Anda di halaman 1dari 20

Perempuan 40 tahun yang Mengalami Kehilangan Kesadaran

Clara July Deby Sainuka


102017076
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510. No. Telp (021) 5694-2061
Email: sainukaclara@gmail.com

Abstrak

Ventricular fibrillation/atau ventrikel fibrilasi adalah satu jenis gangguan irama jantung. Bilik
jantung yang seharusnya berdenyut, menjadi hanya bergetar saat terjadi ventrikel fibrilasi. Hal
ini disebabkan oleh adanya gangguan aliran listrik pada jantung. Akibatnya, jantung tidak
mampu memompa darah ke seluruh tubuh, sehingga pasokan darah yang membawa oksigen dan
nutrisi ke organ-organ tubuh akan terhenti. Kondisi ini merupakan kondisi darurat yang harus
segera mendapatkan penanangan, karena dapat menimbulkan kematian hanya dalam waktu
beberapa menit. Ventrikel fibrilasi paling banyak ditemukan pada orang dewasa berusia 45-75
tahun dan merupakan gangguan irama jantung yang sering dijumpai pada infark miokard akut
(IMA). Disamping itu ventrikel fibrilasi juga merupakan penyebab utama dari kematian akibat
henti jantung mendadak (cardiac arrest).

Kata Kunci: Ventrikel fibrilasi, henti jantung

Abstrack

Ventricular fibrillation / or ventricular fibrillation is a type of heart rhythm disorder. The


chambers of the heart, which are supposed to beat, only vibrate when the ventricles are
fibrillated. This is caused by an interruption of electrical flow to the heart. As a result, the heart
is unable to pump blood around the body, so the blood supply that carries oxygen and nutrients
to the body's organs will stop. This condition is an emergency condition that must be treated
immediately, because it can cause death in just a few minutes. Ventricular fibrillation is mostly
found in adults aged 45-75 years and is a heart rhythm disorder that is often found in acute
myocard infarction (AMI). Besides, ventricular fibrillation is also a major cause of death due to
sudden cardiac arrest (cardiac arrest).

Keywords: Ventricular fibrillation, cardiac arrest


Pendahuluan

Keadaan paling serius dari semua aritmia jantung adalah fibrilasi ventrikel (VF), yang
bila tidak dihentikan dalam waktu 1 sampai 3 menit, akan menimbulkan keadaan yang fatal.(2)
Kematian mendadak terjadi 300.000 per tahun di Amerika Serikat, dimana 75-80% disebabkan
oleh VF. Jumlah kematian yang disebabkan oleh VF lebih banyak dibandingkan dengan kanker
dan AIDS. Sekitar 50% kejadian VF disebabkan oleh penyakit jantung koroner dan pria lebih
tinggi dibandingkan wanita dengan rasio 3:1, yang terjadi pada usia 45-75 tahun.1

Fibrilasi ventrikel mesrupakan keadaan terminal dari aritmia ventrikel dimana ventrikel
mengalami depolarisasi secara kacau dan cepat, sehingga ventrikel tidak berkontraksi sebagai
satu unit, tetapi bergetar secara inefektif, yang ditandai dengan gelombang P, segmen ST yang
tidak beraturan dan sulit dikenali (disorganized), bahkan tanpa kompleks QRS, dan menjadi
penyebab utama kematian mendadak. Mekanisme tersebut menyebabkan hilangnya curah
jantung, tekanan darah tidak terukur, dan cardiac arrest.(3,6,8) Penyebab utama VF adalah
infark miokard akut, blok AV total dengan respon ventrikel sangat lambat, gangguan elektrolit
(hipokalemia dah hiperkalemia), asidosis berat, dan hipoksia. (8) Fibrilasi ventrikel terjadi
sekitar 2-8% pada fase akut infark miokard. Fibrilasi ventrikel kasar (coarse ventricular
fibrillation) menunjukkan aritmia yang baru terjadi dan lebih besar peluangnya untuk
determinasi dengan defibrilasi, sedangkan fibrilasi ventrikel halus (fine ventricular fibrillation)
sulit dideterminasi dan memerlukan obat-obatan (adrenalin) sebelum dilakukan kardioversi, juga
sulit dibedakan dengan asistol.1,2

Penanganan VF harus cepat dengan protokol resusitasi kardiopulmonal yang baku dan
defibrilasi. Selama tidak ada irama jantung yang efektif (pulsasi pembuluh nadi besar tidak
teraba) harus terus dilakukan resusitasi jantung paru, sambil mengulangi kardioversi dengan
pemberian unsynchronized DC shock mulai 200 Joules sampai 360 Joules, dan obat-obatan
seperti adrenalin, amiodaron, dan magnesium sulfat.1
Anamnesis

Alloanamnesis

Riwayat Penyakit Sekarang:

 Tak sadarkan diri sejak 30 menit yang lalu.


