Anda di halaman 1dari 69

RESUME TUTORIAL

BLOK 16 LOKOMOTOR

SKENARIO 1

Oleh Tutorial C:

122010101018 Edda Rachmadenawanti


122010101031 Kardiana Izza Ell Milla
122010101035 Sarah Andriani
122010101037 Farmitalia Nisa Tristianti
122010101039 Rediana Murti Novia
122010101046 Novita Dwi Cahyani
122010101050 Sarah Daniswara
122010101057 Dzurrotul Athiyat
122010101058 Gilang Vigorous Akbar E. C
122010101070 Bagus Dwi Kurniawan
122010101079 Bakhtiar Yusuf Habibi
122010101083 Risky Karimah
122010101090 Ahmad Hashemi
122010101093 Chandra Puspita KSP

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015

1
SKENARIO 1

KELAINAN BENTUK TULANG BELAKANG DAN EKSTREMITAS

Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun dibawa kedua orangtuanya ke


Puskesmas dengan menggunakan fasilitas BPJS, karena bentuk punggung
anaknya terlihat berbeda dengan punggung anak pada umumnya. Pada anamnesis,
ibunya menceritakan saat hamil merasa biasa saja dan anaknya lahir secara normal
dibantu oleh bidan desa, tidak ada riwayat trauma. Pada pemeriksaan ditemukan
deformitas lengkung vertebra. Setelah pemeriksaan dianggap cukup, Dokter
menjelaskan kesimpulan kondisi bayi tersebut, selanjutnya menyarankan dan
merujuk ke rumah sakit daerah terdekat untuk pemeriksaan dan terapi lebih lanjut.
Saat hendak pulang mereka berpapasan dengan pasien lain yang membawa
anaknya yang berusia hampir sama dan terlihat bentuk tangan dan kakinya yang
tidak normal.
Learning Objectives

A. Embriologi Sistem Muskuloskeletal…………………………… 4


B. Fisiologi Osteogenenesis…………………………………… .… 10
C. Kelainan Kongenital pada Ekstremitas
 Pes Planus……………………………………………… 24
 Club Foot……………………………………………… 28
 Genu Valgum…………………………………………… 30
 Genu Varum……………………………………………. 31
 Osteogenesis Imperfecta……………………………… 32
 Syndactili……………………………………………… 37
 Polidactili……………………………………………… 48
 Achondroplasia………………………………………… 58
 Dislokasi Hip Kongenital……………………………… 63
D. Kelainan Kongenital pada Tulang Belakang
 Skoliosis………………………………………………… 65
 Kifosis…………………………………………………... 66
 Lordosis………………………………………………… 67
A. Embriologi Sistem Muskuloskeletal

1.1 Embriologi Ekstremitas

Pada mudigah berusia 6 minggu, bagian ujung tunas anggota badan


menjadi pipih dan membentuk lempeng tangan dan lempeng kaki dan dipisahkan
dari segmen proksimal oleh sebuah penyempitan melingkar. Selanjutnya,
penyempitan kedua membagi bagian proksimal tersebut menjdi dua segmen, dan
bagian-bagian utama anggota badan sudah mulai dapat dikenali.

Jari-jari tangan dan kaki terbentuk ketika kematian sel di REA


memisahkan rigi ini menjadi lima bagian. Pembentukan jari-jari selanjutnya
tergantung pada kelanjutan pertumbuhan mereka di bawah pengaruh kelima
segmen rigi ekstoderm tersebut, kondensasi mesenkim unutk membentuk garis
jari-jari kartilago dan kematian jaringan yang ada di antara jari-jari tersebut.

Pembuatan pola jari-jari tergantung pada sekelompok sel yang yang


terletak di dasar anggota badan pada tepi posteriornya, yang dikenal sebagai zona
aktivasi polarisasi (ZAP). Sel-sel ini menentukan gradien morfogen yang
tampaknya melibatkan asam retinoat (vitamin A) dan sederetan gen homeoboks
untuk menghasilkan urutan jari yang normal.
1.2. Columna vertebrae
Selama perkembangan minggu keempat, sel-sel sklerotom berpindah
posisi sampai mengelilingi medulla spinalis dan notokord. Perubahan tempat ini
disebabkan oleh diferensiasi pertumbuhan bangunan-bangunan di sekitarnya,
bukan karena perpindahan aktif sel-sel sklerotom. Kolom mesenkim ini masih
mempertahankan asal segmentalnya karena blok-blok sklerotom dipisahkan oleh
daerah-daerah kurang padat yang mengandung aa. Intersegmentalis.

Pada perkembangan selanjutnya, bagian kaudal masing-masing segmen


sklerotom mengalami proliferasi luas dan memadat. Proliferasi ini meluas
kedalam jaringan antar segmen dibawahnya dan dengan ini melekatkan setengah
kaudal satu sklerotom dengan setengah bagian sefalik sklerotom yang ada
dibawahnya. Dengan menyatunya jaringan antar segmen didalam korpus vertebra
prakartilaginosa, korpus vertebra sebenarnya punya asal antar segmental.

Sel-sel mesenkim yang terletak diantara bagian sefalik dan kaudal segmen
sklerotom asal tidak berpoliferasi dan mengisi ruangan diantara dua korpus
vertebra prekartilagosa dan ikut dalam pembentukan cakram antar ruas (diskus
intervertebralis).
Notokord membentuk nucleus pulposus yang selanjutnya dikelilingi
annulus fibrosus lalu besama-sama membentuk cakram antar ruas. Penyusunan
kembali sklerotom menjadi vertebra-vertebra tetap menyebabkan miotom
menyebrangi cakram antar ruas, dan perubahan ini dapat menggerakkan tulang
belakang. Arteriae intersegmentalis, pertama kali terletak diantara dua sklerotom
sekarang berjalan ditengah korpus vertebra. Tapi, saraf-saraf spinal menjadi dekat
dengan cakram antar ruas dan meninggalkan kolumna vertbralis melalui lubang-
lubang antar ruas (foramina intervertbralis).

1.3 Otot-otot anggota badan

Petunjuk pertama otot-otot anggota badan diamati pada minggu ketujuh


sebagai pemadatan mesenkim di dekat tunas anggota badan. Mesenkim ini berasal
dari sel-sel dermomiotom somit yang bermigrasi ke tunas anggota badan untuk
membentuk otot. Seperti di daerah lainnya, jaringan penyambung menentukan
pola pembentukan otot, dan jaringan ini berasal dari mesoderm somatik yang juga
menghasilkan tulang-tulang anggota badan.
Dengan memanjangnya tunas anggota badan, jaringan otot terpecah
menjadi komponen fleksor dan ekstensor. Sekalipun pada mulanya otot-otot ini
bersatu dan kemudian tersusunlah jaringan otot yang berasal dari berbagai
segmen.

Tunas anggota badan atas terletak berhadapan dengan lima segmen leher
bagian bawah dan dua segmen dada bagian atas, dan tunas anggota badan bagian
bawah terletak berhadapan dengan empat segmen lumbal bagian bawah serta dua
segmen sakral bagian atas. Segera setelah tunas terbentuk, saraf spinalis yang
sesuai menembus ke dalam mesenkim tersebut. Pada mulanya, saraf itu masuk
dengan cabang dorsal dan ventral yang terpisah, tetapi tidak lama kemudian
cabang ini bersatu membentuk saraf dorsalis dan ventralis yang besar. Dengan
demikian, nervus radialis, yang mempersarafi sistem otot ekstensor, terbentuk
melalui penggabungan cabang segmen dorsal, sementara nervus ulnaris dan
medianus, yang mempersarafi sistem otot fleksor, terbentuk melalui
penggabunagn cabang ventral. Segera setelah saraf tersebut memasuki tunas
anggota badan, terjalinlah penyatuan yang erat dengan pemampatan mesoderm
yang sedang berdiferensiasi, dan penyatuan awal antar saraf dan sel otot yang
sedang berdiferensiasi ini merupakan suatu prasyarat untuk diferensiasi
fungsionalnya yang sempurna.
Saraf spinalis tidak hanya memainkan peranan yang penting dalam
diferensiasi dan persarafan motorik untuk otot anggota badan, tetapi juga
memberiukan persarafan sensorik untuk dermatom. Walaupun pola asli dermatom
mengalami perubahan dengan tumbuhnya anggota badan, urutan yang teratur
tetap dapat dikenali pada orang dewasa.
B. Fisiologi Osteogenenesis

Tulang adalah jaringan yang tersusun oleh sel dan didominasi oleh matrix
kolagen ekstraselular (type I collagen) yang disebut sebagai osteoid. Osteoid ini
termineralisasi oleh deposit kalsium hydroxyapatite, sehingga tulang menjadi
kaku dan kuat.

Sel-sel pada tulang adalah :

Osteoblast : yang mensintesis dan menjadi perantara mineralisasi osteoid.


Osteoblast ditemukan dalam satu lapisan pada permukaan jaringan tulang sebagai
sel berbentuk kuboid atau silindris pendek yang saling berhubungan melalui
tonjolan-tonjolan pendek.

Osteosit : merupakan komponen sel utama dalam jaringan tulang. Mempunyai


peranan penting dalam pembentukan matriks tulang dengan cara membantu
pemberian nutrisi pada tulang.

Osteoklas : sel fagosit yang mempunyai kemampuan mengikis tulang dan


merupakan bagian yang penting. Mampu memperbaiki tulang bersama osteoblast.
Osteoklas ini berasal dari deretan sel monosit makrofag.

Sel osteoprogenitor : merupakan sel mesenchimal primitive yang menghasilkan


osteoblast selama pertumbuhan tulang dan osteosit pada permukaan dalam
jaringan tulang. Tulang membentuk formasi endoskeleton yang kaku dan kuat
dimana otot-otot skeletal menempel sehingga memungkinkan terjadinya
pergerakan. Tulang juga berperan dalam penyimpanan dan homeostasis kalsium.
Kebanyakan tulang memiliki lapisan luar tulang kompak yang kaku dan padat.
Tulang dan kartilago merupakan jaringan penyokong sebagai bagian dari jaringan
pengikat tetapi keduanya memiliki perbedaan pokok antara lain :

- Tulang memiliki system kanalikuler yang menembus seluruh substansi


tulang,
- Tulang memiliki jaringan pembuluh darah untuk nutrisi sel-sel tulang,
- Tulang hanya dapat tumbuh secara aposisi,
- Substansi interseluler tulang selalu mengalami pengapuran.

Struktur Makroskopik

Pada potongan tulang terdapat 2 macam struktur :

- Substantia spongiosa (berongga)


- Substantia compacta (padat)

Bagian diaphysis tulang panjang yang berbentuk sebagai pipa dindingnya


merupakan tulang padat, sedang ujung-ujungnya sebagian besar merupakan tulang
berongga yang dilapisi oleh tulang padat yang tipis. Ruangan dari tulang berongga
saling berhubungan dan juga dengan rongga sumsum tulang.

Jenis Jaringan Tulang

Secara histologis tulang dibedakan menjadi 2 komponen utama, yaitu :

- Tulang muda/tulang primer


- Tulang dewasa/tulang sekunder

Kedua jenis ini memiliki komponen yang sama, tetapi tulang primer mempunyai
serabut-serabut kolagen yang tersusun secara acak, sedang tulang sekunder
tersusun secara teratur.

Jaringan Tulang Primer

Dalam pembentukan tulang atau juga dalam proses penyembuhan kerusakan


tulang, maka tulang yang tumbuh tersebut bersifat muda atau tulang primer yang
bersifat sementara karena nantinya akan diganti dengan tulang sekunder . Jaringan
tulang ini berupa anyaman, sehingga disebut sebagai woven bone. Merupakan
komponen muda yang tersusun dari serat kolagen yang tidak teratur pada osteoid.
Woven bone terbentuk pada saat osteoblast membentuk osteoid secara cepat
seperti pada pembentukan tulang bayi dan pada dewasa ketika terjadi
pembentukan susunan tulang baru akibat keadaan patologis.
Selain tidak teraturnya serabut-serabut kolagen, terdapat ciri lain untuk jaringan
tulang primer, yaitu sedikitnya kandungan garam mineral sehingga mudah
ditembus oleh sinar-X dan lebih banyak jumlah osteosit kalau dibandingkan
dengan jaringan tulang sekunder. Jaringan tulang primer akhirnya akan
mengalami remodeling menjadi tulang sekunder (lamellar bone) yang secara fisik
lebih kuat dan resilien. Karena itu pada tulang orang dewasa yang sehat itu hanya
terdapat lamella saja.

Jaringan Tulang Sekunder

Jenis ini biasa terdapat pada kerangka orang dewasa. Dikenal juga sebagai
lamellar bone karena jaringan tulang sekunder terdiri dari ikatan paralel kolagen
yang tersusun dalam lembaran-lembaran lamella. Ciri khasnya : serabut-serabut
kolagen yang tersusun dalam lamellae(lapisan) setebal 3-7μm yang sejajar satu
sama lain dan melingkari konsentris saluran di tengah yang dinamakan Canalis
Haversi. Dalam Canalis Haversi ini berjalan pembuluh darah, serabut saraf dan
diisi oleh jaringan pengikat longgar. Keseluruhan struktur konsentris ini dinamai
Systema Haversi atau osteon.

Sel-sel tulang yang dinamakan osteosit berada di antara lamellae atau kadang-
kadang di dalam lamella. Di dalam setiap lamella, serabut-serabut kolagen
berjalan sejajar secara spiral meliliti sumbu osteon, tetapi serabut-serabut kolagen
yang berada dalam lamellae di dekatnya arahnya menyilang.
Di antara masing-masing osteon seringkali terdapat substansi amorf yang
merupakan bahan perekat.

Susunan lamellae dalam diaphysis mempunyai pola sebagai berikut :

- Tersusun konsentris membentuk osteon.


