com/2015/08/26/presentasi-kasus-cedera-kepala-berat-
dengan-fraktur-os-maxilla-le-fort-ii-winna-ekaputri/
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. GR
Umur : 35 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesa dan aloanamnesa di bangsal melati pada tanggal 7
Juni 2015.
± 5 jam SMRS OS mengalami KLL (Kecelakaan Lalu Lintas) dan mengeluh nyeri kepala.
± 5 jam SMRS OS mengalami KLL, menurut os kejadian tersebut berlangsung jam 5 sore,
ketika dia, istri dan anaknya sedang mengendarai motor. Os mengendarai motor menggunakan
helm full face dengan kecepatan ± 60-80 km/jam. Ketika kejadian tersebut posisi motor berada di
belakang mobil, ketika os ingin mendahului mobil dari sisi kanan, tiba-tiba mobil didepan
motornya tersebut berhenti. Motor os menabrak bagian kanan belakang mobil dan motor terjatuh
ke sisi kiri. Os mengaku setelah kejadian sempat pingsan. Menurut keluarga os sempat pingsan
sebanyak 2x selama 10-15 menit.
Menurut keluarga, setelah kejadian KLL tersebut, os langsung dibawa ke RS Ken Saras dan
diberikan Inj. Ranitidin 50 mg, Inj Ketorolac 30 mg, Inj Piracetam 3g, Inj Citicoline 250 mg, Inj
Asam Traneksamat 1000 mg. Atas permintaan pasien, Os dipindahkan ke RSUD Ambarawa.
Os mengaku masih ingat kejadian kecelakaan. Os mengeluh nyeri kepala (+). Os menyangkal
adanya mual dan muntah. Os menyangkal terdapat kejang setelah kejadian. Os menyangkal
adanya kelemahan pada anggota geraknya, tetapi os mengeluhkan nyeri saat menggerakan bahu
kirinya. Os menyangkal adanya baal dan kesemutan pada angota tubuhnya. Selain itu, os juga
mengeluhkan nyeri pada daerah wajah bagian kirinya dan os mengaku juga kesulitan untuk
bernapas karena menurut os ada darah keluar dari kedua hidungnya dan mulut. Os mengaku
nyeri dan kesulitan untuk membuka mulutnya. Os menyangkal mulut merot dan bicara pelo (-),
Os menyangkal adanya penglihatan ganda. Os menyangkal adanya gangguan pendengaran. Os
masih dapat berkomunikasi baik dengan keluarga. os mengaku BAB dan BAK lancar.
Sistem Muskuloskeletal : Parese (-), Plegia (-), Nyeri bahu kanan bila digerakan (+)
II.1 Diskusi I
Dari anamnesa didapatkan seorang pasien laki-laki usia 35 tahun mengalami keluhan nyeri
kepala, nyeri di wajah bagian kiri, nyeri pada bahu kiri bila digerakkan, nyeri dan sulit
membuka mulut, perdarahan pada daerah hidung dan mulut dan sempat pingsan sebanyak 2 x
selama 10-15 menit. Keluhan disebabkan oleh adanya cedera kepala yang dialami pasien kurang
lebih 5 jam sebelum masuk rumah sakit.
Cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala secara langsung ataupun tidak langsung
yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial
baik temporer maupun permanen (Perdossi, 2006). Cedera kepala dapat menyebabkan cedera
pada kulit kepala, tulang tengkorak, dan jaringan otak, oleh karenanya dinamakan juga cedera
kranioserebral yang masuk dalam lingkup neurotraumatologi yang menitikberatkan cedera
terhadap jaringan otak, selaput otak, dan pembuluh darah otak.
Cedera ini dapat terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (terbanyak), baik pejalan kaki maupun
pengemudi kendaraan bermotor. Selain itu, cedera kranioserebral dapat juga terjadi akibat jatuh,
peperangan (luka tembus peluru), dan lainnya. Akibat cedera ini, seseorang dapat mengalami
kondisi kritis seperti tidak sadarkan diri pada saat akut, dan yang tidak kalah penting adalah saat
perawatan karena jika penatalaksanaannya tidak akurat, dapat terjadi kematian atau kecacatan
berat. Pada pasien kali ini kejadian terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.
