Saat ini masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat Indonesia khususnya
telah berada pada masa krisis, dimana mereka telah dihadapkan dengan suatu tatanan
masyarakat barn dengan formasi kapitalis yang sering disebut dengan "globalisasi".
Dalam sambutan nya, Holger Borner (Direktur Freidrik Ebert Stiftung, Jerman), pada
konferensi internasional tentang antisipasi kaum sosial demokrat terhadap masalah
globalisasi pada tahun 1998, dijelaskan bahwa fenomena globalisasi telah memperlebar
jurang ketidakadilan masyarakat. Tindakan-tindakan politik harus difokuskan bagi
penguatan dasar-dasar kohesi sosial. Bentuk-bentuk kerja sama dan solidaritas telah
dicerai-beraikan; dan sekarang mengharuskan adanya upaya penegakan kembali
bentuk-bentuk tersebut dengan lebih diperkuat. Dan kita harus memikirkan kembali
hubungan pasar clan negara dalam level nasional dan internasional. Ketidakadilan
pembangunan di berbagai bagian dunia mengharuskan adanya peng hubung masalah-
masalah politik dan ekonomi dengan kata lain masalah masalah sosial global akan
mengancam kita.(Anas Ma'ruf dan Anas, SA, 200:4). Melihat kondisi seperti itu
globalisasi selama ini telah disambut hangat oleh masyarakat dunia dan khususnya
masyarakat Indonesia. Asumsi yang dibangun adalah: dengan adanya percaturan
global akan memudahkan perkembangan perekonomian dan sebagai cara strategis
untuk mensejahterakan rakyat. Dengan teknologi inforasi dan transportasi yang canggih
dihadapkan akan mempermudah proses menuju kesejahteraan dan keadilan bersama.
Implikasi mendasar sudah dirasakan bersama, ironisnya hanya sedikit orang yang
benar-benar mengembangkan analisis bagaimana implikasi globalisasi terhadap kaum
pinggiran. Sebaliknya justru di Indonesia terdapat reaksi yang gegap gempita
menyambut globalisasi, baik dari pemerintah, pengusaha maupun media masa, seakan
globalisasi adalah satu-satunya jalan untuk menjawab berbagai tantangan
pembangunan di masa mendatang (Mansour Faqih, 1997:5). Dengan berbagai agenda
acara penyiapan kualitas SDM untuk mengarungi perubahan ini. Dalam perspektif
pendidikan, era globalisasi memiliki keterkaitan dengan pendidikan, karena globalisasi
merupakan proses, dinamika, atau perkembangan masyarakat yang sebelumnya
memang belum terjadi, yang menciptakan pola-pola baru dalam struktur sosial
masyarakat. Baik dalam aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pendidikan.
Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses pembelajaran
adalah pendidik atau guru. Betapapun kemajuan taknologi telah menyediakan berbagai
ragam alat bantu untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran, namun posisi
guru tidak sepenuhnya dapat tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting
bagi keberhasilan pendidikan. Menurut Suyanto (2008), “guru memiliki peluang yang
amat besar untuk mengubah kondisi seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi
seorang yang pintar dan lancar baca tulis yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi
tokoh kebanggaan komunitas dan bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan: “guru yang
demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki profesionalisme yang
tinggi, sehingga bisa “di ditiru” Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan sekedar
sebagai usaha sambilan, atau pekerjaan sebagai moon-lighter (usaha objekan).
Namun kenyataan dilapangan menunjukkan adanya guru terlebih terlebih guru honorer,
yang tidak berasal dari pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru
tanpa melalui system seleksi profesi. Singkatnya di dunia pendidikan nasional ada
banyak, untuk tidak mengatakan sangat banyak, guru yang tidak profesional. Inilah
salah satu permasalahan internal yang harus menjadi “pekerjaan rumah” bagi
pendidikan nasional masa kini. Hal ini tentunya berhubungan dengan tingkat
kesejahteraan yang didapatkan oleh para guru.
Apabila kita sedikit mengamati sebagian besar masyrakat, yang terjadi adalah
tingkat penghargaan Jasa Pendidik Keagamaan akan berbeda yang didapat dengan
guru-guru di bidang lainnya sebut saja guru bahasa asing, matematika, dan lain
sebagainya, inilah menjadi salah satu hambatan yang terjadi.
