Anda di halaman 1dari 58

RESUME SKENARIO 2

BLOK 16

Oleh:

Tutorial A
Rizki Wardatul M.S 122010101005
Retno Arun 122010101008
Krisnha Dian A 122010101022
Ayu Dwi M 122010101032
Raditya Rangga P 122010101033
Davina Amalia 122010101042
Rizka Kartikasari 122010101063
Ivan Kristantya 122010101064
Henggar Allest 122010101080
Habibur R.S 122010101082
Diastri Nur S.D 122010101088
Maulidah Ayuingtyas 122010101089
Dear Farah Silma 122010101092
Yessie Elin S 122010101094
Putri Erlinda 1220010101098

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JEMBER
2015
Skenario 2 : Trauma Ektremitas dan Tulang Belakang

Seorang penngendara motor, laki-laki, berusia 38 tahun dibawa ke UGD setelah


terserempet truk. Penderita mengeluh nyeri hebat pada lutut kiri dan tidak bisa digerakkan,
selain itu lengan kirinya luka dan terasa nyeri. Penderita juga mengeluhkan punggungnya
terasa nyeri. Pada pemeriksaan didapatkan vital sign normal, edema pada genu sinistra, dan
luka, fragmen tulang terlihat pada regio antebrachii sinistra, ada jejas pada punggung, hasil
pemeriksaan neurovaskuler dan pemeriksaan cervical normal. Setelah diberikan pertolongan
pertama pada kaki dan tangan penderita tersebut, dokter segera melakukan pemeriksaan
pnunjang lainnya
Fraktur dan Dislokasi

Anatomi Histologi Fisiologi Rehabilitasi


Ekstremitas Tulang Penyembuha Patologi
n Fraktur Medis
Fraktur
terbuka

Fraktur
tertutup

Fraktur
patologis

Fraktur
vertebrae

Fraktur
patella

Fraktur
clavicula

Fraktur
antebrachii

Dislokasi
sendi bahu

Trauma
Sendi
I. Anatomi Ekstremitas Superior dan Inferior
A. Ekstremitas Superior

Ossa ekstremitas superioris adalah tulang yang menyusun anggota gerak bagian atas.
Berdasarkan lokasi, maka ossa ekstremitatis superioris bersama ossa ekstremitatis
inferioris termasuk skeleton appendiculare. Ossa ekstremitatis superioris
dikelompokkan jadi 2 bagian:

1. Cingulum ekstremitatis superioris


2. Osaa ekstremitatis supeiroris liberii

Cingulum ekstremitatis superioris

- Menghubungkan truncus dengan ossa ekstremitatis superioris liberii


- Dibentuk oleh os clavicula dan os scapula
- Clavicula dextra dan sinistra berhubungan di anterior dengan perantaraan manubrium
streni. Di posterior dengan scapula tapi tidak langsung ke columna vertebralis, yaitu
lewat musculi. Di lateral dextra dan sinistra dengan humerus
a. Clavicula
- Artikulasi:
o Medial  dengan manubrium sterni
o Lateral  dengan acromion
- Dibagi jadi:
1. Corpus clavicula
2. 2 ekstremitas:
a. Ekstremitas sternalis  medial  dengan facies articularis sternalis
b. Ekstremitas acromialis  lateral  dengan facies articularis acromialis
pada acromion
- Di permukaan caudal  di lateral  tuberositas conoideum. Ada foramen nutricium.
Di medial tuberositas costalis

b. Scapula
- Ada 2 permukaan:
o Facies costalis (ventralis) : ada fossa subscapularis dan linea muscularis
o Facies dorsalis : ada fossa supraspinata & fossa infraspinata  dipisahkan
spina scapulae (mulai dari margo medialis  ke lateral  jadi facies
articularis acromialis)
- Ada 3 sisi: margo medialis, margo lateralis, dan margo superior
- Ada 3 sudut:
o Margo medialis + margo superior = angulus medialis
o Margo medialis + margo lateralis = angulus inferior
o Margo superior + margo lateralis = angulus lateralis (ditempati oleh collum
scapulae)

# margo superior  ke lateral  jadi incisura scapulae  berlanjut menjadi proc.


coracoideus
Ossa ekstremitatis superioris liberii

- Terdiri dari: humerus, radius, ulna, dan os manus (yang terdiri dari: ossa carpi, ossa
metacarpi, phalanges digitorum manus)
a. Humerus
- Artikulasi: proximal  scapula, distal  radius dan ulna
- Dibagi jadi 3: ekstremitas proximalis et distalis, humeri, dan corpus humeri
1. Ekstremitas proximalis humeri
o Caput humerus  artikulasi ke cavitas glenoidalis
o Dengan struktur di distal, dipisahkan  oleh collum anatomicum
o Tuberculum majus  ke lateral distal  jadi crista tuberculi majoris
o Tuberculum minus  ke anterior  crista tuberculi minoris
o Diantara 2 tuberculum ada sulcus intertubercularis
2. Corpus humeri
o Punya 3 facies, yaitu: facies anterior medialis, facies anterior lateralis, dan
facies posterior
o Facies ante medialis + facies posterior = margo medialis  ke distal  jadi
crista supracondylaris medialis
o Facies ante lateralis + facies poste  margo lateralis  ke distal  berlanjut
jadi crista supracondylaris lateralis
3. Ekstremitas distalis humeri
o Crista supracondylaris medialis  berlanjut jadi epicondylus medialis
o Crista supracondylaris lateralis  berlanjut jadi epicondylus lateralis
 Diantara 2 epicondylus,ada
o Trochlea humeri (di medial)  berartikulasi dengan
ulna. Di proximalnya ada 2 lekukan, ante  fossa
coronoidea; poste  fossa olecrani
o Capitulum humeri (di lateral)  berartikulasi dengan
radius. Di proximal bagian anterior  fossa radialis
b. Radius
- Terletak pada antebrachium, di lateral ulna (pada sisi ibu jari). Di proximal  dengan
humerus dan ulna. Di distal  dengan carpus dan ulna
1. Ekstremitas proximalis radii
o Ada caput radii  bentuk seperti kancing, bulat. Permukaan proximalnya ada
fovea articularis radii dan disekelilingnya dilapisi circumferential articularis
radii yang akan berartikulasi dengan incisura radialis ulna
o Di distal caput  ada collum radii
2. Corpus radii  ada 3 facies dan 3 margo
o Di bagian proximal ada tuberositas radii. Yang sejajar dengan tuberositas radii
yaitu facies anterior  di facies ante ada foramen nutricium
o Facies lateralis  sejajar proc. Styloideus (distal radii)
o Facies ante + facies poste = margo interosseus
o Facies ante + facies lateral = margo anterior
o Facies lateral + facies poste = margo posterior
3. Ekstremitas distalis radii
o Di bagian anterior  agak halus dan cekung
o Di medial (ulna)  incisura ulnaris yang akan berartikulasi dengan ulna
o Di distal  ada facies artikularis carpea  berartikulasi dengan carpus 
ujung radialnya ada proc. Styloideus

c. Ulna
- Terletak di medial radius pada sisi kelingking
- Di proximal berartikulasi dengan humerus dan radius
- Di distal berartikulasi dengan radius dan secara tidak langsung berartikulasi dengan
carpus
1. Ekstremitas proximalis ulnae
o Ujung proximal olecranon
o Tonjolan ke anterior  proc. Coronoideus
 Diantara keduanya ada incisura trochlearis
o Di lateral proc. Coronoideus  ada incisura radialis. Sedangkan di distalnya
 tuberositas ulnae
o Di lateral distalnya  ada crista musculi supinatorius
2. Corpus ulnae  3 facies, 3 margo
o Sejajar dengan proc. Coronoideus  yaitu facies anterior  ada foramen
nutricium
o Facies ante + facies poste = margo interosseus
o Facies ante + facies medial = margo anterior
o Facies poste + facies medial = margo posterior
 Facies posterior sejajar dengan crista musculi supinatoris
3. Ekstremitas distalis ulnae
o Ada caput ulnae
o Proc. Styloideus  ujungnya lancip, sama seperti pada radius
o Circumferential articularis  berartikulasi dengan incisura ulnaris radii
d. Ossa Carpi
- Dibagi menjadi 2 baris tulang:
1. Baris proximal:
o Os pisiforme
o Os triquetrum
o Os naviculare manus (scaphoideum)
o Os lunatum
2. Baris distal:
o Os multangulum majus = os trapezium
o Os multangulum minus = os trapezoideum
o Os capitum
o Os hamatum

e. Ossa metacarpi
- Terdiri dari 5 tulang panjang. Tia pos dinamai denga romai I – V
- Tiap antara os metacarpale akan membentuk spatial interossea metacarpi  diisi mm.
interossei
- Tiap os metacarpale akan dibagi menjadi bagian: basis (proximal), corpus, caput
(distal)
f. Phalanges digitorum manus
- Ada phalanx proximalis, phalanx media, dan phalanx distal (cirri: ada tuberositas
phalanges distalis)
II. Histologi Tulang

