Freeport Pasca-Divestasi:
Sebuah Kabar Baik Bagi Lingkungan Hidup?1
A. PENDAHULUAN
Dalam paper ini, penulis akan melihat PT Freeport Indonesia (selanjutnya disebut
Freeport) paska divestasi dari aspek lingkungan hidup. Pertanyaan yang diajukan
adalah sejauh mana divestasi akan dapat mengubah praktek perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup oleh Freeport menjadi lebih berkelanjutan. Guna
menjawab pertanyaan ini, penulis menggunakan pendekatan kajian sosio-legal
yang maksudnya adalah meminjam atau menggunakan teori, konsep, maupun
metode ilmu sosial untuk melakukan interpretasi atas fenomena hukum yang
terjadi.
Dalam hal ini, penulis menggunakan Teori Praktek (Theory of Practice) dari
Pierre Bourdieu, sosiolog modern Prancis. Menurut teori ini, trajektori seorang
aktor sosial (individu maupun korporasi) dipengaruhi oleh kondisi internal dan
eksternal. Pada kondisi internal, apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan ditentukan
oleh ‘habitus’ aktor yang bersangkutan. Karl Maton mengungkapkan bahwa
“[t]he habitus is thus both structured by conditions of existence and generates
practices, beliefs, perceptions, feelings and so forth in accordance with its own
structure.”3 Jadi, habitus, dalam teori Bourdieu, merupakan kebiasaan, nilai,
perasaan atau persepsi yang tersusun berdasarkan pengalaman di masa lalu
(structured structure) yang membawa sang aktor pada kondisi hari ini dan
menjadi pembentuk pola tindakan di masa depan (structuring structure).4
1
Makalah ini disampaikan pada Diskusi Publik “Kedaulatan Pengelolaan Aset Strategis Bangsa
Pasca Pengambilalihan Saham Mayoritas PT Freeport Indonesia” yang diselenggarakan oleh
Kesatuan Mahasiswa Hukum Litigasi (KMHLit) Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, 25
April 2019 di Fakultas Hukum UGM.
2
Dosen pada Departemen Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada.
3
Karl Maton, 2008, “Habitus” dalam Pierre Bourdieu: Key Concepts, disunting oleh M. Grenfell,
Acumen Publishing Limited, Durham, hlm. 57.
4
Pierre Bourdieu, 1994, Texts of Sociology, Delfini, Athens.
2
Kondisi internal berikutnya adalah berkaitan dengan ‘capital’ (modal). Dalam hal
ini, apa yang bisa dilakukan seorang aktor sosial ditentukan oleh seberapa besar
capital yang ia miliki. Bourdieu sendiri membedakan ‘capital’ menjadi beberapa
bentuk, yakni: social capital (kekuatan jejaring sosial), cultural capital
(penguasaan atas pengetahuan dan keterampilan), dan economic capital (kekuatan
finansial). Kapital ini tidaklah terdistribusi secara merata dalam masyarakat
sehingga menyebabkan terjadinya ketimpangan relasi kuasa antara aktor sosial
satu dengan aktor sosial lainnya. Alhasil, ada tindakan-tindakan yang dengan
mudah bisa dilakukan oleh satu aktor sosial namun bagi aktor sosial yang lain
tindakan tersebut mustahil untuk dilakukan. Sedangkan kondisi eksternal adalah
arena sosial (field) yang menjadi tempat bertarungnya aktor-aktor sosial untuk
mengejar kepentingannya dalam mengakumulasi kapital-kapital yang ada.5 Jadi
secara sederhana skemata yang dapat dibangun adalah sebagai berikut: tindakan
apa yang bisa (atau tidak bisa dilakukan) oleh aktor sosial ditentukan oleh habitus
dan kapital yang ia miliki ditambah dengan kondisi arena sosial di mana ia
bertarung.6
5
Pierre Bourdieu, 1986, “The Form of Capital”, dalam Handbook of Theory of Research for the
Sociology of Education, disunting oleh J. Richardson, Greenwood, New York, hlm. 241-258.
