Anda di halaman 1dari 4

Nama : Henny Handayani

Kelas : XII MIPA 3


No Absen : 14

Sederas Hujan
Awalnya, semuanya serba sempurna. Carousel berputar dalam iringan lagu riang yang
semakin cepat. Roller couster meluncur meliuk bersama jeritan para penumpang, dan
warna-warni lolipop di sudut-sudut taman. Di sampingku Revan, duduk melingkarkan
lengan pada pundakku. Pelukannya serupa boneka monyet berperekat yang menempel
kuat di leher ketika pelukannya kurekatkan. Hangat dan nyaman.

Tak ada yang lebih sempurna dari hari ini, kurasa. Lalu dengan cepat semuanya berbalik
jadi bencana. Ini terjadi karena Revan mulai menanyakan apa yang kuobrolkan dengan
teman lamaku di telepon tadi. Dan dia mulai cemburu tak beralasan.

“Sudah kubilang, dia bukan siapa-siapa, Van” kata Rainy berusaha menjelaskan. Cowok
yang Rainy cintai itu kesal bukan main. Wajahnya merah padam membuat
ketampanannya lenyap. Matanya menusuk tepat di jantungku. Dada Rainy berdebar
menunggu-nunggu apa yang aka terjadi selanjutnya.

“Jangan ngobrol lama-lama dengan teman cowokmu seperti itu!” bentaknya. Rainy
meghela napas, berharap sejuta kesabaran masuk ke dalam tubuhku. Seperti biasa,
akhirnya Rainy memilih diam. Tapi, bukan itu yang diharapkan Revan. Rupanya
moodnya sedang tak bagus. Dia ingin melemparkan kekesalannya pada Rainy, sebagai
perusak suasana hatinya.
“Dasar gak tahu diri!” omelnya. “Aku gak suka kamu terlalu dekat dengan cowok lain!”
Dia mondar-mandir di depanku seperti harimau mengawasi buruannya. Aku
menunduk. Orang-orang yang melintas mulai memperhatikan kami karena suara Revan
yang keras. Rasanya aku ingin menyelam ke dasar lautan dan menghilang dari muka
bumi!
“Kalau sampai ini terjadi lagi, lihat apa yang bakal aku lakukan! Dasar murahan!”
Katanya. Rainy memainkan gula kapas berwarna tosca dengan kedua tangannya. Ia
memutuskan untuk berdiri dan pulang. Terserah dia mau bilang apa. Rainy tak tahan
lagi dicaci seperti ini.
“Hei, dengar ya!” Revan memegang erat kedua pundaknya, mengguncang-guncang
sampai tubuhnya bergetar. Rainy ketakutan sekaligus malu. Orang-orang mulai
berhenti, menoleh dengan pandangan ingin tahu. Apalagi yang kan dilakukan Revan?
Plak!!! Tangan Revan melayang ke wajah Rainy, ia terkejut. Ini memang bukan pertama
kalinya Revan menampar Rainy. Tapi di depan banyak orang, perihnya lebih terasa.
“Ini hukuman untukmu!” Kekesalan Rainy tiba-tiba timbul. Mati-matian ia menahannya,
kemarahannya naik ke kepala semakin cepat. Di kepalkan kedua tangannya. Seperti film
yang dipercepat, adegan-adegan Revan menyakiti dirinya terlintas kembali. Saat dia
memukul Rainy pertama kali, kedua kali, sampai ia lupa sudah berapa kali Revan
memukulnya. Saat dia menghina Rainy di depan teman-temannya karena Rainy tampak
kelelahan atau karena tampak gemuk. Lalu bagaimana dia bermanis-manis di depan
Mama Rainy, seolah tak pernah melakukan kesalahan pada Rainy. Cukup sudah! Dia
boleh merendahkan Rainy, tapi tidak untuk saat ini.
“Kamu keterlaluan, Van!” bentak Rainy. Rainy mengambil napas panjang. Kali ini Rainy
sudah tak tahan lagi.
“Kita putus!!! Jangan ganggu aku lagi!” Ditatap mana Revan dengan nanar. Dia tampak
terkejut. Mata Revan melotot. Sepertinya dia tak percaya dengan kata-kata Rainy.
Karena baginya Rainy ini gadis penurut.
“Kita putus sajaaa!!!” bentak Rainy. Dadanya bergemuruh karena amarah. Buru-buru,
Rainy memalingkan wajahnya saat Revan mengangkat tangan.
“Jangan Van! Cukup!” Pipinya terasa panas. “Pergi!” usirnya.
Orang-orang mulai berkerumunan di sekitar mereka. Sepertinya, Revan baru menyadari
mereka menjadi bahan tontonan. Dia membalikkan tubuhnya lalu pergi tanpa kata-
kata. Langkahnya cepat dan lebar-lebar, membelah lingkaran orang-orang tersebut.
Ketika sosoknya menjauh, baru Rainy sadar apa yang dia lakukan barusan.
Mendadak, pandangan matanya mengabur. Cowok itu telah pergi dari hadapannya.
Entah untuk sementara, atau untuk selamanya. Rainy berharap tak melihatnya lagi.
Hatinya terlanjur sakit. Akhirnya, Rainy tahu Revan bukan hanya menginginkan Rainy
sepenuhnya untuk dia sendiri. Tapi juga tega mempermalukan Rainy di tempat umum.