Kebudayaan yaitu suatu hasil budi daya manusia baik bersifat material maupun
mental spiritual dari bangsa itu sendiri ataupun dari bangsa lain. Suatu perkembangan
kebudayaan dalam abad moderen saat ini adalah tidak dapat terhindar dari pengaruh
kebudayan bangsa lain. Kondisi demikian menyebabkan timbulnya proses alkulturasi
yaitu pertukaran dan saling berbaurnya antara kebudayaan yang satu dengan yang
lainnya yang tidak jarang melunturkan identitas budaya bangsa kita sendiri. Dari sinilah
terdapat tantangan bagi pendidikan-pendidikan islam yaitu dengan adanya alkulturasi
tersebut maka akan mudah masuk pengaruh negatif bagi kebudayaan, moral dan
akhlak anak. Oleh karena itu hal ini merupakan tantangan bagi pendidikan islam untuk
memfilter budaya-budaya yang negatif yang diakibatkan oleh pengaruh budaya-budaya
asing. (Arifin, 1994:42), sebagai contoh gambaran saat ini lunturnya budaya Gotong
Royong sesama masyarakat, banyak terjadinya budaya curang yang terjadi contohnya
saja manipulasi dana BOS di lingkungan sekolah, menyontek, maraknya budaya
Bullying, kurang rasa hormat terhadap guru dan masih banyak perubahan negatif
lainnya.
Proses Alkulturasi salah satu imbas dari Globalisasi ini juga mempengaruhi
pergeseran orientasi sudut pandang terhadap pendidikan Islam yang berubah menjadi
pendidikan pelengkap disamping, pendidikan yang berfokus kepada soft skill,
masyarakat ekonomi global lebih memilih jalur pendidikan yang dapat menunjang sisi
kehidupan ekonomi mereka dan status kehidupan mereka kelak, asumsinya dalah jika
pendidikan dan keahlian kerjamu baik maka, kau akan mudah mendapatkan ruang
kerja dengan penghasilan dan posisi kerja yang baik.
Salah satu contoh saat adalah mekanisme Pembelajaran Jarak Jauh atau
Pembelajaran Daring menggunakan Zoom atau Google Meet, terlepas dari
permasalahan pendemi, dari sudut pandang proses pembelajaran dinilai kurang efektif,
ada beberapa kendala yang terjadi dalam pembelajaran jarak jauh, seperti kendala
pada device yang digunakan untuk PJJ, kendala pada koneksi internet, kendala pada
metode pembelajaran yang membuat “jenuh”, kurang hubungan psikologis antara guru
dan siswa.
Teknologi dan Informatika dunia pendidikan memang memiliki dua dampak yaitu
dampak positif dan juga dampak negative diantaranya :
(a) tantangan era globalisasi terhadap pendidikan agama Islam di antaranya, krisis
moral. Melalui tayangan acara-acara di media elektronik dan media massa lainnya,
yang menyuguhkan pergaulan bebas, sex bebas, konsumsi alkohol dan narkotika,
perselingkuhan, pornografi, kekerasan, liar dan lain-lain. Hal ini akan berimbas pada
perbuatan negatif generasi muda seperti tawuran, pemerkosaan, hamil di luar nikah,
penjambretan, pencopetan, penodongan, pembunuhan oleh pelajar, malas belajar dan
tidak punya integritas dan krisis akhlaq lainnya,
(b) dampak negatif dari era globalisasi adalah krisis kepribadian. Dengan kemajuan
teknologi dan ilmu pengetahuan di suatu negara yang menyuguhkan kemudahan,
kenikmatan dan kemewahan akan menggoda kepribadian seseorang. Nilai kejujuran,
kesederhanaan, kesopanan, kepedulian sosial akan terkikis . Untuk ini sangat mutlak
diperlukan bekal pendidikan agama, agar kelak dewasa akan tidak menjadi manusia
yang berkepribadian rendah, melakuan korupsi, kolusi dan nepotisme , melakukan
kejahatan intelektual, merusak alam untuk kepentingan pribadi, menyerang kelompok
yang tidak sepaham, percaya perdukunan, menjadi budak setan dan lain-lain. Faktor
pendorong adanya tantangan di atas dikarenakan longgarnya pegangan terhadap
agama dengan mengedepankan ilmu pengetahuan, kurang efektifnya pembinaan moral
yang dilakukan oleh kepala rumah tangga yaitu dengan keteladanan dan pembiasaan,
derasnya arus informasi budaya negatif global diantaranya, hedonisme, sekulerisme,
purnografi dan lain-lain, Selain adanya hambatan akibat dampak negatif era global juga
terdapat tantangan pendidikan agama Islam untuk membekali generasi muda
mempunyai kesiapan dalam persaingan.