- Lamellae yang tidak tersusun konsentris membentuk systema interstitialis.
- Lamellae yang malingkari pada permukaan luar membentuk lamellae
circumferentialis externa.
- Lamellae yang melingkari pada permukaan dalam membentuk lamellae
circumferentialis interna.
Periosteum
Bagian luar dari jaringan tulang yang diselubungi oleh jaringan pengikat pada
fibrosa yang mengandung sedikit sel. Pembuluh darah yang terdapat di bagian
periosteum luar akan bercabang-cabang dan menembus ke bagian dalam
periosteum yang selanjutnya samapai ke dalam Canalis Volkmanni. Bagian dalam
periosteum ini disebut pula lapisan osteogenik karena memiliki potensi
membentuk tulang. Oleh karena itu lapisan osteogenik sangat penting dalam
proses penyembuhan tulang.

Endosteum

Endosteum merupakan lapisan sel-sel berbentuk gepeng yang membatasi rongga


sumsum tulang dan melanjutkan diri ke seluruh rongga-rongga dalam jaringan
tulang termasuk Canalis Haversi dan Canalis Volkmanni. Sebenarnya endosteum
berasal dari jaringan sumsum tulang yang berubah potensinya menjadi osteogenik.

Komponen Jaringan Tulang

Sepertinya halnya jaringan pengikat pada umumnya, jaringan tulang juga terdiri
atas unsur-unsur : sel, substansi dasar, dan komponen fibriler. Dalam jaringan
tulang yang sedang tumbuh, seperti telah dijelaskan pada awal pembahasan,
dibedakan atas 4 macam sel :

- Osteoblas
Sel ini bertanggung jawab atas pembentukan matriks tulang, oleh karena
itu banyak ditemukan pada tulang yang sedang tumbuh. Selnya berbentuk
kuboid atau silindris pendek, dengan inti terdapat pada bagian puncak sel
dengan kompleks Golgi di bagian basal. Sitoplasma tampak basofil karena
banyak mengandung ribonukleoprotein yang menandakan aktif
mensintesis protein. Pada pengamatan dengan M.E tampak jelas bahwa
sel-sel tersebut memang aktif mensintesis protein, karena banyak terlihat
RE dalam sitoplasmanya. Selain itu terlihat pula adanya lisosom.
- Osteosit
Merupakan komponen sel utama dalam jaringan tulang. Pada sediaan
gosok terlihat bahwa bentuk osteosit yang gepeng mempunyai tonjolan-
tonjolan yang bercabang-cabang. Bentuk ini dapat diduga dari bentuk
lacuna yang ditempati oleh osteosit bersama tonjolan-tonjolannya dalam
canaliculi. Dari pengamatan dengan M.E dapat diungkapkan bahwa
kompleks Golgi tidak jelas, walaupun masih terlihat adanya aktivitas
sintesis protein dalam sitoplasmanya. Ujung-ujung tonjolan dari osteosit
yang berdekatan saling berhubungan melalui gap junction. Hal-hal ini
menunjukkan bahwa kemungkinan adanya pertukaran ion-ion di antara
osteosit yang berdekatan. Osteosit yang terlepas dari lacunanya akan
mempunyai kemampuan menjadi sel osteoprogenitor yang pada gilirannya
tentu saja dapat berubah menjadi osteosit lagi atau osteoklas.
- Osteoklas
Merupakan sel multinukleat raksasa dengan ukuran berkisar antara 20 μm-
100μm dengan inti sampai mencapai 50 buah. Sel ini ditemukan untuk
pertama kali oleh Köllicker dalam tahun 1873 yang telah menduga bahwa
terdapat hubungan sel osteoklas (O) dengan resorpsi tulang. Hal tersebut
misalnya dihubungkan dengan keberadaan sel-sel osteoklas dalam suatu
lekukan jaringan tulang yang dinamakan Lacuna Howship (H). keberadaan
osteoklas ini secara khas terlihat dengan adanya microvilli halus yang
membentuk batas yang berkerut-kerut (ruffled border). Gambaran ini
dapat dilihat dengan mroskop electron. Ruffled border ini dapat
mensekresikan beberapa asam organik yang dapat melarutkan komponen
mineral pada enzim proteolitik lisosom untuk kemudian bertugas
menghancurkan matriks organic. Pada proses persiapan dekalsifikasi (a),
osteoklas cenderung menyusut dan memisahkan diri dari permukaan
tulang. Relasi yang baik dari osteoklas dan tulang terlihat pada gambar (b).
resorpsi osteoklatik berperan pada proses remodeling tulang sebagai
respon dari pertumbuhan atau perubahan tekanan mekanikal pada tulang.
Osteoklas juga berpartisipasi pada pemeliharaan homeostasis darah jangka
panjang.
Selain pendapat di atas, ada sebagian peneliti berpendapat bahwa keberadaan
osteoklas merupakan akibat dari penghancuran tulang. Adanya penghancuran
tulang osteosit yang terlepas akan bergabung menjadi osteoklas. Tetapi akhir-
akhir ini pendapat tersebut sudah banyak ditinggalkan dan beralih pada pendapat
bahwa sel-sel osteoklas-lah yang menyebabkan terjadinya penghancuran jaringan
tulang.

Sel Osteoprogenitor

Sel tulang jenis ini bersifat osteogenik, oleh karena itu dinamakan pula sel
osteogenik. Sel-sel tersebut berada pada permukaan jaringan tulang pada
periosteum bagian dalam dan juga endosteum. Selama pertumbuhan tulang, sel-
sel ini akan membelah diri dan mnghasilkan sel osteoblas yang kemudian akan
akan membentuk tulang. Sebaliknya pada permukaan dalam dari jaringan tulang
tempat terjadinya pengikisan jaringan tulang, sel-sel osteogenik menghasilkan
osteoklas.
Sel – sel osteogenik selain dapat memberikan osteoblas juga berdiferensiasi
menjadi khondroblas yang selanjutnya menjadi sel cartilago. Kejadian ini,
misalnya, dapat diamati pada proses penyembuhan patah tulang. Menurut
penelitian, diferensiasi ini dipengaruhi oleh lingkungannya, apabila terdapat
pembuluh darah maka akan berdiferensiasi menjadi osteoblas, dan apabila tidak
ada pembuluh darah akan menjadi khondroblas. Selain itu, terdapat pula
penelitian yang menyatakan bahwa sel osteoprogenitor dapat berdiferensiasi
menjadi sel osteoklas lebih – lebih pada permukaan dalam dari jaringan tulang.

Matriks Tulang

Berdasarkan beratnya, matriks tulang yang merupakan substansi interseluler


terdiri dari ± 70% garam anorganik dan 30% matriks organic, 95% komponen
organic dibentuk dari kolagen, sisanya terdiri dari substansi dasar proteoglycan
dan molekul-molekul non kolagen yang tampaknya terlibat dalam pengaturan
mineralisasi tulang. Kolagen yang dimiliki oleh tulang adalah kurang lebih
setengah dari total kolagen tubuh, strukturnya pun sama dengan kolagen pada
jaringan pengikat lainnya. Hampir seluruhnya adalah fiber tipe I. Ruang pada
struktur tiga dimensinya yang disebut sebagai hole zones, merupakan tempat bagi
deposit mineral. Kontribusi substansi dasar proteoglycan pada tulang memiliki
proporsi yang jauh lebih kecil dibandingkan pada kartilago, terutama terdiri atas
chondroitin sulphate dan asam hyaluronic. Substansi dasar mengontrol kandungan
air dalam tulang, dan kemungkinan terlibat dalam pengaturan pembentukan fiber
kolagen.

Materi organik non kolagen terdiri dari osteocalcin (Osla protein) yang terlibat
dalam pengikatan kalsium selama proses mineralisasi, osteonectin yang berfungsi
sebagai jembatan antara kolagen dan komponen mineral, sialoprotein (kaya akan
asam salisilat) dan beberapa protein.

Matriks anorganik merupakan bahan mineral yang sebagian besar terdiri dari
kalsium dan fosfat dalam bentuk kristal-kristal hydroxyapatite. Kristal –kristal
tersebut tersusun sepanjang serabut kolagen. Bahan mineral lain : ion sitrat,
karbonat, magnesium, natrium, dan potassium.

Kekerasan tulang tergantung dari kadar bahan anorganik dalam matriks,


sedangkan dalam kekuatannya tergantung dari bahan-bahan organik khususnya
serabut kolagen.

Mekanisme Kalsifikasi Dan Resorpsi Tulang

Kalsifikasi dalam tulang tidak terlepas dari proses metabolisme kalsium dan
fosfat. Bahan-bahan mineral yang akan diendapkan semula berada dalam aliran
darah. Osteoblas berperan dalam mensekresikan enzim alkali fosfatase. Dalam
keadaan biasa, darah dan cairan jaringan mengandung cukup ion fosfat dan
kalsium untuk pengendapan kalsium Ca3(PO4)2 apabila terjadi penambahan ion
fosfat dan kalsium. Penambahan ion-ion tersebut diperoleh dari pengaruh enzim
alkali fosfatase dari osteoblas. Hal tersebut juga dapat diperoleh dari pengaruh
hormone parathyreoid dan pemberian vitamin D atau pengaruh makanan yang
mengandung garam kalsium tinggi.

Faktor lain yang harus diperhitungkan yaitu keadaan pH karena kondisi yang agak
asam lebih menjurus ke pembentukan garam CaHPO4 daripada Ca3(PO4)2.
Karena CaHPO4 lebih mudah larut, maka untuk mengendapkannya dibutuhkan
kadar fosfat dan kalsium yang lebih tinggi daripada dalam kondisi alkali untuk
mengendapkan Ca3(PO4)2 yang kurang dapat larut. Kenaikan kadar ion kalsium
dan fosfat setempat sekitar osteoblast dan khondrosit hipertrofi disebabkan sekresi
alkali fosfatase yang akan melepaskan fosfat dari senyawa organik yang ada di
sekitarnya. Serabut kolagen yang ada di sekitar osteoblast akan merupakan inti
pengendapan, sehingga kristal-kristal kalsium akan tersusun sepanjang serabut.

Resorpsi tulang sama pentingnya dengan proses kalsifikasinya, karena tulang akan
dapat tumbuh membesar dengan cara menambah jaringan tulang baru dari
permukaan luarnya yang dibarengi dengan pengikisan tulang dari permukaan
dalamnya. Resorpsi tulang yang sangat erat hubungannya dengan sel-sel
osteoklas, mencakup pembersihan garam mineral dan matriks organic yang
kebanyakan merupakan kolagen. Dalam kaitannya dengan resorpsi tersebut
terdapat 3 kemungkinan :

- osteoklas bertindak primer dengan cara melepaskan mineral yang disusul


dengan depolimerisasi molekul-molekul organic,
- osteoklas menyebabkan depolimerisasi mukopolisakarida dan glikoprotein
sehingga garam mineral yang melekat menjadi bebas,
- sel osteoklas berpengaruh kepada serabut kolagen

Rupanya, cara yang paling mudah untuk osteoklas dalam membersihkan garam
mineral yaitu dengan menyediakan suasana setempat yang cukup asam pada
permukaan kasarnya. Bagaimana cara osteoklas membuat suasana asam belum
dapat dijelaskan. Perlu pula dipertimbangkan adanya lisosom dalam sitoplasma
osteoklas yang pernah dibuktikan.

Pertumbuhan Tulang

Perkembangan tulang pada embrio terjadi melalui dua cara, yaitu osteogenesis
desmalis dan osteogenesis enchondralis. Keduanya menyebabkan jaringan
pendukung kolagen primitive diganti oleh tulang, atau jaringan kartilago yang
selanjutnya akan diganti pula menjadi jaringan tulang. Hasil kedua proses
osteogenesis tersebut adalah anyaman tulang yang selanjutnya akan mengalami
remodeling oleh proses resorpsi dan aposisi untuk membentuk tulang dewasa
yang tersusun dari lamella tulang. Kemudian, resorpsi dan deposisi tulang terjadi
pada rasio yang jauh lebih kecil untuk mengakomodasi perubahan yang terjadi
karena fungsi dan untuk mempengaruhi homeostasis kalsium. Perkembangan
tulang ini diatur oleh hormone pertumbuhan, hormone tyroid, dan hormone sex.

Osteogenesis Desmalis

Nama lain dari penulangan ini yaitu Osteogenesis intramembranosa, karena


terjadinya dalam membrane jaringan. Tulang yang terbentuk selanjutnya
dinamakan tulang desmal. Yang mengalami penulangan desmal ini yaitu tulang
atap tengkorak. Mula-mula jaringan mesenkhim mengalami kondensasi menjadi
lembaran jaringan pengikat yang banyak mengandung pembuluh darah. Sel-sel
mesenkhimal saling berhubungan melalui tonjolan-tonjolannya. Dalam substansi
interselulernya terbentuk serabut-serabut kolagen halus yang terpendam dalam
substansi dasar yang sangat padat.

