Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

KANKER PROSTAT

Oleh :
Sri Ayu Wahyuni
18710163

Pembimbing:
dr.Budi Suwarno, Sp. U

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA


SMF/LAB. ILMU BEDAH
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2019

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................3
DAFTAR TABEL..................................................................................................4
BAB 1. PENDAHULUAN.....................................................................................5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................7
2.1 Definisi......................................................................................................7
2.2 Epidemiologi............................................................................................7
2.3 Anatomi dan Fisiologi.............................................................................8
2.4 Histologi.................................................................................................11
2.5 Etiologi dan Faktor Risiko...................................................................13
2.6 Patofisiologi............................................................................................15
2.7 Penegakan Diagnosis.............................................................................18
2.7.1 Anamnesis...........................................................................................18
2.7.2 Pemeriksaan colok dubur..................................................................19
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang....................................................................20
2.8 Derajat keganasan.................................................................................28
2.9 Penatalaksanaan....................................................................................25
2.9.1 Penatalaksanaan kanker terlokalisir atau locally advanced..........25
2.9.2 Penatalaksanaan kanker yang telah metastasis..............................26
2.9.3 Kanker Prostat dengan Kastrasi dan Hormon Refrakter (Castration
and Hormone Refractory Prostate Cancer / CRPC-HRPC)......................
............................................................................................................. 27
2.9.4 Kanker Prostat Metastasis dengan Resistensi Kastrasi (mCRPC)...
............................................................................................................. 27
2.9.5 Penatalaksanaan Kemoterapi (Cytotoxic Therapy).......................28
2.10 Monitoring terapi................................................................................28
2.10.1 Pemantauan setelah terapi kuratif.................................................28
2.10.2 Pasca prostatektomi radikal...........................................................29
2.10.3 Pasca EBRT......................................................................................29
2.10.4 Pemantauan setelah terapi hormonal............................................29
2.11 Terapi Paliatif......................................................................................30
2.12 Pencegahan..........................................................................................30
2.13 Prognosis..............................................................................................32
BAB 3. PENUTUP.......................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................34

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tingkat insidensi kanker prostat berdasarkan daerah dan populasi.....8
Gambar 2.2 Anatomi pelvis (a) dan prostat (b)........................................................9
Gambar 2.3 Zona pada kelenjar prostat yang normal..............................................10
Gambar 2.4 Prostate gland: glandular acini and prostatic concretions. Stain:
hematoxylin dan eosin. Medium magnification.......................................................13
Gambar 2.5 Prostate gland: prostatic glands with prostatic concretions. Stain:
Masson’s trichrome..................................................................................................13
Gambar 2.6 Cara kerja hormone androgen pada prostat..........................................17

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1
Tabel 2.2 Gambaran sel menurut Gleason
Score...............................................................22
Tabel 2.3 Stadium kanker prostat.......................................................................24
Tabel 2.4 Kelompok grup berisiko rekurensi pada kanker prostat lokal dan lokal parah..25
Tabel 2.5 Penatalaksanaan kanker terlokalisir atau locally advanced..............................25

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

Kanker prostat merupakan keganasan tersering kedua setelah kanker par-paru)


yang terjadi pada laki-laki di seluruh dunia. Pada tahun 2018, terdapat 1.276.106 kasus
kanker prostat baru dan menyebabkan kematian pada 358.989 penderita di seluruh
dunia (Bray et al., 2018; Ferlay et al.,2019). Berdasarkan data riset kesehatan dasar
tahun 2013, prevalensi kanker prostat di Indonesia adalah sebesar 0,2% atau
diperkirakan sebanyak 25.012 penderita. Provinsi yang memiliki prevalensi kanker
prostat tertinggi adalah D.I. Yogyakarta, Bali, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan
yaitu sebesar 0,5%, sedangkan berdasarkan estimasi jumlah penderita penyakit kanker
prostat terbanyak berada pada Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Jawa Tengah
(Kemenkes, 2013).
Insidensi kanker prostat terus mengalami peningkatan. Insidensi dan mortalitas
dari kanker prostat di seluruh dunia berkorelasi dengan peningkatan usia dengan rata-
rata usia penderita saat terdiagnosis pertama kali adalah usia 66 tahun. Insidensi kanker
prostat juga dipengaruhi oleh ras, seperti yang telah dilaporkan bahwa laki-laki Afrika-
Amerika memiliki insidensi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki berkulit putih
dengan 158.3 kasus baru per 100.000 laki-laki dan tingkat mortalitas dua kali lebih
tinggi dibandingkan laki-laki kulit putih (Panigrahi et al, 2019). Alasan terdapatnya
hipotesis ini diduga karena adanya perbedaan pada kehidupan sosial, lingkungan dan
faktor genetik (Rawla, 2019).
Kanker prostat stadium dini umumnya tanpa gejala klinis dan membutuhkan
penanganan minimal atau bahkan tidak sama sekali. Pada stadium lanjut, gejala klinis
biasanya akan muncul. Keluhan tersering dapat berupa kesulitan miksi, meningkatnya
frekuensi miksi dan nokturia. Pada stadium yang lebih parah, penderita dapat
mengeluhkan retensi urin dan nyeri pinggang (Rawla, 2019). Banyak kanker prostat yang
dapat terdeteksi dengan menggunakan Prostate Spesific Antigen (PSA). PSA merupakan
suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh sitoplasma sel epitel prostat dan berperan dalam
melakukan likuefaksi cairan semen (Rawla, 2019). Deteksi dini PSA bermanfaat pada
laki-laki dengan usia antara 55-69 tahun, dan tidak direkomendasikan pada laki-laki di
bawah 55 tahun dan laki-laki berusia 70 tahun keatas (Carter et al., 2013).
Namun, laki-laki tanpa kanker prostat pun dapat ditemukan peningkatan PSA
pada kadar plasmanya, sehingga biopsi jaringan tetap merupakan pemeriksaan standar

1
untuk mengkonfirmasi keberadaan sel kanker (Rawla, 2019). Berdasarkan pemaparan
tersebut di atas, dewasa ini memiliki insidensi dan mortalitas kanker prostat kian
meningkat dan diduga diakibatkan oleh berbagai macam faktor. Banyak hal yang dapat
dilakukan sebagai prevensi terjadinya kanker prostat dan menurunkan mortalitasnya,
salah satunya adalah dengan mendeteksi dini adanya sel kanker pada prostat mengingat
gejala pada penyakit ini juga sering ditemukan pada penyakit-penyakit lain seperti
LUTS dan BPH. Selain itu perlu dilakukan juga analisis mendalam terkait korelasi
antara faktor risiko dan terjadinya kanker.
Di sini, penulis tertarik untuk memaparkan mengenai kanker prostat mulai dari
definisi hingga prognosis berdasarkan literatur ilmiah terbaru yang telah penulis
kumpulkan.

2
BAB 2.
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kanker prostat adalah penyakit keganasan sistem urogenital yang merupakan
salah satu penyebab terbanyak kematian pada populasi laki-laki. Kanker prostat
merupakan keganasan yang berasal dari epitel kelenjar prostat. Kanker prostat terjadi
ketika sel-sel prostat tumbuh lebih cepat dari pada kondisi normal sehingga
membentuk benjolan atau tumor yang memiliki keganasan. Kanker ini terjadi pada
pria terutama yang berusia di atas 65 tahun. Kanker prostat merupakan penyebab
kematian akibat kanker nomor dua pada pria dan merupakan penyebab utama kematin
akibat kanker pada pria diatas 74 tahun. Kanker prostat jarang ditemukan pada pria
berusia kurang dari 40 tahun (Nurdin, 2017; Kumar, et al., 2013; Andreas, 2017).

Kelenjar prostat adalah kelenjar seksual laki-laki yang berada di anterior rektum
dan terletak diantara kandung kemih dan penis. Sebagian besar kanker prostat adalah
adenokanker kanker yang melibatkan uretra prostat dengan atau tanpa invasi stroma.
Bentuk lain yang jarang adalah: sarkoma (0,1-0,2%), kanker urotelial (1-4%), limfoma
dan leukemia. Oleh karena itu, terminologi kanker prostat mengacu pada adenokanker
prostat (IAUI, 2011).

2.2 Epidemiologi
Kanker prostat adalah keganasan kedua setelah kanker paru yang paling umum
terdiagnosis pada laki-laki di Amerika Serikat. Pada tahun 2018, insidensi kanker
prostat di dunia mencapai 1.276.106 kasus dengan angka mortalitas sejumlah 358.989
(3,8% dari semua kematian disebabkan oleh kanker pada laki-laki) (Bray et al., 2018;
Ferlay et al., 2019).

