Anda di halaman 1dari 16

D3 Kep – Smstr …..

NILAI :

Makalah
EPIDEMIOLOGI DASAR

NAMA MAHASISWA :Cindy Evikeia Sihombing


NIM : 201914401002
DOSEN PENGAMPU : Dra.Meiyati simatupang SST,M.Kes

PROGRAM D III KEPERAWATAN


STIKES NAULI HUSADA
SIBOLGA
17 MEI 2021
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Epidemiologi dasar dengan judul
“laporan penyakit demam tifoid surveilans di puskesmas ”.
Dalam menyusun makalah ini, kami banyak menemui kesulitan dan hambatan sehingga kami
tidak terlepas dari segala bantuan, arahan, dorongan semangat dari berbagai pihak. Dan
akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu kami ingin menyampaikan
ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada berbagai pihak yang
telah membantu kami yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Terima kasih atas
kesabaran dan keikhlasannya dalam memberikan masukan, motivasi dan bimbingan selama
penyusunan makalah ini.
Segala kemampuan dan daya upaya telah kami usahakan semaksimal mungkin, namun kami
menyadari bahwa kami selaku penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.
Penulis berharap semoga hasil makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua, Amin.

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel
fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran
darah. (Darmowandowo, 2006). Penyakit ini dapat ditemukan di seluruh dunia, dan
disebarkan melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh virus
tersebut. Manifestasi klinis dan tingkat morbiditas demam typhoid bervariasi pada beberapa
populasi yang diteliti. Sekitar 60 hingga 90 % pasien dengan demam tyhpoid tidak
mendapatkan perhatian medis yang cukup atau diperlakukan sebagai pasien rawat jalan.
(husada, 2009).
Demam tifoid pada beberapa dekade terakhir sudah jarang terjadi di negara-negara
industri, namun tetap menjadi masalah kesehatan yang serius di sebagian wilayah dunia,
seperti bekas negara Uni Soviet, anak benua India, Asia Tenggara, Amerika Selatan dan
Afrika. Menurut WHO, diperkirakan terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu diantaranya
berakhir dengan kematian. Sekitar 70 % dari seluruh kasus kematian itu menimpa penderita
demam tifoid di Asia. Di negara berkembang, diperkirakan sekitar 150 kasus/ juta populasi/
tahun di Amerika Latin. Hingga 1.000 kasus/ juta populasi/ tahun di beberapa negara Asia.
(healthy caus, 2009)
Demam tifoid merupakan masalah global terutama di negara dengan higiene buruk.
Etiologi utama di Indonesia adalah Salmonella enterika subspesies enterika serovar Typhi
(S.Typhi) dan Salmonella enterika subspesies enterika serovar Paratyphi A (S. Paratyphi A).
CDC Indonesia melaporkan prevalensi demam tifoid mencapai 358-810/100.000 populasi
pada tahun 2007 dengan 64% penyakit ditemukan pada usia 3-19 tahun, dan angka mortalitas
bervariasiantara 3,1 – 10,4 % pada pasien rawat inap. Sedangkan Hasil Riset Dasar
Kesehatan tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi demam tifoid di Indonesia sebesar
1,6% . Provinsi NAD merupakan prevalensi demam tifoid tertinggi yaitu sebesar 2,96%.
Profil kesehatan Indonesia 2008 menunjukkan prevalensi tifoid di Indonesia masih cukup
tinggi, yaitu 1,6 persen, atau sekitar 600.000-1.500.000 kasus setiap tahun dan peringkat 15
dari penyakit yang menyebabkan kematian di Indonesia. Tahun 2009 demam tifoid dan
paratifoid terdapat 80.850 kasus, kematian 1013 dan CFR 1,25%. (Profil Kesehatan Indonesia
Tahun  2007, 2008, 2009).
Situasi penyakit Typhus (demam typhoid) di Provinsi Sulawesi Selatan pada
tahun  2005 sebanyak 16.478 kasus, dengan kematian sebanyak 6 orang (CFR=1%).
Berdasarkan 27 laporan yang di terima oleh Subdin P2&PL Dinkes Prov. Sulsel dari
beberapa kabupaten  yang menunjukkan kasus tertinggi yakni Kota Parepare, Kota Makassar,
Kota Palopo, Kab. Enrekang dan Kab. Gowa. Sedangkan untuk tahun 2006, tercatata jumlah
penderita sebanyak 16.909 dengan kematian sebanyak 11 orang (CFR=0,07%) dan sebaran
kasus tertinggi di Kab. Gowa, Kab. Enrekang, Kota Makassar dan Kota Parepare. (Profil
Kesehatan Sulawesi Selatan Tahun 2005,2006).
 Jumlah penderita pada tahun 2007 telah tercatat sebanyak 16.552 dengan kematian
sebanyak 5 orang (CFR=0,03 %) dengan sebaran kasus tertinggi di Kab.Gowa, Kab.Enrekang
dan Kota Makassar.Penyakit typhus berdasarkan Riskesdas tahun 2007  secara nasional di
