Anda di halaman 1dari 22

Andy Andrean

04011281520130
Beta 2015
LI : Mikroorganisme penyakit infeksi
Patofisiologi
Amebiasis sebagai penyakit disentri yang dapat menyebabkan kematian di kenal sejan
460 tahun sebelum masehi oleh Hippocrates. Parasitnya, yaitu Entamoeba histolytica pertama
kali diteukan oleh Losch tahun 1875 dari tinja disentri seorang penderita di Leningrad, Rusia.
Pada autopsy, Losch menemukan E. histolytica stadium trofozoid dalam ulkus usus besar, tetapi
ia tidak mengetahui hubungan kausal antara parasite dengan kelainan ulkus tersebut.
Pada tahun 1893 Quinche dan Roos menemukan E.histolytica stadium kista, sedangkan
Schaudinn 1903 memberikan nama spesies Entamoeba histolytica dan membedakannya dengan
ameba yang juga hidup dalam usus besar yaitu Entamoeba coli.
Sepuluh tahun kemudian Walker dan Sellards di Filipina membuktikan dengan
eksperimennya ada sukarelawan, bahwa E.histolytica dan E. disapar tidak dapat dibedakan
secara morfologi, hanya E. histolytica yang bersifat sebagai pathogen. Kedua spesies ini berbeda
dalam hal isoenzim, sifat antigen dan genetikanya. Sejak tahun 1993 kedua spesies tersebut
secara resmi dibedakan sebagai pathogen dan apatogen. Untuk membuktikan E.histolytica
sebagai penyebab diare, sekarang digunakan teknik diagnosis dengan mendeteksi antigen atau
DNA/RNA parasitnya.
Hospes dan Nama Penyakit
Manusia merupakan satu-satunya hospes parasite ini. Penyakit yang disebabkannya
disebut amebasis. Walaupn beberapa binatang yaitu anjing, kucing, tikus dan monyet dapat
diinfeksi secara percobaan dengan E. histolytica, hubungannya dengan penularan zoonosis masi
belum jelas.
Distribusi Geografik
Amebiasis terdapat diseluruh dunia terutama di daerah tropic dan daerah beriklim sedang.
Morfologi dan Daur hidup
Dalam daur hiupnya, E.histolytica memp;unyai 2 stadium yaitu trofozoit dan kista. BIla
kista matang tertelan, kista tersebut tiba di lambung masih dalam keadaa ututh karena dinding
kista tahan terbadap asam lambung. Di rongga terminal usus halus, dinding kista dicerna , terjadi
ekskistasi dan keluarlah stadium trofozoit yang masuk ke rongga usus besar. Dari 1 kista yang
mengandung 4 buah inti akan terbentuk 8 buah trofozoit. Staium trofozoit berukuran 10—60
mikron (sel darah merah 7 mikron); mempunyai inti entameba yang terdapat di endoplasma.
Ekotoplasma bening homogeny terapat di baggian tepi sel, dapat dilihat dengan nyata.
Pesudopodium yang dibentuk dari ektoplasma, besar dan lebar seperti daun, dibentuk dengan
mendadak, pergerakannya cepat dan menuju 1 arah. Endoplasma berbutir halus, biasanya
mengandung bakteri atau sisa makanan. Bila ditemukan sel darah merah disebut
erythrophagocytosis yang merupakan tanad patognomonik infeksi E.histolytica
Stadium trofozoit dapat bersifat pathogen dan menginvasi jaringan usus besar. Dengan aliran
darah, menyebar ke jaringan hati, paru, otak, kulit da vagina. Hal tersebut disebabkan sifatnya
yang dapat merusak jaringan sesuai dengan nama spesiesnya. Staium trofozoit berkembang biak
secara belah pasang. Secara morfologi stadium trofozoit E.histolytica tidak dapat dibedakan
dengan E.dispar,kecuali diteukan sel darah merah dalam endoplasma. Walaupunpada entamoeba
yang apatogen ektoplasma tidak nyata dan hanya tampak bila membentuk pseudopodium. Pada
tinja segar pseudopodium terlihat dibentuk perlahan-lahan sehingga pergerakannya lambat
Staidum kista dibentuk dari stadium trofozoit yang berada di rongga ususstadium
trofozoit dapat berubah menjadi stadium precyst yang berinti 1, kemudian membelah menjadi
berinti dua dan akhirnya berinti 4 yang dikeluarkan bersama tinja. Ukuran kista 10-20 mikron,
berbentuk bulat atau lonjong, mempunyai dinding kista dan terdapat inti entameba. Dalam tinja
stadium ini biasanya berinti 1 atau 4, kadang-kadang terdapat yang berinti 2. Di Endoplasma
terdapat benda kromatoid yang besar, menyerupai lisong dan terdapat vakuol glikogen. Benda
kromatoid dan vakuol glikogen dianggap sebagai cadangan makanana, karena itu terdapat pada
kista muda.
Pada kista matang, benda kroatoid dan vakuol glikogen biasanya tidak ada lagi. Stadium
kista tidak pathogen, tetapi merupakan stadium yang infektif. Dengan adanya dinding kista,
stadium kista dapat bertahan terhadap pengaruh buruk di luar badan manusia. Infeksi terjadi
dengan tertelannya kista yang matang.

