Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Lokasi Penelitian

1. Definisi Puskesmas

Puskesmas adalah suatu unit organisasi kesehatan yang merupakan pusat

pengembangan, yang melaksanakan pembinaan dan memberikan pelayanan

upaya kesehatan secara menyeluruh dan terpadu di wilayah kerjanya (Depkes

RI, 2010). Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka peranan puskesmas

adalah sebagai berikut : pengembangan upaya kesehatan, pembinaan upaya

kesehatan dan pelayanan upaya kesehatan (Aditama, 2005)

2. Konsep Wilayah

Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab pemeliharaan

kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya. Wilayah kerja puskesmas bisa

meliputi data kecamatan atau sebagian dari kecamatan.

Luas wilayah kerja puskesmas ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk,

keadaan geografis, keadaan sarana perhubungan dan keadaan infra struktur

masyarakat lainnya, sehingga memungkinkan puskesmas mencakup

pelayanan kesehatan masyarakat seluas mungkin.

3. Pelayanan Kesehatan Menyeluruh

Pelayanan kesehatan yang diberikan di puskesmas adalah pelayanan

kesehatan yang meliputi kuratif, preventif, promotif, rehabilitatif, yang

10
ditujukan kepada semua jenis dan golongan umur, sejak pembuahan dalam

kandungan sampai tutup usia.

4. Pelayanan Kesehatan Integrasi (Terpadu)

Sebelum ada puskesmas, pelayanan kesehatan di dalam suatu kecamatan

terdiri dari balai pengobatan, balai kesehatan ibu dan anak, usaha hygiene

sanitasi lingkungan, pemberantasan penyakit menular, da lain-lain.

Usaha-usaha tersebut masing-masing bekerja sendiri dan langsung

melapor kepada Kepala Dinas Kesehatan Dati II. Dengan adanya sistem

pelayanan kesehatan mulai pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), maka

berbagai kelanjutan pokok puskesmas dilaksanakan bersama di bawah satu

koordinasi dan satu pimpinan.

5. Tugas Pokok Puskesmas

Sesuai dengan kemampuan tenaga maupun fasilitas yang berbeda-beda,

maka tugas pokok yang dapat dilaksanakan oleh setiap puskesmas akan

berbeda pula. Namun demikian tugas pokok puskesmas adalah (Depkes RI,

2010) : Kesehatan Ibu dan Anak, Keluarga Berencana, Perbaikan gizi,

Hygiene dan sanitasi lingkungan, Pencegahan dan pemberantasan penyakit

menular, Pengobatan, Penyuluhan kesehatan masyarakat, Kesehatan sekolah,

Perawatan kesehatan masyarakat, Pencatatan dan pelaporan, Kesehatan gigi

dan mulut, Kesehatan jiwa dan Laboratorium sederhana.

6. Fungsi Pokok Puskesmas

a. Sebagai pusat pengembangan kesehatan masyarakat di wilayah kerjanya.


11
b. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka

meningkatkan kemampuan untuk sehat.

c. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan tepat pada

masyarakat di wilayah kerjanya.

7. Kedudukan, Organisasi dan Tata Kerja Puskesmas

a.Kedudukan

Kedudukan puskesmas dibedakan menurut keterkaitannya dengan sistem

kesehatan nasional, sistem kesehatan kabupaten/kota dan sistem

pemerintah daerah.

b. Organisasi

Struktur organisasi tergantung dari kegiatan dan beban tugas masing-

masing puskesmas, penyusunan tugas organisasi puskesmas di satu

kabupaten/kota oleh Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota sedangkan

penempatannya dilakukan dengan peraturan daerah.

c. Tata kerja

1) Dengan kantor Kecamatan

2) Dengan Dinas Kesehatan/Kota

3) Dengan jaringan pelayanan kesehatan strata pertama

4) Dengan jaringan pelayanan kesehatan strata rujukan

5) Dengan lintas sektoral

6) Dengan masyarakat

12
B. Tinjauan Tentang Tuberculosis

1. Definisi

Secara umum, tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang

masih menjadi masalah kesehatan dalam masyarakat kita. Penyakit

tuberkulosis paru dimulai dari tuberkulosis, yang berarti suatu penyakit

infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal

dengan nama Mycobacterium tuberculosis. Penularan penyakit ini melalui

perantaraan ludah atau dahak penderita yang mengandung hasil berkulosis

paru. Pada saat penderita batuk, butir-butir air ludah beterbangan di udara

dan terhisap oleh orang sehat, sehingga masuk kedalam paru-parunya, yang

kemudian menyebabkan penyakit tuberkulosis paru. (Naga 2014)