 Nyeri dada dan sesak nafas sejak 12 jam sebelum masuk RS.
 Minum obat yang ditaruh dibawah lidah namun tidak ada perbaikan.

Riwayat Penyakit Dahulu:

 Serangan jantung 2 tahun yang lalu.


 Riwayat hipertensi sejak 15 tahun yang lalu.

Pemeriksaan Fisik

 Kesadaran: Koma.
 Tekanan darah: Tidak terukur.
 Nadi: Tidak teraba.

Pemeriksaan Penunjang

1. Elektrokardiografi (EKG) untuk membantu mengidentifikasi kondisi iskemik atau


proaritmia.
Fibrilasi ventrikel merupakan keadaan terminal dari aritmia ventrikel yang ditandai oleh
kompleks QRS, gelombang P, dan segmen ST yang tidak beraturan dan sulit dikenali.VF
merupakan penyebab utama kematian mendadak.
Gambar 1. Hasil EKG Fibrilasi Ventrikel3

2. Kadar elektrolit serum, termasuk kalsium dan magnesium.


3. Enzim jantung untuk mengidentifikasi cedera miokard.
4. Hitung darah lengkap (CBC) untuk mendeteksi kontribusi anemia.
5. Gas darah arteri (GDA) untuk menilai derajat asidosis atau hipoksemia.
6. Screening toksikologi dan tingkat sebagai indikasi klinis.
7. Radiografi dada dapat mengidentifikasi aspirasi pneumonia, edema paru, kardiomegali,
dan cedera (misalnya, sekunder resusitasi cardiopulmonary [CPR]).

Penilaian Early Warning Score


American Heart Association atau AHA merekomendasikan chains of prevention untuk
menurunkan kejadian henti jantung di rumah sakit dan menurunkan mortalitas yang diakibatkan
oleh kejadian henti jantung. Rangkaian pencegahan tersebut termasuk ketersediaan alat
defibrilator dan obat-obatan resusitasi di dalam ruang rawat, pembentukan tim emergensi
response , pelatihan resusitasi untuk tenaga medis dan paramedis di rumah sakit, serta
dokumentasi yang intensif di rekam medis mengenai tanda vital pasien dan tindakan resusitasi
yang tepat untuk dilakukan. Sasaran keselamatan pasien yang ditetapkan oleh Joint Commission
International bagi rumah sakit dinyatakan bahwa rumah sakit harus meningkatkan kewaspadaan
dan respons terhadap perubahan kondisi pasien. Instrumen yang dikembangkan untuk dapat
menentukan pasien yang perlu dipantau secara lebih intensif serta menentukan tindakan
resusitasi yang perlu dilakukan adalah early warning score (EWS).4
Gambar 1. Tabel Early Warning Score

Pada hasil penghitungan score 1-4 adalah hasilnya yang rendah, perlunya pemeriksaan
ulangan dan pasien harus dilakukan rawat inap. Hasil score dengan jumlah 5-6 atau red score,
pemeriksaan oleh dokter yang kompeten pada penyakit akut diperlukan dan perlu ditentukan
apakah perlu memanggil tim yang melakukan perawatan emergensi. Hasil score lebih dari 7
diperlukan tim khusus yang menangani kasus emergensi, dan biasanya pasien dirawat pada
kamar inap dengan pengawasan yang tinggi dan alat yang lengkap. Pada news ini tidak
dianjurkan pada anak-anak (<16 tahun) maupun ibu hamil karena respon fisiologi tubuh pasien
anak dan ibu hamil akan termodifikasi sehingga hasil news tidak akan sesuai.4

Penanganan Emergensi Umum

Pendekatan pasien dengan pemeriksaan primer kegawatdaruratan airway, breathing,


circulation, disability and exposure sangat penting dan selalu dilakukan pada semua kasus
emergensi. Pendekatan ini dipakai oleh tenaga medis untuk menilai masalah klinis yang paling
membahayakan jiwa pasien, sehingga bisa diberikan penanganan yang sesuai.5