Cedera kepala secara harfiah bermakna cedera pada kepala, namun hakekatnya definisi tersebut
tidak sesederhana itu karena cedera kepala dapat meliputi cedera pada kulit kepala, tulang
tengkorak, jaringan otak, atau kombinasi dari masing-masing bagian tersebut. Pada bidang ilmu
penyakit saraf lebih dititikberatkan pada cedera terhadap jaringan otak, selaput otak, dan
pembuluh darah otak, sebagai akibat adanya kekuatan mekanik dari luar, yang menyebabkan
gangguan temporer atau permanen dalam hal fungsi kognitif, fisik, dan fungsi psikososial,
dengan disertai penurunan atau hilangnya kesadaran (Ashley, 2004; Whjoepramono, 2005).
Cedera kranioserebral termasuk dalam ruang lingkup cabang ilmu naurotraumatologi, yang
mempelajari/meneliti pengaruh trauma terhadap sel otak secara struktural maupun fungsional
dan akibatnya baik pada masa akut (kerusakan primer) maupun sesudahnya (kerusakan
sekunder). Cedera primer adalah cedera yang menimbulkan kerusakan langsung setelah cedera
terjadi misalnya fraktur tengkorak, laserasio, serta kontusio. Sedangkan cedera kepala sekunder
merupakan efek lanjut dari cedera primer seperti perdarahan intrakranial, edema serebral,
peningkatan intrakranial, hipoksia dan infeksi. Oleh karena itu manajemen segera dan intervensi
lanjut harus sudah dilaksanakan sejak awal kejadian guna mencegah/meminimalkan kematian
maupun kecacatan pasien.
Berdasarkan patofisiologinya, cedera kepala, dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera
kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan
dengan kejadian cedera. Cedera ini umumnya menimbulkan kerusakan pada tengkorak, otak,
pembuluh darah, dan struktur pendukungnya (Cunning & Houdek, 1998). Cedera kepala
sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik. Pada cedera kepala sekunder pasien mengalami hipoksia, hipotensi, asidosis dan
penurunan suplay oksigen otak (LeJeune & Tamara, 2002). Lebih lanjut keadaan ini
menimbulkan edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai adanya
penurunan kesadaran, muntah proyektil, papilla edema, dan nyeri kepala. Masalah utama yang
sering terjadi pada cedera kepala adalah adanya perdarahan, edema serebri, dan peningkatan
tekanan intrakranial.
Klasifikasi cedera kranioserebral berdasarkan patologi yang dibagi dalam komosio serebri,
kontusio serebri, dan laserasi. Di samping patologi yang terjadi pada otak, mungkin terdapat juga
fraktur tulang tengkorak. Fraktur ini ada yang di basis kranium, dan ada yang di temporal,
frontal, parietal, ataupun oksipital. Fraktur bisa linear atau depressed, terbuka atau tertutup.
Klasifikasi berdasarkan lesi bisa fokal atau difus, bisa kerusakan aksonal ataupun hematoma.
Letak hematoma bisa ekstradural atau dikenal juga sebagai hematoma epidural (EDH), bisa
hematoma subdural (SDH), hematoma intraserebral (ICH), ataupun perdarahan subaraknoid
(SAH).
Pembagian cedera kepala menurut Perdossi (2006) dibai dalam kategori cedera kepala minimal,
ringan, sedang dan berat yang dapat dinilai berdasarkan GCS, gambaran klinik (lama pingsan
dan ada atau tidaknya defisit neurologis) serta gambaran CT-Scan.
Untuk klasifikasi berdasarkan keadaan klinis didasarkan pada kesadaran pasien yang dalam hal
ini menggunakan Glasgow coma scale (GCS) sebagai patokannya. Terdapat tiga kategori yaitu
CKR (GCS: 14-15), CKS (GCS: 9-13), dan CKB (GCS ≤ 8) (Greenberg, 2001). Tujuan
klasifikasi tersebut adalah untuk pedoman triase di gawat darurat. Adapun pembagian cedera
kepala menurut Perdossi (2006) adalah sebagai berikut:
Tidak ada penurunan kesadaran
GCS = 15
Kehilangan kesadaran <10 menit
GCS = 13-15
Kehilangan kesadaran antara >10 menit sampai 6 jam
GCS = 9-12
Kehilangan kesadaran lebih dari 6 jam
GCS = 3-8
Adapun bila didapat penurunan kesadaran lebih dari 24 jam disertai defisit neurologis dan
abnormalitas CT Scan berupa perdarahan intrakranial, penderita dimasukkan klasifikasi cedera
kepala berat (Perdossi, 2006).
Klasifikasi lain berdasarkan lama amnesia pascacidera (APC) diperkenalkan oleh Russel dalam
Jennett & Teasdale. Klasifikasi ini bisa dikombinasikan dengan klasifikasi berdasarkan klinis
GCS.
Klasifikasi berdasarkan derajat kesadaran yang banyak dipakai di klinik karena mempunyai
beberapa kelebihan, yaitu
1. Penilaian skg (skala koma glasgow) dengan komponen e(ye) m(otor) dan v(erbal)
mempunyai nilai pasti dengan tampakan klinik yang mudah dinilai oleh kalangan medis
maupun paramedis (standar jelas).
2. Kategori dan prognosis pasien cedera kranioserebral dapat diperkirakan dengan melihat
nilai skg yang meskipun diulang beberapa kali akan menghasilkan nilai yang sama.
Sebagian besar kasus diakibatkan oleh robeknya arteri meningea media. Perdarahan terletak di
antara tulang tengkorak dan duramater. Gejala klinisnya adalah lucid interval, yaitu selang waktu
antara pasien masih sadar setelah kejadian trauma kranioserebral dengan penurunan kesadaran
yang terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini kurang dari 24 jam; penilaian
penurunan kesadaran dengan GCS. Gejala lain nyeri kepala bisa disertai muntah proyektil, pupil
anisokor dengan midriasis di sisi lesi akibat herniasi unkal, hemiparesis, dan refl eks patologis
Babinski positif kontralateral lesi yang terjadi terlambat. Pada gambaran CT scan kepala,
didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk
cembung.
Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus dura mater atau robeknya
araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut dan
kronik. Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah proyektil. Jika SDH
makin besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran.
Gambaran CT scan kepala berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah lisis menjadi
cairan, disebut higroma (hidroma) subdural.
Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran darah di batang otak dengan
akibat tonus dinding pembuluh darah menurun, sehingga cairan lebih mudah menembus
dindingnya. Penyebab lain adalah benturan yang dapat menimbulkan kelainan langsung pada
dinding pembuluh darah sehingga menjadi lebih permeabel. Hasil akhirnya akan terjadi edema.
Terjadi kerusakan baik pada pembuluh darah maupun pada parenkim otak, disertai edema.
Keadaan pasien umumnya buruk.
Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang 40% kasus cedera
kranioserebral,sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal sehingga sering
tidak dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di dalam cairan otak akan
mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di dalam rongga subaraknoidea. Bila vasokonstriksi
yang terjadi hebat disertai vasospasme, akan timbul gangguan aliran darah di dalam jaringan
otak. Keadaan ini tampak pada pasien yang tidak membaik setelah beberapa hari perawatan.
Penguncupan pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat berlangsung sampai 10 hari
atau lebih. Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Pada CT scan otak, tampak
perdarahan di ruang subaraknoid. Berbeda dengan SAH non-traumatik yang umumnya
disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak (AVM atau aneurisma), perdarahan pada SAH
traumatik biasanya tidak terlalu berat.
Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal tengkorak; bisa di
anterior,medial, atau posterior. Sulit dilihat dari foto polos tulang tengkorak atau aksial CT scan.
Garis fraktur bisa terlihat pada CT scan berresolusi tinggi dan potongan yang tipis. Umumnya
yang terlihat di CT scan adalah gambaran pneumoensefal. Fraktur anterior fosa melibatkan
tulang frontal, etmoid dan sinus frontal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yaitu
adanya cairan likour yang keluar dari hidung (rinorea) atau telinga (otorea) disertai hematoma
kacamata (raccoon eye, brill hematoma, hematoma bilateral periorbital) atau Battle sign yaitu
hematoma retroaurikular. Kadang disertai anosmia atau gangguan nervi kraniales VII dan VIII.
Risiko infeksi intrakranial tinggi apabila duramater robek.
Pembagian cedera kepala menurut Perdossi (2006) dibai dalam kategori cedera kepala minimal,
ringan, sedang dan berat yang dapat dinilai berdasarkan GCS, gambaran klinik (lama pingsan
dan ada atau tidaknya defisit neurologis) serta gambaran CT-Scan. Pada kasus diatas dimana
pasien dengan kehilangan kesadaran >10 menit sehingga dimasukan kedalam cedera kepala
sedang. Selain itu untuk menentukan apakah abnormal CT-Scan dibutuhkan CT-Scan kepala.
Selain itu pasien mengeluhkan nyeri di wajah bagian kiri, nyeri dan sulit membuka mulut,
perdarahan pada daerah hidung dan mulut, dimana curiga terjadi fraktur pada viscerocranium.
Diagnosis Sementara
Ekstrakranial
Status Generalis
Tanda Vital
Pernapasan : 22 x/menit
Suhu : 36,5oC
Kulit : Sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, suhu raba normal,
turgor kulit baik.
Mulut : VE pada bibir (+), Bibir pucat (-), gusi berdarah (+), Maloklusi (+)
Hidung : Deformitas (+), deviasi septum (+), sekret (-),perdarahan (+),
rhinorrhea (-),
Leher : Jejas (+), simetris, tidah ada deviasi trakhea, JVP ≠ meningkat,
pembesaran limfonodi cervical (-/-), leher kaku (-)
Thoraks
Paru
Inspeksi : Jejas (-), bentuk normal, gerak kedua hemitoraks simetris pada saat statis dan
dinamis
Jantung
Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba pada ICS V linea midclavicula sinistra, kuat angkat
Perkusi : Batas kanan ICS V linea sternalis dekstra; batas kiri ICSV linea midclavicula
sinistra ; batas atas ICS III linea sternalis sinistra
Abdomen
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), tidak teraba pembesaran hepar dan lien.
Nervus Kranialis
N II (Optikus)
Ptosis – –
Superior N N
Inferior N N
Medial N N
N IV (Troklearis)
N V (Trigeminus)
Trismus – –
N VI ( Abdusens)
N VII (Facialis)
Meringis N N
N VIII (Akustikus)
N IX (Glosofaringeus)
Sengau – –
Tersedak – –
N X (Vagus)
Bersuara + +
Menelan + +
N XI (Asesorius)
N XII (Hipoglosus)
Anggota Gerak
RP
RF
Tr
TN
K
G
Hematokrit 43,9 40 – 50 %
MCV 91,5 82 – 98 fl
Kesan :
Fraktur os maxillaris kanan dan kiri (dinding anterior dan lateral sinus maxillaris kanan
dan kiri) dan os nasal.
Diatase frontozygomatic kiri.
Hematosinus maxillaris kanan kiri, ethmoidalis kanan kiri dan frontal kanan.
Petechial hemorrhage pada lobus frontal kiri.
Gambaran brain swelling ringan.
Tak tampak tanda peningkatan tekanan intracranial saat ini.
II.2 Diskusi II
Pada kasus diatas termasuk dalam cedera kepala berat karena pada CT-Scan ditemukan adanya
fraktur splanchnocranium ditunjukkan dengan fraktur os maxillaris kanan dan kiri (dinding
anterior dan lateral sinus maxillaris kanan dan kiri) dan os nasal serta adanya petechial
hemorrhage pada lobus frontal kiri dan gambaran brain swelling ringan. Pada pasien ditunjukkan
dengan adanya pendarahan subconjunctival, edema facial, tele canthus yang menunjukkan
adanya presentasi klinis Le Fort II pada fraktur maksila. Fraktur maxilla diklasifikasikan menjadi
Le Fort I, II atau II:
Fraktur Le Fort I merupakan fraktur maxilla horizontal yang menyilangi aspek inferior
maxilla dan memisahkan procesus alveolar yang mengandung gigi maxilla dan palatum
durum dari bagian lain maxilla. Fraktur meluas melalui 1/3 bawah septum dan
mecangkup sinus maxilla medial dan lateral meluas ke os alatum dal pterigoid.
Fraktur Le Fort II merupakan fraktur pyramidal yang dimulai dari os nasal dan meluas
melalui os etmoid dan os lacrimal, turun kebawah melalui sutura zygomaticofacial,
berlanjut ke posterior dan lateral melalui maxilla, dibawah zygomaticus dan kedalam
pterigoid.
Fraktur Le Fort III atau disebut juga craniofacial dysjunction merupakan terpisahnya
semua tulang muka dari basis crania dengan fraktus simultan zygoma, maxilla, dan os
nasal. Garis fraktur meluas ke posterolateral melaui os etmoid, orbits, dan sutura
pterygomaxilla samapi kedalam fossa sphenopalatina.
Le Fort I : edema facial dan mobilitas padi palatum durum dan alveolus maxilla dan gigi.
Le Fort II : Edema Facial, pendarahan subconjunctival, mobilitas maxilla, pada sutura
nasofrontal,epitaxis, dan kemungkinan rhinorrea CSF.
Le Fort III : Edema massive, dengan wajah tampak membulat, memanjang da mendatar,
Epitaxis, rhinorrea CSF, dan pergerakan tulang wajah akibat manipulasi gigi, dan
palatum durum.
Diagnosis Akhir
Penatalaksanaan
Head up 20-30º .
Bed rest total.
Konsul Sp THT untuk perdarahan dari hidung dan mulut.
Konsul Sp KG untuk Gigi yang tumpang tindih.
Konsul Sp BP untuk fraktur Maxilla Le Fort II.
Piracetam
Meningkatkan energi (ATP) otak, meningkatkan aktifitas adenylat kinase (AK) yang merupakan
kunci metabolisme energi dimana mengubah ADP menjadi ATP dan AMP, meningkatkan
sintesis dan pertukaran cytochrome b5 yang merupakan komponen kunci dalam rantai transport
elektron dimana energi ATP diproduksi di mitokondria (James, 2004). Piracetam juga
digunakan untuk perbaikan defisit neurologi khususnya kelemahan motorik dan kemampuan
bicara pada kasus-kasus cerebral iskemia, dan juga dapat mengurangi severitas atau kemunculan
post traumatik/concussion sindrom. Piracetam mempengaruhi aktifitas otak melalui berbagai
mekanisme antara lain :
Brainact (Citicolin)
Ranitidin
Diberikan sebagai gastroprotektor dan mencegah efek samping dan interaksi dari obat lain.
Ranitidin adalah suatu histamin antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja histamin pada
reseptor H2 di lambung dan mengurangi sekresi asam lambung.
Ceftriaxone
Derivat thiazolyl ditemukan pada tahun 1983 dari generasi ketiga sepalosporin dengan sifat anti-
laktamase dan anti kuman gram negatif kuat. Dinding sel bakteri merupakan lapisan luar yang
kaku, yang menutupi keseluruhan membran sitoplasma. Dinding sel terdiri dari peptidoglycan.
Ceftriakson menghambat sintesis peptidoglycan yang diperlukan kuman sehingga sel mengalami
lisis dan sel bakteri akan mati.
Ketorolac
Lameson (Metilprednisolon)
Unalium (Flunarizine)
Flunarizine (1 – [bis (4-fluorophenyl) metil] -4 – [(2 E)-3-phenylprop-2-en-1-il] piperazine)
yang ditemukan di Janssen Pharmaceutica di 1967 adalah salah satu antagonis kalsium terbaru
dengan efek antimigrain. Flunarizine adalah penghambat selektif masuknya kalsium dengan cara
ikatan calmodulin dan aktivitas hambatan histamin H1. Flunarizine dapat mencegah terjadinya
kerusakan sel akibat overload kalsium dengan menghalangi secara selektif masuknya kalsium ke
dalam jaringan sel. Flunarizine juga terbukti dapat menghambat kontraksi otot polos pembuluh
darah, melindungi kekakuan sel-sel darah merah serta mampu melindungi sel-sel otak dari efek
hipoksia (kekurangan oksigen pada jaringan tubuh yang terjadi akibat pengaruh perbedaan
ketinggian).
Kalmeco (Mecobalamin)
bentuk vitamin B12 dengan gugus metil aktif yang berperan dalam reaksi transmetilasi dan
merupakan bentuk paling aktif dibandingkan dengan homolog vitamin B12 lainnya dalam tubuh,
dalam hal kaitannya dengan metabolisme asam nukleat, protein dan lemak. Methylcobalamin
meningkatkan metabolisme asam nukleat, protein dan lemak. Mecobalamin bekerja sebagai
koenzim dalam sintesa metionin. Mecobalamin terlibat dalam sintesis timidin pada deoksiuridin
dan mempercepat sintesis DNA dan RNA. Pada penelitian lain ditemukan mecobalamin
mempercepat sintesis Lesitin, suatu komponen utama dari selubung mielin.Mecobalamin
diperlukan untuk kerja normal sel saraf.