Mikrobakteria penyebab tuberkulosis merupakan bakteri aerob yang

berbentuk batang, namun tidak membentuk spora. Walaupun tidak mudah

diwarnai, namun jika telah diwarnai, bakteri ini tahap terhadap peluntur

warna (dekolarisasi) asam atau alkohol. Oleh karena itu dinamakan bakteri

tahan asam atau basil tahan asam. (Naga 2014)

2. Tanda-Tanda TB Paru

Ada beberapa tanda saat seseorang terjangkit tuberculosis paru, di

antaranya:

a. Batuk-batuk berdahak lebih dari dua minggu,

b. Batuk-batuk dengan mengeluarkan darah atau pernah mengeluarkan

darah,
13
c. Dada terasa sakit atau nyeri, dan

d. Dada terasa sesak pada saat bernapas. (Naga 2014)

Bakteri tuberkulosis paru ini mempunyai masa inkubasi, mulai dari

terinfeksi sampai pada lesi primer muncul, kurang lebih 4-12 minggu.

Sedangkan untuk pulmonair progressif dan extrapulomonair, tuberculosis

biasanya memakan waktu lebih lama, samapai beberapa tahun. (Naga 2014)

3. Micobacterium Tuberculosis

Micobacterium tuberkulosis adalah bakteri penyebab terjadinya penyakit

tuberculosis. Bakteri ini pertama kali dideskripsikan pada tanggal 24 Maret

1882 oleh Robert Koch. Bakteri ini juga sering di sebut Abasilus Koch.

Bentuk, penanaman, dan sifat-sifat dari micobacterium tuberkulosis dapat

diuraikan subagai berikut:

a. Bentuk Micobacterium Tuberkulosis

Micobacterium tuberkulosis berbentuk batang lurus atau agak bengkok

dengan ukuran 0,2-0,4 x 1-4 cm. Pewarnaan Ziel-Neelsen dipergunakan

untuk mengidentifikasi bakteri tahan asam.

b. Penanaman Micobacterium Tuberkulosis

1) Kuman ini tumbuh lambat.

2) Koloni baru tampak setelah kurang lebih dua minggu, bahkan

kadang-kadang setelah 6-8 minggu.

14
3) Suhu optimum 37 0C dan tidak tumbuh pada suhu 25 0C atau lebih

dari 400C.

4) Medium padat yang biasa dipergunakan adalah Lowenstein Jensen.

5) Tingkat pH optimum 6,4-7,0. (Naga 2014)

c. Sifat-Sifat Micobacterium Tuberkulosis

1) Micobacterium tidak tahan panas, akan mati pada suhu 6 0C selama

15-20 menit.

2) Biakan dapat mati jika terkena sinar matahari langsung selama 2 jam.

3) Dalam dahak, bakteri ini dapat bertahan selama 20-30 jam.

4) Bahil yang berda dalam percikan bahan dapat bertaha hidup 8-10

hari.

5) Dalam suhu kamar, biakan basil ini dapat hidup selama 6-8 bulan dan

dapat disimpan dalam lemari dengan suhu 20 0C selama 2 tahun.

6) Bakteri ini tahan terhadap berbagai khemikalia dan disinfektan, antara

lain phenol 5%, asam sulfat 15%, asam sitrat 3%, dan NaOH 4%.

7) Basil ini dapat dihancurkan oleh jodium tinetur dalam waktu 5 menit,

sementara dengan alkohol 80% akan hancur dalam 2-10 menit

kemudian. (Naga 2014)

4. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis

Bentuk penyakit tuberkulosis ini dapat dikalsifikasikan menjadi dua,

yaitu tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru.

15
a. Tuberkulosis Paru

Penyakit ini merupakan bentuk yang paling sering dijumpai, yaitu sekitar

80% dari semua penderita. Tuberkulosis yang menyerang jaringan paru-

paru ini merupakan satu-satunya bentuk dari TB yang mudah tertular

kepada manusia lain, asal kuman bisa keluar dari sipenderita. (Naga

2014)

b. Tuberkulosis Ekstra Paru

Penyakit ini merupakan bentuk penyakit TB yang menyerang organ

tubuh lain, selain paru-paru, seperti pleura, kelenjar limfe, persendian

tulang belakang, saluran kencing, dan susunan saraf pusat. Oleh karena

itu, penyakit TB ini kemudian dianamakan penyakit yang tidak pandang

bulu, karena dapat menyerang seluruh organ dalam tubuh manusia secara

bertahap. Dengan kondisi organ tubuh yang telah rusak, tentu saja dapat

menyebabkan kematian bagi penderitanya. (Naga 2014)