6
Karl Maton, Op.Cit., 51
3
Meski memiliki hubungan yang baik dengan Belanda, ambisi Freeport Sulphur
harus tertunda karena pergolakan politik dan keamanan paska Proklamasi
Kemerdekaan. Hal ini dipersulit oleh perpindahan kekuasaan dari Belanda kepada
Indonesia di tangan kepemimpinan nasional Indonesia oleh Sukarno yang dinilai
nasionalis dan pro-komunis.10 Kesempatan bagi Freeport Sulphur akhirnya datang
setelah jatuhnya Sukarno dari kekuasaan melalui kudeta militer yang dipimpin
Suharto. Bahkan ketika militer mulai melakukan pembantaian terhadap anggota
Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta kelompok kiri lainnya di akhir 1965,
perusahaan telah mulai melakukan negosiasi secara resmi dengan para jenderal
tentara di Jakarta.11 Alhasil, pada 1967 pasca pengambilalihan kekuasaan oleh
Suharto, Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang menandatangani
kontrak dengan rezim Orde Baru melalui Kontrak Karya (KK) pertambangan.
7
Denise Leith, 2003, The Politics of Power: Freeport in Suharto’s Indonesia, University of
Hawai’I Press, Honolulu, hlm. 1.
8
Ibid.
9
Ibid., hlm. 2.
10
Ibid.
11
Ibid.
12
Siti Maimunah, dkk, 2006, Freeport: Bagaimana Pertambangan Emas dan Tembaga Raksasa
‘Menjajah’ Indonesia, Walhi & Jatam, Jakarta, hlm.9.
13
Denise Leith, Freeport and the Suharto Regime, 1965-1988, the Contemporary Pacific Vol. 14,
No. 1, 2002, hlm 73.
4
Chris Ballard dalam kajian bisnis dan HAM dengan studi kasus Freeport
menyatakan bahwa perusahaan raksasa tambang tersebut telah melakukan
pelanggaran hak asasi manusia. Ia menyebutkan pelanggaran tersebut termasuk:
pembunuhan ekstra-yudisial sampai dengan 200 orang dari 1975-1997 di mana
sebagian besar diantaranya adalah masyarakat sipil tidak bersenjata dari Suku
14
Siti Maimunah, dkk, 2006, Freeport: Bagaimana Pertambangan Emas dan Tembaga Raksasa
‘Menjajah’ Indonesia, Walhi & Jatam, Jakarta, hlm. 11.
15
Denise Leith, Freeport and the Suharto Regime, 1965-1988, the Contemporary Pacific Vol. 14,
No. 1, 2002, hlm 73.
16
Denise Leith, 2002, Op.Cit., hlm 72.
17
Denise Leith, 2003, Op.Cit., hlm. 3.
18
Ibid., hlm. 4
19
Ibid.
5
Di era Orde Baru, Ballard dan Banks menilai terdapat dua periode penting operasi
Freeport di Indonesia. Pertama adalah Periode 1967-1995 di mana operasi
perusahaan secara umum bebas dari perhatian dunia luar dan internasional; kedua
adalah Periode 1995-2000 di mana Freeport mendapatkan sorotan tajam dan
tekanan perubahan.23 Pada periode kedua ini, disebabkan oleh perkembangan
teknologi informasi dan kondisi politik Indonesia, kekhawatiran dan protes atas
operasi Freeport semakin sulit untuk dilokalisir. Kekhawatiran ini berkaitan
dengan permasalahan pelanggaran hak asasi manusia, penghancuran lingkungan
hidup, peminggiran masyarakat adat.24 Permasalahan tersebut yang pada periode
pertama dengan mudah ‘disenyapkan’ oleh negara kemudian menjadi konsumsi
internasional melalui organisasi-organisasi masyarakat sipil yang memiliki
20
Chris Ballard, 2002, Human Rights and the Mining Sector in Indonesia: A Baseline Study, IIED
& WBCSD, pubs.iied.org/pdfs/G00929.pdf [diakses pada 2 April 2019]
21
Chris Ballard dan Glen Banks, 2009, “Between a Rock and a Hard Place: Corporate Strategy at
the Freeport Mine in Papua, 2001-2006”, dalam Working with Nature Against Poverty:
Development, Resources and the Environment in Eastern Indonesia, disunting oleh Budi
Resosudarmo & Frank Jotzo, ISEAS Press, Singapore, hlm 159.