Tanda-tanda pertama yang dapat dilihat adanya pembentukan tulang yaitu matriks
yang terwarna eosinofil di antara 2 pembuluh darah yang berdekatan. Oleh karena
di daerah yang akan menjadi atap tengkorak tersebut terdapat anyaman pembuluh
darah, maka matriks yang terbentuk pun akan berupa anyaman. Tempat perubahan
awal tersebut dinamakan Pusat penulangan primer.
Pada proses awal ini, sel-sel mesenkhim berdiferensiasi menjadi osteoblas yang
memulai sintesis dan sekresi osteoid. Osteoid kemudian bertambah sehingga
berbentuk lempeng-lempeng atau trabekulae yang tebal. Sementara itu
berlangsung pula sekresi molekul-molekul tropokolagen yang akan membentuk
kolagen dan sekresi glikoprotein. Sesudah berlangsungnya sekresi oleh osteoblas
tersebut disusul oleh proses pengendapan garam kalsium fosfat pada sebagian dari
matriksnya sehingga bersisa sebagai selapis tipis matriks osteoid sekeliling
osteoblas. Dengan menebalnya trabekula, beberapa osteoblas akan terbenam
dalam matriks yang mengapur sehingga sel tersebut dinamakan osteosit. Antara
sel-sel tersebut masih terdapat hubungan melalui tonjolannya yang sekarang
terperangkap dalam kanalikuli. Osteoblas yang telah berubah menjadi osteosit
akan diganti kedudukannya oleh sel-sel jaringan pengikat di sekitarnya. Dengan
berlanjutnya perubahan osteoblas menjadi osteosit maka trabekulae makin
menebal, sehingga jaringan pengikat yang memisahkan makin menipis. Pada
bagian yang nantinya akan menjadi tulang padat, rongga yang memisahkan
trabekulae sangat sempit, sebaliknya pada bagian yang nantinya akan menjadi
tulang berongga, jaingan pengikat yang masih ada akan berubah menjadi sumsum
tulang yang akan menghasilkan sel-sel darah. Sementara itu, sel-sel
osteoprogenitor pada permukaan Pusat penulangan mengalami mitosis untuk
memproduksi osteoblas lebih lanjut

Osteogenesis Enchondralis

Awal dari penulangan enkhondralis ditandai oleh pembesaran khondrosit di


tengah-tengah diaphysis yang dinamakan sebagai pusat penulangan primer. Sel –
sel khondrosit di daerah pusat penulangan primer mengalami hypertrophy,
sehingga matriks kartilago akan terdesak mejadi sekat – sekat tipis. Dalam
sitoplasma khondrosit terdapat penimbunan glikogen. Pada saat ini matriks
kartilago siap menerima pengendapan garam – garam kalsium yang pada
gilirannya akan membawa kemunduran sel – sel kartilago yang terperangkap
karena terganggu nutrisinya. Kemunduran sel – sel tersebut akan berakhir dengan
kematian., sehingga rongga – rongga yang saling berhubungan sebagai sisa – sisa
lacuna. Proses kerusakan ini akan mengurangi kekuatan kerangka kalau tidak
diperkuat oleh pembentukan tulang disekelilingnya. Pada saat yang bersamaan,
perikhondrium di sekeliling pusat penulangan memiliki potensi osteogenik
sehingga di bawahnya terbentuk tulang. Pada hakekatnya pembentukan tulang ini
melalui penulangan desmal karena jaringan pengikat berubah menjadi tulang.
Tulang yang terbentuk merupakan pipa yang mengelilingi pusat penulangan yang
masih berongga – rongga sehingga bertindeak sebagai penopang agar model
bentuk kerangka tidak terganggu. Lapisan tipis tulang tersebut dinamakan pipa
periosteal. Setelah terbentuknya pipa periosteal, masuklah pembuluh – pembuluh
darah dari perikhondrium,yang sekarang dapat dinamakan periosteum, yang
selanjutnya menembus masuk kedalam pusat penulangan primer yang tinggal
matriks kartilago yang mengalami klasifikasi. Darah membawa sel – sel yang
diletakan pada dinding matriks. Sel – sel tersebut memiliki potensi hemopoetik
dan osteogenik. Sel – sel yang diletakan pada matriks kartilago akan bertindak
sebagai osteoblast. Osteoblas ini akan mensekresikan matriks osteoid dan
melapiskan pada matriks kartilago yang mengapur. Selanjutnya trabekula yang
terbentuk oleh matriks kartilago yang mengapur dan dilapisi matriks osteoid akan
mengalami pengapuran pula sehingga akhirnya jaringan osteoid berubah menjadi
jaringan tulang yang masih mengandung matriks kartilago yang mengapur di
bagian tengahnya. Pusat penulangan primer yang terjadi dalam diaphysis akan
disusun oleh pusat penulangan sekunder yang berlangsung di ujung – ujung model
kerangka kartilago.

Pertumbuhan Memanjang Tulang Pipa

Setelah berlangsung penulangan pada pusat penulangan sekunder di daerah


epiphysis, maka teradapatlah sisa – sisa sel khondrosit diantara epiphysis dan
diaphysis. Sel – sel tersebut tersusun bederet –deret memanjang sejajar sumbu
panjang tulang. Masing – masing deretan sel kartilago dipisahkan oleh matriks
tebal kartilago, sedangkan sel –sel kartilago dalam masing – masing deretan
dipisahkan oleh matriks tipis. Jaringan kartilago yang memisahkan epiphysis dan
diaphysis berbentuk lempeng atau cakram sehingga dinamakan Discus
epiphysealis. Sel –sel dalam masing – masing deretan tidak sama penampilannya.
Hal ini disebabkan karena ke arah diaphysis sel – sel kartilago berkembang yang
sesuai dengan perubahan – perubahan yang terjadi pada pusat penulangan. Karena
perubahan sel –sel dalam setiap deret seirama, maka discus tersebut menunjukan
gambaran yang dibedakan dalam daerah – daerah perkembangan.

Daerah – daerah perkembangan :

1. Zona Proliferasi : sel kartilago membelah diri menjadi deretan sel – sel gepeng.

2. Zona Maturasi : sel kartilago tidak lagi membelah diri,tapi bertambah besar.

3. Zona hypertrophy : sel –sel membesar dan bervakuola.

4. Zona kalsifikasi : matriks cartílago mengalami kalsifikasi.

5. Zona degenerasi : sel – sel cartílago berdegenerasi diikuti oleh terbukanya


lacuna sehingga terbentuk trabekula.

Karena masuknya pembuluh darah, maka pada permukaan trabekula di daerah ke


arah diaphysis diletakan sel –sel yang akan berubah menjadi osteoblas yang
selanjutnya akan melanjutkan penulangan. Dalam proses pertumbuhan discus
epiphysealis akan semakin menipis, sehingga akhirnya pada orang yang telah
berhenti pertumbuhan memanjangnya sudah tidak deketemukan lagi.

Pembesaran Diameter Tulang Pipa

Pertumbuhan tulang pipa selain memanjang melalui discus epiphysealis juga


mengalami pertambahan diameter dengan cara pertambahan jeringan tulang
melalui penulangan oleh periosteum lapisan dalam yang dibarengi dengan
pengikisan jaringan tulang dari permukaan dalamnya.
Dengan adanya proses pengikisan jaringan tulang ini, walau pun diameter tulang
bertambah namun ketebalannya tetap dipertahankan. Hal ini penting,karena tanpa
pengikisan,berat tulang akan bertambah terus sehingga mengganggu fungsinya.

Perubahan Struktur Jaringan Tulang

Pada mulanya, dari perkembangan trabekula tulang terbentuk semacam sistem


harvers yang tidak teratur polanya yang dinamakan sistem Havers primitif. Untuk
membentuk sistem Havers dengan pola teratur, perlulah sistem Havers primitif
mengalami perubahan sehingga terjadilah tulang sekunder. Perubahan dimulai
pada beberapa tempat yang terletak tersebar dalam bentuk rongga – rongga yang
disebabkan erosi tulang oleh sel-sel osteoklas. Rongga – rongga tersebut meluas
sehingga terbentuk silindris yang memanjang, disusul oleh masuknya pembuluh
darah bersama jeringan sumsum tulang kedalam rongga – rongga tersebut.

Apabila rongga sudah cukup besar, erosi akan berhenti dalm mulailah
pembentukn tulang oleh osteoblas yang diletakan oleh darah pada dinding rongga.
Pembentukan tulang berlangsung sebagai lembaran – lembaran yang dimulai dari
dinding rongga yang makin lama makin mengecilkan rongga sehingga akhirnya
pembuluh darah dikelilingi penuh oleh lembaran – lembaran tulang. Dengan
demikian terbentuklah sistem harvers dengan pembuluh darah di tengahnya. Pada
perbatasan luar setiap sistem harvers terdapat substansi perekat yang merupakan
sisa matriks tulang. Pembentukan sistem Havers tidak berhenti estela proses di
atas, namun akan terjadi pula erosi lagi yang diikuti pembentukan sistem harvers
baru seperti semula. Proses tersebut terjadi berulang-ulang sehingga pada
potongan melintang tulang pipa akan dapat dibedakan beberapa struktur :

1. Sistem Havers yang lama

2. Sistem Havers yang sedang dibentuk

3. Ruang-ruang karena erosi

4. Sisa – sisa sistem harvers sebagai lamela intersitiil.


C. Kelainan Kongenital pada Ekstremitas
 Pes Planus

Pes planus adalah kondisi di mana lengkung kaki atau foot arch pada
bagian medial tarsal tidak tampak. Kelainan ini ditemukan sebagai malformasi
kongenital. Penyebab tidak adanya lengkung kaki membagi kelainan ini menjadi 2
jenis.

JENIS PES PLANUS


a. Flexible Pes Planus
Flexible Pes Planus merupakan tidak adanya lengkung kaki yang non-
patologis. Ditemukan pada 12% dari kelahiran pada anak-anak berusia 0-8 tahun.
Lengkung kaki tidak tampak akibat adanya jaringan lemak subkutan dan
kelemahan ligamen. Lengkung kaki dapat terlihat pada saat anak tiptoeing atau
jinjit dan saat ibu jari kaki didorsofleksikan.
(a) Lengkung kaki tidak tampak pada saat berdiri ; (b) Lengkung kaki
tampak saat jinjit ; (c) Lengkung kaki tampak saat ibu jari kaki
didorsofleksikan.

b. Pathological Pes Planus


Saat anak-anak berusia 8-10 tahun, flexible pes planus mulai menghilang,
mulai tampak lengkung kaki. Apabila setelah usia 10 tahun, lengkung kaki masih
belum tampak saat berdiri normal, terdapat beberapa kemungkinan yang dapat
menyebabkan. Angka kejadian dari pathological pes planus adalah 5% dari
kelahiran. Berikut adalah penyebab paling umum ditemukan pada pathological
pes planus.
1. Tarsal coalition
Terdapat sambungan atau bridging antara 2 tulang kartilago
tarsal. Awalnya sambungan ini berupa serat kolagen yang kemudian
menjadi kartilago dan mengalami osifikasi menjadi tulang. Sambungan 2
tulang tarsal yang umum ditemukan pada pathological pes planus adalah
sambungan calcaneonavicular (antara tulang calcaneus dan navicular) dan
sambungan taleocalcaneal (antara tulang tallus dan calcaneus).
2. Accessory navicular
Terdapat bagian tambahan yang abnormal pada tulang
navicular. Bagian tambahan dari tulang ini menonjol dari tulang navicular
ke arah medial sumbu tubuh.

TANDA DAN GEJALA


Terdapat 4 tanda dan gejala utama yang dapat ditemukan pada pasien :
1. Keseleo pada ankle yang berulang
2. Nyeri kaki
3. Berkurangnya gerakan subtalar

4. Spasme tendon peroneal


Tendon peroneal teraba keras

TATALAKSANA
Apabila pasien tidak mengeluhkan nyeri, tidak ada terapi yang diperlukan.
Apabila pasien mengeluhkan nyeri, istirahat dan pemberian NSAID dapat
membantu. Penggunaan sepatu dapat mengurangi keluhan nyeri, tetapi tidak dapat
mengoreksi kelainan pes planus. Penggunaan sepatu yang sempit dan hak tinggi
harus dihindari.
 Club Foot

CTEV/ Club Foot adalah deformitas yang meliputi fleksi dari pergelangan kaki,
inversi dari tungkai, adduksi dari kaki depan, dan rotasi media dari tibia (Talipes
berasal dari kata talus (ankle) dan pes (foot), menunjukkan suatu kelainan pada
kaki (foot) yang menyebabkan penderitanya berjalan pada ankle-nya. Sedang
Equinovarus berasal dari kata equino (meng.kuda) + varus (bengkok ke arah
dalam/medial). Jadi dapat disimpulkan ada Club Foot terjadi kelainan berupa :

 Fore Foot Adduction (kaki depan mengalami adduksi dan supinasi)


 Hind Foot Varus (tumit terinversi)
 Equinus ankle (pergelangan kaki dalam keadaan equinus = dalam
keadaan plantar fleksi)

Etiologi

Idiopatik, ada hubunganya dengan :

- Posisi Intrauterin (Burhubungan dengan oligohidramnion)


- Genetik
- Kelainan Neuromuscular

Insidensi

Insidensi adalah sekitar 1 dari 1000 kelahiran. Pria > Wanita, dengan 65% kasus
terjadi pada pria. Pada 30-40% kasus terjadi bilateral

Klasifikasi
1. Postural Club foot

2. Congenital Club foot :

• Simple

• Rigid → pada kasus yang rigid, perlu tindakan operasi.

3. Syndromic Club foot, yang diasosiasikan sebagai :


- Artrogryposis Multiplex Congenital atau amioplasia → suatu kelainan
kongenital yang berkaitan dengan penggantian otot dengan jaringan fibrosa pada
saat lahir, sehingga mengakibatkan hilangnya mobilitas sendi, dan berkaitan
dengan deformitas seperti misalnya CHD, talipes equinovarus, dislokasi lutut.

- Myelomeningocel. Pada kasus ini terjadi imbalance otot sehingga terjadi club
foot tipe rigid.

Diagnosis
Kelainan ini mudah didiagnosis, dan biasanya terlihat nyata pada waktu lahir
(early diagnosis after birth). Pada bayi yang normal dengan equinovarus postural,
kaki dapat mengalami dorsifleksi dan eversi hingga jari-jari kaki menyentuh
bagian depan tibia. “Passive manipulation dorsiflexion → Toe touching tibia →
normal”. 
Prognosis
Asalkan terapi dimulai sejak lahir, deformitas sebagian besar dapat diperbaiki;
walupun demikian, keadaan ini sering tidak sembuh sempurna dan sering kambuh,
terutama pada bayi dengan kelumpuhan otot yang nyata atau disertai penyakit
neuromuskuler.
Terapi
Menurut penelitian yang dilakukan Ponseti, sekitar 90-95% kasus club foot bisa
di-treatment dengan tindakan non-operatif. Treatment yang dapat dilakukan pada
club foot dapat berupa :

1. Non-Operatif : Serial Plastering (manipulasi pemasangan gibs serial yang


diganti tiap minggu, selama 6-12 minggu). Setelah itu dialakukan koreksi dengan
menggunakan sepatu khusus, sampai anak berumur 16 tahun.

