Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

HIPERBILIRUBINEMIA

DISUSUN OLEH
Putri Justicarici N
1102014213

PEMBIMBING
dr. Tommy Yuner Sirait, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN ANAK
PERIODE 2 JULI – 8
SEPTEMBER 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kekuatan dan
kemampuan kepada penyusun sehingga penyusunan Referat yang berjudul
“Hiperbilirubinemia” ini dapat diselesaikan.
Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan
menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Kabupaten
Bekasi. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. dr. Tommy Yuner Sirait, Sp. A selaku dokter pembimbing.
2. Para Perawat dan Pegawai di Bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Kabupaten Bekasi.
3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD Kabupaten Bekasi.
Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik dan
bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk
itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat
menghasilkan tulisan yang lebih baik di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam
menjalani aplikasi ilmu.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bekasi, Juli 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering


ditemukan pada bayi baru lahir dan menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning,
keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin (4Z, 15Z bilirubin IX alpha)
yang berwarna ikterus pada sklera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari
degradasi heme yang merupakan komponen haemoglobin mamalia. Pada masa
transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses
glukuronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan
dominasi bilirubin tak terkonjugasi di dalam darah. Pada kebanyakan bayi baru lahir,
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan fenomena transisional yang normal,
tetapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga
bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian dan bila bayi
tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan menimbulkan sekuele
neurologis. Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning, harus dibedakan
apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta
dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi
hiperbilirubinemia yang berat.
Di Amerika Serikat, sebanyak 65 % bayi baru lahir menderita ikterus dalam
minggu pertama kehidupannya. Di Malaysia, hasil survei pada tahun 1998 di rumah
sakit pemerintah dan pusat kesehatan di bawah Departemen Kesehatan mendapatkan
75% bayi baru lahir menderita ikterus dalam minggu pertama kehidupannya. Di
Indonesia, insidens ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan di beberapa RS
pendidikan antara lain RSCM, RS Dr. Sardjito, RS Dr. Soetomo, RS Dr. Kariadi
bervariasi dari 13,7% hingga 85%.
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada
sebagian besar neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama
kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi
cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan. Oleh karena itu, setiap bayi dengan ikterus
harus mendapatkan perhatian, terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam
pertama kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin meningkat > 5 mg/dL (> 86μmol/L)
dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih
dari 1 minggu serta bilirubin direk >1 mg/dL juga merupakan keadaan yang
menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologis. Dalam keadaan tersebut
penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus
dapat dihindarkan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin serum total >5 mg/dL
(86μmol/L). Hiperbilirubinemia sering dijumpai pada minggu-minggu pertama
setelah lahir, sebagian besar ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Ikterus
atau jaundice adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa akibat
penumpukan bilirubin tak terkonjugasi pada jaringan. Ikterus pada neonatus akan
terlihat bila kadar bilirubin serum >5 mg/dL. Istilah hiperbilirubinemia sering
disalahartikan sebagai ikterus berat yang membutuhkan terapi segera.
Sesungguhnya, hiperbilirubinemia dan ikterus/jaundice merupakan terminologi yang
merujuk pada keadaan yang sama.
Hiperbilirubinemia fisiologis tidak disebabkan oleh faktor tunggal tapi
kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis
neonatus. Hiperbilirubinemia patologis disebabkan oleh inkompatibilitas darah
(Rhesus atau ABO), hemolisis, sepsis, kelainan metabolisme, defisiensi enzim
glucose-6-phospate dehydrogenase (G6PD), Sindrom Gulbert dan Sindrom Crigler-
Najjar. Inkompatibiltas ABO dan defisiensi G6PD merupakan penyebab
hiperbilirubinemia terbanyak di Indonesia.
Peningkatan bilirubin secara berlebihan berpotensi menjadi toksik dan
menyebabkan kematian dan bila neonatus tersebut dapat bertahan hidup pada jangka
panjang akan menimbulkan sekuele nerologis.
2.2 Epidemiologi
Hiperbilirubinemia merupakan kondisi yang umum ditemukan di seluruh dunia.
