Anda di halaman 1dari 43

 

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK PEMICU 3

MODUL RESPIRASI

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 8

1.  Orient Dohrirohman (I1011151017)


(I1011151017)
2.  Anton Lius (I1011141077
(I1011141077))
3.  Muhammad Wildan R. (I1011161004)
(I1011161004)
4.  Yessi Yulia Magdalina (I1011161024)
(I1011161024)
5.  Florentina Vina (I1011161043)
(I1011161043)
6.  Ghina Tsamara (I1011161011)
(I1011161011)
7.  Firgina Presirina Linthin (I1011161044)
(I1011161044)
8.  Trifosa Pujaningtyas Baye (I1011161050)
(I1011161050)
9.  Andri Muhrim Siddiq (I1011161061)
(I1011161061)
10.  Khairunnisa (I1011161077)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2018
 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pemicu

Seorang laki-laki berusia 1 tahun dibawa orang tuanya ke Instalansi


Gawat Darurat Rumah Sakit dikarenakan sesak napas. Batuk dialami sejak 2
hari terakhir. Anak juga mengalami demam. Anak sering kesulitan
mengeluarkan dahak serta sering terdengar bunyi grok grok. Saat bernapas
terlihat lebih cepat dan anak cekungan pada dinding dada bagian bawah.
Menurut Ibu, sang anak tertular batuk dari kakaknya yang berusia 6 tahun.
Ibu pasien juga khawatir jika anaknya menderita penyakit asma seperti
dirinya.

1.2 Klarifikasi dan Definisi

1.3 Kata Kunci

1.  Anak laki-laki 1 tahun


2.  Sesak napas
3.  Batuk 2 hari terakhir
4.  Demam
5.  Sulit mengeluarkan dahak

6.  Terdengar bunyi grok


7.  Takipnea
8.  Retraksi dinding dada
9.  Riwayat penyakit keluarga: Asma
 

1.4 Rumusan Masalah

Apa yang dialami anak berusia 1 tahun dengan keluhan batuk, demam,
dan sesak napas?

1.5 Analisis Masalah

Anak laki-laki 1
tahun

Keluhan Utama: Anamnesis:


-Sesak napas Pemeriksaan fisik:
-Batuk
-Batuk 2 hari yg lalu -Takipnea
-Riwayat
-Demam -Retraksi dinding
keluarga:
-Sulit mengeluarkan dada
dahak
-Terdengar bunyi grok

Diagnosis Banding:
-Pneumonia
-Bronkiolitis

Pemeriksaan
Penunjang

Diagnosis

Tatalaksana

1.6 Hipotesis

Anak laki-laki 1 tahun mengalami pneumonia.

1.7 Pertanyaan Diskusi
1.  Pneumonia
a.  Definisi
 

 b.  Klasifikasi
c.  Epidemiologi
d.  Etiologi
e.  Patofisiologi
f.  Manifestasi Klinis
g.  Diagnosis
h.  Faktor resiko
i.  Tata Laksana
2.  Bronkiolitits
a.  Definisi
 b.  Klasifikasi
c.  Epidemiologi
d.  Etiologi
e.  Patofisiologi
f.  Manifestasi Klinis
g.  Diagnosis
h.  Faktor resiko
i.  Tata Laksana
3.  Mengapa terdengar bunyi grok saat batuk?
4.  Penilaian batuk dan kesukaran bernapas pada anak.
5.  Jelaskan mengenai asma?
6.  Mengapa dapat terjadi retraksi dinding dada? Dan apa saja yang dapat
menyebabkan retraksi dinding dada?
7.  Mekanisme Sesak napas, batuk dan demam?
8.  Tanggap adaptif tubuh dan apa saja yang bekerja terhadap etiologi sistem
respirasi.
9.  Penyebab kelainan sistem respirasi.
10. Apakah yang perlu digali untuk menegakkan diagnosis bronkitis akut?
11. Tindakan yang dapat dilakukan pada bronkiolitis akut.
12. Epidemiologi di Indonesia dan didunia.
 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Pneumonia
2.1.1  Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu
 peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri,
virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan
 paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi,
aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis. 1 
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru,
distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus
respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan
gas setempat.2
 paru dan gangguan pertukaran gas

2.1.2  Klasifikasi3 
1.  Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologi:
a.  Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia) 
pneumonia) 
adalah pneumonia infeksi pada seseorang yang tidak
menjalani rawat inap di rumah sakit.
 b.  Pneumonia nosokomial (hospital-acquired
(hospital-acquired pneumonia)
pneumonia)
adalah pneumonia yang diperoleh selama perawatan di
rumah sakit atau sesudahnya karena penyakit lain atau
 prosedur.
c.  Pneumonia aspirasi disebabkan oleh aspirasi oral atau bahan
dari lambung, baik ketika makan atau setelah muntah. Hasil
inflamasi pada paru bukan merupakan infeksi tetapi dapat
menjadi infeksi karena bahan yang teraspirasi mungkin
mengandung bakteri anaerobik atau penyebab lain dari
 pneumonia.
 

d.  Pneumonia pada penderita immunocompromised   adalah


 pneumonia yang terjadi pada penderita yang mempunyai
daya tahan tubuh lemah.
2.  Klasifikasi pneumonia berdasarkan kuman penyebab:
a.  Pneumonia bakterial/tipikal adalah pneumonia yang dapat
terjadi pada semua usia. Beberapa kuman mempunyai
tedensi menyerang seseorang yang peka, misalnya
 Klebsiella   pada penderita alkoholik dan Staphylococcus
 Klebsiella
 pada penderita pasca infeksi influenza.
 b.  Pneumonia atipikal adalah pneumonia yang disebabkan oleh
 Mycoplasma..
 Mycoplasma
c.  Pneumonia virus.
d.  Pneumonia jamur adalah pneumonia yang sering
merupakan infeksi sekunder, terutama pada penderita
dengan daya tahan tubuh lemah (Immunocompromised)
(Immunocompromised)..
3.  Klasifikasi pneumonia
pneumonia berdasarkan predileksi infeksi:
a.  Pneumonia lobaris adalah pneumonia yang terjadi pada satu
lobus atau segmen dan kemungkinan disebabkan oleh
adanya obstruksi bronkus, misalnya pada aspirasi benda
asing atau adanya proses keganasan. Jenis pneumonia ini
 jarang terjadi pada bayi dan orang tua dan sering pada
 pneumonia bakterial.
 b.  Bronkopneumonia adalah pneumonia yang ditandai dengan
adanya bercak-bercak infiltrat pada lapang paru. Pneumonia
 jenis ini sering terjadi pada bayi dan orang tua, disebabkan
oleh bakteri maupun virus dan jarang dihubungkan dengan
obstruksi bronkus.
c.  Pneumonia interstisial.
 

4.  Klasifikasi pneumonia berdasarkan kelompok usia:4 

Tanda Penyerta Selain


Kelompok
Klasifikasi Batuk atau Sukar
Umur
Bernafas
Pneumonia Tarikan dinding dada
 berat  bagian bawah ke dalam
(Chest Indrawing). 
Indrawing). 
Pneumonia Napas cepat sesuai
golongan umur:
-  2 bulan-<1 tahun : 50
2 bulan - < 5
kali atau lebih/menit.
bulan
-  1-<5 tahun: 40 kali
atau lebih/menit.
Bukan Tidak ada napas cepat dan
 pneumonia tidak ada tarikan dinding
dada bagian bawah ke
dalam.
Pneumonia  Napas cepat >60 kali atau
 berat lebih per menit atau
tarikan kuat dinding dada
 bagian bawah ke dalam.
< 2 bulan
Bukan Tidak ada napas cepat dan
 pneumonia tidak ada tarikan dinding
dada bagian bawah ke
dalam.
Tabel 1. Kelompok Usia

2.1.3  Epidemiologi
Di Indonesia pneumonia juga
juga masih menjadi masalah kesehatan
 pada balita. Jumlah kasus pneumonia balita di Indonesia pada tahun
2012 adalah sebesar 549.708 kasus sedangkan pada tahun 2013
 

sebesar 571.547
571.547 kasus. Terjadi peningkatan kasus yang cukup
signifikan yaitu sebesar 25% dari kasus pneumonia sebelumnya.
Angka kematian balita akibat pneumonia juga menunjukkan
menunjukkan kenaikan
yang sangat signifikan dimana angka kematian balita akibat
 pneumonia pada tahun 2012 sebesar 609 balita sedangkan pada tahun
2013 sebesar 6774 balita. Kenaikan angka kematian balita akibat
 pneumonia mencapai lebih dari 600% dari tahun
t ahun sebelumnya, hal ini
i ni
hendaknya menjadi perhatian serius pemerintah untuk menangani
kasus pneumonia dari penemuan, intervensi, diagnosa dan pengobatan
khususnya bagi balita.5
 pneumonia khususnya

2.1.4  Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari
kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar
negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia
di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negatif sedangkan
 pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir-
akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa
 bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia
komuniti adalah bakteri Gram negatif.6 

Tabel 2.
 