Infeksi yang disebabkan oleh E.hstolytica dan E.dispar dapat ditetapkan dengan
menemukan stadium kista dan atau trofozoit dalam tinja. Entamoeba histolytica tidak selalu
meyebabkan gejala. Stadium trofozoit dapat ditemukan pada tinja yang konsistensinya lembek
atau cair, sedangkan stadium kista biasanya ditemukan pada tinja padat
Patologi dan Gejala Klinis
Masa inkubasi bervariasi, dari beberapa hari sampai beberapa bulan atau tahun, tetapi
secara umum berkisar antara 1 sampai 4 minggu. Sebanyak 90% individu yang terinfeksi E.
histolytica tidak meperlihatkan gejala klinis dan hospes dapat mengeleminasi parasite tanpada
adanya penyakit.Walaupun demikian, sebanyak 10% individu yang asimtomatik dapat
berkembang menjadi simptomatik dalam waktu lebih dari 1 tahun, sehingga kelompok ini harus
diobati, selain itu kelompok ini akan menjadi sumber penularan penyakit.
Diare didahului dengan kontak antara stadium trofozoit E.histolytica engan sel epitel
kolon, melalui antigen Gal/Gal Nac-lectin yang terdapat pada permukaan stadium trofozoit.
Antigen terdiri atas dua kompleks disulfide dengan berat molekul masing-masing 170kDa dan
35/31 kDa. KEdua rantai tersebut dihubungakan dengan protein 150kDa . Sel epitel usus yang
berikatan dengan stadium trofozoit E.histolytica akan menjadi immobile dalam waktu beberapa
menit, kemudian granula dan struktur sitoplasmanya menghilang yang diikuti dengan hancurnya
inti sel. Proses ini diakibatkan oleh amoebapores, yang terdapat pada sitoplasma trofozoit
E.histolytica. Amoebapores terdiri atas 3 rangkaian peptide rantai pendek dan dapat membuat
pori-pori pada kedua lapisan lemak. Selanjutnya invasi ameba ke dalam jaringan ekstra sel
terjadi melalui sistein proteinase yang dikeluarkan stadium trofozoid parasite. Sistein proteinase
E.histolytica yang terdiri atas amebapain dan histolysin akan melisiskan matriks protein ekstra
sel, sehingga mempermudah invasi trofozoit ke jaringan submucosa. Stadium trofozoid
memasuki submucosa dengan menembus lapisan muskularis mucosae, bersarang di submoksa
dan membuat kerusakan yang lebih luas dari pada di mukosa usus. Akibatnya terjadi luka yang
disebut ulkus ameba. Lesi biasanya merupakan ulkus kecil yang letaknya terebar di mukosa usus.
Bentuk rongga ulkus seperti botol dengan lubang sempit dan dasar yang lebar, dengan tepi yang
tidak teratur agak meninggi dan menggaung. Proses yang terjadi terutama nekrosis dengan lisis
sel jaringan. Bila terdapat infeksi sekunder, terjadilah proses peradangan. Proses ini dapat meluas
di submucosa dan melebar ke lateral sepanjangan sumbu usus, maka kerusakan dapat menjadi
luas sekali sehingga ulkus saling berhubungan dan terbentuk sinus-sinus di bawah mukosa.
Stadium trofozoit E.histolytica ditemukan dalam jumlah besar di dasar dan dinding ulkus.
Dengan peristaltic usus, stadium trofozoit dikeluaarkan bersama isi ulkus ke rongga usus
kemudian menyerang lagi mukosa usus yang sehat atau dikeluarkan bersama tinja. Tinja itu
disebut tinja disentri yaitu tinja yang bercampur lender dan darah. Tempat yang sering dhinggapi
adekum, rectum, sigmoid. Seluruh kolon dan rectum dapat dihinggapi pada infeksi berat
Bentuk klinis yang dikenal adalah amebiasis instestinal dan aembiasis ektra instestinal
1. Amebiasis intestinal terdiri dari:
a. Amebiasis kolon akut
Gejala klinis yang biasa ditemukan adalah nyeri perut dan dare yang berupa tinja
cair, tinja berlender atau tinjad berdarah. Frekuensi diare daoat mencapai 10x perhari.
Demam dapat ditemukan pada spertiga penderita. Pasie terkadang tidak nafsu makan
sehingga berat badannya dapat menurun. Pada stadium akut ditinja dapat ditemukan
darah, dengan sedikit leucosis serta stadium trofozoit E.histolytica.
Diare yang disebabkan E.histolytica secaran bak sulit dibedakan dengan dare
yang disebabkan bakteri shigella, Salmonella, Escherichia coli, Campylobacter yang
sering ditemukan di daerah torpik. Selain itu juga harus dibedakan dengan non infectious
diare seperti ischemic colitis, inflammatory bowel disease, diverticultis, karena pada
amebiasis intestinalis penderita biasanya tidak demam.
b. Amebiasis kolon menahun
Amebiasis kolon menahun mempunyai gejala yang tidak begitu jelas. Biasanya
terdapat gejala usus yang ringan, antara lain rasa tidak enak diperut, diare yang diselingi
obstipasi(sembelit). Gejala tersebut dapat diikuti oleh reaktivasi gejala akut secara
periodic. Dasar peyakit ialah radang sus besar dengan ulkus menggaung, disebut juga
colitis ulserosa amebic.
Pada pemeriksaan tinja segar, stadium trofozoit E.histolytica sulit ditemukan,
karena sebagian besar parasite sudah masuk ke jaringan usus. Karena itu dilakukan uji
serologi untuk menemukan zat antiameba atau antigen E.histolytica. Sesitivitas uji
serologi zat anti mencapai 75%, sedangkan deteksi antigen mencapai 90% untuk
mendiagnosis amebasis menahun. Pemeriksaan biopsis kolon hasilnya sangat bervariasi
dapat ditemukan penebalan mukosa yang nonspesifik tanpa atau dengan ulkus, ulserasi
fokal dengan atau tanpa E.histolytica ulkus klasik yang berbentuk seperti botol(Flask-
shaped appearance), nekrosis dan perforasi dinding usus.
Predileksi terutama di daerah apendiks atau sekum, jarang sekali ditemukan di
sigmoid. Komplikasi amebiasis intestinal dapat berupa acute necrotizing colitis, toxic
megacolon, amoeboma, amebiasis kutis dan ulkus perianal yang dapat membentuk
fistula. Penderita dengan acute necrotizing colitis sangat jarang ditemukan, tetapi angka
kematian mencapai 50%. Pederita terlihat sakit berat, demam, diare dengan lendir dan
darah, nyeri perut dengan tanda iritasi peritoneum. Bila terjadi perforasi usus atau
pemberian anti ameba tidak memperlihatkan hasil, dilakukan tindakan bedah. Toxic
megacolon juga sangat jarang ditemukan, biasanya berhubungan dengan penggunaan
