Anda di halaman 1dari 33

Case Report Session

BELL’S PALSY

Oleh:

Arisca Indryani 2040312055


Della Sri Resky 2040312105

Preseptor:

dr. Restu Susanti, Sp.S (K), M.Biomed

BAGIAN ILMU NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR M DJAMIL PADANG

2021
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelumpuhan daerah wajah secara tiba-tiba tanpa disertai kelemahan anggota
tubuh lain sering disebut dengan bell’s palsy. Bell’s Palsy merupakan kelainan
saraf fasialis akut yang terjadi unilateral yang dapat mengenai semua usia dan
jenis kelamin. Bell’s palsy disebabkan oleh paralisis saraf fasial tipe lower motor
neuron (LMN) atau perifer idiopatik yang secara gradual mengalami perbaikan
pada 80-90% kasus. Kejadiannya diperkirakan 23 kasus per 100.000 populasi dan
diperkirakan meningkat pada pasien dewasa terutama dengan diabetes melitus,
1,2
hipertensi, serta ibu hamil masa perinatal.
Penyebab bell’s palsy tidak diketahui, diduga sebagai penyakit ini bentuk
polineuritis dengan kemungkinan virus, inflamasi autoimun dan etiologi iskemik.
Infeksi herpes simpleks virus (HSV)-1 sering dikaitkan dengan kasus bell’s palsy
karena pada autopsi dapat diisolasi HSV-1 tersebut dari ganglion genikulatum
serta terdeteksi pada cairan endoneurium. Terjadinya inflamasi aksonal sehingga
terjadi demielinasi segmental akan menyebabkan kelainan nervus fasialis tipe
perifer yang muncul 48-72 pasca onset. Selain itu, keluhan muncul kebanyakan
1,2
pada pagi hari.
Manifestasi yang muncul dapat berupa ekspresi kaku, terkulai dan terasa berat
dalam derajat ringan sampai berat. Progresifitas penyakit masih dipertimbangkan
dalam 7-10 hari, namun kondisi tersebut biasanya tidak memburuk dalam waktu
tersebut. Sebagian besar pasien mengalami perbaikan tanpa dilakukan intervensi
3
2-3 minggu dan akan membaik keseluruhan setelah 3-4 minggu setelahnya.
Walaupun belum ada konsensus yang mengemukakan tentang manajemen pasti
untuk bell’s palsy, namun banyak dari klinisi yang memberikan steroid berupa
glukokortikoid atau prednison dan antivirus berupa asiklovir apabila ditemukan
2-4
dalam 72 jam dari onset pertama.
Bell’s palsy merupakan salah satu penyakit neurologis tersering yang
mengakibatkan paralisis fasialis didunia. Sedangkan berdasarkan Standar
Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), bell’s Palsy termasuk standar kompetensi
dengan level kemampuan 4 dimana dokter umum harus mampu menegakkan
diagnosis klinis dan melakukan penatalaksanaan penyakit secara mandiri dan
tuntas. Oleh karena itu, penulis tertarik mengangkat topik ini sebagai judul
penulisan case report session.2

1.2 Batasan Masalah


Laporan kasus ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi,
manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, komplikasi dan
prognosis dari Bell’s palsy.

1.3 Tujuan Penulisan


Laporan kasus ini bertujuan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kepaniteraan klinik ilmu penyakit saraf dan menambah pengetahuan tentang bell’s
palsy.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan laporan kasus ini berdasaran literatur seperti textbook, jurnal, dan
sumber lainnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Bell’s Palsy


Bell’s palsy merupakan paralisis nervus fasialis ipsilateral idiopatik yang
muncul sekunder akibat adanya inflamasi, pembengkakan ataupun kompresi
nervus fasialis. Biasanya timbul secara akut tanpa ada kelainan neurologik lainnya
yang menyertai, dimana sebagian besar akan menyembuh dan beberapa
meninggalkan gejala sisa seperti kontraktur, skin kinesia atau spasme spontan. 3,4

2.2 Anatomi Nervus Fasialis


Nervus fasialis (N.VII) merupakan nervus kranialis yang memiliki fungsi
motorik, sensorik dan otonom. Fungsi motorik merupakan fungsi yang paling
dominan dari nervus fasialis. Fungsi nervus fasialis dapat dibagi menjadi: 5
1. Brankial motorik (eferen viseral khusus), mempersarafi otot ekspresi
wajah, otot digastrik bagian posterior dan otot stapedius.
2. Viseral motorik (eferen viseral umum), untuk persarafan parasimpatis
kelenjar lakrimal, submandibula dan sublingual serta membran mukosa
nasofaring dan palatum.
3. Sensorik khusus (aferen khusus), untuk sensasi pengecapan dua pertiga
depan lidah dan palatum.
4. Sensorik umum (aferen somatik umum), sebagai sensasi umum
(eksteroseptif) kulit konka dan area belakang telinga.
Secara anatomi, sistem persarafan motorik nervus fasialis terpisah dari sistem
sensorik dan parasimpatis. Persarafan supranukelar untuk otot yang mengatur
ekspresi wajah berasal dari sepertiga bawah girus presentralis kontralateral pada
area wajah homunculus motorik. Pada girus presentralis, serabut saraf membentuk
traktus kortikobulbar menuju inti nervus fasialis di pons melalui korona radiata,
genu kapsula interna dan pedunkulus serebri bagian medial. Otot wajah bagian
dua pertiga bawah mendapat kontrol persarafan yang dominan dari supranuklear
kontralateral, sedangkan sepertiga atas mendapat kontrol persarafan bilateral. Otot
bagian bawah wajah juga mendapatkan persarafan kortikal yang lebih banyak
dibandingkan dengan otot wajah bagian atas dan dahi. Inti nervus fasialis di pons
juga mendapatkan persarafan dari sistem ekstrapiramidal yaitu ganglia basalis dan
hipotalamus bilateral yang bertanggung jawab mempertahankan tonus otot wajah
terkait dengan ekspresi wajah spontan serta emosional. 5