Tingkat insidensi kanker prostat bervariasi berdasarkan daerah dan populasi


(Gambar 2.1). Insidensi berdasarkan standar usia (ASR) tertinggi terdapat di Oceania
(79,1 per 100.000 orang) dan Amerika Utara (73,7), diikuti oleh Eropa (62,1).
Sebaliknya, Afrika dan Asia memiliki tingkat kejadian yang lebih rendah daripada
yang berasal dari negara maju (masing-masing 26,6 dan 11,5) (Ferlay et al., 2019).

3
Gambar 2.1 Tingkat insidensi kanker prostat bervariasi berdasarkan
daerah dan populasi (Rawla, 2019).

Di Indonesia, menurut statistik GLOBOCAN tahun 2018, kanker prostat


merupakan kanker urologis kelima paling umum pada laki-laki Indonesia. Insidensi
kanker prostat di Indonesia terus meningkat dengan cepat. Pada tahun 2008 tercatat
insidensi kanker prostat 10,6 dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 14,8 per
100.000 laki-laki. Peningkatan ini diduga akibat bertambahnya jumlah populasi lansia
dan kemajuan metode deteksi yang lebih baik (Rawla, 2019).
Tiga pusat pendidikan Urologi (Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta) mencatat
761 kasus dalam 5 tahun terakhir. Pada kurun waktu 2004-2011 ditemukan 375 kasus
karsinoma prostat di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin, Bandung
(Safriadi, 2013). Jumlah penderita karsinoma prostat di Rumah Sakit Umum Pusat
Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Kanker Dharmais tahun 2001-
2006 meningkat sebanyak dua kali dibandingkan tahun 1995–2000, dengan jumlah
penderita rata-rata pertahun adalah 70-80 kasus baru/tahun (Umbas, 2011).

2.3 Anatomi dan Fisiologi


Prostat adalah suatu jaringan ikat padat yang terletak di bawah dari kandung
kemih dan mengelilingi saluran kemih uretra (Eroschenko, 2014; Mescher, 2013;
Tanagho & McAninch, 2008). Prostat memiliki bentuk seperti piramida terbalik
dengan ukuran 2cm dari depan ke belakang, 3 cm dari atas ke bawah dan sekitar 4 cm
dari sisi kiri ke sisi kanan, serta memiliki berat sekitar 20 gram (Mescher, 2013;
Tanagho & McAninch, 2008; Tortora & Derrickson, 2012).

Prostat merupakan kelenjar aksesori terbesar pada laki-laki . Prostat dijaga

4
untuk tetap berada ditempatnya oleh beberapa jaringan penyokong, yaitu pada bagian
depan oleh ligamen puboprostatik dan pada bagian bawah oleh diafragma urogenital
(Mescher, 2013). Prostat mengelilingi uretra pars prostatika dan ditembus di bagian
posterior oleh dua buah duktus ejakulatorius (McClure et al., 2018).

(a)

(b)
Gambar 2.2 Anatomi Pelvis (a) dan Prostat (b)

Mc Neal membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain

5
adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior
dan zona periuretheral. Zona perifer adalah zona terbesar dari prostat, mewakili
lobus posterior dan lateral serta mengandung sekitar 70% bagian dari kelenjar
prostat. Seluruh kanker prostat terjadi pada zona perifer. Zona sentral adalah zona
yang berbentuk baji dan terdiri dari 25% elemen kelenjar prostat dan terletak
mengelilingi duktus ejakulatorius. Zona ini relatif resisten terhadap kanker dan
penyakit lainnya. Zona transisional merupakan zona terkecil dari prostat yang
mengelilingi uretra dan hanya mengandung 5% elemen dari kelenjar prostat.
Sebagian besar hiperplasi prostat terjadi pada zona transisional. Sedangkan zona
anterior fibromuskular sama sekali tidak memiliki elemen dari kelenjar prostat dan
hanya terdiri dari otot polos serta bertanggung jawab terhadap konveksitas anterior
prostat (Wein et al., 2011).

Gambar 2.3 Zona pada kelenjar prostat yang normal (McAnich dan Lue, 2013)

Prostat mendapatkan vaskularisasi dari cabang arteri vesicalis inferior dan


arteri rectalis media. Vena pada prostat membentuk plexus venosus prostaticus yang
terletak di antara capsula prostatica dan selubung fibrosa. Plexus venosus prostaticus
menampung darah dari vena dorsalis profunda penis dan juga dari sebagian vena

6
vesicales, selanjutnya bermuara ke vena iliaca interna. Pembuluh limfe yang terdapat
pada prostat mengalirkan cairan limfe ke nodi iliaci interni. Persarafan dari prostat
sendiri berasal dari plexus hypogastricus inferior dan saraf simpatis merangsang otot
polos prostat pada saat ejakulasi (Guyton & Hall, 2014).
Fungsi prostat adalah menghasilkan sekret kelenjar prostat yaitu cairan
seperti susu yang bersama-sama sekret dari vesikula seminalis merupakan komponen
utama dari cairan semen. Semen berisi sejumlah asam sitrat sehingga pH nya agak
asam (6,5). Selain itu dapat ditemukan enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang
kuat, fosfatase asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat dikeluarkan selama
ejakulasi melalui kontraksi otot polos. Kelenjar prostat juga menghasilkan cairan
dan plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan
vesikula seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi (Guyton & Hall, 2014).
Fungsi lain dari cairan prostat adalah menghasilkan enzim pengental
(clotting enzyme). Enzim pembeku ini berguna untuk mengentalkan semen dengan
cara merubah fibrinogen dari cairan semen menjadi fibrin. Fibrin tersebut akan
mengikat cairan semen yang pada akhirnya akan mengentalkan cairan semen.
Pengentalan cairan semen terjadi pada saat ejakulasi semen ke dalam vagina. Tujuan
dari pengentalan cairan semen ini adalah untuk menjaga sperma tetap berada dalam
liang vagina saat ejakulasi telah selesai (Sherwood, 2015).
Fungsi lainnya dari cairan prostat adalah menghasilkan profibrinolisin atau
sering disebut sebagai Prostate Specific Antigen (PSA). Profibrinolisin atau PSA
tersebut berguna untuk mengencerkan cairan semen yang sebelumnya telah mengental
dalam liang vagina. Proses ini terjadi beberapa saat setelah proses pengentalan di liang
vagina terjadi. Pengenceran ini berguna agar sperma dapat masuk lebih ke dalam
hingga dapat menuju ke ovum (Sherwood, 2015).

2.4 Histologi
Prostat atau glandula prostat atau prostata merupakan kelenjar aksesoris terbesar
pada sistem reproduksi laki-laki. Ukurannya setara dengan kacang kenari. Selain
prostat, kelenjar aksesoris lainnya yakni: sepasang vesicula seminalis dan sepasang
glandula bulbourethrales. Semua struktur tersebut akan mensekresikan cairan yang
akan bercampur dengan spermatozoa membentuk semen. Beberapa bagian dari
kelenjar prostat berisi agregasi sekresi solid yang disebut concretio prostatica atau

7
corpora amylacea di dalam asinar. Selain komponen kelenjar, prostat juga memiliki
bagian berupa stroma fibromuskular yang dibentuk oleh serabut- serabut otot polos
yang bercampur dengan serabut kolagen dan elastik, mengelilingi glandula prostat dan
urethra prostatica (Eroschenko, 2014).

Prostat memiliki struktur histologi berupa kelenjar tubuloarsinar, dimana dalam


satu prostat terdapat 30-50 cabang tubuloarsinar yang terbagi menjadi 3 lapisan.
Lapisan pertama adalah lapisan kelenjar mukosa yang terdapat pada zona transisional
(zona periurethra) prostat. Lapisan kedua adalah lapisan kelenjar submukosa yang
berada pada zona sentral (zona dalam) prostat, dan lapisan ketiga adalah lapisan
kelenjar utama yang berada pada zona perifer (zona luar) prostat (Mescher, 2013).
Ukuran asinus glandular prostat sangat bervariasi dengan lumen-lumen asini yang
normalnya lebar dan ireguler karena adanya protrusi lipatan-lipatan jaringan ikat yang
dilindungi epithelium.

Concretio prostatica yang ada di dalam asinus terbentuk dari lapisan-lapisan


.
sekresi prostat yang terkondensasi secara konsentris dan hal tersebut merupakan ciri
khas dari asinus glandula prostat. Jumlah concretio prostatica akan bertambah seiring
usia dan dapat terkalsifikasi.Epithelium pelapis glandula prostat umumnya berupa
simpleks collumnare atau pseudostratificatum collumnare. Tapi pada beberapa
bagian, epithelium dapat berupa squamosum atau kuboid. Ductus ekskretorius
glandula prostat sering menyerupai asinus glandula (Eroschenko, 2014). Pada bagian
terminal dari ductus, epithelium biasanya berbentuk collumnar dengan warna cat yang
lebih gelap sebelum akhirnya memasuki urethra pars prostat.

