Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sampah merupakan material sisa kegiatan manusia sehari-hari yang tidak

diinginkan. Saat ini sampah selalu menjadi masalah karena tumpukan sampah

yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan pencemaran yang dapat

berdampak negatif bagi manusia. Komposisi sampah yang ada di Indonesia,

merujuk pada data statistika rata – rata 74% berupa sampah organik (Hapsari,

2013). Hal ini sejalan dengan Agustina (2013), bahwa penduduk Indonesia

menghasilkan produksi sampah organik setiap harinya sebanyak 110.000 ton.

Apabila kita lihat di lingkungan Jatinangor, sampah menjadi salah satu problem

yang masih belum dapat diselesaikan. Volume tumpukan sampah di Kecamatan

Jatinangor pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 157,78 m3/hari dan ±52,20 %

merupakan sampah organik (BAPPEDA Kabupaten Sumedang, 2009; Mahardika,

2011). Semakin meningkatnya jumlah sampah disetiap daerah memerlukan

adanya penanganan agar sampah tersebut tidak mencemari lingkungan.

Berdasarkan data tersebut, sampah organik berpotensi paling besar mencemari

lingkungan. Merujuk data dari Unit Pengelola Teknis Lingkungan dan

Pengelolaan Kampus, kampus UNPAD Jatinangor menghasilkan 2 - 4 ton sampah

setiap harinya.

Serasah merupakan bahan organik yang berasal dari tumbuhan yang

tersusun dari bahan-bahan yang telah mati yang berada di atas permukaan tanah
2

(Dita, 2007). Menurut Hariyadi (2003) jumlah serasah daun yang jatuh sekitar 3-

5% per pohon. Serasah daun memiliki pengaruh yang besar terhadap sifat fisik,

kimia dan biologi tanah yaitu mampu meningkatkan kemampuan menahan air,

sebagai granulator, meningkatkan KTK, sumber unsur hara, dan sebagai sumber

energi bagi mikroorganisme (Hardjowigeno, 2010).

Serasah daun sebenarnya dapat terdekomposisi secara alami melibatkan

peran mikroorganisme lokal namun membutuhkan waktu yang lama (Hanum dan

Kuswytasari, 2014). Proses dekomposisi secara alami dapat berlangsung lama

karena rantai-rantai penyusun sampah tidak dapat langsung terurai menjadi

komponen yang lebih sederhana (Saburian, 2006). Oleh karena itu, untuk

mempercepat proses dekomposisi bahan organik ini dapat dilakukan

pengomposan. Proses pengomposan merupakan salah satu alternatif yang bisa

digunakan untuk mendaur ulang sampah organik menjadi lebih cepat.

Pengomposan dapat dilakukan dengan mencampur berbagai macam bahan

organik. Mencampurkan berbagai macam bahan organik untuk pengomposan

belum tentu menghasilkan kompos yang berkualitas sehingga komposisinya harus

diperhatikan. Kualitas kompos pada umumnya ditentukan oleh kandungan unsur

haranya. Kandungan unsur hara dalam serasah daun sudah terbilang lengkap akan

tetapi persentasenya masih sedikit sehingga perlu ditingkatkan jumlahnya dengan

penambahan bahan lain seperti kotoran ternak, urin ternak dan mikroorganisme

yang menguntungkan (Saburian, 2006).

Kotoran sapi merupakan salah satu bahan yang bisa diolah sebagai pupuk

organik. Menurut Permana (2011) jumlah kotoran sapi rata-rata dapat dihasilkan
3

sebanyak 27 kg berat basah/ekor/hari. Kotoran ternak rata-rata mengandung 0,5%

N, 0,25% P2O5, dan 0,5% K2O (Hapsari, 2013). Kotoran sapi memiliki C/N rasio

yang rendah yaitu 18, sedangkan bahan baku untuk dikomposkan memiliki syarat

C/N rasio 30-40, sehingga dalam pengomposannya perlu ditambahkan bahan

organik lain misalnya dengan penambahan limbah pertanian (Permana, 2011).