5. Penularan Kuman Tuberkulosis

Banyaknya kuman dalam paru-paru penderita menjadi satu indikasi

tercepat penularan penyakit tuberkulosis ini kepada seseorang. Penyebaran

kuman tuberkulosis ini terjadi di udara melalui dahak berupa droplet. Bagi

penderita tuberkulosis paru yang banyak sekali memiliki kuman, dapat

terlihat langsung dengan mikroskop pada pemeriksaan dahaknya. Hal ini

16
tentunya sangat menular dan berbahaya bagi lingkungan penderita. (Naga

2014)

Pada saat penderita batuk atau bersein, kuman TB paru dan BTA

positif yang berbentuk droplet sangat kecil ini akan beterbangan di udara.

Droplet yang sangat kecil ini kemudian mengering dengan cepat dan menjadi

droplet yang mengandung kuman tuberkulosis. Kuman ini dapat bertahan di

udara selama beberapa jam lamanya, sehingga cepat atau lambat droplet yang

mengandung unsur kuman tuberkulosis akan terhirup oleh orang lain.

Apabila droplet ini telah terhirup dan bersarang di dalam paru-paru

seseorang, maka kuman ini akan membelah diri atau berkembang biak. Dari

sinilah akan terjadi infeksi dari satu penderita ke calon penderita lain (mereka

yang telah terjangkit penyakit). (Naga 2014)

6. Faktor-Faktor Penyebab TB

Kondisi social ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin, dan faktor

toksis pada manusia, ternyata menjadi faktor penting dari penyebab penyakit

TB. Berikut penjelasannya:

a. Faktor Sosial Ekonomi

Faktor social ekonomi disini sangat erat kaitannya dengan kondisi

rumah, kepadatan hunian, lingkunan perumaha, serta lingkungan dan

sanitasi tempat bekerja yang buruk. Semua faktor tersebut dapat

memudahkan penularan TB. Pendapatan keluarga juga sangat erat juga

dengan penularan TB, karena pendapatan yang kecil membuat orang


17
tidak dapat hidup layak, yang memenuhi syarat-syarat kesehatan. (Naga

2014)

b. Status Gizi

Kekurangan kalori, protein, vitamin, zaat besi, dan lain-lain

(malnutrisi), akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang, sehingga

rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk tuberkulosis paru. Keadaan

ini merupakan faktor penting yang berpengaruh di negara miskin, baik

pada orang dewasa maupun anak-anak. (Naga 2014)

c. Umur

Penyakit tuberkulosis paru paling sering ditemukan pada usia muda

atau usia produktif, yaitu 15-50 tahun. Dewasa ini, dengan terjadinya

transisi demografi, menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih

tinggi. Pada usia lanjut, lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang

menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk

penyakit tuberkulosis paru. (Naga 2014)

d. Jenis Kelamin

Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta

perempuan yang meninggal akibat tuberkulosis paru. Dari fakta ini, dapat

disimpulkan bahwa kaum perempuan lebih rentan terhadap kematian

akibat serangan tuberkulosis paru dibandingkan akibat proses kehamilan

dan persalinan. Pada laki-laki, penyakit ini lebih tinggi, karena rokok dan

minuman alkohol dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh. Sehingga,


18
wajar jika perokok dan peminum beralkohol sering disebut agen dari

penyakit tuberkulosis paru. (Naga 2014)

7. Pengobatan TB Paru

a. Tatalaksana Pengobatan TB Paru

Pengobatan diberikan dalam dua tahap Depkes RI (2007), yaitu:

1) Tahap intensif awal diaman pasien mendapat obat setiap hari dan

diawasi langsung untuk mencegah kekebalan atau resistensi terhadapa

semua OAT (Obat Anti Tuberkulosis), terutama Rifampisin. Bila tahap

ini diberikan secara tepat pasien menular menjadi tidak menular dalam

waktu dua minggu. Sebagian besar TB Paru BTA Positif (+) menjadi

BTA Negatif (-) pada akhir pengobatan ini. (Kemenkes RI, 2015)

2) Tahap lanjutan, pasien mendapata obat dalam jangka waktu yang lebih

lama dan jenis obat lebih sedikit untuk mencegah kekambuhan.