Tujuan dari dilakukan ABCDE adalah memberikan pertolongan pertama yang


menyelamatkan jiwa, memecahkan masalah klinis yang kompleks menjadi masalah yang lebih
mudah diselesaikan, dan untuk menambah waktu untuk menegakkan diagnosis dan perawatan
terakhir.5

Gambar 2. Penanganan Awal Pasien Emergency Secara Umum


Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan Cardiac Arrest

Iskandar (2008), mengatakan bahwa faktor risiko cardiac arrest adalah: Laki-laki usia 40
tahun atau lebih, memiliki kemungkinan untuk terkena cardiac arrest satu berbanding delapan
orang, sedangkan pada wanita adalah satu berbanding 24 orang. Semakin tua seseorang,
semakin rendah risiko henti jantung mendadak. Orang dengan faktor risiko untuk penyakit
jantung, seperti hipertensi, hiperkholesterolemia dan merokok memiliki peningkatan risiko
terjadinya cardiac arrest (Iskandar,2008). 5

Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan mempunyai risiko


tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi: a) Ada jejas di jantung akibat dari serangan
jantung terdahulu. b) Penebalan otot jantung
(Cardiomyopathy). c) Seseorang yang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung. d)
Kelistrikan jantung yang tidak normal. e) Pembuluh darah yang tidak normal. f) Penyalahgunaan
obat.5

a) Adanya jejas di jantung karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab lain; jantung
yang terjejas atau mengalami pembesaran karena sebab tertentu cenderung untuk
mengalami aritmia ventrikel yang mengancam jiwa. Enam bulan pertama setelah
seseorang mengalami serangan jantung adalah periode risiko tinggi untuk terjadinya
cardiac arrest pada pasien dengan penyakit jantung atherosclerotic.
b) Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) karena berbagai sebab (umumnya karena
tekanan darah tinggi, kelainan katub jantung) membuat seseorang cenderung untuk
terkena cardiac arrest.
c) Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung; karena beberapa kondisi
tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti aritmia) justru merangsang timbulnya
aritmia ventrikel dan berakibat cardiac arrest. Kondisi seperti ini disebut proarrythmic
effect. Pemakaian obat-obatan yang bisa mempengaruhi perubahan kadar potasium dan
magnesium dalam darah (misalnya penggunaan diuretik) juga dapat menyebabkan
aritmia yang mengancam jiwa dan cardiac arrest.
d) Kelistrikan yang tidak normal; beberapa kelistrikan jantung yang tidak normal seperti
Wolff-Parkinson-White-Syndrome dan sindroma gelombang QT yang memanjang bisa
menyebabkan cardiac arrest pada anak dan dewasa muda.
e) Pembuluh darah yang tidak normal, jarang dijumpai (khususnya di arteri koronari dan
aorta) sering menyebabkan kematian mendadak pada dewasa muda. Pelepasan adrenalin
ketika berolah raga atau melakukan aktifitas fisik yang berat, bisa menjadi pemicu
terjadinya cardiac arrest apabila dijumpai kelainan tadi.
f) Penyalahgunaan obat; penyalahgunaan obat adalah faktor utama terjadinya cardiac
arrest pada penderita yang sebenarnya tidak mempunyai kelainan pada organ jantung.

Proses Terjadinya Cardiac Arrest


Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia:5

fibrilasi ventrikel (VF), takhikardi ventrikel (VT), aktifitas listrik tanpa nadi (PEA), dan asistol
(Diklat Ambulans Gawat Darurat 118, 2010).
a) Fibrilasi ventrikel

Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian mendadak, pada


keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya, jantung hanya mampu
bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus segera dilakukan adalah CPR dan DC
shock atau defibrilasi.

b) Takhikardi ventrikel

Mekanisme penyebab terjadinyan takhikardi ventrikel biasanya karena adanya gangguan


otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat adanya gangguan konduksi.
Frekuensi nadi yang cepat akan menyebabkan fase pengisian ventrikel kiri akan
memendek, akibatnya pengisian darah ke ventrikel juga berkurang sehingga curah
jantung akan menurun. VT dengan keadaan hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan
medika mentosa lebih diutamakan. Pada kasus VTdengan gangguan hemodinamik
sampai terjadi henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian terapi defibrilasi dengan
menggunakan DC shock dan CPR adalah pilihan utama.

c) Pulseless Electrical Activity (PEA)

Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak menghasilkan kontraktilitas


atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga tekanan darah tidak dapat
diukur dan nadi tidak teraba. Pada kasus ini CPR adalah tindakan yang harus segera
dilakukan.

d) Asistole

Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung, dan pada
monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus. Pada kondisi ini tindakan yang
harus segera diambil adalah CPR.