kortikosteroid. Penderita memerlukan tindakan beda, karena biasanya pemberian anti
ameba saja tidak memperlihatkan perbaikan. Ameboma berasal dari pembentukan
jaringan granulasi kolon yang berbentuk seperti cincin anuler, dapat tunggal atau
multiple. Biasanya ditemukan di sekum atau kolon asenden. Gambaran histologi
menunjukan aringan kolagen dan fibroblast dengan tanda peradangan menahun disertai
granulasi. Ameboma ini menyerupai karsinoma kolon. Amebasis kolon bila tidak diobati
akan menjalar keluar dari usus dan menyebabkan amebiasis ekstra-intestinal. Hal ini
dapat terjadi secara hematogen atau perikontinuitatum. Cara hematogen terjadi bila
ameba telah masuk submucosa kemudian ke kapiler darah, dibawa oleh aliran darah
melalui vena prota kehati dan menimbulkan abses hati.
b. Amebiasis ektra-intestinal
Abses hati merupakan manifestasi ektra-intestinal yang paling sering
ditemukan. Sebagian besar penderita memperlihatkan gejala dalam waktu yang relative
singkat 2-4 minggu. Penderita memperlihatkan gejala demam, batuk dan nyeri perut
kwadran kanan atas. Bila permukaan diafragma hati terinfeksi, maka pada penderita
terjadi nyeri pleura kanan atau nyeri menjalar sampai bahu kanan. Pada 10%-35%
penderita dapat ditemukan gangguan gastrointestinal berupa mual muntah kejang otot
perut, perut kembung, diare dan konstipasi. Pada peeriksaan fisik dapat ditemukan
hepatoegali. Pada fase sub-akut dapat ditemukan penurunan berat badan, demam, nyeri
abdomen yang difus. Abses hati lebih banak ditemukan pada orang dewasa dibandingkan
anak-anak. Kebanyakan abses terbentuk di lobus kanan hati, biasanya soliter. Abses
berisi nanah yang berwarna coklat.
Pada pemeriksaan tinja, E. histolytica hanya ditemukan pada seagian kecil
penderita abses hati. Dapat ditemukan lekositosis dan peningkatan serum alkali fosfatase
pada pemeriksaan darah. Komplikasi abses hati dapat berupa penjalaran secara lngsung
ke pleura dan atau pericardium, abses otak dan amebiasis urogenitalis. Cara
perkontinuinatum terjadi bila abses hati tidak diobati sehingga abes pecah. Ameba yang
keluar dapat menembs diafragma , masuk ke rongga pleura dan paru. Abses hati dapat
juga pecah kedalam rongga perut dan menyebabkan peritonitis atau pecah kedalam
dinding perut, menembus dinding perut sampai ke kulit dan menimbulkan amebiasis kulit
dinding perut. Amebiasis rectum bila tidak diobati dapat menyebar ke kulit sekitar anus,
menyebabkan amebiasis perianal; dapat juga menyebar ke perineum, menyebakan
amebiasis perineal atau ke vagina, menyebabkan amebiasis vagia. Di kulit vagina ameba
ini menimbulkan ulkus. Melalui aliran darah. Stadium trofozoit dapat mencapi paru dan
otak dan menimbulkan abses paru dan otak
Diagnosis
Diagnosis yang akurat merupakanhal yang sangat penting, Karena 90% penderita
asimtomatik E.histolytica dapat menjadi sumber infeksi bagi sekitarnya.
1. pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik tidak dapat membedakan E.histolytica dengan E.dispar. Selain
itu pemeriksaan berdasarka satu kali pemeriksaan tinja sangat tidak sensitive. Sehingga
pemeriksaan mikroskopik sebaiknya dilakukan paling sedikir 3 kali dalam 1 minggu baik untuk
kasus akut maupun kronik. Adanya sel darah merah dalam sitoplasma E.histolytica stadium
trofozoid merupakan indikasi terjadinya invasive amebiasis yang hanya disebabkan oleh E.
histolytica. Selain itu, motilitas stadium trofozoit akan menghilang dalam waktu 20-30 menit.
Krena itu bila tidak segera diperiksa, sebaiknya tinja disimpan dalam pengawet PVA atau pada
suhu 4oC. Dalam hal yang terakhir, stadium trofozoit dapat terlibat aktif sampai 4 jam. Selain itu
pada sediaan basah dapat ditemukan sel darah merah. Hal yang dapat mempengaruh hasil
pemeriksaan mirkoskopik adalah keterlambatan waktu pemeriksaan, jumlah tinja yang
terkontaminasi urin atau air, penggunaan antibiotic (tetrasiklin, sulfonamide), Laksatif, antacid,
frekuensi pemeriksaan dan tinja tidak diberi pengawet.
2. Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibody
Sebagian besar orang yang tinggal di daerah endemis E.histolytica akan terpapar parasite
berulang kali. Kelompok tersebut sebagian besar akan asimtomatik dan pemeriksaan antibody
sulit membedakan antara current atau previous infections. Pemeriksaan antibody akan sangat
membantu menegakan diagnosis pada kelompok yang tidak tinggal di daearh endemis. Sebanyak
75-80% penderita dengan gelaja yang disebabkan E.histolytica memperlihatkan hasil yang
positif pada uji serologis terhadap E.histolytica. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai macam
uji serologi seperti IHA, lateks agglutinasi, Counter immunoelectrophoresis, gel diffusion test,
Uji komplemen dan ELISA. Biasanya yang merupakan uji standar adalah IHA, sedangkan
ELISA merupakan alternative karena lebih cepat sederhana dan juga lebh sensitive. Antibody
IgG terhadap antigen lektin dapat dideteksi dalam waktu 1 minggu setelah timbul gejala klinis
baik pada penderita colitis maupun abses hati ameba. Bila hasilnya meragukan, uji serologi
tersebut dapat diulang. Walaupun demikian, hasil pemeriksaan tidak dapat membedakan current
infection dari previous infection. IgM anti-lektin tertama dapat dideteksi pada minggu pertama
sampai minggu ketiga pada seorang penderita kolitis ameba. Titer antibody tidak berhubungan
dengan beratnya penyakit dan respon terhadap pengobatan, sehingga walaupun pengobatan yang
diberikan berhasil, titer antibody tetap tidak berubah. Antibodi yang terbentuk kerena infeksi
E.histolytica dapat bertahan sampai 6 bulan, bahkan pernah dilaporkan sampai 4 tahun.
3. Deteksi antigen
Antigen ameba yaitu Gal/Gal-Nac lectin dapat dideteksi dalam tinja, serum, cairan abses
dan air liur penderita. Hal ini dapat dilakukan terutama menggunakan teknik ELISA, sedangkan
