Anda di halaman 1dari 18

BAB II

STUDI LITERATUR

A. Kemampuan Penalaran Matematik

Penalaran dan matematika adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan

karena matematika dipahami melalui penalaran, sedangkan penalaran dipahami

dan dilatihkan melalui belajar matematika. Penalaran menjadi sangat dibutuhkan

oleh siswa karena kemampuan bernalar dapat memudahkan siswa untuk

mengerjakan soal-soal di kehidupan sehari-hari dimanapun mereka berada.

Bernalar berarti melakukan percobaan di dalam pikiran dengan hasil pada setiap

langkah dalam untaian percobaan itu telah diketahui oleh penalar dari pengalaman

tersebut.

Lengeot (Sariningsih, 2014:214) berpendapat, “Penalaran sebagai proses

berpikir yang memuat kegiatan menarik kesimpulan berdasarkan data dan

peristiwa yang ada”. Shurter dan Pierce (Arsefa, 2014:271) mengatakan,

“Penalaran sebagai porses berpikir menarik kesimpulan. Kemampuan penalaran

berlangsung ketika seseorang berpikir tentang suatu masalah atau menyelesaikan

masalah. Bila objeknya berupa masalah atau idea matematik maka penalaran

tersebut dinamakan penalaran matematik”.

Secara garis besar ditinjau dari cara penarikan kesimpulannya, penalaran

matematik digolongkan dalam dua jenis yaitu penalaran induktif dan penalaran

deduktif. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Sumarmo (2012:348),

“Secara garis besar penalaran matematik (mathematical reasoning) dapat

diklasifikasikan dalam dua jenis yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif.

13
14

Penalaran induktif adalah penalaran yang berdasarkan contoh-contoh terbatas

yang teramati. Sedangkan penalaran deduktif adalah penalaran yang didasarkan

pada aturan yang disepakati”.

Beberapa jenis penalaran induktif adalah: transduktif, analogi,

generalisasi; memperkirakan jawaban, solusi atau kecenderungan, interpolasi dan

ekstrapolasi; memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola

yang ada; menggunakan pola hubungan, menganalisa dan mensintesa beberapa

kasus, dan menyusun konjektur. Beberapa kegiatan yang termasuk penalaran

deduktif di antaranya adalah: melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau

rumus tertentu; menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi,

memeriksa validitas argumen, melakukan analisa dan sintesa beberapa kasus,

menyusun pembuktian langsung, pembukltian tak langsung dan pembuktian

dengan induksi matematika. Nilai kebenaran dalam penalaran deduktif bersifat

mutlak benar atau salah dan tidak keduanya bersama-sama.

Jadi, kemampuan penalaran adalah kemampuan untuk melakukan proses

berpikir yang memuat kegiatan menarik kesimpulan berdasarkan data dan

peristiwa yang ada.

Sumarmo (2013:129) memberikan indikator kemampuan yang termasuk

pada kemampuan penalaran matematik yaitu:

1) Menarik kesimpulan logis, 2) Memberikan penjelasan terhadap model,

fakta,sifat, hubungan atau pola, 3) Memperkirakan jawaban dan proses solusi, 4)

Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, atau membuat analogi,

generalisasi, dan menyusun konjektur, 5) Mengajukan lawan contoh, 6) Mengikuti


15

aturan inferensi, memeriksa validitas argument, membuktikan dan menyusun

argument yang valid, dan 7) Menyusun pembuktian langsung, tak langsung, dan

pembuktian dengan induksi matematika.

B. Kemampuan Berpikir Kreatif

Berpikir matematik berarti melaksanakan kegiatan atau proses

matematika (doing math) atau tugas matematika (mathematical test). Ditinjau dari

kedalaman atau kekompleksan kegiatan matematik yang terlibat, berpikir

matematik dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu tingkat rendah (low order

mathematical thinking) dan tingkat tinggi (high order mathematical thinking).