2.Operatif
Indikasi dilakukan operasi adalah sebagai berikut :

- Jika terapi dengan gibs gagal


- Pada kasus Rigid club foot pada umur 3-9 bulan
Operasi dilakaukan dengan melepasakan karingan lunak yang mengalami
kontraktur maupun dengan osteotomy. Osteotomy biasanya dilakukan pada kasus
club foot yang neglected/ tidak ditangani dengan tepat.
Kasus yang resisten paling baik dioperasi pada umur 8 minggu, tindakan ini
dimulai dengan pemanjangan tendo Achiles ; kalau masih ada equinus, dilakuakan
posterior release dengan memisahkan seluruh lebar kapsul pergelangan kaki
posterior, dan kalau perlu, kapsul talokalkaneus. Varus kemudian diperbaiki
dengan melakukan release talonavikularis medial dan pemanjangan tendon tibialis
posterior.

Pada umur > 5 tahun dilakukan bone procedure osteotomy. Diatas umur 10


tahun atau kalau tulang kaki sudah mature, dilakukan tindakan artrodesis
triple yang terdiri atas reseksi dan koreksi letak pada tiga persendian, yaitu : art.
talokalkaneus, art. talonavikularis, dan art. kalkaneokuboid.

 Genu Valgum

Deformitas kaki atau kaki pengkar yang membentuk huruf X , kedua lutut
bersinggungan. Normalnya dalam tubuh tidak ada deviasi dari sumbu mekanikal
axis, ketika pasien dalan keadaan tegap, posisi ini menyeimbangkan kompartmen
medial dan lateral.

Etiologi dan Klasifikasi

Etiologi penyakit dapat terjadi genetik ataupun idiopatik. Apabila menyerang anak
usia kurang 6 tahun merupakan genu valgum fisiologis tidak berbahaya karena
ada kelemahan ligamen dan kurangnya simetri. Pada semua usia selain fisiologi
juga bisa terkena Genu Valgum Patologis, deviasi yang menetap.

Patofisologi

1. Sumbu mekanik bergeser ke lateral, stress patologik ditempatkan di


femur lateral dan tibia menghambat pertumbuhan. Tekanan berlebihan
yang terjadi dapat menyebabkan penekanan pertumbuhan kondilus
lateral femur secara global  sulkus femoral dangkal  patella miring
2. Tibia juga relatif ke medial karena femur yang tertekan 
membahayakan integritas medial ligamen kolateral  rasa sakit lokal 
progresif kelemahan sendi
3. Nyeri karena lutut yang bersinggungan menyebabkan kaki sering
diayunkan keluar untuk menghindari bersama (circumduction gait) 
tidak bisa beraktivitas

Treatment

Genu valgum fisiologis : tidak diperlukan terapi

Genu valgum patologis :

 Bracing, sepatu, fisioterapi hasilnya minimal


 Osteotomi bisa dilakukan tetapi sangat invasif

 Genu Varum

Deformitas sudut meripakan kelainan yang sering ditemukan pada orang


dewasa. Biasanya ditemukan kaki melengkungbpada pria dan kaki pengkar pada
wanita. Deformitas ini dapat merupakan akibat deformitas masa kanak kanak.
Kalau memang begitu, biasanya memang tidak ada masalah. Tetapi, kalau
deformitas ini disertai kelainan sendi meski sedikit hal ini dapat menyebabkan
osteoartritis pada kompartemen medial genu varum. Sekalipun tidak ada
osteoartritis yang teraembunyi, kalau pasien mengeluh nyeri atau terdapat tanda
tanda kerusakan sendi secara klinik atau radiologis maka osteotomi profilaksis
dapat dilakukan dibawah lutut untuk genu varum. Deformitas dapat berupa akibat
sekunder artritis. Pada genu varum karena osteoartritis. Adapun ada penyebab
penyebab lain genu varum yaitu cedera ligamentum. Kalau mungkin penyakit
yang mendasari ini harus ditangani. Asalka sendi stabil, hanya osteotomi korektif
yang diperlukan.

 Osteogenesis Imperfecta

Definisi
Osteogenesis imperfekta atau brittle bone disease adalah suatu kelainan
jaringan ikat dan tulang yang bersifat herediter yang ditandai dengan
pembentukan abnormal kolagen tipe 1 (terdapat di berbagai jaringan termasuk
tulang, kulit, sendi, mata, telinga).
Epidemiologi
Kelainan ini diturunkan secara autosomal dominan. Kejadian OI
diperkirakan 1 per 20.000-60.000 kelahiran hidup.
Klasifikasi
Berdasarkan klinis,genetik dan biokimia,OI dapat dibagi dalam 4 tipe,yaitu:
 Tipe l (Autosomal Dominant)
 Tipe ll (new dominant mutations)
 Tipe lll (some genes mutations, some recessive)
 Tipe IV (Autosomal recessive)
Etiologi
Hampir 90% bentuk klinis (tipe) OI disebabkan oleh kelainan struktural
atau produksi  dari prokolagen tipe I (COL1A1 dan COL1A2), komponen  protein
utama matriks ekstraselular tulang dan kulit. Sekitar 10% kasus klinis yang tak
jelas, tidak didapat kelainan biokimia dan molekul prokolagen. Tidak diketahui
dengan jelas apakah kasus ini dikarenakan deteksi yang terbatas atau karena
kelainan genetik yang heterogen. 
Faktor Yang Mempengaruhi : osteogenesis imperfekta merupakan
kelainan yang diturunkan secara resesif dimana factor-faktor pascanatal seperti
trauma, mempunyai peran yang dominan
Manifestasi klinis
 Tipe I (Ringan)
Bentuk OI paling ringan dan paling sering ditemukan, bahkan sering
ditemukan dalam suatu pedigree keluarga yang besar. Diturunkan secara
autosomal dominan dan disebabkan oleh menurunnya produksi/ sintesis
prokolagen tipe I (functional null alleles). Kebanyakan penderita tipe I:
o mempunyai sklera berwarna biru,
o fraktur berulang pada masa anak-anak tapi tidak sering  Fraktur
terjadi karena trauma ringan – sedang dan menurun setelah pubertas.
Terdapat dua subtipe yaitu subtipe A bila tidak disertai dentinogenesis
imperfecta dan subtipe B bila disertai dentinogenesis imperfecta.
o ketulian (30-60% pada usia 20-30 tahun).
o mudah memar,
o kelemahan sendi dan otot,
o kifoskoliosis,
o dan perawakan pendek ringan dibanding anggota keluarga
lainnya. 
 Tipe II (Sangat berat/ perinatal lethal)
Penderita sering lahir mati atau meninggal pada tahun pertama
kehidupan dengan berat lahir dan panjang badan kecil untuk masa kehamilan.
Kematian terutama disebabkan karena distres pernafasan, juga karena
malformasi atau perdarahan sistem saraf pusat. Terjadi karena mutasi baru
yang diturunkan secara autosomal dominan (jarang resesif) akibat penggantian
posisi glisin pada triple helix prokolagen tipe I dengan asam amino lain. Pada
penderita tipe II ini:
o Tulang rangka dan jaringan ikat lainnya sangat rapuh.
o Terdapat fraktur multipel tulang panjang intrauterin yang terlihat
sebagai crumpled appearance pada radiografi.
o Tulang tengkorak tampak lebih besar dibanding ukuran tubuh
dengan pembesaran fontanela anterior dan posterior.
o Fraktur multipel tulang iga membentuk gambaran manik-manik
(beaded appearance), thoraks yang sempit ikut berperan dalam terjadinya
distres pernafasan.
o Penderita mungkin mempunyai hidung yang kecil dan/
mikrognatia.
o Sklera berwarna biru gelap-keabuan. 
 Tipe III (Berat/Progresif)
Merupakan tipe dengan manifestasi klinis paling berat namun tidak
mematikan yang menghasilkan gangguan fisik signifikan:
o berupa sendi yang sangat lentur,
o kelemahan otot,
o nyeri tulang kronis berulang,
o dan deformitas tengkorak.
o Berat badan dan panjang lahir sering rendah.
o Fraktur sering terjadi dalam uterus.
o Setelah lahir, fraktur sering terjadi tanpa sebab dan sembuh
dengan deformitas.
o Kebanyakan penderita mengalami perawakan pendek.
o Bentuk wajah relatif triangular dan makrosefali.
o Sklera bervariasi dari putih hingga biru.
o Sering dijumpai dentinogenesis imperfecta (80% pada anak usia <
10 tahun).
o Disorganisasi matriks tulang menyebabkan gambaran popcorn
pada metafisis, dilihat dari gambaran radiologi. 
 Tipe IV (Tak terdefinisi/ Moderately severe)
Terjadi karena point mutation atau delesi kecil pada prokolagen tipe I
yaitu pada rantai COL1A2, kadang pada COL1A1. Merupakan tipe OI yang
paling heterogen karena memasukkan temuan-temuan pada penderita yang
tidak tergolong dalam 3 tipe sebelumnya, yaitu:
o Fraktur dapat terjadi dalam uterus dengan tulang panjang bawah
bengkok yang tampak sejak lahir.
o Sering terjadi fraktur berulang,
o kebanyakan penderita mempunyai tulang yang bengkok walau
tidak sering mengalami fraktur. Frekuensi fraktur berkurang setelah masa
pubertas. Penderita tipe ini memerlukan intervensi ortopedik dan
rehabilitasi tetapi biasanya mereka dapat melakukan ambulasi sehari-hari.
o Penderita mengalami perawakan pendek moderate.
o Warna sklera biasanya putih.
o Dapat dijumpai dentinogenesis imperfecta, sehingga beberapa
penulis membedakan tipe ini menjadi 2 subtipe yaitu subtipe A bila tidak
disertai dentinogenesis imperfecta dan subtipe B bila disertai
dentinogenesis imperfecta.
o Gambaran radiologi dapat menunjukkan osteoporotik dan
kompresi vertebraAdanya penelitian mikroskopik terhadap tulang
penderita OI membawa penemuan tipe-tipe baru OI. Para peneliti
menemukan beberapa penderita yang secara klinis termasuk tipe IV
mempunyai pola yang berbeda pada tulangnya. Mereka menamakan
sebagai OI tipe V dan tipe VI. Penyebab mutasi pada kedua tipe ini belum
dapat diidentifikasi, namun diketahui penderita kedua tipe ini tidak
mengalami mutasi pada gen prokolagen tipe I. Pada tahun 2006 ditemukan
2 tipe baru OI yang diturunkan secara resesif. Kedua tipe ini disebabkan
oleh kelainan gen yang mempengaruhi pembentukan kolagen tapi bukan
mutasi kolagen secara primer.
Pemeriksaan
 Fisik :
o Sklera biru
o Kelainan pada gigi (gigi transparan)
o Mudah terjadi fraktur
 Penunjang :
o Laboratorium biokimia dan molekular
Analisa sintesa kolagen didapat melalui kultur fibroblas dari biopsi
kulit, terutama untuk mendeteksi osteogenesis imperfecta tipe I,III dan IV.
Analisa mutasi DNA prenatal dilakukan pada kehamilan dengan resiko OI,
melalui kultur villus korion. Pemeriksaan kombinasi antara analisa DNA
dan biopsi kolagen akan mendeteksi hampir 90% dari semua tipe mutasi
gen pengkode prokolagen tipe I.
o Pencitraan
- Radiografi tulang skeletal setelah lahir (bone survey)
 Bentuk ringan (tipe I) tampak korteks tulang panjang yang
menipis, tidak tampak deformitas tulang panjang. Bisa
menunjukkan gambaran Wormian (Wormian bones) pada cranium.
 Bentuk sangat berat (tipe II)  tampak gambaran manik-manik
(beaded appearance) pada tulang iga, tulang melebar, fraktur
multipel dengan deformitas tulang panjang.
 Bentuk sedang dan berat (tipe III dan IV)  tampak metafisis
kistik atau gambaran popcorn pada kartilago, tulang dapat normal
atau melebar pada awalnya kemudian menipis, dapat ditemukan
fraktur yang menyebabkan deformitas tulang panjang, sering
disertai fraktur vertebra.
- Densitas mineral tulang (bone densitometry) diukur dengan Dual-Energy
X-Ray Absorptiometry (DEXA) yang menghasilkan nilai rendah pada
penderita.
- Ultrasonografi prenatal pada minggu 15-18 kehamilan untuk mendeteksi
kelainan panjang tulang anggota badan. Yang tampak dapat berupa
gambaran normal (tipe ringan) sampai dengan gambaran isi intrakranial
yang sangat jelas karena berkurangnya mineralisasi tulang kalvaria atau
kompresi kalvaria. Selain itu dapat juga ditemukan tulang panjang yang
bengkok, panjang tulang berkurang (terutama tulang femur), dan fraktur
iga multipel. USG prenatal ini terutama untuk mendeteksi OI tipe II.
Pengobatan
Pada prinsipnya tidak ada pengobatan khusus pada OI, Pengobatan hanya
bertujuan untuk :
 Merawat bayi secara seksama sehingga komplikasi fraktur yang
lebih lanjut dapat dicegah
 Mencegah deformitas yang tidak perlu terjadi melalui penggunaan
bidai yang baik
 Mobilisasi untuk mencegah terjadinya osteoporosis
 Koreksi deformitas jika perlu dilakukan osteotomi dan fiksasi
interna
Komplikasi
Terjadinya patah tulang patologis hingga kematian (type congenital meninggal
saat lahir.)
Prognosis
Prognosis penderita OI bervariasi tergantung klinis dan keparahan yang
dideritanya. Penyebab kematian tersering adalah gagal nafas. Bayi dengan OI tipe
II biasanya meninggal dalam usia bulanan - 1 tahun kehidupan. Sangat jarang
seorang anak dengan gambaran radiografi tipe II dan defisiensi pertumbuhan berat
dapat hidup sampai usia remaja. Penderita OI tipe III biasanya meninggal karena
penyebab pulmonal pada masa anak-anak dini, remaja atau usia 40 tahun-an
sedangkan penderita tipe I dan IV dapat hidup dengan usia yang lebih panjang/
lama hidup penuh.
Penderita OI tipe III biasanya sangat tergantung dengan kursi roda.
Dengan rehabilitasi medis yang agresif mereka dapat memiliki ketrampilan
transfer dan melakukan ambulasi sehari-hari di rumah. Penderita OI tipe IV
biasanya dapat memiliki ketrampilan ambulasi di masyarakat juga tak tergantung
dengan sekitarnya.
 Syndactili

Sindaktili merupakan defek pada diferensiasi. Sindaktili adalah kondisi


terdapatnya tidak adanya atau pembentukkan inkomplet jeda jarak diantara dua
jari-jari. Sindaktili merupakan kegagalan pemisahan antara jari-jari yang
berdekatan yang menghasikan adanya jaringan pada jari-jari.