dengan teknik CIEP ternyata sensitivitasnya lebih rendah. Deteksi antigen pada tinja merupakan
teknik yang praktis, sensitive dan spesifik dalam mendiagnosis amebiasis intestinalis. Walaupun
demikian, tinja yang tidak segar atau yang diberi pengawet akan menyebabkan denaturasi
antigen sehingga memberikan hasil yang false negatif. Oleh akrena itu, syarat melakukan ELISA
pada tinja seseorang yang diduga menderita amebiasis intestinalis adalah tinja segar atau
disimpan dalam lemari pendingin. Dengan menggunakan E.histolytica test II apa dibedakan
infeksi yang disebabkan oleh E.histolytica atau E.dispar. Pada penderita abses hati ameba,
deteksi antigen dapat dilakukan pada apus abses atau serumnya.
4. Polymerase chain reaction
Metode PCR mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang sebanding dengan deteksi
antigen pada tinja penderita amebiasis intestinal. Kekurangannya adalah waktu yang diperlukan
lebih lama, tekniknya lebih sulit dan juga kebih mahal. Untuk penelitian polimorfisme
E.histolytica, teknik PCR merupakan metode unggulan. Walaupun demikian, hasilnya sangat
dipengaruhi oleh erbai kontaminan pada tinja. Selain itu kemungkinan terjadi false negatif
karena berbagai inhibitor pada tinja. Hal ini dapat juga dilakukan pada pus penderita dengan
abses hati ameba. Ekstrasi DNA dapat dilakukan pada tinja yang sudah diberi pengawet
formalin. Dengan cara ini dapat dibedakan infeksi E.histolytica dengan E.dispar.
Sampai sat ini diagnoss amebiasis yang invasive biasanya ditetapkan dengan kombinasi
pemeriksaan mirkoskopik tinja dan uji seologi. Bila ada indikasi, dapat dilakukan kolonsokopi
dan biopsy pada lesi intestinal atau pada cairan abses. Parasit biasanya ditemukan pada dasar
dinding abses. Berbagai penelitian melihatkan redahnya sensitivitas pemeriksaan mikroskopik
dalam mendiagnosis amebiasis intestinalis atau abses hati ameba. Metode deteksi antigen atau
PCR pada tinja merupakan pilihan yang lebih tepat untuk menegakan diagnosis. Walaupun
demikian, syarat untuk melakukan uji ini perlu diperhatikan. Selain itu pemeriksaan mirksopik
tetap diperlukan untuk menyingkirkan infeksi campuran dengan mikroorganisme lain aik parasite
maupun non parasite.
Epidemiologi
Amebiasis terdapat di seluruh dunia. Prevalensi tertinggi terutama di daerah tropic dan
subtropik, khususnya dinegara yang keadaan sanitasi lingkungan dan keadaan sosio-ekonominya
buruk. Di beberapa negara tropisnya, prevalensi antibody terhadap E.histolytica mencapai 50%.
Di Indonesia, amebiasis kolon banyak ditemukan dalam keadaan endemic. Prevalensi
E.hsitolytica di berbagai daerah di Indonesia sekitar 10-18%. Di RRC,Mesir, India, dan Belanda
berkisar 10,1-11,5%; di eripa utara 5-20%, di Eropa selatan 20-51% dan di Amerika serikat 4-
21%. Di negara industry amebiasis terutama ditemukan pada kelompok homoseksual, imigran,
turis yang berpegian ke daerah endemis.
Amebiasis biasanya ditularkan oleh pengandung kista. Pengandung kista biasanya sehat
tetapi ia memegan peranan penting untuk penyebaran penyakit, karena tinjanya merupakan
sumber infeksi. Jadi amebiasis tidak ditularkan oleh penderita amebiasis akut.
Sayuran yang ditanam menggunakan pupuk tinja, lalat yang hinggap di tinja yang
mengandung kista dapat menjadi sumber penularan amebiasis. Kista dapat hidup lama dalam air
10-14 hari. Dalam Lingkuangan yang dingin dan lembab kista dapat hidup selama kurang lebih
12 hari. Kista juga tahan terhadap klor yang terdapat dalam air ledeng dan kista mati pada suhu
50oC atau dalam keadaan kering.
Pencegahan
Pencegahan Amebiasis terutama dipertujukan pada kebersha perorangan dan kebersihan
lingkungan. Kebersihan peroragan antara lain mencucui tangan dengan bersih sesudah buang air
besar dan sebelum makan. Kebersihan lingkungan meliputi masak air minum sampai mendididh
sebelum diminum, mencuci saturan sampai bersih atau memasaknya sebelum dimakan , buang
air besar di jamban, tidak menggunakan tinja manusia untuk pupuk, menutup dengan baik
makanan yang dihidangkan untuk menghidari kontaminasi oleh lalat dan lipas .
Pengobatan
Pengobatan yang diberikan pada penderita amebiasis ang invasive berbdan dengan non
invasive. Pada penderita non invasif dapat diberikan paromomisin. Pada penderita amebiasis
invasive terutama diberikan golongan nitroimidazol yaitu metronidazole
Obat amebisid dapat dikelompkan menjadi 2 kategori yaitu
a. obat yang bekerja pada lumen usus
1. paromomisin
2. Diloksanid furoat
3. iodoquinol
b. Obat yang bekerja pada jaringan
1. emetin hidroklorida
2.Metronidazole
3.klorokuin.
BAKTERI YANG DAPAT MENYEBABKAN KELUHAN SERUPA
SHIGELLA
Habitat alami shigella terbatas pada saluran cerna manusia dan primata lain, tempat mereka
menyebabkan disentri basiler.
Morfologi & ldentifi kasi
A. Organisme tipikal
Shigella merupakan batang gram-negatif yang ramping; bentuk kokobasil ditemukan
pada biakan yang masih muda.
B. Kultur
Shigelia merupakan bakteri anaerob fakultatii tetapi tumbuh paling baik pada kondisi
aerob. Koloni cembung, bundar, transparan, dan tepi berbatas tegas, mencapai diameter sekitar 2
mm dalam 24 jam.
C. Karakteristik pertumbuhan
Semua shigella memfermentasi glukosa. Shigella tidak memfermentasi laktosa, kecuali
Shigell asonnei. Ketidakmampuan memfermentasi laktosa membedakan shigella pada media
diferensial. Shigella membentuk asam dari karbohidrat, tetapi jarang menghasilkan gas.
Struktur Antigen Shigella memiliki pola antigen yang kompleks. Spesies yang berbeda
memiliki banyak sifat seroiogis yang tumpang tindih, dan sebagian besar di antara mereka n-
remiliki antigen O yang sama dengan basilus enterik lainnya. Antigen somatik O shigella
tersusun atas iipopolisakarida. Spesifisitas serologis mereka bergantung pada komponen
polisakarida. Terdapat lebih dari 40 serotipe. Klasifikasi shigella didasarkan pada ciri biokimia
dan antigen