Berpikir matematik tingkat rendah atau berpikir matematik rutin diantaranya

adalah melaksanakan operasi hitung sederhana, menerapkan rumus matematik

secara langsung, dan mengikuti prosedur (algoritma) yang baku. Sedangkan

berpikir matematik tingkat tinggi atau berpikir matematik non-rutin diantaranya

adalah memahami idea matematika secara lebih mendalam, mangamati data dan

menggali idea yang tersirat, menyusun konjektur, analogi, generalisasi, menalar

secara logis, menyelesaikan masalah (problem solving), berkomunikasi secara

matematik dan mengaitkan ide matematika dengan kegiatan intelektual lainnya.

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa berpikir kreatif termasuk ke dalam berpikir

matematik tingkat tinggi.

Krulick dan Rudnick (Darusman, 2014:166) menyatakan, “Kemampuan

berpikir kreatif merupakan suatu kemampuan berpikir original dan refleksif serta

menghasilkan sesuatu yang kompleks termasuk mensintesiskan gagasan-gagasan,


16

memunculkan ide-ide baru,menentukan efektivitas suatu gagasan,mampu

membuat keputusan dan memunculkan generalisasi”.

Berpikir kreatif pada matematik mengacu pada pengertian berpikir

kreatif secara umum. Bishop (Ramadan, 2017:8) mengemukakan, “Seseorang

memerlukan 2 model berpikir berbeda yang komplementer dalam matematika,

yaitu berpikir kreatif yang bersifat intuitif dan berpikir analitik yang bersifat

logis”.

Torrance (Adirakasiwi, 2014:304) mengeluarkan pendapat,

Berpikir kreatif adalah sebuah proses menjadi sensitif pada atau


sadar akan masalah-masalah, kekurangan, dan celah-celah di dalam
pengetahuan yang untuknya tidak ada solusi yang dipelajari,
membawa serta informasi yang ada dari gudang memori atau
sumber-sumber eksternal; mendefinisikan kesulitan atau
mengidentifikasi unsur-unsur yang hilang; mencari solusi-soluis,
menduga, menciptakan alternatif-alternatif untuk menyelesaikan
masalah, menguji dan menguji kembali alternatif-alternatif
tersebut; menyempurnakannya dan akhirnya mengkomunikasikan
hasil-hasilnya.

Sumarmo (2012:123) berpendapat,

Berpikir kreatif adalah berbagai cara melihat atau melakukan


sesuatu yang diklasifikasikan dalam empat komponen yaitu: (a)
Berpikir lancar (Fluency) membuat berbagai ide, (b) Berpikir luwes
(Flexibility) menghasilkan gagasan, atau pertanyaan yang
bervariasi, dapat melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda,
(c) Berpikir orisinal (Originality) melahirkan gagasan baru yang
unik, (d) Elaborasi (Elaboration) membangun sesuatu dari ide-ide
lainnya.

Jadi kemampuan berpikir kreatif adalah berpikir untuk menghasilkan

gagasan dan produk baru, melihat suatu pola atau hubungan baru antara suatu hal

dan hal lainnya yang semula tidak nampak yaitu menemukan cara-cara baru untuk
17

mengungkapkan suatu hal, menggabungkan gagasan-gagasan yang ada untuk

menghasilkan gagasan yang baru dan lebih baik.