2.1.5  Patofisiologi
Proses patogenesis pneumoni terkait dengan 3 faktor yaitu
keadaan (imunitas) inang, mikroorganisme yang menyerang dan
lingkungan yang berinteraksi satu sama lain. Interaksi ini akan
menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari pneumonia, berat
ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara empiris
serta prognosis dari pasien.7
Cara terjadinya penularan berkaitan dengan jenis kuman,
misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococcus
 pneumoniae, melalui selang infus oleh Staphylococcus aureus,
sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh  P. Aeruginosa dan
 Enterobacter. Pada masa kini terlihat perubahan pola mikroorganisme
 penyebab ISNBA akibat adanya perubahan keadaan pasien seperti
gangguan kekebalan dan penyakit kronik, polusi lingkungan, dan
 penggunaan antibiotik yang tidak tepat yang menimbulkan perubahan
karakteristik kuman. Dijumpai peningkatan patogenitas/jenis kuman
akibat adanya berbagai mekanisme, terutama oleh S. aureus, B.
catarrhalis, H. influenza, & Enterobacteriacae. Juga oleh berbagai
 bakteri enterik gram negatif.7
Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian
 perifer melalui saluran resporatori. Ada 3 stadium dalam patofisiologi
 penyakit pneumonia, yaitu:8
1.  Stadium hepatisasi merah.
Mula-mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan
sekitarnya. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi,
yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema,
dan ditemukannya kuman di alveoli.
2.  Stadium hepatisasi kelabu.
Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat fibrin
dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang
cepat.
 

3.  Stadium resolusi.


Setelah itu, jumlah makrofag meningkat di alveoli, sel akan
mengalami degenerasi, fibrin menipis, kuman dan debris
menghilang. Sistem bronkopulmoner jaringan paru yang tidak
terkena akan tetap normal.

2.1.6  Manifestasi Klinis


Gejala khas adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik
non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir,
 
 purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak.
Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada sisi
yang sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik
didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada bagian bawah saat
 pernafasan, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi
redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan
bronkial, pleural friction rub.9
 pleura, ronki, suara pernafasan bronkial, pleural
Gambaran klinis dari pneumonia biasanya ditandai dengan: 10 
1.  Demam, Menggiggil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi
40°C.
2.  Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai
darah.
3.  Sesak napas.
4.   Nyeri dada.
2.1.7  Diagnosis11 
Penegakan diagnosis dibuat dengan maksud pengarahan kepada
 pemeberian terapi yaitu dengan cara mencakup bentuk dan luas
 penyakit, tingkat berat penyakit, dan perkiraan jenis
je nis kuman penyebab
infeksi. Dugaan mikroorganisme penyebab infeksi akan mengarahkan
kepada pemilihan terapi empiris antibiotik yang tepat. Seringkali
 bentuk pneumonia mirip meskipun disebabkan oleh kuman yang
 berbeda. Diagnosis pnemonia didasarkan kepada riwayat penyakit
 

yang lengkap, pemeriksaan fisk yang teliti dan pemeriksaan


 penunjang.
2.1.8  Faktor Resiko
Hasil penelitian dari berbagai negara termasuk Indonesia dan
 berbagai publikasi ilmiah dilaporkan faktor resiko baik yang
meningkatakan insiden (morbiditas) maupun kematian (mortalitas)
akibat pneumonia, adalah sebagai berikut:12
a.  Faktor resiko yang meningkatkan insiden pneumonia meliputi:
  Faktor resiko pasti (definite
(definite)) : malnutrisi, BBLR, tidak ASI
Eksklusif, tidak dapat imunisasi campak, polusi udara dalam
rumah dan kepadatan penduduk.
  Faktor resiko pasti (definite
(definite)) : malnutrisi, BBLR, tidak ASI
Eksklusif, tidak dapat imunisasi campak, polusi udara dalam
rumah dan kepadatan penduduk.
  Kemungkinan faktor resiko ( Possible):
 Possible): pendidikan ibu,
kelembapan, udara dingin, defisiensi vitamin A, Polusi udara
luar, urutan kelahiran dalam keluarga, kemiskinan.
 b.  Faktor resiko yang meningkatkan angka kematian pneumonia.
Faktor resiko yang meningkatkan angka kematian pneumonia ini
 perlu mendapatkan perhatian kita semua agar upaya penurunan
kematian karena pneumonia dapat dicapai. Faktor resiko ini
merupakan gabungan faktor resiko insidens seperti tersebut
diatas ditambah dengan faktor tata laksana pelayanan kesehatan
yaitu:
  Ketersediaan pedoman tata laksana, Ketersediaan tenaga
kesehatan terlatih yang memadai.
  Kepatuhan tenaga kesehatan terhadap pedoman.
  Ketersediaan fasilitas yang diperlukan untuk tata laksanan
 pneumonia (obat, oksigen,perawatan intensif).
intensif).
  Prasarana dan sistem rujukan.
 

2.1.9  Tata Laksana13 


Pada prinsipnya terapi utama pneumonia adalah pemberian
antibiotic tertentu terhadap kuman tertentu pada sesuatu tipe dari
Infeksi Saluran Napas Bawah
Ba wah Akut (ISNBA) baik pneumonia ataupun
 bentuk lain, dan AB ini dimaksudkan sebagai terapi kausal terhadap
kuman penyebab termaksud.
Farmakokinetik antibiotik mempertimbangkan proses
 bakterisidal dengan kadar hambat minimal yang sama dengan kadar
 bakterisidal minimal. Untuk mencapai efektivitas optimal, obat yang
tergolong mempunyai sifat dose dependent   misalnya sefalosporin,
 perlu diberikan dalam 3-4x/hari, sedangkan golongan concentration
dependent (misalnya aminoglikosida, kuinolon) cukup 1-2 kali sehari
namun dengan dosir yang lebih besar. Penting dipahami berbagai
aspek tentang antibiotik untuk efisiensi antibiotik. Secara praktis
dipilih antibiotic yang ampuh dan secara empiric telah terbukti
merupakan obat pilihan utama dalam mengatasi kuman penyebab
yang paling mungkin pada pneumonia. Efektivitas antibiotic
tergantung kepada kepekaan kuman terhadap antibiotic ini,
 penetrasinya ke tempat lesi infeksi, toksititas, interaksi dengan obat
lain dan reaksi pasien misalny alergi dan toleransi.

2.2  Bronkiolitis
2.2.1  Definisi
Bronkiolitis adalah suatu infeksi sistem respiratorik bawah akut
yang ditandai dengan pilek, batuk, distres pernapasan dan ekspiratorik
effort (usaha napas pada saat ekspirasi). 14

2.2.2  Klasifikasi15 
1.  Anamnesis
a.  Batuk dan kesulitan bernapas
  Lama dalam hari
  Pola: malam/dini hari?
 

   Faktor pencetus
   Paroksismal dengan whoops
whoops   atau muntah sianosis
sentral.
 b.  Kontak dengan pasien TB (atau batuk kronik) dalam
keluarga
c.  Gejala lain (demam, pilek, wheezing , dll)
d.  Riwayat tersedak atau gejala yang tiba-tiba
e.  Riwayat infeksi HIV
f.  Riwayat imunisasi: BCG, DPT, campak, Hib
g.  Riwayat atopi (asma, eksem, rinitis, dll) pada pasien atau
keluarga.
2.  Pemeriksaan fisik
a.  Umum
  Sianosis sentral.
  Merintih/grunting, pernapasan cuping hidung, wheezing,
stridor.
  Kepala terangguk-angguk (gerakan kepala yang sesuai
dengan inspirasi menunjukkan adanya distres pernapasan
 berat).
  Peningkatan tekanan vena jugularis.
  Telapak tangan sangat pucat.

 b.  Dada
  Frekuensi pernapasan (hitung napas selama 1 menit
ketika anak tenang).
   Napas cepat:
-  Umur < 2 bulan : > 60 kali
-  Umur 2 – 
2 –  11
 11 bulan : > 50 kali
-  Umur 1 – 
1 –  5
 5 tahun : > 40 kali
-  Umur > 5 tahun : > 30 kali
  Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest-
( chest-
indrawing ))*
*
 

  Denyut apeks bergeser/trakea terdorong dari garis tengah


  Auskultasi
Auskultasi – 
 – crackles
crackles (ronki) atau suara napas bronkial
  Irama derap pada auskultasi jantung
  Tanda efusi pleura (redup) atau pneumotoraks

(hipersonor) pada perkusi.

*Catatan:
Catatan:   tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
(chest-indrawing ) terjadi ketika dinding dada bagian bawah
tertarik saat anak menarik napas. Bila hanya jaringan lunak
antar iga atau di atas klavikula yang tertarik pada saat anak
 bernapas, hal ini tidak menunjukkan tarikan dinding dada
 bagian bawah.

c.  Abdomen

  Masa abdominal: cair, padat


   Pembesaran hati dan limpa.

