Anda di halaman 1dari 13

ATRESIA KOANA

Yan Indra Fajar Sitepu, S.Ked

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN


TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER (THT-KL)
FK USU

Sayan yang bertanda tangan dibawah ini, telah menyerahkan Hard copy dan
soft copy makalah kepada dr. Nova:
Nama Judul Full Power Soft Tanda Tangan
Text Point Coy
Yan Indra Fajar Atresia
Sitepu koana
(070100141)
Yang Menerima Telah disetujui
Tgl. Tgl.

PPDS Pembimbing
BAB I
Pendahuluan

Hidung terdiri dari hidung bagian luar dan hidung bagian dalam. Hidung
memiliki berbagai macam fungsi, diantaranya adalah fungsi respirasi, fungsi
penghidu, fungsi fonetik dan sebagao refleks nasal . Hidung dibentuk pada awal masa
kehamilan minggu ketiga dan minggu keempat dan akan menjadi hidung utuh setelah
minggu keenam dan minggu ketujuh.banyak kelainan yang dapat timbul dalam masa
embriogenesis hidung, salah satunya adalah atresia koana.
Atresia koana adalah suatu kelainan congenital yang ditandai dengan
kegagalan perkembangan rongga hidung untuk berkomunikasi atau berhubungan
dengan nasofaring dengan perubahan fisiologi dan anatomi yang signifikan dari
kompleks dentofacial. Atresia koana pertama kali ditemukan sekitar 200 tahun yang
lalu dan tahun 1854 dilaporkan oleh emmert pertama kali berhasil dilakukan prosedur
operasi. Atresia koana jarang terjadi pada kelainan congenital dan terjadi kira-kira 1
dari 5000 atau bahkan 8000 kelahiran. Menurut jurnal lain, dijumpai pada 0,82 kasus
per 10.000 individu pada semua ras. Atresia koana bisa terjadi pada kelainan
congenital lain hamper mencapai 50%. Sebagian besar terjadi kelainan kongenital
lain seperti coloboma, kelainan jantung kongenital, atresia koana, retardasi tumbuh
dan kembang, hipoplasia genital dan deformitas telinga dan ketulian (CHARGE,
C=Coloboma, H=Heart Disease, A= atresia choanae, R= retarded growth and
development, G= genital hipoplasia, E=ear deformities or deafness).
Kelainan congenital lain yang dapat berhubungan dengan atresia koana
anatara lain polydactyly, nasal-auricular dan deformitas palatum, sindrom Crouzon’s,
sindrom down, sindrom Treacher-Collins, sindrom DiGeorge, dan lain-lain. Sebagian
besar penderita atresia koana 65% sampai 75% adalah unilateral, sekitar 30% disertai
penonjolan tulang, dan 70% diantaranya adalah campuran membranous dan
penonjolan tulang. Makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih
terhadap atresia koana.
BAB II
ISI

A. Embriogenesis
Hidung dibentuk dari nasal pacode saat minggu ketiga dan keempat dalam
kehidupan intrauterine. setiap nasal placode merupakan permukaan ektoderm
lokal yg kental dan merupakan daerah lateral dari kepala saat menjadi emrio, saat
itu dinamakan oral stoma. Nasal placode ini akan masuk ke mesenkim dan akan
dibentuk yang selanjtnya menjadi lubang hidung. Hipertrofi dari jaringan akan
melingkupi nasal placode dan membentuk medial dan lateral nasal yang
menonjol.
Lubang hidung akan bermigrasi secara medial dan jaringan lunak bersatu dan
melingkar dan menjadi awal dari migrasi bagian medial. bagian nasal medial akan
memproses pembentukan dari septum nasal anterior, tengah atas bibir dan bagian
keras dari palatum anterior. proses nasofrontal yang mula-mula membentuk dasar
dan bagian anterior fossa cranialis menjadi bagian dari prosencephalon. proses
dari nasofrontal akan membentuk bagian dari septum nasal posterior dan ethmoid,
nasal dan tulang premaksilaris.
Gambar: perkembangan hidung setelah 30 hari menjadi embrio Note the nasal pits (n)
and primitive mouth (m). (sumber: Glenn C Isaacson, MD, FAAP, FACS)

