentingan agama, 5. Pandai menjaga lisan dari kata-kata terlarang, 6. Tekun beribadah, 7. Giat
bekerja, 8. Menghindari pergaulan dengan orang jahat, atau orang yang suka mencampuri urusan
orang lain. Demikianlah menurut pendapat Fudlail bin „Iyadl.
Pendidikan adalah hak anak yang sering diabaikan oleh orang tua. Tampaknya belum
merata kesadaran para orang tua tentang pentingnya pendidikan bagi masa depan putera-
puterinya. Utamanya anak perempuan sering menjadi korban dalam aspek pendidikan ini. Sebab
konon setinggi apa pun pendidikan mereka, akhirnya akan kembali ke dapur juga. Paradigma
semacam inilah yang terpatri di otak orang tua kebanyakan. Mereka lebih suka meninggalkan
warisan berupa harta, tinimbang ilmu. Padahal, beratlah beban dan resiko bagi manusia jika
memiliki harta berlimpah, tanpa ilmu. Sedangkan ilmu itu sifatnya ringan. Orang yang
memilikinya tidak akan takut hilang. Ke mana pun ia bawa. Harta bisa lenyap dalam sekejap, tapi
ilmu tidak akan lenyap, melainkan akan bertambah. Harta akan menjadi fitnah dan tipu daya,
manakala yang memilikinya tidak punya ilmu.
18

Sudah banyak contoh dalam masyarakat kita, bagaimana harta bisa menjadi fitnah. Si
anak yang membunuh orang tua karena ingin segera mendapatkan warisan. Akhirnya, harta ia
tidak dapat. Namun penjaralah sebagai tempatnya bernaung. Inilah bukti, bahwa penting
memberikan pendidikan kepada anak-anak. Di sini akan tampak dengan jelas, beda anak yang
terdidik dengan anak yang tak terdidik. Yang terdidik biasanya memiliki akal yang luas,
sedangkan yang tak terdidik akalnya pendek.
Menjadi orang tua memang tidak mudah. Mendidik anak apalagi. Tapi tentu tidak juga
sulit, jika berpegang pada ajaran-ajaran Rasulullah di atas. Setiap anak adalah buah hati ibu-
bapak. Perlakukanlah mereka dengan sewajarnya—jangan berlebih-lebihan. Perlakuan yang
berlebihan akan melahirkan anak yang manja dan mudah putus asa. Tetapi kurang perhatian pun
menimbulkan anak yang liar dan tertutup. Berlakukah di tengah-tengah kedua sikap antara
penyayang betul dan acuh tak acuh. Semoga anak-anak kita menjadi anak yang saleh dan salehah.
Amin. Wallahu a‟lam.
19

HIJRAH DAN REKONSTRUKSI MORAL

Anti kemapanan. Itulah inti semangat dari peristiwa Hijrah Nabi Saw. ke kota Madinah
yang dulunya bernama Yatsrib. Yang pengertiannya sudah tidak lagi dibatasi, melainkan dibawa
pada pengertian umum dan mutlak. Hijrah menjadi suatu prinsip, bahkan—meminjam istilah Ali
Syari‟ati—hukum (hijrah). Hijrah identik dengan kedinamisan.
Dalam perspektif Al-Quran (Islam), hijrah adalah pemutusan hubungan keterikatan suatu
masyarakat dengan tanahnya (ikhrâj atau khurûj min al-ardhi/al-dhiyâr). Hijrah bisa mengubah
pandangan manusia dari yang sempit dan mengubahnya menjadi pandangan yang luas dan
menyeluruh. Hijrah itu sendiri pada dasarnya adalah gerakan dan loncatan besar manusia menuju
kemajuan dan kesempurnaan.
Jika kita telaah sejarah, di balik semua pertumbuhan budaya di dunia ini pasti dimulai
dengan hijrah. Dalam sejarah semua bangsa besar pasti ditemukan cerita yang berbicara
mengenai hijrah ini. Hijrahnya bangsa Aria ke Selatan dan Barat telah menghasilkan peradaban
Barat dan Timur yang lebih besar. Sedangkan hijrahnya bangsa Sumiyah ke wilayah antara
sungai Eufrat dan Tigris menyebabkan tumbuhnya peradaban Samuria, Babilon dan Arkadea.
Memang secara general Al-Quran menampilkan kata hâjaru untuk term hijrah.
Sebagaimana dalam QS [2]: 218 dan QS [3]: 195. Al-Quran menyebutkan bahwa hijrah itu
sebagai faktor tercapainya kehidupan yang lebih baik bagi orang-orang yang tertindas dan
merupakan sebab diperolehnya kenikmatan yang lebih besar dalam kehidupan di dunia. Kisah
“hijrah” ashâbul kahfi (para penghuni gua) merupakan usaha menyelamatkan kemerdekaan dan
kehormatan individu. Hijrahnya Nabi Saw. ke Madinah dan eksodusnya Nabi Musa a.s.
dimaksudkan mencari kemungkinan-kemungkinan baru dan lingkungan yang lebih baik.
Sementara hijrah pertama kaum muslimin ke Habsyah merupakan salah satu usaha Rasul
Saw. untuk membuka ufuk baru bagi bangsa Arab—khususnya umat Islam—dan meluaskan
wawasan mereka terhadap alam. Tepatnya melalui jalur politik yang disandarkan pada hubungan
berbagai kabilah yang bertetangga.
Yang menarik dicermati adalah hijrah Nabi yang kedua, ke kota Yatsrib. Langkah pertama
Nabi Saw. mengubah nama Yatsrib menjadi Al-Madînah atau Madînat al-Nabi. Artinya kota atau
kota Nabi. Banyak cendekiawan yang mengatakan, di balik nama itu ada makna dari tujuan yang
penting lagi sangat mendasar.
Madinah (Arab) secara kebahasaan berarti tempat peradaban. Peradaban sendiri dalam
bahasa Arab juga disebut madaniyah atau tamaddun. Jadi penggantian nama Yatsrib oleh Nabi
sendiri dapat diartikan sebagai isyarat bahwa beliau dengan titik tolak itu akan membangun
sebuah masyarakat yang beradab atau menurut istilah yang kini cukup populer masyarakat
madani.
Dawam Rahardjo dalam ensiklopedi Al-Qurannya menyebutkan: kata madan tidak hanya
berarti urbanized, bersifat perkotaan tetapi juga bersifat civilized, yang berarti kebudayaan. Kata
ini juga bisa diartikan kemajuan dalam kebudayaan, masyarakat, humanisasi dan pengingkatan
standar moral. Hal ini memang dibuktikan kemudian ketika Nabi membuat piagam Madinah
(mitsâq al-madînah). Setidaknya ada dua prinsip yang dipeganginya. Pertama, prinsip
kesederajatan dan keadilan. Kedua, prinsip inklusivisme (keterbukaan). Kedua prinsip ini yang
kemudian dimodifikasi oleh kelompok Sunni (ahl al-sunnah wa al-jama‟ah) menjadi i‟tidâl
(konsisten), tawâzun (keseimbangan), tasamuh (toleran) dan tawasuth (moderat), yang semuanya
20

menjadi landasan ideal sekaligus operasional dalam menjalin hubungan sosial-kemasyarakatan


termasuk negara (Sumanto A-Qurthuby, 1997).
Kecuali itu, negara Madinah ini mempunyai sisi-sisi modern—bahkan terlalu modern—
untuk zamannya, yakni tingkat komitmen yang tinggi. Keterlibatan dan partisipasi dari seluruh
masyarakat; keterbukaan posisi kepemimpinannya terhadap ukuran kecakapan pribadi yang
dinilai atas dasar pertimbangan yang bersifat universal. Dan itu dilambangkan dalam percobaan
untuk melembagakan puncak kepemimpinan yang tidak bersifat keturunan. Maka, upaya
menjadikan Madinah sebagai rujukan dalam menciptakan peradaban ideal ini, kata N. Bellah,
bukanlah fabrikasi ideologis.
Masalah yang sangat penting dalam tema hijrah menurut perspektif yang diperlihatkan Al-
Quran kepada kita, ketika pengertian hijrah tidak lagi kita batasi dalam ruang ekslusivitasnya.
Karena pengertiannya tidak hanya terikat dengan dunia, yakni hijrah dari suatu titik ke titik yang
lain, tapi juga telah membumbung ke tingkat ruh yang tinggi dengan makna moral yang luhur,
ideologi spiritual dan revolusioner. Hijrah sudah tidak terbatas artinya pada meninggalkan tempat
tumpah darah, tetapi juga mencakup hijrah untuk meninggalkan sesuatu yang melekat pada diri
sendiri, termasuk tabiat dan kebiasaan buruk (Ali Syariati, 1996: 20). Secara fisik, memang
berhijrah dari suatu tempat yang (di situ) tidak ditemukan tempat tinggal yang aman kemudian
meninggalkannya ketika tidak mempunyai kemampuan untuk menentangnya.
Dengan perspektif ini Islam menggerakan masyarakatnya tapi tidak hanya pada suatu titik
dan mati di situ (jumûd). Bahkan juga berusaha memobilisasi individu dengan menyeru mereka
untuk bergerak, dinamis dan revolusioner. Semua itu dilakukan oleh Islam dengan jalan mukjizat
yang ilmiah yaitu hijrah.
Dengan meninggalkan Makkah berarti Nabi dan para sahabatnya keluar dari simbol
sarang kebodohan, kemusyrikan, kezaliman, meskipun berpisah dengan tempat tinggal,
keluarga, harta kekayaan dan sekian banyak ikatan emosional lainnya, untuk memperoleh
kemerdekaan sebagai gantinya.
Begitu juga dengan bangsa Indonesia. Setelah sekian lama menghadapi masa krisis, baik
ekonomi maupun moral, harus berani berhijrah dari tabiat-tabiat penyebab krisis tersebut: mulai
dari budaya KKN, ketidakadilan, penindasan, kekerasan, pelanggaran HAM, dan perilaku
semacamnya. Singkatnya, memasuki tahun baru hijriah kali ini hendaknya dijadikan momentum
yang tepat untuk merekonstruksi moral setiap individu kita. Mulai dari lapisan atas sampai
lapisan bawah. Semuanya untuk menuju masyarakat atau negara yang dicita-citakan. Baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafûr.***
21

HIDUP TENTRAM DENGAN IKHLAS

“Dan barangsiapa menghendaki kesenangan di akhirat (dari pahala amalnya), dengan


sepenuh hati melakukannya secara ikhlas dan beriman, maka mereka itulah orang yang
usahanya diterima.” QS Al-Isrâ‟ [17]: 19

Abu Laits Samarqandi menjelaskan hadits dari seseorang kuat dengan sanadnya dari
Jaballah Al-Yahshubi, katanya: “Kami dalam peperangan bersama-sama dengan Abdul Malik bin
Marwan, lalu bertemu seseorang yang suka bangun malam, ia sedikit sekali tidurnya, sebelumnya
kami tidak kenal, ternyata dia sahabat Nabi Saw. dan bercerita, ada orang bertanya: “Ya Rasul,
apakah besok yang bisa menyelamatkan: Beliau bersabda: „Jangan menipu Allah‟. Dia bertanya
lagi, „Bagaimana kami menipu Allah?‟ kata beliau: „Kamu beribadah tidak karena Allah.
Lenyapkan riya sebab ia syirik kepada Allah. Besok orang riya disebut dengan empat sebutan:
Kafir, pelacur, penipu dan khâsir (orang yang rugi), sesatlah amalmu dan lenyaplah pahalamu.
Saat ini mintalah pahala pada mereka yang kau tuju dulu, hai penipu!
Agama Islam mengajarkan pentingnya menanamkan sikap ikhlas dalam setiap perbuatan
pemeluknya. Ikhlas berarti ketulusan dalam melaksanakan suatu amal baik, semata-mata karena
Allah dengan mengharap ridha-Nya. Sebagian Ulama Hikmah mengatakan, ikhlas adalah tidak
ingin amalnya yang baik dilihat orang, apalagi diperlihatkan, tidak jauhnya seperti dia melakukan
kejahatan yang tidak ingin diketahui umumnya masyarakat. Sedangkan setengah Ulama lainnya
meletakkan dasar ikhlas, ialah tidak menghendaki pujian orang.
Menurut Sayidina Ali bin Abu Thalib, ada empat macam yang membuktikan riya. 1.
Pemalas ketika tidak ada manusia, 2. Tetapi di hadapan manusia sangat tangkas, 3. Ibadahnya
meningkat ketika dipuji, 4. Tetapimenurun ketika ibadahnya dicela. Tujuan awal dan akhir setiap
amal, kita pasrahkan sepenuhnya penilaiannya kepada Allah Swt. Selayaknya memang kepada
Tuhanlah kita serahkan niat setiap gerak kehidupan kita di dunia ini. Simak ayat berikut dengan
penuh khusu‟, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya mereka menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS Al-Bayyinah
[98]: 5)
Jika beribadah atau beramal secara ikhlas kemudian dipuji orang dan timbul rasa senang,
maka ia tetap mendapat pahala. Abu Laits Samarqandi menjelaskan, dua macam pahala baginya:
pertama pahala langsung dari amalnya, kedua pahala sampingan dari fihak yang mengikutinya
(mengambil suri tauladan daripadanya).
Orang yang membiasakan diri dengan ikhlas akan memiliki kepribadian (personality) yang
tenang, tenteram dan tidak mudah putus asa, serta dapat menghindarkan diri dari godaan syetan.
“Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku
akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi dan pasti aku akan
menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka.”
(QS Al-Hijr : 39-40)
Keikhlasan itu ada dan tumbuh di dalam hati manusia. Karenanya mungkin sulit menilai
apakah si fulan itu termasuk orang yang ikhlas atau tidak. Karena ikhlas merupakan perkara hati,
maka hanya Allah yang akan mengetahui. Dialah yang berhak menilai apakah perbuatan itu
didasari keikhlasan atau riya. Tentu kita sebagai pribadi mengetahui apakah amal yang kita
perbuat dilandasi oleh ikhlas atau karena tujuan lain.
22

Mengapa setiap perbuatan itu penting dilandasi oleh keikhlasan pelakunya? Kecuali karena
perintah Allah dan faidah ikhlas—sebagaimana tertulis di atas, sikap ikhlas mengajarkan kepada
manusia bahwa, tujuan yang hakiki (sebenarnya) dari hidup manusia itu hanyalah mengharap
ridha Allah Swt. Pengharapan kepada selain Allah hanya akan menimbulkan sesal di kemudian
hari.
Pujian manusia, perasaan ingin dihargai manusia, dan perasaan ingin dianggap paling
mampu, semuanya itu sifatnya semu. Fatamorgana. Meski demikian, lebih banyak orang yang
cenderung pada pujian manusia, dan meninggalkan pujian Allah. Pujian manusia tidaklah kekal
sifatnya. Ada masa dimana orang yang menyanjung kemudian meninggalkan orang yang
dipujinya. Di saat manusia merasa memperoleh keuntungan dari tuan, maka pujian yang akan
tuan dapat saat itu. Tapi mungkin satu saat tuan alpa, sehingga membuatnya merasa rugi dan sakit
hati, atau tuan sudah dianggapnya tidak berjaya lagi di dunia ini, saat inilah tuan akan
ditinggalkan dan merasa kesepian. Saat itulah tuan akan merasa putus asa dan kecewa. Sebab
sebelumnya tuan tidak menyadari kekeliruan pikiran yang selama ini tuan pegang dan yakini.
Tetapi jika tujuan amal perbuatan tuan adalah keridhaan Allah, hati akan senantiasa merasa
tentram dan tidak was-was. Keikhlasan akan menghadirkan kasih Tuhan kepada seorang hamba,
dan akan mewujud dalam kasih seluruh makklu-Nya kepada orang yang ikhlas. Demikian Tuhan
membalas kepasrahan seorang hamba kepada-Nya.
Manusia memerlukan latihan untuk menanamkan sikap ikhlas dalam Qalbunya. Pertama,
tingkatkan iman dan takwa kepada Allah Swt., dengan jalan meningkatkan intensitas kegiatan
pembinaan mental ruhani. Kedua, perbanyak amal saleh dalam kehidupan sehari-hari,
memanfaatkan setiap kesempatan dengan amal saleh. Ketiga, perhatikan kehidupan orang-orang
yang ikhlas. Amati dengan seksama bagaimana indahnya kehidupan orang-orang yang ikhlas dan
usahakan untuk senantiasa dekat dan bergaul dengan mereka. Keempat, introspeksi dan taubat.
Perhatikan kehidupan sendiri dan nilailah amal yang pernah dilakukan, apakah sudah benar sesuai
dengan ketentuan Allah dan ajaran Rasul? Apakah masih banyak amal yang salah dan
menyimpang. Kalau demikian, segeralah bertaubat. Kehidupan akhirat akan sangat ditentukan
oleh amal saleh, amal yang dilakukan dengan ikhlas sewaktu di dunia.***
23

KEBERSIHAN HATI

Setiap manusia membutuhkan pengakuan atas eksistensi pribadinya. Ia melakukan apa saja
untuk dan atas nama pengakuan tersebut. Memang, manusia harus berbuat sesuatu secara
continuos agar tidak kehilangan ruh kehidupan. Ibarat air, ia harus mengalir terus menerus
sehingga menimbulkan kejernihan. Air yang tidak mengalir, dalam waktu tertentu ia akan
menimbulkan bau tidak sedap. Demikian juga manusia. Manusia yang hidupnya hanya duduk
berpangku tangan, menunggu nasib (baca: statis), cepat atau lambat ia akan kehilangan eksistensi
kemanusiaannya.
Di sinilah pentingnya aktualisasi diri. Dengan bekerja manusia akan diakui eksistensinya
oleh orang lain. Uukuran kewujudan manusia di dunia ini akan ditentukan oleh seberapa banyak
ia telah bekerja. Semakin banyak manfaat yang ia berikan buat orang lain, sebesar itu pula ia
memperoleh imbalannya.
Utamanya bagi seorang muslim, ia harus yakin bahwa dunia ini ibarat sebuah ladang. Jika
selama di dunia ia menanam kebaikan, maka ia akan memetik kebahagiaan di akhirat. Sebaliknya,
jika yang ditanam melulu keburukan, maka ia akan memperoleh ganjaran yang setimpal, berupa
kesengsaraan. Inilah yang kita sebut dengan hukum kausalitas (sebab-akibat). Dalam hukum ini
nampak betul bukti keadilan Tuhan. Bahwa Tuhan memperlakukan hambanya sesuai dengan apa
yang diperbuatnya. Pendek kata, Tuhan berlaku objektif terhadap hamba-Nya, tidak subjektif.
Inilah perbedaan manusia dengan Tuhan. Yang pertama disebut bisa menilai manusia atas
dasar like and dislike. Sementara yang kedua, tidak bergantung pada apa pun, kecuali atas dasar
prinsip objektivitas.
Setiap aktivitas manusia di dunia ini berjalan di atas lembaran tujuan. Dan hidup ini
sebenarnya tergantung pada tujuan. Baik dan buruk kehidupan in tergantung pada apa tujuannya.
Maka, tanyakanlah pada diri kita masing-masing apakah kita memiliki tujuan positif dalam hidup
ini. Demikian pula dalam setiap perbuatan, apakah tujuannya positif atau negatif. Jika tujuannya
baik, lakukanlah. Namun jika tujuannya negatif, tinggalkanlah dengan segera.
Bagaimana jika tujuannya baik, tapi cara yang digunakannya salah? Di sini, tujuannya saja
belum cukup! Sebagai makhluk beragama dan bermasyarakat kita harus mempertimbangkan cara
meraih tujuan. Sebab, banyak dari tujuan baik itu kemudian menjadi buruk akibat cara yang
digunakannya salah. Contoh, si fulan mencuri sesuatu yang bukan miliknya dari orang lain.
Ketika tertangkap polisi, “semua ini saya lakukan karena terpaksa. Di rumah istri dan anak-anak
saya perlu makan; perut mereka kelaparan, sedangkan saya baru saja di PHK,” rintih si fulan. Apa
penilaian kita terhadap si fulan? Akal dan hati pun berperang silih berganti. Yang jelas, si fulan—
sadar atau tidak—telah menciptakan kegelisahan dan kesengsaraan baru bagi orang lain.
Orang yang berbuat dzalim terhadap orang lain, hakikatnya ia telah berbuat dzalim pula
pada dirinya sendiri. Cepat atau lambat, dunia atau akhirat, ia akan segera menerima akibatnya.
Sebaliknya, setiap amalan manusia, sekecil apa pun—dengan catatan dilakukan dengan ikhlas
karena Allah semata—tidak akan sia-sia di mata Allah. Bahkan Allah menjanjikan balasan
sepuluh kali lipat setiap kebaikan hamba-Nya. Inilah rahasia kemurahan Tuhan bagi hamba-Nya.
Betapa tidak, balasan setimpal diberikan untuk kejahatan, tetapi sepuluh kali lipat balasan untuk
kebaikan!
Lalu apa yang penting dalam hidup ini? Apa yang menjadikan hidup ini bahagia atau
sengsara? “Jika hatinya bersih, maka bersih pula hidup manusia itu. Sebaliknya, jika hatinya
24

buruk, maka buruk pula hidup manusia itu”. Demikian sabda Rasulullah Saw. Yang penting
dalam hidup ini adalah meluruskan niat, sebab niat itu ada dalam hati setiap manusia.
Namun sesuai maknanya—dalam bahasa Arab, hati (qalb) berati bolak-balik—hati itu
senantiasa fluktuatif. Ada kalanya ia condong pada aras positif, tapi saat lain ia condong pada
aras negatif. Itu sebabnya dalam Al-Quran ada doa: “Ya Allah janganlah Engkau rubah hati kami
setelah Engkau beri petunjuk, dan berikanlah kami rahmat-Mu”.
Ini menunjukkan pengakuan dan kesadaran bahwa sebagai manusia biasa kita bisa saja
tersesat di jalan kesalahan dan dosa. Karena itu, kita mohon dan petunjuk Allah. Namun yang
penting adalah menanamkan niat baik dalam setiap perilaku hidup kita. Sebab Tuhan selalu
mengetahui setiap bisikan hati kita, apatah lagi terhadap perbuatan-perbuatan yang kasat mata.
Kehidupan manusia senantiasa dalam pengawasan-Nya.
Keyakinan ini amat penting sehingga seorang muslim akan berhati-hati dalam bertindak.
Muslim yang demikian itu akan malu jika tindakannya dianggap buruk di mata agama dan
masyarakat. Sebaliknya, ia tidak akan ragu dalam menjalankan kebaikan. Firman Allah,
“Barangsiapa berjuang di jalan-Ku, maka akan Aku tunjukkan jalan-Ku”. Allah akan
memberikan kemudahan jalan terhadap hamba-Nya yang cenderung pada kebajikan. Namun janji
Allah tersebut tidak akan berarti apa-apa, kecuali harus pula dibarengi dengan usaha yang
sungguh-sungguh dan sikap tawakkal (berserah diri) pada Allah.
Sebuah metode agar hati kita tetap bersih adalah dengan mengingat kematian. Cepat atau
lambat ajal akan menjemput kita. Sebagaimana kematian, kehidupan manusia adalah milik Allah
semata. Karena itu, kita harus bisa menyerahkan lembaran kehidupan yang sebentar ini untuk-
Nya. Tidak ada sekeping harapan pun dalam setiap pengabdian seorang muslim kecuali untuk
menggapai ridha-Nya.
Seribu gemerlap cahaya yang timbul dari bumi ini sebentar lagi hilang dalam pandangan
kita. Sebelum hal ini terjadi, sebuah sikap penting kita tanamkan pada diri kita masing-masing,
yaitu kebersihan hati. Sebab, sekali lagi, dari bisikan hati akan terlahir berlembar tindakan yang
akan menjadi tanda: siapa kita dan di mana kita layak ditempatkan.
25