Sedangkan Munandar (Huludu, 2013:5) mengemukakan indikator

kemampuan berpkir kreatif,

1. Keterampilan Berpikir Lancar (Fluency)


Ciri-ciri keterampilan berpikir lancar adalah mencetuskan banyak ide,
jawaban, penyelesaian masalah, atau pertanyaan, memberikan banyak
cara atau saran untuk melakukan berbagai hal , selalu memikirkan
lebih dari satu jawaban.
2. Keterampilan Berpikir Luwes (Flexibility)
Ciri berpikir luwes adalah menghasilkan gagasan, jawaban, atau
pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah dari sudut
pandang yang berbeda-beda, mencari banyak alternative atau arah
yang berbeda-beda, mampu mengubah cara pendekatan atau cara
pemikiran.
3. Keterampilan Berpikir Orisinil Kebaruan (Originality)
Ciri-ciri berpikir orisinil adalah mampu melahirkan ungkapan yang
berbeda dan unik, memikirkan cara yang tidak lazim untuk
mengungkapkan diri, mampu membuat kombinasi yang tidak lazim
dari bagian-bagian atau unsur-unsur.
4. Keterampilan Memperinci (Elaboration)
Ciri-ciri keterampilan memperinci adalah mmpu memperkaya dan
mengembangkan suatu gagasan atau produk, menambahkan atau
memperinci secara detil subjek, gagasan atau situasi sehingga menjadi
lebih menarik.

C. Minat Belajar
Minat dengan prestasi belajar berkorelasi positif tetapi rendah. Meskipun

berkolerasi rendah, bila kita belajar sesuatu sebaiknya kita berminat

mengerjakannya. Berminat terhadap sesuatu itu mungkin karena kita melihat

kegunaanya, karena senang atau karena menarik perhatian. Agar siswa itu tertarik

atau berminat terhadap matematika paling tidak siswa harus dapat melihat

kegunaannya, melihat keindahannya atau karena matematika itu menantang. Guru

semestinya memberikan informasi yang cukup secukupnya agar siswa dapat


18

melihat kegunaan matematika. Mengingat korelasi antara minat dan keberhasilan

belajar itu walaupun kecil, ada dan positif, faktor-faktor penyebab timbulnya

minat itu semestinya ditumbuhsuburkan.

Sukardi (Riadi, 2012:1) mengemukakan, “Minat belajar adalah suatu

kerangka mental yang terdiri dari kombinasi gerak perpaduan dan campuran dari

perasaan, prasangka, cemas dan kecenderungan-kecenderungan lain yang biasa

mengarahkan individu kepada suatu pilihan tertentu”.

Minat dapat timbul dari luar maupun dari dalam diri siswa. Salah

satunya adalah kondisi kesehatan dan kondisi mental siswa. Siswa yang kondisi

kesehatannya mengalami gangguan tidak akan memiliki keinginan untuk belajar,

karena seluruh potensi tubuhnya digunakan untuk menahan rasa sakit yang

diderita. Demikian pula dengan kesehatan mental, yang secara langsung akan

mengganggu minat belajar. Jika siswa tidak menyukai dengan guru matematika

maka kemungkinan besar siswa tersebut akan membenci pelajaran matematika

dan enggan untuk belajar matematika begitu juga sebaliknya.

Campbell (Riadi, 2012:1) berpendapat,

Usaha yang dapat dilakukan untuk membina minat anak agar menjadi lebih
produktif dan efektif antara lain sebagai berikut: 1) memperkaya ide atau gagasan,
2) memberikan hadiah yang merangsang, 3) berkenalan dengan orang-orang yang
kreatif, 4) petualangan dalam arti berpetualangan ke alam sekeliling secara sehat,
5) mengembangkan fantasi, 6) melatih sikap positif.

Minat tidak langsung dimiliki seseorang sejak lahir melainkan minat

diperoleh di kemudian. Minat itu dipelajari dan mempengaruhi sesuatu hal. Jadi

minat terhadap sesuatu merupakan hasil belajar dan mendukung proses belajar

suatu hal. Mengembangkan minat terhadap sesuatu pada dasarnya membantu


19

siswa melihat bagaimana hubungan antara materi yang diharapkan untuk

dipelajarinya dengan dirinya sendiri sebagai individu. Hal ini berarti menunjukkan

pada siswa bagaimana pengetahuan atau kecakapan tertentu akan mempengaruhi

dirinya, membantu ia mencapai tujuan-tujuannya, dan memberikan kepuasan jika

kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi. Bila siswa menyadari bahwa hakikat belajar

itu untuk mencapai tujuan dan menyadari bahwa hasil belajar akan membawa

dirinya menjadi lebih baik, kemungkinan besar siswa akan berminat untuk

mempelajari sesuatu.