A. JARINGAN TULANG RAWAN


Merupakan jaringan penyangga yang termasuk di dalam bagian dari jaringan ikat ialah
jaringan penyangga. Terdiri atas :
a. Sel tulang rawan (kondrosit)
Berasal dari sel-sel mesenkim yang berdiferensiasi menjadi sel kondroblast yang
kemudian akan berubah menjadi sel kondrosit. Sel kondrosit bentuknya mirip seperti
sel fibroblast dan keberadaanya hanya sementara. Sel kondrosit makin ke tengah
makin besar karena makin dewasa dan dia memproduksi matriks tulang rawan.
Sitoplasma basofil karena banyak mengandung organel ribosom. Kondrosit terletak di
dalam lacuna. Bila di dalam suatu lacuna mengandung terdapat lebih dari satu
kondrosit, membentuk kelompok yang disebut cell nest.
b. Bahan antar sel (matrix tulang rawan)
Terdiri atas :
 Bahan antar sel berbentuk : Sabut kolagen dan Sabut elastic
 Bahan antar sel amorf :
B.A.S amorf bersifat basofil bila diwarnai dengan H.E. karena mengandung
proteoglikans (terutama kondroitin sulfat, kretinin sulfat, dan as. hyalorunat).
Daerah yang mengelilingi lacuna tampak sangat basofil karena banyak
mengandung lebih banyak kondroitin sulfat. Daerah ini disebut tudung sel tulang
rawan. B.A.S. amorf bersifat metakromasi bila dicat dengan toulodine Blue, juga
sangat positif terhadap P.A.S karena banyak mengandung karbohidrat.

Perikondrium
Ialah jaringan ikat yang membungkus tulang rawan. Tidak terdapat pada tulang rawan
persendian dan tulang rawan bersabut.
Terdiri atas :
a. Lapisan Fibrous  lapisan terluar terdiri atas jaringan ikat padat.
b. Lapisan Kondrogenik
Adalah lapisan dalam yang terdiri dari jaringan ikat yang lebih kendor, mengandung
sel-sel yang bersifat kondrogenik (dapat berdiferensiasi menjadi sel kondroblast yang
kemudian menjadi sel kondrosit)

Nutrisi
Vaskularisasi pada matriks tidak ada, kecuali pada tulang rawan yang mengalami proses
osifikasi. Makanan diperoleh melalui difusi, diambil dari kapiler yang terdapat dalam
perikondrium.

Pertumbuhan Tulang Rawan


– Pertumbuhan endogenous/interstitial
Proses di bagian tengah tulang rawan.
Kondrosit mitosis  terbentuk cell nest  kondrosit memproduksi matriks  terpisah
– Pertumbuhan exogenous/aposisi
Proses di bagian tepi tulang rawan.
Sel-sel lap. kondrogenik berdiferensiasi mjd kondrosit  memproduksi matriks 
pertumb. lapis demi lapis.
– Pertumbuhan retrogresi
Proses penuaan  proteoglikans sedikit  matriks kurang basofil  terjadi kalsifikasi
 nutrisi terganggu & kondrosit banyak yang mati  diresorbsi  tulang rawan keras
& rapuh.

Jenis jaringan tulang rawan:


1. Jar. tulang rawan hyalin
Indeks bias BASB yang tersusun atas sabut-sabut kolagen halus = BASA  matriks
tampak homogen
Contoh : tulang rawan persendian, ujung-ujung tulang kosta, ujung hidung
2. Jar. tulang rawan elastis
BASB: banyak sabut elastis arah tidak teratur, sedikit sabut kolagen
Contoh : tulang rawan daun telinga, epiglotis
3. Jar. tulang rawan bersabut/fibrous
BASB: banyak sabut2 kolagen, tersusun sejajar, kondrosit pipih, terjepit diantara sabut2
kolagen, perikondrium (-)
Contoh: diskus intervertebralis, Tulang rawan fibrous penghubung 2 tulang simphisis

B. JARINGAN TULANG
Adalah jaringan penyangga yang merupakan bagian dari jaringan ikat. Terdiri atas :
1. Sel-sel tulang : osteoblas, osteosit, osteoklas
2. Bahan antar sel : matriks tulang

Osteoblast
 Berasal dari sel-sel mesenkim
 Berderet-deret secara epitelial di permukaan trabekula tulang muda
 Bentuk: kuboid s/d piramid
 Inti: besar, nukleolus tampak
 Sitoplasma: sangat basofil
 Memproduksi bahan organik matriks tulang Menghasilkan enzym alkaline fosfatase
yg berperan dalam proses kalsifikasi
 Mempunyai juluran sitoplasma, ke arah matriks & antar sel-sel osteoblast.
 Menghasilkan bahan organik matriks.

Osteosit
 Osteoblast yg terpendam dalam matriks tulang
 Inti: gelap
 Sitoplasma: basofil, banyak juluran-juluran sitoplasma masuk ke dalam kanalikuli
cadangan makanan, yaitu glikogen
 Letak: dalam lakuna.
Osteoklast (osteoclas)
 Sel raksasa berinti banyak, fusi beberapa monosit
 Sitoplasma: acidofil (enzym acid fosfatase), berbuih (banyak vacuola)
 Demineralisasi matriks  lekukan di permukaan tulang (= lakuna Howship)

Matriks Tulang
 Unsur organik 35%, tdd serat2 osteokolagen, diikat substansi semen
(glikosaminoglikans)
 Tampak acidofil krn kondroitin sulfat
 Unsur anorganik 65%, pd bag. semen tut kalsium fosfat & sedikit kalsium karbonat
 Tersusun atas lamel—lamel yang terjadi secara ritmik

Jenis Jaringan Tulang


 Jar. tulang muda = immature bone
- Terdiri dari trabekula yang diantaranya terdapat jaringan mesenkim yang
vaskuler.
- Disebut jaringan tulang teranyam karena sabut kolagen kasar
- Sistem havers belum terbentuk
- Periosteum terdiri atas dua lapis.
- Sel osteoblast banyak dan tersusun di permukaan trabekulae
- Sel osteosit terbenam dalam lacuna
- Sel osteoklast dalam lakuna Howship
 Jar. tulang dewasa = mature bone
o Sabut kolagen halus
o Terdiri dari lamel-lamel
o Sistem havers sudah terbentuk
o Osteoblas sedikit, osteosit banyak, osteoklast jarang
o Periosteum tipis
o Mempunyai ruang sumsum, berisi sumsum tulang
Sistem Havers
Terdiri atas :
 Saluran havers  berisi jaringan ikat kendor dan pembuluh darah
 Lamel havers  jumlah 5 – 20 lamel
 Lacuna  ruang yang di dalamnya berisi osteosit, terletak diantara lamel – lamel
havers
 Kanalikuli  sauran halus yang menghubungkan antar lacuna, antar lkuna dengan
saluran havers, dan antar lacuna dengan permukaan tulang.

Saluran volkman
Berjalan dari periosteum atau endosteum, masuk secara tegak lurus ke dalam tulang.
Mengandung pembuluh darah, behubungan dengan saluran havers.

Periosteum
Adalah jaringan ikat yang membungkus tulang, terdiri dari 2 lapis:
 Lapisan fibrous  mengandung banyak serabut kolagen
 Lapisan osteogenik  mengansung sel – sel yang bersifat osteogenik.

Endosteum
Lapisan jaringan ikat yang tipis dan melingkupi ruang sumsum. Memiliki kemampuan
osteogenik dan hemopoietik.
Sumber: histologi junquera

III. Fisiologi Penyembuhan Fraktur


a. Faktor lokal :
 Lokasi fraktur
 Jenis tulang yang fraktur
 Reposisi anatomis dan immobilisasi yang stabil
 Adanya kontak antar fragmen
 Ada tidaknya infeksi
 Tingkatan fraktur
b. Faktor Sistemik
 Keadaan umum pasien
 Umur
 Malnutrisi
 Penyakit sistemik

Proses Penyembuhan

Menurut histology klasik proses penyembuhan fraktur primer dan sekunder

A. Proses Penyembuhan Fraktur Secara Primer


Secara internal remodeling tidak ada hubungannya dengan callus, merupakan upaya
langsung oleh korteks untuk membangun kembali dirinya keika kontinuitas
terganggu. Fraktu dapat menyatu harus ada tulang yang masih menyatu dengan tulang
pada sisi lainnya untuk membangun kontinuitas mekanis. Internal remodeling dari
haversian system dan penyatuan tepi fragmen-fragmen faktor dari tulang yang patah.
Pada remodeling haversian terdapat 3 syarat :
1. Pelaksanaan reduksi yang tepat
2. Fiksasi yang stabil
3. Eksistensi suplay darah yang cukup.

Penggunaan plate kompresi dinamis dalam model osteotomi terdapat penyembuhan


fraktur primer. Remodelling haversian aktif terlihat pada minggu ke 4 setelah di
fiksasi.