Nasal posterior dan kavitas oral akan terpisah oleh membran oronasal setelah
minggu keenam dan ketujuh dalam masa intrauterine, jika membran oronasal ini
diresorbsi akan membentuk koana yang primitif. Ruang pada prenasal yang
terletak antara nasal dan bagian frontal pada masa embriogenesis. ini akan
memperluas bentuk dari kulit hidung menjadi foramen cecum, area dari anterior
fossa kranial dimana akan turun setelah dura terbentuk. foramen cecum
selanjutnya menyatu dengan frontalis fonticulus untuk membentuk palatum
kribrosum.

B. Anatomi Hidung
Hidung dari luar berbentuk seperti pyramid dengan bagian-bagiannya berupa
pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala
nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Bagian hidung terdiri dari
bagian luar dan bagian dalam.
Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri atas
ostium nasalis, prosesus frontalis ostium maksila dan prosesus nasalis ostium
frontal. Sedangkan tulang rawan terdiri atas sepasang kartilago nalasis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior dan terakhir tepi anterior
kartilago septum.
Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan hingga ke belakang yang
dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengah yang membagi antara kavum nasi
kanan dan kiri. Dengan pintu masuk yang dibagi atas dua bagian yaitu nares
anterior dan nares posterior yang disebut juga dengan koana.
Gambar : susunan tulang pada hidung (sumber: netter anatomy)

Gambar: Bagian-bagian hidung dalam pemotongan lateral


(sumber: netter anatomy)
Pendarahan hidung dibagi atas pendarahan bagian atas, bawah, depan dan pada
bagian septum. Pada bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari arteri
etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari arteri oftalmika dari
arteri karotis interna.
Bagian bawah mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna,
diantaranya ialah ujung arteri palatine mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar
dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga
hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung diperdarahi
oleh cabang-cabang dari arteri facialis.
Pada bagian septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatine
mayor yang disebut pleksus kiesselbach (little’s area).

C. Defenisi
Atresia koana adalah suatu kelainan congenital yang ditandai dengan kegagalan
perkembangan rongga hidung untuk berkomunikasi atau berhubungan dengan
nasofaring dengan perubahan fisiologi dan anatomi yang signifikan dari kompleks
dentofacial. defenisi lain menyebutkan atresia koana adalah adanya kehilangan
atau adanya penghalang dari bagian posterior hidung. Atresia koana lebih sering
dikaitkan dengan kelainan CHARGE (C=Coloboma, H=Heart Disease, A= atresia
choanae, R= retarded growth and development, G= genital hipoplasia, E=ear
deformities or deafness),

D. Epidemiologi
Atresia koana terjadi hampir jarang terjadi pada setiap kelainan congenital,
berdasarkan penelitian dari 5000 sampai 8000 kelahiran hanya sekitar 1 kelahiran
yang menderita kelainan kongenital ini. Dengan angka kejadian bayi perempuan
lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan pada bayi laki-laki. Kejadian atresia
koana biasanya dapat mengikuti kelainan kongenital lain seperti contohnya
sindroma down, sindroma DiGeorge, dan lain sebagainya.
Berdasarkan penelitian lain menyebutkan sekitar 0,82 kasus dari 10.000 kasus
adalah atresia koana, dengan atresia koana yang unilateral lebih sering
dibandingkan bilateral yakni 2:1, namun resiko terjadi keduanya juga cukup
besar. Adanya kelainan kromosom ditemukan pada bayi baru lahir sekitar 6%
menderita atresia koana. Dengan setiap ras memiliki frekuensi yang sama. Dan
50% anak dengan CHARGE menderita atresia koana hampir seluruhnya.