Apakah begitu cara seorang cowok bersikap pada cewek yang dicintainnya?
Rainy merasa seperti tontonan pinggir jalan. Topeng monyet yang membuat penonton
tertawa karena kelucuannya, sekaligus berbelas kasih. Begitulah yang Rainy rasakan
ketika orang-orang yang melintas memandang dalam diam.
Sesungguhnya, inilah bagian paling menyakitkan. Belum pernah seumur hidupnya ada
orang membuatnya merasa terbuang dan hina dalam waktu yang bersamaan. Dadanya
sesak, terhimpit rasa malu dan sakit hati. Namun beberapa menit kemudian, ketika ia
tersadar, secuil perasaan cinta untuk Revan masih tersisa. Tangisnya yang mulanya
isakan pelan, berubah jadi sedu sedan. Lalu aku tersengal tanpa henti. Pelan-pelan,
timbul perasaan yang lain. Rainy menyesal. Rainy tak tahu apa yang harus disesalkan?
Atau sebaliknya, menyesal telah berbuat benar?
Rainy tak menyangka, memutuskan seseorang, bahkan di saat orang tersebut sering
menyakiti sangat sulit. Sama sulitnya dengan memutuskan untuk menuruti perkataan
Mamanya atau tidak. Karena saat menurutinya berarti membohongi diri sendiri.
Namun jika tidak, ia merasa jadi anak durhaka.
Dua tahun penuh kenangan bersama Revan membayang bagai film gerak lambat di
dalam memoriku.
Dan seperti merayakan kesedihannya gerimis pun turun. Mula-mula pelan lalu
menderas, hingga membuat orang-orang yang melintas berlarian mencari tempat
berteduh. Tapi aku masih tersengal dalam hujan.
Ditatap langit penuh benci. Sejak dulu, Rainy tak pernah suka hujan. Karena hujan
selalu datang di saat Rainy sedih. Saat menunggu orangtuanya datang untuk
menghadiri rapat penting di sekolah dan ternyata mereka lupa. Saat mereka berjanji
datang tepat waktu untuk merayakan ulang Rainy namun mereka malah tak bisa
meninggalkan pekerjaan. Di saat-saat seperti ini, kedua orangtuanya menjadikan hujan
sebagai alasan.
Sejak saat itu, Rainy terbiasa mengutuk hujan. Dengan tubuh basah kuyup, kutatap
tajam-tajam rintik air, berharap hujan akan pergi jika dimarahi seperti itu. Rambutku
acak-acakan dan dress yang kukenakan jadi seperti jemuran yang lupa diangkat. Tapi
Rainy tidak peduli.
Baginya, hujan dan sedih selalu bersama. Kini dan nanti, ia tetap membenci hujan.
Meski namanya sendiri pun seperti hujan.
Rainy.
Rainy duduk pada ayunan bertali yang dililiti tanaman rambat. Tubuhnya bergoyang
pelan. Kepalanya terkulai lemas seperti boneka yang patah leher. Dan, matanya
kehilangan sinar.
Berhari-hari sudah peristiwa buruk itu terjadi pada lelaki yang disayanginya. Namun, dia
masih mengingat semuanya. Terlalu banyak kata “seandainya” muncul di otaknya. Pada
akhirnya dia tahu, itu tak mengubah apapun.
Tanpa bisa dicegah sebuah kenangan manis melintas. Saat bersama laki-laki itu. Waktu
itu mereka berdua berada di suatu tempa bersama wangi bunga-bunga. Hanya
beberapa menit, namun waktu seakan berhenti seketika.
“Hujan itu tak berarti sedih, Rainy” kata lelaki itu.
“Meski hujan selalu datang di saat-saat buruk?” Tanyanya seperti bocah yang menuntut
penjelasan. Dia tak pernah punya kenangan menyenangkan di saat hujan.
Lelaki itu mendorong ayunan yang didudukinya lebih keras, membuat rambut tipis
Rainy tertiup angin.
“Hujan akan berlalu. Dan saat itulah, kamu akan melihat pelangi. Tanpa hujan, pelangi
tak akan muncul. Hujan tak seburuk yang kau bayangkan. Kamu tahu, ada satu lagi
yang kusuka dari hujan.”
“Apa?”
“Bau tanah setelah hujan. Segar dan menenangkan”
“Berjanjila untuk tersenyum, Rainy” Katanya ketika ayunan melambat geraknya.
“Berjanjilah untukku.”
Tepat ketika ayunan berhenti dan gadis itu membuka mata, lelaki itu berjongkok di
hadapannya, di antara bunga-bunga. Gadis itu tersenyum. Wajahnya bersemu merah.
Titik-titik hujan tiba-tiba turun membasahi bumi, membuyarkan lamunan sang gadis.
Matanya menghangat seketika mengingat ucapan lembut lelaki ini. Namun, dia tak juga
beranjak menghalau titik-titik hujan dari rambutnya. Untuk kali ini saja, dia ingin larut
dalam hujan.
Lalu, hujan pun menyembunyikan air matanya yang ikut turun bersamaan dengan titik-
titik air.

Anda mungkin juga menyukai