B. Proses Penyembuhan Secara Fraktur Sekunder


Proses penyembuhan ini meliputi repon dalam periosteum dan jaringan-jaringan lunak
eksternal.
1. Fase Inflamasi
Pada fase ini, pasien meraakan nyeri yang hebat. Terjadi perdarahn dalam jaringan
sehingga terjadi hematom di tempat tulang yang mengalami fraktur. Hematom ini
juga disebabkan karena robekan pembuluh darah dan merupakan faktor inflamasi.
Secara fisiologis, 1-2 mm ujung fragmen tulang akan mati karena kehilangan
suplai darah. Penanganan terbaik untuk pasien fraktur yaitu sebelum 8 jam.
Inflamasi yang terjadi di daerah fraktur menginduksi ekspresi gen dan
memposisikan pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur untuk memulai
penyembuhan. Produksi atau pelepasan dari fakor pertumbuhan spesifik, dapat
membuat kondisi mikro yang sesuai untuk :
- Menstimulasi pembentukan periostal osteoblast dan osifikasi intramembran
pada tempat fraktur
- Menstimulasi pembelahan sel dan migrasi menuju tempat fraktur.
- Mentimulasi kondrosit untuk berdiferensiasi pada kalus lunak dengan diiringi
osifikasi endokondral.
2. Fase Proliferasi
Kurang lebih selama 5 hari hematom, terbentuk benang-benag fibrin dalam
gumpalan darah, membentuk jaringan untuk memvaskulasrisasi dan invasi
osteoblast dan fibroblast. Osteoblas dan fibroblast yang berkembang dari osteosit,
sel endotel dan sel periosteum ini menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai
matriks kolagen pada patahan tulang kemudian terbentuklah jaringan ikat fibrous
dan tulang rawan. Kalus dirangsang oleh gerakan-gerakan kecil yang minimal
pada tempat tulang yang fraktur. Gerakan yang berlebihan akan merusak struktur
kalus yang mulai terbentuk. Fase ini dimulai pada minggu ke 2-3 dan berakhir di
minggu ke 4.
3. Fase Pembentukan Kalus
Sel yang berproliferasi bersifat osteogenik dan kondrogenik yang akan menjadi
tulang rawan dan tulang. Pada fase ini, terdapat osteoclast untuk meresorbsi tulang
mati. Bentuk kalus dan volum kalus dibutuhkan untuk menghubungkan efek
secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang.
Perlu 3-4 minggu fragmen tulang bergabung dalam tulang rawan dan tulan
fibrous. Dari sini, seorang dokter dapat memutuskan kapan seorang pasien datang
kembali untuk check up dan foto rontgen untuk mengetahui apakah kalus sudah
terbentuk.
4. Fase Konsolidasi
Osteoklas dan osteoblas akan mengubah immature bone atau woven bone diubah
menjadi matur atau lamellar bone. Tulang menjadi lebih kuat ketika osteclas
menembus jaringan debris pada daerah fraktur dan osteoblas mengisi celah
diantara fragmen tulang baru. Butuh beberapa bulan sebelum tulng cukup kuat
untuk menerima beban normal.
5. Fase Remodelling
Fraktur telah dihubngkan dengan selubung tulang yang kuat dengan bentuk yang
berbeda dengan tulang nomal. Kemudian terjadi proses pembentukan dan
penyerapan tulang yang terus menerus sehingga lamella tebal akan terbentuk pada
sisi dengan tekanan yang meningkat. Rongga medulla terbentuk kembali dan
diameter tulang kembali ke ukuran semula. Akhirnya tulang akan kembali
mendekati ukuran semula, terutama pada anak-anak.

IV. Patologi
1. FRAKTUR TERBUKA
A. Definisi

Fraktur terbuka merupakan suatu fraktur dimana terjadi hubungan dengan


lingkungan luar melalui kulit sehingga terjadi kontaminasi bakteri sehingga timbul
komplikasi berupa infeksi. Luka pada kulit dapat berupa :

- tusukan tulang yang tajam keluar menembus kulit, atau


- dari luar oleh karena tertembus misalnya oleh peluru atau trauma langsung.
Fraktur terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan
yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. Selain mencegah infeksi juga
diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak. beberapa
hal yang penting untuk dilakukan dalam penanggulangan fraktur terbuka yaitu operasi
yang dilakukan dengan segera, secara hati-hati, debrideman yang berulang-ulang,
stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang dini serta pemberian
antibiotik yang adekuat.

B. Etiologi dan Patofisiologi


- Penyebab dari Fraktur terbuka adalah Trauma langsung: benturan pada tulang dan
mengakibatkan fraktur pada tempat itu Trauma tidak langsung: bilamana titik
tumpul benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.
- Sedangkan Hubungan dengan dunia luar dapat terjadi karena penyebab rudapaksa
merusak kulit, jaringan lunak dan tulang. Fragmen tulang merusak jaringan lunak
dan menembus kulit.
C. Klasifikasi Fraktur Terbuka

Klasifikasi yang dianut adalah menurut Gustilo, Merkow dan Templeman (1990)

a. TIPE 1

Luka kecil kurang dari 1cm panjangnya, biasanya karena luka tusukan dari fragmen
tulang yang menembus kulit. terdapat sedikit kerusakan jaringan dan tidak terdapat
tanda-tand trauma yang hebat pada jaringan lunak. Fraktur yang terjadi biasanya
bersifat simple, transversal, oblik pendek atau sedikit komunitif.

a. TIPE 2

Laserasi kulit melebihi 1cm tetapi tidak ada kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi
kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dari jaringan dengan sedikit kontaminasi
fraktur.

b. TIPE 3

Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak termasuk otot, kulit dan struktur
neurovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. tipe ini biasanya di sebabkan oleh
karena trauma dengan kecepatan tinggi. Tipe 3 di bagi dalam 3 subtipe:
- TIPE 3 a

Jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah walaupun terdapat laserasi
yang hebat ataupun adanya flap. fraktur bersifat segmental atau komunitif
yang hebat

- TIPE 3 b

Fraktur disertai dengan trauma yang hebat dengan kerusakan dan kehilangan
jaringan, terdapat pendorongan periost, tulang terbuka, kontaminasi yang
hebatserta fraktur komunitif yang hebat.

- TIPE 3 c

Fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan arteri yang memerlukan


perbaikan tanpa memperhatikan tingkat kerusakan jaringan lunak.

D. Diagnosis Fraktur Terbuka


a. Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik, fraktur), baik yang
hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk
menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena
fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada
daerah lain.
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
1. Syok, anemia atau perdarahan.
2. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang
atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen.
3. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis.
c. Pemeriksaan lokal
1. Inspeksi (Look)
- Bandingkan dengan bagian yang sehat
- Perhatikan posisi anggota gerak
- Keadaan umum penderita secara keseluruhan
- Ekspresi wajah karena nyeri
- Lidah kering atau basah
- Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur
tertutup atau fraktur terbuka
- Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
- Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organlain
- Perhatikan kondisi mental penderita
- Keadaan vaskularisasi
2. Palpasi (Feel)
- Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh
sangatnyeri.
- Temperatur setempat yang meningkat
- Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh
kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
- Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-
hati
- Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis,
arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang
terkena
- Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah
trauma , temperatur kulit
- Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk mengetahui adanya
perbedaan panjang tungkai
3. Pergerakan (Move)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara
aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma.
Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat
sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga
dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah
dan saraf.
4. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan
motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu neuropraksia, aksonotmesis
atau neurotmesis. Kelaianan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik
karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita
serta merupakan patokan untuk pengobatan selanjutnya.
5. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta
ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan jaringan lunak
selanjutnya, maka sebaliknya kita mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen
untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
E. Penatalaksanaan Fraktur Terbuka

Tahap-tahap pengobatan Fraktur Terbuka :