Sehingga tepat untuk dikombinasikan antara kotoran sapi yang memiliki C/N

rasio rendah dengan serasah daun yang memiliki C/N rasio tinggi yaitu 30-80.

Dalam proses pengomposan bahan organik, penambahan kotoran sapi diharapkan

dapat menjadi sumber nutrien untuk membangun sel-sel baru mikroorganisme,

sehingga proses dekomposisi dapat berjalan dengan baik (Mirwan, 2011).

Pengaplikasian kompos ke dalam tanah dapat menambah kandungan

bahan organik sehingga bahan organik tersebut dapat mengikat partikel tanah.

Ikatan partikel tanah ini dapat meningkatkan penyerapan akar tanaman terhadap

air, mempermudah penetrasi akar dan memperbaiki pertukaran udara dalam tanah,

sehingga dapat mendukung pertumbuhan tanaman (Sriharti dan Salim, 2010).

Namun permasalahan yang sering timbul saat ini adalah keberhasilan dari

pengomposan tersebut. Salah satu penyebab dari hal tersebut yaitu tingkat

kematangan kompos yang kurang baik. Kompos dikatakan matang jika kompos

tersebut telah terdekomposisi dengan sempurna serta tidak menimbulkan dampak

merugikan bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Husen dan Irawan (2008), dalam

kompos yang belum matang, proses dekomposisi bahan organik masih terus

berlangsung dan akan menciptakan suasana anaerobik di lingkungan perakaran


4

(penggunaan oksigen oleh mikroba) dan kahat N (imobilisasi N oleh mikroba),

sehingga menghambat pertumbuhan tanaman.

Tingkat kematangan kompos dapat dinilai dari kriteria primer dan kriteria

sekunder. Kriteria primer dapat dilihat dari respon tanaman setelah kompos

tersebut diaplikasikan sedangkan kriteria sekunder dapat dilihat dari C/N rasio,

suhu, kadar air, warna dan struktur bahan (Schuchard et al., 1998 dalam

Yunindanova dkk., 2013). Berdasarkan kriteria tersebut maka dalam menentukan

waktu kematangan kompos yang sesuai dapat dilihat dari kandungan C-organik,

N-total, C/N rasio serta kadar airnya. Upaya untuk mempercepat proses

pengomposan dapat dilakukan dengan mencampurkan beberapa bahan seperti

yang telah diuraikan sebelumnya misalnya dengan pencampuran kotoran ternak

dan sampah pertanian. Jika bahan tersebut dicampurkan untuk mencapai C/N

rasio dan kadar air yang sesuai maka harus digunakan komposisi yang paling baik

sehingga akan mempercepat pengomposan.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka perlu adanya pengawasan

kualitas kompos sesuai baku mutu dan pengaplikasian kompos pada tingkat

kematangan yang tepat. Penelitian mengenai kualitas kompos sudah banyak

dilakukan namun biasanya jarang dikaitkan dengan interval tingkat kematangan

serta komposisi bahan. Pengujian kualitas kompos yang diuji dalam beberapa

interval waktu selama pengomposan, memungkinkan terbentuknya pola kualitas

kompos yang dihasilkan untuk melihat tingkat kematangan kompos yang ideal

sesuai dengan standar baku mutu kompos (SNI 19-7030-2004). Selain itu, perlu

dipertimbangkan pula bagaimana komposisi bahan yang sesuai sehingga perlu


5

diujikan beberapa komposisi bahan kompos untuk mengetahui kualitas yang

paling baik. Bahan yang diujikan berasal dari sampah organik seperti serasah daun

dan kotoran sapi, sehingga hasil penelitiannya mudah diaplikasikan oleh

masyarakat dan dapat memberikan nilai lebih bagi masyarakat sekitar. Ditinjau

dari pemaparan tersebut, maka penelitian ini penting untuk dilakukan agar dapat

terlihat interaksi antara tingkat kematangan dan komposisi bahan kompos

terhadap kandungan C-organik, N-total, C/N rasio dan kadar air khususnya pada

pengomposan serasah daun dan kotoran sapi.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diidentifikasikan

permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah terdapat interaksi antara tingkat kematangan dan komposisi bahan

kompos yang mempengaruhi kandungan C-organik, N-total, C/N rasio serta

kadar air kompos?