Tujuan daripengobatan pasien TB paru adalah menyembuhkan

pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan

resiko penularan. Menyembuhkan pasien dengan gangguan seminimal

mungkin dalam hidupnya, mencegah kematian pada pasien, mencegah

kerusakan paru lebih luas dan komplikasi yang terkait, mencegah

kekambuhan penyakit, mencegah kuman menjadi resisten dan melindungi

keluarga dan masyarakat penderita terhadap infeksi (Crofson, 2001).

Jenis obat yang digunakan dalam pemberian TB paru antara lain:

19
1) Isoniasid (H) dikenal dengan INH, bersifat bakteriasid dapat

membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama

pengobatan.

2) Rifampisin (R), bersifat bakteriasid bersifat membunuh kuman semi

dormant (persisten) yang tidak dapat dibunuh oleh INH.

3) Piranizamid (Z), bersifat bakteriasid dapat membunuh kuman yang

berda didalam sel suasana asam

4) Streptomycne (S), bersifat bakteriasid

5) Etambuto (E), bersifat bakteriotatik.

b. Program Obat Anti tuberculosis

Di Indonesia diterapkan panduan OAT sesuai rekomendasi WHO

(World Health Organization) dan IUAT-LD (International Union Againts

Tuberculosis and Lung Disease) dengan jangka 6 (enam) bulan yaitu:

1) Kategori I

Tahap intensif dan Isoniasid (H), Rifampisin (R), Pirazanamid

(Z) dan Etamburol (E), obat diberikan setiap hari selama 2 (dua) bulan

(2HRZE). Kemudian diteruskan tahap lanjutan yang teridiri Isoniasid

dan Rifampisin diberikan 3 (tiga) kali seminggu selama 4 (empat)

bulan (4H3R3).

Panduan OAT kategori I diberikan untuk :

a) Pasien baru TB-Paru BTA Positif (+)

20
b) Pasien baru TB-Paru Negatif (-), Rontgen positif (+) yang sakit

berat.

c) Penyakit paru ekstra berat

2) Kategori II

Tahap intensif selama 3 bulan, terdiri dari 2 bulan HRZE dan

suntikan Steptomisin (S), setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan

dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan

selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan 3 kali dalam seminggu.

3) Kategori III

Tahap intensif terdiri dari HR2 yang berikan setiap hari selama

2 bulan diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR selama

4 bulan diberikan 3 seminggu.

OAT kategori ini diberikan untuk :

a) Pasien batuk TB Paru BTA Negatif (-) dan rontgen positif (+) sakit

ringan.

b) Pasien ekstra paru ringan, yaitu : Pasien Tuberkulosis kelenjar

limfe (limfadenitis), pleuritic eksudtiva unilateral, Tuberkulosis

kulit, Tuberkulosis tulang (kecuali tulang belakang, Tuberkulosis

sendi dan kelenjar adrenal).

c. Hasil Pengobatan

Hasil pengobatan menurut Harun (2002) diklasifikasikan antara lain:

1) Sembuh
21
Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan

pengobatan secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow – up)

paling sedikit 2 (dua) berturut-turut hasilnya negative yaitu pada AP

sebulan sebelum AP dan pada satu pemeriksaan Follow up

sebelumnya.

2) Pengobatan lengkap

Penderita yang telah menyelesaikan pengobatan secara lengkap

tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut

negatif. Tidak lanjut: Penderita diberi tahu apabila muncul kembali

supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap.

3) Pindah

Adalag penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu

Kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke Kabupaten ini dan

penderita harus membawa surat pindah / rujukan (TB-09)

4) Drop Out (DO)

Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2

bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumny penderita

tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA Positif.

C. Tinjauan Tentang Variabel yang diteliti

1. Lingkungan Fisik

a. Definisi

22
Lingkungan adalah segala sesuatu yang mengelilingi dan juga kondisi

luar manusia atau hewan yang menyebabkan atau memungkinkan

penularan penyakit. Faktor - faktor lingkungan dapat mencakup aspek

biologis, sosial, budaya, dan aspek fisik lingkungan. Lingkungan dapat

berada di dalam atau di luar pejamu (dalam masyarakat), berada di sekitar

tempat hidup organisme dan efek dari lingkungan terhadap organisme itu.