Stroma fibromuscular yang merupakan bagian lain dari glandula prostat,


terdiri dari serabut otot .polos dan jaringan ikat yang bercampur bersama stroma dan
terdistribusi pada glandula. Parenkim glandula prostat terdiri dari glandula- glandula
prostat individual dengan berbagai ukuran dan bentuk. Epithelium glandular
bervariasi dari simpleks cuboid atau columnar hingga pseudostratifiatium. Pada lansia,
akan terjadi presipitasi materi sekresi membentuk concretio prostatica (Eroschenko,
2014).

8
Gambar 2.4 Prostate gland: glandular acini and prostatic concretions. Stain:
hematoxylin and eosin. Medium magnification

Gambar 2.5 Prostate gland: prostatic glands with prostatic concretions. Stain:
Masson’s trichrome

2.5 Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi kanker prostat hingga saat ini masih belum diketahui namun terdapat
berbagai faktor yang meningkatkan risiko terkena kanker prostat. Faktor-faktor risiko
tersebut adalah:

1. Usia lanjut

Kejadian kanker prostat sangat berkaitan dengan usia, dengan tingkat


kejadian spesifik usia meningkat tajam dari usia 50 tahun dan menjadi tertinggi
pada laki-laki berusia 90 tahun ke atas (Merriel et al., 2018). Menurut penelitian
pneprashanty (2019), pria berkulit hitam dan mempunyai keluarga yang
menderita kanker prostat di Amerika serikat memiliki tingkat kejadian yang tinggi

9
untuk terjadinya kanker prostat.
2. Etnis
Bukti adanya faktor etnis yang berperan mempengaruhi kejadian kanker
prostat diketahui dari tingat kejadian terbanyak kanker prostat pada laki-laki
Afrika- Amerika (149/100.000 orang), dilanjutkan laki-laki Kaukasia AS
(107/100.000) dan yang terrendah pada laki-laki Asia (39 / 100.000 untuk laki-
laki Jepang dan 28 / 100.000 untuk laki-laki Cina) (McClure et al., 2018). Pada
laki-laki Afrika-Amerika memiliki variasi kromosom 8q24 yang telah terbukti
memiliki hubungan dengan peningkatan risiko kanker prostat. Beberapa penelitian
juga menunjukkan bahwa orang Afrika-Amerika memiliki tingkat variasi gen
yang mensupresi tumor seperti EphB2 atau yang meregulasi apoptosis sel seperti
BCL2 (Rawla, 2019).

3. Faktor genetik dan riwayat keluarga

Riwayat keluarga memiliki hubungan posistif yang signifikan terhadap


kejadian kanker prostat pada laki-laki. Seorang laki-laki yang memiliki satu
kerabat tingkat pertama (ayah atau saudara laki-laki) yang menderita kanker
prostat memiliki risiko relatif 2,48 (95% CI 2,25-2,74), sedangkan pada laki-laki
yang memiliki dua atau lebih kerabat tingkat pertama memiliki risiko relatif 4,39
(95% CI 2,61-7,39) (Merriel et al., 2018).

4. Diet

Diet tinggi lemak jenuh, daging merah, sedikit buah dan sedikit sayuran,
rendah tomat, rendah ikan dan atau rendah kedelai meningkatkan resiko terkena
kanker prostat. Diet tinggi kalsium juga berhubungan dengan peningkatan resiko
kanker prostat. Hubungan kanker prostat dengan obesitas masih kontroversial,
namun obesitas berhubungan dengan tingginya grading kanker prostat
(Kemenkes, 2011).

5. Konsumsi alcohol

Konsumsi alkohol berlebihan (>15 gram etanol/hari, atau lebih dari tiga gelas
antara wine, liquor dan beer per hari) dapat menjadi faktor risiko yang mungkin
dari kanker prostat dan kanker-kanker yang lain (Rizos et al., 2010).

10
6. Obesitas, insulin dan aktivitas fisik

Obesitas berhubungan dengan terjadinya kanker yang parah dan agresif, pun
BMI berhubungan dengan penyakit yang lebih parah dengan outcome yang lebih
buruk. Penjelasan yang mungkin dari tingginya prevalensi kanker prostat pada
laki-laki obesitas adalah karena perubahan sirkulasi dari hormon-hormon steroid
seks, yang mana juga diketahui terkait dengan perkembangan onkogenesis pada
prostat (Mcbride, 2012).

Obesitas, yang bila dikombinasikan dengan inaktifitas fisik dapat berujung


pada resistensi insulin disertai dengan penurunan uptake glukosa. Kompensasi
yang dapat terjadi adalah meningkatnya insulin dalam darah. Insulin sendiri
merupakan hormon yang dapat mencetuskan pertumbuhan dan proliferasi,
sehingga merupakan faktor risiko yang dapat menimbulkan inisiasi maupun
perkembangan kanker prostat (Kaaks dan Stattin, 2010).

7. Hormon-hormon seks

Hipotesis Androgen sebagai penyebab kanker prostat telah dicetuskan sejak


dahulu. Pada tahun 1941, Huggins dan Hodges mengungkapkan bahwa
pertumbuhan kanker prostat dikendalikan oleh androgen setelah mereka
mengobservasi keuntungan kastrasi pada pasien dengan kanker prostat. Beberapa
data in vitro didapatkan bahwa sel-sel well differentiated kanker prostat
menunjukkan respons terhadap stimulasi androgen dan mengalami apoptosis
setelah pengurangan kadar androgen. Meskipun keberadaan androgen pada
pertumbuhan sel-sel prostat telah ditetapkan sebagai salah satu penyebab,
beberapa studi menunjukkan bahwa pada pasien kanker prostat didapatkan kadar
testosteron dan DHT yang rendah yang menunjukkan kalau hormone-hormon
non-androgen (seperti estrogen, insulin dan vitamin D) juga dapat berperan dalam
patogenesis kanker prostat (Rawla, 2019).

8. Inflamasi kronis dan prostatitis

Peradangan kronis dan prostatitis merupakan beberapa faktor yang dapat


meningkatkan risiko terjadinya kanker prostat. Inflamasi kronis pada prostat
menyebabkan proliferative inflammatory atrophy (PIA) yang dapat berkembang
menjadi PIN, precursor dari kanker prostat. Prostatitis merupakan inflamasi pada
kelenjar prostat yang sulit didiagnosis karena sering asimtomatik. Perkembangan

11
prostatitis terjadi oleh satu atau kombinasi dari berbagai faktor termasuk infeksi,
trauma fisik dan kimia (refluks urin) dapat berujung pada inflamasi kronis pada
prostat (Rawla, 2019).

2.6 Patofisiologi
Epitel jaringan prostat merupakan jaringan yang peka terhadap kadar hormon
androgen dalam darah. Hormon androgen merupakan hormon-hormon yang
diperlukan dalam perkembangan organ reproduksi pria. Hormon androgen diantaranya
adalah testosterone, dihidrotestosteron (DHT), dan androstenedione. Hormon
testosteron merupakan hormon yang paling banyak dihasilkan dibandingkan dengan
hormon androgen lainnya. Bentuk aktif dari hormon testosteron adalah DHT, dimana
hormon ini diperoleh dari hasil perubahan hormon testosteron di sel jaringan (Guyton
& Hall, 2014). Hormon androgen dihasilkan oleh dua organ utama yaitu organ testis
dan kelenjar adrenal. Hormon testosteron banyak dihasilkan oleh organ testis, lebih
tepatnya dihasilkan oleh sel Leydig testis dibandingkan dengan kelenjar adrenal
(Mescher, 2013).
Hormon testosteron dapat disintesis dari kolesterol ataupun Asetil Co-Enzim
A yang terjadi baik pada testis maupun pada kelenjar adrenal. Testosteron yang
dihasilkan akan disekresikan dalam pembuluh darah, dan sekitar 97% akan berikatan
dengan albumin darah. Testosteron yang berikatan dengan albumin darah akan
menetap selama 30 menit sampai beberapa jam di dalam darah. Testosteron inilah
yang akan menempel di sel jaringan untuk kemudian diubah menjadi DHT.
Testosteron yang tidak menempel ke sel jaringan akan diubah menjadi adrosteron dan
dihidroepiandrosteron yang akan dikonjugasikan dengan glurononat atau sulfat
sehingga bisa dikeluarkan ke dalam usus atau ginjal.
Aktivasi sel Leydig pada testis dan kelenjar adrenal untuk menghasilkan
testosteron dipicu oleh adanya Luteinizing Hormon (LH) dan Follicle Stimulating
Hormone (FSH) untuk menghasilkan testosterone pada testis dan Adrenocorticotropin
Hormone (ACTH) pada kelenjar adrenal. Ketiga hormon tersebut diproduksi oleh
kelenjar Hipofisis. Keluarnya LH, FSH, dan ACTH dipicu oleh Gonadotropin
Releasing Hormone (GnRH) yang dihasilkan oleh Hipotalamus otak. Hasil akhirnya
akan diperoleh kadar testosteron yang meningkat dalam darah. Peningkatan ini akan
memberi respon negatif kepada Hipotalamus dan Hipofisis (Guyton & Hall, 2014).

