Anda di halaman 1dari 6

Hubungan jurnal dengan video

Semakin berkembangnya kemajuan zaman (globalisasi), maka banyak karakter, kebiasaan, dan
budaya dari negara lain yang masuk ke Indonesia. Ir. Soekarno pernah mengatakan bahwa,
“There’s no nation-building without character-building”, (Tidak akan mungkin membangun
sebuah Negara kalau pendidikan karakternya tidak dibangun). Oleh karena itu pendidikan
karakter bangsa sejatinya dimulai dari penguatan pandangan hidup, yang dalam hal ini dapat
digali kembali dari nilai-nilai kearifan lokal dan wawasan nusantara. Setiap manusia memiliki
karakter, dan karakter itu menyentuh bagian yang terdalam dari hati manusia, bukan sekedar
perilaku biasa apalagi hanya sekedar mengikuti kaprah umum.
Seseorang yang berkarakter baik, ekspresi dari hatinya yang terdalam itu terwujud dalam sikap
dan perilakunya yang baik pula, tulus dan ikhlas, tidak mengada-ada apalagi dibuat-buat.
Ketulusan hati itu terpancar secara nyata dari gerak-gerik, tutur kata, ekspresi wajah maupun
bahasa tubuh lainnya. Tetapi, moralitas di dunia masih diwarnai banyak kekejaman. Adanya
tuntutan dari Revolusi Prancis “liberte,egalite,fraternite” (kebebasan, persamaan, persaudaraan).
Tetapi hingga kini hanya “kebebasan” yang diperoleh sedangkan “persamaan” masih tertinggal
terutama disebabkan karena moral “persaudaraan” hampir tidak mengalami kemajuan yang tidak
berarti dalam peradaban modern ini. Perkembangan modern ini menyebabkan timbulnya
kemajuan “freedom” (kebebasan), tetapi terdapat segi negatif dari kebebasan yaitu rasa tidak
aman (insecurity feeling), kegelisahan (anxiety), kehilangan kekuatan (powerless) dan
sebagainya. Akibat kebebasan tersebut dapat menyebabkan ketergantungan dan dapat
menimbulkan melarikan diri dari kebebasan (escape from freedom) berupa melukai diri bisa juga
melukai orang lain. Kegagalan itu ditimbulkan oleh tidak adanya ketenangan batin (insecurity
feeling) akibat melupakan nilai-nilai agama, kurangnya kasih sayang dari sekitarnya atau
kegagalan dalam mendapat sesuatu yang sangat ingin dicapai.
Kata “persamaan” sering terdengar tetapi masih sangat jarang diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Karena, masih saja banyak yang membeda-bedakan antar ras,suku, agama, ataupun
warna kulit. Sedangkan setiap orang memiliki hak dasar yang dimiliki sejak lahir (Hak Asasi
Manusia). Hak tersebut berlaku kapan pun, di mana pun dan kepada siapa pun. HAM tidak dapat
diganggu gugat dan tidak bisa dicabut karena merupakan anugrah yang dimiliki setiap manusia.
Negara wajib menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia bagi rakyatnya.
Negara juga wajib menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh berbagai pihak. Negara
Indonesia sebagai Negara hukum memiliki undang-undang yang megatur HAM, salah satunya
tertulis dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (3) yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Kemerdekaan mengemukakan
pendapat merupakan sebagian dari hak asasi manusia. Salah satu contoh megeluarkan pendapat
bisa dengan menggunakan hak suaranya dalam memilih calon pemimpin yang diyakini
memiliki visi misi yang sesuai dan dapat menjalankan tugasnya saat pemilu. Pemilu dapat
dilaksanakan/diselenggarakan pemilihannya dengan cara langsung oleh rakyat, dan dengan
banyaknya slogan bahwa demokrasi “berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” maka
sesuai dengan arti kata demokrasi yang merupakan gabungan bahasa Yunani yaitu demos yang
berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan.