Jadi, minat belajar adalah sesuatu yang dapat timbul baik dari dalam

maupun luar berupa ketertarikan terhadap sesuatu yang harus

ditumbuhkembangkan dengan berbagai cara agar dapat melakukan sesuatu

terutama belajar menjadi lebih produktif dan efektif.

D. Metode Discovery Learning melalui Pendekatan Reciprocal Teaching

Prinsip belajar sepanjang hayat memberikan pengertian bahwa belajar

tidak terbatas di lingkungan sekolah formal dan pada anak usia sekolah, tetapi

belajar berlangsung sejak anak masih kecil sampai akhir hayat. Ruang belajar juga

tidak hanya sebatas dengan materi belajar di sekolah atau di lembaga pendidikan

namun sangat luas dalam lingkungan kehidupan sehari-hari.

Dalam pembelajaran matematika siswa tidak hanya dituntut untuk

mampu mengerjakan soal, tetapi lebih dari itu siswa harus memahami soal yang

dia kerjakan karena pembelajaran matematika pada hakikatnya adalah untuk

mempersiapkan siswa agar mampu menyelesaikan berbagai masalah matematika


20

dalam kehidupan nyata. Untuk mempersiapkan hal tersebut guru dituntut untuk

meningkatkan berbagai kemampuan siswa. Kemampuan dasar matematika di atas

pada dasarnya tercantum dalam tujuan pembelajaran matematika menurut

Sumarmo (2013:30),

a. Memahami konsep matematika (pemahaman matematik),


menjelaskan keterkaitan antar konsep (koneksi matematik) dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat,
efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah,
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan
manipulasi matematika dalam membuat generalisas, menyusun
bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
(penalaran matematik),
c. Memecahkan masalah (pemecahan masalah matematik),
d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah (komunikasi
matematik), dan
e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam
kehidupan, sikap rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.

Berpandangan pada tujuan pembelajaran tersebut maka perlu

diadakannya langkah-langkah untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut.

Salah satu langkahnya adalah dengan menggunakan metode yang tepat.

Pemilihan metode harus disesuaikan dengan berbagai aspek seperti materi,

lingkungan siswa, sarana dan prasarana serta aspek lain yang terlibat dalam

pembelajaran matematika.

Menurut Riyanto (Taniredja, 2011:1), “Metode pembelajaran adalah

seperangkat komponen yang telah dikombinasikan secara optimal untuk kualitas

pembelajaran”. Dalam pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dengan teori

pembelajaran yang meliputi situasi dan hasil pembelajaran. Dimana situasi

pembelajaran meliputi hasil dan kondisi pembelajaran sedangkan hasil


21

pembelajaran merupakan efek dari setiap metode pembelajaran. Pemilihan metode

pembelajaran tergantung dari strategi belajar mengajar yang telah dipilih agar

proses belajar mengajar lebih efektif dan efisien. Metode pembelajaran yang

diterapkan dikatakan efektif bila menghasilkan sesuatu sesuai dengan yang

diharapkan. Sedangkan metode pembelajaran dikatakan efisien bila penerapannya

dalam menghasilkan sesuatu yang diharapkan itu relatif menggunakan tenaga,

usaha, pengeluaran biaya dan waktu minimum.

Discovery Learning adalah contoh metode yang tepat digunakan dalam

pembelajaran matematika. Terlebih pada kurikulum 2013 metode Discovery

Learning menjadi salah satu metode yang wajib digunakan karena metode ini

cocok untuk menyelesaikan masalah tidak rutin atau soal-soal yang dituntut untuk

berpikir tingkat tinggi dimana kurikulum 2013 diharapkan dapat menghasilkan

lulusan yang produktif, kreatif, inovatif, melalui penguatan sikap, keterampilan,

dan pengetahuan.