12
Gambar 2.6 Cara Kerja Hormon Androgen pada Prostat (Kumar et al., 2015)

Di sel jaringan testosteron akan diubah menjadi bentuk aktif yaitu DHT
melalui enzim 5α-reduktase. Ada dua tipe enzim 5α-reduktase, yaitu 5α-reduktase
tipe 1 dan 5α-reduktase tipe 2. Tipe 1 5α-reduktase banyak terdapat dalam kulit dan
hati, sedangkan tipe 2 5α-reduktase banyak ditemukan dalam sel prostat atau sel
jaringan genital lainnya. DHT di dalam sitoplasma sel akan menempati reseptor
androgen di dinding inti sel (Wein, et al., 2011). Ikatan tersebut akan
mengekspresikan faktor pertumbuhan (growth factor) yaitu Fibroblast Growth Factor
(FGF) dan Transforming Growth Factor (TGF)β. Faktor pertumbuhan ini akan
berfungsi sebagai hormon parakrin yang menduduki reseptor pertumbuhan di sel
prostat sekitarnya (Kumar et al., 2015).
Kejadian kanker prostat terjadi akibat adanya hipersensitif dari reseptor
androgen yang terdapat pada dinding inti sel. Hal ini terjadi akibat adanya mutasi
ataupun variasi pada gen pengekspresi reseptor androgen. Akibat dari mutasi ataupun
variasi tersebut akan meningkatkan sensitifitas dari reseptor androgen. Peningkatan
sensitifitas reseptor akan memudahkan aktivasi dari reseptor androgen walaupun
bukan dengan hormon androgen, sehingga sel prostat akan mengeluarkan faktor
pertumbuhan yang tidak terkendali. Faktor pertumbuhan yang dihasilkan akan
merangsang pertumbuhan sel prostat baik sel epitel maupun sel stroma. Variasi
terhadap gen pengekspresi reseptor androgen menjadi dasar mengapa dalam satu ras

13
memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadi kanker prostat dibandingkan dengan ras
lainnya. Seperti pada ras Afrika-Amerika yang memiliki risiko menderita kanker
prostat lebih tinggi dibandingkan ras lainnya (Kumar, et al., 2015).
Hal-hal yang berperan dalam patogenesis kanker prostat adalah androgen, sel
stem, perubahan epigenetik, siklooksigenase, mutasi somatik yang berhubungan
dengan inisiasi dan progresi tumor, prostate specific membrane antigen dan apoptosis.
Gejala klinis pada kanker prostat dapat terjadi 3 gejala yaitu gejala obstruksi
(hesitansi, penurunan aliran urin, intermiten), gejala iritasi (frekuensi, nokturia,
urgensi, inkontinensia tipe urgensi) dan gejala sistemik (nyeri tulang, gagal ginjal,
anemia). (Wein et al., 2011).

2.7 Penegakan Diagnosis


Penegakan diagnosis kanker prostat didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan
fisik (colok dubur), pemeriksaan penunjang (PSA serum, digital rectal examination
(DRE), transrektal/transabdominal). Diagnosa definitif didapatkan dari hasil biopsi
prostat. Selain itu pemeriksaan histopatologis akan menentukan derajat dan
penyebaran tumor (IAUI, 2011; Mottet et al., 2016).

2.7.1 Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien kanker prostat adalah melakukan anamnesis
atau wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang
dideritanya. Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan diluar saluran kemih. Anamnesis dapat meliputi:

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah


Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom
(LUTS) terdiri atas gejala obstruksi dan gejala iritasi (Mansjoer, 2010).
a. Gejala obstruksi
Gejala obstruksi disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika
karena didesak oleh sel kanker prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor
untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus.
Gejalanya ialah :
1. Menunggu pada permulaan miksi (hesitancy)

2. Pancaran miksi lemah (weak stream)

14
3. Miksi terputus (intermittency)

4. Rasa belum puas sehabis miksi (sensation of incomplete blander


emptying)
5. Menetes setelah miksi (terminal dribbling)

b. Gejala iritatif
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak
sempurna saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena
pembesaran sel kanker prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica
sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejalanya ialah :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (frekuensi)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (urgency)
4. Nyeri pada saat miksi (dysuria) atau saat ejakulasi
5. Keluarnya darah pada saat miksi atau saat ejakulasi

2. Keluhan pada saluran kemih bagian atas


Keluhan akibat kanker prostat pada nsaluran kemih bagian atas berupa nyeri
atau kekakuan pada punggung bawah, pinggul atau paha atas dan tidak nyaman di
daerah panggul akibat penyebaran di kelenjar getah bening yang terletak di panggul
(Mansjoer, 2010).

2.7.2 Pemeriksaan colok dubur


Kebanyakan kanker prostat terletak di zona perifer prostat dan dapat dideteksi
dengan colok dubur jika volumenya sudah > 0.2 ml. Jika terdapat kecurigaan dari
colok dubur berupa: nodul keras, asimetrik, berbenjol-benjol, maka kecurigaan
tersebut dapat menjadi indikasi biopsi prostat. Delapan belas persen dari seluruh
penderita kanker prostat terdeteksi hanya dari colok dubur saja, dibandingkan dengan
kadar PSA. Penderita dengan kecurigaan pada colok dubur dengan disertai kadar PSA
> 2ng/ml mempunyai nilai prediksi 5-30% (IAUI, 2011).

15
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Prostat Spesifik Antigen (PSA)


Pemeriksaan ini sebagai marker untuk skrining diagnosis awal untuk suatu
penyakit-penyakit kelenjar prostat serta untuk memantau terapi keganasan prostat.
Prostat Spesifik Antigen (PSA) merupakan suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh
epitel saluran kelenjar prostat yang dikeluarkan bersamaan dengan cairan semen
(sperma) dalam jumlah yang banyak apabila mengalami suatu peradangan. PSA
menjaga kekentalan (viskositas) cairan semen melalui prosis hidrolisis semenogelin
sehinga cairan menjadi cairan.

Menurut isra (2016) Kadar PSA bermamfaat untuk diagnosa banding


adenocarsinoma pada pria dengan sel tumor yang tidak jelas. Ada 3 bentuk PSA yang
ditemukan dalam serum yaitu :

1 PSA bebas dengan berat molekul 30 kDa. Pada PSA ini karena molekulnya
rendah maka dapat dikeluarkan di ginjal

2 PSA yang terikat dengan alpha-2-makroglobulin (A2M-PSA) dengan berat


molekul 780 kDa

3 PSA yang terikat dengan alpha-anti-chymotrypsin (ACT) dengan berat molekul 90


kDa (inhibitor protease ekstraseluler yang disentesis oleh hati).

Peningkatan kadar PSA juga dijumpai pada beberapa keadaan yaitu usia yang
semakin tua, ISK, aktivitas seksual saat ejakulasi, BPH, prostatitis, dan keganasan
prostat. Kadar PSA secara tunggal adalah variabel yang paling bermakna
dibandingkan colok dubur atau TRUS. Sampai saat ini belum ada persetujuan
mengenai nilai standar secara internasional. Kadar PSA adalah parameter
berkelanjutan, semakin tinggi kadarnya, semakin tinggi pula kecurigaan adanya
Kanker prostat. Nilai baku PSA di Indonesia saat ini yang dipakai adalah 4ng/ml
(IAUI, 2011).

Deteksi dini PSA bermanfaat pada laki-laki dengan usia antara 55-69 tahun,
dan tidak direkomendasikan pada laki-laki di bawah 55 tahun dan laki-laki berusia 70
tahun keatas (Carter et al., 2013).