Sebagai warga Negara selain memiliki hak pribadi (HAM), warga Negara wajib melaksanakan
bela Negara yang sudah tercantum pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 khususnya Pasal 27
ayat (3) yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya
Pembelaan Negara. Lalu Pasal 30 ayat (1) menjelaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan
wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Dari kedua ketentuan tersebut
dapat dipahami bahwa bela negara merupakan hak dan kewajiban konstitusional warga negara
Indonesia sebagai salah satu cara menyujudka ketahanan nasional.

- Video sikap moral

Peradaban modern telah menghasilkan suatu impian menciptakan suatu


masyarakat baru dengan moralitas baru. Anthony giddens menyebutnya dengan
the third way (1998), Amitai Etzioni menyebutnya The Spirit of Community
(1993), dan Robert Bellah memilih istilah The Good Society (1992). Namun
demikian, sampai akhir abad ke-20, sekalipun telah lahir berbagai organisasi
warga Negara yang sukarela dan mandiri (seperti Lembaga Swadaya
Masyarakat/NGO, organisasi massa, dan organisasi politik), peradaban manusia di
dunia masih diwarnai berbagai kekejaman terhadap manusia dan lingkungannya.
Ternyata kunci kunci kesejahteraan manusia bukan semata-mata terletak
padaterciptanya hubungan yang seimbang Antara Negara dan masyarakat,
Tetapi yang mendasar adalah moralitas baru perlu dihembuskan ke dalam sistem
modern tersebut. Suatu tuntutan moralitas baru misalnya telah diteriakan oleh
Revolusi Prancis: “liberte,egalite, fraternite” (kebebasan, persamaan, persaudaraan),
tetapi sampai saat ini tampaknya hanya “kebebasan” yang di peroleh sedangkan
“persamaan” masih tertinggal ini terutama disebabkan karena moral “persaudaraan”
hampir tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam peradaban modern ini. Rupa-
rupanya hal yang sama terjadi dalam reformasi kita. Semua golongan mabuk
kebebasan, sementara semangat persaudaraan sebagai bangsa semakin terpuruk dan
akibatnya persamaan dan keadilan sulit untuk diwujudkan mengingat hal itu bahwa
inti dari karakter bangsa yang masih harus dibangun dakam masyarakat kita adalah
persaudaraan sebagai sikap moral baru. Robert Bellah, seorang sosiolog Amerika
Serikat menekankan bahwa kebangkita moral baru mampu melandasi pranata social
dan menghasilkan hubungan social yang lebih baik. Ia mengatakan nahwa semua
kejadian yang telah merendahkan martabat manusia adalah hasil dari pilihan-pilihan
kita, yang kemudian dibakukan dalam pranata social. Untuk merombaknya perlu
dilakukan suatu pemilihan-pemilihan yang baru. Hal ini memerlukan suatu sistem
nilai, karena semua pilihan memiliki landasan moral dan etika. Menganalisis pranata-
pranata social berarti mempertanyakan “bagaimana kita seharusnya hidup?” “dan
bagaimana kita berpikir tentang bagaimana kita hidup?” pranata-pranata social yang
telah mengatur bagaimana kita hidup ternyata berjalan kurang baik atau tidak sesuai
dengan apa yang sebenarnya kita inginkan. Jadi nilai-nilai ideal yang kita inginkan itu
hanya tersimpan dalam khasanah budaya kita, tidak secara efektif mengatur perilaku
kita di dalam pranata social yang ada.
- Video Escape from freedom
Peradaban modern yang lahir dari ibu kandung globalisasi ternyata menimbulkan
sejumlah persoalan dan kekecewaan. Erich Froom (1997) menjelaskan perkembangan
eropa sebagai perkembangan peradaban modern. Tema sentral perkembangan
peradaban modern ini menurut pendapat adalah timbulnya kebebasan (freedom), yang
terjadi pada level individu ,maupun masyarakat. Pada level individu kebebasan itu
diawali timbulnya self (diri) dalam proses individuasi ialah lepasnya tali-talu individu
