Banyak keteladanan, nasihat, dan ajaran Syaikh Abdul Qadir yang perlu
dipelajari dan diamalkan jika seseorang ingin dianggap patut menyandang status
sebagai pecintanya, muridnya, atau sahabatnya. Yang paling awal harus
ditanamkan ialah perasaan husnuzhan, atau baik sangka, dan cinta kepada sang
guru. Ada beberapa murid yang sebelumnya tidak simpati, bahkan cenderung
membencinya, namun kemudian berbalik mencintainya dan berguru kepadanya.
Seorang di antaranya Syaikh Abduh Hamad bin Hammam.
“Pada mulanya aku tidak suka kepada Syaikh Abdul Qadir. Walaupun aku
seorang saudagar yang paling kaya di Baghdad, aku tidak pernah merasa
tenteram ataupun puas hati. Pada suatu hari, ketika menunaikan shalat Jumat,
aku tidak mempercayai karamah Syaikh Abdul Qadir. Sampai di masjid, aku
dapati beliau sudah di sana. Aku mencari tempat yang tidak terlalu ramai,
kebetulan persis di depan mimbar. Ketika Syaikh Abdul Qadir mulai berkhutbah,
ada beberapa perkara yang menyinggung perasaanku.”
Syaikh Abduh Hamad melanjutkan, “Tiba-tiba, aku ingin buang air besar,
sementara untuk keluar dari masjid tentu sangat sulit. Aku dihantui perasaan
gelisah dan malu, takut kalau-kalau aku buang air besar di dalam masjid. Dan
kemarahanku terhadap Syaikh Abdul Qadir pun memuncak. Tapi, seketika itu
beliau turun dari mimbar dan berdiri di depanku. Sambil terus berkhutbah, beliau
menutup tubuhku dengan jubahnya. Tiba-tiba aku merasa sedang berada di
suatu lembah hijau yang sangat indah.”
Dalam jubah sang waliyullah itu, Syaikh Abduh Hamad seperti berada di sebuah
lembah sunyi dengan anak sungai yang airnya mengalir tenang. Maka segeralah
ia menunaikan hajatnya, lalu mengambil air wudhu. Dan ketika ia berniat
menunaikan shalat, tiba-tiba sudah berada di tempat semula: di dalam jubah
Syaikh Abdul Qadir – yang segara mengangkat jubahnya lalu kembali
berkhutbah di mimbar. “Aku sangat terkejut. Bukan karena perutku sudah lega,
tapi juga perasaan marah, ketidakpuasan hati, dan perasaan jahat lainnya,
semuanya hilang,” tambahnya.
Selepas sembahyang Jumat, Syaikh Abduh Hamad pulang. Di jalan ia baru tahu
kunci rumahnya hilang. Ia pun lalu kembali ke masjid untuk mencarinya, tapi ia
tidak menemukannya sehingga terpaksa memesan kunci baru. Keesokan
harinya ia dan rombongan meninggalkan Baghdad untuk berniaga. Tiga hari
kemudian, ia melewati sebuah lembah yang indah dengan anak sungai yang
airnya jernih. Ia merasa seperti pernah buang hajat di sungai itu.
“Aku lalu mandi di sungai. Setelah selesai dan mau mengambil jubah, aku
menemukan kembali kunci pintu rumahku, yang rupa-rupanya tertinggal dan
tersangkut pada sebatang dahan di sana. Setelah urusan dagangku selesai, aku
segera menemui Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani di Baghdad dan menjadi
muridnya,” tuturnya.
Salah satu wasiatnya yang sangat terkenal ialah ujarannya sebagai berikut,
“Ikutilah sunnah Rasul dengan penuh keimanan, jangan mengerjakan bid’ah.
Patuhlah selalu kepada Allah dan Rasul-Nya, janganlah melanggar. Junjung
tinggi tauhid, jangan menyekutukan Allah. Selalu sucikanlah Allah, dan jangan
berburuk sangka kepada-Nya. Pertahankanlah kebenaran-Nya, jangan pernah
ragu sedikit pun. Bersabarlah selalu, jangan menunjukkan ketidaksabaran.
Beristiqamahlah dengan berharap kepada-Nya. Bekerjasamalah dalam ketaatan,
jangan berpecah belah. Saling mencintailah, jangan saling mendendam.”
Bersatu dengan-Nya
Sementara dalam ranah tasawuf ia senantiasa megingatkan, “Tabir penutup
qalbumu tak akan tersibak selama engkau belum lepas dari alam ciptaan; tidak
berpaling darinya dalam keadaan hidup selama hawa nafsumu belum pupus;
selama engkau belum melepaskan diri dari kemaujudan dunia dan akhirat;
selama jiwamu belum bersatu dengan kehendak Allah dan cahaya-Nya.