16
Umur Kadar PSA serum
(Tahun) (ng/ml)
40 -49 < 2,5
50 – 59 < 3,5
60 – 69 < 4,5
70 – 79 < 6,5
Tabel 2.1 Rata-rata nilai normal Prostat Spesifik Antigen menurut umur
Biomarker tumor untuk kanker prostat biasanya dilakukan dengan memeriksa
kadar PSA dalam serum darah. Walaupun demikian, pemeriksaan PSA dalam serum
darah belum memastikan adanya keganasan pada seseorang, karena PSA juga
dijumpai pada keadaan tumor yang benigna (tumor jinak). Prostat Spesifik Antigen
dalam serum darah dapat dijumpai dalam dua bentuk, yaitu bentuk bebas
(uncomplexed) dan bentuk terikat (complexed). Di dalam darah PSA dalam bentuk
terikat, akan berikatan dengan antiprotease ACT dan Makroglobulin (Wein et al.,
2011). Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk mengukur kadar PSA
dalam tubuh antara lain:

a. Metode imunokromatografi secara semi-kuantitatif

b. Metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA), Enzyme Linked


Immunofluorescent Assay (ELFA), atau Immunofluorescence Assay secara
kuantitatif
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, terdapat beberapa metode yang
dapat membantu klinis untuk menilai kelainan pada kelenjar prostat, yaitu:
a. PSA Density (PSAD), merupakan cara untuk mengkorelasikan atau membagi
kadar total PSA serum dengan volume prostat yang ditentukan dengan Trans
Rectal Ultrasonography (TRUS) (Benson et al,(1992). Metode PSAD ini dapat
membantu klinis untuk membedakan BPH dengan kanker prostat dimana yang
memiliki kadar Total PSA serum dalam gray zone (4 ng/ml-10 ng/ml). Nilai
yang direkomendasikan untuk PSAD dengan kadar total PSA serum 4 ng/mL –
10 ng/mL adalah ≤0.15, jika hasil perhitungan PSAD ≤0.15 lebih mengarah ke
BPH dan tidak perlu dilakukan biopsi, tetapi jika >0.15 mengarah ke diagnose
kanker prostat dan harus dilakukan biopsi untuk menegakkan diagnose.
b. PSA Velocity (PSA-V), merupakan cara untuk memonitor laju peningkatan

17
kadar PSA berdasarkan waktu yang diukur secara longitudinal, dan paling baik
dinilai dalam kurun waktu 2-5 tahun. Hasil pengukuran PSA-V dilaporkan lebih
tinggi diantara laki-laki dengan kanker prostat disbanding dengan BPH. Nilai
PSA-V yang mengarah ke diagnose kanker prostat adalah 0.75 ng/ml/tahun,
tetapi tetap harus dikonfirmasi dengan biopsi.

2. Transrectal ultrasonography (TRUS) dan biopi prostat

Gambaran klasik hipoekhoik adanya zona peripheral prostat tidak akan selalu
terlihat. Grayscale dari TRUS tidak dapat mendeteksi area kanker prostat secara
adekuat. Maka itu biopsi sistematis tidak perlu digantikan dengan biopsi area yang
dicurigai. Namun biopsi daerah yang dicurigai sebagai tambahan dapat menjadi
informasi yang berguna (IAUI, 2011).
a. Indikasi Biopsi

Tindakan biopsi prostat sebaiknya ditentukan berdasarkan kadar PSA,


kecurigaan pada pemeriksaan colok dubur atau temuan metastasis yang diduga dari
kanker prostat. Sangat dianjurkan bila biopsi prostat dengan guided TRUS. Bila tidak
mempunyai TRUS dapat dilakukan biopsi transrektal menggunakan jarum trucut
dengan bimbingan jari. Lokasi yang digunakan saat biopsy harus diarahkan ke lateral.
Jumlah Core dianjurkan sebanyak 10-12. Core tambahan dapat diambil dari daerah
yang dicurigai pada colok dubur atau TRUS (IAUI, 2011). Tingkat komplikasi biopsi
prostat rendah. Komplikasi minor termasuk makrohematuria dan hematospermia.
Infeksi berat setelah prosedur dilaporkan <1 % kasus (IAUI, 2011).
b. Biopsi Ulang
• PSA yang meningkat dan atau menetap pada pemeriksaan ulang setelah 6 bulan
• Kecurigaan dari colok dubur
• Proliferasi sel asinar kecil yang atipik (ASAP)
• High Grade Prostatic intraepithelial (PIN) lebih dari satu core13Penentuan
waktu yang optimal untuk biopsi ulang adalah 3-6 bulan (IAUI, 2011)

3. CT scan dan MRI


CT scan diperiksa jika dicurigai adanya metastasis pada limfonudi (N), yaitu
menunjukkan skor Gleason tinggi (>7) atau kadar PSA tinggi. Dibandingkan

18
dengan USG transrektal, MRI lebih akurat dalam menentukan luas ekstensi tumor
ke ekstrakapsuler atau ke vasikula seminalis (Purnomo, 2012).

19
20

2.8 Derajat keganasan


Klasifikasi TNM untuk menentukan derajat kanker prostat dan klasifikasi
kelompok berisiko oleh European Association of Urology (EAU) dapat digunakan
sebagai pedoman. Klasifikasi oleh EAU adalah berdasarkan penggolongan pasien
dengan risiko yang serupa terkait rekurensi terjadinya kanker setelah penanganan
lokal. International Society of Urological Pathology (ISUP) merekomendasikan
Gleason score (GS) sebagai skor yang baik untuk menentukan derajat kanker
prostat.Skor Gleason adalah penjumlahan dari derajat Gleason (Gleason grade) yang
paling dominan dan kedua yang paling dominan. Pengelompokan skor Gleason terdiri
dari Diferensiasi baik ≤ 6, sedang/moderat 7 dan buruk (8-10) (Mottet et al., 2016).

Tabel 2.2 Gambaran Sel Menurut Gleason Score

Gleason Score
Grade 1 Satu bentuk kelenjar berukuran kecil dengan perubahan inti sel
yang minimal
Grade 2 Ukuran kelenjar sedang dengan perubahan inti sel yang minimal
Grade 3 Variasi dalam ukuran kelenjar dengan infiltarasi dari stroma
Grade 4 Infiltrasi yang luas dari stroma dengan gambaran sel yang atipik
Grade 5 Gambaran sel yang tidak berdiferensiasi (sel kanker)

Stadium
Tumor primer (T)
Tx Tumor primer tidak dapat dinilai T0 Tumor primer tak dapat ditemukan
T1 Tumor yang tak dapat dipalpasi atau dilihat pada pemeriksaan pencitraan (tidak
terdeteksi secara klinis)
T1a Tumor ditemukan secara kebetulan (PA), < 5 % dari jaringan yang direseksi
T1b Tumor ditemukan secara kebetulan (PA), > 5 % dari jaringan yang direseksi
T1c Tumor diidentifikasi dengan pemeriksaan biopsi jarum T2 Tumor terbatas di
prostat *
T2a Tumor mengenai setengah atau kurang dari satu lobus
T2b Tumor mengenai lebih setengah dari satu lobus, tetapi tidak mengenai kedua
lobus
T2c Tumor mengenai kedua lobus T3 Tumor menembus kapsul **
T3a Ekstensi ekstrakapsuler (unilateral atau bilateral) T3b Tumor mengenai
vesicula seminalis

20
21

T4 Tumor terfiksasi atau mengenai struktur yang berdekatan, selain vesicula


seminalis, seperti leher kandung kemih, sfingter eksterna rektum dan atau dinding
pelvis.
Kelenjar Gatah Bening (KGB) regional (N)
Nx KGB regional tak dapat dinilai
N0 Tak ada penyebaran KGB regional N1 Terdapat penyebaran KGB regional

Metastasis Jauh (M)***


Mx Metastasis jauh tak dapat dinilai M0 Tak ada metastasis jauh
M1 Terdapat Metastasis jauh
M1a Metastasis KGB Non Regional M1b Metastasis ke tulang
M1c Metastasis ke organ lain Catatan :
* Tumor ditemukan pada satu atau dua lobus dengan biopsi jarum akan tetapi tidak
teraba atau terlihat dengan pencitraan yang ada diklasifikasikan sebagai T1c.
** Tumor yang menginvasi apeks prostat atau ke kapsul akan tetapi tidak menembus,
tidak diklasifikasikan sebagai T3 akan tetapi T2.
*** Bila lebih dari satu tempat metastasis, dikategorikan sebagai metastasis paling
tinggi stadiumnya; M1c adalah tingkatan tertinggi1.

Stadium (berdasarkan AJCC 2010)


Tabel 2.2 Stadium Kanker Prostat

Stadium T N M Kadar PSA Skor Gleason

Stadium I T1a-c N0 Mo PSA<10 ≤6


T2a N0 Mo PSA<10 ≤6
T1-2a N0 Mo PSA X X
Stadium IIA T1a-c N0 Mo PSA <20 7
T1a-c N0 Mo PSA ≥10 < ≤6
20
T2a N0 Mo PSA <20 ≤7
T2b N0 Mo PSA <20 ≤7
Stadium IIB T2c N0 Mo Semua PSA Semua Skor
T1-2 N0 Mo PSA ≥20 Semua Skor
T1-2 N0 Mo Semua PSA ≥8

21
22

Stadium III T3a-b N0 Mo Semua PSA Semua Skor


Stadium IV T4 N0 Mo Semua PSA Semua Skor
Tiap T N1 Mo Semua PSA Semua Skor
Tiap T Tiap N M1 Semua PSA Semua Skor

Stadium T
Penentuan stadium klinis T dapat ditentukan dengan colok dubur. Bila diperlukan
dapat dilakukan pemeriksaan CT/MRI.
Stadium N
Penentuan stadium N hanya dikerjakan bila akan berpengaruh terhadap keputusan
terapi. Hal ini biasanya pada kasus penderita yang direncanakan terapi kuratif. Cara
terbaik untuk menentukan stadium N adalah dengan limfadenektomi, teknik yang
digunakan adalah operasi terbuka ataupun laparoskopik.
Stadium M
Metode sidik tulang paling sensitif untuk mendiagnosis metastasis tulang, bila tidak
ada fasilitas pemerikaan tsb dapat dicari dengan penilaian klinis, CT Scan, alkali
fosfatase serum dan bone survey. Peningkatan kadar alkali fosfatase mengindikasikan
adanya metastasis tulang pada 70% penderita. Pengukuran alkali fosfatase dan PSA
secara bersamaan akan meningkatkan efektivitas penilaian klinis sebesar 98%. Selain
ke tulang, kanker prostat dapat bermetastasis ke organ lain umumnya ke KGB jauh,
paru-paru, hepar, otak dan kulit. Pemeriksaan fisik, foto thoraks, ultrasonografi, CT
dan MRI adalah metode yang digunakan, terutama bila gejala menunjukkan adanya
kemungkinan metastasis ke jaringan lunak. Pemeriksaan sidik tulang tidak perlu pada
penderita asimptomatik, PSA kurang dari 20 ng/mL dan berdiferensiasi baik atau
moderat (IAUI, 2011).

