PENDAHULUAN
diinginkan. Saat ini sampah selalu menjadi masalah karena tumpukan sampah
yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan pencemaran yang dapat
merujuk pada data statistika rata – rata 74% berupa sampah organik (Hapsari,
2013). Hal ini sejalan dengan Agustina (2013), bahwa penduduk Indonesia
Apabila kita lihat di lingkungan Jatinangor, sampah menjadi salah satu problem
Jatinangor pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 157,78 m3/hari dan ±52,20 %
setiap harinya.
tersusun dari bahan-bahan yang telah mati yang berada di atas permukaan tanah
2
(Dita, 2007). Menurut Hariyadi (2003) jumlah serasah daun yang jatuh sekitar 3-
5% per pohon. Serasah daun memiliki pengaruh yang besar terhadap sifat fisik,
kimia dan biologi tanah yaitu mampu meningkatkan kemampuan menahan air,
sebagai granulator, meningkatkan KTK, sumber unsur hara, dan sebagai sumber
peran mikroorganisme lokal namun membutuhkan waktu yang lama (Hanum dan
komponen yang lebih sederhana (Saburian, 2006). Oleh karena itu, untuk
haranya. Kandungan unsur hara dalam serasah daun sudah terbilang lengkap akan
penambahan bahan lain seperti kotoran ternak, urin ternak dan mikroorganisme
Kotoran sapi merupakan salah satu bahan yang bisa diolah sebagai pupuk
organik. Menurut Permana (2011) jumlah kotoran sapi rata-rata dapat dihasilkan
3
N, 0,25% P2O5, dan 0,5% K2O (Hapsari, 2013). Kotoran sapi memiliki C/N rasio
yang rendah yaitu 18, sedangkan bahan baku untuk dikomposkan memiliki syarat
Sehingga tepat untuk dikombinasikan antara kotoran sapi yang memiliki C/N
rasio rendah dengan serasah daun yang memiliki C/N rasio tinggi yaitu 30-80.
bahan organik sehingga bahan organik tersebut dapat mengikat partikel tanah.
Ikatan partikel tanah ini dapat meningkatkan penyerapan akar tanaman terhadap
air, mempermudah penetrasi akar dan memperbaiki pertukaran udara dalam tanah,
Namun permasalahan yang sering timbul saat ini adalah keberhasilan dari
pengomposan tersebut. Salah satu penyebab dari hal tersebut yaitu tingkat
kematangan kompos yang kurang baik. Kompos dikatakan matang jika kompos
merugikan bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Husen dan Irawan (2008), dalam
kompos yang belum matang, proses dekomposisi bahan organik masih terus
Tingkat kematangan kompos dapat dinilai dari kriteria primer dan kriteria
sekunder. Kriteria primer dapat dilihat dari respon tanaman setelah kompos
tersebut diaplikasikan sedangkan kriteria sekunder dapat dilihat dari C/N rasio,
suhu, kadar air, warna dan struktur bahan (Schuchard et al., 1998 dalam
waktu kematangan kompos yang sesuai dapat dilihat dari kandungan C-organik,
N-total, C/N rasio serta kadar airnya. Upaya untuk mempercepat proses
dan sampah pertanian. Jika bahan tersebut dicampurkan untuk mencapai C/N
rasio dan kadar air yang sesuai maka harus digunakan komposisi yang paling baik
kualitas kompos sesuai baku mutu dan pengaplikasian kompos pada tingkat
serta komposisi bahan. Pengujian kualitas kompos yang diuji dalam beberapa
kompos yang dihasilkan untuk melihat tingkat kematangan kompos yang ideal
sesuai dengan standar baku mutu kompos (SNI 19-7030-2004). Selain itu, perlu
paling baik. Bahan yang diujikan berasal dari sampah organik seperti serasah daun
masyarakat dan dapat memberikan nilai lebih bagi masyarakat sekitar. Ditinjau
dari pemaparan tersebut, maka penelitian ini penting untuk dilakukan agar dapat
terhadap kandungan C-organik, N-total, C/N rasio dan kadar air khususnya pada
2. Pada tingkat kematangan dan komposisi bahan kompos manakah yang dapat
memberikan hasil terbaik (memenuhi standar baku mutu kompos SNI 19-
7030-2004) terhadap kandungan C-organik, N-total, C/N rasio serta kadar air
kompos?