Sulawesi Selatan, penyakit typhus tersebar di semua umur dan cenderung lebih tinggi pada
umur dewasa. Prevalensi klinis  banyak ditemukan pada kelompok umur sekolah yaitu 1,9%,
terendah pada bayi yaitu 0,8%.(Profil Kesehatan Sulawesi Selatan Tahun 2007).
Data program tahun 2008 tercatat penyakit typhus tercatat jumlah penderita
sebanyak  20.088 dengan kematian sebanyak 3 orang, masing-masing Kab. Gowa (1 orang)
dan Barru (2 orang) atau  CFR= 0,01 %. Insiden Rate (IR=0.28%) yaitu tertinggi di
Kab.Gowa yaitu 2.391 kasus (merah) dan terendah di Kab. Luwu yaitu 94 kasus (hijau),
tertinggi pada umur 15-44 tahun) sebanyak 15.212 kasus. (Profil Kesehatan Sulawesi Selatan
Tahun 2008).
Data-data terebut diatas telah menjadi bukti bahwa penyebaran penyakit typhus ini
sudah menjadi masalah yang sering ditemukan dimasyarakat maka diperlukan langkah-
langkah surveilans utuk mengetahui seberapa besar penyebaran penyakit ini untuk nantinya
di lakukan langkah-langkah pencegahan.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka diangkatlah rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana distribusi penyakit demam tifoid menurut umur di wilayah kerja puskesmas
Batua Kota Makasaar tahun 2008-2010 ?
2.      Bagaimana pelaksanaan Surveilans penyakit demam tifoid menurut umur di wilayah kerja
puskesmas Batua Kota Makasaar tahun 2008-2010 ?
3.      Bagaimana CFR dan KLB penyakit demam tifoid menurut umur di wilayah kerja
puskesmas Batua Kota Makasaar tahun 2008-2010 ?
1.3  Tujuan Praktik
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pelaksanaan survailens dan epidemiologi Demam Tifoid di
puskesmas Batua, Kota Makasaar tahun 2008-2010.
1.3.2 Tujuan Khusus
a.       Tujuan Surveilans
a)      Komponen Surveilans
1.      Collection
Untuk mengetahui bagaimana pengumpulan data Demam Tifoid di puskesmas Batua.
2.      Analisis
Mengetahui analisis data dari surveilans penyakit Demam Tifoid di puskesmas Batua
3.      Interpretation
Untuk mengetahui bagaimana interpretasi/hasil olahan data penyakit demam tipoid di
pukesma Batua.
4.      Dissemination
Mengetahui bagaimana upaya penyebarluasan informasi mengenai data penyakit demam
tipoid dipukemas Batua
b)      Atribut Surveilans
1.      Timelines
Mengetahui apakah kegiatan surveilans penyakit demam tipoid berjalan dengan tepat waktu.
2.      Simplicity
Mengetahui apakah laporan datanya sederhana dan dapat dipergunakan oleh semua pihak
3.      Flexibelity
Mengetahui apakah format laporan penyakit Demam Tifoid yang sudah jadi bersifat flexibel
sehingga jika ada penambahan data format laporan tersebut masih bisa disesuaikan.
4.      Acceptability
Mengetahui bahwa data penyakit demam tipoid tersebut dapat diterima oleh semua pihak.
5.      Sensitivity
Mengetahui adanya kasus baru penyakit Demam Tifoid
6.      Representative
Mengetahui apakah data yang diambil dapat mewakili data dari wilayah sekitar Puskesmas
Batua.
7.      Predictive value positive
Mengetahui apakah kegiatan surveilans dapat  memprediksi penderita yang positif mengalami
penyakit Demam Tifoid
8.      Cost effectiveness
Mengetahui apakah biaya kegiatan surveilans penyakit Demam Tifoid digunakan secara
efektif.
b.      Tujuan Epidemiologi
1.      Untuk mengetahui frekuensi penyakit demam tifoid menurut umur di wilayah kerja
puskesmas Batua Kota Makasaar tahun 2008-2010.
2.      Untuk mengetahui distribusi penyakit demam tifoid menurut umur di wilayah kerja
puskesmas Batua Kota Makasaar tahun 2008-2010.
3.      Untuk mengetahui determinan penyakit demam tifoid menurut umur di wilayah kerja
puskesmas Batua Kota Makasaar tahun 2008-2010
4.      Untuk melihat distribusi penyakit demam tifoid menurut umur di wilayah kerja puskesmas
Batua Kota Makasaar tahun 2008-2010.
5.      Untuk melihat distribusi penyakit demam tifoid menurut waktu di wilayah kerja puskesmas
Batua Kota Makasaar tahun 2008-2010.
6.      Untuk melihat distribusi penyakit demam tifoid menurut tempat di wilayah kerja puskesmas
Batua Kota Makasaar tahun 2008-2010.
7.      Untuk mengetahui angka kematian (CFR) akibat penyakit demam tifoid di wilayah kerja
puskesmas Batua Kota Makasaar tahun 2008-2010.
8.      Untuk mengetahui KLB penyakit demam tifoid di wilayah kerja puskesmas Batua Kota
Makasaar tahun 2008-2010.
1.4  Manfaat Praktik
Pelaksanaan praktik surveilans tersebut diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