22
Ibid.
23
Ibid., hlm 151.
24
Siti Maimunah, dkk, 2006, Op.Cit., hlm. 9.
6
jaringan secara global.25 Terlebih lagi adanya gejolak di Papua sendiri dengan
munculnya Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan penyanderaan atas pegiat
World Wild Fund (WWF) oleh OPM di kawasan Taman Nasional Lorentz yang
berbatasan dengan konsesi Freeport membuat peningkatan besar-besaran
kehadiran militer di Papua.26
Perlawanan atas Freeport pun semakin meluas. Pertengahan 1990an, Walhi dan
beberapa LSM internasional menggugat Freeport melalui pemilik lahan di
hadapan pengadilan Amerika Serikat. Meski gugatan tersebut ditolak karena
dinilai kekurangan bukti,27 dengan adanya perlawanan di luar negeri rezim
otoritarian yang berkuasa di Indonesia tidak bisa lagi hanya mengandalkan
instrumen domestik untuk mengamankan bisnis Freeport. Terlebih lagi, kondisi
politik dalam negeri sendiri semakin mengarah pada kejatuhan rezim, membuat
perusahaan mengkhawatirkan posisinya di masa depan. Alhasil, Freeport
melakukan upaya guna menetralisir citra buruk perusahaan di mata dunia. Salah
satunya adalah dengan strategi public relation yakni memasang iklan satu
halaman penuh di koran New York Times yang berisikan ancaman perusahaan
untuk mengambil langkah hukum bagi pihak yang mengkritik termasuk meminta
pengembalian bantuan pendidikan yang telah disumbangkannya kepada Loyola
University di New Orleans setelah mahasiswanya melakukan protest atas
Freeport.28
25
Organisasi ini misalnya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dengan jaringan
internasionalnya yakni Friends of the Earth International.
26
Chris Ballard dan Glen Banks, 2009, Loc.Cit.
27
Denise Leith, 2003, Op.Cit., hlm 7.
28
Ibid.
29
Project Underground, 1998, The Risky Business: The Grasberg Gold Mine, Global Policy
Forum, https://www.globalpolicy.org/the-dark-side-of-natural-resources-st/water-in-
conflict/40138-risky-business-the-grasberg-gold-mine.html [diakses pada 3 April 2019]
30
Chris Ballard dan Glen Banks, 2009, Op.Cit., hlm 157.
7
rapat umum pemegang saham.31 Pada 2006, Menteri Keuangan Norwegia juga
menyatakan Freeport sebagai perusahaan yang di-blacklist bagi investasi global
Dana Pensiun Pemerintah Norwegia dengan alasan bahwa praktek pertambangan
Freeport menyebabkan kerusakan lingkungan secara ekstensif, jangka panjang
dan sulit dipulihkan sedangkan Freeport tidak menunjukkan kemauan dalam
mengatasi permasalahan lingkungan tersebut.32
Di dalam negeri, Freeport tidak saja disoroti oleh lembaga swadaya masyarakat
maupun masyarakat terkena dampak namun juga oleh pemerintah. Berbagai
lembaga pemerintah telah mengingatkan melalui laporan dan surat resmi Freeport
atas pelanggaran peraturan perundang-undangan.33 Misalnya, Kementerian
Lingkungan Hidup tanggal 23 Maret 2006 juga menyebutkan bahwa Freeport
telah melanggar peraturan pengelolaan lingkungan hidup, yakni tidak memiliki
izin pembuangan air limbah, izin pembuangan limbah B3, serta melampau baku
mutu.34 Namun, pihak perusahaan tetap bersikukuh bahwa mereka mentaati
peraturan yang ada.35 Sayangnya, Menteri Lingkungan Hidup, Rahmat Witoelar
saat itu, menggunakan pendekatan persuasif dengan dengan meminta perusahaan
untuk memperbaiki kinerja pengelolaan lingkungan hidupnya tanpa ada
pengenaan sanksi atas pelanggaran hukum lingkungan.36 Sebelumnya, pada awal
2000an, Freeport juga digugat oleh Walhi dan dalam putusannya, Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan menerima gugatan Walhi untuk sebagaian khusunya
berkaitan dengan pencemaran lingkungan.