 Pulse-oximetry :  untuk mengetahui saat pemberian atau


menghentikan terapi oksigen. Foto dada dilakukan pada
anak dengan pneumonia berat yang tidak memberi respons
terhadap pengobatan atau dengan komplikasi, atau
 berhubungan dengan
dengan HIV.

DIAGNOSIS  GEJALA YANG DITEMUKAN 

   Demam
   Batuk dengan napas cepat
   Crackles (ronki) pada auskultasi
   Kepala terangguk-angguk
Pneumonia    Pernapasan cuping hidung
   Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
   Merintih ( grunting 
 grunting )
   Sianosis
 

   Episode pertama wheezing


wheezing pada
 pada anak umur < 2 tahun
   Hiperinflasi dinding dada
   Ekspirasi memanjang
Bronkiolotis
   Gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai
   Kurang/tidak ada respons dengan bronkodilator

   Riwayat wheezing
wheezing berulang
 berulang
Asma    Lihat diagnosis banding anak dengan wheezing .

Tabel 3. Diagnosis dan gejala

2.2.3  Epidemiologi
Bronkiolitis umumnya disebut sebagai disease of infancy,
infancy,
umunya mengenai bayi dengan insidens puncak pada usia 2 sampai 6

 bulan; lebih dari 80% kasus terjadi pada tahun pertama kehidupan. Di
AS kejadian bronkiolitis lebih sering terjadi pada anak laki-laki, pada
anak yang tidak diberi ASI dan tinggal di lingkungan padat penduduk.
Risiko lebih pada anak dari ibu usia muda atau ibu yang merokok
selama kehamilan.16 
Sekitar 20% anak pernah mengalami satu episode infeksi
respiratorik akut bagian bawah dengan mengi
mengi pada tahun pertama.
Angka kejadian rawat inap IRA-B tiap tahun berkisar antara 3000
sampai 50000-80000 bayi, kematian sekitar 2 per 100000 bayi.

Bronkiolitis akut bersifat musiman, pada umumnya terjadi pada usia


kurang dari 2 tahun dengan puncak kejadian pada usia 6 bulan
 pertama, serta lebih sering pada laki-laki.17 

2.2.4  Etiologi
Etiologi utama epidemi bronkiolitis adalah RSV (Tabel 1).1,2,3
Sekitar 75,000  –  125,000
  125,000 anak di bawah 1 tahun dirawat di Amerika
Serikat akibat infeksi RSV setiap tahun.1,2,3 Infeksi saluran napas
 bawah disebabkan oleh RSV pada 22,4 dari 100 anak pada tahun

 pertama kehidupan. 1,3 Dari semua infeksi RSV pada anak di bawah
 

12 bulan, sepertiga kasus diikuti penyakit saluran napas bawah.3


Meskipun tingkat serangan RSV menurun seiring dengan
 bertambahnya usia, frekuensi infeksi saluran napas bawah pada anak
terinfeksi RSV tidak berkurang hingga usia 4 tahun.18

2.2.5  Patofisiologi
Bronkiolitis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas
 bagian atas yang disebabkan virus, parainfluenza, dan bakteri.
Bronkiolitis akut ditandai obstruksi bronkiolus yang disebabkan oleh
edema, penimbunan lendir, serta debris-debris seluler. Karena tahanan
terhadap aliran udara di dalam tabung berbanding terrbalik dengan
 pangkat tiga dari tabung tersebut, maka penebalan kecil yang pada
dinding brokioluspada bayi akan mengakibatkan pengaruh besar atas
aliran udara. Tekanan udara pada lintasan udara kecil akan meningkat
 baik selama fase inspirasi maupun selama
sel ama fase ekspirasi, karena jari-
 jari suatu saluran nafas mengecil selama ekspirasi, maka obstruksi
 pernafasan akan mengakibatkan terrperangkapnya udara serta
 pengisian udara yang berlebihan. Proses patologis yang terjadi akan
mengganggu pertukaran gas normal di dalam paru. Ventilasi yang
makin menurun pada alveolus akan mengakibatkan terjadinya
hipoksemia dini.19

2.2.6  Manifestasi Klinis20 


Manifestasi klinik dari bronkiolitis akut biasanya didahului oleh
infeksi saluran nafas bagian atas, disertai dengan batuk pilek beberapa
hari, biasanya disertai kenaikan suhu atau hanya subfebris. Anak
mulai menderita sesak nafas. makin lama makin berat, pernafasan
dangkal dan cepat, disertai serangan batuk. Terlihat juga pernafasan
cuping hidung disertai retraksi interkostal dan suprasternal, anak
menjadi gelisah dan sianotik. Pada pemeriksaan terdapat suara perkusi
hipersonor, ekspirium memenjang disertai dengan mengi (Wheezing 
( Wheezing ).
).
 

Ronchi nyaring halus kadang-kadang terdengar pada akhir


ekpirasi atau permulaan ekpirasi. Pada keadaan yang berat sekali,
suara pernafasan tidak terdengar karena kemungk:inan obtruksi
hampir total. Foto rontgen menunjukkan paru-paru dalam keadaan
hipererasi dan diameter antero posterior membesar pada foto lateral.
Pada sepertiga pasien ditemukan bercak di sebabkan atelektasis atau
radang.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan gambaran darah tepi
dalam batas normal, kimia darah menunjukkan gambaran asidosis
respiratorik maupun metabolik. Usapan nasofaring menunjukkan flora
 bakteri normal.
Bila menjumpai pasien atau bayi anak di bawah umur 2 tahun
yang menunjukkan gejala pasien asma, harus hati-hati karena dapat
terjadi pada pasien dengan bronkiolitis akut. Bedanya, pasien asma
akan memberikan respon terhadap bronkodilator, sedangkan pasien
 brokiolitis akut tidak.

2.2.7  Diagnosis
Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur
 penderita dan adanya epidemi RSV di masyarakat . Kriteria
 bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing
wheez ing pertama kali, (2) umur 24 bulan
atau kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi
virus misalnya batuk, pilek, demam dan (4) menyingkirkan
 pneumonia atau riwayat atopi yang dapat menyebabkan wheezing.
Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya
normal.21
Pada pasien dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi
oleh PMN dan bentuk batang. Analisa gas darah dapat menunjukkan
adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan asidosis metabolik jika
terdapat dehidrasi. Gambaran radiologik mungkin masih normal bila
 bronkiolitis ringan. Umumnya terlihat paru-paru mengembang
(hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak yang tersebar,
 

mungkin atelektasis (patchy atelectasis ) atau pneumonia (patchy


infiltrates). Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang
 bertambah dan diafragma tertekan ke bawah. Pada pemeriksaan x-foto
dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung
yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan
mendatar, diameter anteroposterior dada bertambah, ruang
retrosternal lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah paru tampak
tersebar. Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan
 pemeriksaan aspirasi atau bilasan nasofaring. Pada bahan ini dapat
dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama, dan
hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu
dengan melakukan pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan
cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas pemeriksaan ini adalah
80-90%.22

2.2.8  Faktor Resiko23 


1.  Usia tua atau anak-anak
2.  Merokok
3.  Adanya penyakit paru yang menyertai
4.  Infeksi Saluran Pernapasan yang disebabkan oleh virus.
5.  Splenektomi (Pneumococcal Pneumonia) 
Pneumonia) 
6.  Obstruksi Bronkhial
7.  Immunocompromise atau mendapat obat Immunosupressive
seperti- kortikosteroid.

2.2.9  Tata Laksana


Infeksi virus RSV biasanya bersifat self-limiting, sehingga
hanya suportif.24
 pengobatan biasanya hanya
Prinsip Pengobatan:
1.  Oksigenasi
Pemberian oksigen dilakukan pada semua anak dengan mengi
dan distres pernapasan berat, metode yang direkomendasikan
 

adalah dengan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter


nasofaringeal dengan kadar oksigen 30  –   40%.25  Apabila tidak
ada oksigen, anak harus ditempatkan dalam ruangan dengan
kelembapan udara tinggi, sebaiknya dengan uap dingin (mist
tent) untuk mencairkan sekret di tempat peradangan.24  Terapi
oksigen diteruskan sampai tanda hipoksia hilang. 25 Penggunaan
kateter nasal >2 L/menit dengan maksimal 8-10 L/menit dapat
menurunkan kebutuhan rawat di Paediatrics Intensive Care Unit
(PICU).8  Penggunaan kateter nasal serupa efektifnya dengan
nasal CPAP bahkan mengurangi kebutuhan obat sedasi. 26 
Pemberian oksigen suplemental pada anak dengan bronkiolitis
 perlu memperhatikan gejala klinis serta saturasi oksigen anak,
karena tujuannya adalah untuk pemenuhan kebutuhan oksigen
anak yang terganggu akibat obstruksi yang mengganggu perfusi
ventilasi paru.27, 28
Transient oxygen desaturation pada anak
umum terjadi saat anak tertidur, durasinya <6 detik, sedangkan
hipoksia pada kejadian bronkiolitis cenderung terjadi dalam
hitungan jam sampai hari.28
2.  Cairan
Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi asidosis
metabolik dan respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah
dehidrasi akibat keluarnya cairan melalui mekanisme penguapan
tubuh (evaporasi) karena pola pernapasan cepat dan kesulitan
minum. Jika tidak terjadi dehidrasi, dapat diberikan cairan
rumatan, bisa melalui intravena maupun nasogastrik. Pemberian
cairan melalui lambung dapat menyebabkan aspirasi, dapat
memperberat sesak, akibat tekanan diafragma ke paru oleh
lambung yang terisi cairan.6  Pemberian cairan melalui jalur
nasogastik atau intravena perlu pada anak bronkiolitis yang tidak
dapat dihidrasi oral. 27
3.  Bronkodilator dan Kortikosteroid
 