Fibrilasi Ventrikel e.c Infark Miokard Akut


Pada skenario ini yang sesuai dengan manifestasi klinis maupun gelombang EKGnya
adalah fibrilasi ventrikel yang disebabkan oleh infark miokard akut yang sesuai dengan hasil
riwayat penyakit yang diderita pasien. Ventricular fibrillation (VF) adalah aritmia jantung yang
mengancam jiwa di mana kontraksi terkoordinasi dari miokardium ventrikel digantikan oleh
frekuensi tinggi, eksitasi yang tidak teratur, yang mengakibatkan kegagalan jantung untuk
memompa darah. VF adalah aritmia yang paling sering diidentifikasi pada pasien henti jantung.
Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab termasuk oleh infark miokard akut.6

Epidemiologi

Fibrilasi ventrikel (VF) merupakan penyebab henti jantung yang paling sering dan
biasanya disebabkan oleh iskemik akut atau infark miokard selama fase akut sekitar 2-8% kasus.
Beberapa studi telah menunjukkan bahwa pasien yang dengan VF selama fase akut infark
miokard memiliki risiko kematian mendadak yang lebih tinggi dalam jangka waktu yang singkat.
Kematian mendadak terjadi 300.000 per tahun di Amerika Serikat, dimana 75-80% disebabkan
oleh VF. Insiden VF pada pria lebih tinggi dibandingkan wanita dengan rasio 3:1, yang terjadi
pada usia 45-75 tahun.6

Etiologi

Fibrilasi ventrikel dapat terjadi pada kondisi, yaitu iskemia dan infark miokard,
manipulasi kateter pada ventrikel, gangguan karena kontak dengan listrik, pemanjangan interval
QT, atau sebagai irama akhir pada pasien dengan kegagalan sirkulasi, atau pada kejadian
takikardi ventrikel yang memburuk. Penyebab yang paling umum dari fibrilasi ventrikel adalah
heart attack, akan tetapi fibrilasi ventrikel dapat terjadi ketika jantung tidak memperoleh oksigen
yang cukup, atau orang tersebut memiliki penyakit jantung yang lain. Fibrilasi ventrikel dapat
disebabkan antara lain gangguan jantung struktural (iskemik atau infark miokard akibat penyakit
jantung koroner, dan kardiomiopati), gangguan jantung nonstruktural (mekanik (commotio
cordis), luka atau sengatan listrik, pre-eksitasi (termasuk Wolf-Parkinson-White syndrome),
heart block, QT syndrome, brugada syndrome), noncardiac respiratory (bronchospasm, aspirasi,
hipertensi pulmonal primer, emboli pulmonal, tension pneumotoraks, metabolik atau toksik),
gangguan elektrolit dan asidosis (obat-obatan, keracunan, sepsis), dan neurologik (kejang,
perdarahan intrakranial atau stroke iskemik, dan tenggelam).6
Patofisiologi

Secara umum terdapat 3 mekanisme terjadinya aritmia, termasuk aritmia ventrikel, yaitu
automaticity, re-entry, dan triggered activity. Automaticity terjadinya karena adanya percepatan
aktivitas fase 4 dari potensial aksi jantung. Aritmia ventrikel karena gangguan automaticity
biasanya tercetus pada keadaan akut dan kritis seperti infark miokard akut, gangguan elektrolit,
gangguan keseimbangan asam basa, dan tonus adrenergik yang tinggi. Oleh karena itu bila
berhadapan dengan aritmia ventrikel karena gangguan automaticity, perlu dikoreksi faktor
penyebab yang mendasarinya. Aritmia ventrikel yang terjadi pada keadaan akut tidaklah
memiliki aspek prognostik jangka panjang yang penting.

Mekanisme aritmia ventrikel yang tersering adalah re-entry dan biasanya disebabkan oleh
kelainan kronis seperti infark miokard lama atau kardiomiopati dilatasi. Jaringan parut yang
terbentuk akibat infark miokard yang berbatasan dengan jaringan sehat menjadi keadaan yang
ideal untuk terbentuk sirkuit re-entry. Bila sirkuit ini telah terbentuk maka aritmia ventrikel re-
entrant dapat timbul setiap saat dan menyebabkan kematian mendadak. Triggered activity
memiliki gambaran campuran dari kedua mekanisme diatas. Mekanismenya adalah adanya
kebocoran ion positif ke dalam sel sehingga terjadi lonjakan potensial pada akhir fase 3 atau
awal fase 4 dari aksi potensial jantung. Bila lonjakan ini cukup bermakna maka akan tercetus
aksi potensial baru. Keadaan ini disebut afterdepolarization.