a. Pembersihan luka
Pembersihan luka dilakukan dengan cara irigasi dengan cairan NaCl fisiologis secara
mekanis untuk mengeluarkan benda asing yang melekat.
b. Eksisi jaringan yang mati dan tersangka mati (debridemen)
Semua jaringan yang kehilangan vaskularisasinya merupakan daerah tempat
pembenihan bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit, jaringan
subkutaneus, lemak, fascia, otot dan fragmen-fragemen yang lepas
c. Pengobatan fraktur itu sendiri
Fraktur dengan luka yang hebat memerlukan suatu fraksi skeletal atau reduksi terbuka
dengan fiksasi eksterna tulang. fraktur grade II dan III sebaiknya difiksasi dengan
fiksasi eksterna.
d. Penutupan kulit
Apabila fraktur terbuka diobati dalam waktu periode emas (6-7 jam mulai dari
terjadinya kecelakaan), maka sebaiknya kulit ditutup. Hal ini dilakukan apabila
penutupan membuat kulit sangat tegang. Dapat dilakukan split thickness skin-graft
serta pemasangan drainase isap untuk mencegah akumulasi darah dan serum pada
luka yang dalam. Luka dapat dibiarkan terbuka setelah beberapa hari tapi tidak lebih
dari 10 hari. kulit dapat ditutup kembali disebut delayed primary closure. Yang perlu
mendapat perhatian adalah penutupan kulit tidak dipaksakan yang mengakibatkan
sehingga kulit menjadi tegang.
e. Pemberian antibiotic
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi. Antibiotik diberikan dalam
dosis yang adekuat sebelum, pada saat dan sesuadah tindakan operasi
f. Pencegahan tetanus
Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan pencegahan tetanus. pada
penderita yang telah mendapat imunisasi aktif cukup dengan pemberian toksoid tapi
bagi yang belum, dapat diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia)
F. Komplikasi Fraktur Terbuka
a. Perdarahan, syok septik sampai kematian
b. Septikemi, toksemia oleh karena infeksi piogenik
c. Tetanus
d. Gangrene
e. Perdarahan sekunder
f. Osteomielitis kronik
g. Delayed union
h. Non union dan malunion
i. Kekakuan sendi
j. Komplikasi lain oleh karena perawatan yang lama
2. FRAKTUR TERTUTUP
A. Definisi
Fraktur tertutup adalah fraktur yang fragmen tulangnya tidak menembus kulit
sehingga tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar. (Sjamsuhidajat,1997)
B. Penyebab
1. Trauma Langsung
Benturan pada tulang yang menyebabkan fraktur pada area benturan.
2. Trauma Tidak Langsung
Fraktur tidak terjadi pada tempat benturan tapi di tempat lain oleh karena
kekuatan trauma diteruskan oleh sumbu tulang ke tempat lain.
3. Etiologi lain :
 Trauma tenaga fisik (tabrakan,benturan)
 Penyakit pada tulang (proses.degeneratif,kanker tulang)
 Degenerasi spontan
C. Patofisiologi
Trauma langsung dan tidak langsung serta faktor etiologi lain akan
menyebabkan terjadinya tekanan eksternal pada tulang. Tekanan ini lebih besar dari
kemampuan menahan yang dimiliki oleh tulang sehingga timbulah fraktur salah
satunya fraktur tertutup. Pada tulang yang mengalami fraktur tertutup akan terdapat
diskontinuitas tulang dan biasannya disertai cedera jaringan disekitarnya yaitu
ligament, otot, tendon, pembuluh darah dan syaraf. Diskontinuitas tulang juga dapat
mengakibatkan deformitas tulang.Dimana deformitas tulang dan juga cedera pada
ligament, otot, dan tendon akan memunculkan masalah Kerusakan Mobilitas
Fisik.Kerusakan atau cedera yang mengenai pembuluh darah sekitar akan
menimbulkan masalah Risiko terhadap Perubahan Perfusi Jaringan Perifer dan
PK(Potensial Komplikasi): Emboli Lemak.Dan kerusakan atau cedera yang terjadi
pada ligament, otot,dan tendon serta jaringan syaraf sekitar akan merangsang reseptor
nyeri sehingga dapat memunculkan masalah Nyeri Akut. Terjadinya fraktur tertutup
itu sendiri akan membawa perubahan pada status kesehatan klien yang mengakibatkan
masalah Ansietas.
D. Tanda Dan Gejala
 Deformitas
 Fungtiolaesia
 Nyeri tekan
 Nyeri bila digerakkan
 Bengkak akibat trauma jar lunak dan perdarahan
 Spasme otot
 Kadang ada krepitasi
E. Pemerikasaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan secara inspeksi, palpasi, dan penilaian gerakan sendi
baik aktif maupun pasif.Sbb :
 Inspeksi : kesakitan,cara berjalan,cara duduk dan cara tidur dan melihat kondisi
fisik spt : kulit (warna,tekstur kulit), jaringan lunak (pem.darah,otot, ligamen,
tendon) terhadap adanya bengkak,perdarahan,cekungan atau abnormalitas,warna
kemerahan atau kebiruan dan deformitas (kelainan bentuk).
 Palpasi : suhu kulit,denyut nadi (apakah teraba atau tidak teraba), spasme atau
atropi otot, nyeri tekan,pengukuran panjang tulang.
 Pergerakan : evaluasi gerakan sendi,stabilitas sendi,ROM
F. Pemeriksaan Penunjang
 Rontgen,CT Scan,MRI
 Anteragran/nanogram
 Lab : DL, Kreatinin
G. Kriteria Diagnostik
Diagnosis dapat ditegakan berdasarkan manifestasi klinis yang muncul dan
hasil pemeriksaan penunjang yang mendukung.
H. Penatalaksanaan Medis
a. REPOSISI : pengembalian fragmen tulang keposisi semula
 Reposisi tertutup : dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang
reposisinya dgn memanipulasi dan traksi manual.
 Reposisi terbuka : dilakukan dengan pendekatan bedah,fragmen tulang
direposisi.

b. IMOBILISASI : mempertahankan reposisi sampai tahap penyembuhan.


 Konservatif fiksasi eksterna : gips,bidai,traksi
 ORIF(Open Reduction Internal Fixation): pen,flat,screw
c. REHABILITASI : pemulihan kembali/pengembalian fungsi dan kekuatan normal
bagian yang terkena                            
3. FRAKTUR PATOLOGIS
A. Definisi
Fraktur patologis adalah fraktur yang terjadi pada tulang karena adanya
kelainan/penyakit yang menyebabkan kelemahan pada tulang. Fraktur patologis dapat
terjadi secara spontan atau akibat trauma ringan.
B. Klasifikasi penyebab fraktur patologis
a. Penyakit lokal pada tulang seperti infeksi (osteomielitis piogenik), tumor jinak
( kondroma, osteogenik sarkoma), lain-lain (kista tulang soliter).
b. Kelainan bersifat umum pada tulang seperti kelainan bawaan (osteogenesis
imperfekta), rarefraksi tulang yang bersifat umum (osteoporosis senilis), tumor yang
menyebar(mieloma multipel), dan lain lain (penyakit paget)
C. Diagnosis:
a. Anamnesis
Apabila ditemukan adanya fraktur secara spontan atau setelah suatu trauma ringan
maka harus dianggap sebagai suatu fraktur patologis sebelum dapat dibuktikan lain.
Pada lansia harus ditanyakan tentang riwayat penyakit atau operasi sebelumnya ada
penyakit tumor ganas atau setelah operasi gastrektomi yang menyebabkan
malabsorbsi.
b. Pemeriksaan
1. Lokal :adanya kelainan lokal berupa sinus yang infeksi, jaringan parut,
pembengkakan lokalisasi fraktur.
2. Umum : sangat enting dilakukan pemeriksaan umum adanya penyakit seperti
displasia kongenital, displasi fibrosa, paget dan lainnya.
c. Pemeriksaan radiologis
Pada foto polos harus diperhatikan bentuk kelainan apakah berbentuk kista,
erosi korteks, trabekulasi abnormal atau penebalan periostal. Perlu juga dilakukan
pemeriksaan pada daerah lain apabila dicurigai adanya metastasis atau mieloma.
d. Pemeriksaan laboratorium
- Darah : pemeriksaan darah lengkap seprti jumlah sel darah merah , laju endap
darah, elektroforesis protein, uji untuk sifilis serta penyakit tulang metabolik.
- Urin : pemeriksaan bence jones
- Biopsi tulang beberapa kelainan yang sangat kecil tidak perlu dilakukan biopsi
misal kista soliter, defek kortikal fibrosa, paget. Pada kelainan lain mungkin perlu
dilakukan biopsi baik bipsi tertutup atau biopsi terbuka dengan mengambil jaringan
pada waktu operasi untuk pemeriksaan patologis.
D. Pengobatan
Prinsip pengobatan sama dengan fraktur pada umumya yaitu terdiri atas reduksi,
pertahankan reduksi dan fisioterapi. Pemilihan metoda pengobatan disesuaikan
dengan kondisi tulang serta kelainan patologis yang ditemukan.
 Kelainan tulang yang bersifat umum misalnya penyakit paget, penyembuhan tulang
sangat mudah hanya dengan imobilisasi
 Kelainan jinak lokal tulang: misalnya kista soliter dapat sembuh spontan, sehingga
tidak diperlukan pengobatan khusus.
 Tumor ganas tulang primer: Bila terjadi fraktur pada kelainan ini, maka diperlukan
pemakaian bidai dan dipikirkan upaya stabilisasi tumor dengan fiksasi interna atau
mungkin diperlukan penggantian sebagian anggota gerak dengan fiksasi penggantian
berupa protesis.
 Tumor tumor metastasis: tumor metastasi dengan fraktur, penyembuhan sangat jelek
serta penderita biasanya mengeluh nyeri. Perlu dipertimbangkan fiksasi interna
sebagai pilihan untuk stabilisasi fraktur.
4. FRAKTUR VERTEBRAE
A. Etiologi

KLL, kecelakaan olahraga, kecelakaan industry, luka tusuk, luka tembak, kejatuhan
benda keras