Berdasarkan Permenkes tahun 2011 lingkungan dibagi menjadi 2 yaitu

lingkungan fisik dan lingkungan social

b. Macam-Macam Lingkungan Fisik

1) Luas ventilasi

Ventilasi rumah memiliki banyak fungsi. Fungsi pertama untuk

menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga

keseimbangan oksigen (O2) yang diperlukan oleh penghuni rumah

tetap terjaga. Kurangnya ventilasi ruangan akan menyebabkan

kurangnya O2 dalam rumah dan kadar karbondioksida (CO2) yang

bersifat racun bagi penghuni menjadi meningkat. Fungsi kedua untuk

membebaskan udara ruang dari bakteri patogen karena akan terjadi

aliran udara yang terus menerus. Fungsi ketiga untuk menjaga

kelembaban udara tetap optimum. (Machfoedz, 2008)

Menurut Permenkes RI No. 1077/Menkes/Per/V/2011 tentang

Pedoman Penyehatan Udara 2011 bahwa pertukaran udara yang tidak

baik atau kurang memenuhi syarat dapat menyebabkan suburnya


23
pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menyebabkan gangguan

kesehatan manusia seperti bakteri mycobacterium tuberculosis, bakteri

ini akan bertahan lama didalam rumah apabila ventilasi di rumah

sangat minim. Kurangnya ventilasi juga akan menyebabkan

kelembaban udara dalam ruangan, karena terjadi proses penguapan.

Menurut Permenkes 2011 syarat ventilasi yang cukup adalah minimal

10% dari luas lantai rumah. (Permenkes, 2011)

Berdasarkan hasil penelitian Kusuma (2015)di Kabupaten

Malang, untuk variabel luas ventilasi menunjukkan nilai p value=

0,0001; OR= 15,167; 95% CI = 4,09 - 56,248. Dari hasil tersebut

menunjukkan bahwa ada hubungan antara luas ventilasi dengan

kejadian TB. Hasil OR = 15,167 menunjukkan bahwa orang yang

tinggal di rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat

kesehatan memiliki risiko 15 kali untuk menderita TB Paru

dibandingkan dengan orang yang tinggal di rumah dengan luas

ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan. Karena kurangnya ventilasi

dapat menyebabkan kelembaban. (Kusuma Saffira, dkk, 2015)

2) Kepadatan Hunian

Ukuran luas rumah sangat berkaitan dengan rumah yang sehat, rumah

yang sehat harus cukup memenuhi penghuni didalamnya. Luas rumah

yang tidak sesuai dengan jumlah penghuninya dapat menyebabkan

terjadinya overload. Semakin padat penghuni rumah maka semakin cepat


24
juga udara didalam rumah mengalami pencemaran. Dengan meningkatnya

kadar CO2 di udara dalam rumah maka akan memberi kesempatan

tumbuh dan berkembang biak lebih untuk mycobacterium tuberculosis.

Kepadatan hunian dalam rumah menurut Menurut Permenkes RI Nomor.

1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara satu orang

minimal menempati luas rumah 8m2 agar dapat mencegah penularan

penyakit termasuk penularan penyakit dan juga dapat melancarkan

aktivitas di dalamnya. Keadaan tempat tinggal yang padat dapat

meningkatkan faktor polusi udara di dalamnya. (Permenkes, 2011)

Berdasarkan hasil penelitian Batti (2013) di Kota Palopo untuk

variabel kepadatan hunian menunjukkan nilai p value = 0,036, artinya

bahwa kepadatan hunian mempunyai hubungan bermakna dengan

kejadian TB Paru (p value < α 0,05). Yang memiliki kepadatan hunian <

8m² (tidak memenuhi syarat) kemungkinan menderita penyakit TB paru

sebesar 10 kali dibandingkan kelompok masyarakat yang memiliki

kepadatan huniannnya memenuhi syarat. (Batti, 2013)

3) Pencahayaan

Pencahayaan sangat dibutuhkan agar rumah menjadi tidak lembab, dan

dinding rumah menjadi tidak berjamur akibat bakteri atau kuman yang

masuk ke dalam rumah. Karena bakteri penyebab penyakit seperti

mycobacterium tuberculosis menyukai tempat yang gelap untuk

berkembangbiak. Semakin banyak sinar matahari yang masuk semakin


25
baik. Pengukuran pencahayaan menggunakan alat Lux meter. Secara

teknis, jumlah titik pengukuran pencahayaan tergantung pada luas

ruangan. Pencahayaan yang diukur adalah pencahayaan alamiah, berasal

dari sinar matahari secara langsung yang masuk melalui ventilasi, jendela,

pintu dan lubang angin. Berdasarkan Permenkes No. 1077 Tahun 2011

menyatakan bahwa persyaratan pencahayan di dalam rumah minimal 60

Lux dengan syarat tidak menyilaukan. (Permenkes, 2011)

Berdasarkan hasil penelitian Ika Lusy (2016) di Kota Semarang, untuk

variabel pencahayaan menunjukkan hasil analisis statistik bahwa nilai p

value = 0,002 dan OR = 8,000 dengan 95 % CI = 2,012-3,460, sehingga

dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara pencahayaan

alamiah dengan kejadian TB paru karena nilai p-value ≤ 0,05. Nilai OR =

8,000, berarti bahwa pencahayaan alamiah yang tidak memenuhi syarat

mempunyai risiko menderita tuberkulosis paru 8 kali dibandingkan

dengan pencahayaan alamiah yang memenuhi syarat. Karena kurangnya

pencahayaan dapat menjadi media yang baik bagi pertumbuhan kuman.

(Ika Lusy, 2016)

4) Kelembaban

Kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan

pertumbuhan mikroorganisme yang mengakibatkan gangguan terhadap

kesehatan manusia. Aliran udara yang lancar dapat mengurangi

kelembaban dalam ruangan. Kelembaban yang tinggi merupakan media


26
yang baik untuk bakteri-bakteri patogen penyebab penyakit. Seperti

penyakit tuberkulosis dengan bakterinya mycobacterium tuberculosis

(Macfoedz, 2008). Menurut Permenkes RI Nomor.

1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam

ruang menyebutkan kelembaban ruang yang nyaman berkisar antara 40-

60%. (Permenkes, 2011)

Berdasarkan hasil penelitian oleh Kusuma (2015) di Kabupaten

Malang untuk variabel kelembaban menunjukkan nilai p value= 0,002;

OR = 6,417; 95% CI = 2,084 – 19,755. Dari hasil tersebut menunjukkan

bahwa ada hubungan yang signifikan antara kelembaban dengan kejadian

TB (p value < α 0,05). Hasil OR = 6,417 menunjukkan bahwa orang yang

tinggal di rumah dengan kelembaban yang tidak memenuhi syarat

kesehatan memiliki risiko 6 kali lebih besar menderita TB Paru

dibandingkan orang yang tinggal pada rumah dengan kelembaban yang

memenuhi syarat kesehatan. (Kusuma, 2015)

5) Jenis Lantai

Komponen yang harus di penuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air

dan tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses

kejadian tuberkulosis paru, melalui kelembaban dan ruangan. Lantai

rumah hendaknya kedap air seperti keramik atau marmer, rata tak licin

serta mudah dibersihkan. Bukan lantai yang lembab atau lantai dari tanah,

27
karena lantai yang lembab atau mudah basah dapat menyebabkan media

untuk tumbuh mikroorganisme. (Adnani, 2011)

Berdasarkan hasil penelitian Dawile (2013) menunjukkan hasil analisis

statistik jenis lantai rumah dengan uji Chi-square mendapatkan nilai

probabilitas (p value) = 0,000 hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan

antara jenis lantai dengan tuberkulosis paru. Dengan nilai OR = 21,000

dengan 95% Cl = 5,047-7,373 dengan demikian dapat dinyatakan bahwa

responden dengan jenis lantai tidak memenuhi syarat mengalami risiko 21

kali lebih besar dari responden dengan jenis lantai rumah yang memenuhi

syarat. Karena lantai yang tidak kedap air atau tanah menimbulkan

kelembaban ruangan. (Dawile Greis, 2013)

6) Jenis Dinding

Dinding merupakan penyekat atau pembatas ruang, selain sebagai

penyekat ruang dinding dapat berfungsi juga sebagai komponen kontruksi

yang disebut dinding kontruksi. Dinding rumah berfungsi untuk menahan

angin dan debu, di buat tidak tembus pandang, bahan di buat dari batu

bata, batako, bambu, papan kayu, dinding di lengkapi dengan sarana

ventilasi untuk pengaturan sirkulasi udara. Dinding yang memenuhi syarat

adalah dinding yang kedap air seperti tembok atau diplester, bukan

dinding kayu yang dapat mempunyai karateristik lembab. Jenis dinding

juga memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis paru, melalui

kelembaban dindingnya. (Adnani, 2011)


28
Berdasarkan hasil penelitian Wahyuni (2015) di Banyumas untuk

variabel jenis dinding menunjukkan hasil analisis statistik uji Chisquare

mendapatkan nilai probabilitas (p value) = 0,004 (<0,005) hal ini

menunjukkan bahwa ada yang signifikan antara jenis dinding dengan

kejadian tuberkulosis. Dengan nilai OR = 7,875 dengan demikian dapat

dinyatakan bahwa responden dengan jenis dinding tidak memenuhi syarat

mengalami risiko 7 kali lebih besar dari respondendengan jenis dinding

yang memenuhi syarat. Karena dinding yang tidak kedap air menimbulkan

kelembaban ruangan. (Wahyuni Tri, 2015)

7) Suhu

Suhu di dalam ruangan rumah yang terlalu rendah dapat menyebabkan

gangguan kesehatan tubuh hingga dapat menyebabkan hyportemia,

sedangkan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan dehidrasi sampai

dengan head stroke. Suhu yang tidak normal juga dapat menyebabkan

media untuk pertumbuhan mikroorganisme. Suhu yang tidak normal

memiliki peran terhadap proses kejadian tuberkulosis paru, melalui

kondisi udara yang tidak normal. Menurut Permenkes RI Nomor.

1077/Menkes/Per/V/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam

ruang menyebutkan bahwa suhu ruangan yang memenuhi syarat berkisar

antara 18oC - 30oC. (Permenkes, 2011)

Berdasarkan hasil penelitian Dawile (2013) menunjukkan hasil

analisis statistik dengan ujiChi–square untuk variabel suhu mendapatkan


29
nilai probabilitas (p value) 0,001. Dari hasil tersebut (p 0,001 < α 0,05) hal

ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara suhu ruangan dengan

kejadian tuberkulosis paru. Dengan OR = 7,50 hal ini menunjukkan bahwa

responden dengan suhu ruang < 18oC dan >30oC (tidak memenuhi syarat)

ada kemungkinan mempunyai risiko 7 kali lebih besar menderita

tuberkulosis paru dibandingkan dengan responden dengan suhu ruang

18oC-30oC (memenuhi syarat). (Dawile Greis, 2013)

2. Status Gizi

Indeks Masa Tubuh (IMT) atau Boddy Mass Index (BMI) merupakan

indikator untuk memantau status gizi pada kelompok umur >18 tahun. Status

gizi seseorang akan mempegaruhi risiko tertular TB. Seseorang dengan status

gizi buruk, bahkan mengalami malnturisi, menyebabkan penurunan fungsi

paru, perubahan analisis gas dalam darah, dan produktivitas kerja. Seperti

diketahui kuman tuberkulosis merupakan kuman yang suka tidur hingga

bertahun-tahun, apabila memiliki kesempatan untuk bangun dan menimbulkan

penyakit maka timbulah kejadian penyakit tuberkulosis paru. Oleh karena itu

salah satu kekuatan daya tangkal adalah status gizi yang baik. Selain itu,

status gizi buruk juga mempengaruhi daya tahan tubuh dimana penurunan

daya tahan tubuh berkaitan erat dengan peningkatan infeksi kuman TB

(Fatimah, 2008).

IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang

dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat


30
badan.Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18

tahun, IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan

olahragawan (Buku Praktis Ahli Gizi, 2003).Rumus perhitungan IMT adalah

sebagai berikut :

Berat Badan (kg)


IMT =
Tinggi badan (m) X tinggi badan (m)

Tabel 1. Klasifikasi Index Masa Tubuh (IMT) Dewasa Menurut

Kemenkes RI

Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat Badan < 17,0 17,0 - 18,5
Kekurangan berat badan
tingkat ringan
Normal >18,5 - 25,0
Normal Kelebihan Berat badan >25,0 - 27,0 >27,0
tingkat ringan Kelebihan
berat badan tingkat berat

Sumber : Kemenkes RI, 2003

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Teten Zalmi di

Puskesmas Padang Pasir tahun 2008 menyebutkan bahwa proporsi responden

dengan keadaan status gizi kurang pada kelompok kasus adalah 96,8%,

sedangkan pada kelompok kontrol 28,1% (Teten Zalmi, 2008). Hasil

penelitian tersebut sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Elvina

Karyadi (2002) dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa pengidap TB Paru

sebagian besar menderita gizi kurang (IMT)

31
D. Kajian Empiris

Wahyuni, T (2015) “Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian

Tb Paru Bta (+) Di Wilayah Kerja Puskesmas Ii Kembaran Kabupaten

Banyumas”. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan lingkungan

fisik rumah dengan kejadian Tb Paru BTA (+) di wilayah kerja Puskesmas II

Kembaran tahun 2015.Penelitian ini bersifat observasional dengan menggunakan

metode case control.Variabel yang diteliti meliputi luas jendela ruang keluarga,

luas jendela kamar, luas ventilasi ruang keluarga, luas ventilasi kamar, kepadatan

penghuni, jenis lantai dan jenis dinding. Analisis data menggunakan analisis

univariat dan bivariat.Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Luas jendela

ruang keluarga (p=0,229;OR=1,974), luas jendela kamar (p=0,531;OR=1,818),

luas ventilasi ruang keluarga (p=0,026; OR= 0,229), luas ventilasi kamar

(p=1,000;OR= 0,643), kepadatan penghuni (p=0,004;OR=7,875), jenis lantai

(p=0,026;OR=10,545),dan jenis dinding (p=0,004;OR= 7,875).