Amin (Rahman, 2014:40) mengemukakan, “Suatu kegiatan “discovery

atau penemuan” ialah suatu kegiatan atau pembelajaran yang dirancang

sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-

prinsip melalui proses mentalnya sendiri. Dalam hal ini penemuan terjadi apabila

siswa dalam proses mentalnya seperti mengamati, menggolongkan, membuat

dugaan, mengukur, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk

menemukan beberapa konsep atau prinsip”.

Kondisi seperti ini merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher

oriented (berpusat pada guru) menjadi student oriented (berpusat pada siswa)
22

karena dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk

akhir, namun peserta didik dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan

menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis,

mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan.

Sebagaimana pendapat Bruner (Setiawan, 2016:12), ”Discovery

Learning can be defined as the learning that takes place when the student is not

presented with subject matter in the final form, but rather is required to organized

it him self”. Ide dasar dari pendapat Bruner adalah dari pendapat Piaget yang

menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas dan

mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal dengan baik adanya

perbedaan kemampuan.

Lebih lanjut lagi menurut Bruner, Discovery Learning atau belajar

menemukan memandang bahwa manusia sebagai pemroses, pemikir dan pencipta

informasi. Konsep ini menjelaskan bahwa prinsip pembelajaran harus

memperhatikan perubahan kondisi internal siswa yang terjadi selama pengalaman

belajar diberikan di kelas yang bersifat penemuan dan memungkinkan siswa dapat

memperoleh informasi dan keterampilan baru dari pelajaran sebelumnya.

Discovery learning itu sendiri bertitik tolak pada teori belajar kognitif, yang menyatakan

belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Asumsi dasar teori kognitif ini adalah

setiap orang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam dirinya yang tertata

dalam bentuk struktur kognitif.

Ruseffendi (1991: 329) mengemukakan, “Metode discovery adalah

metode mengajar yang diatur sedemikian rupa sehingga siswa memperoleh

pengetahuan yang sebelumnya belum diketahuinya itu tidak melalui


23

pemberitahuan, dimana sebagian atau seluruh pengetahuan ditemukan sendiri

dengan bantuan guru”. Diharapkan, jika siswa secara aktif terlibat didalam

menemukan suatu prinsip dasar sendiri, Ia akan memahami konsep lebih baik,

ingat lama dan akan mampu menggunakannya kedalam konteks yang lain. Berikut

prosedur model penemuan (Discovery) menurut Prasetya (Persada, 2016:26),

1. Stimulation
Guru mengajukan persoalan atau menyuruh peserta didik membaca
atau uraian yang memuat permasalahan.
2. Problem Statement
Anak didik diberi kesempatan mengidentifikasi berbagai
permasalahan, sebagian besar memilihnya yang dipandang paling
menarik dan fleksibel untuk dipecahkan. Permasalahan yang dipilih
ini selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan atau
hipotesis, yaitu jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.
3. Data Collection
Untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya
hipotesis ini,siswa diberi kesempatan untuk mengumpilkan data.
4. Data Prosesing
Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, diklasifikasi,
ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta
ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu.
5. Verification
Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran atau informasi yang ada,
pertanyaan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu
kemudian dicek apakah terjawab atau tidak.
6. Generalitation
Tahap selanjutnya berdasarkan hasil verifikasi tadi, siswa belajar
menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu.