Albuterol dan epinefrin, serta kortikosteroid sistemik tidak harus


diberikan.27  Beberapa penelitian meta-analisis dan systematic
reviews di Amerika menemukan bahwa bronkodilator dapat
meredakan gejala klinis, namun tidak mempengaruhi
 penyembuhan penyakit, kebutuhan rawat inap, ataupun lama
 perawatan, sehingga dapat disimpulkan tidak ada keuntungannya,
sedangkan efek samping takikardia dan tremor dapat lebih
merugikan.27
Sebuah penelitian randomized controlled trial di Eropa pada
tahun 2009 menunjukkan bahwa nebulisasi epinefrin dan
deksametason oral pada anak dengan bronkiolitis dapat
mengurangi kebutuhan rawat inap, lama perawatan di rumah
sakit, dan durasi penyakit.29 
 Nebulisasi hypertonic saline dapat diberikan pada anak yang
dirawat. Nebulisasi ini bermanfaat meningkatkan kerja mukosilia
saluran napas untuk membersihkan lender dan debris-debris
seluler yang terdapat pada saluran pernapasan. 30
4.  Antivirus
Ribavirin adalah obat antivirus bersifat virus statik.
Penggunaannya masih kontroversial baik efektivitas maupun
keamanannya.30 The American Academy of Pediatrics
merekomendasikan penggunaan ribavirin pada keadaan yang
diperkirakan akan menjadi lebih berat seperti pada penderita
 bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit
 paru kronik, imunodefisiensi, dan pada bayi-bayi prematur.25 
Ribavirin dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas
 penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung jika diberikan
sejak awal.24
Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol
dengan dosis 20 mg/ml diberikan dalam 12-18 jam per hari
selama 3- 7 hari.24
5.  Antibiotik
 

Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian besar kasus


disebabkan oleh virus, kecuali bila dicurigai ada infeksi
tambahan.27 Terapi antibiotik sering digunakan berlebihan karena
khawatir terhadap infeksi bakteri yang tidak terdeteksi,27 padahal
hal ini justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh kuman
yang resisten terhadap antibiotik tersebut; sehingga
 penggunaannya diusahakan hanya berdasarkan indikasi.24 
Pemberian antibiotic dapat dipertimbangkan untuk anak dengan
 bronkiolitis yang membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik
untuk mencegah gagal napas.27 Antibiotik yang dipakai biasanya
yang berspektrum luas, namun untuk Mycoplasma pneumoniae
diatasi dengan eritromisin.24
6.  Fisioterapi
Fisioterapi dada pada anak bronkiolitis dengan teknik vibrasi
ataupun perkusi (5 trials) atau teknik pernapasan pasif tidak lebih
 baik selain pengurangan durasi pemberian terapi oksigen.27 
Penghisapan sekret daerah nasofaring untuk meredakan
sementara kongesti nasal atau obstruksi saluran napas atas,
namun sebuah studi retrospektif menyatakan deep suctioning
 berhubungan dengan durasi rawat inap lebih lama pada anak usia
 12 bulan.27 
2 –  12

2.3  Mengapa terdengar bunyi grok saat batuk?


Dalam keadaan normal, dinding saluran napas kita menghasilkan cairan
lendir yang banyak fungsinya. Salah satu fungsi utama adalah untuk
 pertahanan saluran napas yaitu untuk memerangkap zat asing yang terbawa
t erbawa
dalam udara yang kita hirup yang berpotensi menimbulkan gangguan saluran
napas. Lendir ini kemudian akan dibawa keluar oleh suatu mekanisme
disebut bersihan mukosilier (mucociliary
(mucociliary clearance).
clearance).
Lendir yang dibawa dari saluran napas bawah ini kemudian akan
sampai di tenggorokan, dan kita telan secara tidak sadar. Bila jumlah lendir
ini lebih banyak daripada biasa, maka akan merangsang refleks batuk untuk
 

mendorong gumpalan lendir keluar. Bersihan mukosilier dan batuk


merupakan pasangan mekanisme pertahanan saluran napas yang sangat
efektif dan bermanfaat. Pada bayi baru lahir, mucociliary clearance 
clearance  ini
 belum begitu baik dalam melaksanakan tugasnya, sehingga tersisa lendir
dalam saluran napasnya. Suara udara napas yang melewati cairan lendir
itulah yang menimbulkan suara grok-grok.31 

2.4  Penilaian batuk dan kesukaran bwrnapas pada anak 32 

Tabel 4. Penilaian Kriteria identitas pasien berdasarkan Pneumonia (radang


 paru-paru)

 
2.5 Jelaskan mengenai asma!
 

Asma adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang terjadi disaluran


 pernafasan sehingga menyebabkan penyempitan pada saluran pernafasan
tersebut. Asma merupakan sindrom yang kompleks dengan karakteristik
obstruksi jalan nafas, hiperresponsif bronkus dan inflamasi pada salur
 pernafasan33 
Individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap
lingkungan. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel
mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan
antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast
(disebut mediator) seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin serta
anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat. Pelepasan mediator ini
dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas,
 bronkospasme, pembengkakakan
pembengkakakan membran mukosa dan pembentukan mukus
yang sangat banyak.34
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur
oleh impuls saraf vegal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau
non alargi ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti
infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi polutan, jumlah asetilkolin yang
dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung
menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator
kimiawi yang dibahas diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai
toleransi rendah terhadap respon parasimpatis.34 
Setelah pasien terpajan alergen penyebab atau faktor pencetus, segera
akan timbul dispnea. Pasien merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau
duduk dan berusaha penuh mengerahkan tenaga untuk bernafas. Kesulitan
utama terletak pada saat ekspirasi. Percabangan trakeobronkial melebar
dan memanjang selama inspirasi, tetapi
tet api sulit untuk memaksakan udara keluar
dari bronkiolus yang sempit, mengalami edema dan terisi mukus, yang
dalam keadaan normal akan berkontraksi sampai tingkatan tertentu pada saat
ekspirasi.34
Udara terperangkap pada bagian distal tempat penyumbatan, sehingga
terjadi hiperinflasi progresif paru. Akan timbul mengi ekspirasi memanjang
 

yang merupakan ciri khas asma sewaktu pasien berusaha memaksakan udara
keluar. Serangan asma seperti ini dapat berlangsung beberapa menit sampai
 beberapa jam, diikuti batuk produktif dengan sputum berwarna keputih-
 putihan34 
Manifestasi klinis pada penyakit Asma yaitu: (1) Bersifat episodic,
seringkali reversible dengan atau tanpa pengobatan; (2) Gejala berupa batuk,
sesak nafas, rasa berat di dada dan berdahak; (3) Gejala timbul/memburuk
terutama malam / dini hari; (4) Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat
individu; (5) Respon terhadap pemberian bronkodilator. 35 

2.6  Mengapa dapat terjadi retraksi dinding dada dan apa saja yang dapat
menyebabkan retraksi dinding dada?
Retraksi dinding dada terjadi saat musculus intercostalis tertarik ke
dalam, yang sering menandakan terjadinya permasalahan pada sistem
 pernapasannya. Musculus intercostalis adalah otot di antara tulang rusuk.
Selama bernapas, otot ini berkontraksi dan menarik tulang rusuk ke atas
sehingga dada mengembang dan paru-paru terisi udara. Retraksi dinding dada
disebabkan oleh berkurangnya tekanan udara di dalam dada. Hal ini bisa
terjadi jika saluran napas bagian atas (trakea) atau saluran pernapasan kecil
 paru-paru (bronkiolus) terblok. Akibatnya, otot intercostal
intercosta l tersedot ke dalam,
di antara tulang rusuk saat bernafas. Ini adalah tanda jalan napas yang
tersumbat. Setiap masalah kesehatan yang menyebabkan penyumbatan di
 jalan napas akan menyebabkan retraksi interkostal. Adapun penyebab retraksi
adalah anafilaksis, asma, bronkiolitis, croup, epiglottitis, pneumonia,
respiratory distress syndrome, dan retropharytoneal abses. 36 

