Patobiologi Aneurisma Intrakranial
Patobiologi Aneurisma Intrakranial
1
A. Pendahuluan.
Aneurisma didefinisikan sebagai suatu pelebaran atau dilatasi dari pembuluh darah.
Bentuk yang paling sering dari aneurisma intrakranial adalah aneurisma arterial sakuler yang
merupakan proses degeneratif progresif yang mengenai dinding arteri. Ruptur aneurisma
sakuler merupakan masalah kesehatan yang cukup serius dan sering didapatkan. Berdasarkan
hasil otopsi dan pemeriksaan angiografi, sekitar 5% sampai 6% individu memiliki aneurisma
intrakranial. Rasio antara aneurisma yang ruptur dengan yang tidak ruptur berkisar antara 5:3
sampai 5:6. Prevalensi aneurisma rendah selama 2 dekade pertama kehidupan dan meningkat
setelah dekade ketiga. Hanya 2% aneurisma yang muncul pada masa kanak-kanak. Proses
aneurisma pada arteri yang memperdarahi susunan saraf pusat dapat diklasifikasikan
berdasarkan bentuknya (sakuler, fusiform dan dissecting), ukurannya (non-giant atau giant,
dengan diameter maksimal > 2,5 cm), tipe pembuluh darah (arteri atau vena), penyebabnya
(didapat atau familial/genetik), proses penyakit yang mendasarinya (infeksi traumatik,
inflamasi, neoplastik) dan lokasinya (intrakranial, basis kranii, ekstrakranial, spinal dan
sistemik). Klasifikasi yang lebih detail dijelaskan pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Klasifikasi Aneurisma Pada Susunan Saraf Pusat.
1. Acquired (biasanya bentuk sakuler)
A. Tidak berhubungan dengan penyakit sistemik
B. Berhubungan dengan penyakit sistemik
(i). Aneurisma intracranial familial
(ii). Penyakit ginjal polikistik
(iii). Koarktasio aorta
(iv). Displasia fibromuskuler
(v). Penyakit genetik yang jarang: Marfan’s, Ehler-Danlos, teleangiektasia hemoragik
herediter, Anderson-Fabry.
2. Aneurisma khusus
A. Non sakuler
a. Fusiform
1
b. Dissecting
c. Traumatik
d. Infektif :
i. Bacterial
ii. Fungal
iii. Spirochetal
iv. Amebic
e. Inflamasi
i. Lupus eritematosus
ii. Poliarteritis nodosa
iii. Aortitis
iv. Arteritis giant-cell
v. Arteritis non-spesifik
f. Neoplastik
i. Metastatik
ii. Contiguous infiltrative
iii. Berhubungan dengan tumor
g. Mikroaneurisma intraparenkimal (Charcot-Bouchard)
h. Aortik
B. Sakuler
a. Spinal
b. Giant
2
Arteri intrakranial lebih rentan daripada arteri ekstrakranial untuk mengalami
aneurisma karena dindingnya lebih tipis, mengandung lebih sedikit elastin pada tunika media
dan adventisia, tunika media memiliki sel otot lebih sedikit dan tidak didapatkan lamina
elastika eksterna. Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa pembuluh darah otak besar yang
berjalan di ruang subarakhnoid memiliki jaringan penyokong eksternal yang lebih kecil.
Ferguson menyatakan bahwa aneurisma serebral terjadi akibat degenerasi arteri yang
diinduksi proses mekanik. Stres hemodinamik maksimal terjadi pada apex dan bifurkasio
arteri. Ketidakseimbangan antara kekuatan arteri pada bifurkasio utama dan stress
hemodinamik yang terjadi padanya menyebabkan degenerasi lamina elastika interna dan
pembentukan aneurisma.Turbulensi aliran pada aneurisma dan daerah di sekitarnya
menghasilkan getaran pada dinding pembuluh darah yang selanjutnya mengakibatkan
kelemahan integritas struktur pembuluh darah dan akhirnya menyebabkan perkembangan
aneurisma. Pembentukan atheroma pada pembuluh darah juga berkontribusi menyebabkan
kelemahan dinding pembuluh darah dan akselerasi pembentukan aneurisma. Stres pada
dinding pembuluh darah meningkat seiring makin tipisnya aneurisma, radius aneurisma yang
semakin besar dan tekanan pada aneurisma yang semakin besar karena peningkatan tekanan
darah. Ketika stres pada dinding pembuluh darah melebihi kekuatannya maka terjadilah
ruptur aneurisma.
Etiologi aneurisma dapat karena adanya predisposisi kongenital (seperti defek pada
tunika muskularis dari dinding arteri), proses aterosklerosis (karena hipertensi), emboli
(seperti pada miksoma atrial), infeksi (mycotic aneurysms), traumatik dan kondisi lainnya.