B. Mekanisme
a. Flexi lateral  fraktur pada pedikel, for.vertebra, sendi faset
b. Fleksi + sedikit kompresi  +/- kerusakan ligamen posterior (+rusak  fraktur tidak
stabil & subluksasi)
c. Ekstensi & rotasi  terjadi pergerakan ke depan/dislokasi vertebra atas
d. Kompresi vertical  vertebra pecah
e. Hiperekstensi/retroflexi  ligamen anterior + diskus rusak/fraktur arkus neuralis
(sering pada : vertebrae servikal)
C. Diagnosis
- Cek neurologis
- Riwayat trauma
- Cek vertebra (dari servikal-lumbal)
- Pemeriksaan fisik : rontgent dan MRI
D. Terapi
a. Fraktur tidak stabil  konservatif / stabilisasi dengan operasi
b. Tanpa kelainan neurologis
Stabil  penopang vertebra
Tdk stabil  pertahankan jadi stabil
c. Dengan kelainan neurologis
Tidak total  Konservatif (stabil)
Operasi dengan dekompresi & stabilisasi (tdk stabil)
Total  + syok spinal, t=48 jam
d. Trauma spinal stabil  konservatif  rehabilitasi
5. FRAKTUR CLAVIKULA
Definisi
Clavikula merupakan tulang yang berbentuk S, disebelah median berhubungan dengan
sternum dan bagian lateral dengan akromion. Dihubungkan dengan korakoid oleh
ligamentum korako-klavikular.
Mekanisme trauma
fraktur klavikula biasanya disebabkan oleh jatuh ataupun benturan pada bahu, biasanya
tangan dalam keadaan out streched.
Klasifikasi
fraktur klavikula dapat terjadi ditiga tempat
a. Sepertiga tengah (80%)
b. Sepertiga lateral (15%)
c. Sepertiga medial (5%)
Gambaran klinis
adanya anamnesis trauma pada bahu, pembengkakan, serta nyeri pada daerah klavikula.
Pemeriksaan radiologi
pada fraktur 1/3 tengah, klavikula bagian medial terangkat ke atas oleh tarikan otot
sternokleidomastoideus dan fragmen lateral tertarik kebawah oleh muskulus pektoralis
mayor.
Pengobatan
a. Konservatif: dengan arm sling (mitella), atau figure of eight.
b. Operasi: operasi dilakukan jika ada indikasi open fracture , adanya tekanan pda
pembuluh darah, non-union, fraktur 1/3 lateral, serta penderita aktif yang akan segera
kembali bekerja. Operasi bisa dengan pemasangan plate and screw.
Komplikasi
- Malunion
- Kerusakan pembuluh darah
- Nonunion
- Artritis pasca traumatika
- Deformitas yang jelek berupa penonjolan tulang pada kulit.
6. FRAKTUR ANTEBRACHII
a. Definisi

Adanya diskontinuitas pada tulang di regio antebrachii (radius-ulna). Biasanya fraktur


antebrachii terjadi karena posisi tangan yang menyangga beban tubuh ketika seseorang
terjatuh.

b. Klasifikasi

Fraktur pada regio antebrachii dapat bermanifestas menjadi 5 macam fraktur:


1. Fraktur diafisis radius dan ulna
Fraktur bagian diafisis radius dan ulna. Biasanya keduanya. Fraktur yang terjadi
hanya pada salah satu tulang sangat jarang terjadi
2. Fraktur montegia
Fraktur pada sisi proximal ulna disertai dengan dislokasi radius
3. Fraktur Galeazi
Fraktur pada bagian distal radius disertai dengan dislokasi ulna
4. Fraktur Colles
Fraktur pada sisi distal radius
5. Fraktur Smith

c. Gejala Klinis

Seperti fraktur pada umumnya, akan ditemukan gejala seperti nyeri, edema,
penurunan range of movement dan krepitasi sehingga tanpa foto rontgen, fraktur diafisis,
fraktur montegia dan fraktur galeazi didiagnosis dengan melokalisasi secara palpasi untuk
mencari krepitasi sebagai penanda lokasi fraktur tetapi metode ini sebisa mungkin dihindari
karena akan menimbulkan nyeri hebat pada pasien.

Diagnosis fraktur Colles dan fraktur Smith relatif lebih mudah karena memberikan
gambaran khusus sehingga pada umumnya dapat terdiagnosis dengan inspeksi saja. Fraktur
Colles akan menimbulkan dinner fork deformity. Fraktur Smith akan menimbulkan garden
spade deformity.
d. Pemeriksaan Penunjang

Dapat dilakukan foto rontgen untuk menunjang diagnosis. Foto dilakukan mengikuti
rule of two:

1. 2 lapang pandang
Dilakukan foto AP dan lateral karena kadang ada fraktur yang tidak terlihat bila hanya
dari satu lapang pandang
2. 2 sendi
2 sendi di sisi proximal dan distal harus difoto untuk melihat ada atau tidaknya
dislokasi karena apabila dislokasi tidak terdeteksi, fraktur tidak akan mengalami
union
3. 2 ekstremitas
Terutama pada anak-anak, karena epifisis masih imatur, ditakutkan akan ada salah
interpretasi sehingga harus dibandingkan dengan sisi yang normal
4. 2 trauma
Seringkali trauma ekstremitas tidak hanya mengakibatkan trauma di ekstremitas saha
tetapi juga di regio lain. Kasus paling sering, fraktur femur yang diikuti dengan injuri
pada pelvis
5. 2 kali
Dilakukan foto kedua setelah jeda 1-2 minggu untuk mengantisipasi fraktur yang
mungkin belum terlihat pada pemeriksaan awal

Gambaran rontgen fraktur antebrachii:


1. Fraktur diafisis radius dan ulna
2. Fraktur monteggia

3. Fraktur galeazi
AP
Lateral

4. Fraktur Colles
AP
Lateral

5. Fraktur Smith
Lateral
e. Penatalaksanaan
1. Fraktur diafisis radius dan ulna
Pada pasien dewasa dilakukan fiksasi interna hingga 8-12 minggu. Pada
pasien anak, fraktur diafisis termasuk fraktur yang sulit dikerjakan karena
adanya resiko malrotasi yang besar. Penatalaksanaan dilakukan dengan fiksasi
eksterna. Hal yang perlu diperhatikan pada kasus anak:
a. Pemasangan gips dari axilla hingga ke metakarpal untuk mencegah
terjadinya rotasi
b. Siku fleksi 90°
c.Apabila fraktur ada di sekitar m. pronator teres (sekitar 1/3 proksimal),
posisi supinasi. Pada 2/3 distal, posisi netral
d. Setelah 1 minggu dilakukan foto rontgen lagi untuk evaluasi.
Bila hasil tidak memuaskan, bisa rekoreksi. Rekoreksi maksimal
dilakukan pada minggu ke 3 karena setelah minggu ke 3 mulai ada
calus. Apabila hasil memuaskan, fiksasi dipertahankan hingga 6-8
minggu
e.Apabila anak berumur lebih dari 10 tahun atau fragmen tidak stabil,
dilakukan fiksasi interna
2. Fraktur Monteggia dan Galeazzi
Prinsip penatalaksanaan fraktur monteggia dan galeazzi adalah
mengembalikan tulang yang fraktur ke panjang semula serta melakukan
reposisi pada bagian yang mengalami dislokasi. Fiksasi interna menggunakan
plate-screw pada umumnya dipertahankan hingga 6 minggu.
3. Fraktur Colles
Dilakukan fiksasi menggunakan dorsal splint selama 3-4 hari hingga edema
berkurang lalu dilakukan pemasangan gips hingga 4 minggu. Apabila tidak
stabil dilakukan
4. Fraktur Smith
Apabila stabil, setelah direduksi diimobilisasi dengan gips selama 6 minggu.
Apabila tidak stabil harus dilakukan fiksasi interna dengan plate atau
pericutaneus wire
6. FRAKTUR PATELLA

a. Definisi

Fraktur patella adalah diskontinuitas patella karena trauma

b. Ruang lingkup

Fraktur tertutup, fraktur terbuka, undisplaced dan displaced

c. Indikasi Operasi

Semua keadaan dengan posisi displaced tertutup maupun terbuka

d. Kontra indikasi Operasi

Keadaan umum penderita jelek

f. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium rutin dan foto polos lutut

Patofisiologi fraktur Patela

Mekanisme fraktur

1. Trauma langsung / Direct


a. Disebabkan karena penderita jatuh dalam posisi lutut flexi dimana patella terbentur
dengan lantai

b. Karena diatas patella hanya terdapat subcutis dan kutis, sehingga dengan benturan
tersebut tulang patella mudah patch

c. Biasanya jenis patahnya comminutiva (stelata), pada jenis patah ini biasanya medial
dan lateral quadrisep expansion tidak ikut robek, hal ini menyebabkan penderita
masih dapat melakukan extensi lutut melawan gravitasi

2. Trauma tak langsung / Indirect

a. Karena tarikan yang sangat kuat dan otot quadrisep yang membentuk
musculotendineus melekat pada patella, sering terjadi pada penderita yang jatuh
dengan tungkai bawah menyentuh tanah terlebih dahulu dan otot quadrisep kontraksi
secara kerns untuk mempertahanakan kestabilan lutut.

b. Biasanya garis patahnya transversal avulse ujung atas atau ujung bawah dan patella

Klasifikasi fraktur Patela berdasarkan patologinya

1. Trauma langsung / Direct

· Fraktur comminutiva

2. Trauma tak langsung / Indirect

· Garis fraktur transversal

· Fraktur avulsi patela transversal, yang fragmen proksimalnya tertarik menjauhi


fragmen lain. Kelainan ini termasuk cedera alat ekstensi lutut

Pemeriksaan Klinik Radiologis Fraktur Patela

Anamnesa

· Ditemukan adanya riwayat trauma

· Penderita tak dapat melakukan extensi lutut, biasanya terjadi pada trauma indirect
dimana patahnya transversal dan quadrisep mekanisme robek

· Pada trauma direct dimana patahnya comminutiva medial dan lateral, quadrisep
expansion masih utuh sehingga penderita masih dapat melakukan extensi lutut
Pemeriksaan Klinik

· Pada lutut ditemukan pembengkakan disebabkan hemarthrosis

· Pada perabaan ditemukan patela mengambang (floating patella)

Pemeriksaan Radiologis

· Dengan proyeksi AP dan lateral sudah cukup untuk melihat adanya fraktur patela

· Proyeksi sky-line view kadang-kadang untuk memeriksa adanya fraktur patela


incomplete

Metode fiksasi luar dan dalam pada fraktur Patela

Pengobatan fraktur patela biasanya dengan reduksi terbuka dan fiksasi interen pada patella.
Fiksasi interen yang paling efektif ialah dengan benang kawat melingkari patela dikombinasi
dengan kawat berbentuk angka delapan.