Gambar Sindaktili
Etiologi Sindaktili
Kegagalan prosese resesi dari pembelahan jari-jari (webbing) pada pasien
sindaktili masih belum diketahui. Riwayat keluarga didapatkan 15%-40% kasus.
Pola pewarisan genetik ditemukan pada pasien sindaktili tanpa berhubungan
dengan kondisi lain. Sindaktili merupakan tipe autosom dominan dengan variable
pentrance . Sindaktili terjadi karena mutasi, predisposisi keluarga yang
mengindikasikan adanya pola autosom dominan. Sindaktili juga berhubungan
dengan sindrom spesifik seperti Apert syndrome. Sindaktili erhubungan dengan
sindrom craniofacial seperti Apert Sydrome atau acrocephalosyndactyly. Poland
syndrome dan constriction bund syndrome.
Patofisiologi Sindaktili
Pada ibu hamil yang mengkonsumsi obat mempunyai resiko bayi mengalami
malformasi jari-jari. Terdapat dua kategori obat yang meningkatkan risiko
tersebut yaitu antikonvulsan dan antiasmatik.
Sindaktili merupakan hasil kegagalan dari diferensiasi dan diklasifikasikan
oleh klasifikasi embriologi pada anomali kongenital yang diadopsi dari
International Federation for Societies for Surgery of the Hand.
Secara embriologi jari-jari tumbuh dari kondensasi mesoderm dalam dasar
perkembangan upper limb. Selama kehamilan 5-6 minggu, terbentuk pembelahan
antar jari melalui proses apoptosis atau programed cell death, bermula pada ujung
jari dan diteruskan ke arah distal serta proksimal. Daerah ektodermal meregulasi
proses embriologi ini dalam kombinasi dengan faktor pertumbuhan, protein
morfogenetik tulang, perubahan faktor pertumbuhan, produksi gen. Terjadinya
kegagalan pada proses ini dapat terjadi sindaktili.
Terdapat lima perbedaan fenotip pada sindaktili tangan, dengan menyertakan
kaki atau tidak. Pada semua tipe merupakan warisan ciri pembawaan autosom
dominan serta keseragaman dari tipe yang dikenali dalam silsilah. Tipe genetik
dari sindaktili akan berbeda dari sindaktili yang berhubungan dengan congenital
constricting bands, kondisi non-mendel.
Jenis kelamin yang biasanya terkena sindaktili adalah laki-laki daripada
perempuan serta kulit putih lebih rentan terkena daripada kulit hitam atau orang
Asia
Pada permasalahan keluarga tersebut, sindaktili berhubungan dengan
bermacam-macam anomali dan sindrom malformasi. Sindaktili biasanya terjadi
pada acrocephalo (poly) syndactyly syndrome yang berdengan kekhasan
abnormal pada craniofasial. Pada Apert Syndome (acrocephalosyndactyly tipe I),
multipel progresif syostose meliputi phalax distal (biasanya pada jari ke-3 dan 4)
dan akhir proksimal pada metakarpal (ke-4 dan ke-5) pada kedua tangan.
Perlekatan osseus pada jari ke-2 sampe ke-4, kuku tunggal terdapat pada masa
tulang yang menonjol. Perlekatan karpal progresif sympalangism dan khas dari
konfigurasi ibu jari tangan pendek dan meluas distal phalanx dengan deviasi radial
serta pendek, betuk delta proximal phalanx.
Sindaktili kutaneus pada jari ke-2 hingga 5 dan jari-jari kaki biasanya
ditemukan. Manifestasi pada kaki meliputi perlekatan progresif tarsal , toe
syphalangism, da jari-jari kaki sangat pendek dengan deformitas varus.
Tipe acrocephalosyndactyly pada tangan dan tulang tengkorak terjadi
perubahan ringan. Pada Saethre-Chotzen syndrome (acrocephalosyndactyly tipe
III), sindaktili kutaneus parsial khasnya adalah pada jari tanga ke-2 dan 3 serta
pada jari kaki ke-3 dan 4 dengan ibu jari normal.
Pada Pfeiffer syndrome (acrocephalosyndacytyly tipe V) autosom resesif,
dimana terdapat banyak macam dari ekspresi fenotip dengan perubahan dari
ringan hingga berat pada medekati yang dijumpai pada Apert syndrome.
Patogenesis

Kegagalan proses Riwayat Sindrom Konsumsi obat


pembelahan jari sindaktili pada craniofacial antikonvulsan MK Pre-op:
dan apoptosis keluarga dan antiasmatik Kecemasan orang tua
Kurang pengetahuan orang tua
tetang kondisi, prognosis dan
kebutuhan pengobatan
Pewarisan Mutasi gen
gen
autosom Bedah
dominan

Ekspresi gen Penatalakasanaan Terdapat luka


Klasifikasi autosom dominan pembedahan
Simpel sindaktili
Perlekatan pada jaringan lunak dan kulit Stimulus pengeluaran
Sindaktili kompleks neurotransmitter nyeri Port de
Perlekatan melibatkan tulang, jar.lunak, dan Kegagalan entree bakteri
struktur neurovaskar perkembangan jari
Sindaktili parsial MK: Nyeri
Melibatkan daerah proksimal pada jari tangan MK: Risiko
akut
Sndaktili komplit
Malformasi jari infeksi
Memanjang keseluruh sampai ujung jari
Complicated Syndactyly
Tulang yang abnormal diantara jari-jari
Acrosyndactyly MK: Kerusakan
Perlekatan hanya melibatkan bagian distal pada
Sindaktili integritas kulit
jari tangan

Fenotip pada Non bedah


sindaktili

Tipe sindaktili

Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV Tipe V


Lokus 2q34-q36 Mutasi pada gen Komplit dan sindaktili Tangan seperti Jarang ditemukan
Perlekatan komplit HOXD13 lokus 2q31- jaringan lunak mangkok Mempengaruhi jari
atau parsial pada jari q32 bilateral diantara jari Tidak ada perlekatan ke-3 dan 4 serta jari
ke-3 dan 4 Pada jari ke-3 dan 4 ke-4 dan ke-5 tulang kaki ke-2 dan 3
Perlekatan tulang pada duplikasi pada jari ke- Perlekatan ossues Pada kaki lebih
phalanx distal 3 dan 4 dalam selaput tulang jari distal kompleks
Pada kaki diantara jari diantara jari-jari Jari-jari pendek, dasar,
ke-2 dan 3 Pada kaki jari ke-4 atau tidak ada pada
dan ke-5 duplikasi ada jari ke-5 bagian
kelima jari kaki tengah
denngan selaput
dantara jari kaki
Klasifikasi Tipe Sindaktili

1. Sindaktili Tipe I
Pada sindaktili tipe I terdapat perlekatan yang kuat komplit atau
parsial seperti pada perlekatan kutan diantara jari ke-3 dan ke-4, kadang
terdapat pula perlekatan tulang pada tulang jari (phalanx) distal. Pada
kaki biasanya sindaktili terjadi diantara jari kaki ke-2 da ke-3. Kejadian
sindaktili tipe I terjadi tanpa dihubungkan dengan adanya anomali limb,
Poland compelx, atau amniotic bands yang diperkirakan terjadi pada
3/10.000 bayi baru lahir. Sindaktili tipe I lokus pada 2q34-q36.

Sindaktili tipe I pada bayi laki-laki. (a) komplit (tangan kiri) dan parsial (tangan
kanan) peyatuan diantara jari tangan ke-3 dan 4.

2. Sindaktili Tipe II
Pada sindaktili tipe II (synpolydactyly) biasanya sindaktili pada jari
ke-3 dan ke-4 berhubungan dengan duplikasi pada jari 3 atau 4 dalam
selaput diantara jari-jari. Pada kaki selalu menunjukkan terjadi sindaktili
pada jari kaki ke-4 dan 5 dengan duplikasi pada kelima jari kaki pada
selaput diantara jari-jari kaki. Aplasia atau hipoplasia pada tulang jari
bagian tengah pada kaki dapat ditemukan. Fenotip ini disebabkan oleh
adanya mutasi di dalam gen HOXD13 dipetakan pada 2q31-q32
(Scanderbeg & Dallapiccola , 2005).

Sindaktili tipe II (synpolydactyly) (a) sindaktili distal pada jari ke-3 dan 4 degan
duplikasi jari tangan ke-4. (b) (c) sindaktili jaringan lunak diantara jari k-3 dan 4
dngan duplikasi pada jari ke4 yang lekat. Jari tangan tambahan hanya sebagian
terbentuk dan menyatu dengan jari ke-4. (c) malformasi komplek yang terlihat,
bercerangah metakarpal ke-3 dengan duplikasi pada jari tangan ke-3, proksimal dan
distal sinostosis pada jari tambahan dengan ke-4. Kaki juga ikut terpengaruh.

Keberagaman pada defek yang ditunjukkan secara klinis pada


keluarga yang sama dijumpai secara signifikan dengan individu yang
menunjukkan ciri-ciri tipe pada sinpolidaktili, yang lainnya
menunjukkan kedua pre dan postaxial polidaktili atau postaxial
polidaktili tipe A dan masih termanifestasi berat fenotip yang kosisten
dengan homozigot. Manifestasi klinis pada fenotip homozigot meliputi
tangan yang sangat kecil dan kaki dengan jari-jari pendek. Sindaktili
jaringan lunak komplit meliputi semua empat limbs, polidaktili komplit,
distorsi pada tulang panjang di tangan dan kaki serta tulang carpotarsal
(Scanderbeg & Dallapiccola , 2005).

3. Sindaktili Tipe III


Pada sindaktili tipe III (ring and little finger syndactyly) biasanya
komplit dan sindaktili jaringan lunak bilateral diantara jari ke-4 dan ke-5.
Kadang-kadang perlekatan ossues pada tulang jari distal terjadi.
Terjadinya ketidakadaan, pendek atau dasar pada phalanx ke-5 bagian
tengah merupakan bagian dari fenotip. Pada kaki tidak termasuk dalam
sindaktili tipe III dan adanya kejang paraplegia di dalam keluarga yang
sama lebih dari multipel generasi mengangkat kemungkinan bahwa
adanya dua gen yang berhubungan. Hubungan tersebut terbukti bahwa
isolasi sindaktili tipe III ditentukan oleh adanya mutasi gen di dalam
6q22-q24, dimana pada gen tersebut untuk oculodentodigital syndrome.
Ciri-ciri yang diwariskan sama autosom dominan dengan transmisi laki-
laki ke laki-laki (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005).
4. Sindaktili Tipe IV
Pada sindaktili tipe IV tidak terdapat sindaktili kutaneus komplit
pada seluruh jari di kedua tangan yang dihubungkan dengan pre- atau
postaxial hexadactyly (jari-jari tambahan yang berkembang sepenuhnya
dengan duplikasi metakarpal komplit). Flexi pada jari-jari membuat
tangan berbentuk mangkok. Sindaktili tipe IV tidak terdapat perlekatan
tulang. Sindaktili kutaneus parsial pada jari kaki 2 dan 3 dapat terjadi.
Sindaktili tipe IV dengan hexadactyly pada kaki berbeda dan lebih
kompleks pada malformasi lower limbs lainnya seperti aplasia tibia
(Scanderbeg & Dallapiccola , 2005).
5. Sindaktili Tipe V
Sindaktili tipe V jarang ditemukan, jarinagan lunak sindaktili
terjadi berhubungan dengan metakarpal dan metatarsal sinostosis.
Sindaktili jaringan lunak biasanya mempengaruhi jari-jari tangan ke-3
dan 4 serta jari-jari kaki ke-2 dan 3 tetapi tidak dapat lebih luas.
Metakarpal dan metatarsal biasanya melibatkan jari ke-4 dan 5
(Scanderbeg & Dallapiccola , 2005).
Sindaktili kongenital diklasifikasikan berdasarkan pada
keterlibatan jari-jari dan karakter dari jaringan yang bergabung (Hurley,
2011).
a. Simpel Sindaktili
Perlekatan terbatas pada jaringan lunak dan kulit diantara dua
jari tangan yang berdekatan (simple atau kutaneus sindaktili).

