Anda di halaman 1dari 41

 

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK

PEMICU 2

MODUL RESPIRASI

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 3

a)  Marisa (I1011131034)


 b)  Ullya Aisyafitri (I1011151007)
c)  Alfian Abdul Aziz Dja’afara 
Dja’afara  (I1011151014)
d)  Heru Chris Sunariyanto (I1011151020)
e)  Lala Utami (I1011151032)
f)  Afifah Kartikasari (I1011151043)
g)   Nadya Siti Syara
Syara (I1011151051)
h)  Ade Cahyo Islami (I1011151060)
i)  Irmaningsih (I1011151063)
 j)  Ade Elsa Sumitro Putri (I1011151065)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER  


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2017

1
 

BAB I

PENDAHULUAN

 
1.1 Pemicu
Tn. P, 25 tahun datang dengan keluhan batuk. Dialami sejak satu
 bulan terakhir sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya batuk kering
kemudian batuk kadang-kadang ada lendir, warna kuning. Riwayat batuk
darah dua kali, pada 3 hari sebelum masuk rumah sakit, warna merah segar,
tidak bercampur makanan. Tn. P juga demam, ada riwayat menggigil dan
 berkeringat malam serta nafsu makan menurun 1 bulan terakhir, berat badan
menurun lebih kurang 5kg. Tidak ada riwayat pengobatan sebelumnya.
Pasien sangat khawatir penyakitnya ini menular kepadanya anaknya yang

masih berumur 2 tahun dan mengganggu kesehatan istrinya yang sedang


hamil 3 bulan.
1.2  Klarifikasi dan Definisi
1.  Hemoptisis

Ekspektorasi darah akibat pendarahan pada saluran nafas di bawah


laring, atau perdarahan yang keluar melalui saluran napas bawah laring.
larin g.

1.3  Kata Kunci


1.  Tn. P, 25 tahun
 
2. Batuk 1 bulan terakhir
3.  Riwayat batuk berdarah 2 kali
4.  Batuk kering
5.  Batuk lendir kuning
6.  Demam
7.  Menggigil
8.   Nafsu makan turun
9.  Berat badan turun

2
 

1.4  Rumusan Masalah


Tn. P, 25 tahun mengalami batuk kering yang terkadang berlendir
kuning dengan riwayat hemoptisis dua kali sejak 1 bulan terakhir disertai

demam, menggigil, berkeringat saat malam hari dan berat badan menurun.

3
 

1.5  Analisis Masalah 

Tn. P, 25 th
-Istri hamil 5 bulan BB, nafsu

-Anak umur 2 th makan 

Anamnesis

KU: RPS:

-Batuk 1 bulan -Hemoptisis


terakhir
-Batuk non produktif

-Batuk produktif (kuning)

-Demam

-Menggigil

-Keringat malam

Respirasi Anoreksia, BB  

PX

DK: DD:

-TB Paru -Abses Paru

-Bronkietaksis

-Bronkitis
Pemeriksaan Penunjang

TX -BTA

-Tuberkulin

-Kultur

4
 

1.6  Hipotesis
Tn. P, 25 tahun mengalami TB Paru.
1.7  Pertanyaa
Pertanyaan
n Diskusi

1.  Hemoptisis
a.  Etiologi
 b.  Patofisiologi
2.  Sputum
a.  Definisi
 b.  Klarifikasi
c.  Mekanisme Pembentukan
3.  Tuberkulosis Paru
a.  Definisi

 b.  Epidemiologi
c.  Etiologi
d.  Patofisiologi
e.  Manifestasi Klinis
f.  Faktor resiko
g.  Pencegahan
h.  Diagnosis
i.  Tatalaksana
 j.  Komplikasi

k.  Edukasi
l.  Prognosis
4.  Abses Paru
a.  Definisi
 b.  Etiologi
c.  Patofisiologi
d.  Manifestas Klinis
e.  Faktor Risiko
f.  Diagnosis

5
 

5.  Bronkiektasis
a.  Definisi
 b.  Etiologi
c.  Patofisiologi
d.  Manifestas Klinis
e.  Faktor Risiko
f.  Diagnosis
6.  Bronkitis
a.  Definisi
 b.  Etiologi
c.  Patofisiologi
d.  Manifestas Klinis
e.  Faktor Risiko
f.  Diagnosis
7.  Hubungan nafsu makan dan berat badan menurun pada kasus 
kasus 
8.  Apakah kasus Tn. P,25 tahun berbahaya bagi istri dan anaknya?
anaknya?  

6
 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Hemoptisis
2.1.1  Etiologi1,2 
a.  Infeksi : tuberkulosis, staphylococcus, klebsiella, legionella, jamur,
virus.
 b.  Kelainan paru seperti bronchitis, bronkiektasis, emboli paru, kistik
fibrosis, emfisema bulosa.
c.  Neoplasma : kanker paru, adenoma bronchial,
bronchial, tumor metastasis.
d.  Kelainan hematologi: disfungsi trombosit, trombositopenia,
disseminated intravascular coagulation (DIC).

e.  Kelainan jantung : mitral stenosis, endokarditis tricuspid.


f.  Kelainan pembuluh darah: hipertensi pulmoner, malformasi
arterivena, aneurisma aorta.
g.  Trauma : jejas toraks, rupture bronkus, emboli lemak.
h.  Iatrogenik : akibat tindakan bronkoskopi, biopsi paru, kateterisasi
swan-ganz, limfangiografi.
i.  Kelainan sistemik: sindrom goodpasture, idiopathic pulmonary
hemosiderosis, systemic lupus erytematosus, vaskulitis
(granulomatosis wagener, purpura henoch schoenlein, sindrom

chrug-strauss).
 j.  Obat / toksin : aspirin, antikoagulan, penisilamin, kokain.
k.  Lain-lain : endometriosis, bronkiolitiasis, fistula bronkopleura,
 benda asing, hemoptisis kriptogenik,
kriptogenik, amyloidosis.
2.1.2  Patofisiologi3 
a.  Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya
 pembuluh darah menjadi rapuh, sehingga trauma yang ringan
sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk darah.

7
 

 b.  Infark paru


Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi
mikroorganisme pada pembuluh darah, seperti infeksi coccus,

virus, dan infeksi oleh jamur.


c.  Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah
intraluminar seperti pada dekompensasi cordis kiri akut dan mitral
stenosis.
d.  Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada
Goodpasture’s syndrome.
syndrome.
e.  Perdarahan kavitas tuberkulosa

Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang


dikenal dengan aneurisma Rasmussen; dilatasi pemekaran
 pembuluh darah ini berasal
bera sal dari cabang pembuluh darah bronkial.
Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan dilatasi pembuluh
darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya
anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya
 pembuluh darah pulmonal
pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif.
f.  Invasi tumor ganas
g.  Cedera dada

Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan


mengalami transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan
memacu terjadinya batuk darah.
2.2  Sputum

2.2.1 Definisi4

Sputum (dahak) adalah bahan yang dikeluarkan dari paru dan trakea
melalui mulut biasanya juga disebut dengan ecpectoratorian.