Dalam merespon tuduhan, kritik dan tekanan publik atas operasi bisnisnya,
Freeport setidaknya memiliki dua strategi mitigasi yang menjadi habitus
perusahaan. Strategi pertama adalah “aggressive or dismissive denial”
(penyangkalan yang agresif atau acuh).37 Misalnya, saat Pemerintah Norwegia
memutuskan untuk mem-blacklist Freeport karena dianggap melakukan
pencemaran, pihak perusahaan dengan tegas menyangkal hal tersebut. Richard
Ardkerson, CEO Freeport, menyatakan bahwa “[t]he tailings themselves are
nontoxic. They are simply ground up rock, natural rock” dan ia menambahkan
31
Ibid.
32
Siti Maimunah, dkk, 2006, Op.Cit., hlm. 73-74.
33
Chris Ballard dan Glen Banks, 2009, Op.Cit., hlm 159.
34
Siti Maimunah, dkk, 2006, Op.Cit., hlm. 43.
35
Chris Ballard dan Glen Banks, 2009, Loc.Cit.
36
Siti Maimunah, dkk, 2006, Loc.Cit.
37
Chris Ballard dan Glen Banks, 2009, Op.Cit., hlm 157.
8
bahwa “[i]t has an environmental impact, but it’s not toxic and it can naturally be
reclaimed or can be used for farmland with appropriate nutrients added to it.”38
Langkah penyangkalan yang lain adalah dengan melakukan audit lingkungan pada
1996 dan 1999 yang mana hasilnya mengklaim bahwa Freeport telah mengikuti
standar lingkungan sesuai hukum Indonesia.39 Dengan temuan itu, banyak pihak
justru meragukan kredibilitas audit lingkungan yang dibiayai Freeport tersebut.
Anies S Basalamah dan Johnny Jermias, misalnya, menyebutkan bahwa audit
dilakukan perusahaan adalah untuk mempertahankan legitimasi perusahaan di
tengah berbagai tekanan dari berbagai pihak mulai dari masyarakat lokal, LSM
lingkungan, pemerintah, hingga komunitas internasional.40 Informasi lingkungan
yang disampaikan oleh perusahaan kepada publik juga terbukti salah, tidak akurat
dan banyak yang ditutupi terutama berkaitan dengan tailings. Hal ini terungkap
dalam gugatan yang diajukan Walhi tahun 2001, di mana pihak perusahaan
diperintah oleh pengadilan untuk memberikan informasi yang benar kepada
masyarakat.41
Strategi kedua yang sering digunakan Freeport untuk merespon tekanan publik
adalah dengan mekanisme noise reduction (pengurangan kebisingan). Strategi ini
digunakan secara internal maupun eksternal. Secara internal, perusahaan berupaya
untuk mengurangi ‘kebisingan’ pemegang saham yang menuntut Freeport untuk
mengubah operasinya agar lebih dapat diterima oleh masyarakat dan lingkungan.
Hal ini dilakukan dengan jalan melakukan beli kembali (buy back) saham besar-
besaran yakni 25% saham publik dengan nilai total $1.1 milliar dollar pada 1995
ketika tekanan dan kritik internasional menguat dimana pemegang saham ikut
menjadi penekan dari dalam.42 Alih-alih merespon tekanan internal dari pemegang
saham, perusahaan justru ‘membebaskan’ saham yang dipegang oleh pemegang
saham penekan sehingga mereka tidak lagi memiliki hak suara. Hal ini juga harus
dilihat sebagai upaya perusahaan untuk mendisiplinkan para pemegang saham
yang dianggap terlalu mengontrol operasinya.
38
Carole Vaporean, 2006, “Freeport Objects to Norway Fund Exclusion,” Reuters,
http://www.minesandcommunities.org/article.php?a=4159 [diakses pada 2 April 2019]
39
Chris Ballard dan Glen Banks, 2009, Op.Cit., hlm 159.