Pengobatan fraktur patela comminutiva yang terdapat haemorthrosis, dilakukan aspirasi


haemorthrosis, diikuti pemakaian

Non operatif

· Untuk fraktur patela yang undisplaced

· Bila terjadi haemorthrosis dilakukan punksi terlebih dahulu

· Kemudian dilakukan imobilisasi dengan pemasangan gips dan


pangkal paha sampai pergelangan kaki. Posisi lutut dalam fleksi
sedikit (5-10) dipertahankan 6 minggu.
Operatif

· Pada fraktur transversal dilakukan reposisi, difiksasi dengan teknik


tension band wiring
· Bila jenis fraktur comminutiva dilakukan rekronstruksi
fragmennya dengan K wire, baru dilakukan tension band wiring
· Bila fragmen terlalu kecil sehingga tidak mungkin untuk dilakukan
rekronstruksi, dilakukan patellectomi (hal ini menimbulkan
kelemahan quadrisep expansion)
Komplikasi pasca penanganan fraktur Patela dan penanganannya
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah terjadinya kondromalasia pada patela dan
artrosis degeneratif
Rehabilitasi pasca fraktur Patela

Rehabilitasi fraktur patela pascabedah dapat dilakukan mobilisasi segera. Fleksi maksimal
dihindarkan hingga minggu ke 10.
Komplikasi

· Malunion dan Non-union

· Sindrom Kompartemen

· Infeksi

· Neurovascular injury

· Radioulnar synostosis

Follow-Up

Pemeriksaan X ray ulang dilakukan satu atau dua minggu kemudian untuk menilai ada
tidaknya loss of reduction. Plaster dipertahankan sampai terjadinya union 34 minggu pada
anak-anak usia 10 tahun dan 1-2 minggu pada anak usia 4 tahun.

7. DISLOKASI SENDI BAHU

Definisi
Dislokasi bahu adalah suatu kerusakan yang terjadi saat bagian atas tulang humerus tidak
menempel lagi dengan skapula. Hal ini terjadi saat caput humerus keluar dari soket, glenoid.
Maka dislokasi bahu ini fokus pada dislokasi dari sendi glenohumeral.
Etiologi
Dislokasi dan subluksasi sendi glenohumeral relatif sering terjadi pada atlet. Seorang peneliti
mengidentifikasi distribusi bimodal dislokasi bahu primer dengan puncak dalam dekade ke
dua dan ke enam. Dalam 95% kasus, dislokasi bahu yang terjadi mengarah ke anterior.
Penyebab utama dari dislokasi bahu primer adalah cedera traumatik. Hampir 95% dari
dislokasi bahu yang terjadi pertama kali adalah akibat dari beberapa kejadian seperti benturan
kuat, jatuh pada lengan terulur, atau gerakan tiba-tiba yang dapat mengakibatkan bahu
terkilir. Seringkali, 70 % kasus dislokasi primer akan berulang pada 2 tahun pertama.
Klasifikasi
1. Dislokasi Anterior
Sekitar 95% dari dislokasi bahu yang terjadi, bagian atas humerus berada di depan shoulder
blade dan menyebabkan dislokasi anterior. Mekanisme umum dari kerusakan yang terjadi
yaitu abduksi yang ekstrim, exorotasi, ekstensi, dan suatu tekanan langsung dari posterior
terhadap humerus. Pasien yang mengalami dislokasi bahu akan merasa sangat kesakitan dan
mencegah untuk siapapun untuk melakukan pemeriksaan karena sakitnya itu. Jika pasien
mengalami dislokasi bahu, rentang gerak (ROM) dari pasien itu tidak luas. Jika bahu
terdislokasi ke arah anterior, lengan berada dalam posisi sedikit abduksi dan exorotasi. Pada
pasien yang kurus, caput humerus yang menonjol dapat dirasakan berada di anterior dan
cekungan dapat dilihat posterior pada bahu. Penting untuk menilai fungsi neurovaskular
aksila dengan meraba nadi dan melakukan uji sensasi pada daerah bahu. Gerakan biasanya
sangat menyakitkan akibat dari spasmeotot. Lokasi dislokasi anterior yang paling sering
terjadi yaitu subkorakoid. Dapat juga terjadi dislokasi subglenoid, subklavikula, dan yang
sangat jarang yaitu intratorakal atau retroperitoneal.
2. Dislokasi Posterior

Dalam kurang dari 5% dari kasus yang ada, bagian atas humerus berada di belakang shoulder
blade, suatu dislokasi posterior. Dislokasi posterior terjadi akibat berat axial yang ditumpukan
pada lengan yang sedang berada dalam keadaan adduksi dan endorotasi. Seperti jatuh dalam
posisi lengan adduksi dan endorotasi, atau adanya tekanan langsung pada bagian depan bahu.
Dislokasi posterior yang klasik dapat juga terjadi akibat tersengat listrik ataupun kejang karena
ketidakseimbangan kekuatan antara otot internal rotators (subskapularis, latissimus dorsi,
pektoralis mayor), yang menekan otot-otot external rotators (teres minor dan otot
infrasupinatus). Dislokasi bahu posterior mudah untuk terlewatkan dalam diagnosa, karena
lengan pasien biasanya terletak dalam keadaan endorotasi dan adduksi (yaitu, pasien memegang
lengannya dan meletakkannya pada perutnya). Pasien tidak dapat melakukan supinasi pada
tangannya. Pada pasien yang kurus, caput humerus yang menonjol dapat dilihat dan teraba di
posterior di bawah prosesus akromion, bahu anterior menjadi rata, dan prosesus korakoid lebih
menonjol.

Komplikasi yang dapat terjadi pada dislokasi bahu posterior yaitu dislokasi yang tidak dapat
direduksi. Sekurang-kurangnya setengah dari pasien dengan dislokasi posterior memiliki lesi
yang tidak dapat direduksi saat pertama kali ditemukan. Tipikalnya pasien memegang lengan
dalam keadaan endorotasi, pasien tidak dapat mengabduksi lengannya lebih dari 70-80º, dan jika
pasien mengangkat lengannya ke arah depan, ia tidak dapat memutar telapak tangannya ke arah
atas. Komplikasi lainnya yaitu dislokasi bahu posterior rekuren dan habitual.

Jika bahu yang sebelumnya pernah terdislokasi mengalami dislokasi berulang oleh karena suatu
cedera lain, dislokasi kedua dan seterusnya disebut sebagai dislokasi rekuren. Perbaikan jaringan
lunak posterior secara pembedahan dianjurkan. Akan tetapi jika pasien dapat melakukan
dislokasi bahu sesuai dengan keinginannya ataupun mereduksi kembali bahu tersebut, maka
kondisi ini disebut sebagai dislokasi habitual, dan biasanya berhubungan dengan kelainan
kongenital yaitu kelemahan umum kongenital dari ligamen yang membentuk bahu. Atau hal ini
dapat berhubungan dengan remaja atau orang dewasa yang mencari perhatian. Maka perhatian
khusus harus diberikan pada mereka agar tidak melakukan hal itu secara sengaja.

3. Dislokasi Inferior

Dislokasi inferior jarang ditemukan dan dapat terjadi akibat suatu tekanan hiperabduksi yang
menyebabkan bagian leher dari humerus terangkat/menekan melawan akromion.Mekanisme
cedera dari dislokasi bahu inferior adalah adanya berat axial yang ditumpukan saat lengan
sedang abduksi atau hiperabduksi secara paksa seperti menangkap/ menggenggam suatu objek
yang berposisi di atas kepala saat jatuh.Dislokasi inferior akan menjadi kondisi yang disebut
sebagai luxatio erecta, yang menjelaskan mengenai presentasi klasik dimana lengan atas abduksi
110-160° dengan lengan bawah diistirahatkan pada atau di belakang kepala pasien. Pada
pemeriksaan, ditemukan lengan yang berada di atas kepala pada posisi yang tetap dengan siku
yang fleksi. Caput humerus teraba pada atau di bawah aksila.Mendiagnosa dislokasi inferior
sangatlah penting oleh karena tingginya angka kejadian untuk komplikasi. Sebanyak 60% dari
kasus yang ada, kerusakan neurologi (biasanya lesi pada N. aksilaris) berhubungan dengan
dislokasi inferior. Kerusakan vaskularisasi terjadi dalam 3,3% dari kasus yang ada, robekan
rotator cuff terjadi dalam 80-100% dari kasus yang ada, dan fraktur greater tuberosity dan
avulsipektoralis major juga berhubungan dengan dislokasi inferior.
 