Simpel Sindaktili pada anak 1 tahun (laki-laki). Jaringan lunak menempel pada
daerah distal akhir jari ke-4 dan ke-5.
b. Sindaktili Komplek
Sindaktili atau perlekatan yang melibatkan tulang, jaringan
lunak, dan struktur neurovaskuler (Scanderbeg & Dallapiccola ,
2005)

Sindaktili kompleks dengan perlekatan diantara jari tangan ke-4 dan 5 meliputi
jaringan lunak dan tulang keduanya. Sindaktili pada kasus ini merupakan parsial
karena hanya melibatkan bagian proksimal pada jari tangan (proximal
phalanges). Pada temuan selanjutnya meliputi adanya defisiensi proksimal ke-4
metakarpal dan penyatuan karpal antara lunate triquetrum.
c. Sindaktili Parsial
Sindaktili yang melibatkan daerah proksimal pada jari-jari
tangan disebut sindaktili parsial (Scanderbeg & Dallapiccola ,
2005).
d. Sindaktili Komplit
Sindaktili yang memanjang kearah ujung dari seluruh panjang
jari-jari tangan disebut sindaktili komplit (Scanderbeg &
Dallapiccola , 2005).
e. Complicated Syndactyly
Tulang yang abnormal diantara jari-jari (Hurley, 2011).
f. Acrosyndactyly
Acrosyndactyly adalah perlekatan yang hanya melibatkan
bagian distal pada jari-jari tangan (Scanderbeg & Dallapiccola ,
2005).
Pemeriksaan Diagnostik Sindaktili
Plain radiograph pada jari atau tangan yang terdampak dapat diperoleh
secara akurat klasifikasi sindaktili dan untuk mengkaji adanya perlekatan tulang
atau penempatan aksesoris tulang (Hurley, 2011).
Proyeksi AP dan oblique (Scanderbeg & Dallapiccola , 2005):
a. Jaringan komplit atau parsial antara jari ke-3 dan 4 dengan atau
tanpa perlekatan tulang pada akhir distal, tipe I sindaktili.
b. Sindaktili pada jari tangan ke-3 dan 4 menyambung, sindaktili pada
jari kaki ke-4 dan 5 dengan duplikasi pada jari ke-5 dalam
jaringannya, aplasia/hipoplasia pada phalanx tengah jari kaki
(sindaktili tipe II).
c. Sindaktili jaringan lunak bilateral pada jari tangan ke-4 dan dengan
atau tanpa perlekatan tulang pada akhir distal, hipoplasia pada
phalanx tengah ke-5 (sindaktili tipe III).
d. Sindaktili perlekatan jaringan lunak bilateral pada seluruh jari-jari
tangan, preaxial atau postaxial hexadactili (sindaktili tipe IV).
e. Perlekatan jaringan lunak pada jari-jari ke-3 dan 4 dan jari kaki ke-2
dan 3, metakarpal dan metatarsal sinostosis (sindaktili tipe V).
f. Sindaktili kutaneus bilateral pada jari ke-2 sampai 5 pada tangan dan
kaki dengan perlekatan tulang pada tulang jari distal, sinostosis
proksimal akhir metacarpal atau metatarsal, perlekatan karpotarsal,
ibu jari pendek dan deformitas dan jari kaki besar (Apert syndrome).

Apert syndrome
g. Sindaktili kutaneus pada jari tangan ke-2 dan 3 serta pada kaki jari
ke-3 dan 4 (Saethre-Chotzen syndrome).
Komplikasi Sindaktili
Komplikasi dari pembedahan yang kurang baik adalah dilakukannya
pembedahan ulang pada anak-anak (Herring, 2013).
Penatalaksanaan Sindaktili
1. Penatalaksanaan Kolaboratif
Orang tua pasien dengan sindaktili diinstruksikan untuk melakukan
physical therapy yaitu masase pada kulit yang menyatu. Masase daerah
yang menyatu sebelum pembedahan tujuannya untuk meregangkan kulit
sehingga dapat diperbaiki lebih mudah (Kenner, 2013).
2. Penatalaksanaan Non-Bedah
Penatalaksanaan non-bedah dipertimbangkan untuk sindaktili
ringan, inkomplit yang sederhana. Pemilihan non-bedah juga dipilih pada
kasus sidaktili yang rumit (Compicated Syndactyly) yang biasanya
disebut “superdigit” atau pada kasus polisindaktili kompleks kaena
kesulitan dalam mencapai perbaikan fungsi yang optimal setla dilakukan
pembedahan. Pada sindaktili simple complete tidak dianjurkan
penatalaksanaan non-bedah (Hurley, 2011).
3. Pembedahan
Pembedahan menakutkan karena risiko komplikasi paa kaki lebih
banyak daripada tangan. Postoperasi tidak menjamin jarak antara jari
kering diantara jari-jari, pada akhirnya dapat memicu potensi adesi pada
luka dan pembentukan skar yang dapat menyebabkan masalah fungsi
(Brunner, et al, 2007).
Pertimbangan pembedahan yaitu (Hurley, 2011):
a. Jari-jari yang berbeda harus dilepas segera untuk mencegah
deformitas dan gangguan pertumbuhan pada jari-jari.
b. Penutup sekitar kulit digunakan untuk membentuk batas dan
mencegah kontraktur skar.
c. Pembungkus lateral zigzag digunakan untuk mencegah kontraktur
skar longitudinal.
d. Pembungkus untuk mempercepat penutupan kulit, mengurangi
tekanan disekitar pembungkus, dan memperindah estetik dari jari-
jari yang direkonstruksi.

Perencanaan insisi untuk memisahkan simple complete sydactyly (A) Dorsal (B) Volar.
(C) Jari-jari dipisahkan. (D) komusira intedigital. (E) Pemisahan sudah selesai.
Prognosis Sindaktili
Prognosis dari sindaktili adalah bagus dengan fungsi dan bentuk normal,
kecuali pada kasus sindaktili kompleks yang melibatkan tulang, pembuluh
darah, jaringan saraf. Pada kasus tersebut berhubungan dengan kehilangan
fungsi setelah operasi (Kenner, 2013).
 Polidactili

Polidaktili atau polidaktilisme (berasal dari bahasa Yunani kuno πολύς


(polus) yang artinya banyak dan δάκτυλος (daktulos) yang artinya jari, juga
dikenal sebagai hiperdaktilisme, yaitu anomali kongenital pada manusia dengan
jumlah jari tangan atau kaki yang berlebihan. Kelainan ekstremitas kongenital
bervariasi dari kelainan yang hampir tak terlihat hingga tidak adanya ekstremitas.

Polidaktili dapat berupa kelainan tunggal tanpa disertai gejala atau


penyakit lain. Polidaktili dapat diturunkan dalam keluarga, terutama pada
keturunan Afro-Amerika. Pertumbuhan jari tambahan ini dapat berlangsung buruk
yang dilekatkan oleh sebuah tangkai kecil (biasanya di sebelah jari kelingking)
berupa sepotong jaringan lunak yang dapat diangkat. Kadang-kadang jaringan itu
berisi tulang tanpa sendi; namun jarang didapatkan yang utuh dan yang bersifat
fungsional.

Meskipun ada banyak klasifikasi mengenai abnormalitas ekstremitas,


namun untuk ekstremitas atas klasifikasi Swanson yang paling diterima luas,
dimana kelainan dikategorikan berdasarkan asal embriologi dan manifestasi
klinisnya. Klasifikasi ini telah diterima oleh American Society for Surgery of the
Hand dan International Federation of Societies for Surgery of the Hand.
Polidaktili yang menjadi judul penulis termasuk dalam kelainan duplikasi.
Tabel 1. Klasifikasi Swanson

Jari tambahan paling sering didapatkan pada sisi ulnar (polidaktili


postaxial), lebih jarang pada sisi radial (polidaktili preaxial), dan sangat jarang
pada jari telunjuk, tengah, dan jari manis (polidaktili sentral). Polidaktili
campuran artinya polidaktili ulnar dan radial yang terjadi bersamaan, sedangkan
crossed polydactyly melibatkan tangan dan juga kaki.

Ada 3 derajat polidaktili, yaitu:

- Tipe 1: jari tambahan melekat pada kulit dan nervus.

- Tipe 2: jari tambahan dengan bagian normalnya melekat pada tulang atau sendi.
- Tipe 3: jari tambahan dengan bagian normalnya berhubungan dengan os
metakarpal tambahan pada tangan.

Terdapat pula pembagian polidaktili berdasarkan patoanatomi ossealnya, yaitu


Klasifikasi Wassel sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini:

Definisi

Polidaktili atau polidaktilisme (berasal dari bahasa Yunani kuno πολύς


(polus) yang artinya banyak dan δάκτυλος (daktulos) yang artinya jari, juga
dikenal sebagai hiperdaktilisme, yaitu anomali kongenital pada manusia dengan
jumlah jari tangan atau kaki yang berlebihan. Kelainan ekstremitas kongenital
bervariasi dari kelainan yang hampir tak terlihat hingga tidak adanya ekstremitas.

Epidemiologi
Prevalensi polidaktili adalah 1/1000 kelahiran. Polidaktili postaxial seringkali
menjadi kelainan tersendiri yang biasa didapatkan pada keturunan Afrika hitam
dan Afro-Amerika yang dicurigai sebagi akibat transmisi autosom dominan.
Polidaktili postaxial lebih sering 10 kali pada kulit hitam dan lebih sering pada
anak laki-laki. Sebaliknya, polidaktili postaxial pada kulit putih lebih sering
sebagai suatu bagian dari sindrom dan bersifat resesif autosomal. Data gabungan
oleh Finely dkk dari Jefferson, Alabama, United Srares, dan Upsala menunjukkan
insiden semua jenis polidaktili pada pria kulit putih yaitu 2,3/1000, wanita kulit
putih 0,6/1000, pria kulit hitam 13,7/1000 dan pada wanita kulit hitam 11,1.

Etiologi

Adapun etiologinya yaitu sebagai berikut:

 Asphyxiating thoracic dystrophy


 Carpenter syndrome
 Ellis-van Creveld syndrome (chondroectodermal dysplasia)
 Familial polydactyly
 Laurence-Moon-Biedl syndrome
 Rubinstein-Taybi syndrome
 Smith-Lemli-Opitz syndrome
 Trisomi 13
 Trisomi 21
 Tibial hemimelia.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, polidaktili dapat bermanifestasi tunggal
atau sebagai bagian dari suatu sindrom anomali kongenital. Bila diagnosis berdiri
sendiri maka berhubungan dengan mutasi dominan autosom pada gen tunggal,
namun variasi pada berbagai gen juga mungkin terjadi. Secara khusus gen mutasi
yang terlibat dalam pola perkembangan, akan menyebabkan anomali kongenital
dengan polidaktili sebagai salah satu sindromnya.
Patologi
Duplikasi dapat bervariasi dari jari dengan persendian yang terbentuk baik
hingga jari yang mengalami rudimenter. Kelainan pada metatarsal yang
berhubungan biasa didapatkan nervus Klasifikasi morfologi dideskripsikan oleh
Venn-Watson, sebagaimana gambar di bawah ini:

Gambar 9. Klasifikasi Venn-Watson berdasarkan konfigurasi anatomi metatarsal


dan bagian tulang yang mengalami duplikasi.

Polidaktili sentral biasanya berasal dari autosom dominan, dimana jari


tambahan seringkali menyatu pada jari di sebelahnya. Temtamy dan McKusick
membagi polidaktili ulnar menjadi Tipe A, yang berembang baik, dan Tipe B,
yang mengalami rudimenter dan tampak seperti kulit menggumpal yang kecil
yang menempel.

Hallux varus merupakan komplikasi yang paling sering timbul pada


polidaktili preaksial. Hallux varus ini dapat menimbulkan nyeri dan kesulitan
menggunakan sepatu, yang memerlukan tindakan pembedahan lebih lanjut.
Kegagalan dalam memperbaiki longitudinal bracket epiphysis akibat duplikasi ibu
jari kaki dapat menyebabkan terjadinya hallux varus. Bracket ini dapat direseksi
untuk memungkinkan pertumbuhan yang tidak terhambat, dengan demikian varus
dapat dikoreksi dengan kapsulorafi disertai fiksasi K-wire pada persendian MTP.
Reseksi dan osteostomi metatarsal kadang-kadang diperlukan pada anak yang
lebih tua. Pasien dengan polidaktili postaksial bisa memiliki deformitas angular
residual, termasuk angulasi pada persendian MTP dan bowing pada metatarsal.
Namun hal ini tidak signifikan secara klinis. Pada pasien dengan polidaktili
sentral, kaki yang lebar seringkali menjadi komplikasi. Semua pasien dengan
risiko terjadi subluksasi persendian MTP atau deformitas angular dan deformitas
residual pada kepala metatarsal. Eksisi inkomplit elemen yang belum mengalami
ossifikasi yang dapat berakhir dengan deformitas.

Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakn dengan beberapa cara sebagai berikut :

1. Anamnesis:

- Apakah ada anggota keluarga yang dilahirkan dengan jari tambahan?

- Apakah ada riwayat keluarga dengan kelainan yang berhubungan dengan


polidaktili

- Apakah ada gejala lain?

2. Pemeriksaan Fisis: Terlihat adanya jari tambahan (inspeksi).

3. Pemeriksaan Penunjang

- Analisa kromosom

- Foto polos

Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan untuk memperbaiki kosmetik dan bila ada
keluhan kecocokan untuk memakai sepatu (bila polidaktili terdapat pada kaki).
Biasanya operasi dilakukan saat usia pasien lebih dari 1 tahun agar pengaruh pada
perkembangan dan gaya jalan minimal. Operasi sebaiknya ditunda hingga
perkembangan tulang (ossifikasi) selesai sehingga memungkinkan penilaian
anatomi yang akurat.

1. Polidaktili pada tangan

Klasifikasi Waffel digunakan untuk menyederhanakan pengkategorian


secara klinis dan perencanaan prosedur pembedahan.

Pedoman dalam mengoperasi polidaktili pada jari tangan:

- Jari radial hipoplastik yang direseksi.

- Pada polidaktili tipe II dan III dengan kaliber yang simetris dan memiliki
komponen tulang, dipillih prosedur Bilhaut Cloquet yang memungkinkan
stabilitas sendi karena mempertahankan ligamentum kolateral ulnar dan radial
sendi interphalanx. Komplikasi prosedur antara lain kekakuan sendi, hipertrofi
jaringan parut, deformitas punggung kuku. Perbaikan nail bed yang cermat
dan rekonstruksi ukuran kuku yang serupa untuk mencegah masalah kecacatan
ini. Penting pula untuk memperingatkan pasien akan jari yang tersisa pasti
akan mengalami hipoplasia, yaitu dalam hal lebar dan lingkarannya.