40
Anies S Basalamah & Johnny Jermias, Social and Environmental Reporting and Auditing in
Indonesia: Maintaining Organizational Legitimacy? 7 Gadjah Mada International Journal of
Business (1), 2005, hlm 119.
41
Ibid.
42
Chris Ballard dan Glen Banks, 2009, Op.Cit., hlm 157.
9
Tidak saja mengkoptasi aktor negara, Freeport juga berupaya menetralisir suara
miring dari masyarakat dengan menarget tokoh masyarakat dan aktivis. Tom
Beanal, Ketua Lembaga Adat Suku Amungme (LAMASA) setelah mengajukan
gugatan terhadap Freeport di Louisiana, Amerika Serikat, direkrut menjadi
komisaris perusahaan.44 Selain itu, langkah-langkah kooptasi yang sama juga
dilakukan Freeport terhadap tokoh-tokoh masyarakat lainnya dengan berbagai
cara, misalnya ditunjuk sebagai pengurus yayasan yang dibentuk perusahaan.45
Tentu saja dengan posisi mereka dalam masyarakat yang cukup terpandang,
kooptasi-kooptasi tersebut menyebabkan perpecahan dalam masyarakat dan
meredupkan sikap oposisi terhadap Freeport meski tidak sepenuhnya padam.
43
Ibid.
44
Ibid., hlm 160.
45
Ibid.
10
Tentu saja Freeport tidak dengan mudah menerima perubahan kebijakan tersebut
terlebih lagi harus kehilangan posisi istimewa yang diterimanya sejak tiga dekade
sebelumnya. Richard Adkerson, CEO Freeport McMoran Inc., dalam sebuah
release menyebutkan bahwa Freeport menolak perubahan KK menjadi IUPK
karena dianggap kebijakan sepihak pemerintah Indonesia.49 Selain itu, perusahaan
juga menolak untuk melepaskan 51% sahamnya dan hanya bersedia untuk
melepaskan 30% saja serta menuntut pengenaan pajak sebagaimana dalam KK.50
Begitu juga halnya dengan kewajiban untuk membangun smelter di mana Freeport
menilai hal tersebut sebagai kebijakan yang sepihak dan membaratkan.
lindung seluas 4.535,93 hektar tanpa dilengkapi Izin Pinjam Pakai Kawasan
Hutan (IPPKH).51 Akibatnya, negara dirugikan dari hilangnya potensi Penerimaan
Negara Bukan Pajak IPPKH sebesar Rp. 460 Milliar.52 Selain itu, BPK juga
menemukan bahwa Freeport telah melakukan pencemaran dan perusakan
ekosistem akibat pembuangan limbah yang apabila ditaksir bernilai Rp. 185
Triliun.53 Sehari setelah BPK menyatakan akan menindaklanjuti temuan ini,
Freeport menerima perubahan dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha
Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK-OK) yang berlaku sampai 2041.54
51
Fajar Pebrianto, “Temuan Lengkap BPK Soal Kerusakan Lingkungan Freeport Indonesia”,
Tempo, 20 Desember 2018, https://bisnis.tempo.co/read/1157108/temuan-lengkap-bpk-soal-
kerusakan-lingkungan-freeport-indonesia/full&view=ok [diakses pada 2 April 2019]
52
Ibid.
53
Ibid.
54
https://www.mongabay.co.id/2019/01/02/setelah-divestasi-freeport-bagaimana-soal-kerusakan-
dan-pemulihan-lingkungan/
55
Robby Irfany, 2018, “Kementerian Lingkungan Hidup Temukan 47 Pelanggaran Freeport”,
Tempo, 14 Maret, https://bisnis.tempo.co/read/1069429/kementerian-lingkungan-hidup-temukan-
47-pelanggaran-freeport [diakses pada 20 April 2019].
56
https://www.mongabay.co.id/2018/05/31/kementerian-lingkungan-permasalahkan-penanganan-
limbah-b3-freeport-di-mimika/
12
lingkungan bukan soal politis.”57 Di sini kembali terlihat jelas habitus Freeport
dengan melakukan penyangkalan terhadap pihak manapun yang dianggap
menganggu kenyamanan operasi bisnisnya selama ini.