Prognosis
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
Kesadaran : CM E4M6V5
TD : 150/90 mmHg, N:
84x/menit, RR : 24x/menit, S : – Inj Ceftriaxone 2
36,70C
– Inj Ranitidine 2×
Kepala : oedema dan hematom
Pusing (+), Sesak (+), mual (-), dibagian regio orbita sinistra, Inj Ketorolac 2×30 mg
muntah (-), Sakit di bahu sebelah oedema dibagian wajah
kiri bila digerakan (+), Sakit sinistra, – Inj Piracetam 2×3
dibagian wajah kiri dan bagian
3/6/2015 CKS
mata sebelah kiri (+), sakit dan Mata : mata pupil isokor, RCL – Inj Citicolin 2×50
sulit untuk membuka mulut (+), (+/+), RCTL (+/+)
baal (-), kesemutan (-), penglihatan
– Inj Metil predniso
ganda (-). Hidung : tertutup bekuan mg (Tapp of)
darah.
– Konsul Spesialis
G Gigi dab konsul Spesiali
Ekstremitas :
N N
Kesadaran : CM E4M6V5
N N
5/6/2015 Pusing (+),Sesak (-), Mual (-), Kesadaran : CM E4M6V5 CKS – Inj Ceftriaxone 2
Muntah (-), Sakit di bahu sebelah
kiri bila digerakan mulai berkurang KU : tampak sakit sedang – Inj Ranitidine 2×
(+), Sakit dibagian wajah kiri mata
sebelah kiri (+) , sakit dan sulit TD : 160/100 mmHg, N: Inj Ketorolac 2×30 mg
untuk membuka mulut mulai 96x/menit, RR : 20x/menit, S :
berkurang (+), baal (-), kesemutan 35,80C – Inj Piracetam 2×3
(-), penglihatan ganda (-).
Kepala : oedema dan hematom – Inj Kalmeco 1×1
dibagian regio orbita sinistra,
oedema dibagian wajah – Inj Lameson 2×1
sinistra, of)
Hidung : bekuan darah (-/-).
G
– Inj Brainact 2×50
Ekstremitas :
– Unalium 2×1
N ROM Terbatas
N N
Kesadaran : CM E4M6V5
N N
N N
8/6/2015 Pusing (-),Sesak (-), Mual (-), Kesadaran : CM E4M6V5 CKB – Inj Ceftriaxone 2
Muntah (-), Sakit di bahu sebelah
kiri bila digerakan berkurang (-), KU : tampak sakit sedang – Inj Ranitidine 2×
Sakit dibagian wajah kiri mata
sebelah kiri mulsi berkurang (+) , TD : 170/100 mmHg, N: Inj Ketorolac 2×30 mg
sakit dan sulit untuk membuka 96x/menit, RR : 20x/menit, S :
mulut (+), baal (-), kesemutan (-), 36,50C – Inj Piracetam 2×3
penglihatan ganda (-).
Kepala : oedema dan hematom
dibagian regio orbita sinistra,
oedema dibagian wajah
sinistra mulai berkurang, – Inj Kalmeco 1×1
G Unalium 2×1
Ekstremitas :
Konsul ulang Sp THT
N N
N N
Kesadaran : CM E4M6V5
N N
N N
DAFTAR PUSTAKA
1. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. PERDOSSI, 2006.
2. Teasdale G, Jennett B. Management of head injuries. Davis Co., Philadelphia, 1981.
3. Ling GSF, Grimes J. Pathophysiology and initial prehospital management. AAN Hawaii,
2011.
4. Marion DW. Head injury. Powner DJ. Nutrition/metabolism in the trauma patient. In:
The Trauma Manual. Peitzman AB et al. (eds.). Lippincott Raven, 1998.
5. Andrews PJD. Traumatic brain injury. In: Neurological Emergencies. Hughes R (ed.). 3rd
ed. BMJ books, 2000.
6. Marshall SA. Management of moderate and severe traumatic brain injury. AAN Hawaii,
2011