Anda di halaman 1dari 5

MAKALAH

KERAGAMAN BUDAYA
SUMATERA BARAT

NAMA KELOMPOK:
1. Trya Agustining .P (25)
2. Windatul Jannah (26)
3. Yunita Vebiyanti .W (27)
4. Andhika Hasta Pramata Yuda (28)

SMP NEGERI 5 BANGKALAN


TAHUN PELAJARAN 2015-2016
KEANEKARAGAMAN BUDAYA

SUMATERA BARAT

Istano Basa

Istano Basa yang lebih terkenal dengan nama Istana Pagaruyung, adalah sebuah istana
yang terletak di kecamatan Tanjung Emas, kota Batusangkar, kabupaten Tanah Datar,
Sumatera Barat. Istana ini merupakan obyek wisata budaya yang terkenal di Sumatera Barat.

Istano Basa yang berdiri sekarang sebenarnya adalah replika dari yang asli. Istano Basa asli
terletak di atas bukit Batu Patah dan terbakar habis pada sebuah kerusuhan berdarah pada
tahun 1804. Istana tersebut kemudian didirikan kembali namun kembali terbakar tahun 1966.

Proses pembangunan kembali Istano Basa dilakukan dengan peletakan tunggak tuo (tiang
utama) pada 27 Desember 1976 oleh Gubernur Sumatera Barat waktu itu, Harun Zain.
Bangunan baru ini tidak didirikan di tapak istana lama, tetapi di lokasi baru di sebelah
selatannya.[1]. Pada akhir 1970-an, istana ini telah bisa dikunjungi oleh umum.

Alat musik tradisional saluang


Saluang adalah alat musik tradisional khas Minangkabau, Sumatera Barat. Yang
mana alat musik tiup ini terbuat dari bambu tipis atau talang (Schizostachyum brachycladum
Kurz). Orang Minangkabau percaya bahwa bahan yang paling bagus untuk dibuat saluang
berasal dari talang untuk jemuran kain atau talang yang ditemukan hanyut di sungai[1]. Alat
ini termasuk dari golongan alat musik suling, tapi lebih sederhana pembuatannya, cukup
dengan melubangi talang dengan empat lubang. Panjang saluang kira-kira 40-60 cm, dengan
diameter 3-4 cm. Adapun kegunaan lain dari talang adalah wadah untuk membuat lamang
(lemang), salah satu makanan tradisional Minangkabau. dalam mebuat saluang ini kita harus
menentukan bagian atas dan bawahnya terlebih dahulu untuk menentukan pembuatan lubang,
kalau saluang terbuat dari bambu, bagian atas saluang merupakan bagian bawah ruas bambu.
pada bagian atas saluang diserut untu dibuat meruncing sekitar 45 derajat sesuai ketebalan
bambu. untuk membuat 4 lubang pada alat musik tradisional saluang ini mulai dari ukuran
2/3 dari panjang bambu, yang diukur dari bagian atas, dan untuk lubang kedua dan seterusnya
berjarak setengah lingkaran bambu. untuk besar lubang agar menghasilkan suara yang bagus,
haruslah bulat dengan garis tengah 0,5 cm.

Upacara Tabuik

\Tabuik (Indonesia: Tabut) adalah perayaan lokal dalam rangka memperingati


Asyura, gugurnya Imam Husain, cucu Muhammad, yang dilakukan oleh masyarakat
Minangkabau di daerah pantai Sumatera Barat, khususnya di Kota Pariaman. Festival ini
termasuk menampilkan kembali Pertempuran Karbala, dan memainkan drum tassa dan dhol.
Tabuik merupakan istilah untuk usungan jenazah yang dibawa selama prosesi upacara
tersebut. Walaupun awal mulanya merupakan upacara Syi'ah, akan tetapi penduduk terbanyak
di Pariaman dan daerah lain yang melakukan upacara serupa, kebanyakan penganut Sunni. Di
Bengkulu dikenal pula dengan nama Tabot.