KESEIMBANGAN JASMANI DAN RUHANI

Keberhasilah sebuah usaha tidak semata ditentukan oleh kemampuan rasio yang tinggi.
Banyak penelitian membuktikan, bahwa orang-orang yang sukses adalah orang yang memiliki
kecerdasan intuitif atau lebih dikenal dengan emotional quotient (EQ). Sebuah kecerdasan yang
mengantarkan individu tertentu menjadi manusia yang matang dalam bertindak. Namun, apakah
manusia berhasil menjadi manusia yang bahagia dan tentram dengan kecerdasan emosional itu?
Jika kecerdasan emosional lebih bersifat pada hubungan horizontal, maka ada dimensi lain
yang tak kalah pentingnya bagi kehidupan manusia, yaitu hubungan vertikal. Karena itu, tak
jarang kita melihat, orang yang berlimpah materi dan memiliki hubungan sosial yang baik,
ternyata masih merasa gelisah dalam hidupnya. Itu karena dalam diri setiap manusia ada dimensi
ketuhanan. Manakala ruang ketuhanan itu tak tersentuh, maka hidup manusia senantiasa dalam
kehampaan. Sebab pada dasarnya setiap manusia membutuhkan hubungan vertikal disamping
hubungan horizontal. Kemampuan menjaga hubungan vertikal inilah yang kemudian sering
disebut dengan kecerdasan spiritual (spiritual quotient).
Adalah Danah Zohar (Harvard University) dan Ian Marshall (Oxford University) yang
pertama kali memperkenalkan istilah kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Hanya saja dalam
menjelaskan istilah tersebut keduanya masih berkisar pada wilayah biologis dan psikologis,
belum menyentuh dimensi ketuhanan yang bersifat transendental.
M. Utsman Najati dalam bukunya, Belajar EQ dan SQ dari Sunah Nabi (2002)
membuktikan, bahwa dalam Islam dua kecerdasan itu (EQ dan SQ) tidak bisa dipisahkan.
Sebagai contoh, simak Hadits berikut, “Demi Zat yang diriku dalam tangan-Nya, kalian tidak
masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak beriman sampai kalian saling mencintai.
Maukah kalian kutunjukkan sesuatu yang membuat kalian saling mencintai? Sebarkanlah salam
di antara kalian.” (HR Tirmidzi)
Guru besar Psikologi di Universitas Kairo, Mesir ini dalam pendahuluannya menjelaskan
dua aspek yang ada dalam diri manusia, yakni ruhani dan fisiologis. Iman dan takwa adalah
bagian dari ruhani. Iman kepada Allah membuat jiwa menjadi lapang, rela dan bahagia serta
menjadikan manusia hidup dalam ketenangan dan kedamaian. Sedangkan takwa berarti, dalam
amal perbuatannya manusia selalu mencamkan hak, keadilan, amanah dan kebenaran,
berinteraksi dengan manusia dalam kebaikan serta menjauhi permusuhan. Derajat ketakwaan dan
bukti keberimanan itu antara lain dengan melaksanakan ibadah: shalat, puasa, zakat, dan haji.
Dalam aspek fisiologis, Islam tidak menyerukan untuk mengebiri motif-motif dasar, tetapi
mengajak untuk mengatur dan mengontrol pemenuhannya, mengarahkannya dengan bimbingan
yang benar serta memperhatikan kemaslahatan individu dan masyarakat.
Memang, hidup manusia adalah perjuangan untuk menyeimbangkan kebutuhan-kebutuhan
tubuh dan ruh. Tubuh membutuhkan makan, minum, istirahat dan seterusnya. Dan ruh butuh
kerinduan mengenal Allah, beribadah dan taqarrub kepada-Nya dengan ketaatan dan amal-amal
saleh. Konflik antara kesadaran jasadiah dan ruhaniah adalah sumber segala penyakit jiwa. Ada
yang cenderung pada pemenuhan jasadiah saja, dan sebaliknya. Inilah penyimpangan dari fitrah
yang murni. Karena itu, kata Najati, Islam tidak mengenal kebebasan mutlak dalam memenuhi
motif-motif fisik, tetapi Islam mewajibkan untuk mengendalikan motif-motif itu dengan jalan
yang diperbolehkan syara‟. Misalnya, Islam melarang hubungan seks pra nikah. Tapi setelah
menikah hal itu menjadi halal dilakukan. Islam juga tidak mengenal sistem kependetaan yang
mengabaikan motif-motif fisik yang primer.
26

Manusia, katanya, penting mengontrol dan mengendalikan emosi yang berlebihan. Baik
emosi yang berhubungan dengan kebutuhan fisiologis maupun emosi religius. Kesadaran ini
diawali dengan pengenalan halal dan haram sebuah tindakan. Marah, rasa takut, cemburu, benci,
iri, bermusuhan, dan sombong. Cinta seseorang dan sikap mengulurkan bantuan kepada manusia
adalah salah satu faktor penting yang menjadikan seseorang merasa lebur dengan masyarakat dan
ia merasa sebagai anggota masyarakat yang berguna.
Yang menarik adalah Alfred Adler, ia memberikan terapi dengan menasihati pasien-
pasiennya untuk memperhatikan orang lain, melebur dan membantu mereka. “Manakala si pasien
melakukan hal itu, sesungguhnya ia telah sembuh,” tegasnya. Ini sesuai dengan firman-Nya:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi
penolong bagi sebagian yang lain.” (QS Al-Taubah [9]: 71)
Demikianlah, manusia membutuhkan keseimbangan antara jasmani dan ruhani
sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi. Pada dasarnya Islam tidak membedakan jasmani dan
ruhani, keduanya harus memperoleh kebutuhannya secara proforsional. Singkatnya, Islam
mengajarkan pentingnya kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Dan Nabi adalah orang
yang memiliki kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual itu. Dengan menjalankan
kehidupan semacam inilah akhirnya Nabi mampu mencapai prestasi-prestasi gemilang dalam
sejarah Islam.***
27

MENGGALI MAKNA PUASA

Sebagaimana umat Islam, umat-umat lain pun membiasakan ibadah puasa. Mereka
berpuasa untuk menghormati sesembahan mereka atau untuk sesuatu yang lain. Jadi puasa telah
ada sejak zaman dahulu, hanya coraknya yang berbeda, sesuai dengan keyakinan yang dianut
oleh manusia.
Bangsa Finicia dan Mesir berpuasa untuk menghormati Tuhan Izis sebelum menyajikan
kurban untuk mensucikan orang-orang yang mengikuti upacara keagamaan. Bangsa Grik
berpuasa sebelum berkumpul mengadakan pesta keagamaan dan wanita ikut serta menjalankan
puasa dalam sehari penuh. Orang-orang yang ingin mengenal tuhan harus berpuasa sepuluh hari
berturut-turut. Di Roma orang berpuasa setahun setiap lima tahun untuk menghormati Siris, dan
puasa mereka diwajibkan pada tahun 193 SM. (Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmatuttasyri‟
wa falsafah) Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.
Dalam Islam puasa merupakan inti ajaran agama, yaitu rukun Islam yang kelima. Artinya,
seorang muslim wajib menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh pada bulan Ramadhan.
Puasa seorang muslim bertujuan untuk pengabdian pada Sang Pencipta, Allah „Azza wajalla,
sebagai bukti rasa syukur (terima kasih) atas segala limpahan rakhmat dan nikmat-Nya yang tiada
terhingga.
Menurut bahasa (lughawi) puasa berarti menahan diri dari segala sesuatu secara mutlak.
Orang yang menahan diri dari berbicara berarti berpuasa dengan berdiam diri. Sebagaimana
dilukiskan dalam firman Allah berikut, “Sesungguhnya aku ini bernazar untuk Tuhan Yang Maha
Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”. (QS
Maryam, [19]: 26) Sedangkan menurut istilah (syar‟i), menahan diri dari makan, minum, dan
bersetubuh pada siang hari disertai dengan niat.
Maka orang yang berpuasa (shâim) yang telah melaksanakan seperti pengertian syar‟i di
atas dianggap syah puasanya menurut fiqhiyah, tapi belum tentu menurut maknawiyah puasa.
Puasa secara makna berarti bukan saja menahan diri dari keinginan makan, minum, dan
bersetubuh, tapi melebihi itu semua, semua anggota tubuhnya dipelihara dari hal-hal yang akan
mengurangi pahala puasa. Di kala puasa hendaknya kita mampu menjaga mata, telinga, hidung,
dan tangan dari mendekati hal-hal yang menimbulkan maksiat. Sehingga akibat perbuatan
tersebut pahala puasa kita raib. Jangan sampai kita termasuk salah seorang dari yang pernah
disinyalir oleh Nabi Muhammad, “Sekian banyak orang yang berpuasa, mereka tidak
memperoleh pahala puasa, kecuali rasa lapar dan haus”.
Di balik ritual puasa seorang muslim ada makna-makna yang bisa kita ungkap. Tentu saja
sesuai dengan kemampuan pikiran dan renungan hati penulis.
Pertama, puasa mengajarkan kita untuk bersikap jujur. Nilai kejujuran itu bisa kita lihat
dalam hal praktik puasa itu sendiri. Tidak seorang pun mengawasi saat kita puasa kecuali Allah
Swt. Meski ada peluang untuk kita meneguk air, sedikit atau banyak, pada saat kumur-kumur
dalam berwudlu, bukankah kita tidak melakukannya—kecuali tanpa sengaja. Katakanlah, ada di
antara kita yang “mencuri” kesempatan di waktu berkumur tersebut, bukankah hati nurani
sebenarnya menolaknya. Karena itu sama halnya membohongi diri kita sendiri, sedangkan Allah
tidak sedikit pun bisa dibohongi.
Kita merasa harus bersikap jujur karena tiada sesuatu pun lepas dari pandangan-Nya.
Bahwa Allah senantiasa melihat setiap gerak manusia sekecil apa pun. Dalam puasa sebenarnya
28

Allah ingin menguji sejauhmana kejujuran hambanya. Hanya saja, jika ketaatan kita itu karena
tunduk dan patuh kepada Allah, lalu bagaimana kalau bukan karena Allah?
Kita ambil contoh seorang karyawan. Apakah ia mampu memegang nilai atau sikap
kejujuran itu pada saat ada maupun tidak adanya seorang pengawas atau pimpinan di tempat
kerjanya. Sama halnya dengan saat berpuasa, kita harus mampu menghadirkan sikap kejujuran
kita dalam bekerja—apa pun dan di mana pun kita bekerja. Sebab kejujuran akan melahirkan
kepercayaan, dan kepercayaan melahirkan penghargaan yang tidak ternilai harganya. Kejujuran
akan melahirkan pengakuan pada eksistensi kita sebagai manusia. Sebaliknya, kita bisa
membayangkan bagaimana jika kejujuran itu telah hilang di hati setiap pekerja.
Kedua, tidak korup. Ya. Puasa mengajarkan kita untuk tidak menjadi koruptor. Sebelum
bedug tanda waktu Maghrib tiba, orang yang berpuasa tidak boleh berbuka meski satu menit pun.
Ia tidak boleh makan dan minum pada waktu belum saatnya. Sudah ada ketentuan, di mana hak
dan kewajibannya dalam hal waktu saat ia berpuasa. Intinya, ia tidak boleh mengambil sesuatu
yang belum atau bukan menjadi haknya. Bukankah yang disebut koruptor itu adalah orang-orang
yang menjarah sesuatu—sedikit maupun banyak—yang sebenarnya bukan haknya.
Dalam konteks ini, momentum Ramadhan ini hendaknya mampu membawa kita pada
kualitas hidup yang lebih bermakna. Korupsi adalah simbol kerakusan. Sementara kerakusan
bukanlah sifat manusia, melainkan sifat binatang. Percayalah, semakin kita mengejar materi,
maka ia semakin jauh dari kita, sebab tidak pernah akan ada rasa “kenyang” pada yang namanya
materi. Belum tercapai satu tujuan duniawi, sudah berderet keinginan-keinginan yang lainnya.
Begitu seterusnya, sampai kita ditelan oleh usia yang semakin tua, dan akhirnya kita tidak bisa
berdaya apa-apa, alias menemui ajal.
Maka, pakailah pakaian qana‟ah (merasa cukup) terhadap duniamu. Jangan sampai usia
kita habis tak karuan untuk kepentingan dunia semata. Sisakanlah separuh waktu kehidupan kita
untuk tenggelam dalam samudera Ilhahi, terutama pada Ramadhan mulia ini. Sebab pada bulan
ini pahala dilipatgandakan pada setiap amal ibadah kita.
Korupsi bisa terjadi karena manusia tidak merasa cukup dengan apa yang telah
diterimanya. Dan puasa mengajarkan kepada kita untuk sebisa mungkin menahan perbuatan
“korupsi” tersebut. Hal ini tidak mudah memang. Tapi pekerjaan berat itu harus dimulai dari hal-
hal yang kecil. Allah telah memberikan hak pada kita untuk berbuka pada saat tenggelamnya
matahari, maka jangan sekali-kali kita melanggarnya. Demikian juga di kantor. Kita tahu berapa
hak yang kita terima dalam satu bulan, maka jangan sekali-kali menginginkan lebih; Kita juga
tahu berapa jam kewajiban kita bekerja di kantor, maka jangan pulang kantor sebelum waktunya
tiba. Itu namanya korupsi waktu.
Ketiga, melatih kesabaran. Orang yang berpuasa harus sabar ketika melihat hal-hal yang
mengharamkan. Kalau tidak, bisa saja tergoda dan pahala puasanya hilang. Apakah dalam bekerja
kita perlu sabar? Ya, malah penting. Kesabaran dalam bekerja akan meniscayakan kehati-hatian.
Sehingga jelas hasil yang diperoleh akan baik. Kita seringkali salah kafrah dalam hal kesabaran
ini. Sabar dipahami dengan berleha-leha, menunda-nunda pekerjaan. Sabar dalam bekerja itu
berarti kita tidak ingin memperoleh hasil secepatnya di luar kebiasaan.
Demikianlah, puasa yang kita lakukan seharusnya bisa membekali kita dengan sikap-sikap
mulia, yaitu jujur, tidak korup, dan sabar. Selama satu bulan lamanya orang mukmin digembleng
dengan puasa dari mulai terbit fajar hingga matahari tenggelam. Semua itu dalam rangka
penyucian jiwa dari sifat-sifat tak terpuji, menuju pada kefitrahan manusia sebagai sebaik-sebaik
29

makhluk ciptaan Tuhan. Mudah-mudahan dengan puasa kita menjadi mukmin yang bertakwa.
***
30

MALU KEPADA ALLAH

Syahdan, Umar melihat Nabi sedang menangis, lalu bertanya: “Kenapa engkau menangis
ya Rasul?” Jawabnya, „Jibril memberitahu tahu bahwa: Allah malu akan menyiksa seorang
manusia yang sampai tua (beruban) di dalam Islam. Sedangkan orang tua itu tidak malu berbuat
dosa sesudah ia beruban di dalam Islam.”
Pernahkah setiap diri kita ini termenung sebentar. Berfikir lalu bertanya, “Apakah ada
sebutir rasa malu yang bersemayam dalam dada ini?” Malu terhadap ketidaksesuaian antara
ucapan dan perilaku hidup kita sehari-hari. Mulut sangat mudah membedakan antara kebaikan
dengan keburukan. Namun nyatanya sungguh sulit mengejewantahkan kebaikan itu dalam
tingkah laku. Hal yang buruk dan pelanggaran justeru yang banyak menghiasi kehidupan ini.
Banyak orang pandai dan fasih bicara norma-norma agama, tapi sedikit yang mengamalkannya
dalam kehidupan nyata.
Untuk memperoleh penjelasan yang gamblang tentang apa itu malu kepada Allah, Hadits
ini bisa membantu kita. Dari Ibnu Mas‟ud, Nabi bersabda, “Hendaklah malu kepada Allah.
Mereka menjawab, „Alhamdulillah. Kami sudah melakukannya‟. Kata beliau, „Bukan demikian.
Yang dimaksud adalah malu dengan artian nyata. Yakni memelihara kepala dan indera-indera
dari laku dosa. Termasuk perut dan makanan yang masuk ke dalamnya. Selalu mengingat maut
dan siksa kubur. Orang yang menginginkan akhirat pasti berani meninggalkan kesenangan
dunia. Yang mampu berbuat demikian itulah yang disebut malu kepada Allah secara nyata.”
Seorang muslim harus menunda kesenangan duniawi untuk meraih masa depan yang
baik, akhirat. Kehidupan seorang muslim diikat oleh aturan syariat—boleh dan tidak boleh,
karenanya ia tidak bisa hidup seenaknya. Akan tetapi, yang paling substantif dari adanya aturan
syariat itu sebenarnya adalah adanya ukuran yang jelas: siapakah yang paling bertakwa di antara
hamba-hamba Allah itu. Alat ukurnya pun jelas, hablum minallâh, hablum minannâs, dan hablum
minal‟âlam. Kualitas takwa itu baru akan terlihat justeru dengan adanya suatu perintah dan
larangan. Hanya setelah adanya perjuangan itulah kemudian manusia berhak memperoleh
kebahagian atau kesengsaraan di akhirat kelak. Di dunia inilah setiap manusia menentukan
pilihannya—bahagia atau sengsara kelak.
Abu Laits Samarqandi dalam kitabnya, Tanbîhul Ghâfilîn, membagi malu menjadi dua
bagian. Pertama, malu kepada Allah. Merasakan nikmat dari Allah, hingga tidak sampai hati
berbuat maksiat. Kedua, malu kepada manusia. Menutup pandangan mata dari hal-hal yang tidak
halal baginya.
Tak seorang pun yang lahir ke dunia ini luput dari nikmat Allah. Di belahan bumi mana
pun dan dalam keadaan apa pun ia lahir, banyak atau sedikit ia mendapatkan curahan nikmat-
Nya. Menurut konsep ini, ketundukan kepada Allah Swt. adalah suatu hal yang wajar.
Pengabdian total kepada Sang Pencipta dan Pemberi nikmat hendaknya dilakukan dengan penuh
ketulusan. Bahkan harus diusahakan sampai pada tingkat kebutuhan ruhani itu sendiri. Sehingga
jika tak sempat memenuhi panggilannya, jiwa akan merasa kesepian. Selalu merasa rindu kepada-
Nya, dalam keadaan apa pun.
Ada banyak isyarat yang disampaikan Allah Swt. dan Rasulullah Saw. bahwa, manusia
hakikatnya adalah sama. Nabi memberi ibarat bahwa, seorang muslim satu dengan muslim yang
lainnya adalah seperti satu tubuh. Jika ada bagian dari tubuh tersebut terluka, maka yang lainnya
pasti merasakan sakit juga. Apakah artinya tamtsîl ini dalam konteks hubungan sosial
31

kemasyarakatan? Setiap individu masyarakat harus memiliki semangat kebersamaan (unity),


saling mengasihi, saling menyayangi, saling membantu, dalam kondisi apa pun. Yang kaya
mengulurkan tangannya kepada yang miskin; Yang kuat mendatangi dan melindungi yang lemah.
Jika tidak demikian situasinya, di manakah rasa malu kita? Ataukah perasaan malu itu sendiri
sudah terkubur bersama ratusan mayat korban anarkisme; Rasa malu sudah terbuang dan tergusur
bersama puing-puing rumah rakyat miskin dan lemah; Rasa malu sudah tenggelam dalam hiruk-
pikuk kemewahan hidup, seperti rumah dan villa mewah, mobil mewah, dan limpahan rupiah.
Dari Uqbah „Amir, Nabi bersabda, “Setengah dari penjelasan para Nabi terdahulu, yang
diperoleh umat manusia, yaitu: Jika kau tidak malu (haya‟), maka berbuatlah sesuka hatimu.
Sekiranya perbuatan itu tidak sampai menjatuhkan martabat harga dirimu dalam agama, hingga
menjadi faktor penyebab malu, maka boleh kau lakukan apa saja yang sudah pasti tidak
memalukan kamu.” Seperti gambaran Hadits inilah perilaku kita kebanyakan. Manusia banyak
yang kehilangan rasa malunya. Berbuat sesuka hatinya. Menumpuk dan menggenggam
kekayaan—yang diperolehnya dengan cara apa pun—sebanyak-banyaknya. Menindas dan
menganiaya rakyat lemah demi obsesi jabatan dan kedudukan yang menurutnya menjanjikan
kebahagiaan abadi. Semua ini terjadi, sebab agama hanya dijadikan pengetahuan, bukan sebagai
tuntunan. Tahu banyak mengenai agama, tapi minimalis dalam praktik.
Jika perilaku masyarakat bangsa seperti ini terus, lalu dari manakah kita mengharap
terjadinya perubahan? Yaitu terciptanya sebuah masyarakat yang tata kehidupannya sesuai
dengan ruh ajaran agama. Sekelumit ruh ajaran agama itu adalah adanya rasa malu pada diri
manusia, kepada manusia dan kepada Allah Swt. Fudlail „Iyadi dalam ungkapannya: “Kau tutup
pintu rumahmu dan tabir kau turunkan karena malu kepada manusia. Tetapi kenapa kau tidak
malu kepada Al-Quran yang ada pada dadamu, dan tidak malu kepada Allah Yang Maha Besar
dan sesuatu apapun tidak samar bagi-Nya.”
Bagi manusia yang sibuk dalam urusan duniawi dan hampir atau sudah tidak punya lagi
rasa malu, sempatkanlah berfikir. Di sudut ruangan rumah atau masjid berfikirlah beberapa saat.
Bayangkanlah bahwa, kehidupan yang sedemikian besar dan tarikan nafas miliaran manusia,
keteraturan tata surya, hamparan laut yang luas, ketegaran dan keindahan gunung dan hutan,
semua ini ada yang mengatur dan menjaganya. Allah lah yang menghendaki semua ini.
Kehidupan manusia pun adalah kehendaknya. Allah bahkan malu ketika hendak menyiksa
hambanya yang sampai tuanya beriman. Lalu kapankah tumbuh benih rasa malu dalam hati kita?
Malu dengan jalan sesat yang selama ini kita lalui, tanpa henti. Wallahu a‟lam bish-shawab.
32