2.7  Mekanisme sesak napas, batuk, dan demam.


Perubahan pH, pCO2, dan pO2 darah arteri dapat dideteksi oleh
kemoreseptor sentral dan perifer. Stimulasi reseptor ini mengakibatkan
 peningkatan aktivitas motorik respirasi.
res pirasi. Aktivitas motorik respirasi
respiras i ini dapat
menyebabkan hiperkapnia dan hipoksia, sehingga memicu terjadinya
dispnea. Kemoreseptor yang ada biasanya tidak merupakan penyebab
 

langsung terjadinya dispnea. Namun, dispnea yang diinduksi oleh


kemoreseptor biasanya merupakan penyebab dari stimulus lain, seperti
hiperkapnia. Hiperkapnia dapat menginduksi terjadinya dispnea melalui
 peningkatan stimulus refleks ke aktivitas otot-otot
otot -otot respiratorik. Sinyal aferen
dari mekanoreseptor di sendi, tendon, dan otot dada berlanjut ke otak dan
dapat menyebabkan dispnea. Sebagai contoh, sinyal aferen dari otot
interkostal (grup I, II, atau keduanya) memiliki jaras langsung ke korteks
serebral.37
Vibrasi dari dinding dada mengaktivasi muscle spindle. Aktivasi ini
dapat menginduksi sensasi dispnea. Jaras yang berasal dari kelompok otot
interkostalis dinilai penting dalam timbulnya sensasi dispnea ini. Aferen
nervus frenikus juga terbukti mampu memodulasi aktivitas diafragma.
Aktivitas ini mempengaruhi propriosepsi respiratorik dan memicu dispnea.
Tidak terlalu banyak informasi yang diketahui mengenai jaras saraf dispnea,
dan mekanismenya dinilai lebih kompleks dibanding nyeri. Namun,
diketahui bahwa aktivitas aferen dari otot repiratorik dan reseptor vagal
 berlanjut ke batang otak, kemudian ke area talamus.   Dispnea dibuktikan
mengaktivasi beberapa area di otak, seperti insula kanan anterior, vermis
serebelum, amygdala, korteks singulum anterior, dan korteks singulum
 posterior. Area ini juga diaktifkan oleh sensasi nyeri dan stimulasi tidak
menyenangkan lainnya (haus, mual).37 
Pada penyakit yang menyerang sistem pernapasan, patofisiologi dispnea
tidak spesifik terhadap satu jalur saja. Ada banyak mekanisme yang
dibutuhkan untuk bisa menimbulkan sensasi dispnea pada penyakit-penyakit
tersebut. Pengetahuan mengenai patofisiologi yang mendasari penyakit-
 penyakit (seperti asma, COPD) menjadi dasar hipotesis mekanisme dispnea
 pada penyakit ini. Pada asma, beban otot inspirasi meningkat, sehingga usaha
yang dibutuhkan untuk melawan resistensi aliran napas akibat
 bronkokonstriksi juga meningkat. Ketika terjadi hiperinflasi, otot inspirasi
menjadi memendek. Kejadian ini mampu mengubah radius kurvatura
diafragma, sehingga terjadi mechanical disadvantage. Akibatnya, dibutuhkan
usaha tambahan untuk mencapai threshold agar terjadi inspirasi. Hal ini
 

menyebabkan dispnea. Pada asma, sensasi dispnea juga diperkirakan berasal


dari stimulasi reseptor vagal. 37
Pada pasien dengan kelainan neurologik seperti myastenia gravis,
dibutuhkan usaha yang lebih besar untuk memberikan neural drive agar otot-
otot respirasi yang melemah terstimulasi. Output neuromotor yang
meningkat ini, melalui jalur central corollary discharge, dirasakan sebagai
 peningkatan efek respiratorik. Akibatnya, terjadi dispnea.  Pada pasien
COPD, reseptor pada saluran napas dan kemoreseptor berkontribusi terhadap
 patofisiologi dispnea. Hipoksia akut atau kronik atau hiperkapnia pada
COPD juga menyebabkan dispnea tersebut. Selain itu, pada penderita
 penyakit dengan kelainan dinamika pernapasan, kompresi mekanik tersebut
dapat dideteksi oleh serabut aferen vagus.   Pasien-pasien yang menerima
treatment ventilasi mekanik biasanya sesak napas meskipun kerja otot
 pernapasannya berkurang. Penyebabnya bisa jadi merupakan peningkatan
tekanan parsial karbondioksida yang tidak sesuai dengan kebutuhan tidal
 pasien.37
Pada kasus emboli paru, ketidakseimbangan mekanika respirasi atau
 pertukaran gas menjadi patofisiologi dasar sesak napas yang menjadi gejala.
Pada laporan kasus, dispnea yang terjadi pada pasien emboli paru mampu
diobati dengan lisis bekuan darah. Kemungkinan yang paling kuat, reseptor
tekanan di pembuluh darah pulmoner atau atrium kanan serta serabut C di
 pembuluh paru memediasi sensasi tersebut.37
Batuk merupakan suatu refleks kompleks yang melibatkan banyak
sistem organ. Batuk akan terbangkitkan apabila ada rangsangan pada reseptor
 batuk yang melalui saraf aferen akan meneruskan impuls kepusat batuk
tersebar difus di medula. Dari pusat batuk melalui saraf eferen impuls
diteruskan ke efektor batuk yaitu berbagai otot respiratorik. Bila rangsangan
 pada reseptor batuk ini berlangsung berulang maka akan timbul batuk
 berulang, sedangkan bila rangsangannya terus menerus akan menyebabkan
 batuk kronik.38
Anatomi refleks batuk telah diketahui secara rinci. Reseptor batuk
terletak dalam epitel respiratorik, tersebar di seluruh saluran respiratorik, dan
 

sebagian kecil berada di luar saluran respiratorik misalnya digaster.


digaster. Lokasi
utama reseptor batuk dijumpai pada
pada faring, laring, trakea, karina, dan
 bronkus mayor. Lokasi reseptor lainnya
lainn ya adalah bronkus cabang, liang
l iang telinga
tengah, pleura,
pleura, dan gaster. Ujung saraf aferen batuk tidak ditemukan di
 bronkiolus respiratorik ke arah distal. Berarti parenkim paru tidak
mempunyai resptor batuk. Reseptor ini dapat terangsang secara mekanis
(sekret, tekanan), kimiawi (gas yang merangsang), atau secara termal (udara
dingin). Mereka juga bisa terangsang oleh mediator lokal seperti histamin,
bronkokonstriksi.38
 prostaglandin, leukotrien dan lain-lain, juga oleh bronkokonstriksi.
Demam terjadi oleh karena pengeluaran zat pirogen dalam tubuh. Zat
 pirogen sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu eksogen dan endogen.
Pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh seperti
mikroorganisme dan toksin. Sedangkan pirogen endogen merupakan pirogen
yang berasal dari dalam tubuh meliputi interleukin-1 (IL-1), interleukin-6
(IL-6), dan tumor necrosing factor-alfa (TNF-A). Sumber utama dari zat
 pirogen endogen adalah monosit, limfosit dan neutrofil (Guyton, 2007).
Seluruh substansi di atas menyebabkan sel- sel fagosit mononuclear
(monosit, makrofag jaringan atau sel kupfeer) membuat sitokin yang bekerja
sebagai pirogen endogen, suatu protein kecil yang mirip interleukin, yang
merupakan suatu mediator proses imun antar sel yang penting. Sitokin-
sitokin tersebut dihasilkan secara sistemik ataupun local dan berhasil
memasuki sirkulasi. Interleukin-1, interleukin-6,
interleukin-6, tumor nekrosis factor α dan
interferon α, interferon β serta interferon γ merupakan sitokin yang berperan
terhadap proses terjadinya demam. Sitokin-sitokin tersebut juga diproduksi
oleh sel-sel di Susunan Saraf Pusat (SSP) dan kemudian bekerja pada daerah
 preoptik hipotalamus anterior. Sitokin akan memicu pelepasan asam
arakidonat dari membrane fosfolipid dengan bantuan enzim fosfolipase A2.
Asam arakidonat selanjutnya diubah menjadi prostaglandin karena peran dari
enzim siklooksigenase (COX, atau disebut juga PGH sintase) dan
menyebabkan demam pada tingkat pusat termoregulasi di hipotalamus. 39, 40,
41, 42
 