1.      Manfaat Ilmiah
Hasil praktek ini diharapkan memperkaya khasanah Ilmu Pengetahuan dan merupakan bahan
acuan dan pembanding bagi praktek surveilans berikut.
2.      Manfaat Praktis
a.       Hasil praktek ini sebagai masukan bagi instansi terkait sehingga dapat dijadikan sebagai
dasar untuk program penanggulangan penyakit demam tifoid.
b.      Dapat dijadikan informasi bagi instansi dinas kesehatan kota Makassar dan Puskesmas
untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan pada pengembangan
program pencegahan penyakit demam tifoid.
3.      Manfaat bagi Peneliti
Bagi peneliti sendiri, penelitian ini akan menjadi pengalaman berharga dalam memperluas
wawasan mengenai kejadian penyakit demam tifoid dan program survailans penyakit demam
tifoid.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1  Tinjauan Umum Surveilans Epidemiologi dan Survailans Penyakit Demam Tifoid
2.1.1        Tinjauan Umum Survailans Epidemiologi
a.      Pengertian Surveilans Epidemiologi
Survailens epidemiologi adalah pengumpulan dan pengamatan yang dilakukan secara
sistematik dan berkesinambungan, analisis, dan interpretasi data kesehatan dalam proses
untuk menjelaskan dan memantau (memonitor) peristiwa kesehatan. (Noor,2004).
b.      Tujuan Surveilans Epidemiologi
1.      Mengetahui distribusi geografis penyakit.
2.      Mengetahui periodesitas atau waktu terjadinya suatu penyakit yang diambil minimal 3
tahun sehingga dapat terlihat trend penyakit.
3.      Mengetahui situasi suatu masalah kesehatan, misalnya prevalensi, insidens, angka serangan
(attack rate), dan lain-lain.
c.       Komponen Surveilans Epidemiologi
1.      Pengumpulan dan pencatatan kejadian atau data yang dapat dipercaya
2.      Pengolahan data untuk memperoleh keterangan yang berarti
3.      Analisis dan interpretasi data untuk keperluan kegiatan
4.      Diseminasi data dan keterangan, termasuk umpan balik
5.      Hasil evaluasi terhadap sistem surveilans
d.      Jenis Surveilans Epidemiologi
1.      Surveilans pasif, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari laporan bulanan sarana
pelayanan kesehatan yang ada di daerah.
2.      Surveilans aktif, yaitu pengumpulan data yang dilakukan secara langsung untuk
mempelajari penyakit tertentu dalam waktu relatif singkat dan dilakukan oleh petugas
kesehatan secara teratur untuk mencatat ada tidaknya kasus baru penyakit tertentu.
3.      Surveilans menyeluruh, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dalam batas waktu tertentu
di berbagai bidang agar dapat mewakili populasi yang diteliti dalam suatu negara.
4.      Surveilans sentinel, yaitu pengumpulan data yang dlakukan terbatas pada bidang-bidang
tertentu.
5.      Surveilans berdasarkan kondisi masyarakat, sarana dan prasarana serta laboratorium
kesehatan.
e.       Sasaran Surveilans Epidemiologi
1.      Individu, pengamatannya dilakukan pada individu yang terinfeksi dan mempunyai potensi
untuk menularkan penyakit.
2.      Populasi lokal, yaitu kelompok penduduk yang terbatas pada orang-orang dengan risiko
terkena penyakit (population at risk).
3.      Populasi nasional, pengamatanya dilakukan terhadap semua penduduk secara nasional.
4.      Populasi internasional, merupakan pengamatan yang dilakukan oleh berbagai negara secara
bersama-sama, yang ditujukan untuk penyakit-penyakit yang mudah menimbulkan epidemi
atau pendemi.
f.       Kegiatan Surveilans Epidemiologi
1.               Kegiatan Rutin mencakup:
a.       Laporan rutin penyakit tertentu, baik menular maupun tidak    menular
b.      Pencatatan dan pelaporan penyakit tertentu dalam masyarakat yang biasanya terbatas pada
berbagai kejadian yang mungkin mempunyai dampak yang berat atau memiliki potensi
mewabah.
c.       Pencatatan jenis penyakit wajib lapor, termasuk penyakit wjib lapor, termasuk penyakit
menular tertentu / penyakit karantina serta berbagai penyakit yang memiliki potensi
mewabah.
d.  Surveilans ekologi dan lingkungan
e. Pengawasan dan pengmatan pemakaian zat tertentu, seperti insektisida, vaksin dan lain-lain.
f. Pencatatan dan pelaporanperistiwa vital, meliputi kelahiran, perkawinan, perceraian dan
kematian.
g.  Kegiatan khusus mencakup:
1)      Pelaksanaan survei berkala
2)      Pengamatan khusus KLB
3)      Pengamatan khusus oleh dokter swasta dan klinik swasta