Jika engkau mengatakan, jiwamu bersatu dengan Allah dan mencapai kedekatan
dengan-Nya lewat pertolongan-Nya, maka makna hakiki yang dimaksud ialah
berlepas diri dari makhluk dan kedirian, serta sesuai dengan kehendak-Nya
tanpa gerakmu; yang ada hanya kehendak-Nya. Inilah keadaan fana dirimu, dan
dalam keadaan itulah engkau bersatu dengan-Nya, bukan bersatu dengan
ciptaan-Nya. Bukankah Allah SWT berfirman, ‘Tak ada sesuatu pun yang serupa
dengan-Nya, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat. Allah tak
terpadani oleh semua ciptaan-Nya’? Istilah bersatu dengan-Nya hanya lazim
dikenal oleh mereka yang mengalaminya.”
Ia memang tokoh unik. Meski sebagian sufi sering dicitrakan lebih mementingkan
haqiqat daripada syari’at – karena perilakunya yang dianggap nyeleneh – ia
justru dengan tegas menjunjung tinggi pelaksanaan syari’at sebagai landasan
berthariqah dalam rangka menggapai haqiqat dan ma’rifat.
.
Keseimbangan Tiga Pilar
Dalam salah satu kitab karyanya, Al-Ghun-yah li Thalibi Thariqil Haqq, yang
memuat panduan beragama, dengan jelas tergambar betapa sang syaikh sangat
mementingkan keseimbangan di antara tiga pilar kehidupan beragama kaum
muslimin, yaitu iman (aqidah), Islam (syari’at), dan ihsan (akhlaq, tasawuf). Oleh
karena itu tidaklah benar jika ada orang yang mengaku sebagai pengikut dan
pecinta Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani tapi hanya mementingkan salah satu pilar.
Misalnya dalam masalah syafa’at Rasulullah SAW, Syaikh Abdul Qadir menulis,
“Seorang mukmin haruslah meyakini bahwa Allah SWT akan menerima syafa’at
Rasulullah SAW bagi umatnya yang telah telanjur berbuat dosa, baik dosa besar
maupun kecil, yang karenanya mereka ditetapkan masuk neraka, baik syafa’at
yang berlaku umum bagi semua umat sebelum proses hisab (perhitungan amal),
maupun yang berlaku khusus bagi mereka yang telah masuk neraka.”
.
Dengan syafa’at tersebut seluruh orang beriman yang berada di neraka kelak
akan keluar, sehingga tidak ada seorang pun yang berada di dalamnya. Selagi
ada sebutir dzarrah (benda terkecil) keimanan dalam qalbu seseorang, dan
selama ia mengakui dengan tulus bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah SWT,
orang itu akan mendapatkan syafa’at dari Rasulullah SAW, sebagaimana sabda
beliau, “Syafa’atku, insya Allah, akan didapatkan oleh siapa saja dari umatku
selama ia tidak mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu.” (HR
Abu Hurairah).
Sebagaimana Rasulullah SAW mempunyai syafa’at, para nabi yang lain pun
memilikinya, begitu pula orang-orang shiddiq (yang kepercayaannya akan
kebenaran Rasul sangat teguh), serta orang-orang shalih – yang semuanya
tentu dengan izin Allah SWT. Dan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani memang layak
menjadi salah seorang wasilah (perantara) dalam berdoa, karena ketinggian
derajatnya di sisi Allah SWT. Namun perlu diingat, ketinggian derajat sang
Sulthanul Awliya itu di sisi Allah diperoleh berkat kedalaman ilmunya dalam
bidang syari’at.
Tanpa bergerak, tapi dengan ekspresi murka, Syaikh Abdul Qadir menghardik
cahaya itu, “Enyahlah engkau, wahai mahkluk terkutuk!”
Seketika, cahaya terkutuk itu padam meninggalkan kepulan asap tipis. Tiba-tiba
suara ghaib terdengar lagi, “Kau memang hebat, Abdul Qadir. Keluasan
pengetahuanmu mengenai syari’at dan hukum Allah telah menyelamatkanmu.
Padahal, sebelum engkau, aku telah berhasil menyesatkan 70 orang sufi dengan
cara yang sama seperti ini.”
Dengan tenang Syaikh Abdul Qadir menjawab, “Dari ucapannya, ‘Aku halalkan
bagimu semua perkara yang haram’. Aku tahu, tidak mungkin Allah SWT akan
memerintahkan sesuatu yang buruk dan keji.” Begitulah ketinggian ilmu dan
keteguhan iman seorang waliyullah. (Kang Iftah, dari berbagai sumber)