Sedangkan menurut Anitah (Wulandari, 2015:8), “Pembelajaran Discovery

Learning mempunyai langkah-langkah sebagai berikut :

1. Identifikasi masalah.

2. Mengembangkan kemungkinan solusi (hipotesis).

3. Pengumpulan data.

4. Analisis dan interpretasi data.


24

5. Uji kesimpulan.

Lebih lanjut, Krisna (2015:2006) menyebutkan langkah-langkah

Discovery Learning yaitu :

1. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan)

2. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah)

3. Data collection (pengumpulan data).

4. Data processing (pengolahan data)

5. Verification (pembuktian).

Beberapa keunggulan model penemuan diungkapkan oleh Suherman

(Krisna, dkk 2015:25) sebagai berikut :

1. Siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berfikir dan


menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil akhir.
2. Siswa memahami benar bahan pelajarannya, sebab mengalami
sendiri proses menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan
cara ini lebih lama untuk diingat.
3. Menemukan sendiri bisa menimbulkan rasa puas. Kepuasan
bathin ini mendorongnya untuk melakukan penemuan lagi
sehingga minat belajarnya meningkat.
4. Siswa yang memperoleh pengetahuan dengan model penemuan
akan lebih mampu mentransfer pengetahuannya ke berbagai
konteks.
5. Model ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri.

Selain memiliki beberapa keuntungan, model discovery (penemuan)

juga memiliki beberapa kelemahan, di antaranya:

1. Membutuhkan waktu belajar yang lebih lama dibandingkan


dengan belajar menerima.
2. Untuk mengurangi kelemahan tersebut, bantuan guru
diperlukan. Bantuan guru dapat dimulai dengan mengajukan
beberapa pertanyaan dan memberikan informasi secara
25

singkat. Pertanyaan dan informasi tersebut dapat dimuat dalam


lembar kerja siswa (LKS) yang telah disediakan oleh guru
sebelum pembelajaran dimulai.

Selain menggunakan metode yang tepat dalam mencapai hasil belajar

matematik siswa, pemilihan pendekatan pembelajaran yang tepat juga sangat

diperlukan. Ruseffendi (2006:240) mengemukakan,

Pendekatan adalah suatu jalan, cara atau kebijaksanaan yang


ditempuh oleh guru atau siswa dalam pencapaian tujuan pengajaran
terlihat dilihat dari sudut bagaimana proses bagaimana pengajaran
atau materi pengajaran itu, umum atau khusus, dikelola. Terdapat
pendekatan-pendekatan dalam pengajaran, khususnya pengajaran
matematika, yang perlu kita ketahui mengingat pendekatan-
pendekatan itu sering diucapkan dan dipakai, seperti CBSA,
pemecahan masalah, induktif, deduktif, spiral, laboratorium, dan
terpadu. Pendekatan itu bukan strategi belajar-mengajar, juga
bukan metode mengajar.

Sedangkan Huda (2013:184) berpendapat, “Pendekatan pembelajaran

bisa dipahami sebagai cara-cara yang ditempuh oleh seorang pembelajar untuk

bisa belajar dengan efektif”. Melalui pendekatan pembelajaran, siswa disajikan

semacam scaffolding yang memungkinkan mereka untuk bertanggung jawab pada

pemahamannya sendiri. Yang terpenting dari asumsi ini adalah “belajar

bagaimana belajar” (learning how to learn) dan mengembangkan kesadaran dalam

diri individu siswa tentang strategi belajar dan proses berpikir efektif. Pendekatan-

pendekatan itu antara lain pendekatan organisasional, pendekatan kolaboratif,

pendekatan komunikatif, pendekatan informatif, pendekatan reflektif serta

pendekatan berpikir dan berbasis masalah.

Pendekatan Reciprocal Teaching termasuk dalam pendekatan

komunikatif. Terlebih dari itu Huda (2013:216) juga mengemukakan,

“Pendekatan pembelajaran yang berbasis komunikasi memungkinkan siswa untuk


26

mampu membaca dan menulis dengan baik, belajar dengan orang lain,

menggunakan media, menerima informasi, dan menyampaikan informasi”.