Patogenesis & Patologi


Infeksi Shigella hampir selalu terbatas di saluran cernar jarang terjadi invasi ke aliran
darah. Shigella sangat mudah menular; dosis infektifnya sekitar 103 organisme (sedangkan dosis
infektif salmonella dan vibrio biasanya 105-108). Proses patologis yang penting adalah invasi ke
sel epitel mukosa (misalnya, sel M) melalui fagositosis terinduksi, keluarnya shigella dari
yakuola fagositik, perbanyakan diri dan penyebaran shigella di dalam sitoplasma sel epitel, dan
masuknya bakteri tersebut ke sei yang berdekatan' Mikroabses pada dinding kolon dan ileum
terminalis menyebabkan nekrosis membran mukosa, ulserasi superfisial, perdarahan, dan
terbentuknya "pseudomembran' pada area yang mengalami ulserasi. Mikroabses ini terdiri atas
fibrin, leukosit, debris sel, membran mukosa nekrotik, dan bakteri. Saat proses ini mereda,
jaringan granulasi mengisi ulkus dan terbentuk jaringan parut.
Toksin
A. Endotoksin
Saat terjadi autolisis, semua shigella melepaskan lipopolisakarida toksik. Endotoksin ini
mungkin berperan dalam menimbulkan iritasi dinding usus.
B. Eksotoksin shigella dysenterioe
S. dysenteriae tipe 1 (basilus Shiga) menghasilkan eksotoksin labil-panas yang merusak
usus sekaligus sistem saraf pusat. Eksotoksin tersebut merupakan suatu protein yang bersifat
antigenik (menstlmulasi pembentukan antitoksin) dan letal bagi hewan percobaan. Sebagai
enterotoksin, eksotoksin ini menyebabkan diare seperti halnya toksin mirip-Shiga pada E' coll,
mungkin dengan mekanisme yang sama. Pada manusia, eksotoksin tadi juga menghambat
penyeraPan gula dan asam amino di usus halus. Sebagai "neurotoksini' eksotoksin ini mungkin
berperan daiam menyebabkan infeksi S. dysenteriae yang sangat berat dan fatal dan
menimbulkan reaksi sistem saraf pusat yang ditemukan pada infeksi tersebut (yaitu,
meningismus, koma). Pasien yang mengalami infeksi Shrgella flexneri atar Shigella sonnel
membentuk antitoksin yang dapat menetralkan eksotoksin S. dysenteriae secara in vitro.
Aktivitas toksik lni berbeda dari sifat invasif shigella pada disentri. Keduanya dapat bekerja
berurutan, pada awalnya, toksin menyebabkan diare hebat dan tidak berdarah; kemudian invasi
pada usus besar menyebabkan disentri lanjut yang disertai darah dan pus dalam feses.
Gambaran Klinis
Setelah periode inkubasi yang singkat (1-2 hari), mendadak timbul nyeri abdomen,
demam, dan diare cair. Diare disebabkan olehkerja eksotoksin di usus halus (lihatpenjelasan
sebelumnya). Sehari atau beberapa hari kemudian, saat infeksi mengenai ileum dan kolon,
jumlah feses bertambah; feses menjadi tidak terlalu cair, tetapi sering mengandung iendir dan
darah. Setiap pergerakan usus disertai dengan penegangan dan tenesmus (spasme rektal) yang
menyebabkan nyeri abdomen bagian bawah. Lebih dari separuh kasus pada orang dewasa,
demam dan diare berhenti secara sPontan dalam 2-5 hari. Namun, pada anak-anak dan lansia,
kehilangan cairan dan elektrolit dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis, dan bahkan kematian.
Penyakityang disebabkan oleh S. dy senteriae dapat sangat parah. Saat pemulihan, sebagian
besar pasien hanya mengekskresikan basil disentri dalam periode yang singkat, tetapi sebagian
lainnya menjadi karier intestinal kronik yang menetap dan dapat mengalami serangan penyakit
berulang. Saat sembuh dari infeksi, sebagian besar pasien memiliki antlbodi terhadap shigella
dalam darah, tetapi antlbodi ini tidak mencegah terjadinya infeksi ulang.
Uji Laboratorium Diagnostik
A. Spesimen
Spesimen untuk biakan dapat berasal dari feses segar, bercak lendir, dan apusan rektal.
Pada pemeriksaan mikroskopis sering ditemukan banyak leukosit dan beberapa eritrosit pada
sediaan feses. )ika spesimen serum dibutuhkan, harus diambil dengan jarak 10 hari untuk dapat
melihat peningkatan titer antibodi aglutinasi.
B. Kultur
Spesimen digoreskan pada media diferensial (misalnya, agar MacConkey atau EMB) dan
pada media selektif (agar enterik Hektoen atau agar Salmonella-Shigella) yang menekan
pertumbuhan Enterobacteriaceae lain dan organisme grampositif. Koloni yang tidak berwarna
(laktosa-negatif) diinokulasi ke dalam agar triple sugar iron. Organisme yang gagal membentuk
HrS dan menghasilkan asam tanpa disertai gas di bagian dasar dengan lereng yang basa pada
medium triple sugar iron, dan organisme yang nonmotil harus diperiksa lebih lanjut dengan
aglutinasi sllde menggunakan antiserum yang spesifik untuk Shigella.
C. Serologi
Individu normal sering memiliki aglutinin yang aktif terhadap beberapa spesies Shigella.
Namun, pemeriksaan serial titer antibodi dapat memperlihatkan peningkatan yang spesifik.
Serologi tidak digunakan untuk mendiagnosis infeksi Shigella.
lmunitas
Infeksi diikuti oleh timbulnya respons antibodi spesifik-tipe. Penyuntikan shigella yang
telah dimatikan merangsang pembentukan antibodi dalam serum, tetapi tidak dapat mencegah
terjadinya infeksi Shigella pada manusia. Antibodi IgA dalam usus mungkin penting dalam
mencegah infeksi ulang; pembentukan antibodi tersebut dapat dirangsang melalui pemberian
gahtr Shigella yang dilemahkan per oral sebagai vaksin eksperimental. Antibodi terhadap antigen
Shigella somatik dalam serum adalah IgM.
Terapi
Siprofloksasin,'ampisilin, doksisiklin, dan trimetoprimsulfametoksazol umumnya
menghambat isolat Shigella dan dapat menekan serangan klinis akut disentri serta
memperpendek lamanya gejala. Obat tersebut mungkin tidak dapat memberantas organisme dari
saluran cerna. Resistensi terhadap berbagai obat dapat ditransmisikan melalui plasmid, dan
infeksi yang resisten ini telah tersebar luas. Banyak kasus sembuh spontan. Opioid harus
dihindari pada kasus disentri Shigella.

II. Patofisiologi
E histolytica nonflagellated protozoa yang menyebabkan proteolisis dan lisis jaringan
dan dapat menginduksi apoptosis sel-host. Penyakit dapat disebabkan oleh hanya sejumlah kecil
kista, tapi proses encystation dan excystation yang kurang dipahami. Pelekatan trofozoit ke sel
epitel kolon tampaknya dimediasi oleh galaktosa / N -acetylgalactosamine (GAL / GalNAc)
lectin -specific, protein permukaan 260-kd mengandung subunit 170-kd dan 35 subunit -kd.
Sebuah immunoglobulin mukosa A (IgA) merespon terhadap lektin ini dapat mengakibatkan
infeksi berulang yang lebih sedikit.
Kedua jalur litik dan apoptosis telah dijelaskan. Sitolisis dapat dilakukan oleh
amebapores, peptida mampu yang membentuk pori-pori di bilayers lipid. Selanjutnya, pada
model binatang dari abses hati, trofozoit menginduksi apoptosis melalui non-Fas dan non-tumor
necrosis factor (TNF) -α1 reseptor jalur. amebapores, pada konsentrasi sublytic, dapat juga
menginduksi apoptosis.
Proteinase sistein telah secara langsung terlibat dalam invasi dan radang usus dan dapat
meningkatkan interleukin (IL) -1-dimediasi peradangan dengan meniru kerja enzim IL-1-
converting manusia, membelah IL-1 prekursor menjadi bentuk aktifnya. Proteinase sistein juga
dapat membelah dan menonaktifkan Anafilatoksin C3a dan C5a, serta IgA dan imunoglobulin G
(IgG).
E histolytica memiliki sekitar 100 transmembran kinase (TMKs), yang umumnya dibagi
menjadi 9 subkelompok. Dari jumlah tersebut, EhTMKB1-9 diekspresika dalam kembang biak
trofozoit . Dalam model hewan, ditemukan untuk terlibat dalam fagositosis dan memainkan
peran sebagai faktor virulensi di kolitis amebic. Temuan ini menunjukkan bahwa TMKs seperti
EhTMKB1-9 mungkin target menarik untuk pengembangan obat masa depan.
Sel epitel juga memproduksi berbagai mediator inflamasi, termasuk IL-1β, IL-8, dan
cyclooxygenase (COX) -2, yang meningkatkan pergerakan neutrofil dan makrofag ke tempat
peradangan. Terapi kortikosteroid dikenal memperburuk hasil klinis, mungkin karena efeknya
menumpulkan pada respon imun bawaan ini.
Pertahanan host tambahan, termasuk sistem komplemen, bisa dihambat langsung oleh
trophozoites, seperti yang disarankan oleh temuan bahwa daerah dari lektin GAL / GalNAc-
spesifik menunjukkan crossreactivity antigenik dengan CD59, inhibitor membran dari C5b-9
merusak kompleks dalam sel darah merah manusia
Imunitas seluler penting dalam membatasi penyakit dan mencegah kekambuhan.
tanggapan blastogenic antigen spesifik terjadi, menyebabkan produksi limfokin, termasuk
interferon-delta, yang mengaktifkan pembunuhan E trofozoit histolytica oleh makrofag.
Pembunuhan ini tergantung pada kontak, jalur oksidatif, jalur nonoxidative, dan oksida nitrat
(NO).
DAFTAR PUSTAKA
Brooks, Geo F dkk.2010.Jawetz, Melnick, & Adelberk Mikrobiologi Kedokteran.Jakarta:EGC
Dhawan,Vinod K.2016. Amebiasis. http://emedicine.medscape.com/article/212029-overview.
Diakses pada 23 Agustus2016 pukul 17.48 WIB
Haque,Rashidul, Dinesh Mondal dkk.2006. Entamoeba histolytica Infection in Children and
Protection from Subsequent Amebiasis. INFECTION AND IMMUNITY, Feb. 2006, p. 904–909
0019-9567/06/$08.000 doi:10.1128/IAI.74.2.904–909.2006 Vol. 74, No. 2
Sutanto, Inge dan Sumarni A Adjung.2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran.Jakarta:FKUI

Analisis masalah
1h. Mikroorganisme apa saja yang dapat menyebabkan keluhan An A?
E.histolytica
bakteri shigella
bakteri Salmonella
bakteri Escherichia coli
bakteri Campylobacter
2c. Apa yang menyebabkan nyeri perut berdasaarkan scenario?
Stadium trofozoid memasuki submucosa dengan menembus lapisan muskularis mukosase
dan membuat kerusakan pada mukosa usus sehingga terjadi luka yang disebut ulkus ameba.
Proses yang terjadi terutama nekrosis dengan lisis sel jaringan. Proses ini dapat meluas di
submucosa dan melebar ke lateral sepanjang sumbu usus, maka kerusakan menjadi luas sekali
sehingga ulkus saling berhubungan dan terbentuk sinus sinus di bawah mukosa. Dengan
peristaltic usus stadium trofozoit dikeluarkan bersama isi ulkus ke rongga usus kemudian
menyerang lagi mukosa usus yang sehat atau dikeluarkan bersama tinja. Tempat yang sering
dihinggapi adalah sekum, rectum, colon sigmoid Ulkus yang terdapat pada pasien An A dapat
menyebabkan rasa nyeri pada perut.
2d. apa yang menyebabkan nyeri disekitar anus saat defekasi berdasarkan scenario?
Amebiasis rectum bila tidak diobati dapat juga menyebar ke kulit disekitar anus, sehingga
menyebabkan amebiasis perianal. Amebiasis perianal akan menyebabkan nyeri disekitar anus
pada saat defekasi.
2e. apa yang menyebabkan demam berdasarkan scenario?
Proteinase sistein telah secara langsung terlibat dalam invasi dan radang usus dan dapat
meningkatkan interleukin (IL) -1-dimediasi peradangan dengan meniru kerja enzim IL-1-
converting manusia, membelah IL-1 prekursor menjadi bentuk aktifnya. Proteinase sistein juga
dapat membelah dan menonaktifkan Anafilatoksin C3a dan C5a, serta IgA dan imunoglobulin G
(IgG).
Sel epitel juga memproduksi berbagai mediator inflamasi, termasuk IL-1β, IL-8, dan
cyclooxygenase (COX) -2, yang meningkatkan pergerakan neutrofil dan makrofag ke tempat
peradangan. Terapi kortikosteroid dikenal memperburuk hasil klinis, mungkin karena efeknya
menumpulkan pada respon imun bawaan ini.
Mediator inflamasi yang diproduksi sel epitel yaitu IL1 dan cyclooxygenase-2 (COX2)
dan meningkatnya interleukin 1 akibat aktivitas proteinase sistein akan mengubah set point
thermoregulator pada hypothalamus.

4d. Mikroorganisme apa yang ditemukan pada specimen tinja?