- Untuk polidaktili tipe II, instabilitas sendi sering terjadi karena kelainan
berkembang pada level sendi. Ligamentum kolateral, perlekatan kapsul, dan
tendon ekstrinsik dari jari hipoplastik merupakan struktur esensial untuk
menjaga stabilitas sendi. Instabilitas yang mucul belakangan akibat gangguan
pada jaringan lunak yang mengakibatkan peregangan kronik dan rekonstruksi
jaringan lunak yang tidak seimbang. Oleh karena itu, lebih baik dilakukan
over-tensioning pada rekonstruksi jaringan lunak. Namun penilaian
instabilitas sendi (>5% angulasi pada IPJ) sering pula tidak tepat.
- Pada polidaktili tipe III, anomali tidak mencapai IPJ sehingga diharapkan hasil
yang memuaskan setelah dilakukan eksisi sederhana. Meskipun demikian,
dilaporkan pula adanya komplikasi setelah ligasi sederhana pada bifid thumb
yaitu deformitas Z ibu jari (Z thumb deformity), instabilitas sendi, dan
deformitas sendi. Namun instabilitas sendi ini dapat pula berasal dari
instabilitas preoperatif. Tarikan eksentrik pada oto-otot ekstensor pada IPJ
mungkin berperan dalam perubahan sekunder dalam kapsul sendi dan
ligamentum kolateral. Over-tightening ligament kolateral dan re-alignment
tendon ekstrinsik yang tepat dapat memperbaiki instabilitas sendi. Prosedur
Bilhaut-Cloquet tidak dapat memperbaiki instabilitas sendi pada polidaktiili
tipe III akibat eksisi sederhana, namun bisa pada tipe II.

Gambar 10. Distal phalanx dengan prosedur Bilhaut-Cloquet

- Ligamentum kolateral radial dengan perlekatannya pada flap periosteal


dipertahankan dan over-tightened untuk menjaga stabilitas sendi dan
mencegah deformitas.

- Jari tipe II dan IV biasanya berhubungan dengan phalanx proksimal dan kepala
metakarpal yang sangat besar.

- Osteotomi korektif lebih dipilih untuk deformitas angular residual tulang.


- Realignment dengan atau tanpa augmentasi tendon penting untuk
mengembalikan kelurusan aksial dan mencegah deformitas Z karena tarikan
tendon yang eksentris. Pada tipe IV, prosedur yang biasa dilakukan adalah
suturing duplicated extensor jari radial ke ekstensor longus jari ulnar dan
melekatkan kembali m. abductor pollicis brevis dan m. extensor pollicis brevis
ke basis phalanx proksimal. Delapan dari sebelas penderita polidaktili tipe IV
mengalami instabilitas sendi, dan tiga mengalami deformitas sendi.
Komplikasi ini lebih nyata pada MCPJ yang besar dan pada proksimal
deformitas. Empat pasien dengan kaput metacarpal I yang bifaset dan
membesar yang melalui rekonstruksi mengalami kekakuan sendi. Hal ini
disebabkan oleh ukuran dan kontur permukaan artikulasi kaput metacarpal,
yang dapat diatasi dengan kondroplasti yang teliti dengan scalpel tajam untuk
membuat permukaan artikulasi yang sesuai dengan basis phalanx proksimal.
Suatu on-top plasty (transposisi bagian distal sebuah jari terhadap bagian
proksimal dari jari lain) pada kasus ini menghasilkan keluaran yang bagus dan
ibu jari dengan alignment normal. Pada polidaktili tipe IV, jari ulnar dengan
kaliber yang sama dan unit tendon fungsional yang intak dipindahkan ke basis
komponen radial, tepatnya phalanx proksimal komponen ulnar. Permukaan
artikular ulnar dengan kaput metacarpal dirapikan untuk membentuk basis
yang stabil, dan disesuaikan ukurannya degan phalanx proksimal komponen
radial. Prosedur ini menjaga integritas pembungkus jaringan lunak yang
penting pada sisi radial, khususnya ligamentum kolateral, kapsul dan otot
abduktor pollicis. K-wire intraosseus dipasang sementara untuk
mentransfikskan osteotomi. Perlu diperhatikan re-alignment pada tendon
dengan aksis baru pada jari yang direkonstruksi. Prosedur ini menghasilkan
penyatuan tulang yang lebih baik dan mencegah komplikasi lambat. 10

- Tujuan terapi polidaktili adalah untuk mempertahankan jari yang paling


fungsional, tanpa mengingat apakah berupa bi- atau tri-phalangeal

2. Polidaktili pada kaki


Penanganan termasuk eksisi jari tambahan dan rekonstruksi jaringan lunak
di sekitar jari yang tersisa untuk memperbaiki kesejajaran bila terdapat deviasi.
Jari paling medial pada polidaktili preaksial dan jari paling lateral pada polidaktili
postaksial adalah jari yang dipilih untuk direseksi agar kaki bisa menyempit
dengan tepi lateral atau medial yang lurus. Pada polidaktili postaksial, dilakukan
insisi oval atau racquet-shaped pada jari paling lateral melalui kulit dan fasia.
Tendon dibelah ke distal sejauh mungkin. Kapsul sendi metatarsophalangeal
(MTP) dibelah dan jari dipisahkan dari artikulasinya. Ketelitian diperlukan untuk
menyeimbangkan dengan tepat antara musculus hallucis abductor dan adductor
serta meminimalkan hallux varus. Koreksi terhadap longitudinal bracket
epiphysis mencegah berkembangnya hallux varus dan metatarsal I yang
kependekan. Kapsul diperbaiki seakurat mungkin. Bila jari yang lebih lateral yang
hipoplastik dan dieksisi, ligamentum intermetatarsal harus ditaksir ulang.
Penempatan Kirschner wire (K-wire) selama 4-6 minggu dapat membantu
mempertahankan posisi dan mencegah deformitas varus atau dapat pula dibalut
atau digips (cast). Pada polidaktili sentral, insisi racquet-shaped dorsal dilakukan
pada dasar/lantai duplikasi. Jari tambahan dieksisi melalui disartikulasi.
Ligamentum intermetatarsal dinilai ulang sebelum ditutup. Gips (cast) atau
orthosis bermanfaat pada postoperasi untuk meminimalkan sisa kaki depan yang
melebar. Dengan indikasi kosmetik, dilakukan penutupan kulit plastik/sintetis
yang cermat. Walking cast pada memungkinkan anak-anak bisa tetap bergerak
aktif dan sekaligus melindung daerah insisi. Komplikasi postoperatif antara lain
hallux varus residual dan jaringan parut akibat operasi.

Prognosis

Kebanyakan pasien memiliki hasil keluaran yang baik hingga sempurna.


Tindakan yang hati-hati menentukan keluaran yang baik dalam hal kosmetik dan
fungsional. Potensi pertumbuhan dari jari yang direkonstruksi masih belum
diketahui. Pengukuran lebar kuku, lingkaran dan panjang jari, menunjukkan
potensi pertumbuhan jari yang tersisa setelah eksisi jari yang hipoplasti. Namun,
jari hipoplastik ini telah mengganggu sehingga meskipun pembedahan dilakukan
sejak dini, pertumbuhan jari normal tidak akan pernah tercapai.
 Achondroplasia

Penyakit ini merupakan kelainan kongenital tulang rawan. Gangguan


terutama pada pertumbuhan tulang-tulang panjang, paling sering pada tulang
lengan dan tungkai. Penyakit ini merupakan displasia skeleton murni yang
diturunkan secara autosomal dominan. Penyakit ini memberikan gambaran
perawakan pendek pada tubuh dan anggota gerak yang tidak proporsional.

I. EPIDEMIOLOGI
Tidak ada hubungan antara ras dengan kasus akondroplasia. Ditemukan
lebih banyak penderita akondroplasia pada anak perempuan dibandingkan anak
laki-laki. Akondroplasia dapat dideteksi saat antenatal. Akondroplasia diturunkan
secara autosomal dominan. Jika salah satu orang tua menderita akondroplasia,
50% kemungkinan akan diturunkan kepada anaknya. Jika kedua orang tua
memiliki kelainan ini, kemungkinannya akan meningkat 75%.

II. ETIOLOGI
Akondroplasia termasuk dalam kelompok penyakit osteokondrodisplasia
(gangguan pertumbuhan tulang dan kartilago) yang paling sering terjadi,
mencakup beragam kelompok penyakit yang ditandai dengan abnormalitas
intrinsik dari kartilago atau tulang atau keduanya.
Keadaan ini memberikan ciri-ciri berikut : 7
1. Transmisi genetik
2. Abnormalitas dalam ukuran dan bentuk dari tulang anggota gerak, vertebra
dan atau kranium
Akondroplasia disebabkan oleh mutasi dari gen reseptor faktor 3
pertumbuhan fibroblast (fibroblast growth factor receptor 3/ FGFR3 gene). Gen
FGFR3 menyediakan perintah untuk membuat protein yang terlibat dalam
perkembangan dan pemeliharaan tulang dan jaringan otak. Protein ini membatasi
pembentukan tulang dari kartilago (proses yang disebut osifikasi), terutama pada
tulang-tulang panjang. Dua jenis mutasi spesifik pada gen FGFR3 bertanggung
jawab untuk sekitar 99% kasus akondroplasia. Sisa 1% disebabkan oleh mutasi
yang berbeda pada gen yang sama. Para peneliti yakin bahwa mutasi-mutasi ini
menyebabkan protein menjadi lebih overaktif sehingga mempengaruhi
perkembangan tulang dan terjadi gangguan pertumbuhan tulang seperti yang
terlihat pada penyakit ini.
Kerusakan primer adalah proliferasi kondrosit yang abnormal pada
lempeng pertumbuhan tulang yang menyebabkan pemendekan tulang-tulang
panjang, tetapi ketebalan tulang tetap sesuai/tidak berubah. Bagian yang lain dari
tulang panjang ini mungkin tidak dipengaruhi. Manifestasi dari gangguan ini
adalah pendeknya anggota gerak (khususnya bagian proksimal), tulang belakang
yang normal, pembesaran kepala, saddle nose/jembatan hidung rata, dan lordosis
lumbal yang berlebihan. Penyakit ini diturunkan secara genetik. Walaupun
demikian, banyak kasus akondroplasia terjadi karena mutasi gen (perubahan gen).

III. PATOFISIOLOGI
Pertumbuhan tulang yang normal tergantung pada produksi kartilago
(suatu jaringan penyambung tipe fibrosa yang bertindak sebagai dasar
pembentukan tulang). Kalsium didepositkan dalam kartilago, akan
menyebabkannya menjadi keras dan berubah menjadi tulang. Pada akondroplasia,
kelainan dari proses ini menghalangi tulang-tulang (utamanya tulang pada anggota
gerak) untuk dapat bertumbuh panjang
sebagaimana yang seharusnya, tetapi pada saat yang sama justru tulang menebal
secara abnormal. Tulang-tulang pada trunkus dan kranium kebanyakan tidak
dipengaruhi, walaupun foramen magnum sering menyempit dibandingkan dengan
yang normal, dan kanalis spinalis mengecil.
Akondroplasia merupakan penyakit genetik yang disebabkan oleh mutasi
pada gen FGFR3 yang menghambat pertumbuhan kartilago pada lempeng
pertumbuhannya. FGFR3 mengkode suatu protein yang disebut Fibroblast
Growth Factor Receptor 3. Protein ini merupakan tempat bekerjanya faktor
pertumbuhan utama yang bertanggung jawab terhadap proses pemanjangan
tulang. Ketika faktor pertumbuhan ini tidak dapat bekerja dengan baik karena
hilangnya reseptor tersebut, pertumbuhan tulang pada kartilago lempeng
pertumbuhan akan mengalami perlambatan. Hal ini mengakibatkan pemendekan
tulang, bentuk tulang yang abnormal dan perawakan pendek.

IV. DIAGNOSIS
A. Diagnosis Klinik
- tes molekul genetik dapat digunakan untuk mendeteksi mutasi dari gen
FGFR3 (lokus 4p16.3).
- gejala klinik yaitu perawakan tubuh dan anggota gerak yang pendek, tidak
proporsional, disertai kepala yang besar (brakisefal) dengan penonjolan
frontal, penonjolan tulang mandibula dan hidung pesek.
- Ciri-ciri dari akondroplasia selalu nyata saat lahir. Kebanyakan dari
individu yang menderita kelainan ini memiliki intelegensi yang normal.
Pada bayi, hipotoni ringan sampai sedang, dan kemampuan perkembangan
motorik sering terlambat. Bayi kesulitan menegakkan kepalanya karena
hipotonia dan besarnya ukuran kepala.
- Masalah respirasi dapat terjadi pada anak dan bayi. Obstruksi dari jalan
napas dapat berasal dari pusat pernapasan karena kompresi dari foramen
magnum atau yang berasal dari obstruksi karena penyempitan rongga
hidung. Gejala dari obstruksi jalan napas termasuk stridor dan apnu saat
tidur. Individu yang mengalami hal ini sering tidur dengan posisi
hiperekstensi leher. Dwarfisme dengan akondroplasia merupakan sebab
primer dari pemendekan anggota gerak. tungkai biasanya lurus pada bayi,
tetapi lutut menjadi bentuk valgus saat anak-anak mulai berjalan. Pada
anak yang sudah mampu berjalan, lutut berubah menjadi bentuk varus. Jari
tangan dan kaki memendek. 4
Manifestasi klinik dari akondroplasia dapat dirangkum sebagai berikut : 3,4,13
 Pemendekan anggota gerak (terutama lengan dan tungkai bagian
proksimal) atau rhizomelia yang dapat dikenali pada saat lahir
 Pembesaran kepala dengan penonjolan dahi (frontal bossing)
 Hipoplasi bagian tengah wajah/bentuk wajah kurang berkembang, saddle
nose (jembatan hidung menjadi rata/hidung berbentuk seperti pelana)
 Tangan berbentuk trident, dimana antara jari tengah dan jari manis
terdapat jarak sehingga tangan seperti garpu bersusuk tiga
 Pembatasan ekstensi siku, tetapi tidak mempengaruhi penderita
akondroplasia untuk dapat beraktivitas secara normal
 Gibus di regio torakolumbal pada bayi. Tulang belakang membengkok
dengan penonjolan bokong pada anak dan orang dewasa, waddling gait.
 Genu varum

B. Gambaran Radiologi
Gambaran radiologik menunjang diagnosis yaitu ditemukannya basis
kranium yang kecil, kepala relatif lebih lebar dari wajah dengan penonjolan
frontal dan hipoplasia mandibula, pemendekan tulang-tulang panjang dan pelvis
yang sempit. Riwayat adanya akondroplasia dalam keluarga semakin memperkuat
diagnosis ini.