Pendekatan pembelajaran ini dimunculkan oleh Palinscar tahun 1986

(Hendriana & Afrilianto, 2014:116), “Seorang siswa dapat saja membaca

sekumpulan huruf yang membentuk kata namun ternyata untuk memahami makna

dari teks yang dibacanya tidak semudah melafalkan bacaan tersebut”. Inilah

masalah yang melatar belakangi kemunculan pendekatan Reciprocal Teaching.

Reciprocal Teaching bertujuan untuk mendorong siswa mengembangkan skill-

skill yang dimiliki oleh pembaca dan pembelajar efektif, seperti merangkum,

bertanya, mengklarifikasi, memprediksi, dan merespons apa yang dibaca. Siswa

menggunakan empat strategi pemahaman berikut ini, baik secara berpasangan

maupun dalam kelompok kecil. Reciprocal Teaching bisa diterapkan untuk materi

pembelajaran fiksi, non-fiksi, prosa atau puisi (Huda, 2013:216).

Menurut Arends (Hendriana, 2002:15), “Reciprocal Teaching adalah

suatu pembelajaran yang dirancang untuk mengajarkan kepada siswa tentang

strategi kognitif dalam memahami bacaan (bahan ajar dan soal-soal), dengan

baik”. Selanjutnya Sudrajat (2006:30) berpendapat, “Reciprocal Teaching

mengacu pada sekumpulan kondisi belajar yang menempatkan anak untuk

mengalami sekumpulan kegiatan kognitif tertentu dan serta perlahan melakukan

fungsi-fungsi itu sendiri”.

Suyatno (2009:64) mengatakan, “Reciprocal Teaching merupakan

metode pengajaran berdasarkan prinsip-prinsip pengajuan pertanyaan, yang mana

keterampilan-keterampilan metakognitif diajarkan melalui pengajaran langsung


27

dan pemodelan oleh guru untuk memperbaiki kinerja membaca siswa yang

pemahaman membacanya rendah”. Dalam pembelajaran harus memperhatikan

empat hal, yaitu bagaimana siswa belajar, mengingat, berpikir, dan memotivasi,

pendekatan Reciprocal Teaching juga merupakan suatu pendekatan terhadap

pengajaran siswa akan strategi-strategi belajar. Sedangkan menurut Amalia

(Hendriana & Afrilianto, 2014:116), “Reciprocal Teaching adalah suatu

pendekatan pembelajaran yang menerapkan empat strategi pemahaman mandiri,

yaitu menyimpulkan bahan ajar, menyusun pertanyaan dan menyelesaikannya,

menjelaskan kembali pengetahuan yang telah diperoleh, kemudian memprediksi

pertanyaan selanjutnya dari persoalan yang disodorkan kepada siswa”.

Menurut Palincsar dan Brown (Gita, 2014:5) “Dalam Reciprocal

Teaching, ditanamkan empat strategi pemahaman mandiri kepada para siswa

yaitu: 1) Merangkum atau meringkas bahan ajar (Summarizing),

2)Menyusun pertanyaan dan menyelesaikannya (Questioning),

3)Mengklarifikasi pengetahuan yang telah diperoleh (Clarifying),

4)Memprediksi materi selanjutnya (Predicting)”. Suyitno (Riadi, 2017:1)

menyebutkan, “Langkah-langkah dalam pembelajaran Reciprocal Teaching

adalah: 1) Mengelompokkan siswa dan diskusi kelompok, 2) Membuat pertanyaan

(Quetion Generation), 3) Menyajikan hasil kerja kelompok, 4) Mengklarifikasi

permasalahan (Clarifying)”. Sementara Huda (2013:216) mengemukakan, “Sintak

Reciprocal Teaching pada pelaksanaan pembelajaran adalah: 1) Merangkum

(Summarising), 2) Menanya (Questioning), 3) Mengklarifikasi (Clarifying), dan

4) Menduga (Predicting).”
28

Langkah-langkah menurut para ahli di atas adalah inti dari Reciprocal

Teaching yang harus diperhatikan oleh pengajar sebagai pengontrol proses

pembelajaran. Jika diperhatikan dengan jelas maka pembelajaran dapat lebih

maksimal dan meminimalisir kelemahan yang ada dalam pembelajaran.