4. Dislokasi Superior
Pada dislokasi bahu superior, caput humerus terdorong ke atas melewati rotator cuff. Dislokasi
superior sangatlah jarang dan dapat terjadi akibat tekanan yang ekstrim ke arah atas pada lengan
yang adduksi. Fitur Klinis :Pada pemeriksaan dapat ditemukan caputhumerusyang menonjolyang
dapat dirasakanberada di superior.
Diagnosis
1. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
Pertama, dokter akan melakukan inspeksi secara visual pada bahu penderita. Ketika terdapat
dislokasi bahu, bentuk kebundaran bahu dan lengan atas yang normal akan hilang. Bagian luar
yang mengelilingi bahu terlihat datar. Terdapat perubahan dari permukaan anatomi yang
normal.Sebagai contoh, terdapat jarak di bawah akromion yang pada keadaan normal seharusnya
terdapat greater tuberosity (tonjolan tulang yang terdapat di sepanjang bagian atas bahu). Caput
humerus dapat diobservasi dan dirasakan sebagai suatu tonjolan yang besar di depan atau di
belakang bahu. Area ini biasanya sangat sakit saat dipalpasi.
Cakupan gerakan, kekuatan, dan sensasi akan di periksa jika memungkinkan. Suatu perubahan
atau hilangnya sensasi dapat menunjukkan adanya kerusakan saraf. Dokter juga akan memeriksa
denyut nadi pada lengan pasien untuk mendeteksi kemungkinan adanya komplikasi vaskular.
Terdapat banyak pemeriksaan klinis yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi struktur
jaringan lunak yang rusak atau lepas. Apprehension test yang positif dapat menjadi acuan
diagnostik adanya bahu yang tidak stabil yang dapat terdislokasi kembali setelah kejadian
dislokasi yang pertama. Pada tes ini lengan di abduksi (di jauhkan dari tubuh) dan di rotasi ke
arah eksternal. Sesaat sebelum sendi akan terdislokasi, pasien akan menjadi sangat gelisah. Pada
titik ini, tes ini dianggap positif untuk ketidakstabilan bahu dan kemudian pemeriksaan
dihentikan.

2. Pe,eriksaam Penunjang
X-rays diperlukan untuk memeriksa adanya fraktur di sekitar sendi, dan untuk melihat pola dari
dislokasi bahu yang ada.

Tata Laksana
Tata laksana dislokasi bahu dapat bersifat operatif dan non-operatif sesuai indikasi. Indikasi
pembedahan adalah dislokasi yang berulang.
 Reduksi tertutup, dokter akan memindahkan caput humerus kembali ke dalam soket sendi
bahu dengan cara menerapkan traksi pada lengan yang terdislokasi. Obat nyeri akan
diberikan sebelum prosedur ini dimulai.

 Imobilisasi, setelah reduksi, perlu untuk memakai arm sling atau perangkat yang disebut
immobilizer bahu untuk menjaga bahu bergerak. Bahu umumnya bergerak selama sekitar
empat minggu, dan pemulihan penuh membutuhkan waktu beberapa bulan.

 Istirahat, penting untuk mengistirahatkan bahu dan tidak memberikan tegangan pada daerah
sendi tersebut.
 Es dan panas, aplikasikan es atau kemasan yang dingin pada bahu selama 15-20 menit, empat
kali sehari, selama dua hari pertama. Setelah hari ketiga, gunakan bantalan pemanas selama
20 menit atau kurang untuk membantu dalam mengurangi nyeri pada otot. Hal ini dapat
membantu mengurangi pembengkakan juga.Bungkus es atau kemasan dingin dengan handuk.
Jangan menempelkan es langsung pada kulit.

 Latihan rehabilitasi, setelah pelepasan sling bahu, latihan dimulai untuk mengembalikan
kekuatan dan rentang gerak pada bahu sebagaimana direkomendasikan oleh tenaga kesehatan
profesional.

 Obat pereda sakitm, obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID) atau asetaminofen (Tylenol)
dapat membantu mengurangi rasa sakit.

 Pembedahan, pembedahan jarang diperlukan untuk dislokasi yang baru terjadi pertama kali.
Hal ini lebih diperlukan untuk bahu yang sudah terdislokasi berulang kali.

Teknik Reduksi :

a. Metode Kocher
Tekuk lengan yang terdislokasi 90º pada siku, adduksiterhadap tubuh, pergelangan tangandan
titiksikudapat digenggam oleh dokter bedah. Secara perlahan lakukan exorotasi antara70º sampai
85º sampai dapat dirasakan adanya tahanan. Pada pasien yang sadar gunakan waktu yang banyak
serta tidak terburu-buru dan mencoba untuk mengalihkan perhatian pasien dengan percakapan
dan kemudian melanjutkan pelaksanaannya.
            Angkat lengan atas yang sudah dilakukan exorotasi pada bidang sagital sejauh mungkin
ke depan, sekarang lakukan endorotasi pada bahu, hal ini akan membawa tangan pasien ke arah
bahu lainnya. Caput humerus seharusnya sudah kembali ke dalam fossa glenoid dan rasa sakit
hilang selama proses ini.
b. MetodeStimson
Metode Stimson biasanya memerlukan anagelsik kuat terlebih dahulu, dan pasien pronasi di atas
meja dengan lengan pada sisi yang terdislokasi menggantung ke bawah pada posisi fleksi ke
depan. Sebuah karung pasir ditempatkan di bawah klavikula pada sisi yang terdislokasi, dan
sebuah beban sekitar 20 kg diaplikasikan dipergelangan tangan sisi yang terdislokasi. Otot-otot
yang spasme akan menjadi rileks dan biasanya reduksi sendi dapat terjadi secara spontan.
Prosedur ini dapat memakan waktu hingga 15-20 menit. Prosedur ini memerlukan pemantauan
yang cermat karena resikonya adalah jatuh.

 
c. Teknik Spaso
Teknik Spaso dimulai dengan pasien dalam posisi terlentang. Lengan pada sisi yang terdislokasi
digenggam pada pergelangan tangan atau lengan bawah distal dan diangkat secara vertikal
dengan lembut, sambil mengaplikasikan traksi dengan lembut. Kemudian dilakukan
exorotasipada bahu, biasanya reduksi dapat terjadi secara spontan. Mendorong caput humeri
kembali ke posisi normal dapat sangat membantu sambil mempertahankan traksi.

Perawatan setelah dilakukan reduksi tertutup:

 Harus dilakukan Xray pasca reduksi.


 Penilaian neurovaskular harus diulang.

 Observasi jika obat penenang dengan waktu kerja yang lama seperti midazolam telah
diberikan.

 Immobilisasi selama 3-4 minggu. Meskipun hanya terdapat sedikit bukti mengenai durasi
yang baik. Posisi rotasi eksternal mungkin terbaik untuk robekan kapsul akan tetapi tapi
tidak dapat dilakukan.

 Analgesia yang memadai harus diberikan kepada pasien untukdibawa pulang.

 Biasanya mulai dilakukan latihan fisioterapi.


8. TRAUMA SENDI
Sendi sendi biasanya mengalami cedera oleh kekuatan pemuntir atau penekuk
yang meentangkan ligamen dan kapsul. Kalau kekuatan itu cukup besar ligamen dapat
robek atau tulang tempatnya melekat dapat tertarik terpisah.
Sebagai prinsip umum, angulasi yang kuat akan merobek ligamen dan tidak
meremukan tulang, tetapi pada orang yang lebih tua dengan tulang yang porotik ligamen
dapat bertahan dan bagian lain tulang pada sendi akan remuk, sementara pada anak-anak
mungkin akan terjadi fraktur pada bagian fisis.
Ligamen yang robek harus dijahit agar meminimalkan jaringan fibrosa yang
tumbuh pada penyembuhan luka tersebut. Semakin banyak jaringan parut yang muncul
pada proses peyembuhan ligamen maka akan semakin menurunkan fungsi normal sendi
tersebut.
a. Ligamen Teregang
Merupakan keadaan dimana hanya beberapa serat dalam ligamen yang robek dan
sendi masih tetap stabil hal ini terjadi akibat cedera dimana sendi untuk sementara
terpeluntir dan tertekuk ke suatu posisi yang abnormal. Sendi akan nyeri dan bengkak dan
jaringan disekitar juga memar. Nyeri yang nampak bersifat terlokalisir namun
peregangan jaringan pada sisi tersebut dapat menambah rasa nyeri.
Terapi yang diberikan cukup dengan mengistirahatkan sendi dan membebat erat
sendi tersebut hingga nyeri nya mereda. Setelah itu latihan untuk gerakan aktif dan
memperkuat sendi sangat dianjurkan.
b. Ruptur Ligamen

Suatu keadaan dimana ligamen mengalami robek total dan sendi dalam posisi
tidak stabil. Pada dasarnya ini lesi yang sama namun kadang tulang tempatnya melekat
akan mengalami avulsi. Sendi yang paling sering mengalami hal ini adalah sendi yang
paling sedikit terlindung oleh ototdi sekelilingnya seperti lutut, pergelangan kaki dan
sendi pada jari.