sejak terputusnya tali ari-ari sampai mulai timbulnya rasa keterpisahan antara bayi
dan ibunya dan pada umumnya pemisahan “aku” dengan “engkau”.
Ketidakterpisahan Antara individu dan lingkungannya (atau adanya tali-tali tadi),
memberikan kepada individu perasaan aman (security feeling), perasaan kebersatuan
(belongingness) dan perasaan bahwa ia mengakar (rooted) pada sesuatu. Diperoleh
kebebasan oleh individu itu berarti hilangnya ketiga tali-tali itu yang berganti dengan
kekhawatiran (anxiety), ketidakberdayaan (powerless), kemenyendirian (aloneless),
keterombang-ambingan (uprootedness), keraguan (doubt), yang kesemuanya itu
bermuara pada sikap permusuhan (hostility). Siklus individuasi itu terjadi pada setiap
individu, pada setiap saat, dan di setiap tempat. Perkembangan kepribadian pada level
masyarakat juga menentukan proses individuasi sepanjang sejarah, yang dalam
masyarakat Barat merupakan hasil perjuangan, yang dapat disebut hasil perjuangan
kebebasan. Seperti pada level individu, kebebasan ini juga berupa putusnya tali-tali
terhadap segala macam kekuasaan : gereja, Negara, dan eksploitasi ekonomi.
Sebagaimana level individu kebebasab atau putusnya tali-tali itu disertasi pula dengan
kegelisahan (anxiety), kehilangan kekuatan (powerless), kemenyendirian (aloneless),
keterombang-ambingan (uprootedness), keraguan (doubt), yang kesemuanya itu
bermuara pada sikap permusuhan (hostility). Melalui proses kebebasan itu, Erich
Fromm melukiskan timbulnya sistem kapitalisme yang terjadi pada abad ke-15 (Abad
pertengahan atau Abad kegelapan) dan abad ke-16 (Abad Reformasi Gereja atau
timbulnya Protestanisme). Kapitalisme pada abad ke-15 mula-mula berkembang di
Italia, yang Antara lain disebabkan laut Merah menjadi jalur kegiatan perdagangan
Eropa dan dekatnya ke Dunia Timur (termasuk Arab/Islam), sehingga kebudayaan
Timur dapat diboyong ke Eropa. Kapitalisme yang timbul adalah kapitalisme
bangsawan. Prekonomian dilakukan di atas landasan etik yang kuat (persaudaraan)
dan sedikit sekali persaingan. Akibatnya, akumulasi capital berrjalan sangant lambat.
Walaupun demikian dalam sistem perdagangan tersebut capital telah berkedudukan
sebagai majikan. Sejak abad ke-16, yakni tatkala reformasi Gereja, kelas menengah
menjadi mencuat ke atas sebagai akibat lcutan Luther dan Calvin, mereka
mendambakan harta kekayaan (sebagai symbol keberhasilan). Ajaran mereka yang
terpenting adalah kemandirian dan mengandalkan usaha sendiri dengan berjerih
payah. Inilah segi positif dari kapitalisme sebagaimana dilecut oleh Protestanisme,
yang tema sentralnya adalah kebebasan. Namun segi negatifnya, sebagaimana
diungkapkan di muka adalah terjadinya perasaan tidak aman (insecurity
feeling),kegelisahan (anxiety), kehilangan kekuatan (powerless) dan sebagainya. Dari
analisis itu Erich Fromm menyimpulkan bahwa disamping orang membutuhkan
kebebasan (freedom), iajuga memerlukan ketergantungan (submissiveness). Akibat
kebutuhan submissiveness itu tidak terpenuhi, maka kebebasan menjadi tidak
bermakna lagi. Maka timbulah mekaisme untuk melarikan diri dari kebebasan atau
escape from freedom berupa melukai diri sendiri (masochism), melukai orang lain
(sadism), melenyapkan objek atau saingan (destructiveness) dan mengekor secara
serempak (automaton). Demikianlah kapitalisme Barat dan masyarakat modern
sebagaimana diterangkan Erich Fromm. Mereka memiliki karsa (will) yang kuat,
seperti (kemandirian, percaya diri, jerih payah) akan tetapi tercipta pula masyarakat
yang goyah. Kegagalan itu ditimbulkan oleh tiadanya ketenangan batin (insecurity
feeling) akibat melupakan nilai-nilai agama.