MENGHORMATI ORANG TUA

Dalam kitab Taurat, Injil, Zabur dan Al-Quran, Allah Swt. mewahyukan kepada para Nabi
untuk menghormati orang tua, yaitu dengan mengetahui apa saja yang menjadi hak mereka.
Adapun hak orang tua itu terbagi dua. Pertama, ketika mereka masih hidup. Pada masa ini
kepatuhan anak akan diuji sedemikian rupa. Kedua, saat mereka telah meninggal. Pada masa
inilah anak harus sering mendoakan keduanya.
Rasulullah, Muhammad Saw. bersabda, “Ketaatan pada ibu-bapak itu lebih utama dari
jihad, apalagi jika dibanding kepentingan duniawi.” Lebih dari apa yang dikatakan Rasul itu,
bahwa keridhaan dan kebencian Allah bergantung kepada keridhaan dan kebencian orang tua.
Untuk memperoleh tempat di sisi-Nya, kita terlebih dahulu harus mendapatkan “ijazah”
keridhaan orang tua.
Perintah tunduk dan patuh pada orang tua—selama mereka berada di garis kebenaran—
sangat jelas dalam kitab suci umat Islam. “Katakanlah: marilah kubacakan apa yang diharamkan
atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu menyekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat
baiklah terhadap kedua orang ibu-bapak, dan jangan kamu membunuh anak-anak kamu karena
takut kemiskinan”. (QS Al-An‟am [6]: 151)
Ada kalanya bentuk ketaatan seorang anak itu dalam bentuk pemberian materi dan non-
materi. Keduanya memiliki nilai yang sama pentingnya. Jika sang anak tidak mampu memberikan
materi, maka cukup dengan ketaatan dan perilaku hormat terhadap mereka. Pada level dan
kondisi tertentu ketaatan yang kedua itu lebih berharga di mata para orang tua. Kehadiran anak
yang sudah dewasa dan berhasil di tengah orang tua lebih menyejukkan mata dan
membahagiakan mereka dibanding dunia dan seisinya ini.
Tidak ada cinta sejati di dunia ini, kecuali cinta orang tua terhadap anak. Setiap mereka
akan melakukan apa saja demi kebahagiaan dan keberhasilan anaknya. Setiap jengkal
pengorbanan itu akan tiada dirasa sia-sia, jika sang anak memberikannya kasih sayang. Sikap
hormat, menghargai, bisa diajak diskusi, keakraban dan tunduk terhadap saran orang tua adalah
hal paling berharga bagi setiap orang tua.
Banyak anak yang meninggalkan pergaulan semacam itu. Ketaatan menjadi barang langka
kita temui pada generasi sekarang ini. Anak-anak pada era globalisasi ini miskin budi pekerti
luhur: tatakrama, sungkem, dan andap asor. Mereka sepi dari penghormatan terhadap orang tua.
Ini menunjukkan rendahnya kualitas kesalehan dan kebersihan jiwa sang anak. Mereka
mempunyai kecerdasan yang tinggi dalam IQ, namun sangat rendah dalam EQ dan SQ.
Padahal tiadalah maksud orang tua mendidik anak di rumah dan mengirimkannya
bersekolah, kecuali agar ia menjadi anak yang saleh. Yaitu anak yang memiliki sopan santun dan
menghormati orang tua, serta senantiasa mendoakan ibu-bapaknya setiap saat. Anak yang seperti
inilah yang bisa menjadi penyejuk bola mata orang tua. Anak yang saleh bukan hanya berarti buat
dirinya sendiri, melainkan kehadirannya memiliki arti dan manfaat bagi masyarakat, bangsa dan
agama.
Jelas ini pekerjaan yang tidak mudah. Anak-anak yang hidup di abad 21 ini memiliki
tantangan yang besar dan sulit. Mereka dihadapkan pada produk-produk era modern dan
tekhnologi yang melemahkan potensi moral dan ruhani—meskipun tidak semua memiliki dampak
demikian. Mereka disuguhi setumpuk hidangan budaya Barat yang belum tentu cocok dengan
selera lidah mereka sendiri. Dan semua itu mereka telan mentah-mentah, bahkan kadang atas
restu orangtua mereka sendiri.
33

Orang tua, guru, dan masyarakat, serta pemerintah harus sama-sama memikul tanggung
jawab ini. Mereka semua harus kerjasama untuk membenahi akhlak anak-anak bangsa yang
sudah melorot tajam ke lubang kehancuran ini. Anak-anak hari ini adalah pemimpin yang akan
mengisi sejarah bangsa Indonesia esok hari.
Maka pendidikan adalah syarat mutlak yang harus diberikan kepada anak. Bukan semata
pendidikan formal sekolah, yang lebih penting lagi pendidikan di lingkungan keluarga. Sejak dini
anak diberikan pemahaman tentang apa saja kewajiban mereka terhadap orang tua. Sikap mandiri,
toleransi, egalitarianisme dan demokrasi harus dimulai dari rumah. Memanjakan anak dengan
sederet fasilitas ciri manusia modern dan kebebasan yang tanpa batas adalah bumerang buat
orang tua. Tunggu saja lima atau sepuluh tahun yang akan datang.***
34

MEMATAHKAN TIPU DAYA SYETAN

Jika ada makhluk Tuhan yang menyatakan perang selamanya dengan manusia, dialah
Iblis atau syetan. Dialah musuh manusia dalam kehidupan ini. Masalahnya adalah tidak mudah
menghadapi musuh yang tidak bisa kita lihat. Ia seperti bayangan. Bisikannya bisa datang setiap
saat, kapan dan di mana pun kita berada. Ia setia menemani kita ke mana pun kita pergi, untuk
membisikkan tipu daya. Ia tidak akan pernah berhenti sedetik pun melakukan godaan, bahkan
saat ajal hendak menjemput manusia.
Coba kita simak pernyataan Iblis berikut ini: “Aku akan merintangi setiap manusia masuk
Islam, dengan jalan membuatkan sarang keraguan terhadap janji-janji akhirat, rasa cinta harta
dunia terus menerus dipromosikan sehingga mereka puas dengannya. Mereka merasa tentram
hidup di dunia. Setiap mereka taat, pasti tidak lepas dari gangguanku. Di bidang maksiat aku
selalu mendorongnya, sampai akhirnya tiada yang pandai mensyukuri nikmat pemberian-Mu.”
Demikian luas lapangan kerja syetan untuk merayu anak-cucu Adam di dunia ini. Ia bisa
masuk ke dalam banyak sisi kehidupan manusia. Syetan menggoda manusia dengan kecintaan
pada harta, anak, kedudukan, wanita, dan hidup dalam kemegahan.
Bagaimana cara kerja syetan dalam merayu umat manusia ini? Dari Shafiyah binti Jahsy,
Rasul bersabda: “Syetan beroperasi di dalam tubuh manusia, mengikuti aliran darah.” Sangat
dekat, bahkan menyatu. Mengalir setiap saat, tanpa henti. Seperti aliran darah. Demikianlah
bisikan syetan terhadap manusia.
Sampai sejauhmana Iblis menggoda? Iblis hanya dapat merayu, tidak mampu
menyesatkan manusia. Dia hanya dapat membuat hayalan kelezatan dan keindahan maksiat.
Karena itu, manusia harus mampu menolak bisikan dan rayuan, dengan dzikrullah. Firman Allah,
“Syetan bagimu benar-benar menjadi lawan, maka nyatakan ia sebagai musuh. Sesungguhnya
syetan-syetan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang
menyala-nyala.” (QS Fâthir [35]: 6)
Nabi bersabda, “Aku diutus agar berseru dan menyampaikan, tiada daya sedikitpun
bagiku untuk memberi petunjuk. Iblis dicipta untuk merayu, berbisik dan menghias, serta tiada
daya sedikitpun baginya untuk menyesatkan.”
Sebesar dan sekuat apa pun tipu daya syetan itu, manusialah yang menentukan keputusan
final dari setiap tindakannya. Allah memberi kemampuan akal kepada manusia untuk
mengalahkan syahwatnya. Diturunkan pula sebuah Kitab Petunjuk bagi hidup manusia, Al-
Quran. Nabi meninggalkan Hadits sebagai kitab panduan hidup bagi umatnya. Lengkaplah
perangkat pembimbing manusia itu dalam mengarungi hidup ini. Al-Quran dan Hadits
membimbing manusia ke jalan yang benar.
Namun demikian, banyak manusia menjauhi dan meninggalkan ajaran Al-Quran.
Pedoman hidup mereka bukan Al-Quran. Bisikkan syetan melalui kemewahan dunia telah
berhasil menjauhkan mereka dari Tuhan. Allah berfirman, “Apakah pantas bagi kalian
mengangkat syetan dan cucunya sebagai pemimpin selain Aku? Padahal mereka adalah
musuhmu. Sungguh sangat buruk balasan bagi para penganiaya.” (QS Al-Kahfi [18]: 50)
Paradigma manusia pun terbalik. Ia tidak bisa membedakan mana musuh dan mana
panutan. Justeru perintah musuhlah yang diikuti. Sementara seruan Tuhan diabaikan. Memang
ajakan syetan itu kerap menawarkan kesenangan dan keindahan. Tanpa menggoda perasaan
35

manusia secara lahiri. Tapi yang demikian itu sifatnya hanya sesaat. Manusia jika
memperturutkan hawa nafsunya, tidaklah akan merasa pernah cukup. Walaupun sudah
dimilikinya segunung emas, pasti ia akan meminta dua gunung yang lain menjadi emas pula.
Demikian juga misalnya orang yang belum punya rumah, mendambakan punya rumah. Yang
sudah punya rumah, memimpikan punya mobil. Yang sudah punya mobil, menginginkan punya
deposito. Dan seterusnya.
Angan-angan yang panjang tersebut kerap membuat manusia lalai akan kewajibannya.
Untuk mewujudkan impiannya ia kadang harus melakukan perbuatan hina dan kotor. Inilah
akibat panjang angan-angan, sementara kemampuan tidak cukup. Tersesatlah ia dalam perlaku
yang tidak mulia. Juga akibat meninggalkan pedoman Al-Quran, sebaliknya syetanlah yang
menjadi panutannya.
Syetan akan merayu manusia, siapa pun dan dalam kondisi apa pun. Dalam keadaan
senang dan susah. Dalam keadaan kaya maupun miskin. Berbagai upaya dan strategi akan
dilakukannya agar usahanya itu berhasil. Agar manusia meninggalkan perintah agama dan
melakukan larangan agama. Jika metode yang satu gagal, akan dicarinya metode yang lain.
Demikian seterusnya, hingga ia merasa sudah tidak sanggup lagi.
Perjuangan melawan bisikan syetan tidak akan pernah usai, selama manusia masih
bernafas. Apakah manusia itu syarat dengan ilmu agama atau pun tidak. Apakah ia tua maupun
muda. Anak-cucu Adam, semuanya akan berusaha dibisiki oleh syetan agar menjauhi ajaran
agamanya. Untuk menangkis dan mematahkan tipu dayanya, manusia harus mendekatkan diri
kepada Allah. Shalat lima waktu, jika dilakukan dengan hati yang khusu dan niat yang ikhlas,
akan menjadi benteng dari godaan syetan. Shalat wajib itu mesti dilakukan terus menerus, diikuti
dengan dzikrullâh. Asalkan perkara shalat ini dilakukan dengan baik, syetan akan sulit menembus
perasaan dan kalbu manusia.
Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin kutifkan salah satu ayat Al-Quran untuk kita
renungkan bersama. Bunyi ayat tersebut demikian, “Bacalah apa yang telah diwahyukan
kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah
dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar. Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah
lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”
36

MEMBIMBING PEMBANTU

Bagi keluarga kalangan menengah ke atas kebutuhan akan pembantu rumah tangga
adalah primer. Kehadiran mereka sangat urgent dan vital dalam kehidupan rumah tangga,
terutama bagi suami-istri yang sibuk bekerja. Demikian penting posisi pembantu tersebut, namun
masih banyak majikan yang memperlakukan mereka tidak sesuai dengan kaidah agama maupun
kaidah kemanusiaan.
Tentu sejumlah fakta bisa kita baca dan saksikan di koran dan televisi, bagaimana para
pembantu rumah tangga menjadi korban perilaku jahat majikannya. Bukan saja hak-hak mereka
yang tidak dipenuhi selama bekerja, melainkan penganiayaan kerap menimpa mereka. Bahkan
ada yang pulang sudah dalam keadaan tak bernyawa. Demikianlah, isak tangis air mata sering
membasahi keluarga dan masyarakat akibat melihat derita dan nasib pembantu rumah tangga.
Nah, bagaimana seharusnya sikap kita terhadap pembantu itu? Bagaimana Rasulullah menilai
pembantu?
Dari Abu Dzar r.a. Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda, “Saudaramu yang
pelayanmu itu, Allah menjadikan mereka taat kepadamu, karena itu orang yang saudaranya di
bawah perintahnya, maka harus diberi makan seperti yang ia makan, dan pakaian seperti yang
ia pakai, dan jangan dipaksa melakukan pekerjaan yang di luar kemampuan mereka, dan jika ia
melakukan perintahmu yang berat, maka bantulah mereka.” Dari Hadits ini kita bisa tahu bahwa
pembantu harus diperlakukan seperti manusia biasa yang lainnya. Kedudukannya jangan sampai
menjadikan kita menganggap rendah dirinya. Bahkan Rasul menyebut mereka dengan saudara.
Dalam hal memberi makanan dan pakaian sebaiknya yang layak disesuaikan dengan kemampuan
belanja majikannya, jangan sampai terlampau mencolok perbedaannya. Kemudian dalam hal
memberi perintah harus disesuaikan dengan kemampuannya, dan jangan segan membantu
pekerjaan yang dilakukannya.
Mengapa kita harus memperlakukan pembantu sedemikian rupa? Karena mereka
berdarah dan berdaging seperti kita juga. Perasaan yang mereka miliki tidak berbeda dengan yang
kita miliki. Mereka bisa merasai sakit dan senang seperti kita juga. Ucapan dan bahasa yang
keluar dari kita sebaiknya bahasa yang pantas dan wajar. Sesekali mungkin perlu juga
mengucapkan pujian atas pekerjaan yang mereka lakukan, sehingga mereka merasa nyaman.
Sekali lagi, jangan menyuruh pembantu melakukan sesuatu di luar kemampuannya. Demikian
juga Allah kepada hamba-Nya.
Lalu bagaimana jika pembantu melakukan kesalahan? Ini satu hal yang kemungkinan
besar bisa terjadi. Mereka manusia seperti halnya kita, bukankah tidak ada seorang pun yang
luput dari kesalahan—meskipun bathinnya tidak menghendaki hal itu terjadi. Lebarkan dada tuan
selebar-lebarnya, maafkan mereka. Satu ketika ada sahabat menemui dan bertanya kepada
Rasulullah Saw., “Berapa kali kami harus memaafkan pelayan? Setiap hari tujuh puluh kali,”
demikian jawaban Nabi. Lain soal jika tuan sedari semula sudah tidak merasa cocok dengan
kepribadian (personality) atau tidak puas dengan hasil kerja pembantu. Maka yang lebih baik
adalah segera menggantikannya, dengan jalan menyampaikannya dengan bahasa yang baik-baik
sehingga tidak membuatnya tersinggung dan terhina. Ini teramat penting sehingga tidak
menimbulkan prasangka buruk dan perbuatan buruk yang bisa timbul kemudian hari.
Sangat terpuji jika kita mau mendidik pembantu dengan memberinya kesempatan
sekolah—jika keadaan memungkinkan, atau memasukkan mereka pada sekolah keterampilan
tertentu. Juga penting diusahakan bagaimana caranya supaya mereka mengetahui dan memahami
37

ilmu agama, utamanya yang berkenaan dengan pelaksanaan shalat dan puasa, serta membaca Al-
Quran. Sebagai akhir dari tulisan ini, Hadits Nabi Saw. berikut ini perlu kita renungkan, “Tidak
bisa masuk syurga, orang yang jelek perangainya, mulyakanlah mereka seperti engkau
memulyakan anak-anakmu, dan berilah mereka makan dari makanan yang kau makan (jangan
membedakannya)”.***
38

MENAHAN MARAH

“Dan bersegeralah kau kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang-orang
yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan.” (QS Âli „Imrân [3]: 133-134)

Di perang Uhud Rasulullah Saw. patah gigi serinya, para sahabat berkata: “Ya Rasul,
kenapa orang yang mematahkan gigi serimu tidak kau doakan agar binasa? Jawabnya:
Bahwasanya aku diutus bukan untuk mengutuk manusia, melainkan agar berdakwah dan rahmat.
Nabi berdoa, “Allahummahdi qaumî fa innahum lâ ya‟lamûn. Ya Allah, tunjukilah kaumku, sebab
mereka belum mengerti”.
Rasul mengajarkan kepada umatnya untuk bisa menjaga emosi. Jangan sampai lepas dari
hati seorang mukmin. Sikap Rasul di atas menunjukkan bagaimana seharusnya sikap seorang
muslim terhadap orang yang bersalah terhadap dirinya. Membalasnya atau memaafkannya?
Menarik sekali untuk dicermati bahwa, Muhammad Saw. tidak berhenti hanya pada memaafkan
orang yang telah melukainya. Tetapi ia lanjutkan dengan mendoakan orang tersebut agar diberi
petunjuk kepada jalan kebenaran. Bisakah umat muslim meneladani sikap Nabi mereka yang
sedemikian mulia ini?
Apa sebenarnya yang dinamakan emosi atau marah itu? Imam Al-Ghazali menjelaskan
dalam kitab Al-Arbaîn, marah adalah seberkas api dari neraka Allah yang menyala-nyala yang
membakar hati manusia. Hal ini nampak pada mata seseorang yang sedang marah yang menjadi
merah.
Allah Swt. menurunkan perintah dalam QS Al-A‟râf [7]: 199, “Jadilah engkau pemaaf
dan suruhlah orang mengerjakan yang ma‟ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang
bodoh.” Rasul bertanya kepada Jibril mengenai tafsir ayat ini. “Kutanyakan dulu kepada Allah
Yang Maha Tahu,” jawab Jibril. Tidak lama kemudian Jibril datang, “Hai Muhammad,
bahwasanya Allah memerintah kepadamu agar menyambung tali saudara yang memutuskan
ikatan persaudaraan denganmu, dan bermurah hati terhadap orang yang kikir kepadamu, serta
memaafkan orang yang pernah menganiaya dirimu.”
Tidak boleh ada perasaan dendam dalam hati umat Islam terhadap orang lain. Demikian
salah satu pesan ayat di atas. Juga harus bersikap positif bahkan terhadap orang yang enggan
memberi terhadap kita. Sebaliknya, seorang muslim harus memiliki jiwa besar dalam memaafkan
kesalahan orang lain. Jika sikap-sikap demikian telah tertanam dalam jiwa setiap muslim,
kemudian mengamalkannya dalam kehidupan nyata, akan tercipta kehidupan yang aman dan
tenteram.
Jika ada di antara tuan-tuan yang menganggap bahwa sikap demikian terkesan pengecut,
silahkan. Dan karenanya tuan lebih memilih membalas kesakitan yang tuan terima dengan
menyakiti orang lain lagi. Tentu saja dengan alasan membela diri atau karena ada ayat Al-Quran
yang bicara pemberian hukuman yang setimpal terhadap orang yang telah berbuat kejahatan.
Sekali lagi, memberikan maaf terhadap orang yang mendzalimi kita lebih utama nilainya di mata
Allah dan Rasul. Rasulullah memberikan penegasannya dalam sebuah Hadits, “Orang yang
paling gagah di antara kamu semua adalah orang yang dapat mengalahkan nafsunya di waktu
39

marah dan orang yang tersabar adalah orang yang suka memaafkan kesalahan orang lain
padahal ia kuasa membalasnya.”
Yang penting digaris bawahi dari Sabda Rasul ini adalah perkataan “…padahal ia kuasa
membalasnya”. Ada kecenderungan dalam diri sebagian manusia—apakah karena kekayaan,
pangkat, dan golongan yang dimilikinya—merasa lebih besar dari orang lain. Karena frame
berfikirnya seperti ini, sungguh sulit buat dirinya untuk memaafkan orang lain. Karena itu, sikap
pemaaf ini hanya akan lahir dalam jiwa yang menganggap bahwa hakikat manusia ini adalah
sama dan sederajat, serta disatukan oleh garis persaudaraan.
Penting untuk disadari bersama bahwa, manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Ada
seribu satu alasan mengapa orang menjadi marah. Demikian pula ada seribu satu alasan mengapa
orang menjadi pembangkit amarah. Karenanya kerap kali orang yang bertengkar merasa benar
semuanya. Sulit mencari siapa yang bersalah? Dalam kondisi seperti ini yang diperlukan adalah
ketenangan dan keterbukaan hati untuk bisa menerima jalan dialog. Mengapa anda berbuat hal
yang bisa membuat hatiku terluka? Coba seandainya anda sendiri yang mengalami apa yang saya
alami? Atau kau pernah merasa tersinggung sebab perbuatan saya, sehingga kau ingin
membalasnya? Tanyakan baik pada diri kita juga pada orang lain mengapa sesuatu menimpa kita.
Sebab tidak ada kebenaran mutlak pada perilaku dan pendapat manusia. Ukuran baik dan buruk
bisa berbeda pada setiap pribadi dan generasi.
Tiada ada kemanfaatan sedikitpun yang dihasilkan dari memarahi sesama. Ia hanya akan
melahirkan penyesalan pada akhir perbuatannya, dan akan mematahkan semangat orang yang
dimarahi. Bahkan tidak jarang menimbulkan sikap tidak percaya (unbeliefe) dari si korban kepada
orang yang pemarah. Persoalan akan muncul apabila si pelaku enggan mengakui kekhilapannya,
baik karena perasaan malu atau merasa harga dirinya terlalu tinggi untuk minta maaf. Terjadilah
kerenggangan hubungan di antara keduanya.
Tiga hari. Demikian batas tenggat waktu yang dibolehkan Nabi kepada umatnya yang
dalam keadaan saling bertengkar. Lebih dari itu, buruk akibatnya. Tiga hari waktu yang lebih dari
cukup untuk menyadari kesalahan dan merajut kembali tali kasih yang pernah terpaut indah
dalam tata kehidupan berteman, bersaudara, bertetangga, dan juga bermasyarakat, serta berbangsa
dan bernegara. Bukankah kehidupan yang bebas dari prasangka dan amarah lebih tenteram dan
aman?
Akhirnya, ada pesan Nabi yang sangat sayang jika dilewatkan begitu saja. Demikian
bunyinya, “Sesungguhnya syetan itu dijadikan dari api; dan bahwasanya api itu dipadamkan
dengan air. Apabila salah seorang dari kamu marah, hendaklah ia berwudlu.” Semoga jika pun
ada api yang menyala dalam diri setiap kita, itu hanya percikan api kecil yang mudah padam
walaupun oleh tiupan angin kata maaf yang diucapkan secara tulus dan ikhlas. Sesungguhnya
Allah Swt. Maha Pengampun dan Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya.***
40