Enzim sikloosigenase terdapat dalam dua bentuk (isoform), yaitu


siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Kedua isoform
 berbeda distribusinya pada jaringan dan juga memiliki fungsi regulasi yang
 berbeda. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang mengkatalis
 pembentukan prostanoid regulatoris pada berbagai jaringan, terutama pada
selaput lender traktus gastrointestinal, ginjal, platelet dan epitel pembuluh
darah. Sedangkan COX-2 tidak konstitutif tetapi dapat diinduksi, antara lain
 bila ada stimuli radang, mitogenesis atau onkogenesis. Setelah stimuli
tersebut lalu terbentuk prostanoid yang merupakan mediator nyeri dan
radang. Penemuan ini mengarah kepada, bahwa COX-1 mengkatalis
 pembentukan prostaglandin yang bertanggung jawab menjalankan fungsi-
fungsi regulasi fisiologis, sedangkan COX-2 mengkatalis pembentukan
menyebabkan radang.39, 40, 41, 42
 prostaglandin yang menyebabkan
Prostaglandin E2 (PGE2) adalah salah satu jenis prostaglandin yang
menyebabkan demam. Hipotalamus anterior mengandung banyak neuron
termosensitif. Area ini juga kaya dengan serotonin dan norepineprin yang
 berperan sebagai perantara terjadinya demam, pirogen endogen
meningkatkan konsentrasi mediator tersebut. Selanjutnya kedua monoamina
ini akan meningkatkan adenosine monofosfat siklik (cAMP) dan
 prostaglandin di susunan saraf pusat sehingga suhu thermostat meningkat dan
tubuh menjadi panas untuk menyesuaikan dengan suhu thermostat. 39, 40, 41, 42

2.8  Tanggap adaptif tubuh dan apa saja yang bekerja terhadap etiologi sistem
respirasi.
Terdapat 2 mekanisme pertahanan paru: 43
 

 
a.  Pertahanan imunitas alami

1.  Pada paru normal, penyingkiran organisme mikroba


mi kroba bergantung pada
 perangkap di selubung mukus, dan membuangnya dengan
menggunakan elevator mukosilier
2.  Fagositosis oleh makrofag alveolus yang dapat membunuh dan
mendegradasi organisme dan membuang mereka dari rongga udara
dengan cara bermigrasi ke elevator mukosilier
3.  Fagositosis dan pembunuhan oleh neutrofil yang direkrut oleh
faktor-faktor makrofag
4.  Komplemen serum dapat masuk alveolus dan teraktifkan oleh jalur

alternatif yang memberikan opsonin C3b yang meningkatkan


fagositosis
5.  Organisme, termasuk yang dicerna oleh fagosit, dapat memasuki
kelenjar getah bening dan menginisiasi respon imun.
 b.  Pertahanan imunitas adaptif
1.  IgA yang disekresi dapat memblok perlekatan mikroorganisme ke
epitel di saluran napas atas
2.  Di saluran napas bawah, antibodi dalam serum (IgG, IgM) muncul di
cairan pelapis alveolus. Antibodi ini mengaktifkan komplemen lebih
 

efisien melalui jalur klasik yang menghasilkan C3b ( tidak


(tidak
ditunjukkan). Selain itu IgG bersifat opsonik.
3.  Akumulasi sel T imun penting untuk mengontrol infeksi virus dan
mikroorganisme intrasel lain. PMN (polimorfonuklear).

Mekanisme pertahanan paru sangat penting dalam menjelaskan


terjadinya infeksi saluran napas. Paru mempunyai mekanisme pertahanan
untuk mencegah bakteri agar tidak masuk ke dalam paru. Mekanisme
 pembersihan tersebut adalah:44

a.  Mekanisme pembersihan di saluran napas penghantar, meliputi:


  Reepitelisasi saluran napas
  Aliran lendir pada permukaan epitel
  Bakteri alamiah atau “ephitelial cell binding site analog”  
  Faktor humoral lokal (IgG dan IgA)
  Komponen mikroba setempat
  Sistem transpor mukosilier
  Reflek bersin dan batuk

Saluran napas atas (nasofaring dan orofaring) merupakan


mekanisme pertahanan melalui barier anatomi dan mekanisme terhadap
masuknya mikroorganisme yang patogen. Silia dan mukus mendorong
mikroorganisme keluar dengan cara dibatukkan atau ditelan.
Bila terjadi disfungsi silia seperti pada Sindrome Kartagener’s,
 pemakaian pipa nasogastrik dan pipa nasotrakeal yang lama dapat
mengganggu aliran sekret yang telah terkontaminasi dengan bakteri
 patogen. Dalam keadaan ini dapat terjadi infeksi nosokomial atau
“hospital acquired pneumonia”. 
pneumonia”. 

 b.  Mekanisme pembersihan di “Respiratory exchange airway”, meliputi: 


meliputi:  
  Cairan yang melapisi alveolar termasuk surfaktan
  Sistem kekebalan humoral lokal (IgG)
  Makrofag alveolar dan mediator inflamasi

  Penarikan neutrofil
 

Sistem kekebalan humoral sangat berperan dalam mekanisme


 pertahanan paru (saluran napas atas).
ata s). IgA merupakan salah satu bagian
dari sekret hidung (10% dari total protein sekret hidung). Penderita
defisiensi IgA memiliki risiko untuk terjadi infeksi saluran napas atas
yang berulang. Bakteri yang sering mengadakan kolonisasi pada saluran
napas atas sering mengeluarkan enzim proteolitik dan merusak IgA.
Bakteri gram negatif ( P.
 P. Aeroginosa, E. coli,
coli, Serratia spp, Proteus spp,
dan  K.pneumoniae
 K.pneumoniae)) mempunyai kemampuan untuk merusak IgA.
Defisiensi dan kerusakan setiap komponen pertahanan saluran napas
atas menyebabkan kolonisasi bakteri patogen sebagai fasiliti terjadinya
infeksi saluran napas bawah.

c.  Mekanisme pembersihan di saluran udara subglotik


Mekanisme pertahanan saluran napas subglotis terdiri dari

anatomik, mekanik, humoral dan komponen seluler. Mekanisme


 penutupan dan refleks batuk dari glotis merupakan pertahanan utama
terhadap aspirat dari orofaring. Bila terjadi gangguan fungsi glotis maka
hal ini berbahaya bagi saluran napas bagian bawah yang dalam keadaan
normal steril. Tindakan pemasangan pipa nasogastrik, alat trakeostomi
memudahkan masuknya bakteri patogen secara langsung ke saluran
napas bawah. Gangguan fungsi mukosiliar dapat memudahkan
masuknya bakteri patogen ke saluran napas bawah, bahkan infeksi akut
oleh  M.pneumoniae
 M.pneumoniae,,  H. Influenzae 
Influenzae  dan virus dapat merusak gerakan

silia.

d.  Mekanisme pembersihan di “respiratory


“respiratory gas exchange airway”
airway” 
Bronkiolus dan alveol mempunyai mekanisme pertahanan
sebagai berikut:
  Cairan yang melapisi alveol:
1)  Surfaktan
Suatu glikoprotein yang kaya lemak, terdiri dari beberapa
komponen SP-A, SP-B, SP-C, SP-D yang berfungsi
 

memperkuat fagositosis dan killing   terhadap bakteri oleh


makrofag.
2)  Aktivitas antibakteri (non spesifik): FFA, lisozim, iron binding
 protein.
  IgG (IgG1 dan IgG2 subset yang berfungsi sebagai opsonin)
  Makrofag alveolar yang berperan sebagai mekanisme pertahanan
 pertama
  Berfungsi untuk menarik PMN leukosit ke alveolus (ada infeksi
GNB, P.
GNB,  P. Aeruginosa)
Aeruginosa)
  Mediator biologi
Kemampuan untuk menarik PMN ke saluran napas termasuk C5a,
 produksi dari makrofag alveolar, sitokin, leukotrin.
leukotrin.

  45, 46
2.9 Penyebab kelainan sistem respirasi.  
a.  Faktor debu
Yaitu ukuran partikelnya, daya larut, konsentrasi, sifat kimiawi, lama
 perjalanan dan faktor individu berupa mekanisme pertahanan selain itu
faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya gangguan paru dapat berupa
 jenis debu, ukuran partikel, konsentrasi partikel, lama pajanan, dan
kerentanan individu.Tingkat kelarutan debu pada air, kalau debu larut
dalam air, bahan dalam debu larut dan masuk pembuluh darah kapiler
alveoli. Bila debu tidak mudah larut tetapi ukurannya kecil maka

 partikel-partikel tersebut dapat masuk ke dinding alveoli. Konsentrasi


debu, makin tinggi konsentrasinya makin besar kemungkinan
menimbulkan keracunan. Jenis debu ada dua (2) macam yaitu debu
organik (debu padi/ kulit padi), dan debu anorganik (debu yang berasal
dari mesin penggilingan padi).

 b.  Masa kerja


Masa kerja menunjukkan suatu masa berlangsungnya kegiatan seseorang
dalam waktu tertentu. Seseorang yang bekerja di lingkungan industri
yang menghasilkan debu akan memiliki resiko gangguan kesehatan.
Makin lama seseorang bekerja pada tempat yang mengandung debu akan
 

makin tinggi resiko terkena gangguan kesehatan, terutama gangguan


saluran pernafasan. Debu yang terhirup dalam konsentrasi dan jangka
waktu yang cukup lama akan membahayakan. Akibat penghirupan debu,
yang langsung akan kita rasakan adalah sesak, bersin, dan batuk karena
adanya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan debu untuk beberapa
tahun pada kadar yang rendah tetapi di atas batas limit paparan
menunjukkan efek toksik yang jelas.
c.  Umur
Umur merupakan salah satu karateristik yang mempunyai resiko tinggi
terhadap gangguan paru terutama yang berumur 40 tahun keatas, dimana
kualitas paru dapat memburuk dengan cepat. Menurut penelitian Juli
Soemirat dan kawan-kawan dalam Semakin bertambahnya umur maka
terjadi penurunan fungsi paru di dalam tubuh. Faktor umur berperan
 penting dengan kejadian penyakit dan gangguan kesehatan. Hal ini
merupakan konsekuensi adanya hubungan faktor umur dengan : potensi
kemungkinan untuk terpapar terhadap suatu sumber infeksi, tingkat
imunitas kekebalan tubuh, aktivitas fisiologis berbagai jaringan yang
mempengaruhi perjalanan penyakit seseorang. Bermacam-macam
 perubahan biologis berlangsung seiring dengan bertambahnya usia dan
ini akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam bekerja.