Tabel 2.3 Kelompok grup berisiko rekurensi pada kanker prostat lokal dan lokal parah (EAU)
(Mottet et al., 2016).

2.8 Penatalaksanaan

22
23

Pengobatan kanker prostat ditentukan berdasarkan beberapa faktor yaitu


grading tumor, staging, ko-morbiditas, preferensi penderita, usia harapan hidup saat
diagnosis. Mengingat data untuk menentukkan usia harapan hidup saat diagnosis
belum ada di Indonesia, maka digunakan batasan usia sebagai salah satu parameter
untuk menentukan pilihan terapi (Kemenkes RI, 2015).

2.8.1 Penatalaksanaan kanker terlokalisir atau locally advanced.


Tabel 2. 4 Penatalaksanaan kanker terlokalisir atau locally advanced.

USIA
RESIKO ≤ 70 Tahun 71-80 Tahun >80 Tahun
Rendah: 1. Prostatektomi 1. Monitoring aktif 1. Monitoring aktif
T: 1a atau 1c dan radikal 2. EBRT atau
Gleason:2-5 dan 2. EBRT atau Brakhiterapi
PSA: <10 dan Brakhiterapi permanen
Temuan biopsi: permanen 3.Terapi
Unilateral <50% 3. Monitoring aktif investigasional
4. Terapi
investigasional
Sedang: 1. Prostatektomi 1.EBRT, 1. Monitoring aktif
T: 1b, 2a atau radikal Brakhiterapi 2. EBRT,
Gleason: 6, atau 2. EBRT, permanen Brakhiterapi
3+4 atau Brakhiterapi atau kombinasi permanen atau
PSA: < 10 atau permanen atau 2.Prostatektomi kombinasi
Temuan biopsi: kombinasi radikal 3. T e r a p i
Bilateral, <50% 3. Terapi 3.Terapi investigasional
investigasional investigasional
Tinggi: 1. EBRT+ terapi 1. EBRT+terapi 1. Terapi hormonal
T: 2b, 3a, 3b atau hormonal (2-3 thn) hormonal (2-3 thn) 2. E B R T + t e r a
Gleason: ≥ 4+3 2. Prostatektomi 2. Terapi hormonal pi
atau radikal 3. Prostatektomi hormonal
PSA: 10-20 atau + diseksi KGB pelvis radikal + diseksi 3. T e r a p i
Temuan biopsi: > 3. Terapi KGB pelvis investigasional
50% perineural, investigasional 4. Terapi
Duktal 4. Terapi hormonal investigasional
Sangat tinggi: 1. EBRT+ terapi 1. Terapi hormonal 1. Terapi hormonal
T: 4 atau hormonal 2. E B R T + t e r a 2. EBRT+ terapi
Gleason: ≥ 8, 2. Terapi hormonal pi hormonal
atau 3. Prostatektomi hormonal 3. Terapi
PSA: > 20, atau radikal 3. Prostatektomi investigasional
Temuan biopsi: + diseksi KGB pelvis radikal
limfovaskuler, 4. Terapi sistemik + diseksi KGB
neuroendokrin +terapi hormonal pelvis
5. Terapi multimodal 4. Sistemik terapi
Investigasional non
hormonal
(kemoterapi)
Sumber : Kemenkes RI , 2015

23
24

Keterangan :
1. Monitoring aktif dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki gejala. Juga tidak
direkomendasikan pada pasien dengan risiko sedang dan tinggi dengan usia ≤ 70
tahun.
2. Diseksi KGB pelvis tidak dilakukan bila probabilitas adanya keterlibatan kelenjar
(staging nomogram) < 3%.
3. Terdapat perubahan untuk rekomendasi radikal prostatektomi untuk pasien risiko
tinggi dan sangat tinggi sebagai bagian program terapi multimodalitas termasuk terapi
hormonal, radioterapi pasca operasi dan bila memungkinkan kemoterapi (Kemenkes
RI, 2015).

2.8.2 Penatalaksanaan kanker yang telah metastasis


Androgen Deprivation Therapy (ADT) merupakan baku emas terapi kanker
prostat lanjut setelah penemuan Huggins dan Hodges di tahun 1941. Terapi ini dapat
berupa kastrasi dengan obat atau pembedahan (orkhidektomi). Tingkat kastrasi yang
diinginkan adalah kadar testosteron < 20ng/dL. Pemberian LutenisingHormone
Releasing-Hormone (LHRH) agonis seharusnya disertai pemberian anti- androgen
untuk mencegah flare-up sedikitnya 14 hari. Bermacam-macam strategi yang
digunakan dalam penggunaan ADT ini, menurut jenis blokadenya dapat komplit
(Complete Androgen Blokade/CAB) LHRH agonis ditambah anti- androgen ataupun
tunggal (hanya LHRH agonis saja). Menurut lama waktu pemberian terbagi atas:
kontinyu dan intermiten. Menurut awal waktu pemberian: segera (immediate) atau
ditunda (deferred). Berdasarkan hasil studi review maupun meta-analisis keuntungan
blokade komplit (CAB) terhadap terapi tunggal hanya < 5%. Pemberian CAB jangka
panjang akan menginduksi terjadinya sel independen androgen, dalam jangka waktu
rata-rata 2 tahun. Oleh karena itu disarankan penghentian pemberian obat secara
berkala (intermiten) yang dibuktikan dari beberapa penelitian penting bahwa hasilnya
tidak berbeda. Pemberian ADT segera akan menurunkan progresi penyakit dan
komplikasi secara bermakna dibandingkan ditunda. Tetapi hal ini tidak meningkatkan
cancer- specific survival (IAUI, 2011) .

2.8.3 Kanker Prostat dengan Kastrasi dan Hormon Refrakter (Castration and
Hormone Refractory Prostate Cancer / CRPC-HRPC)

24
25

Timbulnya resistensi terhadap terapi hormonal merupakan isu yang penting


pada pemberian terapi hormonal. Mekanisme resistensi terhadap terapi hormonal
masih belum diketahui secara pasti. Kanker prostat saat ini memiliki sel-sel yang
bersifat heterogen (androgen dependen dan androgen independen). Berbagai istilah
yang berbeda telah digunakan untuk menggambarkan kanker prostat yang kambuh
setelah terapi ablasi hormonal awal, termasuk HRPC, androgen-independen kanker
dan hormon-independen kanker. CRPC dari HRPC harus dibedakan. CRPC masih
responsif terhadap terapi hormon lini kedua, termasuk penghentian anti-androgen,
estrogen dan kortikosteroid. Sedangkan HRPC adalah resisten terhadap semua
tindakan hormonal. Untuk menegakkan diagnosis kanker prostat refrakter hormon,
harus memenuhi memenuji kriteria : “Peningkatan PSA atau peningkatan lesi tulang
atau jaringan lunak walaupun sudah diberikan terapi hormonal sekunder dan
Antiandrogen withdrawal minimal 4 minggu dimana kadar testosteron serum telah
mencapai ambang kastrasi (< 20ng/dL)” (IAUI, 2011).