MENEBAR KASIH SAYANG, MENUAI DAMAI

Bismillâhirrahmânirrahîm,
Dengan menyebut nama Allah
yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang

Allah sangat menyayangi makhluk-Nya. Dia mengasihi hamba-Nya tanpa pilih kasih, dan
tak terbilang berapa hamparan kasih-Nya menebar di taman dunia ini. Karena kasih-Nya pula
penulis menulis tema yang sarat makna dan menenteramkan hati ini, yaitu perihal Kasih Sayang.
Sebuah kalimat yang sering kita dengar, namun amat sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata.
Sehingga kepada Allah jua penulis bermohon untuk diberikan lampu penuntun agar ajaran
agama-Nya tersampaikan, meski datangnya dari pena si pembuat banyak kesalahan ini. Semoga
tuan-tuan memintakan ampun, agar Allah menerima penulis dalam kemegahan pangkuan-Nya.
Setiap manusia memiliki rasa kasih sayang. Ia terlahir dan mati karena adanya benih kasih
sayang. Persoalannya, bagaimana agar kehadirannya melahirkan tata kehidupan yang damai dan
tenteram. Karena untuk kedamaianlah manusia itu sebenarnya ada. Mana kala kasih sayang itu
telah lenyap, maka mustahil mengharapkan datangnya musim buah kedamaian.
Nabi berkata, “Setiap Nabi pasti pernah menggembala kambing.” Hikmah dari semua itu,
kata Al-Faqih, untuk menguji sampai sejauhmana kesabaran dan kesayangan serta keuletan
mereka, demi membekali mereka dalam menghadapi umat manusia, sehingga mereka tidak
terkejut ketika diganggu dan disakiti mereka. Seorang Nabi saja perlu “dilatih” agar ia memiliki
jiwa kasih sayang dan kesabaran, lalu bagaimana kita, manusia biasa ini? Memang, kita bukan
Nabi (baca: Rasul) yang punya kewajiban menyeru umat ke jalan yang benar. Tapi bukankah
setiap kita juga adalah khalifah di muka bumi ini, yang diharapkan bisa membawa sayap-sayap
kehidupan ini menjadi lebih terasa harum dan nyaman oleh kepakannya.
Selain untuk mengabdi pada Allah, kita juga harus menjaga hubungan kita dengan makhluk-
Nya. Apakah itu manusia, hewan maupun tumbuhan di muka bumi ini. Hewan dan tumbuhan
memerlukan kasih sayang dari kita. Karena sentuhan tangan-tangan terampil yang diselimuti
kasih sayang, sekumpulan ikan lumba-lumba mampu menjadi tontonan menakjubkan dan
mengasyikkan. Lihat pula, tanaman yang dibonsai menjadi indah dan menawan karena sentuhan
kasih sayang tangan manusia. Kalau hewan dan tumbuhan saja bisa dibuat sedemikian menarik
oleh sentuhan kasih sayang, apalagi manusia. Berbeda dengan makhluk yang lainnya, Allah
membekali manusia dengan akal. Maka rahasia menjadikan manusia berhasil dan berbudi pekerti
adalah berikanlah ia kasih sayang. Tentu saja jangan berlebihan, harus tahu ukuran waktu dan
tempat dalam memberikan kasih sayang. Dan ini bukan perkara mudah, memang.
Setiap individu kita pasti menyayangi jiwa dan raga kita, tapi belum tentu kita bisa
menyayangi orang lain. Justru inilah persoalannya. Kasih sayang itu bukan hanya untuk diri kita,
melainkan untuk diberikan pada orang lain. Bahkan kepada saudara kita yang dikenakan
hukuman karena dosa-dosanya, kita harus mendoakannya. Ia tak terbatas pada sesama muslim,
bahkan terhadap orang kafir dhimmy (tidak bermusuhan secara nyata) sekalipun.
Bagaimana mungkin kita mendoakan orang yang bersalah dan apalagi orang kafir? Ya. Kita
berdoa agar orang yang bersalah diberikan kesadaran menuju jalan kebaikan; kepada orang kafir
kita berdoa agar Allah memberikan petunjuk. Jika kita bukan termasuk orang yang mendoakan,
paling tidak kita bisa bergaul secara baik dengan mereka. Inilah yang namanya aturan hidup
41

masyarakat yang beradab (civilize). Kehidupan sosial yang melewati batas-batas suku, ras, dan
agama. Singkatnya, tempatkanlah kasih sayang itu dalam bingkai keadilan.
Seorang Muslim harus bisa menutupi aib orang lain, sebagaimana ia menutup rapat-rapat
pintu aibnya dari orang lain. Memaafkan kesalahan orang lain, pemaaf. Apabila kesalahan orang
lain menimpa kita, ingatlah bahwa kita juga pernah berbuat kesalahan. Bahwa manusia tanpa
kesalahan bukanlah apa-apa. Sebaliknya, belajarlah dari kesalahan itu sendiri, supaya hidup lebih
berkualitas dan bermakna.
Tapi lihat keadaan di sekeliling kita, terlalu banyak di antara kita yang sibuk mengorek
kesalahan orang lain, seakan-akan mereka adalah Tuhannya! Sadarlah, bahwa kita hanyalah
seorang hamba. Terhadap aib orang lain berlakulah sebagaimana orang tuli yang tidak bisa
mendengar apa-apa. Dengan menutup aib orang, dua keuntungan sekaligus bisa diraih. Pertama,
yang punya aib tidak merasa malu dan hina, sehingga ia bisa bebas bergaul. Kedua, hidup kita
sendiri tidak akan mubadzir (sia-sia) hanya karena sibuk menghitung aib-aib orang lain. Daripada
sibuk mengurusi perkara orang, sibukkanlah diri tuan dengan mengisi cawan akhirat tuan selagi
sempat. Sebab kehidupan akhiratmu itulah sebenarnya yang paling berharga melebihi kekayaan
dunia ini.
Akan halnya kasih sayang ini, Abu Abdillah Syammy bertemu Thawus. Berkata Thawus
kepadanya, “Bahwa jika isi Taurat, Injil, dan Al-Quran itu disingkat hanya berisi tiga hal.” (1)
Takutlah pada Allah, hingga tiada yang kau takuti, kecuali Allah, (2) Berharaplah kepada-Nya,
miliki rasa takutmu kepada-Nya, (3) Cintalah kepada sesamamu, seperti engkau menyintai dirimu
sendiri. Sedangkan Umar Abdul „Aziz mengatakan, “Amal yang paling disenangi oleh Allah ada
tiga, yaitu (a) Memaafkan sewaktu ia sanggup membalas, (b) Berlaku adil sewaktu emosi, (c)
Menaruh belas kasihan terhadap sesama hamba Allah. Karena hal itu menjadikan Allah sayang
kepadanya. (Abu Laits Samarqandi, Tanbîhul Ghâfilîn)
Kutipan tersebut agaknya cukup untuk meyakinkan kita, bahwa hendaknya kita rajin
menanam benih kasih sayang pada taman orang lain. Siramilah taman-taman itu setiap saat dalam
kesempatan hidup kita. Biar kelak tumbuh bunga-bunga yang harum semerbak di taman
kehidupan ini. Biar kita merasakan kedamaian oleh harumnya, sebab kerap kali dalam kedamaian
hati itu tercipta karya-karya agung yang menawan hati dan menjadi lukisan sejarah sepanjang
masa.
Sebaliknya, jangan biarkan bunga-bunga kedamaian itu layu, karena kebodohan dan
kelalaian. Kelalaian bisa karena kita sibuk menyibak perkara duniawi, padahal ia tidak abadi
sifatnya. Percayalah, meski kasih sayang itu sudah ada dengan sendirinya, tapi kebanyakan kita
enggan memberikannya pada sesama. Entah itu karena kurang pengetahuan atau karena kita
sudah merasa bahagia sendiri, entah orang lain. Karena keringnya kasih sayang cakrawala dunia
ini senantiasa dipenuhi air mata kesedihan dan nestapa tiap zamannya. Di dalamnya hidup orang-
orang yang putus asa dan kehilangan harapan masa depan.
Jadi bukan perkara apa susahnya membagi kasih sayang, melainkan perlu latihan tiap saat
belajar menanam kasih sayang. Tuan-tuan, mulailah dari lingkungan keluarga, sekolah, kantor,
dan masyarakat; anak, teman, tua dan muda, semuanya membutuhkan siraman air kasih sayang.
Tebarkanlah pada kuncup mereka benih kasih sayang dalam setiap tarikan nafas tuan. Percayalah,
setiap tetesan kasih sayang itu akan tumbuh mekar menjadi seribu bunga kedamaian dalam hidup
kita.
Senyum dan berbahagialah dengan keadaan kita sekarang. Karena kita mempunyai ibu yang
telah mengorbankan setiap tetesan air mata dan keringatnya, hanya untuk kebahagiaan kita.
42

Dalam setiap sujud tafakurnya, ia senantiasa berdoa agar anaknya diselamatkan dunia-akhirat.
Doa itu bergetar menyeruak menembus langit ke tujuh menghampiri aras Ilahi. Dan kita sadar
bahwa tanpa kasih sayangnya kita bukanlah apa-apa. Memang, jasad dan jiwa tak berharga ini
kehilangan semangat dan keceriaannya jika lama tak mendengar suaranya. ***
43

MENELADANI AKHLAK SUCI AL-AMIEN

Tanggal 25 Mei 2002, kalender Nasional kita mencatat sebagai hari peringatan Maulid Nabi
Muhammad Saw. Pada bulan ini di setiap sudut negeri ini terdengar gema shalawat dan salam
tertuju buat Nabi, mulai dari masjid, gedung pertemuan, hingga hotel berbintang. Segala pujian
terhadap akhlak suci beliau terlontar dari bibir-bibir para juru dakwah Islam. Mulai dari kalangan
rakyat biasa, menengah, para eksekutif, hingga kalangan selebritis ikut terlibat dalam seremoni
Maulid Nabi yang bentuknya amat beraneka ragam.
Semarak peringatan Maulid Nabi ini menunjukkan semangat religiusitas rakyat negeri ini berada
pada tingkat menggembirakan. Hanya saja, sikap keberagaman itu baru sampai pada nilai
eksoterisnya saja . Tidak banyak di antara kita yang mampu memahami apa arti peringatan
kelahiran Nabi tersebut. Padahal yang diharapkan dari peringatan Maulid Nabi adalah
peningkatan kualitas ibadah dan kemauan kita untuk meneladani akhlak suci sang Nabi.
Penggalian makna esoteris inilah yang merupakan inti (core) peringatan Maulid Nabi, lain tidak.
Berulang kali Nabi menegaskan bahwa ia tidak diutus ke bumi ini melainkan untuk memperbaiki
akhlak. Kebangkrutan moral masyarakat Arab yang jahiliyah saat itu sudah sampai pada titik
nadir. Perbudakan, penindasan terhadap kaum hawa, rentenir dan perilaku-perilaku amoral
lainnya tumbuh subur di sana. Dan Nabi lahir di tanah Arab itu untuk kemudian merubah akhlak
tercela tersebut dengan prinsip egalitarianisme, inklusifisme, musyawarah, dan demokrasi.
Nabi berhasil menancapkan prinsip-prinsip tersebut dalam bangunan masyarakat Madinah.
Dimana atmosfir kehidupan dijalankan dengan sikap saling menghormati satu sama lain—dengan
tidak memandang perbedaan suku, ras, bahkan agama sekalipun. Setiap warga masyarakat hidup
berdampingan dengan kokoh dan saling bantu membantu. Nabi berhasil memimpin umatnya pada
kondisi seharmonis ini karena ia senantiasa mempercayai dan senantiasa menyebarkan pesan,
bahwa Islam itu rahmatan lil „âlamîn. Efektifitas kepemimpinan beliau juga karena ia adalah
tauladan yang baik. Ia tidak pernah memerintahkan orang lain, sebelum ia sendiri melakukannya.
Antara perkataan dan perbuatan sesuai. Itulah sebabnya beliau diberi gelar al-amîn (yang dapat
dipercaya).
Sebagai kepala negara, Muhammad memimpin masyarakat bukan dengan cara kekuatan dan
kekuasaan, tapi dengan moral. Pada masanya keran demokrasi dibuka selebar-lebarnya,
sebaliknya pintu kebohongan ia tutup serapat-rapatnya. Karena itu ia tidak merasa rendah jika
dalam musyawarah bukan pendapatnya yang dipakai, melainkan pendapat para sahabat.
Kebesaran nama dan pangkat yang dimilikinya tidak membuatnya sombong. Jika ada sahabat
yang menyanjungnya secara berlebihan, maka ia katakan: “Saya manusia biasa seperti kalian,
hanya saja saya diberi amanat untuk menyampaikan agama-Nya. Manusia di mata Allah itu
sama, hanya ketakwaan yang membedakannya”.
Sebagai pemimpin tidak ada satu pekerjaan umum pun yang beliau tidak ikut terlibat di
dalamnya. Saat pembangunan masjid Nabawi di Madinah, misalnya. Beliau ikut serta
mengangkat batu-batu bersama sahabat-sahabatnya. Orang-orang kagum bukan saja oleh
keindahan dan kehalusan cara bertutur beliau, melainkan pada sikap dan perbuatan yang
senantiasa menunjukkan akhlak yang tinggi. Muhammad dicintai umatnya karena sikap dan
kepribadiannya yang halus dan penuh kasih sayang.
Dalam pergaulan kemasyarakatan ia adalah orang yang lemah lembut, namun ia sangat tegas
dalam menegakkan prinsip-prinsip. Ketika ia memasuki kota Makkah, setelah penaklukan kota
tersebut, ada seorang wanita bangsawan Quraish yang mencuri. Dalam syariat Islam wanita
44

tersebut harus dipotong tangannya. Keluarga dan kerabat wanita tersebut berusaha agar ia lolos
dari hukuman tersebut, karena merasa akan sangat terhina keluarga bangsawan kedapatan
mencuri. Nabi menolak usaha pembebasan tersebut, sebab menurutnya hukum Islam harus
ditegakkan pada siapa pun tanpa melihat status dan golongan yang bersangkutan. Bahkan Nabi
menegaskan, “Seandainya anakku Aisyah melakukannya, maka aku sendiri yang akan memotong
tangannya.”
Kecuali itu, dalam kesempatannya yang luas untuk menjadi orang yang berkecukupan, ia memilih
untuk hidup sederhana. Seorang pemimpin yang kekuasaannya melewati Jazirah Arab itu hanya
tinggal dalam sebuah rumah biasa yang alas tempat tidurnya tidak lain tikar yang terbuat dari
pelepah kurma. Ia tidak segan menjahit pakaiannya sendiri karena telah robek. Tidak jarang
beliau mengikatkan sebuah batu di atas perutnya untuk menahan lapar. Manusia pilihan ini
memang telah memilih hidupnya dalam kesederhanaan, bahkan satu ketika ia pernah menawarkan
pilihan pada istri-istri beliau: “Jika kalian tidak sanggup hidup dalam keadaan seperti ini
(kesederhanaan) maka silahkan tinggalkan rumah ini”.
Demikian sekilas potret sosok Muhammad. Seorang pemimpin yang jujur, tegas, lemah lembut
dan sederhana. Lalu mari kita tengok wajah pemimpin-pemimpin negeri kita sendiri, Indonesia
yang mayoritas penduduknya muslim. Mereka yang dalam setiap rakaat shalatnya memuji
Rasulullah, lupa akan makna ucapannya sendiri. Mereka dan kita kebanyakan baru
mengenangnya dalam ucapan, belum pada tindakan. Kita melupakan bahwa Muhammad diutus
ke bumi ini supaya menjadi teladan umat dalam hal moralitas.
Menyaksikan wajah Indonesia saat ini seolah kita menyaksikan gambaran kehidupan masyarakat
Jahiliyah Makkah pada masa Nabi dalam bentuknya yang lebih moderen. Namun dalam hal
kerusakan moral dalam struktur ekonomi, budaya, dan politik kita memiliki substansi yang mirip
dengan zaman Jahiliyah, bahkan mungkin lebih parah. Beberapa media massa bahkan mengakui
bahwa kita sebagai bangsa telah mengalami kebangkrutan moral. Kalau moral saja sudah hilang
dalam diri sebuah bangsa, lalu apa lagi yang kita miliki yang patut kita banggakan.
Banyak persoalan bangsa ini yang menggantang asap akibat orang-orang yang tidak tegas dan
tidak jujur. Tegasnya kita belum mempunyai pemimpin dan penegak hukum yang bersih, jujur,
tegas dan adil serta lebih mengutamakan kepentingan rakyat. Mereka semua bukanlah abdi
masyarakat, melainkan abdi kekuasaan dan materi. Maka Indonesia pun pantas menerima gelar
yang cukup menyakitkan, yaitu menempati nomor satu negara terkorup se-Asia. Julukan yang
amat menyedihkan buat negara yang mayoritas penduduknya muslim, sebab Islam sangat
mengutuk perbuatan korup tersebut.
Reformasi yang diharapkan membawa negeri ini dari keterpurukan ekonomi, budaya dan politik
pun ternyata telah mati suri. Cita-cita reformasi telah terkubur oleh vest interest pribadi dan
golongan. Akibatnya, era reformasi saat ini tak memberikan sesuatu yang berarti bagi
kesejahteraan dan keamanan rakyat. Bahkan tidak sedikit yang merasa lebih senang hidup di era
orde baru, dan menyesali orde reformasi. Masyarakat tidak salah, ini akibat para pemimpin dan
penegak hukum serta elit politik sendiri melupakan ruh atau semangat munculnya era reformasi
empat tahun yang lalu.
Nah, dari sudut pandang wajah Indonesia kita seperti inilah, selayaknya para pemimpin, penegak
hukum, dan elit politik serta setiap kita menoleh ke masa lalu. Masa di mana hidup seorang Nabi
pilihan yang patut kita (umat Islam) jadikan panutan, baik dalam ucapan dan perbuatannya yang
suci dan bersih. Nabi pernah bersabda, “Mulailah dari diri kamu sendiri”. Memang
menyelesaikan persoalan bangsa ini tidak semudah membalik telapak tangan. Faktor ekonomi,
45

politik dan budaya saling terkait satu sama lain. Tapi mari kita bicara soal pelaku sejarah negeri
ini. Bahwa setiap kita, apa pun pangkat dan kedudukan kita serta di sudut bumi Indonesia
manapun kita tinggal, memiliki tanggung jawab sejarah.
Setiap kita akan memberikan sumbangan terhadap warna sejarah bangsa ini. Terutama kepada
para pemimpin, penegak hukum, dan elit politik diharapkan bisa menyelami keluhuran budi dan
moral Nabi Muhammad Saw. Sebab bisa jadi benar, bahwa kebringasan dan sikap anarkis
masyarakat grass root saat ini merupakan cermin dari sikap dan perilaku pemimpin, penegak
hukum, dan elit politik negeri ini.
Muhammad dicintai dan dikenang sepanjang masa bukan karena keberhasilannya
menjadikan agama Islam menjadi agama yang besar; Ia dicintai dan dikenang karena keluhuran
budi pekerti atau moralnya. Maka pada bulan Maulid Nabi inilah saat yang tepat bagi kita sebagai
bangsa untuk meraih dan menebarkan bunga-bunga kejujuran, keadilan, egalitarianisme,
demokrasi, dan inklusifisme di setiap aspek kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Sehingga di
masa mendatang bunga-bunga reformasi tumbuh dan berkembang di negeri tercinta ini.***
46

MENGEJAR PANGKAT

“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu
tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan
lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah
mereka kerjakan.” (QS Hûd [11]: 15-16)

Apakah yang dimaksud dengan pangkat itu? Menguasai hati orang lain supaya tunduk
kepada orang yang mempunyai pangkat untuk menuruti semua kemauannya, lisannya
dipergunakan untuk memujinya dan supaya bekerja untuk memenuhi hajatnya, demikian hakikat
pangkat menurut Imam Al-Ghazali. Kalau demikian burukkah pangkat dan orang yang mengejar
pangkat?
Asal mula pangkat itu, Al-Ghazali meneruskan, adalah berupa kemasyhuran dan tersiar
luasnya kedudukan seseorang di kalangan umat. Menginginkan menjadi orang yang masyhur atau
ternama itu adalah tercela. Sampai di sini, jangan keburu mengatakan kalau Al-Ghazali adalah
orang yang mengecam dunia, termasuk para pemimpin dan para pejabat negara. Ia menegaskan
bahwa, “Tidak tercela orang yang mempunyai pangkat yang dimaksudkan untuk melindungi
kepentingan-kepentingan jasmani.”
Kesimpulannya, memiliki pangkat tidak dilarang sepanjang cara memperolehnya tidak
dilakukan dengan jalan berdusta, menipu, mengelabui mata umat atau melakukan apa saja yang
dilarang menurut ketentuan syariat. Timbul pertanyaan, dalam situasi zaman seperti ini, adakah
pemimpin yang memperoleh jabatan dengan cara yang demikian?
Yang pasti, dua Hadits di bawah ini mengisyaratkan betapa kepangkatan itu sangat rawan
bagi terjadinya penyimpangan. “Cukuplah keburukan seseorang itu apabila semua orang sama
menunjuk kepadanya dengan jari-jari mereka (dijadikan pemimpin), baik dalam urusan
keagamaan dan keduniaan, kecuali orang yang benar-benar dijaga oleh Allah. Sesungguhnya
Allah tidak melihat kepada rupa bentukmu, tetapi semata-mata melihat hati dan kelakuanmu.”
Dan, “Cinta harta dan pangkat itu menumbuhkan sifat munafiq di dalam hati, sebagaimana air
menumbuhkan sayur-mayur.”
Ketika seseorang menduduki jabatan tertentu di dunia ini, dan semua orang
menyanjungnya, terbukalah pintu kesempatan orang tersebut untuk merasa besar dan bangga diri.
Juga bagi orang yang sudah masuk ke dalam dunia birokrasi ini, apakah mereka sanggup
berbuat—sebagaimana ia juga sanggup berkata-kata—jujur terhadap dirinya sendiri juga kepada
masyarakat? Demikianlah bagaimana Muhammad mengingatkan para pemimpin bahwa, cinta
pangkat itu akan menumbuhkan sikap munafiq itu.
Lalu bagaimana kalau kita tengok sejarah dunia ini, mulai dari Khalifah Abu Bakar,
Umar, Utsman, dan „Ali, serta seterusnya hingga sekarang ini. Benang merah sejarah perebutan
pangkat dan jabatan itu demikian jelas. Fitnah dan caci maki menebar seperti angin ke segala
pelosok bumi. Darah dan bahkan nyawa ratusan manusia harus berguguran. Demikianlah, semua
itu dikorbankan atas nama pangkat demi memenuhi ambisi segelintir orang yang haus dengan
dunia ini.
47