V. DIAGNOSIS BANDING
Walaupun lebih dari 100 displasia tulang yang menyebabkan perawakan
pendek telah diketahui, banyak di antaranya yang jarang ditemukan, dan
semuanya memiliki gambaran klinik dan radiologi yang membedakannya dengan
akondroplasia. Berbeda dengan displasia skeletal lainnya, tanda-tanda klinik dari
akondroplasia terlihat saat lahir, tetapi tidak disertai dengan insufisiensi napas. 4
1. Hipokondroplasia sering sukar untuk dibedakan dari keadaan-keadaan
perawakan pendek yang lain. Namun, dapat disimpulkan bahwa vertebra
lumbal dan tungkai merupakan daerah yang paling sering menjadi fokus
diagnosis untuk penyakit ini. Untuk mengurangi risiko kesalahan diagnosis,
evaluasi radiologi dan pemeriksaan fisis diperlukan terutama untuk pasien
yang tidak memiliki kelainan genetik. 4
2. Pseudoakondroplasia merupakan displasia spondiloepimetafisis yang ditandai
dengan perawakan pendek yang tidak seimbang, kelemahan ligamen dan
osteoarthritis prekoks. Pada kebanyakan keluarga, penyakit ini dapat pula
diturunkan secara autosomal dominan. 4
3. Akondrogenesis merupakan dwarfisme letal yang diturunkan secara autosomal
resesif. Kedua osifikasi endokondral dan membranosa dipengaruhi. Kalvaria,
tulang belakang, dan tulang-tulang panjang dapat dipengaruhi dan sering
terjadi fraktur iga yang berulang. Pemendekan anggota-anggota gerak sangat
buruk. Kranium dan tulang-tulang kurang terosifikasi. Penyempitan rongga
dada juga menyertai kondisi ini, tetapi kepala tidak membesar relatif terhadap
postur tubuh. Polihidramnion juga selalu terjadi. 4
4. Chondroectodermal dysplasia atau Ellis-van Creveld syndrome merupakan
penyakit genetik yang diturunkan secara autosomal resesif dengan tampilan
yang bermacam-macam. Tulang-tulang iga sangat pendek. Penyakit ini
disertai dengan pemendekan tulang anggota-anggota gerak, penyempitan
rongga toraks, polidaktili, dan penyakit jantung bawaan. Kira-kira 50% pasien
memiliki defek septum atrial (ASD) yang besar. Ukuran dari rongga toraks
sangat menyolok ketika dibandingkan dengan ukuran abdomen dan kepala. 4
5. Osteogenesis imperfekta tipe IIa merupakan keadaan letal yang diturunkan
secara autosomal dominan. Kalvaria kranii penderita menjadi tipis yang
mungkin dapat kolaps dan pasien ini juga mempunyai anggota-anggota gerak
yang pendek, menebal dan membengkok oleh karena terjadi fraktur multipel.
4,14

6. Displasia diastrofik merupakan suatu penyakit autosomal resesif dengan


kontraktur multipel dan ibu jari yang melengkung ke dalam (hitchhiker’s
thumb).4
7. Displasia tanatoforik terjadi secara sporadik dan merupakan displasia skeletal
yang bersifat letal terbanyak. Sekitar 14% pasien memiliki kepala berbentuk
daun semanggi (cloverleaf skull). Penyakit ini mungkin diturunkan pula secara
autosomal resesif. Displasia tanatoforik ditandai dengan penyempitan rongga
toraks dan mikromelia. Pembesaran ukuran kepala dengan dahi yang
menonjol, kadang-kadang hidrosefalus dan polihidramnion pada masa fetus.
Jaringan-jaringan lunak pada anggota gerak mungkin menebal. Displasia
tanatoforik ini lebih sering terjadi pada fetus laki-laki daripada fetus
perempuan.
 Dislokasi Panggul Kongenital

Dislokasi panggul bawaan atau congenital dislocation of the hip (CDH)


merupakan fase spectrum dari ketidakstabilan sendi panggul bayi. Dalam keadaan
normal, panggul bayi baru lahir dalam keadaan stabil dan sedikit fleksi.
Etiologi
- Fakyor genetic
- Factor hormonal
- Malposisi intrauterine
- Factor pasca natal
- Factor lingkungan
Diagnosis
Diagnosis dislokasi panggul bawaan berdasarkan gejala klinis dan
pemeriksaan radiologis.
Gambaran Klinik
Terdapat asimetri pada lipatan-lipatan kulit paha.
- Uji ortolani
Dilakukan dengan jalan mengembalikan kepala femur yang mengalami
dislokasi kembali ke asetabulum. Pertama-tama femur dipegang dalam
keadaan fleksi di saerah midline. Kemudian femur diabduksikan secara
perlahan sambil mendorong trokanter mayor dengan jari-jari kea rah
anterior.
- Uji barlow
Femur difleksikan kemudian dengan hati-hati digeser ke arah midline.
Setelah itu femur didorong kea rah posterior secara perlahan. Bila terdapat
dislokasi sendi panggul makan akan terasa kepala femur terdorong keluar
dari asetabulum.
- Uji galeazzi
Dalam keadaan berbaring dan lutut dilipat, kedua lutut seharusnya sama
tinggi. Bila terdapat dislokasi panggul, maka lutut pada tungkai yang
bersangkutan akan terlihat lebih rendah.
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis sulit dilakukan karena pusat osifikasi sendi baru
tampak pada bayi berumur 3 bulan atau lebih sehingga pemeriksaan inin hanya
bermanfaat pada umur 6 bulan atau lebih.
Ultrasound
Pada bayi baru lahir, asetabulum dan kaput femoris dihubungkan oleh
tulang rawan, sehingga foto polos biasa tidak terlihat. Dengan ultrasound,
meskipun bayi kurang dari 3 bulan sendi tersebut dapat diamati.
Pengobatan
Pengobatan umumnya hanya dengan memasang bidai untuk
mempertahankan sendi panggul dalam posisinya.
D. Kelainan Kongenital pada Tulang Belakang
 Skoliosis

Skoliosis adalah kelainan pada tulang belakang yang berupa lengkungan ke arah


luar tubuh. 
Etiologi
Penyebab skoliosis dibagi dalam banyak kategori, yaitu idiopatik ( tidak diketahui
penyebabnya), neuromuscular, konginetal (terjadi sejak lahir) dan lain sebagainya.
Klasifikasi
Dalam perkembangannya, skoliosis dibagi dalam 2 kategori yaitu struktural dan
postural (non struktural).
- Skoliosis struktural adalah lengkungan pada tulang belakang yg irreversibel dan
dapat terjadi progresif negatif jika tidak segera ditangani
- Skoliosis postural (non struktural) adalah terjadinya lengkungan pada tulang
belakang dikarenakan posisi salah dalam aktifitas keseharian seperti pola duduk
yg miring, posisi menulis anak pada meja belajarnya untuk mencari posisi nyaman
padahal justru akan menimbulkan gangguan pada tulang belakangnya.
Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala skoliosis pada anak sangat jarang ditemui dan lebih sering
diketahui ketika anak beranjak remaja dan ditemukan beberapa gejala-gejala yang
mencurigakan. Pada awalnya gejala-gejala ini diketahui ketika terjadi rasa nyeri
pada tulang belakang ketika lengkungan pada tulang belakang semakin membesar.
Jika derajat kemiringan sudah mencapai 60° akan mengakibatkan gangguan
pernafasan.
Diagnosis
Cara mendeteksi awal terjadinya kelainan skoliosis adalah dengan melakukan
beberapa test, diantaranya adam test. Cara pelaksanaan adam test adalah dengan
memposisikan pasien pada posisi membungkuk 90° kemudian melihat pada
punggung apakah ada perbedaan tinggi antara sisi kanan dan sisi kiri punggung.
Apabila terjadi perbedaan bisa diindikasikan terjadi skoliosos.
Juga dapat menggunakan cara lebih mudah dalam melihat indikasi skoliosis, yaitu
dengan melihat pundak, apakah terjadi perbedaan tinggi antara bahu sisi kiri dan
bahu sisi kanan, jika terdapat perbedaan tinggi dapat disimpulkan terjadi skoliosis.
Terapi
Pengobatan skoliosis dapat dilaksanakan dalam beberapa cara, yaitu terapi
skoliosis dan operasi reposisi tulang belakang. Untuk terapi skoliosis yang harus
dilaksanakan adalah dengan bracing atau pemasangan alat bantu reposisi tulang
belakang dengan korset  dan ditambahkan terapi oleh fisioterapis, beberapa contoh
terapi skoliosis dengan terapi renang, juga senam skoliosis. Biasanya terapi ini
dilaksanakan pada lengkungan tulang belakang dibawah 45°, jika lengkungan 45°
atau lebih maka operasi lebih disarankan.
 Kifosis

Kifosis adalah kelengkungan tulang belakang ke arah depan. Pengertian ini bisa
berarti fisiologis maupun patologis. Secara fisiologis, tulang belakang kita
memang mempunyai lekukan ke arah depan namun dalam sudut yang sewajarnya.
Namun yang akan dibahas adalah kifosis secara patologis yaitu kelengkungan
tulang ke arah depan dengan sudut yang ekstrim. Kifosis disebabkan oleh kolaps
ataupun menyatunya satu atau lebih tulang vertebra yang dapat dikarenakan defek
kongenital, fraktur, atau tuberculosis spinal.
 Kifosis Postural
Ini biasanya berhubungan dengan kelainan postural lain seperti flat feet.
Kifosis jenis ini dapat sembuh sendiri, namun jika memang sangat parah
dan membutuhkan penanganan maka dapat dilakukan posture training dan
latihan. Kifosis postural juga dapat merupakan kompensasi dari deformitas
lain seperti lordosis lumbosacral.
 Kifosis struktural
Kifosis jenis ini lebih terfiksasi dan susah untuk disembuhkan karena
berhubungan dengan perubahan bentuk vertebra. Pada anak-anak ini dapat
disebabkan oleh defek kongenital pada vertebra, dan juga didapatkan pada
dysplasia skeletal seperti achondroplasia dan pada osteogenesis imperfect.
Pada anak-anak yang lebih tua biasanya ditemukan deformitas yang lebih
parah disebabkan oleh tuberculosis spondylitis. Pada remaja, penyebab
paling sering adalah Scheuermann disease. Pada dewasa kifosis dapat
merupakan kelanjutan dari kelainan saat masa anak-anak, tuberculosis
spondylitis, ataupun trauma pada tulang belakang. Sedangkan pada orang
tua, osteoporosis dapat menyebabkan kompresi vertebra dan meningkatkan
deformitas yang sebelumnya ringan dan asimtomatis.

Pada kifosis kongenital, kelainan vertebra dibagi menjadi dua tipe:


1. Tipe I (kegagalan formasi)
Ini merupakan tipe yang paling sering terjadi dan yang paling parah. Jika
bagian anterior dari vertebra tidak terbentuk, maka kifosis dapat menjadi
progresif dan kesalahan tempat bagian posterior dari hemivertebra dapat
menyebabkan kompresi cord.
Pada anak-anak berusia kurang dari 6 tahun dengan sudut lengkungnya
kurang dari 40 derajat, hanya dengan fusi spinal posterior dapat mencegah
progresi yang lebih jauh. Sedangkan pada anak-anak yang lebih tua dan
sudut lengkungnya lebih parah membutuhkan kombinasi dari fusi anterior
serta posterior, dan pasien dengan komplikasi neurologis akan juga
membutuhkan dekompresi cord.
2. Tipe II (kegagalan segmentasi)
Pada tipe ini biasanya bagian anterior dari intervertebral sudah terbentuk,
namun bagian posterior masih terus tumbuh, sehingga segmen dari tulang
vertebra menjadi kifosis. Resiko kompresi neurologis lebih sedikit, namun
jika sudut menjadi progresif maka membutuhkan fusi posterior.
 Lordosis
1. Definisi
Tulang belakang yang normal jika dilihat dari belakang akan tampak lurus.
Lain halnya pada tulang belakang penderita lordosis, akan tampak bengkok
terutama di punggung bagian bawah .
2. Manifestasi Klinik
Gejala yang timbul akibat lordosis berbeda-beda untuk tiap orang.
 Gejala lordosis yang paling sering adalah penonjolan bokong.
 Gejala lain bervariasi sesuai dengan gangguan lain yang menyertainya
seperti distrofi muskuler, gangguan perkembangan paha, dan gangguan
neuromuskuler.
 Nyeri pinggang, nyeri yang menjalar ke tungkai, dan perubahan pola
buang air besar dan buang air kecil dapat terjadi pada lordosis, tetapi
jarang. Jika terjadi gejala ini, dibutuhkan pemeriksaan lanjut oleh dokter.
 Selain itu, gejala lordosis juga seringkali menyerupai gejala gangguan atau
deformitas tulang belakang lainnya, atau dapat diakibatkan oleh infeksi
atau cedera tulang belakang.
3. Diagnosis
Untuk membedakannya dilakukan beberapa pemeriksaan seperti :
 Sinar X. Pemeriksaan ini digunakan untuk mengukur dan menilai
kebengkokan, serta sudutnya.
 Magnetic resonance imaging (MRI)
 Computed tomography scan (CT  Scan)
 Pemeriksaan darah
4. Terapi
Tujuan pengobatan lordosis adalah menghentikan semakin membengkoknya
tulang belakang dan mencegah deformitas (kelainan bentuk). Penatalaksanaan
lordosis tergantung pada penyebab lordosis. Latihan untuk memperbaiki sikap
tubuh dapat dilakukan jika lordosis disebabkan oleh kelainan sikap tubuh.
Lordosis yang terjadi akibat gangguan paha harus diobati bersama dengan
gangguan paha tersebut.

Anda mungkin juga menyukai