Fibrilasi ventrikel terjadi akibat impuls pada otot jantung timbul diluar kendali. Impuls
tersebut akan merangsang salah satu bagian otot ventrikel dan juga bagian lain, kemudian yang
lain lagi, dan akhirnya kembali ke tempat semula dan merangsang kembali otot ventrikel yang
sama berulang-ulang kali, dan tidak pernah berhenti, sehingga tidak terjadi kontraksi otot yang
terkoordinasi pada otot ventrikel yang diperlukan untuk siklus pompa jantung. Walaupun
terdapat aliran sinyal-sinyal perangsangan yang sangat banyak diseluruh ventrikel, ruangan di
dalam ventrikel tidak membesar, tidak juga berkontraksi tetapi tetap betahan pada tahap
kontraksi parsial yang tidak dapat ditentukan, juga tidak memompa darah dalam jumlah yang
berarti. Oleh karena itu, pada saat fibrilasi tersebut dimulai, akan terjadi kehilangan kesadaran
dalam waktu 4 sampai 5 menit, akibat tidak ada aliran darah ke otak dan terjadi kematian
jaringan di seluruh tubuh yang berlangsung selama beberapa menit.
Bila impuls jantung yang normal pada jantung yang normal telah berjalan ke seluruh
ventrikel, impuls tersebut tidak mempunyai tempat lain untuk dituju lagi karena semua otot
ventrikel dalam keadaan refrakter dan tidak dapat mengantarkan impuls lebih jauh lagi, oleh
karena itu impuls akan berhenti dan jantung menunggu potensial aksi yang baru untuk
merangsang nodus sinus atrium kembali. Pada keadaan fibrilasi ventrikel, keadaan normal ini
tidak terjadi yang diakibatkan oleh fenomena masuk-kembali atau Re-entry sehingga
menyebabkan gerakan berputar.6

Diagnosis

Fibrilasi ventrikel merupakan keadaan terminal dari aritmia ventrikel yang ditandai oleh
kompleks QRS, gelombang P, dan segmen ST yang tidak beraturan dan sulit dikenali
(disorganized) yang merupakan penyebab utama kematian mendadak.(3,8) Fibrilasi ventrikel
akan menyebabkan tidak adanya curah jantung sehingga pasien dapat pingsan dan mengalami
henti napas dalam hitungan detik. Fibrilasi ventrikel ditandai dengan gelombang fibrilasi yang
sangat cepat dan kacau dan tanpa kompleks QRS, dengan karakteristik diagnostik sebagai
berikut :7

Karakteristik Fibrilasi Ventrikel

Kecepatan 300-500 kali/menit

Keterturan Ireguler total

Gelombang P Tidak ada

Interval PR Tidak ada

Interval P-P, R-R Tidak ada

Rasio Konduksi Tidak ada

Kompleks QRS Kacau, tidak terorganisir

Sumber lokasi Diluar dari impuls serabut Purkinje dan otot


ventrikel

Tabel 2. Karakteristik Diagnostik Fibrilasi Ventrikel


Fibrilasi ventrikel terbagi menjadi 2 jenis yaitu VF kasar (coarse VF) dan VF halus (fine
VF). Coarse VF menunjukkan aritmia ini baru terjadi dan lebih besar peluangnya untuk
diterminasi dengan defibrilasi, sedangkan Fine VF sulit dibedakan dengan asistol dan biasanya
sulit dideterminasi, seperti gambar berikut: (4)8

Gambar 4. Coarse Ventrikel Fibrilasi(4)


Gambar 5. Fine Ventrikel Fibrilasi (5)

Resusitasi Jantung Paru


Tindakan resusitasi jantung paru dilakukan oleh tenaga medis bila sudah ditegakkan
masalah henti jantung. Resusitasi jantung paru tidak dimulai bila pasien memiliki keterangan
DNAR ( do not attemptresuscitation), pasien memiliki tanda kematian yang ireversibel (seperti
rigormortis, dekapitasi, dekomposisi, atau pucat), atau tidak ada manfaat fisiologia yang dapat
diharapkan karena fungsi vital tellah menurun walau telah diberi terapi maksimal (seperti syok
septik atau syok kardiogenik yang progresif0. RJP dihentikan bila sikulasi dan ventilasi spontan
secara efektif telah membaik, perawatan dilanjutkan oleh tenaga medis ditempat rujukan atau
ditingkat perawatan yang lebih tinggi, ada kriteria yang jelas menunjukan sudah terjadi kematian
yang ireversibel, penolong sudah tidak dapat meneruskan tindakan karena lelah atau ada keadaan
lingkungan yang membahayakan atau meneruskan tindakan resusitasi akan menyebabkan orang
lain cedera atau keterangan DNAR diperlihatkan kepada penolong.8