Penelitian di Amerika Serikat, sebanyak 65% bayi baru lahir menderita ikterus dalam
minggu pertama kehidupannya. Di Indonesia, data epidemiologi yang ada
menunjukkan bahwa kurang dari 50% bayi baru lahir menderita hiperbilirubinemia
yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya.
Insiden hiperbilirubinemia neonatus pada bayi cukup bulan di beberapa RS
pendidikan antara lain RSCM, RS Dr.sardjito, RS Dr. Soetomo, RS Dr. Kariadi
bervariasi dari 13,7% hingga 85%.3 Penelitian di RSCM menemukan 58% kadar
bilirubin >5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin >12 mg/dL. Di RS Dr. Sardjito,
82% bayi cukup bulan dan 95% bayi kurang bulan mengalami hiperbilirubinemia
fisiologis.
2.3 Klasifikasi
a. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang paling sering terjadi pada bayi baru
lahir di minggu pertama kehidupannya disebabkan oleh peningkatan bilirubin tak
terkonjugasi akibat proses fisiologis pada neonatus. Proses tersebut antara lain
karena penurunan level glukoronil transferase, tingginya kadar eritrosit neonatus,
masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari), dan belum matangnya fungsi
hepar.
Kadar bilirubin tidak terkonjugasi (unconjugated bilirubin, UCB) pada
neonatus cukup bulan dapat mencapai 6-8 mg/dL pada usia 3 hari, setelah itu
berangsur turun. Pada bayi prematur, awitan ikterus terjadi lebih dini, kadar
bilirubin naik perlahan tetapi dengan kadar puncak lebih tinggi, serta
memerlukan waktu lebih lama untuk menghilang, mencapai 2 minggu. Kadar
bilirubin pada neonatus prematur dapat mencapai 10-12 mg/dL pada hari ke-5
dan masih dapat naik menjadi >15 mg/dL tanpa adanya kelainan tertentu. Kadar
bilirubin akan mencapai <2 mg/dL setelah usia 1 bulan, baik pada bayi cukup
bulan maupun prematur.
1. Tidak muncul pada hari pertama
2. Kadar bilirubin terkonjugasi harus < 2 mg/dL
3. Peningkatan kadar bilirubin < 0,2 mg/dL/jam atau < 5 mg/dL/hari
4. Ikterus tidak menetap > 2 minggu pada bayi cukup bulan
b. Ikterus non fisiologis:
1. Ikterus terjadi sebelum usia 24 jam
2. Bilirubin total serum > persentil 95 berdasarkan grafik normogram
3. Peningkatan kadar bilirubin > 0,2 mg/dL/jam atau > 5 mg/dL/hari
4. Kadar bilirubin serum terkonjugasi > 1,5 – 2 mg/dL atau > 10 – 20%
dalam bilirubin serum total
5. Ikterus menetap setelah > 2 minggu pada bayi cukup bulan
6. Bayi menunjukkan tanda sakit (muntah, letargi, kesulitan minum,
penurunan berat badan, apne, takipnu, instablilitas suhu)
2.4 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1. Produksi yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya.
- Hemolitik
Terdapat peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi, retikulosit > 6%, hb
<13 g/dL. Seperti pada:
 Coombs’ test positif: Rh factor incompatibility, ABO
incompatibility
 Coombs’ test negatif: defek membrane eritrosit (sferositosis,
eliptositosis), defek enzim eritrosit (defisiensi G6PD,
defisiensi piruvat kinase), obat-obatan (contoh: streptomycin,
vitamin K), hemoglobinopati, sepsis, infeksi seperti bakteri,
virus, dan protozoa.
- Non hemolitik
Terdapat peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi, retikulosit normal.
 Ekstravaskular: sefalohematoma, perdarahan SSP
 Polisitemia: transfusi fetal-maternal, terlambatnya penjepitan
tali pusat
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi akibat dari gangguan fungsi
hepar.