Upacara melabuhkan tabuik ke laut dilakukan setiap tahun di Pariaman pada 10


Muharram sejak 1831.[1] Upacara ini diperkenalkan di daerah ini oleh Pasukan Tamil
Muslim Syi'ah dari India, yang ditempatkan di sini dan kemudian bermukim pada masa
kekuasaan Inggris di Sumatera bagian barat.[1].
Tari Piring

Tari Piring atau dalam bahasa Minangkabau disebut dengan Tari Piriang adalah
salah satu seni tari tradisional di Minangkabau yang berasal dari kota Solok, provinsi
Sumatera Barat. Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piring sebagai media utama.[1]
Piring-piring tersebut kemudian diayun dengan gerakan-gerakan cepat yang teratur, tanpa
terlepas dari genggaman tangan[2]. Tari Piring merupakan sebuah simbol masyarakat
Minangkabau. Di dalam tari piring gerak dasarnya terdiri daripada langkah-langkah Silat
Minangkabau atau Silek.[3]

Setelah masuknya agama Islam ke Minangkabau, tradisi tari piring tidak lagi
digunakan sebagai ritual ucapan rasa syukur kepada dewa-dewa[5]. Akan tetapi, tari tersebut
digunakan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat banyak yang ditampilkan pada acara-acara
keramaian. Gerakan tari piring pada umumnya adalah meletakkan dua buah piring di atas dua
telapak tangan yang kemudian diayun dan diikuti oleh gerakan-gerakan tari yang cepat, dan
diselingi dentingan piring atau dentingan dua cincin di jari penari terhadap piring yang
dibawanya. Pada akhir tarian, biasanya piring-piring yang dibawakan oleh para penari
dilemparkan ke lantai dan kemudian para penari akan menari di atas pecahan-pecahan piring
tersebut[6].

Tari Payung
Tari payung adalah tarian yang melambangkan kasih sayang.[1]Tarian ini dilakukan
dengan menggunakan payung sebagai instrument pelengkap.[2]Tarian yang berasal dari
Minangkabau, Sumatera Barat ini biasanya dilakukan oleh 3-4 orang penari yang dilakukan
secara berpasangan antara pria dan wanita.[1]Tarian ini mencerminkan pergaulan muda-
mudi, sehingga penggunaan payung ini betujuan untuk melindungi mereka dari hal-hal
negatif.[3]Tarian ini biasa dibawakan pada saat pembukaan suatu acara pesta,pameran atau
bentuk kegiatan lainnya.[4]
Randai Padang Panjang

Makna dari tari ini adalah wujud perlindungan dan kasih sayang seorang kekasih
kepada pasangannya atau suami kepada istrinya dalam membina kehidupan rumah tangga
agar selalu bahagia dan sentosa. [5] [6] [4]Bentuk perlindungan ini tidak diartikan melalui
gerakan para penari pria dan wanita, karena gerakan ini telah dimodifikasi sesuai dengan
perkembangan zaman.[1]Tapi, makna tarian ini dilambangkan dengan properti yang
digunakan berupa payung untuk pria dan selendang untuk wanita.[3]Payung dilambangkan
sebagai bentuk perlindungan pria sebagai pilar utama dalam keluarga.[6]Si penari pria akan
melindungi kepala penari wanita.[1]Sedangkan, selendang khas Padang dilambangkan
sebagai ikatan cinta suci yang kuat dan penuh akan kesetiaan dari seorang wanita serta
kesiapannya dalam membangun rumah tangga

Rumah Gadang

Rumah adat ini memiliki keunikan bentuk arsitektur dengan bentuk puncak atapnya
runcing yang menyerupai tanduk kerbau dan dahulunya dibuat dari bahan ijuk yang dapat
tahan sampai puluhan tahun,[3] namun belakangan atap rumah ini banyak berganti dengan
atap seng. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua
bahagian, muka dan belakang. Bagian depan dari Rumah Gadang biasanya penuh dengan
ukiran ornamen dan umumnya bermotif akar, bunga, daun serta bidang persegi empat dan
genjang[1]. Sedangkan bagian luar belakang dilapisi dengan belahan bambu. Rumah
tradisional ini dibina dari tiang-tiang panjang, bangunan rumah dibuat besar ke atas, namun
tidak mudah rebah oleh goncangan[1], dan setiap elemen dari Rumah Gadang mempunyai
makna tersendiri yang dilatari oleh tambo yang ada dalam adat dan budaya masyarakat
setempat.

Anda mungkin juga menyukai