- Video Proyek Belajar Karakter, Apa Itu Karakter?


Ada sebuah iklan di televisi yang diperankan seorang anak muda yang ia bekerja
sebagai tukang antar barang di sebuah toko.Dalam benaknya berkecamuk suatu
keinginan untuk membahagiakan ibunya yang mulai sakit-sakitan pada ulang tahun
dengan jamuan makan malam spesial lengkap dengan seikat bunga mawar kesukaan
ibundanya itu.Namun apa daya, dia tidak cukup uang karena setiap upah yang
diperoleh
dari majikannya hanya pas-pasan mana cukup untuk menyiapkan makan malam yang
spesial suatu hari selepas menyelesaikan pekerjaannya pada saat ia pamit untuk
pulang biasanya majikannya memberinya upah ia pikir majikannya itu keliru
memberinya upah yang besarnya tidak seperti biasa,tanpa pikir panjang ia
kembalikan uang tersebut karena memang bukan haknya.Benar saja majikannya itu
salah memberikan uang dalam amplop yang sebenarnya untuk diberikan kepada rekan
bisnisnya dalam perjalanan pulang ke rumahnya, ia melihat ada adu ketangkasan
sepeda motor melompati deretan mobil dan berhadiah pula.Ia pikir inilah kesempatan
baginya untuk memperoleh uang, karena dalam hal adu ketangkasan bermotor ia
memang jagonya. Tanpa pikir-pikir lagi ia mendaftarkan diri untuk megikuti
perlombaan yang amat penuh risiko tersebut.Dan ternyata ia adalah satu-satunya
peserta lomba yang berhasil melompati deretan mobil dengan selamat, hanya sedikit
luka kecil pada kening bagian kanan.Akhirnya keiniginannya untuk membahagiakan
ibundanya itu terkabul.Saudara-saudara sekalian yang berbahagia dari ilustrasi tadi
tampak bahwa Si pemuda itu mengetahui bahwa uang yang bukan haknya tidak boelh
dikuasai, ia harus mengembalikan kepada si yang punya, dan memang nyata ia
mengembalikannya tanpa pikir panjang.Ini berarti bahwa Si pemuda itu tahu nilai
kebaikan (moral knowing) dan ia juga mau berbuat baik (moral feeling),serta nyata
kehidupannya itu adalah memilih kehidupan yang baik (moral action).Maka dapat
kita katakan bahwa Si pemuda itu adalah orang yang berkarakter baik, yakni tahu
nilai-nilai kebajikan, mau berbuat baik, dan nyata bahwa ia berkehidupan yang baik
yang terpateri dalam hati dan terejawantahkan dalam perbuatan.Simpulannya adalah,
bahwa karakter itu menyentuh bagian yang terdalam dari hati manusia, bukan sekedar
perilaku biasa apalagi hanya sekedar mengikuti kaprah umum.Seseorang yang
berkarakter baik, ekspresi dari hatinya yang terdalam itu terwujud dalam sikap dan
perilakunya yang baik pula, tulus dan ikhlas, tidak mengada-ada apalagi dibuat-
buat.Ketulusan hati itu terpancar secara nyata dari gerak-gerik, tutur kata, ekspresi
wajah maupun bahasa tubuh lainnya.

Anda mungkin juga menyukai