Menurut Hendriana & Afrilianto (2014:118),


Kelebihan pendekatan Reciprocal Teaching,
1. Melatih kemampuan siswa belajar mandiri, sehingga siswa
dalam belajar mandiri dapat ditingkatkan.
1. Melatih siswa untuk menjelaskan kembali materi yang
dipelajari kepada pihak lain. Dengan demikian, dapat melatih
siswa untuk berani tampil dan berbicara di depan umum.
2. Mempertinggi kemampuan siswa untuk berpikir secara
kreatif.
Kekurangan pendekatan Reciprocal Teaching,
1. Dalam pelaksanaannya membutuhkan waktu yang relatif
lama.
2. Guru tidak tahu siswa mana yang belum paham.”

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa metode Discovery Learning

melalui pendekatan Reciprocal Teaching adalah metode pembelajaran yang

berpusat pada siswa yang berbasis komunikasi dengan menekankan pada empat

pemahaman mandiri siswa (merangkum bacaan, mengajukan pertanyaan,

memprediksi materi lanjutan dan mengklarifikasi materi lanjutan dan istilah yang

sulit dipahami) yang merangsang siswa untuk menemukan konsep

pengetahuannya sendiri.

Jadi langkah-langkah metode Discovery Learning melalui pendekatan

Reciprocal Teaching adalah:

1. Guru memberikan stimulasi/rangsangan dengan mengajukan

masalah kepada siswa (Stimulation) kemudian siswa melakukan

kegiatan merangkum (summarising),


29

2. Siswa mengidentifikasi permasalahan dan merumuskan hipotesis

(Problem statement) dengan cara memprediksi jawaban siswa,

3. Siswa mengumpulkan data untuk menguji hipotesis (Data

collection) kemudian siswa membuat pertanyaan yang serupa

namun lebih sukar lagi,

4. Siswa mengklasifikasi, mentabulasi atau menghitung data yang telah dia

peroleh (Data processing),

5. Siswa membuktikan hipotesis mereka apakah terjawab atau tidak

(Verification), kemudian siswa bersama guru mengklarifikasikan

permasalahan-permasalahan yang sulit dipahami (clarification),

6. Siswa belajar menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu

(Generalitation).

E. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan studi literatur, hipotesis dalam

penelitian ini adalah:

1. Kemampuan penalaran matematik siswa SMA yang pembelajarannya

menggunakan metode Discovery Learning lebih baik daripada siswa yang

menggunakan pembelajaran biasa.

2. Kemampuan berpikir kreatif matematik siswa SMA yang pembelajarannya

menggunakan metode Discovery Learning lebih baik daripada siswa yang

menggunakan pembelajaran biasa.

3. Kemampuan penalaran matematik siswa SMA yang pembelajarannya

menggunakan metode Discovery Learning melalui pendekatan Reciprocal


30

Teaching lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran

biasa.

4. Kemampuan berpikir kreatif matematik siswa SMA yang pembelajarannya

menggunakan metode Discovery Learning melalui pendekatan Reciprocal

Teaching lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran

biasa.

5. Minat belajar matematik siswa SMA yang pembelajarannya menggunakan

metode Discovery Learning melalui pendekatan Reciprocal Teaching lebih

baik daripada siswa yang menggunakan metode Discovery Learning saja.

6. Kaitan antara:

a. Kemampuan penalaran dan berpikir kreatif matematik siswa.

b. Kemampuan penalaran dan minat belajar matematik siswa.

c. Kemampuan berpikir kreatif dan minat belajar matematik siswa.

Anda mungkin juga menyukai