Entamoeba histolytica
4e. Bagaimana morfologi dan siklus hidup dari mikroorganisme yang ditemukan pada spesimen
tinja?
Dalam daur hiupnya, E.histolytica memp;unyai 2 stadium yaitu trofozoit dan kista. BIla kista
matang tertelan, kista tersebut tiba di lambung masih dalam keadaa ututh karena dinding kista
tahan terbadap asam lambung. Di rongga terminal usus halus, dinding kista dicerna , terjadi
ekskistasi dan keluarlah stadium trofozoit yang masuk ke rongga usus besar. Dari 1 kista yang
mengandung 4 buah inti akan terbentuk 8 buah trofozoit. Staium trofozoit berukuran 10—60
mikron (sel darah merah 7 mikron); mempunyai inti entameba yang terdapat di endoplasma.
Ekotoplasma bening homogeny terapat di baggian tepi sel, dapat dilihat dengan nyata.
Pesudopodium yang dibentuk dari ektoplasma, besar dan lebar seperti daun, dibentuk dengan
mendadak, pergerakannya cepat dan menuju 1 arah. Endoplasma berbutir halus, biasanya
mengandung bakteri atau sisa makanan. Bila ditemukan sel darah merah disebut
erythrophagocytosis yang merupakan tanad patognomonik infeksi E.histolytica
Stadium trofozoit dapat bersifat pathogen dan menginvasi jaringan usus besar. Dengan aliran
darah, menyebar ke jaringan hati, paru, otak, kulit da vagina. Hal tersebut disebabkan sifatnya
yang dapat merusak jaringan sesuai dengan nama spesiesnya. Staium trofozoit berkembang biak
secara belah pasang. Secara morfologi stadium trofozoit E.histolytica tidak dapat dibedakan
dengan E.dispar,kecuali diteukan sel darah merah dalam endoplasma. Walaupunpada entamoeba
yang apatogen ektoplasma tidak nyata dan hanya tampak bila membentuk pseudopodium. Pada
tinja segar pseudopodium terlihat dibentuk perlahan-lahan sehingga pergerakannya lambat
Staidum kista dibentuk dari stadium trofozoit yang berada di rongga ususstadium
trofozoit dapat berubah menjadi stadium precyst yang berinti 1, kemudian membelah menjadi
berinti dua dan akhirnya berinti 4 yang dikeluarkan bersama tinja. Ukuran kista 10-20 mikron,
berbentuk bulat atau lonjong, mempunyai dinding kista dan terdapat inti entameba. Dalam tinja
stadium ini biasanya berinti 1 atau 4, kadang-kadang terdapat yang berinti 2. Di Endoplasma
terdapat benda kromatoid yang besar, menyerupai lisong dan terdapat vakuol glikogen. Benda
kromatoid dan vakuol glikogen dianggap sebagai cadangan makanana, karena itu terdapat pada
kista muda.
Pada kista matang, benda kroatoid dan vakuol glikogen biasanya tidak ada lagi. Stadium
kista tidak pathogen, tetapi merupakan stadium yang infektif. Dengan adanya dinding kista,
stadium kista dapat bertahan terhadap pengaruh buruk di luar badan manusia. Infeksi terjadi
dengan tertelannya kista yang matang.
Infeksi yang disebabkan oleh E.hstolytica dan E.dispar dapat ditetapkan dengan
menemukan stadium kista dan atau trofozoit dalam tinja. Entamoeba histolytica tidak selalu
meyebabkan gejala. Stadium trofozoit dapat ditemukan pada tinja yang konsistensinya lembek
atau cair, sedangkan stadium kista biasanya ditemukan pada tinja padat
4f. Apa hospes dan nama penyakit dari mikroorganisme yang menginfeksi An.A?
Hospes dari Entamoeba histolytica adalah manusia
4g bagaimana pathogenesis mikroorganisme dalam tubuh An A?
Masa inkubasi bervariasi, dari beberapa hari sampai beberapa bulan atau tahun, tetapi secara
umum berkisar antara 1 sampai 4 minggu. Sebanyak 90% individu yang terinfeksi E. histolytica
tidak meperlihatkan gejala klinis dan hospes dapat mengeleminasi parasite tanpada adanya
penyakit.Walaupun demikian, sebanyak 10% individu yang asimtomatik dapat berkembang
menjadi simptomatik dalam waktu lebih dari 1 tahun, sehingga kelompok ini harus diobati,
selain itu kelompok ini akan menjadi sumber penularan penyakit.
Diare didahului dengan kontak antara stadium trofozoit E.histolytica engan sel epitel
kolon, melalui antigen Gal/Gal Nac-lectin yang terdapat pada permukaan stadium trofozoit.
Antigen terdiri atas dua kompleks disulfide dengan berat molekul masing-masing 170kDa dan
35/31 kDa. KEdua rantai tersebut dihubungakan dengan protein 150kDa . Sel epitel usus yang
berikatan dengan stadium trofozoit E.histolytica akan menjadi immobile dalam waktu beberapa
menit, kemudian granula dan struktur sitoplasmanya menghilang yang diikuti dengan hancurnya
inti sel. Proses ini diakibatkan oleh amoebapores, yang terdapat pada sitoplasma trofozoit
E.histolytica. Amoebapores terdiri atas 3 rangkaian peptide rantai pendek dan dapat membuat
pori-pori pada kedua lapisan lemak. Selanjutnya invasi ameba ke dalam jaringan ekstra sel
terjadi melalui sistein proteinase yang dikeluarkan stadium trofozoid parasite. Sistein proteinase
E.histolytica yang terdiri atas amebapain dan histolysin akan melisiskan matriks protein ekstra
sel, sehingga mempermudah invasi trofozoit ke jaringan submucosa. Stadium trofozoid
memasuki submucosa dengan menembus lapisan muskularis mucosae, bersarang di submoksa
dan membuat kerusakan yang lebih luas dari pada di mukosa usus. Akibatnya terjadi luka yang
disebut ulkus ameba. Lesi biasanya merupakan ulkus kecil yang letaknya terebar di mukosa usus.
Bentuk rongga ulkus seperti botol dengan lubang sempit dan dasar yang lebar, dengan tepi yang
tidak teratur agak meninggi dan menggaung. Proses yang terjadi terutama nekrosis dengan lisis
sel jaringan. Bila terdapat infeksi sekunder, terjadilah proses peradangan. Proses ini dapat meluas
di submucosa dan melebar ke lateral sepanjangan sumbu usus, maka kerusakan dapat menjadi
luas sekali sehingga ulkus saling berhubungan dan terbentuk sinus-sinus di bawah mukosa.
Stadium trofozoit E.histolytica ditemukan dalam jumlah besar di dasar dan dinding ulkus.
Dengan peristaltic usus, stadium trofozoit dikeluaarkan bersama isi ulkus ke rongga usus
kemudian menyerang lagi mukosa usus yang sehat atau dikeluarkan bersama tinja. Tinja itu
disebut tinja disentri yaitu tinja yang bercampur lender dan darah. Tempat yang sering dhinggapi
adekum, rectum, sigmoid. Seluruh kolon dan rectum dapat dihinggapi pada infeksi berat
Gejala klinis yang biasa ditemukan adalah nyeri perut dan dare yang berupa tinja cair,
tinja berlender atau tinjad berdarah. Frekuensi diare daoat mencapai 10x perhari. Demam dapat
ditemukan pada spertiga penderita. Pasie terkadang tidak nafsu makan sehingga berat badannya
dapat menurun. Pada stadium akut ditinja dapat ditemukan darah, dengan sedikit leucosis serta
stadium trofozoit E.histolytica.
Diare yang disebabkan E.histolytica secaran bak sulit dibedakan dengan dare yang
disebabkan bakteri shigella, Salmonella, Escherichia coli, Campylobacter yang sering ditemukan
di daerah torpik. Selain itu juga harus dibedakan dengan non infectious diare seperti ischemic
colitis, inflammatory bowel disease, diverticultis, karena pada amebiasis intestinalis penderita
biasanya tidak demam.

4l. Bagaimana dampak penyakit infeksi yang dialami An.A jika mencapai fase kronis?
Amebiasis kolon menahun
Amebiasis kolon menahun mempunyai gejala yang tidak begitu jelas. Biasanya
terdapat gejala usus yang ringan, antara lain rasa tidak enak diperut, diare yang diselingi
obstipasi(sembelit). Gejala tersebut dapat diikuti oleh reaktivasi gejala akut secara
periodic. Dasar peyakit ialah radang sus besar dengan ulkus menggaung, disebut juga
colitis ulserosa amebic.
Pada pemeriksaan tinja segar, stadium trofozoit E.histolytica sulit ditemukan,
karena sebagian besar parasite sudah masuk ke jaringan usus. Karena itu dilakukan uji
serologi untuk menemukan zat antiameba atau antigen E.histolytica. Sesitivitas uji
serologi zat anti mencapai 75%, sedangkan deteksi antigen mencapai 90% untuk
mendiagnosis amebasis menahun. Pemeriksaan biopsis kolon hasilnya sangat bervariasi
dapat ditemukan penebalan mukosa yang nonspesifik tanpa atau dengan ulkus, ulserasi
fokal dengan atau tanpa E.histolytica ulkus klasik yang berbentuk seperti botol(Flask-
shaped appearance), nekrosis dan perforasi dinding usus.
Predileksi terutama di daerah apendiks atau sekum, jarang sekali ditemukan di
sigmoid. Komplikasi amebiasis intestinal dapat berupa acute necrotizing colitis, toxic
megacolon, amoeboma, amebiasis kutis dan ulkus perianal yang dapat membentuk
fistula. Penderita dengan acute necrotizing colitis sangat jarang ditemukan, tetapi angka
kematian mencapai 50%. Pederita terlihat sakit berat, demam, diare dengan lendir dan
darah, nyeri perut dengan tanda iritasi peritoneum. Bila terjadi perforasi usus atau
pemberian anti ameba tidak memperlihatkan hasil, dilakukan tindakan bedah. Toxic
megacolon juga sangat jarang ditemukan, biasanya berhubungan dengan penggunaan
kortikosteroid. Penderita memerlukan tindakan beda, karena biasanya pemberian anti
ameba saja tidak memperlihatkan perbaikan. Ameboma berasal dari pembentukan
jaringan granulasi kolon yang berbentuk seperti cincin anuler, dapat tunggal atau
multiple. Biasanya ditemukan di sekum atau kolon asenden. Gambaran histologi
menunjukan aringan kolagen dan fibroblast dengan tanda peradangan menahun disertai
granulasi. Ameboma ini menyerupai karsinoma kolon. Amebasis kolon bila tidak diobati
akan menjalar keluar dari usus dan menyebabkan amebiasis ekstra-intestinal. Hal ini
dapat terjadi secara hematogen atau perikontinuitatum. Cara hematogen terjadi bila
ameba telah masuk submucosa kemudian ke kapiler darah, dibawa oleh aliran darah
melalui vena prota kehati dan menimbulkan abses hati.
b. Amebiasis ektra-intestinal
Abses hati merupakan manifestasi ektra-intestinal yang paling sering
ditemukan. Sebagian besar penderita memperlihatkan gejala dalam waktu yang relative
singkat 2-4 minggu. Penderita memperlihatkan gejala demam, batuk dan nyeri perut
kwadran kanan atas. Bila permukaan diafragma hati terinfeksi, maka pada penderita
terjadi nyeri pleura kanan atau nyeri menjalar sampai bahu kanan. Pada 10%-35%
penderita dapat ditemukan gangguan gastrointestinal berupa mual muntah kejang otot
perut, perut kembung, diare dan konstipasi. Pada peeriksaan fisik dapat ditemukan
hepatoegali. Pada fase sub-akut dapat ditemukan penurunan berat badan, demam, nyeri
abdomen yang difus. Abses hati lebih banak ditemukan pada orang dewasa dibandingkan
anak-anak. Kebanyakan abses terbentuk di lobus kanan hati, biasanya soliter. Abses
berisi nanah yang berwarna coklat.
Pada pemeriksaan tinja, E. histolytica hanya ditemukan pada seagian kecil
penderita abses hati. Dapat ditemukan lekositosis dan peningkatan serum alkali fosfatase
pada pemeriksaan darah. Komplikasi abses hati dapat berupa penjalaran secara lngsung
ke pleura dan atau pericardium, abses otak dan amebiasis urogenitalis. Cara
perkontinuinatum terjadi bila abses hati tidak diobati sehingga abes pecah. Ameba yang
keluar dapat menembs diafragma , masuk ke rongga pleura dan paru. Abses hati dapat
juga pecah kedalam rongga perut dan menyebabkan peritonitis atau pecah kedalam
dinding perut, menembus dinding perut sampai ke kulit dan menimbulkan amebiasis kulit
dinding perut. Amebiasis rectum bila tidak diobati dapat menyebar ke kulit sekitar anus,
menyebabkan amebiasis perianal; dapat juga menyebar ke perineum, menyebakan
amebiasis perineal atau ke vagina, menyebabkan amebiasis vagia. Di kulit vagina ameba
ini menimbulkan ulkus. Melalui aliran darah. Stadium trofozoit dapat mencapi paru dan
otak dan menimbulkan abses paru dan otak

4m. Bagaimana penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk menangani kasus An A?


Pengobatan amebiasis meliputi terapi farmakologis, intervensi bedah, dan langkah-
langkah pencegahan, yang sesuai. Kebanyakan individu dengan amebiasis dapat diobati secara
rawat jalan. Beberapa skenario klinis dapat mendukung rawat inap, sebagai berikut:

1. kolitis berat dan hipovolemia memerlukan penggantian volume melalui intravena


2. abses hati
3. kolitis fulminan yang memerlukan pembedahan
4. Peritonitis dan diduga amebic abses pada hati pecah
amebiasis usus mungkin keliru ditangani sebagai penyakit radang usus (IBD). Dengan demikian,
pada semua pasien dengan dugaan IBD, lebih rendah gastrointestinal (GI) endoskopi harus
dilakukan sebelum pengobatan dengan steroid dimulai
Terapi farmakologis yang diberikan pada penderita amebiasis yang invasif berbeda
dengan non-invasif. Pada penderita amebiasis non-invasif dapat diberikan paromomisin. Pada
penderita amebiasis invasive terutama diberikan golongan nitroimindazol yaitu metronidazole.
Pada penderita fulminant colitis, dapat ditambakan pemberian antibiotic spectrum luas untuk
membunuh bakteri.
Pada penderita abses hati ameba dapat dilakukan drainase abses selain pemberian obat
anti ameba. Hal ini dapat dilakukan pada penderita abses hati yang setelah pengobatan 5-7 hari
tidak memperlihatkan perbaikan klinis. Pada penderita dengan resiko tinggi rupture abses
misalnya dengan lesi berdiameter 5 cm atau di lobus kiri. Pemberian antibiotic pada penderita
abses hati dapat dilakukan bila tidak terjadi penyebembuhan setelah pengobatan dengan
antiameba.
Obat amebisid dapat dikelompkan menjadi 2 kategori yaitu
a. obat yang bekerja pada lumen usus
1. paromomisin
2. Diloksanid furoat
3. iodoquinol
b. Obat yang bekerja pada jaringan
1. emetin hidroklorida
2.Metronidazole
3.klorokuin.

4n. Bagaimana pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi?


Pencegahan Amebiasis terutama dipertujukan pada kebersha perorangan dan kebersihan
lingkungan. Kebersihan peroragan antara lain mencucui tangan dengan bersih sesudah buang air
besar dan sebelum makan. Kebersihan lingkungan meliputi masak air minum sampai mendididh
sebelum diminum, mencuci saturan sampai bersih atau memasaknya sebelum dimakan , buang
air besar di jamban, tidak menggunakan tinja manusia untuk pupuk, menutup dengan baik
makanan yang dihidangkan untuk menghidari kontaminasi oleh lalat dan lipas .

Anda mungkin juga menyukai