2. Pada tingkat kematangan dan komposisi bahan kompos manakah yang dapat

memberikan hasil terbaik (memenuhi standar baku mutu kompos SNI 19-

7030-2004) terhadap kandungan C-organik, N-total, C/N rasio serta kadar air

kompos?
6

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui adanya interaksi tingkat kematangan dan komposisi bahan

kompos yang dapat mempengaruhi kandungan C-organik, N-total, C/N rasio

serta kadar air kompos.

2. Mengetahui tingkat kematangan dan komposisi bahan kompos yang dapat

memberikan hasil terbaik (memenuhi standar baku mutu kompos SNI 19-

7030-2004) terhadap kandungan C-organik, N-total, C/N rasio serta kadar air

kompos.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik dari segi ilmiah

maupun dari segi aplikasi. Segi ilmiah diharapkan dapat menambah wawasan

masyarakat dibidang ilmu tanah terutama mengenai kesuburan tanah. Sedangkan

dari segi aplikasi diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada para peneliti

ataupun petani mengenai interaksi tingkat kematangan dan komposisi bahan

kompos yang sesuai dalam pengomposan serasah daun dan kotoran sapi sehingga

menghasilkan kualitas kompos yang baik, mudah diaplikasikan oleh petani serta

sesuai untuk diaplikasikan ke pertanaman.

1.5 Kerangka Pemikiran

Kompos merupakan salah satu pupuk organik hasil proses perombakan

bahan organik dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana dengan


7

bantuan mikroorganisme, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat-

sifat tanah. Pengomposan merupakan salah satu alternatif untuk mengelola

sampah organik yang mudah dipraktekkan dan ekonomis sehingga ditinjau

memiliki banyak manfaat bagi kesuburan tanah. Hasil pengomposan berbahan

baku sampah dinyatakan aman untuk digunakan bila sampah organik telah

dikomposkan dengan sempurna (Nurullita dan Budiono, 2012). Namun proses

pengomposan yang berlangsung secara alami membutuhkan waktu lama yaitu

enam bulan hingga setahun (Sulistyawati dkk., 2007). Sehingga saat ini banyak

dikembangkan produk agen dekomposer untuk meningkatkan kecepatan

dekomposisi, meningkatkan penguraian materi organik, dan dapat meningkatkan

kualitas produk akhir telah diproduksi secara komersial (Nuryani dan Sutanto,

2002).

Menurut Sriharti dan Salim (2010) prinsip pembuatan kompos yaitu

mencampurkan bahan organik dengan mikroorganisme sebagai aktivator.

Produksi kompos sampah organik dalam skala besar guna meningkatkan

kualitasnya dapat diefisienkan dengan agen dekomposer yang efektif dalam

mendekomposisi sampah organik. Sehingga diharapkan dapat menghasilkan

kompos yang berkualitas baik dalam waktu cepat dan volume sampah organik

dapat dikurangi secara signifikan (Sulistyawati dkk., 2007). Aktivator terdiri dari

dua jenis yaitu aktivator organik dan aktivator kimia. Aktivator organik terdiri

dari aktivator organik alami seperti pupuk kandang, fungi, dan tanah kaya humus,

kemudian aktivator buatan contohnya OST (Organic Soil Treatment), EM4 dan
8

orgadec sedangkan aktivator kimia seperti asam asetat, amonium sulfat, urea, dan

amoniak (Selvya, 2013).