Al-Quran dengan gamblang mengancam para pelaku kejahatan dan kerusakan tersebut:
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan
berbuat kerusakan di (muka) bumi.” (QS Al-Qashash [28]: 83) Demikian jelas akibat mendamba
pangkat itu, orang rela melakukan apa saja. Suap-menyuap, profokasi, fitnah, dan perilaku
destruktrif yang melibatkan massa.
Sebenarnya pangkat itu sendiri tidaklah buruk sifatnya. Hanya saja, orang yang
mendudukinya kerap tidak tahan untuk tidak berlaku kotor dan curang. Apalagi sejak awal proses
pencapaian kedudukannya itu diperoleh dengan cara-cara tidak adil dan membodohi umat. Intisari
pesan Al-Ghazali berikut ini amat bagus untuk direnungkan, “Apabila engkau memperoleh
pangkat secara wajar dan mampu menolak bahayanya, diharapkan keselamatan bagi engkau.
Hanya saja engkau dalam keadaan yang mengkhawatirkan yang besar. Karena pangkat itu lebih
lezat dari pada harta.”
Karena itu menurut penulis, tiga hal berikut ini penting bagi orang yang hendak terjun
dan atau sudah ada dalam dunia kepangkatan. Pertama, memantapkan motivasi dan meluruskan
niat. Bahwa tujuan meraih jabatan itu adalah untuk kepentingan umat dan karena merasa diri
mampu menjalankan tugas-tugas yang akan dipegang. Juga harus memandang bahwa jabatan itu
pada hakikatnya adalah amanah yang diberikan umat di pundaknya, dan ia harus memiliki niat
untuk menerima dan menjalankan amanah itu dengan baik dan benar.
Kedua, proses mencapai tujuan harus bersih dan sehat. Yaitu dengan cara yang sesuai
dengan aturan yang berlaku dan wajar, bukan dengan cara menipu dan memaksa. Memang sulit
mencari proses yang seperti demikian di negeri kita ini. Kecuali jika sistem yang dibangun itu
bagus dan didukung pula oleh sumber daya manusia yang bermoral tinggi. Kapan bangsa kita
bisa memiliki kedua hal ini berjalan seiring? Tidak untuk zaman kita sekarang mungkin, tetapi
nanti setelah generasi-generasi bangsa ini memperoleh pendidikan yang layak secara merata.
Ketiga, berusaha menjalankan tugas sesuai dengan syariat. Prinsip amar ma‟rûf nahi
munkar harus menjadi pegangan seorang pemimpin dalam menjalankan roda tugasnya. Tekad
tersebut harus pula diiringi keyakinan bahwa Allah akan senantiasa membimbing hambanya yang
sungguh-sungguh berjuang di jalan-Nya. Hal ini untuk menangkal setiap godaan yang datang dari
gemerlapnya kedudukan yang dipegangnya. Godaan itu bisa datang dari orang lain dan diri
sendiri, serta keluarga. Yang pasti, sangat berat tanggung jawab yang dipikul oleh seorang
pemimpin, sebagaimana besar pula pahala yang akan diterima jika berhasil menjalankan amanah
tersebut dengan baik.
Kedudukan kerap menciptakan sikap sombong dalam diri manusia. Biasanya penyakit ini
diikuti oleh sikap melupakan orang miskin, dan hanya mau bergaul dengan orang yang sederajat
dengannya. Maka, sebaiknya pemimpin yang demikian segera sadar bahwa, dengan mengingat
dan membantu orang miskin akan bertambahlah nikmat Tuhan kepadanya. Kalau para orang
miskin itu dibantu dan mereka merasa senang karenanya, mudah-mudahan dari bibirnya keluar
doa-doa kebaikan untuk para pemimpin yang keterkabulan doa tersebut sudah memperoleh
jaminan dari manusia agung, Muhammad Saw. Doa-doa mereka akan terjawab secepat
cahaya.***
48

MENJALANKAN URUSAN AKHIRAT

Demi waktu matahari sepengalahan naik,


Dan demi malam apabila telah sunyi,
Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu,
Dan sesungguhnya kehidupan akhirat itu lebih baik bagimu dari kehidupan dunia.
(QS Al-Dhuhâ [93]: 1-4)

Apakah yang membuat manusia lalai mengingat urusan akhirat? Apakah karena akal yang tidak
mampu membuktikan keberadaan akhirat? Sebab konsep akhirat itu sendiri adalah abstrak,
benarkah sesuatu yang bersifat abstrak itu berarti keberadaannya diragukan? Sederet pertanyaan
ini akan dijawab hanya melalui pengamatan yang kasat mata saja. Yang mungkin mudah masuk
akal.
Rutinitas kerja yang menyita hampir seluruh waktu kadang menjadi sebab orang melupakan
perkara akhirat. Aktifitas kerja seseorang itu kemudian menjelma menjadi kesibukkan yang
memaksanya menjadi seperti layaknya sebuah mesin produksi. Jika lemah imannya maka, ia
malas menjalankan kewajiban ubudiyah-nya. Sebab ini ditopang pula oleh keadaan fisik yang
sudah lelah. Dalam waktu istirahat hanya digunakannya untuk makan dan minum, serta
berbincang-bincang antar teman sekerja. Waktu terus berjalan, sehingga lewatlah kesempatannya
untuk menghadap Tuhan.
Apalagi kalau kita perhatikan lingkungan kerja yang tidak kondusif terhadap suasana keagamaan.
Tantangannya semakin berat bagi umat Islam di tempat tersebut. Tapi jelas pula bahwa, semua
akan berpulang pada keimanan individu kita masing-masing. Di mana pun dan dalam keadaan
apa pun, jika sudah kuat iman, tidak akan meninggalkan kewajibannya sebagai hamba Allah.
Dilihat dari macamnya, banyak sekali yang bisa dilakukan untuk kepentingan akhirat nanti. Baik
yang berhubungan langsung dengan Allah, maupun yang ada kaitannya dengan manusia dan alam
ini. Namun yang penting adalah pertama, pemahaman bahwa setiap perbuatan—baik dan buruk—
akan mendapat imbalan dari Tuhan. Kedua, kesadaran bahwa manusia harus membawa bekal
yang cukup untuk menghadapi sebuah kehidupan setelah dunia ini. Tanpa kesadaran ini, hidup
manusia akan sia-sia. Merugi.
Allah berfirman, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya
mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS Al-„Ashr [103]: 1-
3)
Jika di antara kita ada sempat berfikir, nyata betul bahwa usia kehidupan ini berjalan demikian
cepat. Tanpa terasa usia sudah menginjak dewasa, kemudian tua. Pergerakan detik, menit, jam,
hari, bulan, dan tahun berjalan sendiri tanpa ada satu pun manusia yang mampu
menghentikannya. Tuhan pun bersumpah dengan memakai kata waktu. Roda kehidupan ini agar
bergerak terus. Manusia bergerak dan berusaha mengisi waktu hidup ini, sampai usia senja
memaksanya istirahat. Kemudian menunggu datangnya malaikat Izrail. Masalahnya adalah, sudah
cukupkah bekal atau tabungan akhirat orang tersebut?
Bahwa ia bukan saja beriman, tapi melaksanakan amal saleh dalam hidupnya. Menyuruh keluarga
dan saudaranya untuk berbuat baik, dan senantiasa bersabar. Demi masa. Banyak orang yang
49

tertipu. Sering orang menghitung berapa kekayaan yang sudah diperoleh dan berhasil
dikumpulkannya. Dirancangnya uang itu untuk belanja hidup diri dan anggota keluarganya. Ada
yang disimpan dalam tabungan juga ada dalam deposito. Berkali-kali ia menengok dan
menghitung ulang bekal kekayaannya itu. Sebab ada khawatir dalam hatinya, cukupkah uang ini
untuk bekal kebutuhan keluarga dan pendidikan anak. Ada usaha keras dari orang ini untuk
menjamin masa depan keluarganya. Orang ini sibuk memikirkan dan berusaha mencari bekal
hidup yang hanya sebentar saja ini, dan melupakan bakal kehidupannya yang panjang. Ia tidak
punya waktu untuk mengumpulkan bekal kehidupan yang abadi, akhirat. Ia tidak sempat
menghitung berapa banyak sudah bekal yang akan dibawanya untuk kehidupan setelah dunia ini.
Dari Umar, dalam khutbahnya Nabi berkata, “Timbanglah dirimu sebelum ditimbang.
Perhitungkanlah dirimu sebelum diminta pertanggungan jawab. Bersiaplah menghadapi
pengadilan tertinggi, karena saat itu sesuatu apa saja (yang tersembunyi) tidak akan
dirahasiakan.”
Benarlah pendapat yang mengatakan bahwa, kekayaan yang dimiliki manusia belum
menjadi rizkinya. Tetapi yang disebut rizki manusia yang sebenarnya adalah apa-apa yang telah
disumbangkannya di jalan Allah.
Ada perkataan sahabat yang mengajarkan amalan-amalan akhirat. Ibnu Mas‟ud berkata:
“Orang-orang ahli Al-Quran seyogyanya dikenal ahli tahajjud, saat kebanyakan orang tengah
menikmati tidur. Berpuasa, di saat kebanyakan orang tidak berpuasa. Bersedih, di saat
kebanyakan orang bersenang-senang. Menangis di saat kebanyakan orang tertawa. Berhati khusu‟
di saat kebanyakan orang berbangga. Berhati tenang, lunak, prihatin, tidak boleh keras, lupa,
keras suara dan penasaran.”
Bagaimana agar manusia senantiasa mengingat dan menjalankan perkara akhirat? Di
bawah ini saya kutifkan ayat Al-quran, Hadits dan riwayat sahabat Nabi yang bisa menjawab
pertanyaan tersebut.
“Sungguh kalian akan mati, dan mereka juga akan mati.” (QS Al-Zumar [39]: 30)
Dari Abu Sa‟id Khudri, Nabi Saw. bersabda: “Tengoklah orang sakit, iringkan
jenazahnya, agar kalian memperoleh peringatan (tentang) akhirat.”
Di tengah mengantarkan jenazah ada orang bertanya: “Siapa yang mati, hai Abu Dzar?
Jawabnya, „Itulah kamu. Jika kau tidak mau akupun mau (yakni) sama-sama akan mati.”
Tiada seorang pun akan luput dari kematian. Kematian adalah pintu yang akan
mengantarkan manusia ke kehidupan akhirat. Ada kehidupan setelah kematian. Setelah mati,
manusia seolah baru lahir untuk menjalani kehidupan yang kekal dan abadi. Beragam cara Tuhan
menunjukkan bagaimana sebab kematian seseorang. Kedatangannya tidak bisa ditolak atau
diakhirkan. Bukan saja orang sakit, orang sehat pun banyak yang diambil nyawanya. Jika Izrail
sudah datang, nyawa itu tidak bisa ditukar dengan harta seberapa pun besarnya.
Mengingat kematian besar faidahnya bagi orang yang masih hidup. Hasil usaha di dunia
yang berlimpah itu tak satu pun akan dibawa. Hanya selembar kain putih. Yang akan menemani
manusia setelah kematian adalah amal saleh, anak yang saleh, dan ilmu yang bermanfaat. Lain itu
semua, akan ditinggalkan dan menjadi harta waris bagi anak dan keluarga sedarah. Masih ada
banyak kesempatan bagi kita yang masih hidup ini untuk menabung. Orang harus menanam dan
menebarkan benih kebaikan sebanyak-banyaknya di kebun dunia ini. Supaya kelak bisa melihat
dan memetik buah kesenangan dan kebahagiaan. Semoga. Wallahu a‟lam.
50

MENUJU KETENANGAN HATI

Tak seorang pun yang mengharapkan sakit. Sementara bagi orang yang terkena penyakit,
ia akan berusaha keras mencari obat agar lekas sembuh. Jumlah materi tidak lagi menjadi
persoalan, asal sakit segera cepat sembuh. Penyakit—fisik maupun psikis—adalah persoalan
penting yang pengaruhnya besar terhadap kehidupan manusia.
Para ulama salaf mengingatkan, “Nikmat Allah yang paling besar adalah nikmat sehat
jasmani dan ruhani”. Pesan ini mengisyaratkan bagaimana pentingnya sehat dalam hidup ini.
Kesehatan sangat mahal harganya. Maka lebih baik menjaga kesehatan daripada mengobati.
Menurut Ibn Qayyim (691-751 H.), dalam bukunya Siraman Ruhani: Bagi yang
Mendambakan Ketenangan Hati, tidak ada obat yang lebih mencakup, lebih bermanfaat, lebih
agung dan lebih mampu menyembuhkan penyakit dibandingkan Al-Quran. Bahwa Al-Quran itu
sebagai obat penyembuh, Allah berfirman: “Kami menurunkan dari Al-Quran sesuatu yang
menjadi obat penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (QS Al-Isra: 82; baca pula
QS Fushshilat: 44)
Di samping Al-Quran, Ibn Qayyim juga menegaskan pentingnya doa. Doa adalah
penyembuh yang dapat menghilangkan penyakit. (h. 19) Hanya saja tidak semua doa itu bisa
terkabul. Apakah itu karena lemahnya hati orang yang berdoa, atau karena ada hal-hal yang
menyebabkan terhalangnya doa seperti memakan makanan yang haram, banyak dosa hati, lalai,
dan memperturutkan syahwat, serta dikuasai oleh permainan yang melupakan Allah.
Di sini saya ingin meringkaskan kesimpulan Ibn Qayyim dalam menjawab persoalan
ruhani. Pertama, berbagai kemaksiatan dapat mengakibatkan berbagai dampak yang buruk dan
tercela, yang dapat membahayakan kalbu maupun jasad, di dunia dan di akhirat. Di antara
kemaksiatan itu adalah terhalangnya ilmu. Sebab ilmu adalah cahaya Allah, sementara
kemaksiatan akan memadamkan cahaya tersebut. Dampak yang lain adalah terhalangnya rezeki.
Dalam kita Al-Musnad disebutkan, “Sesungguhnya seorang hamba akan terhalang rezekinya
akibat dosa yang dilakukan”. Ia juga bisa mengakibatkan kesedihan dalam kalbu. Yaitu antara
dirinya dengan Allah, yang tidak dapat diimbangi oleh kesenangan apa pun.
Kedua, kepentingan agama hanya dapat diperoleh dengan mempersatukan hati dan
menghadapkannya kepada Allah. Sedangkan kepada sesuatu hanyalah akan
memporakporandakannya. Cinta hanya milik Allah. Dengan mencintainya, kita akan memperoleh
ketenangan hati. Sementara cinta kepada selain Allah, meski memberikan manfaat, sifatnya hanya
sementara.
Ketenangan dan ketentraman hati bisa kita peroleh dengan mencintai Allah Swt.
sebaliknya, dosa menimbulkan kegelisahan dan keputusasaan hati. Semakin banyak dosa yang
diperbuat, semakin jauh jarak seseorang dengan Tuhannya. Maka karena sumber setiap penyakit
ruhani adalah dosa, meninggalkannya adalah sebuah keharusan.
Lalu bagaimana cara mencintai Tuhan? Dengan jalan taqwa. Dalam Tafsir Jalalain
disebutkan definisi taqwa, yaitu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya
(imtitsalu awamirillah wajtinabunnawahihi). Demikian hakikat taqwa.
Orang yang bertaqwa akan memperoleh ketenangan hati. Bukan berarti ia tidak pernah
mendapat cobaan atau musibah dalam hidupnya. Setiap manusia—tidak perduli apakah ia taqwa
atau tidak—mengalami musibah. Hanya saja orang yang bertaqwa menghadapinya dengan
perasaan optimis dan tidak melupakan sikap tawakkal. Ia melakukan upaya penyembuhan, setelah
itu menyerahkan hasilnya kepada Allah.
51

Rasulullah bersabda, “Setiap penyakit ada obatnya. Apabila obat atas penyakit itu tepat
maka penyakit tersebut akan hilang dengan izin Allah”. Apabila Hadits Nabi tersebut
mendapatkan tempat di hati kita, maka tidak ada alasan bagi kita untuk bersikap cemas dalam
menghadapi hidup. Sebab, apa pun penyakit yang kita alami sudah ada resepnya. Nah, sikap
optimis inilah yang mesti kita pegang dalam hidup.
Masalahnya, mudah bagi kita merasakan kalau diri kita terkena suatu penyakit fisik.
Namun jarang sekali orang yang merasa dan menyadari kalau dirinya terkena penyakit ruhani.
Dokter dapat membantu kita menganalisa dan mengobati penyakit fisik, dan agama adalah
jawaban yang tepat untuk mengobati penyakit ruhani.
Dalam masyarakat modern kesadaran ini amat penting. Dengan kemajuan teknologi
sekarang ini kehidupan menjadi semakin mudah di satu sisi, namun di sisi lain menimbulkan
kompleksitas problem.
Bermacam kesibukkan kerap mengakibatkan manusia modern lalai akan tugas ubudiyah-
nya. Orientasi hidupnya adalah materi dan kesenangan sesaaat. Kecintaannya pada dunia
melupakan cinta pada Penciptanya. Maka mereka semakin jauh dari nilai-nilai religiusitas dan
terpuruk dalam lembah kenistaan. Yang tersisa dalam hidupnya adalah penyesalan. Padahal
sebelumnya peringatan telah datang berkali-kali.
Kecintaan manusia kepada dunia tidak dilarang oleh agama. Bahkan Rasul mengajarkan
umatnya untuk menjadi orang kaya. “Carilah bekal untuk kepentingan duniamu seakan-akan
engkau hidup selamanya, dan (jangan lupa) carilah bekal untuk akhiratmu seolah-olah kamu
mati esok hari”. Janganlah kecintaan kita kepada dunia ini melupakan kehidupan akhirat.
Manusia memang kadang pelupa, maka Allah menyuruh kita untuk senantiasa berdzikir sehari
lima kali. Dalam shalat kita mengakui dengan sadar, “sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup
dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.” Sudahkah dengan shalat kita memperoleh
ketenangan hati?
52

NAMIMAH MELAMPAUI LANGIT

Penjual hamba sahaya memperingatkan pembelinya bahwa „hamba sahaya‟ ini punya ciri
adu-domba, maka karena ciri itu dianggap enteng, pembeli itu tidak mengurungkannya. Setelah
beberapa hari di tempat majikannya yang baru, ia berkata kepada istri majikan: “Suami nyonya
rupanya sudah tidak cinta lagi, buktinya ia akan kawin lagi, maukah nyonya agar ia tetap
menyinta? Ya, jawabnya. Jika suami nyonya tidur, cobalah cukur jenggotnya. Lalu hamba itu
beralih membujuk tuannya: “Istri tuan mencintai pria lain dan rencananya akan membunuh tuan.
Jika ingin bukti, cobalah berpura-pura tidur. Si tuan itu pun berpura-pura tidur, dan tidak lama
kemudian sitrinya datang dengan pisau cukur di tangannya. Maka ia mengira istrinya benar-benar
akan membuhnya, ia pun bangun merebut pisau itu dan membunuhnya. Berita ini sampai kepada
orang tua istrinya, mereka pun langsung datang dan membunuh menantunya itu. peristiwa ini
terus berkesinambungan, sampai orang tua suami itu tidak terima, dan terjadilah pertumpahan
darah antara kedua keluarga suami-istri tersebut.
Cerita ini saya ambil dari kitab Tanbîhul Ghâfilîn, sengaja untuk menggambarkan betapa
namîmah (adu-domba) itu sangat berbahaya. Yahya bin Aktsam pernah berkata, “Fitnah (adu-
domba) lebih berbahaya dan lebih buruk daripada sihir, karena fitnah lebih cepat proses
kejahatannya, juga lebih berbahaya daripada syetan, karena syetan hanya dapat berupa bisikan
dan khayal-bayangan, tetapi fitnah langsung berhadapan dan praktik nyata.” Firman Allah dalam
Al-Quran, “Hammâ latalhathab: pembawa kayu bakar.” Para ahli tafsir sepakat mengartikannya,
pembawa fitnah (adu-domba) yang diserupakan dengan kayu-penyulut api permusuhan dan
peperangan.
Rasullullah bahkan menempatkan orang yang suka mengadu-domba itu dalam sejahat-
jahatnya manusia, dan ia akan memperoleh balasan yang setimpal. “Manusia paling jahat yaitu
yang bermuka dua, datang ke suatu tempat dengan mukanya dan ke tempat lain dengan muka
lain pula, barang siapa bermulut dua di dunia, maka di hari Kiamat pun Allah membuatkan
mulut dua dari api.” (HR Hasan) Seharusnya manusia menjauhi perangai demikian, karena tidak
ada faidah dalam hal ini. Jika pun ada keuntungan yang bisa diambil dari hasil adu-domba itu, ia
akan menuai cemoohan dan ditinggalkan oleh pergaulan lingkungannya. Mungkin tidak sekarang,
karena mereka merasa lemah, tapi satu saat ia akan hancur oleh sebab perbuatan dan
kesombongannya sendiri. Maka ingatlah bahwa, siksa Tuhan sebenarnya sangat pedih dan bisa
datang tanpa disangka-sangka.
Belakangan negeri ini pun tak luput dari usaha adu-domba ini. CIA (Central Inteligent
Agency), USA, menuduh bangsa ini sebagai salah satu tempat atau sarang teroris Internasional.
Bagaimana sikap kita terhadap tuduhan tersebut? Mari kita simak penjelasan ayat berikut, “Hai
orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu dengan berita, sebaiknya kau
selidiki terlebih dahulu, agar tidak sampai terjadi suatu kaum kau balas dengan kebodohan (jika
demikian), maka kelak kau menyesal”. (QS Al-Hujurât [49]: 6) Ayat ini dengan gamblang
menjelaskan, kita harus bersikap hati-hati terhadap bahaya berita atau tuduhan yang datang dari
orang-orang fasik, seperti Amerika itu.
Sebagai bangsa, pemerintah harus memberikan perlindungan kepada setiap rakyatnya.
Sebelum melakukan tindakan, harus dicari tahu terlebih dahulu persoalan yang sebenarnya. Kalau
tidak, rakyat negeri ini akan menjadi korban kebodohan aparat pemerintahnya. Karena keadilan
itu harus diberikan kepada setiap warga negara, siapa pun dan apa pun kedudukannya. Hanya
53

dengan sikap seperti inilah sebuah bangsa bisa disebut memiliki harga diri dan kekuatan untuk
membela rakyatnya dalam situasi apa pun.
Akhirnya, Nabi Muhammad menilai dosa orang yang mengadu-domba itu melampaui
tingginya langit. Ini menggambarkan bagaimana besarnya dosa tersebut. Sebaiknya manusia
menghindari perbuatan mencari kesalahan dan kejelekan saudaranya, dengan maksud
mencelakakan dan menghancurkan kehidupan mereka. Sebab mungkin di dunia manusia bisa
selamat, tapi tidak ada yang menjamin keselamatannya saat di akhirat nanti. Sama seperti ketika
manusia tidak bisa menolak datangnya kematian saat Izrail mencabut nyawanya. Sebagai
renungan terakhir simaklah ayat berikut, …bahwa setengah berprasangka buruk itu berdosa, dan
janganlah menyelidiki kesalahan…(QS Al-Hujurât [49: 12).***
54

PILIH MANA, MATERIALIS ATAU SPIRITUALIS?