Terdapat peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi, retikulosit normal.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh:
- Ikterus fisiologis
Peningkatan kadar bilirubin serum pada minggu pertama kehidupan
disebabkan karena:
 Beban bilirubin yang meningkat pada neonatus karena volume
eritrosit meningkat sebagai kompensasi tekanan parsial oksigen
yang rendah, umur eritrosit pendek dan peningkatan resirkulasi
bilirubin enterohepatal.
 Kurangnya uptake hati sebagai dampak penurunan kadar
protein pengikat bilirubin.
 Kurangnya konjugasi karena masih rendahnya aktivitas enzim
uridine diphospate glucuronyl transferase (UDPGT)
- Crigler-Najjar syndrome tipe 1 dan 2: tidak terdapatnya enzim
glukoronil transferase
- Gilbert syndrome
- Hipotiroidisme
- Breast milk jaundice
3. Gangguan transportasi karena kurangnya albumin yang mengikat bilirubin.
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya
salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke
sel otak.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi akibat sumbatan dalam liver (karena infeksi
atau kerusakan sel liver). Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam
hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh
kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau
kerusakan hepar oleh penyebab lain. Terdapat peningkatan bilirubin konjugasi
dan tidak terkonjugasi, Coomb’s tes negative, bilirubin terkonjugasi >2mg/dL
atau >20% dari total serum bilirubin.
- Obstruksi bilier: atresia bilier, choledochal cyst, primary sclerosing
cholangitis, batu empedu, neoplasma, Dubin-Johnson syndrome,
Rotor’s syndrome
- Infeksi: sepsis, ISK, sifilis, toksoplasmosis, tuberculosis,
hepatitis, rubella, herpes
- Gangguan metabolik: cystic fibrosis, galaktosemia, glycogen storage
disease, Gaucher’s disease, hypothyroidism, Wilson’s disease,
Niemann-Pick disease
- Obat-obatan: aspirin, acetaminophen, sulfa, alcohol, rifampisin,
erythromycin, kortikosteroid, tetracycline
2.5 Patofisiologi
Bilirubin merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui
proses oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang
dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oxigenase. Biliverdin kemudian akan
direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reductase.
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produkis bilirubin berasal dari katabolisme
heme haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produkis
bilirubin berasal dari katabolisme heme haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. Bayi
baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa
sekitar 3-4 minggu/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir
disebabkan masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari) dibandingkan dengan
orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang
meningkat, dan reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat.
Gambar 1. Metabolisme Degradasi Heme dan Pembentukan Bilirubin

Metabolisme bilirubin
Bilirubin diproduksi dari degradasi hemoglobin. Heme dilepaskan dari
hemoglobin sel darah merah atau dari hemoprotein lainnya yang terdegradasi oleh
proses enzimatik yang melibatkan heme oxygenase, yang membutuhkan NADPH dan
oksigen, dan mengakibatkan pelepasan besi dan pembentukan karbon monoksida dan
biliverdin. Biliverdin kemudian dikonversikan menjadi bilirubin oleh biliverdin
reduktase.
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial ini selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin, kemudian akan
ditransportasi ke sel hepar. Bilirubin ini disebut bilirubin tidak terkonjugasi yang
mempunyai sifat larut dalam lemak, tidak larut dalam air, dapat melalui plasenta.
Dalam bentuk bilirubin tidak terkonjugasi ini, bilirubin sulit untuk diekskresikan
(karena sifatnya yag larut lemak) dan bisa dengan mudah melewati sistem saraf pusat,
toksik bagi saraf sehingga bisa terjadi kernikterus.
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda.
1. Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk
sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum
2. Bilirubin bebas
3. Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukoronida dan diglukoronida)
yaitu bilirubin yang siap diekresikan melalu ginjal atau sistem bilier
4. Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (δ bilirubin).