Seseorang yang mendadak kolaps ditangani dalam 5 tahap yaitu,


1. Evalusai awal dan batuan hidup dasar.
2. Defibrillator yang dapat di akses di public.
3. Batuan hidup lanjut.
4. Perawatan pascaresusitasi.
5. Penanganan jangaka panjang.
Respon awal termaksud konfirmasi hilangnya sirkulasi, diikuti bantuan hidup dasar dan
defibrillator.
1. Evalusai awal dan batuan hidup dasar
Konfirmasi bahwa kolaps yang mendadak disebabkan oleh henti jantung meliputi observasi
segera terhadap status kesadaran, gerakan pernafasan, warna kulit da nada atau tidak adanya
denyut pada arteri karotis atau arterri femoralis. Gerakan pernafasan agonal ( nafas berat,
tersengal-sengal, vokalisasi yang aneh dan mioklonus) dapat menetap untuk jangakak pendek
setelah onset henti jantung, penting juga untuk mengobservasi istridor berat dengan denyut
presisten sebagai tanda asanya aspirasi benda asing atau makanan. Jika di curigai maka
lakukan maneuver Helimlich dapat mengeluarkan benda asing yang menyubat. Tindakkan
ketika salama respon awal addalah untuk memberrsihkan jalan nafas. Bisa di lakukan posisi
head tilt chin lift sehingga orofaring dapat di ekplorasi intik membersihkan jalan nafas. Gigi
palsu atau benda asing diambil. Bantuan hidup dasar, lebih dikenal sebagai RJP, ditunjukan
untuk mempertahankan perfusi organ sampai intervensi definitive dapat di berikan. Unsur-
unsurs RJP adalah mempertahankan ventilasi paru dan kompresi dada. Teknik-teknik
ventillasi konvensional pada RJP penolong tunggal mengsyaratkan pengembangan paru dua
kali berturut-turut setelah 30 kali kompresi dada. Saat melakukan RJP salah datu telapak
tangan ditempatkan pada sternum bawah, dengan bagian pangkal tangan satunya diletakan di
punggung tangan bawah. Sternum ditekan, dengan lengan tetap lurus kecepatan 100-120 kali
permenit, setiap melakuakan kompresi dada maka lakukan chest recoil. Gunakan kekuatan
yang cukkup untuk menekan sternum 5-6 cm.
2. Defibrillator external otomatis (Automated External Defibrilator,AED)
AED yang secara mudah digunakan oleh penolong nonkonvensional, seperti pemadam
kebakaran, petugas polisis, pengendara ambulans dan orang- orang awam yang tidak dilatih
atau dilatih minimal. Sejumlah penilaian telah memeperlihatkan penggunaan AED dapat
memperbaiki angka harapan hidup.
3. Batuan hidup jantung lanjut (Advanced Cardiac Life Support, ACLS)
ASCL ditunjukan untuk mencapai ventilasi yang adekuat, mengontrol aritmia jantung,
mengstabilkan tekanan darah dan curah jantung, serta memperbaiki perfusi organ. Aktivitas-
aktivitas yang dilakuakkn untuk mencapai tujuan tersebut meliputi:
a. Defibrilasi/kardioversi dan pemacuan jantung.
b. Intubasi dengan pipa endotrakeal .
c. Pemasanagn akses intravena.
Kecepatan dilakukan dfibrilasi/ kardioversi merupakan unsur penting pada keberhasilan
resusitasi, baik untuk mengembalikan sirkulasi spontan maupun untuj melindungi system
saraf pusat. Defibrilasi segera harus dilakukan sebelum intubasi dan pemasangan akses
interverna, RJP harus dilakukan ssementara defibrillator- charge. Segera setelah diagnosis VF
atau VT ditegakan, berikan shock sekurang-kurangnya 300 J bila menggunakan defibrillator
monofasik atau 120-150 J dengan defibrillator bifasik. Shock tambahan ditingkatkan sampai
maksimal 360 J monofasik (200 J bifasik) jika shock awal tidak berhasi mengatasi VT atau
VF. Namun, saat ini rekomendasikan bahwa lima siklus RJP dilakukan sebelum menguulang
shock. Jika shock pertama gagal mengembalikan irama yang teratur, atau 60-90 detik RJP
sebelum shock pertama jika 5 menir telah berlalu antara onset henti jantung dan tersedianya
shock.
Epinefrin, 1 mg intravena, diberikan setelah defibrilasi gagal, dan usaha defibrilasi diulang.
Dosis epinefrin dapat diulang setelah interval 3-5 menit. Jka pasien tidak sadar penuh saat