2.1.2        Tinjauan Umum Surveilans Penyakit Demam Tifoid


a.       Pengertian survailans penyakit demam tifoid
Surveilans demam tifoid adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interprestasi
data, serta penyebarluasan informasi ke penyelenggara program dan pihak/instansi terkait
secara sistematis dan terus menerus tentang situasi demam tifoid dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit tersebut agar dapat dilakuakan
tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien.
b.      Kasus demam tifoid adalah penderita demam tifoid
c.       Penderita demam tifoid alah penderita penyakit yang didiagnosis sebagai demam tifoid
d.      Penegakkan diagnosis DD, demam tifoid dan sesuai kriteria
e.       Kasus suspek (tersangka) yaitu penderita demam tifoid mengalami panas lebih dari 7 hari,
biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2
panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.
2. 2 Epidemiologi Demam Tifoid
2.2.1        Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram
negatif Salmonella typhi. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel
fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran
darah. (Darmowandowo, 2006)
Penyakit Demam Tifoid (bahasa Inggris: Typhoid fever) yang biasa juga disebut
typhus atau types dalam bahasa Indonesianya, merupakan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhi terutama
menyerang bagian saluran pencernaan. Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang
selalu ada di masyarakat (endemik) di Indonesia, mulai dari usia balita, anak-anak dan
dewasa.
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan
bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus, pembentukan
mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum. (Soegeng Soegijanto, 2002).

2.2.2        Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh jenis salmonella tertentu yaitu s. Typhi, s. Paratyphi A,
dan S. Paratyphi B dan kadang-kadang jenis salmonella yang lain. Demam yang disebabkan
oleh s. Typhi cendrung untuk menjadi lebih berat daripada bentuk infeksi salmonella yng
lain. (Ashkenazi et al, 2002)
Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak
membentuk spora, dan tidak berkapsul. Kebanyakkan strain meragikan glukosa, manosa dan
manitol untuk menghasilkan asam dan gas, tetapi tidak meragikan laktosa dan sukrosa.
Organisme salmonella tumbuh secara aerob dan mampu tumbuh secara anaerob fakultatif.
Kebanyakan spesies resistent terhadap agen fisik namun dapat dibunuh dengan pemanasan
sampai 54,4º C (130º F) selama 1 jam atau 60 º C (140 º F) selama 15 menit. Salmonella tetap
dapat hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat bertahan
hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makannan kering, agfen farmakeutika
an bahan tinja. (Ashkenazi et al, 2002)
Salmonella memiliki antigen somatik O dan antigen flagella HH. Antigen O adlah
komponen lipopolisakarida dinding sel yang stabil terhadap panas sedangkan antigen H
adalah protein labil panas. (Ashkenazi et al, 2002)
2.2.3        Patogenesis
S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian
kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. (mansjoer,
2000) Setelah mencapai usus, Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap oleh sel
mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II
(Darmowandowo, 2006).
Interaksi Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch
of payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas
vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi sumsum tulang dll (Darmowandowo, 2006)
Imunulogi. Humoral lokal, di usus diproduksi IgA sekretorik yang berfungsi mencegah
melekatnya salmonella pada mukosa usus. Humoral sistemik, diproduksi IgM dan IgG untuk
memudahkan fagositosis Salmonella oleh makrofag. Seluler berfungsi untuk membunuh
Salmonalla intraseluler (Darmowandowo, 2006)