8
 

2.2.2 Klasifikasi4

Terdapat 4 jenis sputum, yang masing-masing memiliki karakteristik


yang berbeda, yaitu:

Jenis Karakteristik

Serous Jernih dan encer, pada edema paru akut.


Berusa, kemerahan, pada alveolar cell
cancer .
Mukoid Jernih keabu-abuan, pada bronchitis kronik.
Putih kental, pada asma.
Purulen Kuning, pada pneumonia.
Kehijauan, pada bronkiektasis, abses paru.
Rusty (Blood-stained) Kuning tua/coklat/merah kecoklatan seperti
warna karat, pada Pneumococcal
pada  Pneumococcal pneumonia dan
pneumonia dan
edema paru.

2.2.3 Mekanisme Pembentukan5

Orang dewasa normal membentuk mukus sekitar 100 ml dalam


saluran pernafasan setiap hari. Mukus diafragma
diafra gma menuju faring oleh gerakan

 pembersihan normal dari silia yang membatasi saluran pernafasan, jika


terbentuk mukus yang berlebihan maka proses normal pembersihan
mungkin tidak efektif lagi. Sehingga mukus tertimbun, jika hal ini terjadi
maka membran mukosa terangsang dan mukus ini dibatukan keluar sebagai
sputum.

9
 

Mekanisme pembentukan sputum :

sel goblet mukosa


↓ 
mukosa 100 ml perhari
↓ 
gangguan abnormal
(terjadi penimbunan→ produksi berlebihan pada saluran pernafasan) 
pernafasan) 
↓ 
kerja silia ↓ 
↓ 
↓ 
membran mukosa terangsang
↓ 
tekanan intratoracak + tekanan intra abdomen ↑ 
↑ 
↓ 
 batuk + sekret mukosa keluar → sputum 
2.3 Tuberkulosis Paru

2.3.1 Definisi6

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


kuman TB ( Mycobacterium tuberculosis).
tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

2.3.2 Epidemiologi6,7

Di antara orang-orang yang kekurangan secara medis maupun


ekonomi di seluruh dunia, tuberkulosis masih menjadi penyebab kematian
tertinggi. Saat ini, diperkirakan sekitar 25.000 kasus baru dengan
tuberkulosis aktif muncul di Amerika Serikat setiap tahun, dan hampir 40%
adalah imigran dari negara-negara dengan prevalensi tuberkulosis tinggi.
Dalam laporan WHO tahun 2013 diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus
TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang di antaranya adalah pasien
dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilayah

10
 

Afrika. Pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 450.000 orang yang


menderita TB MDR dan 170.000 di antaranya
antaran ya meninggal dunia.
Hasil riskesdas tahun 2013 memaparkan mrbiditas TB menurut

karakteristik sosiodemografi. Berdasarkan karakteristik tersebut, besaran


masalah TB antar kelompok pada tiap karakteristik menunjukkan
 perbedaan, dimana kelompok tertentu memiliki prevalensi lebih besar
dibandingkan kelompok yang lain.

11
 

12
 

Gambar menurut karakteristik kelompok umur menunjukkan bahwa


kelompok umur > 45 tahun memiliki prevalensi yang lebih tinggi di antara
kelompok lainnya. Pada karakteristik pendidikan, prevalensi semakin

rendah sejalan dengan tingginya tingkat pendidikan. Prevalensi berdasarkan


 jenis pekerjaan bahwa penduduk yang tidak bekerja ternyata memiliki
 prevalensi tertinggi. Sedangkan menurut kuintil indeks kepemilikan ternyata
tidak menunjukkan perbedaan yang berarti antara kelompok terbawah
sampai dengan menengah atas. Fakta yang menarik adalah tingkat ekonomi
menunjukkan perbedaan berarti hanya pada kelompok teratas, yaitu dengan
 prevalensi terendah sebesar 0,2. 
2.3.3 Etiologi8

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


infeksi kuman (basil) Mycobacterium
(basil)  Mycobacterium tuberculosis.
tuberculosis . Organisme ini termasuk
ordo Actinomycetalis, familia Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium.
Genus Mycobacterium memiliki beberapa spesies diantaranya
Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan infeksi pada manusia. Basil
tuberkulosis berbentuk batang ramping lurus, tapi kadang-kadang agak
melengkung, dengan ukuran panjang 2 μm-
μm -4 μm dan lebar 0,2 μm–0,5 μm.
Organisme ini tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul,
 bila diwarnai akan terlihat berbentuk manik-manik atau granuler.

Sebagian besar basil tuberkulosis menyerang paru, tetapi dapat juga


menyerang organ tubuh lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan
mikobakteria tahan asam dan merupakan mikobakteria aerob obligat dan
mendapat energi dari oksidasi berbagai senyawa karbon sederhana.
Dibutuhkan waktu 18 jam untuk menggandakan diri dan pertumbuhan pada
media kultur biasanya dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu.

2.3.4 Patogenesis6

Seseorang terinfeksi lewat droplet yang mengandung bakteri M.

tuberculosis. Bakterinya masuk ke saluran nafas dan sampai di paru. Pada

13
 

orang dengan daya tahan tubuh kuat, bakteri akan segera ditelan oleh
makrofag dan dorman, namun bakterinya tidak akan mati. Bila imun tubuh
menurun, maka kuman TB akan menyerang sel darah putih dan

menyebabkan granuloma dan gohn focus. Gohn focus ini dapat menyebar
melewati saluran getah bening ke bagian tubuh lain dan menyebabkan
tuberkulosis. Nekrosis yang terjadi pada TB adalah nekrosis perkejuan.

2.3.5 Manifestasi Klinis9

Keluhan terbanyak TB Paru:

a.  Demam. Biasanya subferil menyerupai demam influenza, tetapi


terkadang panas badan dapat mencapai 40-410C.
 b.  Batuk / Batuk berdarah. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
 bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif),
kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah batuk darah
karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
c.  Sesak napas. Ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian dari paru-paru.
d.  Nyeri dada. Timbul apabila infiltrasi radang sudah sampai ke
 pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
e.  Malaise. Sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu
makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala,
meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise makin
lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

2.3.6 Faktor Risiko10,11

Beberapa faktor risiko untuk menderita TB adalah:


1)  Jenis kelamin
Penyakit TB dapat menyerang laki - laki dan perempuan. Hampir
tidak ada perbedaan di antara anak laki dan perempuan sampai
 pada umur pubertas.