reversi atau jika dua tau tiga usaha gagal, intubasi segera, ventilasi dan analisis gas darah
arteri harus dilakukan. Ventilasi dengan oksigen (udara ruang jika oksigen tidak segera
tersedia) dapat cepat mengatasi hipoksemia dan asidosis. Pada pasien dengan asidosis
presisten setelah defibrilasi dan intubasi yang berhasil harus diberikan 1 meq/kg NaHCO 3
pada awalnya dan tambahan 50% dosis diuulang setiap 10-15 menit. Namun obat obat ini
tidak digunakan secara rutin.
Setelah defibrilasi awal tidak berhasil atau pada instabilitas listrik presisten/rekkuren, terapi
antiaritmia harus diberikan. Amiodaron intravena merupakan obat pilihan awal dengan dosis
150 mg dalam 10 menit, di ikuti 1 mg/ menit samapi 6 jam dan 0,5 mg/menit setelahnya.
Untuk henti jantung karena VF pada fase awal sindrom coroner akut, bolus 1 mg/kg lidokain
dapat diberikan secara intravena sebagai alternatif, dan dosis dapat di ulang dlam 2 menit.
Obat tersebut juga dapat di coba pada pasien yang tidak sembuh dengan pemberian
amiodaron. Penggunaan kalsium glukonat intravena tidak lagi dianggap aman atau diperlukan
untuk pemberian rutin. Obat tersebut hanya digunakan pada pasien- pasien dengan VF
resisten yang dicettuskan kondisi hyperkalemia akut, pada kondisi diketahui hipokalsemia,
atau pada pasien-pasien yang telah menerima disi toksik antagonis kanal kalsium.
4. Perawatan pascaresusitasi
Fase penanganan ini ditentukan oleh kondisi klinis henti jantung. VF primer pada MI akut
yang tidak disertai kondisi curah jantung yang rendah biasanya sangat reponsif terhadap
teknik—teknik bantuan hidup dan mudah dikontrol setelah kejadian awal. Pada lingkungan
rumah sakit, respirator biasanya tidak diperlukan atau hanya untukk waktu singkat, dan
hemodinamika menjadi stabil setelah defibrilasi atau kardioversi. Pada VF sekunder pada MI
akut yang hemodinamikanya menjadi predisposisi terjaddinya aritmia yang berpotensi fatal,
usaha resusitasi jarang berhasil dan pada pasien yang resusitasiinya berhasil angka
rekurensinya tinggi. Faase perawatan pasien dalam rumah sakit ditenukan oleh keadaan klinis
yang spesifik, kondisi yang paling sulit adalah adanya ensefalopati anoksik, yang merupakan
prediktor kuat kematian di dalam rumah sakit.
5. Penanganan Jangka Panjang
Pasien yang selama henti jantung tidak mengalami kerusakan ireversibel di system saraf pudat
dan yang mencapai stabilitas hemodinamik harus menjalani pemeriksaan diagnostik untuk
menentukan interrvensi terapeutik yang sesuai untuk penangana jangka panjangnya.
Pendekatan agresif ini dilakukan karena ketahanan hidup setelah henti jantung di luar rumah
sakit diikuti angka mortalitas sebesarr 10-25% selama 2 tahun pertama setelah kejadian dan
terdapat data yang menunjukan bahwa pencapaian harapan hidup yang signifikan dapat
diperoleh dengan pemasangan defbribillator kardioversi yang dapat diimplantasi (implantable
cardioverter defibrillator, ICD). Pada pasien dengan MI akut elevasi ST, atau iskemia
miokardium transien dan reversible, yang teridentifikasi sebagai mekanisme spesifik yang
mencetuskan henti jantung diluar rumah sakit. Penaganan sebagaian ditentukan oleh sifat
risiko aritmia transien yang mengancam nyawa secara sindrom koroner akut dan sebagian
oleh luasnya kerusakan miokardium permanen yang terjadi. Henti jantung selama fase
iskemik akut bukan indikasi ICD, tetapi pasien yang bertahan hidup setelah henti ajantung
yang tidak disebabkan ACS dapat terbantu. Selain itu, pasien yang bertahan hidup setelah MI
dengan fraksi ejeksi kurang dari 30-50% tampaknya mendapatkan keuntungan dari
penggunaan ICD. untuk pasien dengan henti jantung yang disimpulkan karena mekanisme
iskemik transien yang dapat diobati, intervensi kateter, bedah dan terapi obat-obat antiiskemia
biasanya diterima untuk penanganan jangka panjang.8