Suatu hari, sepekan sebelum Ramadhan. Mobil yang saya tumpangi menuju arah kota
Bogor. Di tengah perjalanan saya melihat ada baliho besar bertuliskan, “Dengan Puasa Kita
Tingkatkan Kualitas Jasmani dan Ruhani”. Sejak pandangan pertama itu rupanya hati saya
gelisah. Saya tertarik pada kalimat ini, „kualitas jasmani dan ruhani‟. Sepanjang perjalanan,
pikiran saya pun melayang mencoba mencari tafsir dari kalimat itu. Yang jelas, saya menangkap
ada pesan menarik di balik “seruan itu”. Dan saya pun tertarik untuk menulisnya.
Dalam hidup manusia selalu dihadapkan pada perjuangan antara memenuhi kebutuhan
tubuh dan ruh. Yang pertama disebut materialis dan yang kedua disebut spiritualis. Jika misalnya
yang menang tubuhnya, maka ia akan cenderung pada pemenuhan nafsu. Tapi kalau ruh yang
menang, maka ia tidak memperdulikan kepentingan tubuh, melainkan sibuk dengan perkara
ibadah. Yang pasti, yang menang pasti akan menguasai sikap hidup orang tersebut.
Lalu mana yang harus kita pilih, memenuhi kebutuhan jasmani atau ruhani, materialis atau
spiritualis? Salah besar jika kita memilih satu di antara dua sifat tersebut. Tempatkanlah
keduanya dalam posisi yang seimbang (balance). Penuhilah kebutuhan jasmani dan ruhani kita
secara proforsional. Sebab untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang sempurna, orang harus bisa
berdiri tegak di antara jembatan jasmani dan ruhaninya.
Agar tubuh selalu sehat diperlukan makanan yang memenuhi standar kesehatan. Standar itu
biasa disebut dengan „empat sehat lima sempurna‟. Jika kebutuhan itu terpenuhi, dengan izin
Allah, tubuh kita akan sehat. Di sisi lain, para ahli kesehatan telah banyak membuktikan bahwa
puasa dapat menyehatkan tubuh.
Kalau tubuh kasar itu berasal dari—meminjam bahasa Al-Quran—segumpal darah kental,
maka jiwa atau ruhani itu berasal dari nûr (cahaya) Ilahi. Masalahnya, jangan sampai tubuh kita
menjadi penghalang bagi jiwa untuk menyentuh cahaya Ilahi. Sebab kebutuhan jiwa adalah
berhubungan langsung seintensif mungkin dengan Allah (sumber cahaya). Bagaimana caranya?
Dengan shalat dan puasa. Artinya, orang yang sering meninggalkan shalat dan puasa jiwanya
akan redup, kosong dari cahaya Ilahi. Akibatnya, ia akan sulit melihat jalan kebenaran yang
terbentang di hadapan hidupnya. Meski matanya melihat, ia sebenarnya buta. Buta dari cahaya
kebenaran sejati.
Maksud puasa, tegas Hasby Ashshiddiqy, adalah menghasilkan hak tubuh dan jiwa supaya
menjadi manusia yang sempurna (insan kamil). Kalau demikian, bulan puasa adalah momentum
yang tepat buat kita untuk mencapai derajat insan kamil tersebut. Ramadhan—meminjam istilah
Hasby—adalah bulan latihan tahunan (riyadah sanawiyah), yang karenanya menjadi amat
penting kedudukannya.
Jadi waktu satu bulan latihan jasmani dan ruhani dianggap cukup untuk menghadapi
sebelas bulan berikutnya. Dalam bulan Ramadhan baik tubuh maupun jiwa digembleng dengan
berusaha melewati rintangan makanan dan hawa nafsu. Tubuh dan jiwa sekaligus secara
bersamaan mengalami dimensi lain di luar kebiasaannya.
Jika di luar bulan Ramadhan seseorang bebas mengumbar kebutuhan jasmani, maka pada
bulan suci ini ia harus bisa menahan hasrat nafsunya tersebut—apakah itu dari makan dan
minum, maupun dari bergaul dengan istri. Sebaliknya, ruhani mendapatkan kesempatan untuk
sebanyak-banyaknya melakukan taqarrub (pendekatan) dengan Allah. Yaitu dengan
memperbanyak ibadah, seperti dzikir dan tadarus.
55

Harus diakui bahwa bulan Ramadhan menghadirkan aura yang luar biasa hebat dan
sekaligus menyejukkan, terutama bagi umat Islam. Pada bulan ini bunga-bunga spiritualitas
seolah tumbuh subur kuncupnya, oleh karena siraman rakhmat Ilahi yang datang dari langit.
Sebagai contoh, mushala dan masjid tak pernah sepi dari suara kalam Ilahi. Suatu hal yang sulit
terjadi di luar Ramadhan.
Maka kembali pada bunyi baliho yang saya sebutkan di atas, bahwa puasa memang bisa
“menjanjikan” peningkatan kualitas jasmani dan ruhani. Tujuan itu bisa tercapai hanya kalau kita
mampu mengisi Ramadhan ini dengan puasa (menahan) dari hawa nafsu dan hal-hal buruk
lainnya, serta menghiasi malam-malamnya dengan ibadah kepada Allah Swt. Wallahu a‟lamu
bishshawab. ***
56

RIYA ITU SYIRIK KECIL

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal


yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.”
(QS Al-Kahfi [18]: 110)

Mengapa Allah, Sang Maha Pencipta, menciptakan manusia? Jawaban dari pertanyaan ini
dapat kita temukan dalam QS Adz-Dzâriyât [51]: 56, yang intinya agar manusia melakukan
ibadah hanya kepada dan untuk Allah semata. Kenyataannya banyak hamba Allah yang tujuan
ibadahnya sudah tidak murni untuk Allah, melainkan karena maksud lain yang bersifat duniawi.
Di sinilah pentingnya pembahasan tentang riya. Yang dimaksud riya, kata Imam Al-
Ghazali, mencari kemasyhuran dan kedudukan dengan beribadah. Sikap riya dilarang oleh agama,
bahkan termasuk dalam golongan yang akan mendapat celaka di akhirat kelak. “Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS Al-Mâ‟ûn
[107]: 4-7
Kita katakan pembahasan ini penting, sebab orang yang berbuat riya dalam ibadahnya
termasuk kepada syirik kecil. Akan tetapi sedikit sekali orang muslim yang mengetahui hal ini.
Rasulullah pernah bersabda, “Sungguh apa yang saya takutkan dari hal yang aku takutkan
atasmu ialah sirik kecil. Ditanyakan: “Apakah itu?” Beliau bersabda: “Riya! Allah Azza wa
Jalla akan berfirman di hari kiamat tatkala Allah memberi balasan kepada para hamba akan
amal-amal mereka: “Pergilah kepada orang-orang yang kau pameri! Adakah engkau semua
mendapatkan balasan di sisi mereka.”
Mari kita telusuri makna Hadits ini dengan seksama. Pertama, Rasul mengisyaratkan
dirinya sendiri khawatir umatnya terkena penyakit syirik kecil, yaitu riya. Sebab perbuatan ini
sangat dibenci oleh Allah Swt. Kedua, sebagai akibat sikap ini manusia akan merasa kesepian di
akhirat nanti, sebab tujuan utama ibadah-ibadahnya bukan Allah. Sedangkan kecuali kepada
Allah, di hari akhirat nanti, siapa lagi yang pantas diminta pertolongan? Kepada orang-orang
yang kita riyai semasa di dunia ini, seperti calon mertua, atasan, sang pacar, kolega, dan
seterusnya? Tentu tidak bisa, sebab mereka sendiri berada dalam keadaan tidak berdaya apa-apa,
kecuali bergantung pada amal mereka. Mereka sendiri bingung memikirkan nasibnya masing-
masing.
Maka benar, hendaknya hanya kepada Allah saja tujuan setiap ibadah kita. Kecuali
penghormatan sesaat, manusia, tidak akan memberikan pertolongan apa-apa saat hari
penghisaban telah tiba. Ibadah shalat, puasa, zakat, shadaqah, dan haji seorang muslim tidak akan
berbuah pahala manakala di dalam ibadah-ibadah tersebut terdapat setitik riya.
Menarik sekali apa yang pernah disabdakan Nabi Muhammad kepada para sahabatnya,
“Sesungguhnya di bawah naungan Arasy, dimana tidak ada naungan di situ selain naungan
Allah, ada seseorang (di kala hidupnya) bersedekah dengan tangan kanannya lalu
disembunyikannya, sehingga tidak diketahui oleh tangan kirinya.” Seperti digambarkan Rasul
inilah hendaknya, umat Islam dalam melakukan ibadah-ibadahnya. Paling tidak, dengan
menyembunyikan ibadah kita akan terhindar dari sifat riya.
Namun satu saat di kelas ada murid penulis yang bertanya, “Kalau karena sebab tertentu
kita tidak bisa menyembunyikan ibadah kita, apa yang harus saya lakukan?” Teruskan, sebab
57

mungkin ada orang yang tergerak hatinya untuk melakukan ibadah seperti yang kamu lakukan itu.
Misalnya, kamu menyumbang sejumlah uang untuk korban bencana alam. Namun jika dengan
begitu timbul sifat riyamu, lekaslah menghilangkan perasaan riya dalam hatimu, berpalinglah
kepada mengingat Allah. Sebab Dia-lah pemilik segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit.
Sebab dari nikmat Dia pula kita bisa melakukan ibadah-ibadah di muka bumi ini. Sadarkan
hatimu dari menganggap dunia dan seisinya ini segalanya bagi hidupmu. Sesungguhnya hanya
untuk Allah saja, hidup dan mati kita.
Pahala ibadah orang yang riya itu akan hilang. Ia hanya akan memperoleh apa yang dia
harapkan, mendapat pujian dan sanjungan dari manusia—bahkan bisa jadi ia tidak mendapatkan
keduanya. Sedangkan amal di luar ibadah, maka mengikuti tujuannya. Jika tujuannya karena
Allah, maka orang tersebut akan mendapat pahala. Demikian pula sebaliknya.
Dengan bersikap riya, sesungguhnya manusia telah menjadi penipu. Ia mengelabui orang-
orang di sekitarnya. Sebab mereka mengira bahwa ia seorang yang ikhlas dan taat kepada Allah,
padahal sebenarnya untuk memperoleh simpati dan keuntungan dari mereka. Ini jika dilihat dari
sudut pergaulan manusia, lalu bagaimana sikap orang riya di mata Allah. Disadari atau pun tidak,
sikap riya berarti ejekan kepada Allah. Dengan menjadikan selain Allah sebagai tujuan
ibadahnya, berarti orang itu tidak mengakui keberadaan-Nya, tidak butuh kepada-Nya, dan tidak
mau mengakui pemberian nikmat-Nya.
Sungguh seorang mukmin harus berusaha melatih diri untuk meninggalkan sifat riya ini.
Syirik kecil. Dua kata ini mengisyaratkan, bahwa yang tampak di luar kita adalah seorang
muslim. Tapi dalam ketidaksadaran kita telah menduakan Tuhan dengan yang lainnya—saya
menggunakan kata ketidaksadaran, sebab karena ketidaktahuannya tidak ada maksud dari seorang
muslim untuk bermaksud demikian (Tuhan Maha Tahu). Dan yang lain itu sebenarnya sungguh
tidak memberi manfaat atau akibat buruk kepada kita sedikit pun dalam kehidupan ini.
Meluruskan tujuan dalam setiap ibadah hanya untuk Allah semata, terkesan gampang
namun sulit dipraktikkan. Karenanya makna surat ini penting kita hayati dan amalkan tanpa
henti—minimal sehari lima kali: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya
untuk Allah, Tuhan alam semesta.” Kepada Allah Yang Maha Penyayang dan Pemberi Rahmat
kita menggantung setiap permohonan, termasuk terhindar dari syirik kecil.***
58

SABAR

Setiap muslim diperintahkan mengimani rukun iman dan menjalankan rukun Islam. Di
dalam keduanya terdapat tanda-tanda kebaktian muslim terhadap Allah Swt. Namun cukupkah
menjalankan keduanya saja menjadikan seorang muslim itu selamat di dunia ini? Jadi kita sudah
merasa aman setelah shahadat, shalat, puasa, zakat dan haji? Atau kita merasa sudah menjadi
muslim sejati dengan keimanan kita pada rukun iman yang enam itu?
Belum. Sama sekali belum. Rujukannya jelas sebagaimana Firman Allah dalam QS Al-
Baqarah [2]: 177, bahwa selain menjalankan ritual keagamaan tersebut di atas, manusia harus
memiliki sifat sabar dalam hidup ini. Allah menyuruh manusia untuk bersikap sabar. Mengapa
sabar begitu penting dalam hidup manusia?
Sabar sangat diperlukan dalam mengarungi bahtera kehidupan ini, sebab garis kehidupan
setiap kita itu tidak linier. Kehidupan manusia seperti musim yang datang silih berganti. Ada
malam yang menjemput siang. Musim gugur yang menggantikan musim semi. Orang tidak akan
selamanya merasakan manis, kepahitan pasti akan dirasakan juga. Hari ini manusia menangis
pilu, padahal kemarin suara tawanya mengembang bak mekarnya bunga matahari. Kemujuran
dan keuntungan tidak akan senantiasa hadir dalam diri seseorang, satu kali musibah dan bencana
akan dirasakan juga. Demikianlah hakikat kehidupan di dunia fana ini. Di sinilah, ketika manusia
mendapatkan kesulitan dan kesenangan, ia harus tetap sabar.
Firman-Nya dalam surat Al-Baqarah [2]: 155-156 menarik untuk direnungkan, “Dan
sungguh Kami berikan cobaan kepadamu. Dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innâ lillâhi wa innâ
ilaihi râji‟un.”
Semua yang ada di sekeliling kita ini adalah milik-Nya. Sifat manusia kebanyakan sering
meratap sedih, apabila telah hilang darinya sesuatu yang dimilikinya. Apalagi selama ini, sesuatu
itu menjadi kebanggaan dan kesenangannya. Ia lupa bahwa pada hakikatnya semua yang dia
miliki dan apa-apa yang ada di dunia ini kepunyaan-Nya semata. Apa yang dimiliki manusia—
sedikit maupun banyak—adalah titipan Allah, supaya digunakan untuk mendekatkan diri kepada-
Nya. Orang yang sabar tidak berubah sikapnya hanya karena suatu musibah menimpanya.
Bahkan, kerap sekali kedekatannya dengan Sang Pencipta semakin bertambah. Karena musibah
dipahaminya sebagai teguran, bukan siksaan yang membuatnya malah menjauh dari-Nya.
Persoalannya adalah, untuk memiliki sikap sabar bukan hal yang mudah. Simak saja
seruan-Nya dalam QS Al-Baqarah [2]: 45-46: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu.
Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusu‟,
(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka
akan kembali kepada-Nya.” Jadi untuk mendidik sikap sabar, terlebih dahulu orang harus percaya
bahwa kehidupan dan kematian yang sedang dan akan dilaluinya itu hanyalah milik Allah per se.
Hanya Dia tempatnya kembali. Bahwa yang bisa menjadikannya sengsara dan nikmat bukanlah
dunia dan seisinya ini, melainkan seberapa besar usahanya untuk meraih keridhaan-Nya.
Kisah perjalanan Musa dan Khidhr bisa dijadikan i‟tibar betapa menjadi penyabar itu tidak
gampang. Musa yang berniat mempelajari ilmu sejati dari Khidhr, tidak sabar dalam perjalanan
mengikuti gurunya itu. Selalu saja ia melanggar kesepakatan untuk tidak bertanya terhadap apa
yang dilakukan oleh gurunya tersebut. Mulai dari melubangi kapal, membunuh anak kecil, hingga
59

menegakkan bangunan yang runtuh. (baca QS Al-Kahfi [18]: 66-82) Pertanyaannya kemudian,
seorang nabi saja begitu sulit menjadi penyabar, bagaimana dengan kita-kita ini?
Hemat penulis, semua itu tidak lantas menjadikan kita pesimis untuk bisa menjadi manusia
yang sabar. Yang penting adalah keberanian untuk memulai dan melatih sikap kesabaran diri kita
dalam menghadapi setiap masalah. Ketidakberdayaan kita hanyalah karena kita menganggap
dunia ini akan runtuh, jika kita kehilangan apa yang kita cintai di dunia ini. Padahal dunia ini
luas. Tergantung dari sudut mana kita memandang. Karena itu, orang yang tidak sabar kerap
cepat putus asa dalam hidupnya. Sedangkan orang yang sabar senantiasa memiliki rasa optimis
sekecil apa pun.
Kesabaran tidak hanya penting dimiliki saat jiwa dalam sengsara dan sedih, tapi ia penting
juga dalam keadaan jiwa bahagia dan senang. Orang yang merasa kehilangan sesuatu jika tidak
sabar, bisa terjatuh dalam kesengsaraan dan siksa bathin yang mendalam. Sebab baginya seolah
tidak ada obat lain, kecuali dikembalikannya sesuatu yang hilang itu. Sama pula halnya orang
yang sedang mendapatkan kesenangan melimpah, jika ia tidak sabar, ia bisa mabuk nikmat dan
melupakan kewajibannya sebagai hamba. Dianggapnya kebahagian itu hanyalah miliknya
seorang, sebab ia merasa itu hasil jerih payahnya sendiri. Maka ia melupakan kewajibannya
kepada Allah dan sesama manusia lainnya.
Sikap sabar jelas merupakan sikap terpuji dan penting dimiliki oleh setiap muslim. Meskipun
sulit mewujudkannya dalam pribadi kita masing-masing, tapi bukan mustahil itu bisa kita raih.
Penulis yakin, diantara tuan-tuan ada yang sudah memiliki sikap sabar ini. Hanya saja mungkin
tingkatan kesabaran itu berbeda-beda setiap orangnya. Kita bisa memulai sikap sabar kita dari
lingkungan terdekat kita. Misalnya, menghadapi kenakalan dan pembangkakangan anak-anak kita
di rumah, dalam rangka pendidikan, tidak harus menegurnya dengan bentakan dan apalagi
kekerasaan. Tapi tegurlah ia dengan halus dan bahasa yang menyejukkan telinga.
Kesabaran membutuhkan latihan, maka jangan pernah berhenti dan merasa bosan. Karena
hampir dalam setiap gerak kehidupan ini, orang membutuhkan sikap sabar. Berhenti dari
kesabaran hidup menyebabkan orang meraih dunia ini deengan cara-cara kotor dan hina.
Segalanya ingin diraih serba cepat seperti kilat. Sikap inilah yang kita lihat pada pelaku korupsi,
misalnya.
Maka benar kata pepatah, “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; Bersakit-sakit
dahulu, senang kemudian”. Bukankah manisnya anggur yang kita makan adalah buah dari
kesabaran pemiliknya yang setia menunggu sekian bulan lamanya. Ia merwatnya dengan penuh
telaten serta tidak lupa memberinya pupuk cinta. Dengan sikap sabar, kelak seseorang akan
memetik manisnya buah kehidupan. Semoga.***
60

SETELAH MEMPEROLEH PETUNJUK:


MEMAHAMI RAHASIA HATI

“Sesungguhnya di dalam tubuh anak Adam terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah
tubuh itu seluruhnya, dan anggota tubuh yang lain akan membuatnya baik. Ia adalah hati.”
Al-Hadits

Makna hati
Hadits di atas mencerminkan betapa pembicaraan soal hati begitu penting. Baik atau
buruk manusia ditentukan oleh kadar hati yang dimilikinya. Karena itu, setiap manusia harus
senantiasa berusaha memperbaiki kualitas hatinya setiap saat, kapan dan dimana pun ia berada.
Seseorang harus mengetahui dan memahami keadaan hatinya: bersih ataukah kotor. Apakah yang
disebut hati atau dalam bahasa Arab sering dikatakan dengan qalbu itu? Bagaimana menjaga agar
hati tetap bersih?
Hati dalam bahasa Arab disebut qalbu. Isim masdar dari kata dasar qalaba, yang berarti
membalikkan atau memalingkan. Qalabas-syaia misalnya berarti, menjadikan yang di atas ke
bawah, yang di dalam keluar. Dari pengertian secara bahasa ini kemudian, para ulama telah
sepakat bahwa hati memang memiliki sifat yang tidak tetap. Ia senantiasa bergerak naik-turun, ke
samping kanan-kiri, ke arah Utara-Selatan, dan seterusnya.
Jadi yang disebut hati itu tidak konsisten sifatnya. Apakah karena sudah sifatnya
(mungkin bisa dikatakan sunnatullâh) yang demikian itu atau karena selalu ada usaha pihak di
luar manusia yang berusaha membisikkan sesuatu kepada hati manusia. Hal ini sebagaimana
dijelaskan dalam Al-Quran, Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan manusia. Raja manusia.
Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) syetan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan
(kejahatan) ke dalam dada manusia.” (QS Al-Nâs [114]: 1-6) Yang dimaksud dengan dada
manusia dalam ayat ini adalah hati. Sebab hati terletak dalam dada sebelah kiri manusia. Ini
sebagaimana pengertian yang diberikan oleh Imam Al-Ghazali tentang hati.
Menurutnya, hati memiliki dua arti, yaitu: Pertama, daging berbentuk pohon cemara
yang terletak pada dada sebelah kiri. Di dalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam. Ini
adalah sumber ruh. Daging ini, dalam bentuknya seperti itu, terdapat pula pada tubuh binatang
dan orang-orang yang sudah mati.
Kedua, luthf rabbânî rûhânî, yang memiliki kaitan dengan daging ini. luthf rabbânî ini
adalah mengenal Allah Swt. ia mengetahui apa yang tidak dicapai khayalan pikiran. Ia
merupakan hakikat manusia. Inilah yang diajak bicara. Terhadap makna ini ditunjukkan dengan
firman Allah Swt.: Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi
orang-orang yang mempunyai hati (QS Qâf [50]: 37).
Dari pengertian ini kita bisa memahami bahwa bisikan hati tidak selamanya cenderung
pada kebaikan dan kebenaran. Bisikan kejahatan dan keburukan kerap timbul juga dari dalam hati
manusia. Di sinilah manusia harus juga menggunakan peranan akal dalam menimbang baik-buruk
dan benar-salah suatu perbuatan.