14
 

2)  Status gizi


Telah terbukti bahwa malnutrisi akan mengurangi daya tahan tubuh
sehingga akan menurunkan resistensi terhadap berbagai penyakit

termasuk TB. Faktor ini sangat berperan pada negara-negara


miskin dan tidak mengira usia.
3)  Sosioekonomi
Penyakit TB lebih banyak menyerang masyarakat yang berasal dari
kalangan sosioekonomi rendah. Lingkungan yang buruk dan
 permukiman yang terlampau padat sangat potensial dalam
 penyebaran penyakit TB Pendidikan. Rendahnya pendidikan
seseorang penderita TB dapat mempengaruhi seseorang untuk
mencari pelayanan kesehatan. Terdapat beberapa penelitian yang

menyimpulkan bahwa seseorang yang mempunyai pendidikan


rendah akan berpeluang untuk mengalami ketidaksembuhan 5,5
kali lebih besar berbanding dengan orang yang mempunyai tingkat
 pendidikan yang lebih tinggi.
tinggi.
4)  Faktor-faktor Toksis
Merokok, minuman keras, dan tembakau merupakan faktor penting
dapat menurunkan daya tahan tubuh.
2.3.7 Pencegahan9

a.  Vaksinasi BCG


Vaksinasi BCG dapat mengurangi kemungkinan terhadap
tuberkulosis berat dan tuberkulosis ekstra paru lainnya.
 b.  Kemoprofilaksis
Profilaksis dengan INH diberikan selama 1 tahun, dapat
menurunkan insidens tuberkulosis sampai 55-83%, dan yang
kepatuhan minum obatnya cukup baik dapat mencapai penurunan
90%. Bila minum obat tidak teratur juga efektivitasnya masih
cukup baik.

15
 

2.3.8 Diagnosis12

Diagnosis TB paru
1)  Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,
yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
2)  Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan
BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya.
3)  Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
 pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis.
Diagnosis TB ekstra paru
1)  Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis),
 pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-
lainnya.
2)  Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
 bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan
tubuh yang terkena.
Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA)
Pada ODHA, diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan
sebagai berikut:
1)  TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak
 positif.

16
 

2)  TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan
gambaran klinis & radiologis mendukung Tb atau BTA negatif
dengan hasil kultur TB positif.

3)  TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan


klinis, bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari
 jaringan tubuh yang terkena.

Penegakan
Penegakan TB Paru pada anak
Diagnosis penyakit TB anak merupakan hal yang sulit karena
TB anak merupakan TB primer yang seringkali tidak menunjukkan
gejala yang khas. Upaya pemeriksaan bakteriologis sebagai diagnosis
 pasti TB pada anak sulit untuk dilakukan. Tuberkulosis paru pada
anak jarang memproduksi sputum. Umumnya anak belum mampu
untuk mengekspektorasi sputum. Upaya untuk mendapatkan sputum
 pada anak dilakukan dengan menggunakan metode bilas lambung,
namun demikian hasil BTA (+) tetap rendah, yaitu berkisar 20−40%.

17
 

Karena sulitnya menemukan M. Tuberculosis sebagai etiologi


dari penyakit tuberculosis pada anak, maka salah satu yang diterapkan
di sarana pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas adalah dengan

menggunakan sistim skoring. Parameter yang digunakan dalam sistem


skoring ini adalah: rirayat kontak dengan penderita dewasa, keadaan
gizi, demam yang tidak diketahui penyebabnya, batuk kronik.
Parameter lainnnya, dari aspek pemeriksaan fisik adalah: pembesaran
kelenjar limfe, pembengkakan sendi panggul, lutut, falang. Parameter
dari aspek pemeriksaan pemeriksaan penunjang berupa: uji tuberkulin
dan foto thoraks.
Pada kriteria UKK Respirologi IDAI tahun 2007, adanya kontak
dengan penderita TB paru dewasa dibedakan menjadi tiga golongan,

yaitu: (1) kontak tidak jelas, (2) laporan keluarga dengan BTA (-) atau
tidak jelas, (3) kontak dengan penderita dewasa BTA (+). Uji
tuberkulin dibedakan menjadi “positif” bila ukuran diameter >10 mm
atau >5 mm pada keadaan imunosupresi dan disebut “negatif” bila
tidak memenuhi kriteria “positif” tersebut. Status gizi pada sisten
skoring PP IDAI ditentukan secara antropometris meliputi berat badan
dan tinggi badan. Hasil pengukuran tersebut kemudian dikelompokkan
menjadi kelompok dengan BB/TB 70−<90% atau BB/U 60−<80%
dan kelompok gizi buruk dengan manifestasi klinis gizi buruk atau

BB/TB <70% atau BB/U <60%, masing-masing mendapat skor 1dan


2. Kelompok BB/U ≥80% atau BB/TB≥90% tidak mendapat skor.2,3,
Demam tanpa sebab jelas adalah demam yang tidak disertai gejala
klinis lain dan telah berlangsung >2 minggu. Batuk pada kriteria ini
telah berlangsung >3 minggu dan tidak disebabkan oleh asma atau
infeksi saluran napas akut. Pembesaran kelenjar limfe adalah
 pembesaran kelenjar limfe leher, aksila, dan/atau inguinal dengan
diameter >1 cm, jumlah >1, dan tidak nyeri. Pembengkakan
tulang/sendi pada kriteria ini adalah adanya pembengkakan pada

tulang/sendi panggul, lutut, atau falang. Gambaran foto toraks

18
 

dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu (1) kelompok pertama adalah


foto toraks normal, (2) kelompok kedua adalah gambaran sugestif TB
meliputi adanya pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal

dengan/tanpa infiltrat, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi


dengan infiltrat, atelektasis, kavitas, dan efusi pleura.
Gejala sistemik yang sering timbul salah satunya adalah demam.
Demam biasanya tidak tinggi dan hilang timbul dalam jangka waktu
yang cukup lama. Manifestasi lain yang sering dijumpai adalah
anoreksia, berat badan yang tidak naik (turun, tetap, atau naik namun
tidak sesuai dengan grafik tumbuh), dan malaise (letih, lesu, lemah,
dan lelah). Pada sebagian besar TB paru pada anak tidak menunjukkan
gejala batuk kronik, kecuali bila terjadi limfadenitis regional yang

menekan bronkus sehingga merangsang reseptor batuk.


Kelenjar limfe superfisialis TB sering dijumpai terutama pada
regio koli anterior, submandibula, supraklavikula, aksila, dan inguinal.
Biasanya kelenjar yang terkena bersifat multipel, unilateral, tidak
nyeri tekan, tidak panas pada perabaan, dan dapat saling melekat
(konfluens). Manifestasi spesifik lain dapat melibatkan susunan saraf
 pusat (berupa meningitis TB), tulang, kulit, mata, ginjal, peritoneum,
dan lain-lain.
Uji tuberkulin masih memungkinkan dilakuan di sarana

 pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas. Uji tuberkulin dapat


digunakan sebagai penunjang diagnostik bekerja berdasarkan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi hipersensitivitas tipe lambat ini
mencapai puncaknya dalam 48−72 jam, sehingga indurasi yang
terbentuk pada uji tuberkulin tersebut dapat berfungsi sebagai alat uji
diagnostik bila diukur dalam kurun waktu tersebut.
Pada uji tuberkulin, yang diukur adalah indurasi yang terbentuk.
Pengukuran indurasi ini dilakukan dengan cara mengukur indurasi
 pada diameter transversal, baik secara langsung maupun dengan cara

sokal. Untuk mengurangi bias dalam pengukuran indurasi, Sokal

19
 

menggunakan bolpoin untuk menentukan tepi indurasi pada diameter


tranversal, kemudian dilakukan pengukuran pada bekas tanda bolpoin
tersebut. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengukuran dengan

metode bolpoin memiliki reliabilitas yang lebih baik dan bias antar
 pengamat yang lebih rendah bila dibandingkan dengan metode
 pengukuran secara langsung.
l angsung. Hasil pengukuran indurasi
i ndurasi uji tuberkulin
dinyatakan dalam satuan milimeter. Secara umum, indurasi >10 mm
dinyatakan positif.
Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB
alamiah. Apabila diameter indurasi 0-4 mm, dinyatakan bahwa uji
tuberkulin negatif. Diameter 5−9 mm dinyatakan positif meragukan.
Hal ini dapat disebabkan oleh kesalahan teknis, keadaan alergi, atau

reaksi silang dengan M. atipik. Pada keadaan tertentu, yaitu


tertekannya sistem imun (imunokompromais). Keadaan
imunokompromais ini dapat dijumpai pada pasien dengan gizi buruk,
infeksi HIV, keganasan, morbili, pertusis, varisela, dan pasien yang
mendapat imunosupresan jangka panjang (≥2 minggu). Tedapat
sejumlah faktor dapat menyebabkan hasil uji tuberkulin negatif.
Karena itu, hasil uji tuberkulin negatif tidak menyingkirkan diagnosis
TB. Faktor-faktor tersebut antara lain dalam masa inkubasi, setelah
mendapat vaksin hidup, campak, pertusis, keganasan, dan malnutrisi

 berat. Di samping itu, hasil negatif juga terjadi pada kesalahan


 penyuntikan dan faktor keakuratan pembacaan. Hasil positif palsu
 pada uji tuberkulin terjadi pada beberapa keadaan meliputi riwayat
 pemberian Bacille Calmette Guerin (BCG) sebelumnya, infeksi M.
atypic lainnya, dan pembacaan yang salah karena ada trau atau infeksi
lain. Bacillus Calmette Guerin merupakan infeksi TB buatan dengan
 bakteri M. bovis yang dilemahkan sehingga kemampuannya dalam
menyebabkan reaksi tuberkulin menjadi positif walaupun tidak sekuat
infeksi alamiah. Adanya hematoma atau abses kecil pada daerah

20
 

injeksi dapat diinterpretasi sebagai indurasi jika ada trauma atau


infeksi lainya pada daerah injeksi.

Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


 pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem
skor. Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6),
harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti
tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan
kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya

21
 

sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi


lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi funduskopi, CT-Scan,
dan lain lainnya.

Diagnosis TB MDR
Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan
dan uji kepekaan M.tuberkulosis. Semua suspek TB MDR diperiksa
dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus dahak pagi hari. Uji
kepekaan M.tuberculosis harus dilakukan di laboratorium yang telah
tersertifikasi untuk uji kepekaan. Sambil menunggu hasil uji
kepekaan, maka suspek TB MDR akan tetap meneruskan pengobatan
sesuai dengan pedoman pengendalian TB Nasional.
2.3.9 Tatalaksana13

2.3.10 Komplikasi8

Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan


menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan
komplikasi lanjut.
a.  Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empisema, laryngitis, usus,
Poncet’s arthropathy. 
arthropathy. 
 b.  Komplikasi lanjut: obstruksi jalan napas, fibrosis paru, kor
 pulmonal, amyloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas

dewasa, sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.

22
 

2.3.11 Edukasi14

1)  Tinggal di rumah. Jangan pergi kerja atau sekolah atau tidur di
kamar dengan orang lain selama beberapa minggu pertama
 pengobatan untuk TB paru aktif.
2)  Anjuran kepada pasien untuk rutin minum obat, sesuai anjuran
resep dokter.
3)  Ventilasi ruangan. Kuman TB menyebar lebih mudah dalam
ruangan tertutup kecil di mana udara tidak bergerak. Jika ventilasi
ruangan masih kurang, membuka jendela dan menggunkan kipas
untuk meniup udara dalam ruangan luar.
4)  Tutup mulup menggunakan masker. Gunakan masker menutup
mulut kapan saja ketika di diagnosis TB merupakan langkah
 pencegahan TB secara efektif. Jangan lupa untuk membuangnya
secara tepat.
5)  Imunisasi BCG diberikan pada bayi berumur 3-14 bulan.
6)  Menghindari udara dingin.
7)  Mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya
ke tempat tidur.
8)  Menjemur kasur, bantal, dan tempat tidur terutama pagi hari.
9)  Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga
mencucinya dan tidak boleh digunakan oleh orang lain.
2.3.12 Prognosis15, 16

Di negara-negara dengan tingkat TB yang rendah, kekambuhan


 biasanya terjadi dalam waktu 12 bulan setelah pengobatan TB selesai. Di
negara-negara dengan tingkat TB yang lebih tinggi, sebagian besar kambuh
setelah pengobatan yang tepat, yang terjadi lebih banyak adalah kasus
reinfeksi daripada kasus kekambuhan. Prognosis yang buruk ditandai
dengan adanya keterlibatan TB ekstrapulmoner, pada orang tua, dan riwayat
 pengobatan sebelumnya yang buruk. Untuk kasus dengan resistensi obat,

 pasien dengan resistensi hanya rifampisin saja mempunyai prognosis yang

23
 

lebih baik daripada kasus MDR-TB tetapi mempunyai risiko yang lebih
tinggi terjadi kegagalan pengobatan.
2.4 Abses Paru

2.4.1 Definisi17

Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan
 paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah
(pus/nekrotik debris) dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih yang
disebabkan oleh infeksi mikroba.
2.4.2 Etiologi17
Kuman atau bakteri penyebab terjadinya abses paru bervariasi. 46%
abses paru disebabkan hanya oleh bakteri anaerob, sedangkan 43%

campuran bakteri anaerob dan aerob. Disebut abses primer apabila infeksi
diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang terjadi pada orang normal,
sedangkan abses sekunder apabila infeksi terjadi pada orang yang
sebelumnya sudah mempunyai kondisi seperti obstruksi, bronkektasis dan
gangguan imunitas.
2.4.3 Patofisiologi18
Abses paru timbul bila parenkim paru terjadi obstruksi, infeksi
kemudian proses supurasi dan nekrosis. Perubahan reaksi radang pertama
dimulai dari supurasi dan trombosis pembuluh darah lokal, yang

menimbulkan nekrosis dan likuifikasi. Pembentukan jaringan granulasi


terjadi mengelilingi abses, melokalisir proses abses dengan jaringan fibrotik.
Suatu saat abses pecah, lalu jaringan nekrosis keluar bersama batuk, kadang
terjadi aspirasi pada bagian lain bronkus terbentuk abses baru. Sputumnya
 biasanya berbau busuk, bila abses pecah ke rongga pleura maka terjadi
empyema.
Terjadinya abses paru disebutkan sebagai berikut :
a.  Merupakan proses lanjut pneumonia inhalasi bakteria pada
 penderita dengan faktor predisposisi. Bakteri mengadakan

multiplikasi dan merusak parenkim paru dengan proses nekrosis.

24
 

Bila berhubungan dengan bronkus, maka terbentuklah air fluid


level bakteria masuk kedalam parenkim paru selain inhalasi bisa
 juga dengan penyebaran hematogen (septik emboli) atau dengan

 perluasan langsung dari proses abses ditempat lain (nesisitatum)


misal abses hepar.
 b.  Kavitas yang mengalami infeksi. Pada beberapa penderita
tuberkolosis dengan kavitas, akibat inhalasi bakteri mengalami
 proses keradangan supurasi. Pada penderita emphisema paru atau
 polikistik paru yang mengalami
mengalami infeksi sekunder.
c.  Obstruksi bronkus dapat menyebabkan pneumonia berlajut sampai
 proses abses paru. Hal ini sering terjadi pada obstruksi karena
kanker bronkogenik. Gejala yang sama juga terlihat pada aspirasi

 benda asing yang belum keluar. Kadang-kadang dijumpai juga


 pada obstruksi karena pembesaran kelenjar limphe peribronkial.
d.  Pembentukan kavitas pada kanker paru. Pertumbuhan massa kanker
 bronkogenik yang cepat tidak diimbangi peningkatan suplai
 pembuluh darah, sehingga terjadi likuifikasi nekrosis sentral. Bila
terjadi infeksi dapat terbentuk abses.Apabila terjadi aspirasi, kuman
Klebsiela pneumonia sebagai kuman komensal di saluran
 pernafasan atas ikut masuk ke saluran pernafasan bawah, akibat
aspirasi berulang, aspirat tak dapat dikeluarkan dan pertahanan

saluran nafas menurun sehingga terjadi keradangan. Proses


keradangan dimulai dari bronki atau bronkiol, menyebar ke
 parenkim paru yang kemudian dikelilingi jaringan granulasi.
Perluasan ke pleura atau hubungan dengan bronkus sering terjadi,
sehingga pus atau jaringan nekrotik dapat dikeluarkan. Drainase
dan pengobatan yang tidak memadai akan menyebabkan proses
abses yang akut akan berubah menjadi proses yang kronis atau
menahun.

25
 

2.4.4 Manifestasi Klinis6


1)  Prodomoral: demam, sesak napas, malaise, anoreksia
2)  Batuk darah

3)  Nyeri dada
4)  Sianosis
5)  Sputum kental berbau busuk
6)  Batuk (+)
7)  Berat badan turun
2.4.5 Faktor Risiko9
a.  Kondisi-kondisi yang memudahkan terjadinya aspirasi:

1)  Gangguan kesadaran : alkoholisme, epilepsi/kejang sebab lain,


gangguan serebrovaskular, anestesi umum, penyalahgunaan obat
intravena, koma, trauma, sepsis.
2)  Gangguan esofagus dan saluran cerna lainnya : gangguan
motilitas.
3)  Fistula trakeoesopageal

 b.  Sebab-sebab iatrogenik


c.  Penyakit-penyakit periodontal
d.  Kebersihan mulut yang buruk
e.  Pencabutan gigi
f.  Pneumonia akut
g.  Bronkiektasis
h.  Kanker paru
i.  Infeksi saluran napas atas dan bawah yang belum teratasi.
2.4.6 Diagnosis18,19
Diagnosis abses paru tidak bisa ditegakkan hanya berdasarkan
kumpulan gejala seperti pneumonia dan pemeriksaan fisik saja. Diagnosa
harus ditegakkan berdasarkan.

26
 

a.  Riwayat penyakit sebelumnya. Keluhan penderita yang khas

misalnya malaise, sesak nafas, penurunan berat badan, panas,

 badan yang ringan, dan batuk yang produktif,  Foetor ex oero.


oero.

Adanya riwayat penurunan kesadaran berkaitan dengan sedasi,

trauma atau serangan epilepsi. Riwayat penyalahgunaan obat yang

mungkin teraspirasi asam lambung waktu tidak sadar atau adanya

emboli kuman diparu akibat suntikan obat.

 b.  Hasil pemeriksaan fisik yang mendukung adanya data tentang

 penyakit dasar yang mendorong terjadinya abses paru, seperti

tanda-tanda proses konsolidasi diantaranya:

1)  Redup pada perkusi,

2)  Suara nafas yang meningkat,

3)  Sering dijumpai adanya jari tabuh

4)  Takikardi

5)  Febris

c.  Pemeriksaan laboratorium sputum gram, kultur darah dapat

mengarah pada organisme penyebab infeksi. Jika TB dicurigai, tes

BTA dan mikobakteri dapat dilakukan. Pada pemeriksaan darah

rutin ditemukan leukositosis, Laju endap darah meningkat, hitung

 jenis sel darah putih didapatkan pergeseran ke kiri.

d.  Gambaran radiologis yang menunjukkan kavitas dengan proses

konsolidasi disekitarnya, adanya air fluid level  yang


 yang berubah posisi

sesuai dengan gravitasi. Abses paru sebagai akibat aspirasi paling

27
 

sering terjadi pada segmen posterior lobus superior atau segmen

superior lobus inferior. Ketebalan dinding abses paru-paru

 berlangsung dari tebal ke tipis dan dari dinyatakan sakit hingga

tapak gambaran yang membaik disekitar infeksi paru. Besarnya

tingkat udara abses cairan dalam paru-paru sering sama dalam

 pandangan posteroanterior atau lateral.


l ateral. Abses dapat memanjang ke

 permukaan pleura.

e.  Bronkoskopi. Fungsi Bronkoskopi selain diagnostik juga untuk

melakukan terapi drainase bila kavitas tidak berhubungan dengan

 bronkus. 

2.5 Bronkietaksis

2.5.1 Definisi9

Bronkiektasis merupakan dilatasi bronkus dan bronkiolus yang


 permanen disebabkan oleh kerusakan otot dan jaringan elastin pendukung,
akibat dari atau berkaitan dengan infeksi nekrotikans kronik.
2.5.2 Etiologi20
Penyebab bronkiektasis sampai sekarang masih belum diketahui
dengan jelas. Pada kenyataannya kasus-kasus bronkiektasis dapat timbul
secara kongenital maupun didapat.

a.  Kelainan Kongenital

Dalam hal ini bronkiektasis terjadi sejak individu masih


dalam kandungan. Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan
 perkembangan  fetus
 fetus   memegang peranan penting. Bronkiektasis
yang timbul kongenital mempunyai ciri sebagai berikut. Pertama,
 bronkiektasis mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu

atau kedua paru. Kedua, brobkiektasis kongenital sering

28
 

menyertai penyakit-penyakit kongenital lainnya, misalnya:


 Mucoviscidosis (Cystic pulmonary fibrosis),
fibrosis), sindrom Kartagener
( Bronkiektasis
 Bronkiektasis kongenital, sinusitis, paranasal dan situs

inversus), hipo atau agamaglobulinemia, bronkiektasis pada anak


inversus),
kembar satu telur (anank yang satu dengan bronkiektasis, ternyata
saudara kembarya juga menderita bronkiektasis), bronkiektasis
sering bersamaan dengan kelainan kongenital berikut; tidak
adanya tulang rawan bronkus, penyakit jantung bawaan,
kifoskoliosis kongenital.

 b.  Kelainan Didapat

Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat dan

kebanyakan merupakan akibat dari proses berikut:


c.  Infeksi

Bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak menderita


 penumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama.
Penumonia ini umumnya merupakan komplikasi pertusis maupun
influenza yang diderita semasa anak, tuberkulosis paru, dan
sebagainya.

d.  Obstruksi Bronkus

Obstruksi bronkus yang dimaksudkan disini dapat disebabkan


oleh berbagai mecam sebab: korpus alineum, karsinoma bronkus
atau tekanan dari luar lainnya terhadap bronkus. Menurut
 penelitian para ahli diketahui bahwa adanya infeksi ataupun
obstruksi bronkus tidak selalu secara nyata (otomatis)
menimbulkan bronkiektasis. Oeleh karenanya diduga mungkin
masih ada faktor instrinsik (yang sampai sekarang belum
diketahui) ikut berperan terhadap timbulnya bronkiektasis.

29
 

2.5.3 Patofisiologi
Bronkiektaksis adalah keadaan yang ditandai dengan dilatasi kronik
 bronkus dan bronkiolus ukuran sedang (kira-kira generasi percabangan

keempat sampai kesembilan). Bronkiektaksis timbul apabila dinding


 bronkus melemah akibat perubahan peradangan kronik yang menangani
mukosa serta lapisan otot.
Dua proses sangat penting dan saling terkait dalam patogenesis
 bronkiektasis: obstruksi dan infeksi kronis persisten. Salah satu dari dua
 proses ini mungkin terjadi lebih dulu. Mekanisme pembersihan normal
terhalang oleh penyumbatan, sehingga infeksi sekunder terjadi; Sebaliknya,
infeksi kronis dari waktu ke waktu menyebabkan kerusakan pada dinding
 bronkus, yang menyebabkan pelemahan dan pelebaran.
pel ebaran. Misalnya,
Misaln ya, obstruksi

disebabkan oleh kanker paru primer atau benda asing mengganggu sekresi,
mengakibatkan adanya substrat yang menguntungkan proses infeksi.
Kerusakan inflamasi yang dihasilkan pada dinding bronkus dan eksudat
yang mengakumulasi lebih lanjut membendung saluran udara, yang
menyebabkan pelebaran ireversibel. Sebaliknya, peradangan nekrosis yang
terus-menerus pada bronkus atau bronkiolus dapat menyebabkan sekresi
obstruktif, pembengkakan di seluruh dinding (dengan fibrosis dan fibrosis
 peribronkial di dinding).
Bronkiektaksis paling sering timbul pada masa kanak-kanak akibat

infeksi berulang saluran pernapasan bagian bawah, yang timbul sebagai


komplikasi penyakit campak, batuk rejan, atau influenza. Penyumbatan
akibat neoplasma atau aspirasi benda asing (terutama benda organik seperti
kacang) juuga dapat menimbulkan bronkiektaksis dan infeksi sekunder pada
 percabangan bronkus dagian distal.
2.5.4 Manifestasi Klinis6,21
Gejala dan tanda klinis yang timbul tergantung pada luas dan
berat penyakit, dan lokasi kelainannya dan ada tidaknya komplikasi
lanjut. Ciri khas bronkietaksis adalah batuk kronik disertai produksi

sputum, adanya hemoptisis dan pneumonia berulang.

30
 

Keluhan:
a.  Batuk. Dengan ciri: batuk produktif berlangsung kronik dan
frekuens mirip seperti pada bronchitis kronik, jumlah sputum

bervariasi (umumnya lebih banyak pada pagi hari sesudah ada


perubahan posisi tidur atau bangun dari tidur. Kalau tidak ada
infeksi sekunder sputumnya mukoid, kalau ada infeksi
sekunder sputumnya purulen, dapat memberikan bau mulut
yang tidak sedap.
b.  Hemoptisis. Terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa
bronkus mengenai pembuluh darah (pecah) dan timbul
pendarahan.
c.  Sesak napas, kadang-kadang ditemukan pula suara mengi
akibat adanya obstruksi bronkus.
d.  Demam berulang.
2.5.5 Faktor Risiko6
a.  Obstruksi bronkial. Penyebab umum adalah tumor, benda asing,
asin g,
dan terkadang impaksi lendir. Dengan kondisi ini, bronkiektasis
dilokalisasi ke segmen paru yang tersumbat. Bronkiektasis juga
 bisa menyulitkan asma atopik dan bronkitis
bronkitis kronis.
 b.  Kondisi kongenital atau herediter, misalnya:
1)  Pada fibrosis kistik, bronkiektasis parah terjadi akibat
 penyumbatan yang disebabkan oleh sekresi lendir yang tidak
normal sehingga menyebabkan infeksi pada pohon bronkus. Ini
adalah komplikasi yang penting dan serius.
2)  Pada keadaan imunodefisiensi, khususnya defisiensi
imunoglobulin, bronkiektasis lokal atau menyebar mungkin
akan berkembang karena adanya peningkatan kerentanan
terhadap infeksi bakteri berulang.
3)  Sindrom kartagener adalah kelainan resesif autosomal langka
yang sering dikaitkan dengan bronkiektasis dan sterilitas pada
 pria. Dalam kondisi ini, kelainan struktural pada silia

31
 

mengganggu pembersihan mucociliary di saluran udara, yang


menyebabkan infeksi persisten, dan mengurangi mobilitas
spermatozoa.

c.  Nekrotisasi, atau supuratif, pneumonia, terutama dengan organisme


organisme
virulen seperti Staphylococcus aureus atau
atau Klebsiella
 Klebsiella spp.,
spp., dapat
mempengaruhi pasien yang terkena perkembangan bronkiektasis.
Posttuberkulosis bronkiektasis terus menjadi penyebab morbiditas
yang signifikan di daerah endemik  
2.5.6 Diagnosis22
Diagnosis pasti bronkiektasis dapat ditegakkan apabila telah
ditemukan adanya dilatasi dan nekrosis dinding bronkus dengan prosedur
 pemeriksaan bronkografi dan melihat bronkogram yang didapatkan.

Bronkografi tidak selalu dapat dikerjakan pada tiap pasien bronkiektasis,


karena terikat oleh adanya indikasi, kontra indikasi, sarat-sarat kapan
melakukannya dan sebagainya. Oleh karena pasien bronkiektasis umumnya
memberikan gambaran klinis yang dapat dikenal, penegakan diagnosis
 bronkiektasis dapat ditempuh melewati proses diagnosis yang lazim
dikerjakan di bidang kedokteran, meliputi:
a.  Anamnesis
 b.  Pemeriksaan fisis
c.  Pemeriksaan penunjang, terutama pemeriksaan radiologik

Tanda-tanda penting :
1)  Sputum dan napas berbau
2)  Rhonki (+)
3)  Kadang disertai bunyi wheezing
4)  Jari tabuh
5)  Jantung dan trakea tertarik pada daerah yang terkena

32
 

2.6 Bronkitis

2.6.1 Definisi9

Bronkitis adalah suatu penyakit yang ditandai adanya inflamasi dan


dilatasi (ektasis) bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik.
Perubahan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam
dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis dan otot-otot polos
 bronkus.

2.6.2 Etiologi9

Secara umum penyebab bronkitis dibagi berdasarkan faktor


lingkungan dan faktor host/penderita. Penyebab bronkitis berdasarkan

faktor lingkungan meliputi:


a.  Infeksi virus: influenza
influ enza virus, parainfluenza virus, respiratory
syncytial virus (RSV),
(RSV), adenovirus,
adenovirus, coronavirus, rhinovirus, dan
lain-lain.
 b.  Infeksi bakteri: Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis,
Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau
 bakteri atipik (Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia
 pneumonia, Legionella)
c.  Jamur

d.  Noninfeksi : polusi udara, rokok, dan


dan lain-lain.
Sedangkan faktor penderita meliputi usia, jenis kelamin, kondisi
alergi dan riwayat penyakit paru yang sudah ada. Penyebab bronkitis
akut yang paling sering adalah infeksi
inf eksi virus yakni sebanyak 90%
sedangkan infeksi bakteri hanya sekitar < 10%.
2.6.3 Patofisiologi9

Temuan utama pada bronkitis adalah hipertropi kelenjar mukosa


 bronkus dan peningkatan jumlah sel goblet dengan infiltasi sel-sel radang
dan edema pada mukosa sel bronkus. Pembentukan mukosa yang terus
menerus mengakibatkan melemahnya aktifitas silia dan faktor

33
 

fagositosis dan melemahkan mekanisme pertahananya sendiri. Pada


 penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi akibat perubahan fibrotik yang
terjadi dalam saluran napas.

Jenis Bronkitis:
a.  Bronkitis akut
Adalah batuk yang tiba-tiba terjadi karena infeksi virus yang
melibatkan jalan napas yang besar. Bronkitis akut pada
umumnya ringan. Berlangsung singkat (beberapa hari hingga
 beberapa minggu), rata-rata 10-14 hari. Meski ringan, namun
adakalanya sangat mengganggu, terutama jika disertai sesak,
dada terasa berat, dan batuk berkepanjangan.
 b.  Bronkitis kronik

Bronkitis kronik merupakan penyakit saluran napas yang


 bersifat kronik, persisten dan progresif. Infeksi saluran napas
merupakan masalah klinis yang sering dijumpai pada penderita
 bronchitis kronik yang dapat memperberat penyakitnya.
Eksaserbasi infeksi akut akan bronkitis kronik yang dapat
memperberat penyakitnya. Eksaserbasi infeksi akut akan
mempercepat kerusakan yang telah terjadi, disamping itu kuman
yang menyebabkan eksaserbasi juga berpengaruh terhadap
morbiditas penyakit ini. Penyakit ini berlangsung lebih lama

dibandingkan bronkitis akut, yaitu berlangsung selama 1 tahun


dengan frekuensi batu produktif 3 bulan selam 2 tahun berturut-
turut.
2.6.4 Manifestasi Klinis23

a.  Bronkitis Akut:


1)  Batuk (berdahak ataupun tidak berdahak).
2)  Demam (biasanya ringan), rasa berat dan tidak nyaman di dada.
3)  Sesak napas, rasa berat bernapas,
4)  Kadang batuk darah

34
 

 b.  Bronkitis Kronik:

1)  Batuk dengan dahak atau batuk produktif dalam jumlah yang
 banyak. Dahak makin banyak dan berwarna kekuningan
(purulen) pada serangan akut (eksaserbasi). Kadang dapat
dijumpai batuk darah.

2)  Sesak napas. Sesak bersifat progresif (makin berat) saat


 beraktifitas.

3)  Adakalanya terdengar suara mengi (ngik-ngik).

4)  pada
 pada pemeriksaan dengan stetoskop (auskultasi) terdengar suara
krok-krok terutama saat inspirasi (menarik napas) yang
menggambarkan adanya dahak di saluran napas.
24
2.6.5 Faktor Risiko

Faktor yang meningkatkan risiko terkena bronchitis antara lain:


1)  Merokok
2)  Daya tahan tubuh yang lemah, dapat karena baru sembuh dari sakit
atau kondisi lain yang membuat daya tahan tubuh menjadi lemah.
3)  Kondisi dimana asam perut naik ke esophagus (gastroesophageal
reflux disease).
4)  Terkena iritan, seperti polusi, asap atau debu.
2.6.6 Diagnosis9

a.  Anamnesis
Diagnosis dari bronkitis dapat ditegakkan bila pada
anamnesa pasien mempunyai gejala batuk yang timbul tiba-
tiba dengan atau tanpa sputum dan tanpa adanya bukti pasien
menderita pneumonia, common cold, asma akut dan eksaserbasi
akut. Pada pemeriksaan fisik pada stadium awal biasanya
tidak khas. Dapat ditemukan adanya demam, gejala rinitis
sebagai manifestasi pengiring, atau faring hiperemis. Sejalan
dengan perkembangan serta progresivitas batuk, pada

35
 

auskultasi dapat terdengar ronki, wheezing, ekspirium


diperpanjang atau tanda obstruksi lainnya. Bila lendir banyak
dan tidak terlalu lengket akan terdengar ronki basah.

Dalam suatu penelitian terdapat metode untuk


menyingkirkan kemungkinan pneumonia pada pasien dengan
 batuk disertai dengan produksi sputum yang dicurigai menderita
 bronkitis, yang antara lain bila tidak ditemukan keadaan sebagai
 berikut:
1)  Denyut jantung > 100 kali per menit
2)  Frekuensi napas > 24 kali per menit
3)  Suhu badan > 380 C
4)  Pada pemeriksaan fisik paru tidak terdapat focal

konsolidasi dan peningkatan suara napas.


 b.  Pemeriksaan fisik
1)  Keadaan umum baik: tidak tampak sakit berat dan
kemungkinan ada nasofaringitis.
2)  Keadaan paru : ronki basah kasar yang tidak tetap (dapat
hilang atau pindah setelah batuk, wheezing dan krepitasi)
c.  Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan dahak dan rontgen dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosa dan untuk menyingkirkan

diagnosa penyakit
penyakit lain. Bila penyebabnya
penyebabnya bakteri, sputumnya akan
seperti nanah. Untuk pasien anak yang diopname, dilakukan
dengan tesC-reactive protein, kultur pernapasan, kultur darah,
kultur sputum, dan tes serum aglutinin untuk membantu
mengklasifikasikan penyebab infeksi apakah dari bakteri atau
virus. Jumlah leukositnya berada > 17.500 dan pemeriksaan
lainnya dilakukan dengan cara tes fungsi paru-paru dan gas darah
arteri.

36
 

2.7 Hubungan nafsu makan dan berat badan turun pada kasus25

Status gizi yang buruk dapat meningkatkan risiko penyakit TB paru.


Sebaliknya, TB paru dapat pula menyebabkan status gizi buruk karena
 proses perjalanan penyakit yang mempengaruhi daya tahan tubuh. Pasien
TB paru sering kali mengalami penurunan status gizi, bahkan dapat menjadi
malnutrisi apabila tidak diimbangi dengan diet yang tepat. Infeksi TB paru
mengakibatkan penurunan asupan dan malabsorpsi nutrien serta perubahan
metabolisme tubuh sehingga terjadi proses penurunan massa otot dan lemak
(wasting) sebagai manifestasi malnutrisi energi protein.

Tuberkulosis dapat menyebabkan atau memperparah malnutrisi


dengan cara mengurangi nafsu makan dan meningkatkan katabolisme.

2.8  Apakah kasus Tn. P berbahaya bagi istrinya yang sedang hamil dan
anaknya yang berumur 2 tahun?26 

Pengaruh tuberculosis pada kehamilan tergantung dari beberapa faktor


antara lain: lokasi penyakit (intra atau ekstrapulmonal), usia kehamilan,
status gizi ibu dan ada tidaknya penyakit penyerta. Beberapa studi
menyatakan terdapat hubungan antara TBC dan meningkatnya risiko berat
 badan lahir rendah, kelahiran preterm, kehidupan perinatal sampai pada
kematian bayi.

Bayi dalam kandungan ibu yang mengalami tuberculosis akan


mengalami gangguan selama perkembangannya dalam rahim si ibu. Selain
itu, cara penularan dari tuberculosis
tuberculosis paru
paru ini melalui udara karena
menghirup nukleus droplet yang berisikan organisme basil tuberkel dari
seseorang yang terinfeksi dapat menjadi penyebab terjadinya tuberculosis
 paru apabila terdapat seorang anggiota kelurganya mengalami tuberculosis
 paru dan anggota keluarga yang lainnya pun ternyata mengalami hal yang
sama.

37
 

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Tn. P, 25 tahun mengalami TB Paru.  

38
 

DAFTAR PUSTAKA

1.  Rasmin M. Editorial: Hemoptisis. J Respir Indo. 2009;29(2):53-4.


2.  Kreit JW. Hemoptysis. Dalam: Albert RK, Spiro SG, Jett JR editor
(penyunting). Clinical Respiratory Medicine. Edisi ke-3.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008. hlm. 311-36.
3.  Wilson, Price. Patofisiologi: Konsep-konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. ed. 4. Jakarta: EGC; 2004.
4.  Rumende, Cleopas Martin. “Pemeriksaan Toraks dan Paru” dalam Sudoyo
W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. – 
Dalam. – Ed.
Ed. 6 Jilid 1. Jakarta: Interna
Publishing; 2014.
5.  Price SA dan Wilson LM. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses  –   Proses
Penyakit. Dalam Wilson LM editor, Edisi 6. Jilid 2. Terj. Pandit
BU. Jakarta: EGC; 2013.
6.  Kumar, Abbas, Aster. Buku Ajar Patologi Robbins.  – Ed.
Ed. 9. Singapura:
Elsevier; 2015.
7.  Kementerian Kesehatan RI. InfoDatin Tuberkulosis. 2016.
8.  Amin Zulkifli dan Bahar Asril. Buku Ilmu Penyakit Dalam: Tuberkulosis
Paru. Jilid 2 Edisi 4. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
9.  Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing;
2009.
10. Croft, J., Norman, H., Fred, M.Tuberkulosis Klinik. Edisi 2. Jakarta:
Penerbit Widya Medik; 2002.
  Nelson. Ilmu Kesehatan Anak, Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: EGC;
11. Nelson.
2003.
12. Kementerian Nasional Kesehatan Republik Indonesia .Pedoman
.Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta; 2011.
13. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, eds 9. Jakarta,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005.

39
 

14. Sherwood, L. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem, Ed ke-6, Penerbit


Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2012.
15. Herchline, TE. Tuberculosis Treatment & Management: Approach

Considerations, Treatment During Pregnancy, Treatment in


Children. 25 Oktober 2016 [dikutip 26 Juni 2017]; Tersedia pada:
http://emedicine.medscape.com/article/230802-treatment 
http://emedicine.medscape.com/article/230802-treatment 
16. Centers for Disease Control and Prevention. Treatment of Tuberculosis.
American Thoracic Society, CDC, and Infectious Diseases Society
of America. MMWR 2003;52(No. RR-11): p.12
17. Rasyid, A. Abses Paru dalam Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
 – Ed.
Ed. 6 Jilid 1. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
18. Assegaff H. dkk. Abses Paru dalam Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.

AUP. Surabaya. 2006. 136 – 


136 –  41.
 41.
19. Jay A. Fishman. Aspiration. Empyema. Lung Abscesses. and Anaerobic
Infections in. Fishman’s pulmonary Diseases and disorders 4th ed.
Philadelphia; 2008. 2141 – 
2141 –  21
 21
20. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam, ed. 6.
Jakarta: InternaPublishing; 2014.
21. Silvia Loraine. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Volume 2. Edisi VI. Jakarta: EGC; 2006.
22. Ethan E Emmons, MD. Bronchiectasis: Practice Essentials, Background,

Pathophysiology. 17 Februari 2017 [dikutip 26 Juni 2017];


Tersedia pada: http://emedicine.medscape.com/article/296961-
  overview. 
overview.
23. Lawrence M. Tierney, Jr MD et all. Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit
Dalam;2002.
24. Ikawati, Z. Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernapasan, Yogyakarta:
Pustaka Adipura; 2006.
25. Puspita, E. Erwin, C. Gambaran Status Gizi pada Pasien Tuberkulosis Paru
(Tb Paru) yang Menjalani Rawat Jalan di Rsud Arifin Achmad

Pekanbaru. JOM FK Volume 3 No. 2; 2016.

40
 

26. Siti Setiati,dkk., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.VI Jilid II. Jakarta:
Pusat Penerbit Ilmu Penyakit Dalam; 2016.

41

Anda mungkin juga menyukai