d.  Riwayat merokok


Riwayat merokok merupakan faktor pencetus timbulnya gangguan

 pernapasan, karena asap rokok yang terhisap dalam saluran nafas akan
mengganggu lapisan mukosa saluran napas. Dengan demikian akan
menyebabkan munculnya gangguan dalam saluran napas. Merokok
dapat menyebabkan perubahan struktur jalan nafas. Perubahan struktur
 jalan nafas besar berupa hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus.
Sedangkan perubahan struktur jalan nafas kecil bervariasi dari inflamasi
ringan sampai penyempitan dan obstruksi jalan nafas karena proses
inflamasi, hiperplasia sel goblet dan penumpukan secret intraluminar.
Perubahan struktur karena merokok biasanya di hubungkan dengan

 perubahan/kerusakan fungsi. Perokok berat dikatakan apabila


 

menghabiskan rata-rata dua bungkus rokok sehari, memiliki resiko


memperpendek usia harapan hidupnya 0,9 tahun lebih cepat ketimbang
 perokok yang menghabiskan
menghabiskan 20 batang sigaret sehari.

e.  Riwayat penyakit

Riwayat penyakit merupakan faktor yang dianggap juga sebagai


 pencetus timbulnya gangguan
gangguan pernapasan, karena penyakit yang di derita
seseorang akan mempengaruhi kondisi kesehatan dalam lingkungan
kerja. Apabila seseorang pernah atau sementara menderita penyakit
sistem pernafasan, maka akan meningkatkan resiko timbulnya penyakit
sistem pernapasan jika terpapar debu.

2.10 Apakah yang perlu digali untuk menegakkan diagnosis bronkitis akut?


Bronkitis akut adalah infeksi terbatas dengan batuk sebagai gejala
utama. Infeksi ini sulit dibedakan dari penyakit lain yang biasanya
menyebabkan batuk. Pilek biasa sering menyebabkan batuk; namun, hidung
tersumbat dan rinore biasanya juga ada, dan biasanya flu hanya 7 hingga 10
hari. Gejala bronkitis akut biasanya menetap selama hampir tiga minggu.
Pneumonia biasanya dapat dikesampaingkan pada pasien tanpa demam,
takipnea, takikardia, atau temuan paru-paru klinis yang menunjukkan
 pneumonia pada pemeriksaan. Namun batuk mungkin merupakan satu-
satunya gejala awal pneumonia pada orang dewasa yang lebih tua. Patogen
 penyebab untuk bronkitis jarang diidentifikasi. Dalam studi klinis,
identifikasi penyebab patogen terjadi dalam kurang dari 30 persen kasus.
Sekitar 90% infeksi bronkitis akut disebabkan oleh virus.47 
Selain batuk, tanda-tanda lain dan gejala-gejala bronkitis akut termasuk
 produksi sputum, dyspnea, hidung tersumbat, sakit kepala, dan demam.
Beberapa hari pertama dari infeksi bronkitis akut dapat dibedakan dari flu
 biasa. Pasien mungkin mengalami nyeri dada di dinding atau dada saat batuk.
Produksi dahak bahkan purulen adalah umum dan tidak berkolerasi dengan
infeksi bakteri.48 
Pada pemeriksaan fisik berupa auskultasi paru dapat mengungkapkan
mengi, serta ronkhi yang biasanya membaik dengan batuk. Hal ini penting
 

dibedakan dari pneumonia. Demam tinggi, penampilan buruk sedang sampai


 berat, hipoksia, dan tanda-tanda konsolidasi paru-paru, seperti penurunan
 bunyi napas bronkial, ronki, egofoni, dan peningkatan fremitus taktis,
 berkaitan dengan pneumonia.48 

2.11 Tindakan yang dapat dilakukan pada bronkiolitis akut. 49 


Cairan Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi asidosis
metabolik dan respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah dehidrasi
akibat keluarnya cairan melalui mekanisme penguapan tubuh (evaporasi)
karena pola pernapasan cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi
dehidrasi, dapat diberikan cairan rumatan, bisa melalui intravena maupun
nasogastrik. Pemberian cairan melalui lambung dapat menyebabkan aspirasi,
dapat memperberat sesak, akibat tekanan diafragma ke paru oleh lambung
yang terisi cairan.7 Pemberian cairan melalui jalur nasogastik atau intravena
 perlu pada anak bronkiolitis
bronkiolitis yang tidak dapat dihidrasi oral.
Oksigenasi Pemberian oksigen dilakukan pada semua anak dengan
mengi dan distres pernapasan berat, metode yang direkomendasikan adalah
dengan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal dengan kadar
oksigen 30  –   40%.2 Apabila tidak ada oksigen, anak harus ditempatkan
dalam ruangan dengan kelembapan udara tinggi, sebaiknya dengan uap
dingin (mist tent) untuk mencairkan sekret di tempat peradangan.7 Terapi
oksigen diteruskan sampai tanda hipoksia hilang.2 Penggunaan kateter nasal
>2 L/menit dengan maksimal 8-10 L/menit dapat menurunkan kebutuhan
rawat di Paediatrics Intensive Care Unit (PICU).8 Penggunaan kateter nasal
serupa efektifnya dengan nasal CPAP bahkan mengurangi kebutuhan obat
sedasi.

2.12 Epidemiologi di Indonesia dan di dunia.


Penyakit infeksi traktus respiratorius bagian bawah masih menjadi
 penyebab kematian yang tinggi di dunia, yaitu pada urutan ke-4 dengan
 jumlah kematian 3, 1 juta orang pada
pada tahun 2012.
 

Diagram 1.

Insidensi pneumonia di Amerika berkisar antara 4 juta hingga 5 juta


kasus per tahun, dengan kurang lebih 25% membutuhkan perawatan di rumah
sakit. Di Eropa, insidensi pneumonia
pneumonia adalah berkisar 1,2  –   11,6 kasus per
10.000 populasi per tahun, dengan angka yang sedikit lebih tinggi pada
 populasi pria danumur yang sangat tua. Angka perawatan di rumah sakit
 berkisar antara 22 %  –   51 % disertai dengan angka kematian 0,1 – 
0,1  –  0,7
  0,7

 per 1000 orang. Penyebab


Pen yebab terbanyak
t erbanyak dari
d ari pneumonia adalah
adal ah S. pneumoniae,
yang terjadi pada 20 – 
20 –  75
 75 % dari kasus, diikuti oleh Mycoplasma
M ycoplasma pneumoniae
(1  –  18
  18 %), Chlamydia pneumoniae (4  –  19
  19 %), dan berbagai virus (2  –   16
%). Disebutkan
Disebutkan juga bahwa sebanyak
sebanyak 74% dari kasus baru pneumonia
pneumonia anak
terjadi hanya pada 15 negara dengan lebih dari setengahnya terjadi hanya
 pada 6 negara: India, Cina, Pakistan,Bangladesh, Indonesia, dan Nigeria.
Penyebab tersering dari kasus tersebut adalah S. pneumonia dan H.
influenzae.Hal ini penting karena penyakit pneumokokal adalah penyebab
 paling sering dari kematian yang dapat dicegah dengan vaksinasi. Sesuai

hasil R iskesdas 2013,  period prevalence  pneumonia berdasarkan


 

diagnosis/gejala di Indonesia adalah 1,8%, yang telah mengalami penurunan


dari 2,13% pada t ahun 2007.50 

Diagram 2.

Terlihat bahwa sebagian besar provinsi mengalami


 penurunanperiodprevalence pneumonia pada tahun 2013dibandingkan
tahun2007. Terdapat 11 provinsi (33,3%) yang mengalami kenaikan period
 prevalencepneumonia pada tahun 2013. Menurut data WHO, jumlah anak
 balita dengan gejala infeksi traktus respiratorius akut yang dibawa ke institusi
kesehatan adalah 75,3 % di Indonesia pada tahun 2012. Sesuai dengan hasil
Riskesdas 2013, terdapat 571,541 balita di Indonesia yang terdiagnosis

 pneumonia, dengan 55,932 (0,1 %) balita berasal dari Jawa Tengah.