Rahasia dan metode


Manusia harus memahami lima rahasia yang terjadi pada hati juga bagaimana cara
mengarahkan hati itu kepada jalan yang semestinya. Kepada kebenaran. Imam Al-Ghazali
61

menuturkan, pertama, adalah kekurangan pada hati itu sendiri, seperti hati anak-anak dan orang
gila.
Kedua, adalah kotoran kemaksiatan dan kekejian yang bertumpuk pada permukaan hati
disebabkan banyaknya syahwat. Ini sesuai dengan Firman Allah, “Sekali-kali tidak (demikian),
sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (QS Al-Muthaffifîn
[83]: 14)
Ketiga, adalah berpalingnya hati dari arah hakikat yang dicari. Maka arahkanlah kepada
ketaatan. Hendaklah melakukan seperti yang dikatakan Al-Khalîl Ibrahim a.s.: “Sesungguhnya
aku menghadapkan wajahku”.
Keempat, adalah adanya tabir. Maksudnya adalah di dalam hati terdapat sisa-sisa syahwat
atau kerusakan akidah yang terjadi ketika kecil dan tersisa bekasnya.
Kelima, adalah ketidaktahuan terhadap arah yang dikehendaki. Maka hendaklah ia
memiliki keimanan yang universal terhadap yang tidak diperolehnya. Yaitu, keimanan terhadap
yang ghaib dan jika ia tidak memiliki keimanan seperti itu, bagaimana mungkin ia dapat mencari
sesuatu yang tidak ada wujudnya. Maka, kelalaian adalah menjadi penghalang. Rasulullah Saw.
bersabda, “Kalau syetan-syetan tidak mengelilingi hati anak-anak Adam, niscaya mereka dapat
melihat kerajaan langit”.
Setelah mengetahui lima hal tersebut, sebaiknya manusia mulai memahami bagaimana
cara menyetir hati agar tujuannya selalu pada rel kebenaran semata. Ringkasnya, untuk mencapai
kelembutan dan kebeningan hati manusia harus senantiasa tidak berhenti mendekatkan diri
kepada Sang Pencipta pada satu sisi, juga harus meninggalkan perbuatan terlarang di sisi yang
lain. Keduanya harus dilakukan seiring dan seirama, serta berjalan secara konsisten dalam
kehidupan manusia.

Keluasan hati
Sejak sekian ribu tahun lamanya, mulai dari Nabi kita hingga para sufi merindukan
Tuhannya. Mereka berusaha menampung kebesaran Tuhan dalam hatinya; mereka berusaha
mendekati keluasaan rahasia Tuhan dengan ketajaman hatinya. Berhasilkah? Jawabannya bisa
kita temukan dalam keterangan Hadits (qudsi), bahwa Allah Swt. berfirman: “Bumi dan langit-Ku
tidak dapat memuat-Ku. Tetapi hati hamba-Ku yang berimanlah, yang lemah lembut dan tenang,
yang dapat memuat-Ku.”
Sayyidina Ali r.a. dalam hal ini hampir senada, ”Sesungguhnya Allah swt. memiliki
tempat di bumi-Nya, yaitu hati”. Maka hati yang paling dicintai oleh-Nya adalah yang paling
lembut, jernih, dan teguh. Kemudian beliau menafsirkannya, yaitu paling teguh dalam urusan
agama, paling jernih dalam keyakinan, dan paling lembut terhadap saudara-saudaranya seagama.
Hal ini ditunjukkan dalam firman Allah Swt., Perumpamaan cahaya Allah adalah seperti sebuah
lubang yang tidak tertembus (misykâh) yang di dalamnya ada pelita besar.” (QS Al-Nûr [24]:
35)

Arah hati
Masih dalam konteks membicarakan hati, Al-Ghazali berkata, “Bahwa manusia pada asal
fitrah dan susunannya, tergabung di dalamnya empat aib. Yaitu, sifat binatang liar, sifat binatang,
sifat syetan, dan sifat ketuhanan. Jika marah yang menguasainya, maka ia melakukan perbuatan-
perbuatan binatang liar. Jika syahwat yang menguasainya, maka ia melakukan perbuatan
62

binatang. Jika kedua sifat ini tergabung di dalam dirinya dan melahirkan kecintaan pada
kejahatan, kesewenangan, penaklukan, makar, dan penipuan, maka ia ada dalam kendali syetan.”
Sumber dorongan setiap perbuatan—baik ataupun buruk dan benar atau salah—timbul
dari hati. Hati manusia yang kosong dari mengingat Allah, merupakan celah bagi syetan untuk
masuk dan mengisinya dengan bisikan kejahatan. Sebaliknya, hati yang senantiasa dipenuhi oleh
dzikir (mengingat) Allah akan sedikit peluang syetan untuk membisikkan tipu dayanya.
Demikianlah manusia terbagi menjadi dua. Ada yang cenderung memperturutkan dorongan nafsu
syetan dan ada yang mengikuti sifat-sifat ketuhanan.
Allah Swt. berfirman, Sesungguhnya Kami telah ciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya (QS Al-Tîn [95]: 4) Meski manusia merupakan sebaik-baiknya ciptaan Tuhan,
namun ia bisa terjatuh ke dalam jurang kehinaan. Kenapa? Sebab manusia di dalam hidupnya
akan selalu mendapat rintangan agar ia menjauhi Penciptanya. Hal yang menghalangi dan
melalaikan itu adalah syahwat, kekejian, dan kelalaian. Semuanya bersumber dari hati. Karena
itu, hati, kata Komaruddin Hidayat, memiliki fungsi untuk mengantarkan diri (self) kita kepada
ruhani yang suci sehingga kita mencapai jiwa yang tenang (nafs muthmainnah). Karena itu kita
harus menjaga agar hati kita tetap jernih dan bening supaya tidak nyasar ke jalan yang salah.
Rasulullah Saw., bersabda: ”Sesungguhnya Ruh Al-Qudus membisikkan ke dalam hatiku.
Cintailah siapa saja yang engkau sukai, (tetapi ketahuilah) engkau pasti akan meninggalkannya.
Lakukanlah apa yang engkau kehendaki, (tetapi ketahuilah) engkau pasti akan dibalas
karenanya. Hiduplah seperti yang engkau inginkan, (tetapi ketahuilah) engkau pasti akan mati”.
Melalui hati Rasul-Nya yang tercinta itu, Allah hendak mengingatkan manusia di bumi ini bahwa,
manusia harus berhati-hati dalam setiap bertindak. Sebab kematian akan datang menjemput
manusia dan segera ia akan mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya.
Memang demikianlah seharusnya seorang muslim itu bersikap. Orang-orang yang
menggunakan akalnya akan sampai pada pemahaman ini. Karena itu, mereka senantiasa berdoa:
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah
Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau;
karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)”. (QS Âli „Imrân [3]: 8)
Manusia dalam konteks ini sadar sepenuhnya bahwa, karena kelemahan yang dimilikinya
ia khawatir tergelincir dalam jurang kesesatan. Maka kecuali kepada Tuhan, lalu kepada siapa
lagi ia memohon pertolongan. Ia berharap dengan sangat kepada Tuhan agar hatinya selalu diberi
petunjuk, tanpa henti. Karena ia sadar bahwa manusia bisa saja berubah jalan hidupnya. Dari
ketaatan kepada pelanggaran; dari sikap baik kepada sikap buruk. Dan pusat semua itu adalah
hati. Pepatah Arab menyebutkan, “Siapa yang baik hatinya, akan baik pula keadaan lahirnya.”
Manusia harus mulai menengok sisi ruhaninya. Bagaimana kondisi ruhaninya, sehat
ataukah sakit? Apa tanda ruhani yang sakit itu? Penyakit jiwa yang paling parah, tegas
Komaruddin, sesungguhnya adalah sakit ruhani, dan bukan sakit gila. Karena orang yang sakit
gila tidak akan diminta pertanggungjawaban terhadap perbuatannya. Orang yang mengalami sakit
ruhani tidak sadar mengenai baik dan buruk, benar dan salah, yang disebut dalam Al-Quran
bahwa keburukan itu dihiaskan dalam diri manusia: apakah orang yang dihiaskan pada dirinya
kejahatannya sehingga kelihatan baik (QS Fâthir [35]: 8).
Sakit ruhani bisa terjadi karena hati sudah dipenuhi debu kejahatan dan keburukan yang
dilakukan manusia. Hingga lama kelamaan ia berwarna kusam, menjadi hitam. Bahkan hati
manusia bisa berkarat seperti halnya besi yang tak terawat. Manusia yang hatinya seperti
digambarkan tadi, akan sulit menerima kebenaran dari mana pun datangnya. Bahkan terhadap
63

keburukan dan kejahatan pun terlihatnya seperti sesuatu yang baik. Manusia seperti ini amat
mudah—tanpa penyesalan dan merasa salah—meninggalkan kewajibannya terhadap Tuhan dan
sesama. Demikian juga pada saat ia melakukan perbuatan jahatnya. Sesuatu yang bersifat buruk
itu, jika dilakukan secara terus menerus akan menjadi kebiasaan yang sulit dihentikan. Dan yang
penting, akan hilang dalam perasaan orang itu rasa bersalah dan berdosa terhadap apa yang
diperbuatnya itu.
Demikianlah, gambaran orang yang seperti dilukiskan di atas, akan tetap dalam
kesesatannya. Kecuali ia sendiri mulai merasakan kekeliruannya. Dan ia memohon dengan
segenap doa dan usaha untuk dikembalikan kepada keadaannya yang semula baik. Dimana
hidayah (petunjuk) dan rahmat (kasing-sayang) Tuhan menaungi perjalanan hidupnya. Dan
sesungguhnya Tuhan akan mengabulkan permohonan setiap hamba-Nya.
Saya ingin menuliskan sebuah syair yang ditulis oleh Abu Nawas. Syair ini tidak akan
keluar kecuali dari seseorang yang mempunyai kesucian dan kerendahan hati. Ia begitu syarat
makna. Dan mungkin bisa melemahkan hati kita dari kesombongan dan keangkuhan yang selama
ini melekat dalam karakter kita. Begini bunyi syair itu:

Wahai Tuhanku hamba tak pantas menjadi penghuni surga (Firdaus)


Namun, hambapun tak sanggup menjadi penghuni neraka (Jahim)
Terimalah taubat hamba dan ampunilah dosa-dosa hamba
Sesungguhnya Engkaulah Maha Pengampun atas segala dosa
yang hamba perbuat
Dosa-dosa hamba bagaikan tumpukan pasir
Terimalah taubat hamba wahai Yang Maha Mulia
Sementara umur hamba kian hari kian berkurang
Dan dosa hamba kian bertambah, bagaimana mungkin hamba mampu memikulnya
Wahai Tuhanku, hamba-Mu yang penuh dengan dosa ini kini menghadap-Mu memohon
ampunan
Jika Engkau mengampuni, pantaslah karena Engkau Maha Pengampun
Namun jika Engkau menolak permohonan hamba, kepada siapa hamba berharap selain
Engkau.

Manusia berawal dari kesucian dan hendaknya demikian pula saat ia akan kembali ke
tempatnya. Ketika manusia dilahirkan dari rahim sang Ibu sampai masa sebelum akil baligh, ia
masih merupakan anak yang belum tersentuh kesalahan dan dosa. Setelah dewasa tampaklah
perangai orang tersebut. Baik dan buruk atau benar dan salah. Sisi manakah yang mendominasi
watak dan perilaku kita saat ini?
Yang pasti kehidupan ini adalah proses. Termasuk di dalamnya meraih tingkat hati yang
lembut, bersih dan suci adalah proses yang harus selalu diusahakan dengan tanpa henti. Tentu kita
semua tidak mengharapkan diri kita tersesat setelah memperoleh petunjuk; Kotor jasad kita
setelah bersih dan suci; Buruk ruhani kita setelah baik. Jangan sampai tertanam rasa pada diri
setiap manusia, “Semuanya sudah terlambat”. Ini perkataan yang sungguh keliru dan
bertentangan dengan sifat Ketuhahanan. Sebaliknya, mulailah berbenah diri, utamanya dimulai
dari membersihkan hati dan meluruskan niat. Bahwa setelah kehidupan dunia ini, dengan hati
yang tenang, kita akan bersama-sama menuju Sang Pencipta.***
64

TAKABUR

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS
Al-Nisâ‟ [4]: 36)

Takabur adalah penyakit hati dan bisa merusak iman seseorang. Takabur merupakan sikap mental
yang merasa diri lebih besar, lebih kaya dan lebih pandai, tanpa merasa ada bimbingan dan
petunjuk dari Allah. Karena ia merasa serba mampu, orang lain dianggap rendah.
Meremehkan orang lain dan merasa diri lebih termasuk ciri-ciri takabur sikap. Sedangkan takabur
perbuatan, seperti memaksa yang lemah untuk mengikuti kehendaknya dan suka menceritakan
kejelekkan orang lain. Setiap muslim sepatutnya meninggalkan sikap takabur ini, sebab bisa
menimbulkan kerugian bagi orang lain dan juga dirinya sendiri.
Menganggap remeh orang lain akan menimbulkan sakit hati, dan tidak mustahil berlanjut pada
permusuhan dan kebencian. Acapkali orang yang takabur tidak merasa bahwa perbuatannya bisa
menyakiti dan menyinggung saudaranya. Kesadaran untuk merubah sikap ini juga terkadang sulit,
bahkan setelah dijauhi masyarakatnya. Memang, orang yang takabur akan terasing dalam
pergaulan masyarakat, bahkan mungkin dikucilkan.
Karena diri merasa sempurna, maka ia cenderung statis. Tidak bisa melakukan otokritik. Ia tidak
bisa menasihati dirinya sendiri dan juga tidak bisa menerima nasihat orang lain. Padahal manusia
seharusnya melakukan introspeksi terhadap dirinya sendiri, sebelum ia menghadapi hari
penghisaban di akhirat nanti.
Manusia harus sadar akan kelemahan dirinya. Bahwa kekuatan, kesehatan, harta benda,
kepandaian, dan apa pun yang dimilikinya saat ini, semuanya pemberian dan titipan Tuhan. Sebab
sebelumnya manusia adalah sesosok bayi kecil yang telanjang, lemah, tidak punya kekuatan, dan
tidak tahu apa-apa. Lalu oleh kedua orang tua ia dibesarkan, diberi kasih sayang dengan sepenuh
hati, diajari dan dididik agar kelak menjadi anak yang berguna bagi dirinya dan orang lain.
Demikianlah, manusia seluruhnya berasal dari kelemahan dan ketidakberdayaan. Melalui tangan
dan hati kedua orang tua kita, Tuhan memberikan kekuatan, kasih sayang, dan rahmat kepada
keduanya untuk membesarkan dan mendidik setiap anak yang lahir ke bumi ini. Manusia harus
senantiasa ingat, bahwa apa-apa yang kita miliki di bumi ini bukan terjadi hanya semata hasil
jerih payahnya sendiri. Ada mata rantai yang menjadi perantara keberadaan yang ia rasakan
seperti sekarang ini. Yaitu orang tua, teman, lingkungan, guru, sanak saudara, dan seterusnya,
yang semuanya bermuara pada Keagungan, Kasih sayang, Kepemurahan, dan Rahmat Allah Swt.
Manusia takabur yang sombong dan membanggakan diri telah secara tidak sadar melupakan
hakikat kejadiannya ke muka bumi ini. Orang semacam ini telah melupakan peran kedua orang
tua, saudara, lingkungan yang membesarkannya, dan bahkan ia meniadakan Tuhan yang
memberinya nikmat sejak ia lahir hingga kematiannya. Karena itu, sangat tidak pantas jika ada
manusia yang takabur, merasa diri besar dan lebih dari manusia yang lainnya.
Manusia menjadi takabur karena memperturutkan hawa nafsu, baik karena sikap sombong
maupun ingin membanggakan diri di depan orang lain. Kisah Iblis yang menolak perintah Tuhan
untuk memberi hormat kepada Nabi Adam bersama malaikat-malaikat adalah contoh paling jelas
tentang sikap takabur ini. Karena Iblis merasa dirinya lebih baik dari Adam yang diciptakan dari
tanah, sedangkan dirinya dari api. Sebab sikap merasa besar dan mulia itulah akhirnya Iblis tidak
65

pernah akan diterima di sisi Allah, selamanya. Namun Iblis tidak ingin sendirian dalam
kesengsaraan dan kepedihan siksa neraka, maka ia akan menggoda anak-cucu Adam untuk
senantiasa mengikuti bisikannya. Iblis menuntun manusia berperilaku buruk dan sesat, berpaling
dari jalan Tuhan dan menjalankan kemungkaran di bumi ini. Dan sikap takabur adalah
representasi dari sifat Iblis itu sendiri.
Hidup adalah perjuangan menolak setiap bisikan syetan yang ingin menjatuhkan manusia ke
dalam jurang kehinaan, sedalam-dalamnya. Banyak sekali manusia yang mengikuti perangai
Iblis, khususnya dalam hal ketakaburan. Manusia bisa merasa takabur karena alasan harta benda,
ilmu, kedudukan, pangkat, jabatan, kecantikan, dan seterusnya.
Sebelum penyakit ini melekat kuat dalam hati manusia, secepatnya ia sadar dan berusaha
merubahnya ke arah yang baik. Pertama, manusia harus mengingat asal kejadiannya. Siapa yang
menciptakannya, dari mana ia dilahirkan dan untuk apa ia dilahirkan ke dunia ini. Kedua,
mensyukuri nikmat. Bahwa apa yang diterimanya saat ini adalah pada hakikatnya pemberian
Tuhan. Harta dan jabatan yang dimilikinya merupakan titipan Allah yang harus dijalankan
dengan baik. Ketiga, mengingat kematian. Sekuat apa pun manusia, sebesar apa pun
kekuasaannya, dan sebanyak apa pun harta bendanya, semuanya akan ditinggalkannya saat tali
kematian merenggutnya. Kematian akan datang kapan dan di mana pun, dalam keadaan sehat
maupun sakit, tua maupun muda. Saat itulah manusia takabur sadar, bahwa dirinya makhluk yang
lemah dan tidak berdaya.***
66

TAKUT KEPADA ALLAH

Benarkah judul tulisan ini? Seperti apakah bentuk Allah yang karenanya manusia harus
merasa takut kepada-Nya? Bukankah Allah mempunyai sifat Rahmân (Pengasih) dan Rahîm
(Penyayang). Kalau demikian mengapa kita harus takut kepada Allah? Sederet pertanyaan lain
bisa diajukan untuk menanggapi judul di atas.
Takut yang dimaksud dalam tulisan ini adalah mendekati pengertian takwa. Malik bin
Dinar memberikan gambaran yang bagus seperti ini, “Bukti takut (khauf) seorang hamba adalah
menjauhi larangan Allah. Adapun bukti berharaf (raja‟) adalah menjalankan perintah-Nya.”
Pengertian takwa sendiri adalah menjalankan perintah Allah, dan menjauhi setiap larangan-Nya.
Karena itu, takwa sering juga diartikan takut (kepada Allah).
Jika melihat definisi di atas, rasanya kebanyakan manusia tidak merasa takut kepada
Allah. Buktinya, kita mudah meninggalkan kewajiban shalat, puasa, dan zakat misalnya.
Sebaliknya, korupsi, kolusi, penindasan dan penganiayaan menjadi kebiasaan yang seakan sulit
untuk dihilangkan. Bahkan semakin hari makin meningkat angka perilaku-perilaku immoral
tersebut. Di tengah masyarakat manapun dan di belahan negeri manapun terjadi apa yang
namanya kebobrokan moral.
Tuhan Maha Melihat dan Mendengar, kita sudah sama-sama tahu. Setiap perbuatan
manusia—kecil dan besar—akan mendapatkan imbalan, kita pun sudah mendengar kalimat ini
sejak kecil. Tuhan ada di mana pun kita berada. Tapi Tuhan itu tetap Satu. Tuhan mengawasi
setiap makhluk tanpa pernah lalai dan tidur. Persoalannya, kita belum bisa menghadirkan Tuhan
dalam diri kita. Maksudnya, menjadikan sifat-sifat Allah dalam perkataan dan perbuatan kita.
Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, misalnya. Kita sulit mencari orang-orang
yang mempunyai rasa kasih dan sayang terhadap sesama. Saling melindungi dan mengayomi.
Kata kerja ini semakin langka dalam dunia modern saat ini. Yang terjadi pemandangan
sebaliknya. Di bis, kereta, kantor, terminal, dan pasar, setiap kita merasa harus waspada terhadap
ancaman kekerasan dan penganiayaan. Sikap seperti ini bukan tanpa sebab. Tindak kekerasan
bisa terjadi pada siang hari dan di tengah pandangan banyak manusia. Jika mereka tidak takut
kepada manusia, lalu di manakah posisi Tuhan dalam orang seperti itu? Di manakah mereka
letakkan pesan-pesan agama yang mereka anut?
Lawan kata dari rasa takut adalah merasa tentram atau aman. Mungkin kita bisa selamat
dari siksa manusia dan siksa dunia. Orang yang ingkar terhadap ajaran agamanya bisa merasa
tentram dalam hidupnya. Tapi keselamatan dan ketentraman itu hanya sebentar saja. Hanya
sebatas usia yang dimilikinya saja. Orang yang menjalani hidup dengan penuh kenikmatan akan
lebih merasa hidup sebentar. Sebab ia terlena dan terbuai. Seperti orang yang sedang bermimpi.
Gambaran atau lukisan mimpi itu seolah tampak nyata betul di hadapan mata, tapi sebenarnya
tidak. Semua yang disaksikan dan dialaminya akan hilang dalam sekejap mata. Demikianlah
gambaran manusia yang hidup di dunia laksana tidur. Mereka semua bermimpi tentang keindahan
dan kelezatan dunia. Mereka dibangunkan oleh malaikat Izrail, pencabut nyawa. Tatkala ruh
berpisah dengan jasad itulah manusia baru sadar bahwa, semua mereka telah tertipu. Lupa
menyiapkan tabungan amal kebaikan. Tidak melaksanakan seruan Allah, tapi menjalankan
kehendak syahwatnya saja.
Rasulullah Saw. pernah membacakan Hadits Qudsi yang berbunyi, “Demi Keagungan
dan Kemenangan-Ku, tiada berkumpul dua rasa takut atau rasa tentram bagi hamba-Ku. Orang
yang takut di dunia kepada-Ku, pasti Kuberikan rasa aman di akhirat. Orang yang hidupnya di
67

dunia merasa aman dari-Ku, pasti di akhirat diancam rasa takut.” Orang yang takut di dunia
senantiasa berhati-hati dalam bertindak dan berucap, takut terjatuh dalam dosa. Jika berdosa, ia
yakin tidak akan selamat dari pengawasan Tuhan. Sementara itu, banyak orang yang merasa
tentram dan aman dari pengawasan Allah Swt. Mereka tahu Allah Maha Melihat, tapi
pengetahuannya tidak selaras dengan perbuatannya. Akalnya dikalahkan oleh perasaan dan hawa
nafsu. Jika hawa nafsu yang mendominasi hidup manusia, dan enggan berfikir, tiadalah beda
manusia itu dengan hewan.
Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. tentang makna ayat berikut ini, “Dan
orang-orang yang telah memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut,
(karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (QS
Al-Mukminûn [23]: 60) Rasulullah Saw. pun menjawab, “Ada sebagian orang mukmin berbuat
kebaikan, tapi mereka takut tidak diterima.”
Orang yang beriman tidak yakin sepenuhnya bahwa segala amal baiknya di dunia ini
diterima Allah Swt. Paling tidak, mereka tidak tahu apakah Allah menerima atau menolaknya.
Hal demikian tidak berarti, manusia bermalas-malasan dalam beribadah. Justeru harus menambah
rutinitas kegiatan ibadahnya. Bahkan jika pun manusia itu masuk surga, hal itu semata karena
rahmat Allah kepadanya. Sebab pemberian Tuhan yang berlimpah terhadap manusia, tidak akan
terbalas meski manusia beribadah sepanjang usia hidupnya.
Jika masih ragu dengan kehadiran Tuhan, lalu siapakah yang menciptakan bumi beserta
isinya ini? Jika tidak percaya dengan Hari Pembalasan, lalu siapakah yang akan membalas dosa
ketidakadilan yang belum tuntas di dunia ini? Jika manusia takut terbakar api, mengapa ia tidak
takut ancaman kepedihan akhirat.
Sebagai akhir dari tulisan singkat ini, ada baiknya kita renungkan sebuah Hadits.
Rasulullah bersabda, “Orang beriman itu berada di antara dua ketakutan. Antara ajal terdahulu,
tidak tahu persis apa tindakan Allah baginya. Ajal mendatang, juga tidak tahu persis bagaimana
keputusan Allah terhadapnya. Karena itu, seseorang wajib berbekal amal demi keselamatan
dirinya. Dari dunia untuk akhirat; Dari hidup untuk mati. Demi Allah yang jiwa Muhammad di
bawah kekuasaan-Nya: „Sesudah mati, tiada kesempatan taubat dari dosa. Tiada tempat di sana,
kecuali Surga dan Neraka.” (HR Hasan Bashri dari Jabir r.a.)
68