2.2.4        Gejala klinis
Keluhan dan gejala Demam Tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu
ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ. Secara
klinis gambaran penyakit Demam Tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi
usus, dan keluhan susunan saraf pusat.
1.      Panas lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan sumer yang makin hari makin meninggi,
sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.
2.      Gejala gstrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah, dan kembung,
hepatomegali, splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
3.      Gejalah saraf sentral berupa delirium, apatis, somnolen, sopor, bahkan sampai koma.

2.2.5        Pencegahan Penyakit Demam Tifoid


Pencegahan penyakit demam Tifoid bisa dilakukan dengan cara perbaikan higiene dan
sanitasi lingkungan serta penyuluhan kesehatan. Imunisasi dengan menggunakan vaksin oral
dan vaksin suntikan (antigen Vi Polysaccharida capular) telah banyak digunakan. Saat ini
pencegahan terhadap kuman Salmonella sudah bisa dilakukan dengan vaksinasi bernama
chotipa (cholera-tifoid-paratifoid) atau tipa (tifoid-paratifoid). Untuk anak usia 2 tahun yang
masih rentan, bisa juga divaksinasi.
2.2.6        Perawatan dan Pengobatan
Tujuan perawatan dan pengobatan demam tifoid anak adalah meniadakan invasi kuman
dan mempercepat pembasmian kuman, memperpendek perjalanan penyakit, mencegah
terjadinya komplikasi, mencegah relaps dan mempercepat penyembuhan.
Pengobatan terdiri dari antimikroba yang tepat yaitu : Kloramfenikol. Perawatan
biasanya bersifat simptomatis istrahat dan dietetik. Tirah baring sempurna terutama pada fase
akut. Masukan cairan dan kalori perlu diperhatikan
Anak baring terus di tempat tidur dan letak baring harus sering diubah-ubah. Lamanya
sampai 5-7 hari bebas demam dan dilanjutkan mobilisasi bertahap yaitu : hari I duduk 2 x 15
menit, hari II duduk 2 x 30 menit, hari III jalan, hari IV pulang.
Dahulu dianjurkan semua makanan saring, sekarang semua jenis makanan pada
prinsipnya lunak, mudah dicerna, mengandung cukup cairan , kalori, serat, tinggi protein dan
vitamin, tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. Makanan saring / lunak
diberikan selama istirahat mutlak kemudian dikembalikan ke makanan bentuk semula secara
bertahap bersamaan dengan mobilisasi. Misalnya hari I makanan lunak, hari II makanan
lunak, hari III makanan biasa, dan seterusnya.
2.2.7        Komplikasi Penyakit Demam Tifoid
Komplikasi yang sering dijumpai pada anak penderita penyakit demam tifoid adalah
perdarahan usus karena perforasi, infeksi kantong empedu (kolesistitis), dan hepatitis.
Gangguan otak (ensefalopati) kadang ditemukan juga pada anak.
2.2.8        Diet Penyakit Demam Tifoid
Penderita penyakit demam Tifoid selama menjalani perawatan haruslah mengikuti
petunjuk diet yang dianjurkan oleh dokter untuk di konsumsi, antara lain :
1.      Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin & protein.
2.      Tidak mengandung banyak serat.
3.      Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
4.      Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Untuk kembali ke makanan "normal", lakukan secara bertahap bersamaan dengan
mobilisasi. Misalnya hari pertama dan kedua makanan lunak, hari ke-3 makanan biasa, dan
seterusnya.
BAB III
METODE SURVEILANS
A Jenis Metode
Pelaksanaan epidemiologi surveilans yang dilakukan bersifat kegiatan khusus dan dilakukan
pada satu batas waktu tertentu atau secara priodik dengan selang waktu tertentu.
1.Pelaksanaan survei khusus untuk berbagai hal tertentu seperti status kesehatan masyarakat
melalui survei kesehatan masyarakat.
2.Pengamatan khusus terhadap kejadian luar biasa.
  Pada penyakit TB ini belum didapatkan kejadian luar biasa.
3.Registrasi RS/PKM.
Pada kasus TB registrasi dilakukan dengan mencatat data yang berasal dari kartu-kartu
penderita yang telah diteliti lebih dahulu, dan memberi nomor register pada setiap kartu
penderita. Dan dalam program penanggulangan TB paru dilakukan penyuluhan langsung
perorangan, penyuluhan ini ditujukan kepada suspek, penderita, dan keluarganya supaya
penderita menjalani pengobatan secara teratur sampai sembuh.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
  Populasi adalah seluruh penderita TB paru yang berkunjung di Puskesmas Pattallassang dan
yang terdaftar di buku suspek PKM Pattallassang, kab. Takalar  pada tahun 2004 – 2006.
            2. Sampel
 Sampel dalam praktek surveilans ini ditarik secara Exauchtive sampling yakni seluruh
penderita tuberculosis paru yang tercatat pada buku register tuberculosis paru di Puskesmas
Pattallassang, kab. Takalar
C   Tempat Pelaksanaan
Pelaksanaan praktik dilaksanakan di Puskesmas Pattallassang Kab. Takalar
D   Waktu Pelaksanaan
Pelaksanaan praktik dalam rangka observasi lapangan yang dilaksanakan pada hari Sabtu, Tgl
3 Maret 2007 dan secara keseluruhan pelaksanaan praktik surveilans penyakit TB Paru di
Puskesmas Pattallassang dilaksanakan Selama bulan Maret dan April tahun 2007.
E   Peserta
Pelaksanaan praktik Surveilans di Puskesmas Pattallassang Kab. Takalar diikuti oleh
Mahasiswa Kelompok V Mata Kuliah Praktik Surveilans Jurusan Epidemiologi Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar.