Inti nervus fasialis terletak di tegmentum pons sisi kaudal, anteromedial dari
traktus spinalis nukleus trigeminus, anterolateral dari nukleus abdusens, serta
posterior dari nukleus olivarius superior. Nukleus fasialis memiliki tiga
subnukleus yaitu lateral, intermedial dan medial. Subnukleus lateralis
diperkirakan mempersarafi otot businator, subnukleus intermedial mempersarafi
otot temporal, orbital dan zigomatikus, sedangkan subnukleus medial
mempersarafi otot servikal dan aurikularis posterior serta stapedius. Inti motorik
nervus fasialis terletak di pons, dimana serabutnya mengitari inti nervus absdusen
(VI) dan keluar dari lateral pons. Nervus fasialis bersama dengan nervus
intermedius berjalan dari meatus akustikus eksternus kemudian kedalam kanalis
fasialis dan kemudian masuk kedalam os mastoid dan keluar dari tulang tengkorak
melalui foramen stilomastoid dan bercabang untuk mensarafi wajah.4,5
Gambar 2. Serabut saraf N.VII. Garis biru tebal merupakan serabut motorik, garis
biru putus-putus merupakan serabut parasimpatik dan garis putus- putus titik
merupakan serabut aferen viseral6

2.3 Etiologi dan Epidemiologi Bell’s Palsy


Bell’s palsy merupakan 70% diagnosa dari fasial neuropati sebagai sindrom
neulogis tersering. Insiden tahunan bell’s palsy mencapai 25 per 100.000 populasi
dengan risiko kejadian 1 diantara 60-70 orang. Bisa mengenai semua usia dengan
insidensi puncak antara usia 15 dan 40 tahun. Perbandingan laki-laki dan
perempuan sama, meskipun insidensi dapat meningkat pada wanita hamil. 7,8
Penyebab kelumpuhan saraf fasialis bisa disebabkan oleh: 9-12
1. Kelainan kongenital,
2. Infeksi,
- Sebuah hipotesis tentang faktor-faktor penyebab bell’s palsy
diantaranya infeksi HSV-1 yang diduga sebagai etiologi bell’s palsy.
Pada penelitian dengan melakukan tes PCR (Polymerase-Chain
Reaction) pada cairan endoneural nervus fasialis pada penderita bell’s
palsy berat yang menjalai pembedahan, hasilnya berupa penemuan
HSV dalam cairan endoneural. Virus ini diperkirakan dapat berpindah
secara axonal dari saraf sensori dan menempati sel ganglion (dorman),
namun penderita mengalami stres atau penurunan sistem imun lain,
maka akan terjadi reaktivasi virus yang akan menyebabkan kerusakan
lokal pada myelin saraf.9
- Herpes zoster,
Virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes
zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat
sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.
- Infeksi virus Epstein-Barr,
- Cytomegalovirus,
- Human immunodeficiency virus/HIV,
- Mycoplasma
3. Trauma,
4. Gangguan pembuluh darah,
Beberapa kasus dicurigai penyebabnya dalah gangguan mikrovaskular (
terutama penyakit hipertensi dan diabetes mellitus.
5. Keganasan,
6. Penyakit-penyakit tertentu
- Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi
dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab
terjadinya Bell’s palsy menyebabkan nervus fasialis menjadi bengkak
atau sembab, akibatnya terjadi kompresi pada nervus fasialis dalam
foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN.
- Penyakit Lyme
- Sifilis,
- Kelainan autoimun juga diduga menyebabkan demielinisasi nervus
fasialis yang menyebabkan kelumpuhan wajah unilateral. Riwayat
keluarga dengan Bell’s palsy telah dilaporkan pada sekitar 4% kasus.
7. Idiopatik.
Penyebab pasti dari bell’s palsy belum diketahui (idiopatik), umumnya
penyakit ini diakibatkan lesi nervus fasialis yang penyebabnya tidak dapat
dijelaskan atau tidak menyertai penyakit lain.
2.4 Patofisiologi
Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum
jelas, namun diduga akibat proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah
tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus tempat keluarnya nervus ini.
Teori yang dianut saat ini yaitu teori vaskuler yaitu pada Bell’s Palsy terjadi
iskemi primer pada nervus fasialis yang disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh
darah yang terletak antara nervus fasialis dan dinding kanalis fasialis. Sebab
vasodilatasi ini bermacam-macam, antara lain infeksi virus, proses imunologik,
dll. Iskemi primer yang terjadi menyebabkan gangguan mikrosirkulasi intraneural
yang menimbulkan iskemi sekunder dengan akibat gangguan fungsi nervus
fasialis.16
Selain itu salah satu teori menyebutkan terjadinya gangguan konduksi akibat
inflamasi pada nervus fasialis yang keluar dari tulang temporal melalui kanalis
fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis
sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis dapat mengalami gangguan
di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear terletak di
daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di
lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks
motorik primer. 12,16

Gambar 3. Paralisis Bell’s Palsy


Lesi LMN biasanya terletak di pons, sudut serebelopontin, os petrosum atau
kavum timpani, atau foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus
fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan
fasikulus longitudinalis medialis. Sehingga paralisis fasialis LMN tersebut akan
disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi.
Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli
perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan
lidah). 16
Paralisis wajah pada Bell’s palsy akan terjadi mulai dari bagian atas hingga
bagian bawah dari otot wajah (seluruhnya akan lumpuh). Dahi tidak dapat
dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup (lagoftalmus) dan pada usaha untuk
memejamkan mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Selain itu pada
sudut mulut juga tidak bisa digerakkan, bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma
tidak bisa digerakkan. Akibat lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan
secara normal. Gejala-gejala penyerta seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada
karena bagian nervus fasialis yang terjepit di foramen stilomastoideum yaitu
serabut korda timpani dan serabut yang mensyarafi muskulus stapedius sudah
tidak ada. Patofisiologi yang utama bergantung kepada beratnya kompresi atau
strangulasi terhadap nervis fasialis tersebut. 16
Adapun Perubahan patologik yang ditemukan pada nervus fasialis sebagai
berikut: 12
1. Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali udem
2. Terdapat demielinisasi atau degenerasi mielin
3. Terdapat degenerasi akson
4. Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak
2.5 Manifestasi Klinis
Sebelum onset dapat terjadi nyeri pada belakang aurikular 1-2 hari.
Manifestasi klinis yang muncul berhubungan dengan level kerusakan nervus
fasialis. Nervus fasialis memiliki bagian serabut saraf sensorik dan motorik, maka
gangguannya dapat berupa kelumpuhan otot wajah ipsilateral (m. frontalis, m.
orbikularis oris, m. bucinator, m. orbikularis okuli dan m. platisma), penurunan
lakrimasi ipsilateral, hiperakusis ipsilateral, penurunan saliva ipsilateral, dan
penurunan indra pengecap ipsilateral pada 2/3 anterior lidah. Pada beberapa kasus
dapat disertai hipertesia pada satu atau lebih cabang nervus trigeminal. 11

Gambar 4. Parese nervus fasialis

Tabel 1: Skala House-Brackman untuk menentukan derajat kelumpuhan nervus


fasialis11
Derajat Karakteristik
I (normal) Tidak ada kelainan
II (disfungsi Inspeksi :
ringan) - tampak kelemahan otot wajah ringan dengan inspeksi
Seksama
- dapat ditemukan sinekia
- tampak simetris dan tonus tampak normal saat istirahat
Gerakan otot wajah :
- m. frontalis : fungsi sedang-baik
- m. orbikularis okuli : kelopak mata menutup baik
dengan usaha minimal
- m. orbikularis oris : asimetris ringan
III (disfungsi Inspeksi :
sedang) - tampak tonus normal saat istirahat
- tampak sinkinesis, kontraktur, atau hemifasial spasme
yang jelas namun tidak berat.
- tampak asimetris namun tidak memberikan kesan jelak
terhadap penampilan
Gerakan otot wajah :
- m. frontalis : gerakan berkurang
- m. orbikularis okuli : kelopak mata menutup baik
dengan usaha maksimal
- m. orbikularis oris : asimetris ringan dengan usaha
Maksimal
IV (disfungsi Inspeksi :
sedang-berat) - tampak memberikan gambaran kesan buruk terhadap
penampilan
- tampak tonus normal saat istirahat
- m. frontalis : tidak ada gerakan
- m. orbikularis okuli : kelopak mata menutup tidak
sempurna
- m. orbikularis oris : asimetris dengan usaha maksimal
tampak asimetris saat istirahat
Gerakan otot wajah :
- m. frontalis : tidak ada gerakan
- m. orbikularis okuli : kelopak mata menutup tidak
sempurna
VI (paralisis total) tidak ada gerakan sama sekali

2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan nervus
fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dari
kelumpuhan nervus fasialis perifer. Beberapa pemeriksaan penunjang yang
penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan nervus Fasialis. Harus
dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN.11
1. Anamnesis11
Sebagian besar pasien datang dengan keluhan kelemahan pada salah satu
sisi wajah. Selain itu, terdapat beberapa keluhan lain diantaranya:
1) Nyeri postauricular: Sebanyak 50% pasien menderita nyeri di regio
mastoid. Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan parese,
tetapi parese muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
2) Aliran air mata: Umumnya pasien mengeluh mengenai aliran air mata
mereka akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam mengalirkan air
mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga saccus
lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak dipercepat.
3) Perubahan rasa: Pada sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan
rasa, empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi
akibat hanya setengah bagian lidah yang terlibat yaitu 2/3 anterior.
4) Mata kering.
5) Hiperakusis : kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada telinga
akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.
2. Pemeriksaan Fisik.11
Pemeriksaan fungsi saraf motorik, terdapat 10 otot-otot utama wajah yang
dipersarafi oleh nervus fasialis perifer dan berfungsi untuk menciptakan mimik
dan ekspresi wajah. Adapun urutan ke-10 otot-otot tersebut dari sisi superior
adalah sebagai berikut :
a. M. Frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas.
b. M. Sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis
c. M. Piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan
mengerutkan hidung ke atas
d. M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata
kuat-kuat
e. M. Zigomatikus Diperiksa dengan cara tertawa lebar dengan gigi
terlihat
f. M. Relever Komunis diperiksa dengan cara memoncongkan mulut
kedepan sambil memperlihatkan gigi
g. M. Businator : Diperiksa dengan cara menggembungkan kedua
pipi
h. M. Orbikularis Oris : diperiksa dengan cara menyuruh penderita
bersiul
i. M. Triangularis : Diperiksa dengan cara menarik kedua sudut
bibir bawah
j. M. Mentalis Diperiksa dengan cara memoncongkan mulut
kedepan tertutup

Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanan
dan kiri. Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan
mempunyai nilai tiga puluh (30).11
1) Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka
2) edikit ada gerakan dinilai dengan angka 1
3) Diantaranya dinilai dengan angka 2
4) Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka 0

Pemeriksaan Tonus Otot


Pada keadaan istirahat atau tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan
kesempurnaan mimik/ekspresi wajah. Fungsi tonus otot penting diperiksa dengan
penilaian pada setiap tingkatan kelompok otot wajah, bukan pada setiap otot.
Tonus yang terganggu memberikan gambaran prognosis yang buruk. Penilaian
tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15) yaitu seluruhnya terdapat lima
tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan. Apabila terdapat hipotonus maka
nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai minus dua (-2) pada setiap tingkatan
tergantung dari gradasinya.11
Pemeriksaan dengan Gustometri
Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh cabang nervus
fasialis yaitu nervus korda timpani. 1 Kerusakan pada N.VII sebelum percabangan
korda timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan). 13Pemeriksaan
dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan lidah, kemudian pemeriksa
menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada lidah penderita. Hali ini
dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat. Bila bubuk ditaruh, penderita
tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bubuk akan tersebar melalui
ludah ke sisi lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang persarafannya
diurus oleh saraf lain. Penderita diminta menyebutkan pengecapan yang
dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3
untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam. 13Pada pemeriksaan fungsi korda timpani
adalah perbedaan ambang rangsang antara kanan dan kiri berupa penilaian, jika
terdapat perbedaan sebesar 50% antara kedua sisi wajah adalah patologis.11

Uji Salivasi
Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi kelenjar
submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen nomor 50
kedalam duktus Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan kedalam jus
lemon ditempatkan dalam mulut dan pemeriksa harus melihat aliran ludah pada
kedua tabung. Volume ini dibandingkan dalam 1 menit. Berkurangnya aliran
ludah sebesar 25% dianggap abnormal. Karena pengecapan dan salivasi
ditransmisi oleh saraf korda timpani, maka gangguan yang sama dapat terjadi
pada jalur ini.14

Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex


Pemeriksaan ini dianggap terbaik untuk pemeriksaan fungsi serabut-serabut
pada simpatis dari saraf fasialis yang disalurkan melalui saraf petrosus
superfisialis mayor setinggi ganglion genikulatum. Kerusakan pada atau di atas
saraf petrosus mayor dapat menyebabkan berkurangnya produksi air mata. 14
Fungsi lakrimasi dari mata dinilai dengan tes schimer. Cara pemeriksaan dengan
meletakkan kertas lakmus lebar 0,5 cm panjang 5-10 cm pada dasar konjungtiva.
Panjang dari bagian strip yang menjadi basah dibandingkan dengan sisi satunya
setelah 3 menit. Jika terdapat beda kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50%
dianggap patologis.

Refleks Stapedius
Menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik impedans meter, caranya
memberikan ransangan pada muskulus stapedius yang bertujuan untuk
mengetahui fungsi N. stapedius cabang N.VII.

Uji audiologi
Pemeriksaan audiogram lengkap harus dilakukan pada pasien yang menderita
paralisis nervus fasialis. Pengujian termasuk hantaran udara dan hantaran tulang,
timpanometri dan reflex stapes. Uji ini bermanfaat dalam mendeteksi patologi
kanalis akustikus internus. Jika terjadi paralisis nervus fasialis pada otitis media
akut, maka mungkin terdapat gangguan saraf pada telinga tengah. Pengujian
reflek dapat dilakukan pada telinga ipsilateral atau kontralateral dengan
menggunakan suatu nada yang keras, yang akan membangkitkan respon suatu
gerakan reflek dari otot stapedius. Jika nada tersebut diperdengarkan pada telinga
yang normal, maka reflek ini pada perangsangan kedua telinga menjelaskan suatu
kelainan pada bagian aferen saraf kranialis. 13

Sinkinesis
Komplikasi dari kelumpuhan nervus fasialis dinilai dengan pengujian
sinkinesi. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai berikut:11
1) Pasien diminta untuk memenjamkan mata sekuat-kuatnya kemudian kita
melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Jika terdapat
pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2). Jika
pergerakan pada sisi parese lebih kuat dibandingkan dengan sisi normal
nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari gradasinya.
2) Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi, kemudian
pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah diamati. Penilaian seperti pada
(a).
3) Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan emosi)
dengan memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar mulut. Nilai satu (1)
kalau pergerakan normal simetsi. Nilai nol (0) kalau pergerakan asimetris.
Pemeriksaan House-Brackmann
Sistem House-Brackmann bertujuan untuk mengetahui gambaran dari
disfungsi motorik fasial serta karakteristik dari kelumpuhannya. Mulai grade 1
(normal) hingga grade 6 (kelumpuhan yang komplit). 4
3. Pemeriksaan Penunjang
Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui
parase nervus fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji fungsi
saraf yang tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi
(ENOG).13
1) Elektromiografi (EMG), pemeriksaan EMG berfungsi untuk menentukan
perjalanan impuls atau reinervasi pasien. Interpretasi pola EMG dapat
diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau
suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati.
Namun, nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis
akut. EMG akan memperlihatkan potensial denervasi, jika sebelum 21 hari
wajah tidak dapat bergerak. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif
yang menunjukkan kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum
21 hari.
2) Elektroneuronografi (ENOG), ENOG dapat memberikan informasi lebih
awal dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan stimulasi pada satu titik
sementara pada pengukuran EMG haruus dilakukan pada satu titik yang lebih
distal dari saraf yang diperiksa. Kecepatan hantaran saraf dapat dinilai. Jika
dalam 10 hari terdapat reduksi 90% pada ENOG yang dibandingkan dengan
sisi lainnya, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna.
Fisch Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25% berakibat
penyembuhan tidak lengkap pada 88% pasien mereka, sementara 77% pasien
yang mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami
penyembuhan normal pada nervus fasialisnya. 13

2.7 Diagnosis Banding


Kelumpuhan nervus fasialis tidak hanya terjadi pada bell’s palsy tapi dapat
terjadi pada tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay
Hunt syndrom), Guillen Barre syndrome, penyakit Lyme, AIDS, infeksi
tuberkulosa pada mastoid ataupun telinga tengah.11

2.8 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan bell’s palsy adalah untuk mempercepat proses
penyembuhan, mencegah terjadinya kelumpuhan komplit dari kelumpuhan
parsial, meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan angka
terjadinya sinkinesis dan kontraktur wajah serta mencegah kelainan pada mata.
Pasien bell’s palsy juga harus melakukan kontrol rutin dalam jangka waktu lama. 9
Canadian Society of Otolaryngology Head and Neck Surgery dan Canadian
Neurological Sciences Federation melakukan review terhadap beberapa modalitas
terapi bell’s palsy. Keduanya meenjelaskan mengenai tentang bukti penanganan
bell’s palsy dengan kortikosteroid dan antiviral, latihan fasial, elektrostimulasi,
fisioterapi dan operasi dekompresi. Selain itu mereka juga membahas mengenai
terapi perlindungan mata, rujukan spesialis, dan investigasi lebih jauh pada pasien
8
yang memiliki kelemahan wajah yang persisten dan progresif.

Tabel 2. Rumusan rekomendasi terapi bell’s palsy menurut Canadian Society of


Otolaryngology-Head and Neck Surgery dan Canadian Neurological Sciences
Federation8
1. Medikamentosa
1) Kortikosteroid, berdasarkan pedoman American Academy of Neurology
tahun 2012 menyatakan bahwa steroid sangat efektif dan meningkatkan
kemungkinan pemulihan fungsi nervus fasialis pada Bell’s Palsy onset
baru. Selain itu pedoman dari American Academy of Otolaryngology–
Head and Neck Surgery Foundation (AAO-HNSF) dikeluarkan pada
November 2013 juga mendukung pedoman AAN. Pedoman ini
merekomendasikan penggunaan kortikosteroid dalam 72 jam sejak
timbulnya gejala.10,11,12
Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa pasien yang diobati dengan
prednisolon dalam 48 jam memiliki tingkat pemulihan komplit secara
bermakna yang lebih tinggi daripada pasien yang tidak diobati, sedangkan
tidak ada perbedaan signifikan dalam tingkat pemulihan yang terlihat
antara pasien yang diobati pada 49-72 jam dan pasien yang tidak diobati
sehingga pemberian prednisolon direkomendasikan untuk 48 jam sejak
timbulnya gejala. Dosis prednison yang dianjurkan untuk pengobatan
Bell’s Palsy adalah 1 mg / kg atau 60 mg / hari selama 6 hari, diikuti oleh
taper, untuk total 10 hari.10
Steroid dosis tinggi (prednison >120 mg/hari) telah aman digunakan untuk
mengobati Bell’s palsy dengan diabetes melitus. Namun, dosis optimal
belum ditetapkan. Pemberian steroid pada kasus ini harus diperhartikan
karena terdapat risiko hiperglikemia akibat penggunaan steroid. 10
2) Agen Anti Viral10
Pengobatan antivirus merupakan cara terbaru dalam menangani Bell’s
Palsy akut yang disebabkan oleh virus. Berdasarkan spektrum aktivitasnya
dan toksisitasnya yang rendah, asiklovir (acycloguanosine), analog
nukleosida purin sintetik dapat digunakan untuk mencegah Herpes
Simpleks tipe I dan II, Varisella Zooster, dan Epstein Barr virus serta
cytomegalovirus. Asiklovir mencegah polymerase dan replikasi DNA
virus dengan bentuk yang dikonversi (difosforilasi), sehingga asiklovir
bertindak sebagai analog nukleosida. Dickens, Smith, dan Graham
menyarankan pemberian asiklovir pada gejala defisit neurologis yang
disebabkan oleh herpes zooster otikus dengan asiklovir intravena
(10mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari) segera setelah timbulnya gejala
dapat mencegah degenerasi dari saraf yang dapat menyebab hilangnya
pendengaran.10
2. Non-Medikamentosa
1) Dekompresi Nervus Fasial
Pembedahan untuk mendekompresi nervus masih kontroversial. Pasien
yang diidentifikasi akan menderita kelumpuhan persisten akibat
kerusakan nervus yang ireversibel, tampaknya paling menguntungkan
dari intervensi bedah. Pembedahan dapat dipertimbangkan pada pasien
dengan Bells palsy komplit yang belum berespon terhadap terapi
medikamentosan dan telah terjadi degenerasi aksonal lebih dari 90%,
seperti yang ditunjukkan pada EMG nervus fasialis dalam waktu 3
minggu sejak onset kelumpuhan. Sebelumnya harus dilakukan
penentuan lokasi dengan MRI. Dokter bedah kemudian dapat
memutuskan apakah segmen rahang atas harus didekompresi secara
eksternal atau jika segmen labirin dan ganglion geniculate harus
didekompresi dengan kraniotomi fossa tengah.10,13
2) Fisioterapi
Fisioterapi dapat dilakukan kepada pasien antara lain (1) massage, (2)
stimulasi elektris, (3) terapi latihan dengan menggunakan cermin
(mirror exercise), (4) edukasi kepada pasien. Adapun untuk
pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
pasien. Massage adalah pijitan tangan yang akan merangsang reseptor
sensorik dari kulit dan jaringan subcutaneous sehingga dapat
memberikan efek rileksasi dan mengurangi kaku pada wajah. Terapi
latihan dengan menggunakan cermin (mirror exercise) dapat
memberikan biofeedback & untuk mencegah terjadinya kontraktur dan
melatih kembali gerakan volunter pada wajah pasien. Sering
dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada
stadium akut.
2.9 Prognosis
Umumnya, pasien yang menderita Bell palsy mengalami neurapraksia atau
blok konduksi saraf lokal. Pasien-pasien ini cenderung memiliki pemulihan saraf
yang cepat dan komplit. Pasien dengan axonotmesis, dengan gangguan akson,
memiliki pemulihan yang cukup baik, tetapi biasanya tidak komplit. Faktor risiko
dianggap terkait dengan keluaran yang buruk pada pasien dengan Bell’s palsy
yaitu (1) usia lebih besar dari 60 tahun, (2) paralisis komplit, dan (3) penurunan
sensasi rasa atau aliran saliva pada sisi wajah yang paralisis (biasanya 10- 25%
dibandingkan dengan sisi wajah yang normal). Pasien dapat sembuh tanpa
pengobatan (71%), terdapat 84% pasien yang sembuh total atau mendekati
pemulihan normal. Faktor-faktor lain yang dianggap terkait dengan hasil yang
buruk termasuk nyeri di daerah aurikularis posterior dan penurunan lakrimasi.
Semakin cepat pemulihan, semakin kecil kemungkinannya bahwa sekuele akan
berkembang, seperti yang dirangkum di bawah ini:
1. Jika terjadi pemulihan fungsi dalam 3 minggu, maka pemulihan
kemungkinan besar akan komplit
2. Jika pemulihan terjadi antara 3 minggu hingga 2 bulan, maka hasil akhir
biasanya memuaskan
3. Jika pemulihan tidak dimulai sampai 2-4 bulan sejak onset, kemungkinan
gejala sisa permanen, termasuk sisa paresis dan sinkinesis akan lebih
tinggi tinggi
4. Jika tidak ada pemulihan yang terjadi selama 4 bulan, maka pasien
mungkin memiliki gejala sisa dari penyakit, yang meliputi sinkinesis,
crocodile tears, dan spasme hemifasial yang bersifat jarang.
Bell’s palsy memiliki tingkat kekambuhan sebesar 7%. Ini bisa muncul
kembali pada sisi yang sama atau berlawanan dari parese awal. Kekambuhan
biasanya dikaitkan dengan riwayat keluarga bell’s palsy rekuren. Tingkat
kekambuhan yang lebih tinggi di antara pasien dilaporkan di masa lalu; Namun,
banyak dari pasien ini ditemukan memiliki etiologi yang mendasari untuk
kekambuhan.
BAB 3
ILUSTRASI KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama Tn. BA
Umur 32 Tahun
Jenis Kelamin Laki-laki
Pekerjaan Buruh Bangunan
Suku Bangsa Minangkabau
Alamat Jati, Padang

3.2 ANAMNESIS
Seorang pasien laki-laki berumur 32 tahun datang ke Poliklinik Neurologi
RSUP DR. M. Djamil pada tanggal 2 Juli 2021, dengan :

Keluhan Utama : Mulut mencong ke kanan.

Riwayat Penyakit Sekarang


• Mulut mencong ke sisi kanan dirasakan sejak 1 hari yang lalu. Awalnya
pasien menyadari ketika bangun tidur. Pagi hari ketika menyikat gigi
pasien tidak bisa berkumur-kumur karena air yang di mulut tumpah.
Lidah sisi kiri juga kebas, ketika makan sisa makanan menumpuk di bibir
kiri. Karena keluhan tersebut, pasien agak kesulitan untuk makan dan
minum namun menelan tidak terganggu.
• Pasien mengeluhkan mata kiri berair dan tidak bisa ditutup
• Riwayat demam sebelum mulut mencong tidak ada
• Riwayat keluar cairan dari telinga tidak ada
• Bicara pelo tidak ada
• Pusing, mual, muntah tidak ada
• Nyeri kepala tidak ada, penurunan kesadaran tidak ada
• Telinga berdenging tidak ada
• Penurunan pendengaran tidak ada
• Pusing berputar tidak ada
• Kelemahan anggota gerak tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu
• Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 2 tahun yang lalu dan
tidak rutin berobat
• Riwayat trauma kepala (-)
• Riwayat infeksi gigi dan sinus tidak diketahui
• Pasien tidak ada riwayat menderita hipertensi, penyakit jantung, keganasan
dan stroke

Riwayat Penyakit Keluarga :


• Ayah pasien menderita diabetes mellitus tipe 2
• Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama
• Tidak ada anggota keluarga dengan penyakit hipertensi, penyakit jantung,
stroke dan keganasan.

Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan:


• Pasien adalah seorang buruh bangunan, dengan aktivitas harian berat
• Riwayat merokok ada, konsumsi alkohol tidak ada
• Riwayat kebiasaan tidur malam hari dengan kipas angin menghadap
langsung ke wajah

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Umum

KU : Sakit sedang
Kesadaran : CMC
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 82 kali/menit, teratur, kuat angkat
Nafas : 19 kali/menit, teratur, torakoabdominal
Suhu : 36,9º C
Tinggi Badan : 170 cm
Berat Badan : 63 kg
Status Gizi : Baik, Normoweight
Status Internus

• Kulit : Teraba hangat, turgor kembali cepat, tidak


ditemukan kelainan
• Mata : Konjungtiva tidak anemis, Sklera tidak ikterik,
pupil isokor 3mm/3 mm, Reflek cahaya +/+,
Reflek kornea +/+, ptosis tidak ada, gerak bola
mata bebas ke segala arah, nistagmus tidak ada,
lagoftalmus ada

• Rambut : Hitam, tidak mudah rontok


• Leher : JVP 5-2 cmH2O, Tidak terdapat pembesaran
kelenjar getah bening
• Thoraks
Paru-paru
Inspeksi : Dinding dada simetris kiri = kanan statis dan
dinamis
Palpasi : Fremitus kiri = kanan sama
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, rhonki -/- wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Irama jantung reguler, bising (-)
• Abdomen
Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
• Korpus vetebre
Inspeksi : Gibbus (-)
Palpasi : Krepitasi (-), Nyeri (-)
Status Neurologikus

• GCS 15 (E4 M6 V5)


• Tanda Rangsangan Meningeal:
Kaku kuduk : (-)
Brudzinsky I : (-)
Brudzinsky II : (-)
Tanda Kernig : (-)
• Tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial : Pupil isokor, ϴ 3 mm/ 3 mm,
reflek cahaya +/+, reflex kornea +/+, gerak bola mata (+) bebas ke segala
arah

Pemeriksaan Nervus Kranialis

N. I (Olfaktorius)
Penciuman Kanan Kiri

∙ Subjektif Baik Baik

∙ Objektif dengan bahan Baik Baik

N. II (Optikus)
Penglihatan Kanan Kiri
∙ Tajam penglihatan Baik Baik
∙ Lapagan pandang Baik Baik
∙ Melihat warna Baik Baik
∙ Funduskopi Tidak dilakukan

N. III (Okulomotorius), N. IV (Trokhlearis), N. VI (Abdusen)


Kanan Kiri
Bola mata Ortho Ortho
Ptosis (-) (-)
Gerakan bulbus Bola mata bergerak Bola mata bergerak
bebas bebas
Strabismus (-) (-)
Nistagmus (-) (-)
Ekso / endopthalmus (-) (-)
Diplopia (+) (+)
Pupil
∙ Bentuk Bulat Bulat
∙ Refleks cahaya (+) (+)
∙ Refleks akomodasi (+) (+)

∙ Refleks konvergensi Tidak dapat diperiksa

N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik
∙ Membuka mulut + +
∙ Menggerakkan rahang + +

∙ Menggigit + +
∙ Mengunyah + +
Sensorik
∙ Divisi oftalmika
Refleks kornea + +
Sensibilitas + +
∙ Divisi maksila
Refleks masseter + +

Sensibilitas + +
∙ Divisi mandibula

Sensibilitas + +
N. VII (Facialis)

Kanan Kiri

Tidak simetris, plika nasolabialis kiri lebih


Raut wajah
datar

Sekresi air mata + +

Fissura palpebra + -

Menggerakkan dahi + -

Menutup mata + -

Mencibir/ bersiul + -

Memperlihatkan gigi + -

Sensasi lidah 2/3 depan + -

Hiperakusis - -

N. VIII (Vestibularis)

Kanan Kiri

Suara berbisik + +

Detik arloji + +

Rinne tes Normal

Weber tes Tidak ada lateralisasi

Schwabach tes Normal

Nistagmus
- Pendular
- -
- Vertikal
- Siklikal

Pengaruh posisi kepala - -


N. IX (Glossopharingeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Baik Baik
Refleks muntah /gag reflex (+) (+)

N. X (Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Simetris Simetris
Uvula Ditengah
Menelan Baik
Artikulasi Baik
Suara Baik
Nadi Teraba kuat teratur

N. XI (Asesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan + +
Menoleh ke kiri + +
Mengangkat bahu ke kanan + +
Mengangkat bahu ke kiri + +

N. XII (Hipoglosus)
Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam ditengah
Kedudukan lidah dijulurkan ditengah
Tremor Tidak ada Tidak ada
Fasikulasi Tidak ada Tidak ada
Atrofi Tidak ada Tidak ada
Pemeriksaan Koordinasi dan Keseimbangan
Romberg test Baik
Romberg test dipertajam Baik
Stepping gait Baik
Tandem gait Baik
Jari-jari Baik
Hidung-jari Baik
Pronasi-supinasi Baik
Tes tumit lutut Baik
Rebound phenomenon Baik

Pemeriksaan Motorik
Badan Respirasi Teratur, spontan
Duduk +
Berdiri dan berjalan Gerakan spontan +
Tremor -
Atetosis -
Mioklonik -
Khorea -
Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri

Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif

Kekuatan 555 555 555 555


Tropi Eutropi Eutropi Eutropi Eutropi

Tonus Eutonus Eutonus Eutonus Eutonus

Resting tremor - - - -

Rigiditas - - - -
Bradi/akinesia - - - -
Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil Tangan dan kaki baik
Sensibilitas nyeri Tangan dan kaki baik
Sensibilitas termis Tangan dan kaki baik
Sensibilitas sendi dan posisi Tangan dan kaki baik
Sensibilitas getar Tangan dan kaki baik
Sensibilitas kortikal Tangan dan kaki baik
Stereognosis Tidak diperiksa
Pengenalan titik Tangan dan kaki baik
Pengenalan rabaan Tangan dan kaki baik

Sistem Refleks
Fisiologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Kornea (+) (+) Biseps (++) (++)
Bersin (+) Triseps (++) (++)
Laring (+) APR (++) (++)
Masseter (+) KPR (++) (++)
Dinding perut Bulbokavernosus Tidak diperiksa
∙ Atas (+) Kremaster Tidak diperiksa
∙ Tengah (+) Sfingter Tidak diperiksa
∙ Bawah (+)
Patologis
Lengan: Tungkai:
Hoffman - Tromner (-) (-) Babinski (-) (-)
Chaddoks (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schuffner (-) (-)
Klonus paha (-) (-)
Klonus kaki (-) (-)
Pemeriksaan Otonom
Miksi : Normal
Defekasi : Normal
Sekresi Keringat : Normal

Diagnosis
Diagnosis Klinis : Paresis Nervus VII sinistra tipe perifer
Diagnosis Topik : N. VII perifer sekitar kanalis facialis
Diagnosis Etiologi : Idiopatik
Diagnosis Sekunder : Diabetes Melitus tipe II

Rencana Pemeriksaan Penunjang


• Laboratorium : Darah rutin, gula darah
• Radiologi : Foto polos, CT scan, atau MRI
• Elektromiografi (EMG)
• Salivary flow test
• Schirmer blotting test
• Benzene test

Tatalaksana
Medikamentosa:
• Kortikosteroid; Prednison 1 mg/kg/hari selama 6-10 hari, turunkan
perlahan. Dapat dibagi 3-4 dosis. Dosis awal 3x16 mg
• Artificial tears: Cendo lyters 3 x 2 tetes
• Mecobalamin 2 x 500 mcg
Non Medikamentosa:
• Fisioterapi (masase, face exercice, mirror exercice)
• Oral care dan Eye care
• Heat therapy
• Operatif (denervasi)

Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : bonam
BAB IV
DISKUSI

Telah datang seorang laki-laki usia 32 tahun ke poli saraf RSUP. Dr. M.
Djamil Padang pada tanggal 2 Juli 2021 dengan diagnosa klinis Paresis N. VII
sinistra tipe perifer (Bell’s Palsy). Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pasien mengeluhkan mulut mencong ke sisi kanan dirasakan sejak 1 hari
yang lalu. Awalnya pasien menyadari ketika bangun tidur. Pagi hari ketika
menyikat gigi pasien tidak bisa berkumur-kumur karena air yang di mulut tumpah.
Lidah sisi kiri juga kebas, ketika makan sisa makanan menumpuk di bibir kiri.
Karena keluhan tersebut, pasien agak kesulitan untuk makan dan minum namun
menelan tidak terganggu.
Keluhan-keluhan yang dialami pasien mengarah kepada kelumpuhan saraf
yang mempersarafi wajah terutama N VII (nervus facialis) sinistra tipe perifer
karena terdapat kelumpuhan pada semua otot-otot wajah baik bagian atas maupun
bagian bawah. Nervus ini memiliki komponen somato-motorik, visero motorik,
visero sensorik dan somato sensorik. Kelumpuhan otot wajah merupakan
manifestasi dari gangguan somato motorik nervus fasialis. Komponen somato
sensorik menghantar impuls dari alat pengecap di 2/3 lidah bagian depan yang
juga terganggu pada pasien ini. Keluhan mata berair disebabkan karena aliran air
mata ke sakus lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli terganggu yang
merupakan komponen motorik dari nervus fasialis.
Bell’s Palsy merupakan penyakit lower motor neuron yang mengenai
nervus fasialis perifer dimana etiologi nya tidak diketahui (idiopatik). Namun
penyakit ini biasanya didahului dengan terjadinya reaksi inflamasi di sekitar N.
Fasialis.
Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 2 tahun yang lalu, tidak
rutin kontrol dan minum obat. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih
tinggi, dibanding non-diabetes. Nervus fasialis mempunyai sistem pembuluh
darah yang adekuat dari arteri stilomastoid dan petrosal, sehingga iskemik primer
jarang terjadi kecuali apabila disertai dengan penyakit tambahan seperti diabetes
mellitus.
Pasien merupakan seorang buruh bangunan yang sehari-hari berangkat dan
pulang kerja berkendara sepeda motor. Sering terpapar udara dingin ketika
berangkat pagi dan pulang malam hari. Selain itu pasien mengaku memiliki
kebiasaan tidur dengan menghidupkan kipas angin menghadap wajahnya. Hal ini
merupakan faktor risiko sembabnya N. VII terutama pada daerah foramen
stylomastoideus dan kanalis fasialis yang dapat menimbulkan kelumpuhan saraf
tipe perifer.
Pada pemeriksaan N. VII didapatkan raut wajah tidak simetris, plika
nasolabialis kiri lebih datar, dahi kiri tidak dapat dikerutkan, kelopak mata kiri
tidak dapat ditutup, tidak dapat bersiul, dan tidak dapat memperlihatkan gigi.
Tidak ditemukan hiperakusis menandakan lesi pada nervus facialis sebelum
bersilangan dengan korda timpani. Tidak adanya kelemahan anggota gerak dan
keterlibatan nervus kranialis lainnya menyingkirkan kemungkinan stroke sebagai
penyebab paralisis N.VII tipe sentral.
Prinsip penatalaksanaan pada pasien dengan Bell’s Palsy secara
medikamentosa yaitu dengan pemberian kortikosteroid, seperti prednison 1
mg/kgBB (prednisone 60 mg), di tappering off diturunkan 2 tab/hari sampai 10
hari (stadium akut). Tatalaksana non medikamentosa berupa fisioterapi, dilakukan
setelah hari ke 4 awitan. Tujuan fisioterapi ini untuk mempertahankan tonus otot
yang lumpuh.
Prognosis pada pasien ini adalah untuk fungsi vital baik, kesembuhan
dubia ad bonam dan prognosis fungsionam bonam. Prognosis Bell’s Palsy
tergantung pada jenis kelumpuhannya, usia pasien dan derajat kelumpuhan.
kelumpuhan parsial (inkomplit), mempunyai prognosis yang lebih baik.
Prognosis sanationam pada pasien ini dubia ad bonam karena pasien memiliki
riwayat penyakit diabetes yang memperburuk prognosis, selain itu berdasarkan
Grading House-Brackmann, pasien ini berada pada grade IV, yang memiliki
prognosis lebih buruk.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiratman W, Safri AY, Indrawati LA, Octaviana F, Hakim M. Neuropati.


Dalam: Anindatha T, Wiratman W. Buku ajar neurologi. Jakarta: Departemen
Neurologi FKUI. 2017.

2. Perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia. Bell’s palsy. Dalam: panduan


praktik klinis neurologi. Perdossi. 2016.

3. Angulo M and Babcock E. Bell Palsy. Journal of the American Academy of


Physician Assistants. 2015.

4. Lumbantobing. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta :


Badan Penerbit FKUI. 2013.

5. Estiasari R, Zairinal RA, Islamiyah WR. Pemeriksaan saraf kranialis. Dalam:


pemeriksaan klinis neurologi praktis. Kolegium neurologi Indonesi
perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia. 2018.

6. Allan HR and Robert HB. Adams and Victor’s Principle of Neurologi. 8 th


edition, page 1181-1182. USA : Mc Graw-Hill Companies. 2005.

7. Gilchrist JM. Facial nerve palsy. Dalam: Roos, KL. Emergency neurology.
Springer science. 2012.

8. De Almeida, JR et al.. Management of bell’s palsy: Clinical Practice

Guideline. CMAJ: Canadian Med. Ass. J, Vol: 186 (12); 917– 922. 2014.

9. Greco A, Gallo A, Fusconi M, Marinelli C, Macri GF, Vincentiis M.

Bell’s Palsy and Autoimmunity. Italy : Elsevier. 2015.


10. Danette CT. Bell Palsy. 2017. Diakses dari https://emedicine.medscape. com
/article/1146903-overview#a7 pada tanggal 11 Oktober 2018.

11. Mardjono M, Sidharta P, 2004. Nervus fasialis. Dalam Neurologi Klinis


Dasar. Jakarta : Dian Rakyat

12. Aminoff, MJ et al. 2005. Lange medical book : Clinical Neurology, Sixth
Edition, Mcgraw-Hill.

13. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis


Perifer. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2007.
14. Ropper, AH., Brown, Robert H. Dalam: Adams & Victors’ Principles of
Neurology, Eight Edition, McGraw-Hill. 2005.
15. Holland, J. Bell’s Palsy. Brithis Medical Journal. 2008.

16. Monnel, K., Zachariah, S., Khoromi, S. 2009. Bell’s Palsy. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1146903. Diakses pada tanggal 15
Oktober 2018.

Anda mungkin juga menyukai