Anggraeni (2015) “Hubungan Kualitas Lingkungan Fisik Rumah Dan

Perilaku Kesehatan Dengan Kejadian TB Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas

Gondanglegi Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang”. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan Kualitas Lingkungan Fisik

Rumah Dan Perilaku Kesehatan Dengan Kejadian TB Paru. Hasil penelitian

menggunakan Chi-square dari empat variabel yang memiliki hubungan dan

berisiko terhadap kejadian TB Paru yaitu luas ventilasi, kelembaban, intensitas

pencahayaan dan kebiasaan merokok. Dilihat dari nilai Odds Ratio (OR) yang
32
paling tinggi maka faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya TB Paru

adalah intensitas pencahayaan. Nilai OR untuk intensitas pencahayaan yaitu

26,000 yang berarti bahwa seseorang yang tinggal di rumah dengan intensitas

pencahayaan yang tidak memenuhi syarat kesehatan (< 60 lux) berisiko 26 kali

lebih besar dibandingkan seseorang yang tinggal di rumah dengan intensitas yang

memenuhi syarat kesehatan.

Yuniar, I (2017) “Hubungan Status Gizi Dan Pendapatan Terhadap Kejadian

Tuberkulosis Paru”. .Status gizi adalah salah satu faktor terpenting dalam

pertahanan tubuh terhadap infeksi tuberkolusis. Pada keadaan gizi yang buruk,

maka reaksi kekebalan tubuh akan melemah sehingga kemampuan dalam

mempertahankan diri terhadap infeksi menjadi menurun. Faktor lain yang

mempengaruhi statu sgizi seseorang adalah status sosial ekonomi. Pendapatan per

kapita pasien Tuberkulosis Paru menjadi salah satu faktor yang berhubungan

dengan status gizi pada pasien Tuberkulosis Paru. Tujuan penelitian adalah untuk

mengetahui hubungan antara pendapatan, status nutrisi terhadap kejadian

tuberkolusis paru. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang

menggunakan metode survei analitik dengan pendekatan case control. Hasil

penelitian menunjukkan hubungan yang bermakna antara status gizi dengan

kejadian Tuberkulosis paru dengan nilai OR= 3,484 (CI= 1,246 – 9, 747) yang

berarti status gizi kurang beresiko menderita Tuberkulosis paru sebesar 3,4 kali

dibandingkan dengan status gizi cukup. Terdapat hubungan yang bermakna antara

pendapatan dengan kejadian Tuberkulosis paru dengan nilai OR= 4,421 (CI=
33
1,638 – 11, 930) yang berarti responden dengan pendapatan rendah beresiko

menderita Tuberkulosis paru sebesar 4,4 kali dibandingkan dengan responden

yang pendapatannya tinggi.

Wahyuningrum (2018) “Faktor keberhasilan pengobatan TBC adalah

kepatuhan minum obat. Penurunan status gizi terjadi pada pasien TBC paru,

bahkan menjadi status gizi buruk pada awal diagnosis. Pemberian OAT dapat

meningkatkan status gizi pasien TBC paru. Kenaikan berat badan pada fase

intensif terjadi sebesar 1-5 kg. Tujuan penelitian ini ntuk mengetahui hubungan

antara kepatuhan minum Obat Anti TBC (OAT) dengan status gizi pasien TBC

Paru pada fase intensif di BBKPM Surakarta. Desain penelitian bersifat

observasional dengan pendekatan Cross Sectional. Dengan jumlah sampel

sebanyak 30 pasien, diambil secara consecutive sampling. Data kepatuhan minum

OAT diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner yang dibuat

berdasarkan MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale). Data status gizi

diperoleh berdasarkan IMT dengan pengukuran berat badan dan tinggi badan.

Data dianalisis menggunakan SPSS 20 dengan uji statistik Chi Square. Hasil :

Sebanyak 20 sampel (66,7%) patuh meminum OAT. Rata-rata subjek memiliki

status gizi kurus yaitu 16 sampel (53,3%). Uji statistik menunjukkan tidak ada

hubungan antara kepatuhan minum OAT dengan status gizi pasien TBC paru pada

fase intensif dengan nilai p=0,796.

34

Anda mungkin juga menyukai