F    Jenis Data
1.      Data Primer
Data yang diperlukan untuk mengetahui pelaksanaan pemecahan masalah surveilans TB
Paru, meliputi pelaksanaan masalah dalam observasi, pengumpulan,analisis, dan interpretasi
data, penyebarluasan informasi serta penggunaan data dalam rencana program
penanggulangan TB paru di wilayah Puskesmas Pattallassang Kab. Takalar.
2.      Data Sekunder
Data diperlukan untuk mengetahui distribusi penyakit TB Paru di wilayah kerja Puskesmas
Pattallassang Tahun 2004-2006.

G   Sumber Data
Data primer diperoleh dari hasil wawancara dari petugas surveilans dan petugas program
pemberantasan penyakit TB serta pemeriksaan dokumen laporan bulanan dari Kepala Tata
Usaha  dan Puskesmas Patallasang.
Data Sekunder diperoleh dari pihak Puskesmas melalui pengamatan dan pencatatan formulir
SP2TP, LB1, buku suspek penderita TB Paru.

            Pengumpulan Data
      Data dikumpulkan melalui wawancara dan pemeriksaan kartu penderita, buku register
suspek TB dan dokumen laporan bulanan di Puskesmas Patallassang Kab. Takalar Tahun
2004-2006.

I     Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan alat elektronik berupa computer
pada program excel yaitu dengan metode sebagai berikut: membuat variabel, input data dan
pengolahan data lalu disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan narasi.

J     Analisis Data
 Data yang telah diolah akan dianalisis secara diskriptif untuk mengetahui gambaran
distribusi dan permasalahan mengenai surveilans TB Paru di Puskesmas Patallassang Kab.
Takalar tahun 2004-2006.

K. Defenisi Operasional
2. Tuberkolosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman mikobakterium Tuberkolosis.
3. Umur adalah lamanya hidup seseorang mulai lahir sampai saat terakhir yang tercatat pada
Puskesmas Patallassang yang dinyatakan dalam tahun.
4. Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang dimiliki seseorang yang membedakan pria dan
wanita sebagaimana yang tercatat pada Puskesmas Patallassang
5. Waktu Kejadian adalah periode kejadian penyakit yang diamati berdasarkan bulan tahun
masehi
6. Tempat adalah wilayah kerja yang ada di Puskesmas Patallassang dalam memberikan
pelayanan kesehatan
7. Prevalensi TB adalah jumlah kasus TB yang baru dan lama dibagi dengan jumlah
penduduklah
8. Tingkat ekonomi adalah keadaan yang menunjukkan status ekonomi keluarga penderita yang
dinyatakan dalam 2 kategori yaitu Gakin dan Nongakin
Daftar Pustaka

http://bufethelat.blogspot.com/2011/03/demam-tifoid-makalah-surveilans.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai