Disusun Oleh:
Ade Saputra
1721040001
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
antara. Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu produk,
sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Oleh karena itu, pengertian
yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah konsumen akhir.
Pelaku usaha merupakan orang atau lembaga yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bidang ekonomi. Dengan demikian, pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini
ialah perusahaan koperasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-
lain.1
B. Rumusan Masalah
1
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 159
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Jumlah penduduk yang semakin meningkat memberikan dorongan pada
peningkatan konsusmsi. Kebutuhan konsumsi masyarakat berpenduduk banyak,
membutuhkan pelayanan yang bervariasi. Konsumsi yang bervariasi memudahkan
produsen dalam memenuhi salah satu jenis konsumsi yang dibutuhkan masyarakat.
Anggota masyarakat pedesaan maupun perkotaan mempunyai kekhusussan prosuksi
yang dibutuhkan untuk konsumsi dirinya dan konsumen. Masyarakat yang memiliki
pengetahuan ilmu konsumsi diharapkan mampu memproduksi barang atau jasa untuk
di konsumsi sendiri maupun konsumen.6
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen
karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat
terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan
kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.7
Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan
kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen
berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk
meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi,
cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.8
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran
konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya
pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindunga Konsumen
dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi Pemerintah dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan
konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.9
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan
kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah
mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin.
Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung
maupun tidak langsung. 10
4
Konsumen menurut Undang-Undang adalah setiap pemakai dan atau
pengguna barang dan jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk
kepentingan pihak lain. Dalam hal ini, Undang-Undang hanya menekankan pada sifat
penggunaan dan pemakaian barang atau jasa tersebut, dengan tidak membedakan
untuk kepentingan siapa barang atau jasa tersebut dipakai atau dipergunakan.11
Di samping itu, undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam
pelaksanaanya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan
menengah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas
pelanggarannya.12
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan
merupakan awal dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab
sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah
ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen,
seperti :13
1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang
barang, menjadi undang-undang ;
2. Undang-undang Nomor 2 tahun 1966 tentang Hygiene
3. Undang-undang Nomor 5 tahun 1975 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di daerah
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal
5. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan
6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang perindustrian
7. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
8. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan
Industri
9. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tenatang Kesehatan
229
11
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, (Jakarta: PT Grafindo
Persada, 1999 ), hlm. 12
12
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.
230
13
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.
230
5
10. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Aggrement Establishing
The World Trade Organizatioan ( Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia )
11. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
12. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
13. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
14. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1987
15. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan
AtasUndang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten
16. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek
17. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
18. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran
19. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan
20. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan14
Perlindungan Konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan
intelektual (HAKI) tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan
Konsumen ini karena sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997
tentang Paten dan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek yang
menghasilkan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang melanggar ketentuan
tentang HAKI.15
6
Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.16
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan
5 asas yang relevan dalam pembangunan nasional yaitu :
1. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan
pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas keadilan, dimaksukan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
materil maupun spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas kemanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum, dimasudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum. 17
7
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen
4. Menetapkan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentinganya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan
dan keselamatan konsumen.19
19
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.
234
20
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 161
8
h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak semana mestinya
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.21
2. Kewajiban Konsumen
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa
c. Membayar seusai dengan nilai tukar yang disepakati
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut. 22
21
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 161
22
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 162
23
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 162
9
d. Hak untuk rehabilitas nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.24
2. Kewajiban Pelaku Usaha
a. Baritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif
d. Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutut barang dan.atau
jasa yang berlaku
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, atau mencoba
barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi
atas barang yang dibuat atau diperdagangkan
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau pengganti atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan
g. Memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.25
24
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 162
25
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 163
10
Dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
mengatur perbuatan hukum yang dilarang bagi pelaku usaha adalah larangan dalam
memproduksi/memperdagangkan, larangan dalam menawarkan / mempromosikan /
mengiklankan, larangan penjualan secara obral/lelang, dan larangan dalam ketentuan
periklanan.26
1. Larangan dalam Memproduksi/Memperdagangkan
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
dan/atau jasa yang :
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang di persyaratkan
dan ketentuan perundang-undangan
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam lebel atau etiket
barang tersebut.
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam
hitungan dalam menurut ukuran yang sebenarnya.
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut.
e. Tidak seusai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolaan,
gaya, mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan jasa tersebut.
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan jasa tersebut.
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
dinyatakan “Halal” yang dicantumkan dalam label
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan
pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku
usaha serta keterangan lain untuk penggunaan menurut ketentuan harus
dipasang/dibuat
26
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 163
11
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang
dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan prundang-undangan
yang berlaku.27
Selain itu, pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat,
atau bekas, dan tercemar tanpa informasi secara lengkap dan benar atasa barang yang
dimaksud.28
Sementara itu, pelaku usaha yang melakukan pelanggaran atas larangan diatas,
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.29
27
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 164
28
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 164
29
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 164
30
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 165
12
j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan seperti aman, tidak
berbahaya, tidak mengandung resiko, atau efek sampingan tanpa
keterangan yang lengkap
k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Dengan demikian, pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan,
misalnya:31
Pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa, dilarang melakukan dengan
cara pemaksaan atau cara lain yang daoat menimbulkan gangguan, baik fisik maupun
psikis terhadap konsumen. 32
Sementara itu, pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa melalui
pesanan dilarang, misalnya :
31
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 165
32
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 166
33
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 166
13
Pelaku usaha dalam penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau
lelang, dilarang mengelabui/ menyesatkan konsumen, antara lain:34
a. Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi
standart mutu tertentu
b. Menyatakan barang atau jasa tersebut seolah-olah tidak
mengandung cacat tersembunyi
c. Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan
maksud menjual barang lain
d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu atau jumlah
cukup dengan maksud menjual barang lain
e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam
jumlah cukup ddengan maksud menjual jasa yang lain
f. Menaikan harga atau tarif barang dan jasa sebelum melakukan
obral.
34
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 166
35
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 167
14
Di dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999, pelaku usaha dalam
menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian
antara lain:36
1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
2. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen
3. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli konsumen
4. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindak
sepihak yang berkaitan dengan barang yang diberi konsumen secara
angsuran
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen
6. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa
7. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak
oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya
8. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen seara anggsuran.
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klasula baku yang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti. Setiap klasula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memeuhi ketentuan sebagaimana telah dinayatakan
batal demi hukum. Oleh karena itu, pelaku usaha wajib menyesuaikan klasula baku
yang bertentangan dengan undang-undang.
36
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 167
15
G. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan. Tanggung gugat produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami
konsumen sebagai akibat dari “produk yang cacat”, bisa dikarenakan kekurang
cermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan / jaminan atau
kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar
janji atau melakukan perbuatan melawan hukum.37
Di dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 diatur Pasal 19 sampai dengan
Pasal 28. Dalam Pasal 19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap
produk yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan memberi ganti rugi kerugian
atau kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.38
Bentuk kerugian konsumen dengan ganti rugi berupa pengembalian uang,
penggantian barang atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, perawatan kesehatan
atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.39
Sementara itu, Pasal 20 dan 21 mengatur beban dan tanggung jawab pelaku
usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian,
sedangkan Pasal 22 menentukan bahwa pembuktian terhadap ada tidakya unsur
kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19.40
Dengan demikian, peradilan pidana kasus konsumen menganut sistem beban
pembuktian terbalik. Jika pelaku usaha menolak atau tidak meberi tanggapan dan
tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen maka menurut Pasal 23 dapat
digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan
peradilan ditempat kedudukan konsumen.41
Pelaku usaha yang menjual barang atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:42
37
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 168
38
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 168
39
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 168
40
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 168
41
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 169
42
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.
16
1. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan
apapun atas barang atau jasa tersebut.
2. Pelaku usaha lain di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya
perubahan barang atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak
sesuai dengan contoh mutu dan komposisi.
Pelaku usaha sebagaimana dimaksdu pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung
jawab atas tuntutan ganti rugi atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang
membeli barang atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan
perubahan atas barang atau jasa tersebut.43
243
43
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.
243
44
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 169
45
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.
244
17
Sanksi yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999, yang
tertulis dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 63 dapat berupa sanksi administratif dan
sanksi pidana.46
1. Sanksi Administratif
a. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan
sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, pasal 25, dan Pasal 26.
b. Sankso administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2. Sanksi Pidana
a. Pelaku usaha yang menlanggar ketentuan sebagaimana dimaksud di
dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17
ayat (1) dan Pasal 18 di pidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah)
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimkasud dalam
Pasal 11, pasal 12, Pasal 13 yat (1), pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17
ayat (1) di pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana dena paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).47
46
Elsi Kartika Sari, Hukum Dalam Ekonom, hlm. 169
47
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.
244
48
Christine S.T. Kansil, Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi) Bagian 2, hlm.
244
18
BAB III
PENUTUP
19
Kesimpulan
20
DAFTAR PUSTAKA
Kansil, Christine S. T. 2001. Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum Dalam Ekonomi)
Keynes, John. 1936. The General Theory of Employment, Interest, and Money. New York:
Widjaja, Gunawan dan Yani, Ahmad. 1999. Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, Jakarta: PT
Grafindo Persada.
21