Ten gah. Jumlah
 balita yang mengalami kematian karena pneumonia pada tahun 2013 di
Indonesia adalah 6774 dengan 67 balita (0,01 %) berasal dari Jawa Tengah.
Case Fatality Rate pneumonia pada balita di Indonesia adalah 1,19 %. 51
 

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Anak laki-laki 1 tahun mengalami pneumonia.


 

DAFTAR PUSTAKA

1.  Pedoman diagnosis & penatalaksanaan di indonesia perhimpunan


perhimpunan dokter
dokter
 paru indonesia 2003.
2.  Setiati S, dkk. Ilmu Penyakit Dalam, Edisi VI. Jakarta : Interna Publishing.
2014.
3.  Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penumonia Komuniti. Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. 2003.
4.  Depkes RI. Pedoman Tatalaksana Pneumonia Balita. Jakarta: Dirjen PP &
PL; 2007.
5.  Kementerian Kesehatan R.I. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta. Badan
Penelitian dan Pengembangan
Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia.
Indonesia. 2013.
6.  Sherwood, L. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem, Ed ke-6, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2012.
7.  Dahlan, zul. Pneumonia. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi IV.
Jakarta. Interna publishing. Hal 1611
8.  Said M. Pneumonia. In : Rahajoe N.N., Supriyatno B., Setyanto D.B. (eds).
Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi I. 2008. Jakarta: Badan Penerbit IDAI,
 pp 350-364.
9.  Alwi. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing. 2010.
10.  Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Edisi Revisi. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2014.
11.  Dahlan, zul. Pneumonia. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. Edisi IV.
Jakarta. Interna publishing. 2007. Hal 1613
12.  Dirjen P2PL. Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan
Akut. In Departemen
In Departemen Kesehatan, RI . 2009. Jakarta, Indonesia.
13.  Setiati S, dkk. Ilmu Penyakit Dalam, Edisi VI. Jakarta : Interna Publishing.
2014.
14.  Supriyanto B. Infeksi respiratorik bawah akut pada anak. Sari Pediatri;
2006. 8(2):100-106.
 

15.  Roespandi H, Weber M, Habil M, dkk. Buku Saku Pelayanan Kesehatan


Anak di Rumah Sakit [Online]. WHO Indonesia. Dapat diakses melalui :
http://www.ichrc.org/buku-saku-pelayanan-kesehatan-anak-di-rumah-sakit
16.  Junawanto I, Goutama IL, Sylvani. Diagnosis dan penanganan terkini

 bronkiolitis pada anak. CDK-241;


CDK-241; 2016. 43(6): 427-430.
427-430.
17.  Subananda, IB, Setyanto DB, Supriyanto B. Faktor-faktor yang
 berhubungan denganbronkiolitis
denganbronkiolitis akut. Sari Pediatri;2009. 10(6): 39
392-396.
2-396.
18.  Watts KD, Goodman DM. Wheezing in infants: Bronchiolitis. In: Behrman
RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelson textbook of pediatrics. 19th
ed. Philadelphia: WB Saunders; 2011. p. 1456-9.
19.  Mansbach JM. Respiratory viruses in bronchiolitis and their link to recurrent
wheezing and asthma. Clin Lab Med. 2009; 29(4): 741 – 55.
55.
20.   Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit. Jakarta.EGC. 2000.
2000.
 
21. Pusponegoro Hardiono D, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2005.
22.  Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson Textbook of Pediatric. 16th
Ed. Philadelphia: WB Saunders. 2000.
23.  Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pharmaceutical Care Untuk
Infeksi Penyakit Saluran Pernapasan. Direktorat Bina Komunitas dan Klinik
Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Jakarta. 2005
24.  Technical updates of the guidelines on the Integrated Management of
Childhood Illness (IMCI): Evidence and recommendations for further
adaptations. Geneva: WHO; 2005.
25.  World Health Organization. Pocket book of hospital care for children:
Guidelines for the management of common childhood illnesses. 2nd ed.
2013.
26.  Mayfeld S, Bogossian F, O’Malley L, Schibler A. High-
A.  High-flow
flow nasal cannula
oxygen therapy for infants with bronchioltis: Pilot study. J Paediatrics and
Child Health. 2014;50(5):373-8. doi: 10.1111/jpc.12509.
27.  Ralston SL, Lieberthal AS, Meissner HC, Alverson BK, Baley JE,
Gadomski AM, et al. Clinical practice guideline: The diagnosis,
 

management, and prevention of bronchiolitis. American Academy of


Pediatrics 2014; 134(5):1474-502.
28.  Walsh P, Rothenberg SJ. American Academy of Pediatrics 2014
 bronchiolitis guidelines: Bonfre of the evidence. Western J Emergency Med.

2015; 16(1):85-8.
29.  Plint AC, Johnson DW, Patel H, Wiebe N, Correll R, Brant R, et al.
Epinephrine and Dexamethasone in Children with Bronchiolitis. N Engl J
Med 2009; 360:2079-89. doi: 10.1056/NEJMoa0900544.
10.1056/NEJMoa0900544.
30.  Committee on Infectious Diseases and Bronchiolitis. Updated huidance for
 pavlizumab prophylaxis among infants and young children at increased risk
r isk
of
hospitalization for respiratory syncytial virus infection. American Academy
of Pediatrics 2014;134:415-20.
 
31. IDAI. Nafas Grok-grok Pada Anak Berbahayakah. Tersedia di
:http://www.idai.or.id/artikel/klinik/keluhan-anak/napas-grok-grok-pada-
 bayi-dan-anak-berbahayakah. Diakses: 25 Juli 2018.
32.  Ginting, Rosmelda dkk.
dkk. Analisis penggunaan algoritma kohonen pada
 jaringan syaraf tiruan backpropagation dalam pengenalan pola penyakit
 paru. Jurnal Teknovasi. 2014;01(02):27-47
2014;01(02):27-47
33.  Longo DL, editor. Harrison’s principles of internal medicine.
medicine . 18th ed. New
York: McGraw-Hill; 2012.2p.
34.  Rab, Tabrani H., 2010. Asma Bronkiale. Dalam: Ilmu Penyakit Paru. Trans

Info Media, jakarta. 377, 380,383


35.  Mangunegoro, H. dkk. (2004). Asma pedoman diagnosis & penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
36.  Sarnaik AP, Clark JA, Sarnaik AA. Respiratory distress and failure. In: Kliegman
RM, Stanton BF, St. Geme JW, Schor NF, eds. Nelson Textbook of Pediatrics.
20th ed. Philadelphia, PA: Elsevier; 2016:chap 71.

37.  T, Nishino. Dyspnoea: Underlying Mechanisms and Treatment:


Mechanisms of Dyspnoea. Br J Anaesth. 2011;106(4):463-474.
 

38.  Chung KF.


KF. The clinical and pathophysiological
pathophysiological chal lenge of cough.
cough.
Dalam: Chung KF, Widdicombe J, Boushey H, Penyunting. Cough.
Massachusetts: Blackwell Publishing, 2003.
39.  Dinarello, C.A., and Gelfand, J.A.Fever and Hyperthermia. In: Kasper,

D.L., et. al., ed. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed.
Singapore: The McGraw-Hill Company,2005.
40.  Ganong, W. F.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta:
EGC.2008.
41.  Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 6th ed. Jakarta: EGC;.
2012.
42.  Wilmana, P.F., dan Gan, S.G.Analgesik-Antipiretik Analgesik Anti-
Inflamasi Nonsteroid dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Dalam: Gan, S.G.,
Editor. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru, 2007.
 
43. Kumar dll. Buku ajar patologi robbins. Edisi 9. Singapura. Elsevier. 2015.
Hal 480.
44.  Pneumonia komuniti: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. p.2-3.
45.  Antaruddin, Pengaruh Debu Padi Pada Faal Paru Pekerja Kilang Padi Yang
Merokok dan Tidak Merokok. Skripsi. Program Pendidikan Dokter
Spesialis Paru. Medan: Fakultas Kedokteran USU; 2003.
46.  Sembiring Rosbinawati, Hubungan Debu Padi Dengan Gejala Pernapasan
 pada Tenaga Kerja Kilang Padi di Desa Tanjung Selamat Medan Tahun

2005. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat USU; 2002.


47.  Albert RH, Diagnosis and treatment of acute bronchitis. American Family
Physician; 2010. 82(11): 1345-1350.
48.  Kinkade S, Long NA. Acute bronchitis. American Family Physician; 2016.
94(7): 560-565.
49.  Ralston SL, Lieberthal AS, Meissner HC, Alverson BK, Baley JE,
Gadomski AM, et al. Clinical practice guideline: The diagnosis,
management, and prevention of bronchiolitis. American Academy of
Pediatrics 2014; 134(5):1474-502.
 

50.  Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan


Kementrian RI tahun 2013. Diakses: 25 Juli 2018, dari
http://www.depkes.go.id/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.pd
f.
 
51. Pitaloka, DLP. Beberapa Faktor Resiko yang Berhubungan dengan
Kematian Pasien Pneumonia Komunitas di RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Semarang : UNDIP-IR. 2015.

Anda mungkin juga menyukai