Nyeri akan terasa hebat dan mungkin terdapat banyak perdarahan dibawah kulit,
kalau sendi bengkak, ini mungkin disebabkan oleh hemartrosis. Rasa nyeri yang timbul
bisa sampai melarang orang menyentuh bagian tersebut sehingga perlu diberikan
anastesi.
Terapi bisa dilakukan operatif terutama pada pasien muda dan bisa memberikan
hasil yang lebih baik. Namun pada beberapa kasus seperti pada orang tua, bila perbaikan
operatif tidak menjamin hasil yang baik, bila sendi masih nampak stabil sekiranya tidak
perlu dilakukan operasi namun harus tetap menghindari tegangan pada ligamen.
c. Dislokasi dan subluksasi

Dislokasi berarti bahwa permukaan sendi tergeser sama sekalidan tidak lagi bersentuhan.
Subluksasi berarti pergeseran dalam tingkat yang lebih kecil, sedemikian sehingga
permukaan sendi masih beraposisi.

Gambaran klinik

- Sendi tersa nyeri dan pasien berusaha sekuat tenaga untuk menghindari pergerakan
pada sendi ini. Bentuk sendi itu abnormaldan gambaran tulang tampak tergeser.
Tungkai sering dipertahankan dalam suatu kondisi yang khas, gerakan akan terasa
nyeri dan terbatas.
- Sinar x biasanya akan memastikan diagnosis. Pemeriksaan ini juga memperlihatkan
apakah terdapat cedera tulang yang mempengaruhi stabilitas sendi yaitu fraktur
dislokasi.

Terapi
Dislokasi harus direduksi secepat mungkin, biasanya dibutuhkan suatu anastetik umum,
kadang juga diperlukan pelemas otot. Sendi kemudian diistirahatkan atau d imobilisasi
hingga terjadi penyembuhan jaringan lunak, sekitar 3-4 minggu. Kalau ligamen robek
harus diperbaiki.

Komplikasi

Banyak komplikasi fraktur juga ditemukan setelah dislokasi: cedera avaskular, cedera
saraf, nekrosis tulang avaskular, osifikasi heterotropik, kekakuan sendi, dan osteoartritis
sekunder.

V. Rehabilitasi Medik
Suatu bentuk pelayanan kesehatan yang terpadu dengan pendekatan medik, psikososial,
edukasional, vokasional untuk mencapai kemampuan fungsional semaksimal mungkin

Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi


Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (Physical Medicine and Rehabilitation), Physiatry
atau Rehabilitasi Medik (Rehabilitation Medicine) adalah cabang ilmu kedokteran yang
bertujuan untuk meningkatkan dan mengembalikan kemampuan fungsional dan kualitas
hidup untuk orang-orang dengan gangguan fisik atau disabiltas.
Atau sebuah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari managemen komprehensif dari
disabiltas atau kecacatan yang timbul dari penyakit atau cedera neuro-muskulo-skeletal dan
sistem kardio-respirasi dan gangguan bio-psiko-sosial yang bersamaan dengan hal tersebut.
Istilah physiatry diciptakan oleh dr. Frank H.Krusen pada  tahun 1938. Istilah ini diterima
oleh American Medical Association pada tahun 1946.
Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi disebut juga Physiatrist.

Falsafah Rehabilitasi Medik


Meningkatkan kemampuan fungsional seseorang sesuai dengan potensi yg dimiliki untuk
mempertahankan dan atau meningkatkan kualitas hidup dengan cara mencegah atau
mengurangi impairment, disability dan handicap semaksimal mungkin

a. Impairment
Kehilangan atau ketidaknormalan dari kondisi psikologis, fisiologis, atau struktur
anatomi atau fungsi  tingkat organ (organ level)
b. Disability
Kondisi keterbatasan atau berkurangnya kemampuan untuk melakukan aktifitas
dengan cara dan batas yang dianggap normal bagi manusia yang diakibatkan
impairment tingkat manusia (human level)

c. Handicap
Keadaan kemunduran seseorang akibat adanya kelainan (impairment) atau
ketidakmampuan (disability), yang membatasi dalam memenuhi peranannya yang
normal (sesuai umur, jenis kelamin dan faktor sosial budaya)  tingkat
lingkungan (environment level)

Ruang Lingkup
Ruang lingkup pelayanan Rehabilitasi Medik meliputi seluruh upaya kesehatan pada umumnya,
yaitu upaya:
1. Promotif
     Penyuluhan, informasi, dan edukasi tentang hidup sehat dan aktivitas yang tepat untuk
mencegah kondisi sakit.
2. Preventif
     Edukasi dan penanganan yang tepat pada kondisi sakit/penyakit untuk mencegah dan atau
meminimalkan gangguan fungsi atau risiko kecacatan.
3. Kuratif
     Penanganan melalui paduan intervensi medik, keterapian fisik, dan upaya rehabilitatif untuk
mengatasi penyakit/kondisi sakit untuk mengembalikan dan mempertahankan kemampuan fungsi
4. Rehabilitatif
     Penanganan melalui paduan intervensi medik, keterapian fisik, keteknisian medik dan upaya
rehabilitatif lainnya melalui pendekatan psiko-sosio-edukasi-okupasi-vokasional untuk
mengatasi penyakit/kondisi sakit yang bertujuan mengembalikan dan atau mempertahankan
kemampuan fungsi, meningkatkan aktivitas dan peran serta/partisipasi di masyarakat.

Tim Rehabilitasi Medik


1. Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
     Bertugas sebagai koordinator; Memiliki kemampuan untuk mengevaluasi dan menegakkan
diagnosis, menyusun program secara terpadu; Membuat resep untuk tindakan rehabilitasi medis
2. Fisioterapis
     Melakukan pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk
mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh dengan menggunakan
penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapi, dan mekanis), dan
pelatihan fungsi.
3. Okupasi terapis
     Melakukan pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk
mengembangkan, memelihara, memulihkan fungsi dan atau mengupayakan kompensasi/adaptasi
untuk aktivitas sehari-hari (activity day life), produktivitas dan waktu luang melalui pelatihan
remediasi, stimulasi, dan fasilitasi.
4. Terapis wicara
     Melakukan pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk
memulihkan dan mengupayakan kompensasi/adaptasi fungsi komunikasi, bicara, dan menelan
dengan melalui pelatihan remediasi, stimulasi, dan fasilitasi (fisik, elektroterapi, dan mekanis)
5. Ortotis prostetis
     Melakukan pelayanan keteknisian medik yang ditujukan kepada individu/kelompok untuk
merancang, membuat, dan mengepas alat bantu guna pemeliharaan, pemulihan fungsi, atau
pengganti anggota gerak
6. Psikolog
     Menangani masalah kejiwaan dan mental pasien maupun keluarga pasien
7. Petugas sosial medik
     Membantu pasien dalam masalah sosial; Sebagai penghubung antara pasien, masyarakat/
badan sosial lain
8. Perawat rehabilitasi
     Mempunyai keahlian selain perawatan umum juga perawatan khusus masalah rehabilitasi
seperti mencegah titah baring lama, kateterisasi intermiten pada pasien cedera medula spinalis dll
9. Rohaniawan

Cakupan Layanan Rehabilitasi Medik


1. RM Neuromuskuler 
     Stroke
     Cedera otak traumatik
     Cedera medula spinalis
     Parkinson dan gangguan gerak lainnya
     Bell’s Palsy
     Rehabilitasi Vestibular
     Gangguan berkemih dan BAB neurogenik
     Kusta
     dll
2. RM Muskuloskeletal
     Penyakit Rematik
     Skoliosis dan deformitas tulang belakang lainnya
     Osteoporosis
     Trauma
     Rehabilitasi luka bakar
     Rehabilitasi Cedera olahraga
     Obesitas
     dll
3. RM Pediatri
     Cerebral palsy
     Delayed development
     Gangguan komunikasi (bicara dan bahasa)
     Down sindrome
     Retardasi Mental
     Autis, Gangguan pemusatan perhatian/hiperaktif , gangguan pervasif lain
     Spina bifida
     dll
4. RM Geriatri
5. RM Respirasi
     Asma, PPOK, Persiapan operasi, Pneumothotaks, Disfonia/Afonia, dll
6. RM Kardiovaskular
     Post MCI, CHF, Pasca CABG, Pasca PTCA, dll
7. RM Kanker

DAFTAR PUSTAKA

Buku Pedoman Pelayanan Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit Kelas A,B,C,D Ed 3, 2007
KMK no 378 thn 2008 tentang Pedoman Pelayanan Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit
www.aapmr.org

Rasjad, Chairuddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone

radiologymasterclass.co.uk

Salter, R. B. 1999. Textbook of disorders and injuries of the musculoskeletal system: An


introduction to orthopaedics, fractures, and joint injuries, rheumatology, metabolic bone
disease, and rehabilitation. Lippincott Williams & Wilkins.
Solomon, L., Warwick, D., & Nayagam, S. (Eds.). 2010. Apley's system of orthopaedics and
fractures ed. 9. CRC Press.

Anda mungkin juga menyukai