6
memberikan hasil terbaik (memenuhi standar baku mutu kompos SNI 19-
7030-2004) terhadap kandungan C-organik, N-total, C/N rasio serta kadar air
kompos.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik dari segi ilmiah
maupun dari segi aplikasi. Segi ilmiah diharapkan dapat menambah wawasan
dari segi aplikasi diharapkan dapat memberikan rekomendasi kepada para peneliti
kompos yang sesuai dalam pengomposan serasah daun dan kotoran sapi sehingga
menghasilkan kualitas kompos yang baik, mudah diaplikasikan oleh petani serta
baku sampah dinyatakan aman untuk digunakan bila sampah organik telah
enam bulan hingga setahun (Sulistyawati dkk., 2007). Sehingga saat ini banyak
kualitas produk akhir telah diproduksi secara komersial (Nuryani dan Sutanto,
2002).
kompos yang berkualitas baik dalam waktu cepat dan volume sampah organik
dapat dikurangi secara signifikan (Sulistyawati dkk., 2007). Aktivator terdiri dari
dua jenis yaitu aktivator organik dan aktivator kimia. Aktivator organik terdiri
dari aktivator organik alami seperti pupuk kandang, fungi, dan tanah kaya humus,
kemudian aktivator buatan contohnya OST (Organic Soil Treatment), EM4 dan
8
orgadec sedangkan aktivator kimia seperti asam asetat, amonium sulfat, urea, dan
Salah satu aktivator yang sering digunakan secara komersial salah satunya
yaitu EM4 yang merupakan suatu campuran senyawa yang berfungsi sebagai
Actinomycetes sp. (Selvya, 2013). EM4 dapat digunakan untuk memproses bahan
sampah menjadi kompos dengan proses yang lebih cepat dibandingkan dengan
terdapat pada EM4 dapat bekerja efektif dalam menambah unsur hara apabila
pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama
dengan C/N rasio tanah (<20), semakin tinggi rasio C/N bahan organik maka
dan kestabilan kompos sangat menentukan mutu kompos yang dapat ditunjukkan
9
oleh berbagai perubahan sifat fisik, kimia, dan biologi substrat kompos (Yuniwati
dkk., 2012).
akan mengalami penurunan kandungan C-Organik. Hal ini terjadi akibat adanya
metabolismenya, karbon akan hilang dalam bentuk karbon dioksida sekitar 30-
50% selama proses pengomposan (Graves et al., 2010). Persentase N-total akan
mengalami peningkatan, kelebihan N ini biasanya akan dibuang dalam bentuk gas
(NH3). Pada bahan kompos akan terjadi perubahan bentuk nitrogen melalui
bagi perubahan C/N rasio kompos. C/N rasio merupakan salah satu indikasi
kematangan kompos. C/N rasio memiliki pengaruh yang besar dalam proses
al., 2010). C/N rasio mengalami penurunan saat periode pengomposan karena
sebagian besar karbon terus menerus digunakan dan sebagian besar nitrogen
didaur ulang (Graves et al., 2010). Komposisi bahan yang berbeda akan
akan sama akibat kecepatan dekomposisi yang berbeda. Jika pada saat
C untuk energi dan N untuk sintesis protein (Isroi, 2008). Kematangan kompos
ditunjukkan saat C/N rasionya sama dengan tanah yaitu 10 - 20. C/N rasio yang
Semakin rendah C/N rasio, maka akan semakin mudah disediakan N bagi tanaman
2013).
adalah kadar air. Tchobanoglous and Keith (2002), menyatakan bahwa kadar air
ketersediaan oksigen. Apabila kadar air bahan berada pada kisaran 40% - 60%,
maka mikroorganisme pengurai akan bekerja optimal karena jika kurang dari 40%
aktivitas bakteri akan melambat dan jika lebih dari 60% nutrisi akan habis dan
volume udara berkurang. Tinggi rendahnya kadar air dipengaruhi oleh jenis bahan
penambahan kotoran sapi dalam proses pengomposan menunjukkan nilai kadar air
yang lebih tinggi, hal ini terjadi karena aktivitas mikroorganisme yang terjadi
kotoran sapi ditentukan berdasarkan kandungan C/N rasio agar mencapai kriteria
C/N rasio tinggi dengan bahan yang memiliki C/N rasio rendah dengan
perbandingan 4:1. Serasah daun memiliki C/N rasio 30-80 sedangkan kotoran sapi
mempunyai C/N rasio sebesar 16 - 25 (Windyasmara dkk., 2012). Hal ini sejalan
dengan pernyataan Permana (2011) bahwa feses sapi memiliki C/N rasio yang
Saburian (2006) kandungan unsur hara dalam serasah daun sudah terbilang
tersebut, maka dalam pembuatan kompos dari serasah daun dan kotoran sapi perlu
paling baik yaitu dengan perbandingan 7:6. Sedangkan dalam penelitian Mirwan
pada proses pengomposan sampah kebun. Berat bahan yang dikomposkan yaitu
24 kg dengan komposisi bahan yang diujikan berturut-turut adalah 10:1, 4:1 dan
3:1. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa komposisi yang paling baik
berbeda. Hal tersebut merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk
rasio serta kadar air kompos. Interaksi yang terjadi diharapkan sebagai upaya agar
diketahui kualitas kompos yang sesuai baku mutu (SNI 19-7030-2004) yang tepat
1.6 Hipotesis
memberikan hasil terbaik (memenuhi standar baku mutu kompos SNI 19-
air kompos.
1