ALLAH YANG MAHA PENGAMPUN

Karena manusia itu tidak bisa terjaga dari kesalahahan dan dosa, maka Tuhan Yang Maha
Pengampun memberikan kesempatan taubat untuk hambanya. Taubat merupakan simbol betapa
Allah sangat menyayangi seluruh hamba-Nya. Tuhan akan senantiasa membuka pintu taubat bagi
manusia sebelum ajal melewati kerongkongannya. Dan jika taubat manusia diterima, ia seolah
lahir kembali ke dunia ini seperti layaknya seorang bayi yang baru dilahirkan.
Dari Ali Bin Abi Thalib, Nabi Saw. bersabda, “Empat ribu tahun sebelum manusia
diciptakan, telah terpampang sebuah tulisan di sekitar „Arasy sebagai berikut: „Wa innî
laghafûrun liman tâba wa âmana wa „amila shâlihan tsummahtadâ: Bahwasanya Aku Pengampun
bagi orang yang bertaubat dan beramal saleh, kemudian tetap tegak kokoh di jalan yang benar”
(Thâ Hâ [20]: 82) Ampunan Allah selalu terbuka bagi manusia yang ingin kembali kepada jalan
yang lurus. Dimana ia mengakui segala kesalahannya dengan tulus dan berusaha menjalani hidup
sesuai tuntutan agamanya. Ia berubah menjadi orang yang taat di hadapan Tuhannya, setelah
sebelumnya hidup sebagai pendusta agama.
Manusia memang mudah tergoda dan tertipu oleh manisnya anggur dunia. Manusia larut
dalam kesenangan, limpahan materi, kedudukan dan wanita, yang menjadikan manusia lupa pada
tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Terhadap hamba-Nya yang berlaku seperti ini, Allah
menyeru mereka dengan Firman-Nya yang berbunyi, “Katakanlah, hai hamba-Ku yang berlebih-
lebihan dalam hidupnya, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, bahwasanya Allah
mengampuni semua dosa, Dia Maha Pengampun dan Maha penyayang”. (QS Al-Zumar [39]: 53)
Demikianlah Tuhan senantiasa mengingatkan—dengan rasa cinta yang penuh—hambanya untuk
kembali kepada jalan yang lurus. Meninggalkan perbuatan maksiat menuju insan yang saleh.
Seorang sufi wanita ternama, Rabi‟ah „Adawiyah menegaskan, “Istighfar yang
diucapkan, tanpa niat berhenti dari perbuatannya, berarti taubatnya palsu, bahkan tidak dianggap
taubat. Karena ada tiga syarat bagi yang taubat: (1) Menyesali perbuatannya, (2) Mulutnya
mengucapkan istighfar, (3) Niat tidak lagi mengulangi perbuatannya. Jika ketiga syarat itu
dipenuhi, pasti diampuni dosanya sekalipun bagaimana besarnya dosa itu.” Kebalikan dari taubat
palsu adalah taubat nashuha, yaitu mengakui segala kesalahan yang juga diikuti oleh niat yang
sungguh-sungguh di dalam hati untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah
diperbuatnya.
Nabi Muhammad Saw. pernah berkata, “Bahwa aku ber-istighfar dan bertaubat (tidak
kurang) seratus kali setiap harinya.” Abu Laits Samarqandi menegaskan, “Bagi kita (manusia
biasa) yang tidak tahu persis dosanya diampuni atau tidak sudah sepantasnya setiap saat bertaubat
dan istighfar sebanyak-banyaknya, mengingat beliau Rasul Saw. yang sudah dapat dipastikan
dosa terdahulu atau mendatang diampuni oleh Allah, tetapi beliau setiap harinya tidak pernah
kurang dari 100 x bertaubat dan ber-istighfar. Cobalah camkan baik-baik.”
Rasul ingin memberi pelajaran kepada umatnya bahwa, manusia tidak boleh merasa suci
di hadapan Allah Swt. dengan enggan beristighfar atau bertaubat. Kenapa? Penting disadari
bersama, bahwa ada dosa atau kesalahan yang disengaja dan juga ada yang tidak disengaja. Nah,
dengan membiasakan taubat—terutama setelah menjalankan shalat lima waktu—mudah-mudahan
manusia terhapus dari dosa yang tidak sengaja telah dilakukannya. Masalahnya, jika dosa tersebut
hubungannya dengan Tuhan, maka manusia bisa langsung bertaubat kepada-Nya dengan bacaan
istighfar dan lainnya. Namun jika dosa tersebut hubungannya dengan sesama, maka ia harus
69

berusaha mengakui kesalahannya di hadapan orang yang bersangkutan. Jikapun orang tersebut
tidak memaafkan tuan, paling tidak tuan telah memenuhi kewajiban dengan mengaku bersalah.
Dari konsep taubat ini bisa dipahami bagaimana pilihan baik dan buruk, benar dan salah,
juga bahagia dan sengsara sepenuhnya hak manusia. Manusialah yang menentukan pilihannya
sendiri ke mana ia akan mendayung arah perahu kehidupannya. Tuhan hanya memberikan
pilihan-pilihan, apakah manusia akan terus mengikuti jalan kesesatan ataukah kembali kepada
jalan yang diridhai-Nya. Apakah ia akan memilih kehidupan dunia yang nisbi ini ataukah ia
memilih kehidupan akhirat yang abadi. Dan sekali lagi, pintu taubat akan selalu terbuka bagi
siapa pun yang menyadari kesalahan-kesalahannya.
Manusia mungkin ada yang merasa dirinya sudah terlalu kotor, karena sejak lama
melakukan perbuatan maksiat. Dia misalnya, sudah lama meninggalkan perintah shalat, puasa,
dan zakat-shadaqah. Sebaliknya, ia sejak remaja sampai usia tua telah jatuh dalam dunia hitam
atau dunia pelacuran. Maka ia berfikiran sudah tidak mungkin mendapatkan kesempatan
ampunan dari Allah Swt., maka ia pun terus melakukan pekerjaannya. Sudah terlanjur, pikirnya.
Pikiran semacam ini jelas salah besar, sebab Ampunan dan Rahmat, serta Kasih Sayang Allah
Swt. terhadap manusia, lebih besar jika dibandingkan dengan dosa-dosa yang diperbuat oleh
seluruh manusia di muka bumi ini sekalipun. Tuhan tidak menciptakan manusia untuk diberikan
hukuman—kecuali atas pilihan manusia itu sendiri, melainkan untuk diberi kenikmatan dan
kesenangan di dunia maupun di akhirat kelak.
Itulah sebab penulis lebih merasa cocok memberi judul tulisan ini dengan Allah Yang
Maha Pengampun, bukan taubat. Alasannya—berdasarkan Hadits dari Ali, bukankah jauh
sebelum manusia itu diciptakan Allah telah membukakan pintu ampunan bagi hamba-hamba-
Nya. Supaya manusia menyadari bahwa dalam hal ini Allah lah yang mengundang seluruh
manusia untuk tidak lari Ampunan dan Rahmat-Nya. Oleh sebab itu, adalah kerugian besar bagi
manusia yang enggan atau tidak pernah mengetuk pintu ampunan Tuhan tersebut selama
hidupnya. Bertaubat tidak harus menunggu ketika usia telah senja, saat masih mudah pun
manusia harus rajin-rajin beristighfar minimal tujuh kali setiap selesai shalat fardhu.***
70

TAWAKKAL

Pertama-tama yang penting diluruskan di sini adalah tentang definisi tawakkal yang sering kabur
pemahamannya di masyarakat. Yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah sambil berikhtiar.
Bukan suatu sikap yang langsung menyerahkan segala urusannya kepada takdir Tuhan. Tawakkal
menuntut partisipasi aktif dari dalam diri seseorang untuk mau melakukan usaha terlebih dahulu
semaksimal mungkin, kemudian sambil menunggu hasilnya ia serahkan sepenuhnya kepada Allah
Swt. Jadi sebenarnya tawakkal justeru mendorong orang untuk berfikir dan berusaha agar
memperoleh kehidupan yang lebih baik di dunia ini.
Jika demikian apa pentingnya tawakkal dalam kehidupan ini? Pertama, tawakkal akan
melahirkan ketenangan emosi dalam diri seseorang. Contoh yang amat gamblang dalam hal ini
adalah ketika seseorang melakukan ujian, apakah hendak memasuki Perguruan Tinggi atau
melamar kerja. Nah, sikap tawakkal mengajarkan kepada kita untuk tidak gelisah dan cemas
menunggu hasil proses ujian tersebut. Di samping karena kita sudah berusaha dan juga kita harus
percaya bahwa Allah akan memberikan sesuatu yang lebih baik untuk hambanya.
Kedua, menghindarkan seseorang dari sikap putus asa yang bisa berakibat fatal dalam hidupnya.
Karena sedikit pengetahuan tentang agama atau tidak memahami ajaran agamanya, orang bisa
melakukan hal terburuk dalam kehidupannya. Kegagalan sering menimbulkan stress pada diri
seseorang sehingga menimbulkan kemalasan dan tidak bergairah, bahkan tidak jarang berujung
pada pilihan mengakhiri hidupnya. Ini adalah fenomena yang biasa terjadi dan tidak bisa kita
abaikan begitu saja. Nah, salah satu dimensi ajaran tawakkal adalah, bahwa manusia harus bisa
menerima kegagalan atau apa pun hal buruk yang menimpanya dengan hati yang pasrah. Sebab
seorang muslim harus yakin bahwa, apa yang diterimanya saat ini adalah hal terbaik buat
kehidupannya.
Manusia harus yakin akan datangnya rizki dari Allah di mana pun ia berada asalkan bersedia
bekerja. “Tiada suatu hewan bumi melata, kecuali Allah menjamin rizkinya”. (QS Hûd [11]: 6)
Yang mengatur rizki manusia di dunia ini adalah Allah, tapi untuk memperolehnya ia harus
melakukan kasab (usaha). Ketentuan Tuhan baru akan terjadi jika manusia sendiri berusaha
mencapai tujuannya. Seandainya tuan menolak pemikiran semacam ini, lalu bagaimana akibat
yang ditimbulkan oleh paham bahwa Tuhan telah mengatur rizki dan nasib manusia sepenuhnya,
dan manusia tidak punya peran sedikitpun? Kecuali akan menimbulkan sikap pemalas pada setiap
orang, ia juga menafikan peranan akal yang telah Allah berikan pada setiap manusia di dunia ini.
Dari Abdurrahman Ali Laila: “Ada orang yang bertanya, „Ya Nabiyullah, sebaiknya unta
kulepaskan lalu aku bertawakkal, atau unta diikat lalu tawakkal kepada Allah? Jawab beliau
Saw: „Ikatlah dulu, baru kau tawakkal kepada Allah”. Hadits ini menegaskan penting sebuah
usaha terlebih dulu, baru kemudian pasrah sepenuhnya kepada Allah. Menurut seorang ulama
hikmah, “Perbedaan antara yakin dengan tawakkal, yaitu yakin benar-benar percaya kepada Allah
dengan segala amal yang menyampaikannya ke akhirat. Sedangkan tawakkal, benar-benar
percaya kepada Allah dalam segala usaha dunia.”
Sementara itu ada ulama yang membagi tawakkal menjadi dua. Pertama, tawakkal tentang rizki,
maka tidak boleh gelisah, prihatin di dalamnya. Kedua, tawakkal tentang pahala amal, harus
percaya dan tenang pada janji Allah, dan khawatir terhadap amalnya, apakah diterima atau tidak,
kau belum tahu persis duduk masalahnya. Al-Faqih Abu Laits Samarqandi penulis kitab Tanbîhul
Ghâfilîn, meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Mijlaz, katanya: “Umar berkata: „Aku tidak
71

peduli tentang keadaanku sewaktu pagi, bergembira atau susah, karena aku tidak tahu persis
mana yang lebih baik bagiku senang ataukah susah”.
Benar apa yang dikatakan Umar di atas. Manusia “belum mengetahui” apakah keadaan senang
atau susah yang justeru lebih baik untuk kehidupannya. Seperti halnya orang yang berlimpah
harta dan kedudukan yang tinggi, tidak semua menjadikan pemiliknya lantas selamat dan bahagia,
serta sukses dalam mengurus diri dan keluarganya. Sebaliknya, tidak sedikit yang justeru menjadi
sengsara dan terkekang, serta tersiksa hidupnya oleh harta dan kedudukannya sendiri. Sementara
itu ada orang yang hidupnya dalam keadaan sederhana, kadang hidup kekurangan, namun bisa
merasakan bahagia dan berhasil menghantarkan kehidupan keluarga dan anak-anaknya pada suatu
kondisi yang lebih baik. Demikianlah kira-kira interpretasi penulis untuk perkataan Umar,
“…Aku tidak tahu persis mana yang lebih baik bagiku senang ataukah sengsara”.
Oleh sebab itu, manusia seharusnya bisa menerima dengan penuh kepasrahan apa pun warna dan
garis kehidupannya. Susah maupun senang, bahagia atau pun sengsara. Apa pun keadaan yang
diterima manusia di dunia ini harus disikapi dengan sikap positif terhadap adanya grand design
Tuhan kepada setiap makhluk-Nya. Dalam keadaan dan situasi apa pun, ia harus senantiasa
pasrah dan tidak melupakan kewajiban beribadah—baik vertikal maupun horizontal. ***
72

MUNAJAT

Ya Allah,
Ampunilah diriku yang sering lupa menyebut Asma-Mu ini
Aku melupakan-Mu karena sibuk mengurusi perkara dunia
Ya Allah,
Turunkan maaf-Mu dalam setiap kealfaanku dalam menunaikan perintah-Mu
Aku banyak melupakan-Mu dalam pikiran, ucapan dan perbuatan
Tetapi Engkau tetap mengingat diriku setiap saat
Kadang diriku merasa berat beramal shadaqah,
Aku bahkan sering melupakan keadaan saudaraku yang kekurangan
dan berseru mohon pertolongan,
padahal aku tahu dengan jelas Engkau senantiasa memenuhi permintaan hamba yang terucap juga
yang tak sempat terucap
Ya Allah,
Engkau Maha Tahu setiap bisikan Qalbuku,
Maka Kau kabulkan cita-cita dan harapanku
Aku terlampau sibuk memikirkan kesenangan sendiri,
menumpuk kekayaan seolah hidupku takkan pernah berujung
Ya Allah,
Engkau tetap memberikan rizki kepadaku setiap saat,
walau dosa hamba bertambah setiap hari
Pemberian-Mu tak mungkin dapat dibalas,
maka terbitkanlah rasa syukur di hatiku
Kasih-sayang-Mu teramat luas padaku,
maka bukakanlah kuncup cinta dalam jiwaku
Dan berikanlah kekuatan padaku untuk dapat membagikan benih cinta itu pada saudara-
saudaraku
Ya Allah,
Dalam kedurhakaanku Engkau tak henti memberi cahaya dalam kegelapan hidupku
Petunjuk-Mu mengalir seperti sungai yang hendak mensucikan jasad dan pikiranku yang penuh
dengan debu kemaksiatan
Ya Allah,
Rasanya aku tak sanggup menghadapi kepahitan dan cobaan hidup,
maka turunkan hujan kesabaran dalam qalbuku
Diriku sering menangis dalam kekurangan dan kesedihan,
maka taburilah hati hamba dengan butiran tawakkal
Ya Allah,
Diriku kerap ditimpa bimbang dan was-was dalam menjalani hidup ini,
jadi berikanlah padaku jiwa yang tenang dan bersih seperti halnya Engkau menciptakan butiran-
butiran embun yang Kau turunkan ke bumi
Ya Allah,
Hatiku keras laksana batu, dan perasaanku menjulang seperti langit
Aku lupa bahwa diriku lemah dan sedikit ilmu
Aku lupa saudara-saudaraku bisa terluka,
73

sehingga terbit sesal dalam hatiku;


setelah semua terjadi baru kesadaran akan salah timbul
Aku melupakan kebodohan dan kelemahanku sendiri
Dan aku lupa bahwa Engkaulah sumber dan pemberi ilmu
Ya Allah,
Engkau Maha Melihat segala yang tersembunyi dari pandangan mata manusia, tapi diriku tak
henti mendekati larangan-Mu
Engkau Maha Mengetahui rahasia bisikan qalbu,
jangan jadikan hawa nafsu menjadi panglima dalam perbuatan dan kehidupanku
Ya Allah,
Karena kelemahanku,
aku tidak sanggup menentukan warna dan arah taqdir hidupku
Ya Allah,
Mudahkanlah segala urusanku, urusan orangtuaku, urusan umat muslim, juga urusan semua
manusia
Tempatkanlah diriku dalam lingkungan yang penuh berkah dan rahmat-Mu
Ya Allah,
Tumbuhkan dalam sudut hatiku bunga kecintaan pada sesama ciptaan-Mu
Jangan biarkan mekar benih kebencian dalam hatiku
Ya Allah,
Jangan Kau jatuhkan diriku ke dalam jurang kehinaan akibat tumpukan dosa-dosaku yang terlalu
banyak pada-Mu
Ampunilah salah dan dosaku akibat sengaja maupun lupa
Jagalah tubuh dan ruhku kala terjaga maupun dalam tidur
Ya Allah,
Demi Dzat-Mu yang suci dan bersih penuh cahaya,
bimbinglah lisan dan perbuatan, serta hatiku untuk hanya berkata, beramal, dan berniat sesuai
Keridhaan-Mu
Ya Allah,
Berikanlah terang jalan yang kutempuh dalam menyusuri rahasia kebesaran-Mu
Jangan butakan mata hatiku atau jalan yang kususuri dalam pelayaran menuju Cahaya-Mu
Ya Allah,
Aku sering menangisi dan menertawai hal ihwal dunia fana ini, namun aku tidak pernah
menertawai dan menangisi kesalahanku
Diriku bersedih dan airmata kering meratapi kehilangan harapanku terhadap dunia dan isinya ini
Tapi bahkan airmataku tak sempat menetes pabila jauh dari Cahaya-Mu
Ya Allah,
Gelap jalan yang akan kutempuh jika Engkau menjauhiku
Gerakkanlah langkahku hanya dalam menuju Keridhaan-Mu
Raih dan dekaplah tangan dan tubuhku saat jiwaku dalam situasi kebimbangan
Ya Allah,
Sucikanlah hatiku dari bahaya fitnah, adu domba, hasud, iri, dengki, dan sakwa sangka
Terhadap dunia jadikanlah hajatku sekedar cukup untuk ibadah dan kemaslahatan diri dan
keluargaku
Condongkanlah hatiku pada hajat yang besar terhadap akhirat-Mu
74

Kemudian hiasilah ucapan, tindakan, dan hatiku dengan Sifat-sifat-Mu Yang Agung dan Mulia
Ya Allah,
Masukkan diriku pada golongan orang-orang yang saleh
Jadikanlah daku orang yang pandai bersyukur dalam kelebihan dan kekurangan
Kadang diriku merasa besar di hadapan orang lain dan menganggap orang lain berada di bawah
derajatku
Maka, ampunilah dosa-dosa kejahilanku
Ya Allah,
Jadikanlah kehadiranku saat hidup maupun setelah mati di dunia ini bermanfaat untuk manusia
Biar jasadku terkubur tanah dalam balutan kain kafan,
tapi ilmuku dipelajari banyak orang
Ya Allah,
Berikanlah kehidupan yang baik untukku,
Di dunia juga di akhirat
Amin. Wahai Maha Pemberi orang-orang yang meminta
Dan Maha Pengabul setiap doa orang-orang yang tulus
Shalawat dan salam semoga tercurah untuk Nabi Muhammad, keluarga, dan para sahabatnya
yang setia.

Anda mungkin juga menyukai