2.8.4 Kanker Prostat Metastasis dengan Resistensi Kastrasi (mCRPC)


mCRPC merupakan kanker prostat yang telah mengalami metastasis ke bagian-
bagian tubuh selain prostat dan terus berkembang dan menyebar kendati pengobatan
hormonal telah diberikan. Pada pasien dengan mCRPC, pengobatan tambahan
diperlukan untuk mengontrol pertumbuhan dan perkembangan kanker. Pengobatan-
pengobatan yang dimaksud adalah termasuk kemoterapi, targeted therapy dan terapi-
terapi lain (ASCO, 2014).
Penggunaan kemoterapi docetaxel dikatakan telah mampu meningkatkan overall
survival (OS) pasien dengan mCRPC, terutama apabila digunakan secara kombinasi
dengan androgen deprivation therapy (ADT). Dalam sebuah penelitian, didapatkan
hasil bahwa kelompok pasien yang tidak mendapat docetaxel dengan ADT awal
memiliki nilai PSA secara signifikan lebih tinggi (Thomson et al., 2019).
Perkembangan penelitian terkait obat-obatan mCRPC baru-baru ini memberikan
lima modalitas terapi berbeda untuk laki-laki dengan mCRPC selain docetaxel. Semua
agen termasuk inhibitor sintesis androgen inhibitor (abiraterone), AR inhibitor
(enzalutamide), kemoterapi (cabazitaxel), imunoterapi (sipuleucel-T), dan
radionuklida (radium-223) telah menunjukkan dampak signifikan pada kelangsungan
hidup pasien-pasien dengan kondisi ini. Meskipun terdapat perkembangan modalitas

25
26

terapi, mCRPC masih tidak dapat disembuhkan. Lebih jauh, apabila tidak didapatkan
respons terapi setelah dilakukan pengobatan maka pasien dapat menjalani pengobatan
kronis. Terapi non-medikamentosa dapat diterapkan pada pasien untuk
memperpanjang kelangsungan hidup seperti terapi paliatif, meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup dan mencegah komplikasi (Nuhn et al., 2018).

2.8.5 Penatalaksanaan Kemoterapi (Cytotoxic Therapy)


1. Pada penderita yang hanya mengalami peningkatan PSA, maka 2 kali peningkatan
PSA berturut-turut di atas batas kadar nadir yang sebelumnya harus diketahui.
2. Sebelum pengobatan, kadar PSA serum harus di atas > 5 ng/mL untuk memastikan
interpretasi efek pengobatan secara pasti.
3. Keuntungan dan efek samping pengobatan sitotoksik harus didiskusikan dengan
setiap individu penderita.
4. Pada penderita dengen metastasis HRPC, dan kandidat untuk terapi sitotoksik,
docetaxel 75 mg/m2 + Prednison 3x 10mg/hari dengan interval 3 minggu sampai 6
siklus. Terapi ini memberikan keuntungan survival yang bermakna (IAUI, 2011).

2.9 Monitoring terapi


Pemantauan pasca terapi kanker prostat perlu dilakukan sebagai bagian dari
penatalaksanaan penderita yang baik dan bertanggung jawab. Pemantauan yang
dilakukan harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing penderita.
Secara umum, pemantauan penderita Kanker prostat dapat dibagi menjadi
pemantauan setelah terapi kuratif dan pemantauan setelah terapi hormonal. Terapi
kuratif meliputi operasi prostatektomi radikal atau radioterapi, baik external beam
radiotheraphy (EBRT) atau Brakiterapi permanen, atau kombinasi keduanya. Terapi
hormonal diberikan pada penderita dengan metastasis atau stadium lanjut lokal
(locally advanced). Kegagalan biokimia pada penderita tersebut seringkali
berhubungan dengan progresi simtomatis yang cepat. Oleh sebab itu, pemantauan
diperlukan untuk mendeteksi progresi secara dini (IAUI, 2011).

2.9.1 Pemantauan setelah terapi kuratif


Rekurensi dapat terjadi pada setiap saat setelah terapi kuratif. Oleh karena itu
tindakan pemantauan diperlukan mengingat beberapa hal berikut:

 Adanya kemungkinan terapi lini kedua dengan tujuan kuratif jika terjadi

26
27

kegagalan terapi lini pertama.

 Adanya kemungkinan terapi hormonal dini. Pemeriksaan yang secara rutin


digunakan untuk mendeteksi progresi atau residual Kanker prostat adalah pemeriksaan
fisik (termasuk colok dubur) dan kadar PSA. Anamnesis spesifik juga perlu dilakukan,
meliputi aspek psikologis, tanda-tanda progresi penyakit, dan komplikasi terkait terapi
(IAUI, 2011).

2.9.2 Pasca prostatektomi radikal


Progresi PSA didefinisikan sebagai peningkatan kadar PSA lebih dari 0.2 ng/ml
pada dua kali pengukuran berturut-turut. Pemantauan PSA direkomendasikan pada
bulan ke 3, 6, dan 12 pasca terapi, setiap 6 bulan sampai 3 tahun, dan selanjutnya
sekali setahun. Pemantauan yang dilakukan selain PSA adalah atas indikasi
seperti:colok dubur, TRUS biopsi, sidik tulang, CT/MRI (IAUI, 2011).

2.9.3 Pasca EBRT


Progresi PSA didefinisikan sebagai peningkatan kadar PSA sebesar 2 ng/ml di
atas kadar PSA nadir pasca terapi. Pemantauan PSA direkomendasikan pada bulan
ke 3, 6, dan 12 pasca terapi, setiap 6 bulan sampai 3 tahun, dan selanjutnya sekali
Setahun (IAUI, 2011) .

2.10. 4 Pemantauan setelah terapi hormonal


Tujuan pemantauan pasca terapi hormonal adalah untuk memantau respons
terapi, menjamin compliance terapi, mendeteksi komplikasi terapi hormonal,
menentukan modalitas terapi paliatif sesuai pasca gagal terapi hormonal. Waktu
pemantauan minimal 3-6 bulan sekali. Hal-hal yang perlu dipantau selama terapi
hormonal adalah:
a. Pemantauan kadar kreatinin, hemoglobin, dan fungsi hati
b. Kadar testosteron serum
c. Pemantauan komplikasi metabolic
d. Sidik tulang, ultrasonografi dan foto thoraks
e. Bone Mass Density (IAUI, 2011).

2.11 Terapi Paliatif

27
28

Terapi paliatif merupakan terapi aktif terhadap penderita stadium lanjut yang
sudah tidak memberi respon terhadap terapi kuratif. Terapi ini bersifat holistik,
mengontrol gejala yang timbul baik itu secara fisik, psikologis, sosial, spiritual dan
melibatkan keluarga terdekat penderita.
1. Kontrol nyeri
Pada penderita Kanker prostat lanjut nyeri akan dirasakan terutama di daerah
tulang yang termetastasis, pelvis. Terapi yang dapat digunakan: bifosfonat (asam
Zoledronat), analgetik (parasetamol sampai opioid) dan radiasi lokal.
2. Obstruksi saluran kemih bawah dan atas
Obstruksi saluran kemih bawah dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal bila
tidak ditangani. Pada kasus tertentu dapat dilakukan pemasangan kateter, sistostomi
maupun stent uretra. Tidak sedikit penderita dengan gangguan fungsi ginjal yang
disebabkan sumbatan ureter karena ekstensi kanker ke trigonum, pemasangan
nefrostomi perkutan dianjurkan.
3. Kompresi medulla spinalis
Sepuluh persen penderita HRPC mengalami kompresi medulla spinalis. Terapi
yang disarankan berupa stabilisasi tulang belakang baik bedah maupun non bedah,
pemberian kortikosteroid dan radiasi.
4. Limfedema
Limfedema dapat menimbulkan nyeri dan mudah terinfeksi. Edema penis dan skrotum
menyebabkan keterbatasan penderita untuk berdiri maupun berkemih. Edema pada
tungkai bawah dapat diterapi dengan drainase manual (tungkai ditinggikan),
pemasangan balutan elastic (IAUI, 2011).

2.12 Pencegahan
Pencegahan Kanker Prostat merupakan suatu langkah yang dianjurkan kepada
setiap pria yang akan sangat membantu mengurangi gejala-gejala Kanker Prostat,
diantaranya adalah :
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yang merupakan pencegahan yang dilakukan pada orang
sehat yang memiliki faktor resiko untuk terkena Kanker Prostat. Menurut Physicians
Commitee for Responsible Medicine (PCRM) 2012, Kanker prostat tanpak meningkat

28
29

diseluruh dunia yang disebabkan sebagian oleh kebiasaan makan Barat. Asupan
daging dan susu yang meningkat dan pola makan tinggi makanan olahan dan rendah
serat telah dikaitkan dengan meningkatnya resiko kanker prostat. Menurut Purnomo
(2012), Beberapa hal yang harus dilakukan untuk mencegah terjadiya kanker prostat
adalah sebagai berikut:
o Mengkonsumsi makanan yang mengandung Vitamin A, beta karoten, isoflavom,
vitoestrogen yang terdapat kedelai, likofen (anti oksidan karotenoit yang banyak
terdapat pada tomat), selenium ( terdapat ikan laut, daging, biji-bijian), Vitamin E
serta tinggi serat.
o Menghindari makanan yang berlemak tinggi.
o Menghindari konsumsi daging yang berlebihan
o Membatasi makanan yang diawetkan atau yang mengangung penyedap rasa
o Menghindari paparan bahan kimia kadmium (Cd) yang banyak terdapat pada alat
listrik dan baterai.
2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan untuk melakukan deteksi dini, diagnosa dan


pengobatan terhadap penderita kanker prostat dengan tujuan mengurangi akibat-akibat
yang lebih serius.