Tidak hanya itu, pasca divestasi Freeport juga tetap dibebani beberapa kewajiban.
Kewajiban ini diantaranya adalah membayar denda Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP) Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) senilai Rp. 460 Milliar
dalam waktu 2 (dua) tahun kedepan.60 Selain itu, Freeport juga tetap diwajibkan
untuk membangun smelter dalam waktu 5 (lima) tahun.61 Dalam mengatasi
permasalahan lingkungan yang diakibatkan oleh operasi pertambangan Freeport,
KLHK membentuk Tim Pengendali Penyelasaian Masalah Freeport yang
dipimpin Inspektur Jenderal KLHK, bersama dengan direktorat jenderal terkait.
Tim ini bertemu secara reguler dan menjadi forum konsultasi antara KLHK dan
Freeport terkait pengelolaan lingkungan hidup oleh perusahaan. Termasuk juga
didalamnya untuk menyusun peta jalan (roadmap) rencana aksi penyelesaian
masalah pencemaran dan perusakan lingkungan hidup bagi Freeport.62 Sementara
57
Ibid.
58
“Divestasi Freeport Luans dan Tiga Hal Yang Perlu Diketahui” BBC Indonesia, 21 Desember
2018, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46650494 [diakses pada 3 April 2019]
59
https://www.mongabay.co.id/2019/01/02/setelah-divestasi-freeport-bagaimana-soal-kerusakan-
dan-pemulihan-lingkungan/
60
“Divestasi Freeport Luans dan Tiga Hal Yang Perlu Diketahui” BBC Indonesia, 21 Desember
2018, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46650494 [diakses pada 3 April 2019]
61
https://www.mongabay.co.id/2019/01/02/setelah-divestasi-freeport-bagaimana-soal-kerusakan-
dan-pemulihan-lingkungan/
62
Fajar Pebrianto, Loc.Cit.
13
untuk temuan BPK akibat pencemaran dan kerusakan ekosistem senilai Rp. 185
Triliun masih dalam proses pengkajian oleh KLHK.63
Kedua berkaitan dengan habitus Freeport yang dapat dilihat dari track record
perusahaan dalam melakukan penyangkalan akan adanya perusakan dan
pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh operasi pertambangannya. Sejak
awal, Freeport dengan posisi istimewa yang dimilikinya mampu lepas dari kritik
dan tekanan publik dengan jalan membantah dengan berbagai cara sampai hingga
menggunakan alat kekerasan negara. Misalnya, sudah menjadi habitus Freeport
untuk tidak memberikan informasi yang akurat dan benar kepada publik tentang
operasi bisnisnya. Ketidak-transparan-an ini pada gilirannya menutup kesempatan
bagi kelompok masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam mengawasi operasi
tambang Freeport. Padahal, pengawasan langsung oleh masyarakat sipil ini
memainkan peranan penting dalam memberikan tekanan bagi Freeport untuk
mengubah habitus-nya yang selama ini tidak berpihak pada lingkungan hidup.
63
“Divestasi Freeport Luans dan Tiga Hal Yang Perlu Diketahui” BBC Indonesia, 21 Desember
2018, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46650494 [diakses pada 3 April 2019]
64
Lia Anggia Nasution, 2015, “Inalum Didesak Hentikan Produksi”, Koran Sindo, 30 November
2015 http://koran-sindo.com/page/news/2015-11-30/5/37/Inalum_Didesak_Hentikan_Produksi
[diakses pada 20 April 2019]
14
Poin ini juga berkaitan dengan permasalahan partisipasi publik. Ironisnya, dalam
hiruk-pikuk proses divestasi hampir tidak terdengar suara dari masyarakat Papua
sendiri. Adolfina Kuum, tokoh perempuan Suku Amungmen misalnya
mengungkapkan bahwa: “Sungai-sungai ini dinyatakan tercemar dan hilang. Di
dalam sungai-sungai ini tersimpan sendi-sendi kehidupan masyakarat suku asli.
Sungai-sungai ini jadi tempat pencaian makan. Ini sudah hancur semua. Hilang.”65
Ia melanjutkan, “Kami tidak mau bicara divestasi, ini kehancuran di depan mata.