E. Etiologi
Penyebab pasti dari atresia koana masih belum diketahui, namun banyak dugaan
dari pada ahli yang berteori tentang terjadinya atresia koana. Yakni pada masa
embriologi dalam pembentukan hidung, pada dua lapisan membrane yang terdiri
atas nasal dan oral epitel terjadi ruptur dan merubah bentuk koana yang kemudian
menjadi atresia koana. Penyebab lain yang menjadi dugaan antara lain adanya
keterlibatan kromosom 22q11.2 yang dapat menyertai kelainan kongenital lain
seperti facial, nasal dan palatal deformities, polydactylism, congenital heart
disease, coloboma of the iris and retina, mental retardation, malformations
external ear, esophageal atresia, craniosynostosis, tracheoesophageal fistula dan
meningocele.

F. Patofisiologi
Banyak teori yang berpendapat tentang terjadinya atresia koana, namun belum
ada teori pasti tentang kelainan ini. Teori tersebut antara lain:
- Membran buccopharyngeal yang persisten
- Kegagalan membrane buccopharyngeal dari hochstetter yang ruptur
- Bagian medial yang tumbuh keluar dari vertikal dan horizontal tulang palatine
- Abnormal mesodermal yang adhesi pada area koana, dan
- Misdirection dari aliran mesodermal akibat faktor local
G. Gejala Klinis
Pada setiap bayi baru lahir ahrus bernafas melalui hidung, namun pada bayi yang
menderita atresia koana terjadi distress respirasi bisa karena atresia koana yang
bilateral atau dapat pula terjadi napas memendek.
Presentasi lain adalah bayi selalu sianosis saat menangis, adanya obstruksi
dari saluran napas saat bayi makan dan berkurang saat bayi menangis karena
adanya pengambilan udara dari mulut karena adanya sumbatan pada hidung.
Kebanyakan atresia koana bilateral didiagnosa saat bulan pernah kehidupan.
Pasien dengan atresia koana unilateral jarang menyebabkan obstruksi saluran
napas yang parah. Normalnya gejala baru akan tampak setelah 18 bulan
kehidupan yang ditandai dengan adanya kesulitan makan dan keluarnya cairan
dari hidung.

H. Diagnosis
Dari anamnesis didapati riawayat kesulitan bernapas dan bernapas dari hidung
saat baru lahir dan makin memberat dalam beberapa bulan ini. Biasanya pasien
dengan atresia koana bilateral dibawa setelah 1 bulan kelahiran sedangkan pasien
atresia koana unilateral dating setelah beberapa bulan kelahiran. Pasien juga
kesulitan dalam pemberian makan karena akan mengganggu pernapasan dan
semakin memberat apabila pasien menangis. Pada pasien juga didapati riwayat
biru saat menangis akibat kurangnya pengambilan oksigen.
Pada inspeksi didapati pasien cenderung mengambil nafas dari mulut akibat
adanya obstruksi pada hidung. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior cenderung
dalam batas normal, namun kadang dijumpai adanya secret yang keluar dan
bertahan. Riwayat keluar cairan dari hidung serta aliran udara dari hidung yang
kurang atau tidak ada sama sekali. Pada pemeriksaan posterior dengan
menggunakan kaca laring didapati adanya aliran udara yang keluar dari mulut,
namun belum dapat secara pasti menegakkan suatu atresia ataupun stenosis.
Pada pemeriksaan dengan menggunakan endoskopi yang keras maupun
fleksibel, namun yang paling sering digunakan adalah endoskopi fiberoptik yang
fleksibel karena dapat menilai patensi nasal dan anatominya seperti vestibule,
septum nasi dan dinding lateral nasal. Biasanya, pada kelainan jalan napas yang
disebabkan oleh karena obstruksi kongenital, septum deviasi, kista duktus
nasolakrimalis, dan lain-lain bisa tidak terlihat. Pada pasien dengan atresia koana
dengan menggunakan endoskopi dapat dilihat adanya discharge yang bersifat
mukoid dan terlihat adanya atresia koana lebih jelas tampak.
Pemeriksaan lain adalah dengan menggunakan CT-scan, hal ini khusus untuk
melihat bagian aksial, prosedur radiografi ini merupakan pilihan terhadap
kelainan dari tulang dan membrane, untuk menilai posisi dan ketebalan dari
segmen yang obstruksi, sehingga dapat dilakukan operasi yang sesuai untuk
memperbaiki keadaan ini. CT-scan juga berperan untuk mendeteksi kelainan lain
yang menyertai atresia koana, seperti encephalocele, glioma, defek tengkorak
anterior. CT scan juga dapat menunjukkan luas dari bagian posterior septum dan
densitas tulang padat yang menyangga lateral. Dengan menggunakan
vasokonstriktor drop dan nasal toilet, sedasi atau anastesia umum pada bayi baru
lahir akan memberikan kualitas gambar CT-scan yang baik, data normative dapat
digunakan untuk neonates hingga umur 6 bulan, mengenai ukuran dari lubang
hidung.

I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan bervariasi dam tergantung dari umur, tipe dari atresia dan
keadaan umum dari pasien. Karena pada bayi harus bernapas dari hidung,
sedangkan pada atresia koana yang bilateral keadaan ini tidak dapat terjadi,
sehingga butuh penanganan segea, sebelum jatuh kedalam keadaan asfiksia berat
dan kematian segera setelah lahir. Pada bayi dengan atresia koana yang bilateral
biasanya langsung menunjukkan keadaan kesulitan bernapas, dan
penatalaksanaan selanjutnya diperlukan. Seperti latihan bernapas melalui mulut,
McGovern nipple atau dengan oropharyngeal airway. McGovern nipple adalah
suatu seperti ujung botol dengan sebuah lubang yang cukup besar dan dapat
digunakan untuk pemberian makan. Pasien dapat makan sambil menjaga jalan
napas, sebelum dilakukan penatalaksanaan lebih lanjut.
Intubasi endotrakea biasanya kurang bermanfaat jika dibandingkan pemberian
ventilasi mekanik pada bayi. Jika didapati distress pernapasan yang parah dan
jalan napas tidak dapat dilakukan dengan intubasi endotrakea, perlu dilakukan
trakeotomi pada keadaan emergensi sebelum dilakukan evaluasi dan
penatalaksanaan selanjutnya. Pembedahan merupakan satu-satunya cara yang
paling tepat dalam keadaan atresia koana bilateral.
Pada atresia koana yang bersifat unilateral jarang terjadi keadaan emergensi.
Karena pada atresia koana ini secara umum dapat ditunda melakukan operasi
menunggu keadaan umum terlebih dahulu sampai dengan batas 1 tahun. Keadaan
ini diperlukan karena perlunya pembesaran dan pengurangan resiko pasca-operasi
dari stenosis, jika pasien kesulitan untuk makan.
Beberapa teknik operasi antara lain adalah transnasal dan transpalatal dapat
digunakan. Pendekatan transnasal adalah dengan menggunakan teleskop lensa-
pancing dan metode ini merupakan pilihan karena biasanya sukses dilakukan pada
infant dan cocok pada membrane atau tulang atresia yang masih tipis. Sedangkan
metode transpalatal normalnya digunakan pada anak yang lebih tua, tulang yang
mulai padat atau pada kasus dengan stenosis berulang. Instrumen pendukung lain
adalah endoskopi sinus operasi dan CT scan. Metode transnasal merupakan
metode yang paling popular dikerjakan.

J. Komplikasi dan Prognosis


Pada pasien atresia koana memiliki komplikasi yang berbeda pada atresia koana
bilateral dan unilateral. Pada atresia koana bilateral cenderung memiliki
komplikasi yang terberat yakni distress pernapasan, asfiksia yang terakhir
berujung pada kematian. Perlu diagnosis dan penatalaksanaan segera dalam
mengantisipasi keadaan ini. Berbeda halnya dengan atresia koana unilateral yang
masih dapat ditunda pelaksanaan operasi hingga setahun kedepan. Komplikasi
kemungkinan adalah kurangnya asupan makan akibat kesulitan bernapas hanya
berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan bayi yang cenderung
terhambat. Namun sekitar 50% atresia koana dapat diikuti kelainan kogenital lain
sehingga biasanya pasien justru jatuh ke dalam keadaan komplikasi dari penyakit
lain.
BAB III
KESIMPULAN
Hidung terdiri dari hidung bagian luar dan hidung bagian dalam. Hidung
memiliki berbagai macam fungsi, diantaranya adalah fungsi respirasi, fungsi
penghidu, fungsi fonetik dan sebagao refleks nasal . Atresia koana adalah suatu
kelainan congenital yang ditandai dengan kegagalan perkembangan rongga hidung
untuk berkomunikasi atau berhubungan dengan nasofaring dengan perubahan
fisiologi dan anatomi yang signifikan dari kompleks dentofacial. Atresia koana terjadi
hampir jarang terjadi pada setiap kelainan congenital, berdasarkan penelitian dari
5000 sampai 8000 kelahiran hanya sekitar 1 kelahiran yang menderita kelainan
kongenital ini.
Penyebab pasti dari atresia koana masih belum diketahui, namun banyak
dugaan dari pada ahli yang berteori tentang terjadinya atresia koana. Banyak teori
yang berpendapat tentang terjadinya atresia koana, namun belum ada teori pasti
tentang kelainan ini. Pada setiap bayi baru lahir ahrus bernafas melalui hidung,
namun pada bayi yang menderita atresia koana terjadi distress respirasi bisa karena
atresia koana yang bilateral atau dapat pula terjadi napas memendek. Dari anamnesis
didapati riawayat kesulitan bernapas dan bernapas dari hidung saat baru lahir dan
makin memberat dalam beberapa bulan ini. Biasanya pasien dengan atresia koana
bilateral dibawa setelah 1 bulan kelahiran sedangkan pasien atresia koana unilateral
dating setelah beberapa bulan kelahiran. Pemeriksaan lain adalah dengan
menggunakan CT-scan, hal ini khusus untuk melihat bagian aksial, prosedur
radiografi ini merupakan pilihan terhadap kelainan dari tulang dan membrane, untuk
menilai posisi dan ketebalan dari segmen yang obstruksi, sehingga dapat dilakukan
operasi yang sesuai untuk memperbaiki keadaan ini. Penatalaksanaan bervariasi dam
tergantung dari umur, tipe dari atresia dan keadaan umum dari pasien. Beberapa
teknik operasi antara lain adalah transnasal dan transpalatal dapat digunakan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, E., A., dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Teling Hidung Tengorok
Kepala Leher Edisi 6. FK UI 2007
2. W, William., JL, Myron., MS, Judith. 2006. Current Diagnosis & Treatment
In Pediatrics 18th. The McGraw-Hill
3. Tewfik, T., L., Choanal Athresia. 2011. www.Emedicine.com
4. J, Soma., MM. Donna., B, Sheri. 2011. CHARGE (Coloboma, Heart Defect,
Atresia Choanae, Retarded Growth and Development, Genital Hypoplasia,
Ear Anomalies/Deafness) Syndrome and Chromosome 22q11.2 Deletion
Syndrome: A Comparison of Immunologic and Nonimmunologic Phenotypic
Features. Downloaded from: www.pediatrics.aappublications.org/21219721973/721.htm
5. B, Blasberg., S, Stool., S, Oka. 2000. Choanal Athresia-A Cryptic Congenital
Anomaly. www.philadepphia.com/journalmedicine/12218.htm.
6. A, Paraya., M, Choakchai. 2009. Choanal Athresia. Department of
Otorhinolaryngology, Faculty of Medicine Siriraj Hospital, Mahidol
University, Bangkok, Thailand. http://www.mat.or.th/journal
7. CI Gleen, MF Ellen, MT Mary. 2009. Congenital Anomalies of Nose.
Download from: www.uptodate.com/journal/premium.
congenitalanomaliesofnose.htm
8. BW Marrieline, C. Jonathan, MF Anna. 2009. Structural causes of nasal
symptoms: An overview.
www.uptodate.com/journal/premium/Structuralcausesofnasal symptomsAn
overview.htm

Anda mungkin juga menyukai