Salah satu aktivator yang sering digunakan secara komersial salah satunya

yaitu EM4 yang merupakan suatu campuran senyawa yang berfungsi sebagai

biostimulan yang dapat merangsang kerja bakteri untuk menguraikan. Effective

microorganisme (EM4) adalah salah satu aktivator yang dapat membantu

mempercepat proses pengomposan dan bermanfaat untuk meningkatkan unsur

hara kompos (Budihardjo, 2005). Mikroorganisme alami yang terdapat dalam

EM4 bersifat fermentasi (peragian) terdiri dari lima kelompok mikroorganisme

yaitu bakteri asam laktat (Lactobacillus sp.), bakteri fotosintetik

(Rhodopseudomonas sp.), jamur fermentasi, Saccharonzyces sp., dan

Actinomycetes sp. (Selvya, 2013). EM4 dapat digunakan untuk memproses bahan

sampah menjadi kompos dengan proses yang lebih cepat dibandingkan dengan

pengolahan sampah secara tradisional (Kharisma, 2006). Mikroorganisme yang

terdapat pada EM4 dapat bekerja efektif dalam menambah unsur hara apabila

kandungan bahan organiknya cukup (Selvya, 2013).

Kualitas hasil pengomposan sangat menentukan keberhasilan pengomposan

berdasarkan baku mutu kompos. Menurut Setyorini dkk. (2006), prinsip

pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama

dengan C/N rasio tanah (<20), semakin tinggi rasio C/N bahan organik maka

proses pengomposan atau perombakan bahan semakin lama. Tingkat kematangan

dan kestabilan kompos sangat menentukan mutu kompos yang dapat ditunjukkan
9

oleh berbagai perubahan sifat fisik, kimia, dan biologi substrat kompos (Yuniwati

dkk., 2012).

Setelah mengalami proses pengomposan maka bahan yang dikomposkan

akan mengalami penurunan kandungan C-Organik. Hal ini terjadi akibat adanya

penggunaan karbon sebagai sumber energi agen dekomposer untuk aktivitas

metabolismenya, karbon akan hilang dalam bentuk karbon dioksida sekitar 30-

50% selama proses pengomposan (Graves et al., 2010). Persentase N-total akan

mengalami peningkatan, kelebihan N ini biasanya akan dibuang dalam bentuk gas

(NH3). Pada bahan kompos akan terjadi perubahan bentuk nitrogen melalui

mineralisasi dari N-organik menjadi N-anorganik. Ammonia yang terbentuk

dalam proses mineralisasi dioksidasi menjadi ammonium kemudian nitrat dan

sebagian hilang melalui penguangan dan pencucian. Hal ini menyebabkan

peningkatan N-total (Suyono dkk., 2008).

Akibat perubahan kandungan C-organik dan N-total maka akan berdampak

bagi perubahan C/N rasio kompos. C/N rasio merupakan salah satu indikasi

kematangan kompos. C/N rasio memiliki pengaruh yang besar dalam proses

pengomposan dan digunakan sebagai dasar indikator kandungan hara (Graves et

al., 2010). C/N rasio mengalami penurunan saat periode pengomposan karena

sebagian besar karbon terus menerus digunakan dan sebagian besar nitrogen

didaur ulang (Graves et al., 2010). Komposisi bahan yang berbeda akan

menyebabkan kandungan C/N rasio yang berbeda sehingga kematangannya tidak

akan sama akibat kecepatan dekomposisi yang berbeda. Jika pada saat

pengomposan C/N rasio di antara 30 - 40 maka mikroba akan mendapatkan cukup


10

C untuk energi dan N untuk sintesis protein (Isroi, 2008). Kematangan kompos

ditunjukkan saat C/N rasionya sama dengan tanah yaitu 10 - 20. C/N rasio yang

rendah menunjukkan kandungan N yang lebih tinggi (Suswardany dkk., 2006).

Semakin rendah C/N rasio, maka akan semakin mudah disediakan N bagi tanaman

yang dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman (Yunindanova dkk.,

2013).

Selain C/N rasio, faktor lain yang mempengaruhi kematangan kompos

adalah kadar air. Tchobanoglous and Keith (2002), menyatakan bahwa kadar air

berperan penting dalam metabolisme mikroorganisme dan berkaitan dengan

ketersediaan oksigen. Apabila kadar air bahan berada pada kisaran 40% - 60%,

maka mikroorganisme pengurai akan bekerja optimal karena jika kurang dari 40%

aktivitas bakteri akan melambat dan jika lebih dari 60% nutrisi akan habis dan

volume udara berkurang. Tinggi rendahnya kadar air dipengaruhi oleh jenis bahan

baku yang digunakan untuk pengomposan (Mirwan, 2011). Kotoran sapi

mengandung 50% kadar air sehingga menyediakan kondisi lingkungan yang

optimal untuk mikroorganisme melakukan proses dekomposisi. Adanya

penambahan kotoran sapi dalam proses pengomposan menunjukkan nilai kadar air

yang lebih tinggi, hal ini terjadi karena aktivitas mikroorganisme yang terjadi

lebih besar (Adijaya dkk., 2013).