Prognosis
Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam jangka waktu 8 sampai
10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti jantung . Kondisi tersebut dapat dicegah
dengan pemberian resusitasi jantung paru dan defibrilasi segera (sebelum melebihi batas
maksimal waktu untuk terjadinya kerusakan otak), untuk secepat mungkin mengembalikan
fungsi jantung normal. Resusitasi jantung paru dan defibrilasi yang diberikan antara 5 sampai 7
menit dari korban mengalami henti jantung, akan memberikan kesempatan korban hidup rata-
rata sebesar 30% sampai 45%. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dengan penyediaan
defibrillator yang mudah di akses ditempat-tempat umum seperti pelabuhan udara, dalam arti
meningkatkan kemampuan untuk bisa memberikan pertolongan (defibrilasi) sesegera mungkin ,
akan meningkatkan kesempatan hidup rata-rata bagi korban cardiac arrest sebesar 64%.9
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa fibrilasi ventrikel (VF)
adalah suatu aritmia jantung dimana ventrikel mengalami depolarisasi secara kacau dan cepat,
sehingga ventrikel tidak berkontraksi sebagai satu kesatuan, tetapi bergetar secara inefektif tanpa
menhasilkan curah jantung, yang ditandai dengan kompleks QRS, gelombang P, dan segmen ST
yang tidak beraturan dan sulit dikenali (disorganized). Penanganan VF harus cepat dengan
protokol resusitasi kardiopulmonal yang baku. Selama tidak ada irama jantung yang efektif
(pulsasi pembuluh nadi besar tidak teraba) harus terus dilakukan resusitasi jantung paru, sambil
mengulangi kardioversi dengan pemberian unsynchronized DC shock mulai 200 Joules sampai
360 Joules, dan obat-obatan seperti adrenalin, amiodaron, dan magnesium sulfat.
Daftar Pustaka
1. Morrison LJ, Neumar RW, Zimmerman JL, Link MS, Newby LK, McMullan PWJ, dkk.
Strategies for improving survival aft er in-hospital cardiac arrest in the United States: 2013
consensus recommendations: a consensus statement from the American Heart Association.
Circulation. 2014 Apr;127(14):1538–63.
2. Masica AL, Richter KM, Convery P, Haydar Z. Linking Joint Commission inpatient core
measures and National Patient Safety Goals with evidence. Proc Bayl Univ Med Cent.
2013;22(2):103–11.
3. Goldhill DR, McNarry AF, Mandersloot G, McGinley A. A physiologically-based early
warning score for ward patients: the association between score and outcome. Anaesthesia.
2015 Jun;60(6):547–53.
4. Groarke JD, Gallagher J, Stack J et al. Use of an admission early warning score to predict
patient morbidity and mortality and treatment success. Emerg Med J 2012;25:803–6.
5. 1. Thim T, Krarup NH, Grove EL, Lofgren B. ABCDE – a systematic approach to critically ill
patients. Ugeskr Laeger. 2013;172(47):3264–3266.
6. 6. Nolan JP, Soar J, Zideman DA, et al. European Resuscitation Council Guidelines for
Resuscitation 2010. Section 1. Executive summary. Resuscitation. 2014;81(10):1219–1276.
7. Thim T, Krarup NHV, et al. Initial assessment and treatment with the Airway, Breathing,
Circulation, Disability, Exposure (ABCDE) approach. Int J Gen Med. 2012; 5: 117–121.
8. Khalid U, Juma AAM. Paradigm shift: 'ABC' to 'CAB' for cardiac arrests. Scand J Trauma
Resusc Emerg Med. 2013; 18: 59.
9. Mahode AA, Dany F, et al. Vademecum:Kedokteran Emergensi. EGC.2016;29-39.

Anda mungkin juga menyukai