Kehancuran budaya, ketergantungan hidup tinggi ke Freeport dan kerusakan
lingkungan.”66 Bagi mereka, operasi bisnis Freeport adalah perkara pertaruhan
atas ruang hidup bukan sekedar urusan pendapatan berupa deviden sehingga
siapapun yang menjadi pemilik Freeport, entah korporasi asing maupun korporasi
milik negara, tidak ada bedanya dalam hal daya rusak.
Ketiga, dalam konteks struktural, arena (field) di mana Freeport bermain (baca:
Indonesia) masih diwarnai oleh praktek bisnis kotor misalnya korupsi maupun
pengejaran rente. Sejak awal, Freeport dalam menjalankan operasi bisnisnya
melakukan praktek ini dengan membangun relasi bersama elit politisi, militer,
hingga tokoh adat untuk mengamankan operasi bisnisnya. Hal ini dapat dengan
jelas dirasakan oleh publik ketika mencuat isu ‘Papa Minta Saham’ beberapa saat
yang lalu di mana praktek pengejaran rente dilakukan oleh elit-elit politik dalam
proses divestasi Freeport. Di samping itu, arena ekonomi-politik Indonesia juga
masih dikontrol oleh kekuatan oligarki dan mafia tambang yang ikut bermain
dalam divestasi Freeport. Dalam pengalaman divestasi Freeport, hal ini pernah
terjadi di era Orde Baru di mana divestasi saham Freeport atas permintaan
Ginandjar Kartasasmita, Menteri Pertambangan dan Energi kala itu, justru
menguntungkan perusahaan milik Aburizal Bakrie, kolega sang menteri sendiri
dan kroni Suharto, yang memperoleh 10% saham.67 Jaringan Advokasi Tambang
(Jatam) juga mencatat bahwa beberapa divestasi tambang justru ditunggangi dan
menguntungkan oligarki dan mafia tambang ini, misalnya PT Kaltim Prima Coal
(KCP) di Kalimantan Timur, dan PT Newmont Nusa Tenggara dimana negara
justru kehilangan potensi pendapatannya.68
65
Della Syahni & Asrida Elisabeth, 2018, “Catatan Kritis Divestasi Freeport”, 26 Juli 2018.
https://www.mongabay.co.id/2018/07/26/catatan-kritis-divestasi-freeport/ [diakses pada 10 April
2019]
66
Ibid.
67
Denise Leith, 2002, Op.Cit., hlm 78.
68
https://www.mongabay.co.id/2019/01/02/setelah-divestasi-freeport-bagaimana-soal-kerusakan-
dan-pemulihan-lingkungan/
15
D. PENUTUP
Divestasi Freeport merupakan topik hangat yang dibicarakan belakangan ini.
Namun sayangnya, pembicaraan divestasi ini hanya terfokus pada aspek ekonomi
atau finansial di mana perhitungan cost and benefit menjadi isu dominan. Terlepas
dari potensi ekonomi yang dapat diberikan oleh divestasi 51% saham Freeport,
pengalihan ini masih menyisakan kekhawatiran sejauh mana divestasi ini akan
dapat memberikan manfaat bagi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang lebih berkelanjutan. Pertanyaan mengenai aspek lingkungan ini penting
diajukan mengingat isu lingkungan digunakan oleh Pemerintah Indonesia sebagai
kartu penekan agar Freeport mau menerima tawaran dalam negosiasi divestasi
tersebut.
masih didominasi oleh oligarki dan praktek pengejaran rente yang berpotensi
membuka peluang bagi penumpang gelap untuk mencari keuntungan.
Belajar dari habitus Freeport dalam melakukan ‘noise reduction’, divestasi 51%
saham kepada Indonesia juga dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda,
yakni sudat pandang Freeport sendiri. Divestasi ini merupakan sebagai strategi
lanjutan dari Freeport untuk melakukan ‘noise reduction’ dan sekaligus
menjadikan pemerintah sebagai tameng dan ‘pencuci piring’ menjelang pesta
yang akan berakhir. Jika waktunya tiba, strategi buyback dapat kembali dilakukan
oleh perusahaan.
17