Penentuan perbandingan komposisi bahan kompos antara serasah daun dan

kotoran sapi ditentukan berdasarkan kandungan C/N rasio agar mencapai kriteria

pengomposan optimum yaitu 30 - 40. Menurut Firmasyah (2010), pengomposan

dapat dilakukan dengan mencampurkan limbah bahan organik yang mengandung


11

C/N rasio tinggi dengan bahan yang memiliki C/N rasio rendah dengan

perbandingan 4:1. Serasah daun memiliki C/N rasio 30-80 sedangkan kotoran sapi

mempunyai C/N rasio sebesar 16 - 25 (Windyasmara dkk., 2012). Hal ini sejalan

dengan pernyataan Permana (2011) bahwa feses sapi memiliki C/N rasio yang

rendah sehingga dalam pengomposannya perlu ditambahkan bahan organik lain

misalnya dengan penambahan sampah pertanian. Selain C/N rasio

dipertimbangkan juga kadar hara yang terkandung di dalam bahan. Menurut

Saburian (2006) kandungan unsur hara dalam serasah daun sudah terbilang

lengkap namun jumlahnya masih sedikit sehingga perlu ditingkatkan jumlahnya

dengan penambahan bahan lain seperti kotoran ternak. Berdasarkan pertimbangan

tersebut, maka dalam pembuatan kompos dari serasah daun dan kotoran sapi perlu

diketahui komposisi yang paling baik.

Menurut penelitian Budihardjo (2006), mengenai pengomposan sampah

kota dengan penambahan EM4, perlakuan yang menunjukkan kualitas kompos

paling baik yaitu dengan perbandingan 7:6. Sedangkan dalam penelitian Mirwan

(2011) diujikan beberapa pengaruh penambahan kotoran sapi sebagai bioaktivator

pada proses pengomposan sampah kebun. Berat bahan yang dikomposkan yaitu

24 kg dengan komposisi bahan yang diujikan berturut-turut adalah 10:1, 4:1 dan

3:1. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa komposisi yang paling baik

yaitu dengan perbandingan 4:1. Komposisi tersebut dapat menurunkan kandungan

C-organik, meningkatkan N-total serta menurunkan C/N rasio lebih cepat

sehingga kompos dapat matang selama 28 hari.


12

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan seperti diuraikan

sebelumnya, maka hal tersebut mengindikasikan bahwa dengan adanya variasi

komposisi bahan kompos maka akan menyebabkan waktu kematangan yang

berbeda. Hal tersebut merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk

mempercepat proses pengomposan. Oleh sebab itu, memungkinkan adanya

interaksi antara tingkat kematangan dan komposisi bahan kompos sehingga

menyebabkan hasil yang berbeda terhadap kandungan C-organik, N-total, C/N

rasio serta kadar air kompos. Interaksi yang terjadi diharapkan sebagai upaya agar

diketahui kualitas kompos yang sesuai baku mutu (SNI 19-7030-2004) yang tepat

untuk diaplikasikan ke pertanaman.

1.6 Hipotesis

Berdasarkan uraian pada kerangka pemikiran maka dapat dirumuskan

hipotesis sebagai berikut :

1. Terdapat interaksi antara tingkat kematangan dan komposisi bahan

kompos yang mempengaruhi kandungan C-organik, N-total, C/N rasio

serta kadar air kompos.

2. Terdapat tingkat kematangan dan komposisi bahan kompos yang dapat

memberikan hasil terbaik (memenuhi standar baku mutu kompos SNI 19-

7030-2004) terhadap kandungan C-organik, N-total, C/N rasio serta kadar

air kompos.
1

Anda mungkin juga menyukai