Aneurisma dapat ruptur kapan saja tetapi terutama pada saat tekanan darah atau aliran
darah meningkat. Ruptur sering terjadi saat melakukan aktivitas berat seperti mengangkat
beban, latihan, berhubungan badan, defekasi dan melakukan pekerjaan berat. Walaupun
begitu aneurisma juga dapat ruptur pada saat sedang beristirahat atau tidur. Semakin besar
ukuran aneurisma maka semakin besar kemungkinannya untuk ruptur. Aneurisma yang
berdiameter lebih dari 10 mm lebih besar kemungkinannya untuk ruptur daripada aneurisma
yang berdiameter lebih kecil. Titik pada aneurisma yang paling sering mengalami ruptur
adalah pada apex. Sebelum ruptur, aneurisma jarang menimbukan gejala klinis kecuali bila
terdapat tekanan pada struktur susunan saraf pusat, iritasi pada otak atau duramater dan
hambatan aliran darah.
Aneurisma yang berukuran lebih dari 2,5 cm biasanya disebut giant aneurysm. Giant
aneurysm sering mengandung trombus pada lumen arterinya. Faktor-faktor yang
menyebabkan penurunan aliran darah pada aneurisma seperti vasospasme pada feeding artery
3
mempercepat pembentukan trombus intraaneurisma. Embolisasi dari trombus intraaneurisma
juga dapat terjadi. Telah dilaporkan 20 kasus transient ischemic attack akibat emboli
aneurisma dimana lokasi yang paling sering untuk mengalami embolisasi ini adalah arteri
serebri media (2/3 kasus) dan arteri karotis interna (1/3 kasus).
4
nyeri kepala ini. Infark kecil (transient ischemia) karena embolisasi di bagian distal
pembuluh darah akibat lepasnya trombus intraaneurisma dapat menimbulkan gejala
amaurosis fugax dan hemianopsia homonim. Waktu rata-rata dari saat timbulnya transient
ischemia sampai ke perdarahan subarakhnoid sekitar 21 hari.
5
Grade IV Stupor, hemiparesis sedang sampai berat,
bisa didapatkan rigiditas deserebrasi awal
dan gangguan vegetatif
6
gambaran perdarahan seperti yang disebabkan oleh hipertensi. Lebih dari setengah kasus
perdarahan akibat ruptur aneurisma terjadi sekunder dari perdarahan subarakhnoid yang
masuk ke otak. Tetapi sebagian besar perdarahan intraserebral akibat ruptur aneurisma
terjadi pada sistem ventrikel.
Dalam hubungannya dengan pemulihan neurologis, pasien dengan perdarahan di
lobus temporal akan mengalami pemulihan lebih baik dibandingkan pasien dengan
perdarahan di lobus parietal. Ukuran hematom berhubungan lurus dengan kemungkinan
terjadinya vasospasme. Volume perdarahan yang besar berhubungan dengan resiko herniasi
yang lebih besar. Lebih dari 40% ruptur aneurisma berlokasi di lobus frontal dan temporal,
10% lainnya berlokasi di lobus parietal dan paling jarang berlokasi di serebelum. Angka
mortalitas paling tinggi pada perdarahan di lobus parietal. Pada suatu penelitian besar
didapatkan bahwa 54% aneurisma yang menyebabkan perdarahan intraserebral terdapat di
arteri serebri media, 25% di arteri serebri anterior, 15% di arteri karotis interna, 5% di
perikalosal dan hanya 1% pada sistem vertebrobasiler. Perdarahan di lobus frontal sangat
mungkin berasal dari ruptur aneurisma pada arteri serebri anterior dan perikalosal,
perdarahan temporal dari arteri serebri media atau arteri karotis interna dan perdarahan
parietal dapat berasal dari arteri serebri anterior atau arteri serebri media.
V.5. Perdarahan Intraventrikuler.
Perdarahan intraventrikuler ditemukan pada 13-28% kasus ruptur aneurisma.
Prognosis biasanya lebih buruk pada kasus dengan perdarahan intraventrikuler (angka
kematian mencapai 64%). Ukuran ventrikel saat datang ke rumah sakit merupakan faktor
prognostik yang sangat penting. Semakin besar ukuran ventrikel maka prognosisnya
semakin buruk. Aneurisma pada arteri komunikans anterior menyebabkan perdarahan
intraventrikuler akibat ruptur lamina terminalis ke bagian anterior ventrikel ketiga atau
ventrikel lateralis. Aneurisma pada arteri basilaris distal dapat ruptur ke arah lantai ventrikel
ketiga. Aneurisma pada arteri serebelaris inferior posterior dapat ruptur langsung ke
ventrikel keempat melalui foramen Luschka. Lokasi aneurisma yang dapat menyebabkan
perdarahan intraventrikuler yaitu arteri serebri anterior (40%), arteri karotis interna (25%),
arteri serebri media (21%) dan pada sistem vertebrobasiler (14%).
V.6. Perdarahan Subdural.
Hanya 1-2% ruptur aneurisma yang dapat menyebabkan perdarahan subdural. Hampir
setengah kasus dengan perdarahan subdural berakhir dengan kematian karena efek massa.
Lokasi aneurisma yang dapat menyebabkan perdarahan subdural menurut studi literatur
yaitu arteri karotis interna (36%), arteri serebri media (33%), arteri serebri anterior (25%)
7
dan pada sistem vertebrobasiler (6%). Pada hampir separuh kasus didapatkan perdarahan
subhyaloid. Faktor prognostik yang buruk yaitu midline shift yang besar dan volume
perdarahan yang besar. Mayoritas pasien adalah wanita dengan aneurisma di bagian
proksimal arteri karotis.
V.7. Vasospasme dan Infark.
Ruptur aneurisma dapat menyebabkan deposit bekuan darah dalam jumlah banyak
pada bagian adventisia arteri di bagian basal otak yang sering mengakibatkan konstriksi
arteri jangka panjang dengan onset tertunda yang disebut sebagai vasospasme. Penyebabnya
kemungkinan adalah pelepasan oksihemoglobin dalam konsentrasi tinggi sebagai hasil
degradasi eritrosit. Oksihemoglobin akan mempengaruhi fungsi platelet derived growth
factor yang dilepaskan platelet yang menempel pada dinding arteri dan endothelial derived
relaxing factor serta komponen kaskade pembekuan terutama trombin, plasmin dan
fibrinogen sehingga terjadi kontraksi abnormal atau kegagalan relaksasi sel otot polos arteri.
Vasospasme yang berat dapat menimbulkan oklusi pembuluh darah dan iskemia di bagian
distalnya. Sekitar 2/3 pasien dengan ruptur aneurisma akan menunjukkan vasospasme
derajat sedang sampai berat pada angiografi yang dilakukan 1 minggu atau segera setelah
perdarahan awal. Sekitar setengah pasien akan menunjukkan gejala klinis dari iskemia yang
tertunda. Waktu terjadinya hal ini akan bergantung pada beberapa faktor seperti usia,
tekanan perfusi, anatomi sirkulasi anterior dan faktor lainnya.
Angka kematian akibat fenomena ini telah banyak menurun dengan menghindari
dehidrasi dan penggunaan zat anti fibrinolitik. Sebagai tambahan, penggunaan antagonis
kalsium dan penerapan metode hipertensi/hipervolemia menghasilkan efek yang
menguntungkan. Insidensi infark serebral tercatat sekitar 30% dari kasus ruptur aneurisma.
Sebagai catatan, infark serebri dapat disebabkan oleh tindakan bedah, kompresi oleh
hematom atau efek angiografi.
Perubahan histologis pada dinding pembuluh darah karena vasospasme adalah
penebalan karena interdigitasi progresif dari sel otot. Hal ini dapat mengganggu
metabolisme dan nutrisi pada dinding pembuluh darah sehingga terjadi perubahan nekrotik
pada sel otot polos. Selain itu akan terjadi degenerasi pleksus neuralis periadventisial.
V.8. Hidrosefalus.
Dilatasi ventrikel terjadi dalam beberapa hari setelah perdarahan subarakhnoid pada
seperlima kasus. Beberapa pasien akan mengalami pelebaran ventrikel kronis. Gambaran
CT-Scan yang khas pada keadaan ini adalah dilatasi kornu temporal dan edema
8
periventrikuler (yang menunjukkan adanya edema interstisial). Biasanya antara 5-15%
pasien akan membutuhkan ventriculo-peritoneal shunt kronis.
9
DAFTAR PUSTAKA
1. Ropper. AH, Brown R. Cerebrovascular Disease in: Adams and Victor's Principles of
Neurology; 8th edition; McGraw-Hill Companies; 2005.
2. Bradley WG, Daroff RB. Neurology In Clinical Practice; 4th edition; Elsevier Inc; 2004.
3. Caplan LR. Subarachnoid Hemorrhage, Aneurysms and Vascular Malformations In:
Stroke A Clinical Approach; 4th edition; Saunders Elsevier; USA; 2009.
4. Warlow CP. Stroke A Practical Guide To Management; 1996; Blackwell Science Ltd.
5. Lindsay KW, Bone I. Neurology and Neurosurgery Illustrated; 4th edition; Churchill
Livingstone; 2004.
6. Greenberg MS. Cerebral Aneurysms In: Handbook of Neurosurgery; 6th edition;
Thieme; New York; 2006.
7. Weir BK, Findlay JM, Mielke BW. Pathology of Aneurysms and Vascular
Abnormalities Affecting the Central Nervous System.
10