Anda di halaman 1dari 6

IR-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB 4

PEMBAHASAN

4.1 Dampak Psikologis terkait Wabah COVID-19 dan Faktor yang

Berhubungan dengan Dampak Psikologis pada Mahasiswa

4.1.1 Hubungan Jenis Kelamin dengan Dampak Psikologis

Dampak psikologis terkait wabah COVID-19 dipengaruhi oleh jenis

kelamin. Beberapa studi melaporkan bahwa perempuan cenderung berisiko

mengalami tingkat depresi dan kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

laki-laki selama pandemi COVID-19 (Chen et al., 2020; Essadek & Rabeyron,

2020; Patsali et al., 2020; Sundarasen et al., 2020). Perempuan mengalami stress

emosional terkait COVID-19 (Torun & Torun, 2020). Perempuan umumnya lebih

mengekspreksikan emosi daripada laki-laki, dan pandemic baru-baru ini

kemungkinan memperburuk keadaan. Ambang batas ketidakpastian perempuan

lebih rendah daripada laki-laki, melewati ambang itu akan memicu stress dan

kecemasan (Sundarasen et al., 2020).

Ada perbedaan respon antara laki-laki dan perempuan saat menghadapi

konflik. Otak perempuan memiliki kewaspadaan yang negative terhadap adanya

konflik dan stress, pada perempuan konflik memicu hormone negative sehingga

memunculkan stress, gelisah, dan rasa takut. Sedangkan laki-laki umumnya

menikmati adanya konflik dan persaingan, bahkan menganggap konflik dapat

memberikan dorongan yang positif. Ketika perempuan menghadapi tekanan,

umumnya akan mudah mengalami stress (Brizendine, 2007)

20

SKRIPSI DAMPAK PSIKOLOGIS TERKAIT ... LISTYA ERNISSA MARDHA


21

Jenis kelamin berperan terhadap terjadinya stress. Perempuan pada

umumnya berorientasi pada perasaan. Pada masa pandemic COVID-19,

masyarakat dihadapkan pada ketidakpastian. Ketidakpastian yang dirasakan

individu khususnya perempuan menyebabkan timbulnya stress, depresi, dan

kecemasan. Individu dapat mengelola stress dengan cara berusaha tetap berpikir

positif dan mengontrol emosi. Distraksi stress dan kecemasan bisa dilakukan

dengan berusaha tetap produktif selama menjalani karantina.

4.1.2 Hubungan Status Ekonomi dengan Dampak Psikologis

Status ekonomi mempengaruhi psikologis mahasiswa selama pandemi

COVID-19. Kendala finansial yang dihadapi menyebabkan mahasiswa memiliki

skor depresi, kecemasan, dan distress yang tinggi (Wenjun Cao et al., 2020;

Essadek & Rabeyron, 2020; Hasan et al., 2020; Husky et al., 2020). Masyarakat

dari kelompok sosial ekonomi kelas bawah cenderung menghadapi lebih banyak

masalah dengan ketidakpastian finansial dalam situasi karantina dan efek

psikologis tampaknya bertahan lama bahkan setelah karantina (Hasan et al.,

2020). Individu yang memiliki penghasilan dibawah UMR dan tidak memiliki

pekerjaan yang tetap mengalami tingkat kecemasan dan persepsi stress yang lebih

tinggi (Torun & Torun, 2020). Dari segi finansial, para mahasiswa khawatir

dengan kemampuan mereka untuk mengelola keuangan untuk pendidikan

dikarenakan pendapatan keluarga mereka yang berkurang dan hilangnya

kesempatan untuk bekerja dan membiayai studi mereka sendiri (Wenjun Cao et

al., 2020; Sundarasen et al., 2020).

Salah satu penyebab stress yang paling utama bagi mahasiswa adalah

berpenghasilan rendah dan/atau kesulitan keuangan, yang di definisikan sebagai


22

tekanan ekonomi yang dirasakan berupa kurangnya dukungan finansial.

Mahasiswa melaporkan bahwa empat dari lima penyebab stress teratas dalam

hidup mereka melibatkan kondisi keuangan, penyebab sress ini memengaruhi

kemajuan dan kinerja akademik mereka (Trombositas, 2020).

Pandemi COVID-19 membuat banyak orang merasa cemas, stress, depresi,

dan bahkan memicu pemikiran bunuh diri. Individu khawatir sakit atau tertular

COVID-19, namun disisi lain masalah finansial juga membuat mereka khawatir.

Terdampaknya aspek ekonomi yang dialami keluarga atau individu itu sendiri,

menyebabkan mahasiswa memikirkan pengelolaan keuangan mereka untuk tetap

melanjutkan pembiayaan uang pendidikan mereka. Mahasiswa yang telah

memiliki kerja sampingan juga mengalami stress karena pemutusan atau

pemberhentian sementara hubungan kerja bisa terjadi sewaktu-waktu. Hal ini

tentu berdampak pada pengelolaan keuangan serta keberlangsungan hidup

mereka.

4.1.3 Hubungan Tinggal Sendirian dengan Dampak Psikologis

Mahasiswa yang tinggal sendirian secara signifikan tingkat depresi,

kecemasan, dan distress mereka meningkat (Essadek & Rabeyron, 2020).

Mahasiswa yang tidak tinggal bersama dengan orang tua mereka cenderung

mengalami kecemasan tingkat berat (Wenjun Cao et al., 2020; Sundarasen et al.,

2020). Mahasiswa yang tinggal sendirian biasanya jauh dari orang-orang yang

mereka cintai. Ancaman keselamatan dan keamanan mendadak selama pandemi

dapat membuat mahasiswa merasa lebih kesepian dan menghadapi tantangan dari

berbagai sudut (Sundarasen et al., 2020).


23

Individu yang tinggal sendirian akan merasakan kesepian. Kesepian

didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh

ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang kita inginkan dan jenis

hubungan sosial yang kita miliki. Kesepian merupakan pengalaman subyektif,

seseorang dapat merasa kesepian walaupun ia berada di tengah keramaian atau

sebaliknya. Selain itu kesepian merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan

dan juga menyedihkan (Peplau & Perlman, 1982). Kesepian akan disertai oleh

berbagai macam emosi negative seperti depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan,

ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri (Anderson, Miller, Riger, Dill, &

Sedikides, 1994).

Tinggal jauh dari orang yang dicintai di tengah pandemic COVID-19 akan

menimbulkan kesepian dan kecemasan. Kecemasan bisa berupa kecemasan pada

diri sendiri maupun pada orang-orang terdekat. Kecemasan pada diri sendiri dapat

menimbulkan stress. Individu akan merasa cemas apabila ia khawatir kehilangan

seseorang yang mereka cintai. Kesepian mendalam yang dialami individu juga

dapat menimbulkan pemikiran bunuh diri. Individu yang hidup jauh dari orang-

orang yang mereka sayangi dapat memanfaatkan teknologi untuk membantu

mereka agar tetap terhubung dengan kerabat mereka, dengan begitu individu dapat

saling memberi dukungan sosial daring di masa pandemic COVID-19 dan

menjaga komunikasi dengan orang lain.

4.1.4 Hubungan Paparan Informasi dengan Dampak Psikologis

Paparan berita COVID-19 di media sosial dan media massa secara

signifikan berhubungan dengan tingginya skor stress dan depresi (Hasan et al.,

2020). Sundarasen et al. (2020) mengatakan bahwa mahasiswa yang berada dalam
24

kelompok usia 17 hingga 18 tahun cenderung mengalami kecemasan dikarenakan

mereka mengakses sosial media secara terus-menerus. Media sosial memberi

akses mudah dalam pencarian informasi terutama dalam situasi lockdown,

meskipun demikian, “selalu aktif” di media sosial dapat melelahkan dan

mempengaruhi kesehatan mental mahasiswa. Pesan yang disampaikan dengan

cara yang negatif di media sosial dapat memicu kecemasan, liputan yang terus

menerus disiarkan selama 24/7 mungkin membuat COVID-19 seolah-olah ada

dimana saja. Mahasiswa yang menghabiskan waktu mereka untuk mencari

informasi yang berfokus pada COVID-19 selama lebih dari 5 jam per hari

memiliki skor tertinggi dari gejala depresi. Gejala depresi mahasiswa berbeda

menurut rata-rata waktu yang dihabiskan untuk memperoleh informasi terkait

pandemic COVID-19 (Chen et al., 2020).

Kelebihan informasi adalah situasi ketika individu disajikan sejumlah besar

informasi di media sosial yang melebihi kapasitas yang dapat mereka proses

(Eppler & Mengis, 2004). Kelebihan informasi ditemui di media sosial

mempersulit individu memproses informasi sehingga mengakibatkan dirinya

mengalami social media fatigue (Bright, Kleiser, & Grau, 2015; Lee, Son, & Kim,

2016). Hampir sebagian besar masyarakat dunia berada dalam ketidakpastian dan

menerima banyak informasi melalu berbagai macam media di masa pandemic

COVID-19. Penyebaran informasi masa kini melalui media masa sangat mudah.

Informasi yang didapatkan mahasiswa dapat meningkatkan pengetahuan mereka

terkait COVID-19. Namun informasi yang yang beredar seringkali berlebihan dan

simpang siur. Terlalu banyak paparan informasi khususnya berita buruk akan

membuat individu semakin merasa cemas dan stress. Mahasiswa dapat mengelola
25

kecemasan dan stress mereka dengan membatasi pemantauan berita secara terus

menerus dan menyaring informasi dari sumber bacaan yang berkualitas serta

berpegang pada sumber yang dapat dipercaya.

Anda mungkin juga menyukai