3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi yang
berlanjut, dan memberikan penaganan yang tepat pada pasien Kanker Prostat.
Menurut Jong (2005), Hal-hal yang harus dilakukan pada pasien setelah pulang dari
rumah sakit baik pasien dalam keadaan sembuh atau dalam proses penyembuhan
adalah :
a. Penyinaran
Pada penderita kanker prostat biasanya diberikan penyinaran eksternal yang
konvensional atau teleradioterapi. Dosis total dibagi atas ≥ 30 fraksi dan berlangsung
enam minggu. Efek samping terjadi karena rangsangan terhadap selaput lendir, jadi
menimbulkan keluhan menyangkut kandung kemih dan usus. Dalam jangka panjang
impotensi termasuk penyulit (30% dari kasus).

b. Paliatif
Terapi kuratif tidak mungkin di lakukan pada sebagian besar penderita kanker

29
30

prostat karna perluasan prosesnya atau keadaan umum penderita.Terapi paliatif


merupakan kemungkinan terbaik untuk mengatasi keluhan berkemih, lewat uretra
dilakukan prostatektomi dari dalam melalui uretra dengan jerat endoskop (TUR=Trans
Uretra Reseksi) agar di peroleh jalan yang bebas dan memudahkan penderita
berkemih.
c. Terapi Hormonal
Pada banyak kasus, terapi hormonal digunakan secara jangka panjang .
Tujuannya adalah mengaruhi hormon laki-laki, sehingga tumor primer dan
metastasisnya mencapai remisi untuk waktu lama. Menurut Purnomo (2012), ada
beberapa teori konsep pemberian terapi hormonal, yaitu :
1. Konsep Hugins, “Sel epitel prostat akan mengalami atrofi jika sumber
androgen ditiadakan”. Sumber androgen ditiadakan dengan cara pembedahan
atau dengan medikamentosa.
2. Konsep Labrie, menghilangkan sumber androgen yang hanya berasal dari
testis belum cukup, karena masih ada sumber androgen dari kelenjar
suprarenal yaitu sebesar ± 10% dari seluruh testoteron yang ada di dalam
tubuh. Sehingga labrie menganjurkan untuk melakukan blockade androgen
total.

2.12 Prognosis
Kanker prostat memiliki angka harapan hidup yang baik. Angka harapan hidup
keseluruhan 5-tahun , 10 tahun, dan 15 tahun secara berturut adalah 100%, 98%, dan
95% (Kemenkes, 2011).

30
BAB. III
PENUTUP

Kanker prostat merupakan keganasan tersering kedua pada laki-laki. Insidensi


kanker prostat meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Penegakan diagnosis
kanker prostat didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik (colok dubur),
pemeriksaan penunjang (PSA serum, ultrasonografi, transrektal/ transabdominal).
Diagnosa pasti didapatkan dari hasil biopsi prostat atau spesimen operasi berupa
adenokanker. Penegakan diagnosis serta tatalaksana lebih awal akan memiliki
prognosis yang lebih baik.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Andreas, M. I., Alvarino, dan N. Hilbertina. 2017. Gambaran karsinoma prostat di


RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2010-2013. Jurnal Kesehatan Andalas. 6(2):
305-310.

2. American Society of Clinical Oncology (ASCO). 2014. Treatment of Metastatic


Castration-Resistant Prostate Cancer. Tersedia di https://www.cancer.net/research-
and-advocacy/asco-care-and-treatment-recommendations-patients/treatment-
metastatic-castration-resistant-prostate-cancer. Diakses 20 November 2019.

3. Bray, F., Ferlay, J. Soerjomataram I., Siegel, R.L., Torre, L.A., dan Jernal, A. 2018.
Global cancer statistics 2018: GLOBOCAN estimates of incidence and mortality
worldwide for 36 cancers in 185 countries. CA Cancer J Clin. 68(6):394 – 424.

4. Carter H.B, et al. 2013. Early detection of prostate cancer: AUA guideline. The
Journal of Urology. 190(2): 419–426.

5. Eroschenko, Viktor P. 2014. Atlas Histologi DiFiore dengan Korelasi Fungsional


Edisi 11. Jakarta : EGC.

6. Ferlay, J. E. M., Lam, F., Colombet, M., Mery, L., Pineros, M., Znaor, A.,
Soerjomataram, I., et al. 2019. Global cancer observatory: cancer today. Lyon,
France: International Agency for Research on Cancer. Available from:
https://gco.iarc.fr/today, diakses 20 November 2019. [Internet].

7. Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta :
EGC.

8. Ikatan Ahli Urologi Indonesia. 2011. Panduan Penatalaksanaan Kanker Prostat.


Bandung : IAUI.

9. Kaaks, R., dan Stattin, P. 2010. Obesity, endogenous hormone metabolism, and
prostate cancer risk: a conundrum of "highs" and "lows". Cancer Prev Res (Phila)
2010;3(3):259–262.

10. Kemenkes. 2011. Panduan penatalaksanaan kanker prostat. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi.

11. Kemenkes. 2013. Situasi Penyakit Kanker. Jakarta: Pusat Data dan Informasi.
12. Kumar, V., Abbas, A.K. dan Aster, J.C. 2015. Robbins and Cotran Pathologic Basis
of Disease 9th edition. Elsevier Saunders, Canada.

13. Mansjoer, Arief. 2010. Kapita Selekta Kedokteran edisi 4. Jakarta: Media
Aesculapius.

14. McAnich, JW dan Lue, TF. 2013. Smith & Tanagho’s General Urology Eighteenth
Edition. California: The McGraw-Hill Companies. (23): 348-355.

32
15. Mcbride, R. B. 2012. Obesity and aggressive prostate cancer bias and biomarkers.
Columbia University.

16. McClure, T., Basourakos, S. P., Sandhu, J. S., dan Schlegel, P. N., Colt, J.J. 2018.
Prostate Cancer dalam Encyclopedia of Endocrine Diseases. Editor : Martini, L. New
York: Elsevier halaman 125–130.

17. Merriel, S. W. D., Funston, G. Hamilton, W. 2018. Prostate Cancer in Primary Care.
Adv Ther. 35:1285–1294.

18. Mescher, A.L. 2013. Junqueira’s Basic Histology 13th edition. McGrawHill Lange:
New York.

19. Nurdin, Ardy Armin. 2017. Penatalaksaan kanker prostat. Alami Journal. 1(1): 1-6.

20. Panigrahi, G. K., Praharaj, P. P., Kittaka, H., Mridha, A. R., Black, O. M., Singh, R.,
Mercer, R. et al. 2019. Exosome proteomic analyses identify inflammatory
phenotype and novel biomarkers in African American prostate cancer patients.
Cancer Med.

21. Nuhn, P., Johann S., Karim, F., Stephen, J. F., Maurizio, G., Philip, W. K., Guru S.,
Cora, N. S., Srinivasan, Y., dan Emmanuel, S. 2018. Update on systemic prostate
cancer therapies: management of metastatic castration-resistant prostate cancer in the
era of precision oncology. European Urology. 75: 88-89.

22. Purnomo, B. 2012. Dasar-Dasar Urologi Edisi Ketiga. Jakarta : Sagung Seto.

23. Rawla, P. 2019. Epidemiology of Prostate Cancer. World J Oncol. 10(2):63- 89.

24. Rizos, C., Papassava, M., Golias, C., dan Charalabopoulos, K. 2010.Alcohol
consumption and prostate cancer: a mini review. Exp Oncol. 32(2):66–70.

25. Safriadi, F. 2013. Prostatektomi radikal: morbiditas dan mortalitas di RSUP dr.
Hasan Sadikin Bandung. Indonesian Journal of Cancer. 7(1):23-8.

26. Sherwood, L. 2015. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 9. Jakarta: EGC.
27. Tanagho, E.A. & McAninch, J.W. 2008. Smith’s General Urology 17th edition.
McGrawHill Lange: New York.

28. Thomson, A., Pollard, A., dan Mark, F. M. 2019. Timing of docetaxel chemotherapy
and impact on outcomes in metastatic castrate-resistant prostate cancer (MCPRC).
Journal of Clinical Oncology. 37: 298.

29. Tortora, G.J. dan Derrickson, B. 2012. Principles of Anatomy & Phisiology 13th
edition. John Wiley & Sons, USA.

30. Umbas, R., Hardjowijoto, S., Mochtar, C. A., Safriadi, F., Djatisoesanto, W.,
Soedarso MA, et al. 2011. Panduan penatalaksanaan kanker prostat 2011. Jakarta:
Ikatan Ahli Urologi Indonesia.

33
31. Wein, Kavoussi, Novick, Partin, Peters. 2011. Campbell-Walsh Urology Tenth Ed
Philadephia: Saunders-Elsevier.

34

Anda mungkin juga menyukai