Pada saat bilirubin mencapai membrane plasma hepatosit, albumin terikat
pada reseptor permukaan sel. Bilirubin ditransfer melalui sel membran yang berikatan
dengan ligandin (protein Y) dan dengan protein ikatan sistolik lainnya. Bilirubin tidak
terkonjugasi akan dikonjugasikan oleh Uridine Diphophate Glucuronosyltransferase
(UDPGT) dalam bentuk bilirubin terkonjugasi. Katalisasi oleh enzim ini akan
merubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan
dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam
lemak tetapi larut dalam air, non – toxic dan tidak dapat melewati sawar darah otak.
Bilirubin terkonjugasi dikeluarkan dari hepar melalui kanalikuli empedu ke dalam
traktus digestivus kemudian keluar bersama dengan feses atau direabsorpsi kembali.
Akan tetapi, bilirubin terkonjugasi tidak dapat langsung direabsorpsi kecuali jika
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim β-
glukoronidase yang terdapat dalam usus. Reabsorpsi bilirubin dari saluran cerna dan
kembali ke hati untuk dikonjugasi kembali disebut sirkulasi entero hepatik.
2.6 Manifestasi Klinis
Warna kuning (ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata
terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l. Disamping itu dapat
pula disertai dengan gejala-gejala:
1. Dehidrasi. Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-
muntah)
2. Pucat. Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan
golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah
ekstravaskular.
3. Trauma lahir. Bruising, sefalhematom (peradarahan kepala), perdarahan
tertutup lainnya.
4. Pletorik (penumpukan darah). Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh
keterlambatan memotong tali pusat.
5. Letargik dan gejala sepsis lainnya.
6. Petekiae (bintik merah di kulit). Sering dikaitkan dengan infeksi congenital,
sepsis atau eritroblastosis.
7. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal) Sering berkaitan dengan
anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
8. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
9. Omfalitis (peradangan umbilikus)
10. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
11. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
12. Feses dempul disertai urin warna coklat. Pikirkan ke arah ikterus obstruktif,
selanjutnya konsultasikan ke bagian hepatologi.
2.7 Diagnosis
Anamnesis
- Gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
o Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama
kernikterus pada neonates adalah letargi, tidak mau minum dan
hipotoni.
o Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry)
meliputi hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya
menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis,
gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan
displasia dentalis).
- Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi
glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD).
- Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan
galaktosemia, deifisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia,
penyakit Gilbert, sindrom Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik.
- Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada
kemungkinan inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice.
- Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi
virus atau toksoplasma.
- Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser
ikatan bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan
hemolisis pada bayi dengan defisiensi G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin,
antimalaria).
- Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan
perdarahan atau hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami
hiperbilirubinemia yang disebabkan ketidakmampuan hati memetabolisme
bilirubin atau akibat perdarahan intrakranial. Keterlambatan klem tali pusat
dapat menyebabkan polisitemia neonatal dan peningkatan bilirubin.
- Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia
direk berkepanjangan.
- Pemberian ASI. Harus dibedakan antara breast feeding jaundice dan breast-
milk jaundice
 Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan
asupan ASI.Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu
produksi ASI belum banyak. Untuk neonatus cukup bulan sesuai masa
kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah), hal ini tidak perlu
dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak coklat, glikogen,
dan cairan yang dapat mempertahankan metabolisme selama 72
jam.Walaupun demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya
hiperbilirubinemia, yang disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik
akibat kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi ini tidak selalu
disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja merupakan
hiperbilirubinemia fisiologis.
 Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu
(ASI). Insidens pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian
besar bayi, kadar bilirubin turun pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk
jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat mencapai 20-30 mg/dL pada
usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun secara drastis
dalam 48 jam. Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan kembali
naik tetapi umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi
menunjukkan pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati normal,
dan tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-milk jaundice dapat berulang
(70%) pada kehamilan berikutnya. Mekanisme sesungguhnya yang
menyebabkan breast-milk jaundice belum diketahui, tetapi diduga
timbul akibat terhambatnya uridine diphosphoglucuronic acid
glucuronyl transferase (UDGPA) oleh hasil metabolisme progesteron,
yaitu pregnane-3-alpha2-beta-diol yang ada di dalam ASI sebagian ibu.
Pemeriksaan fisik
Ikterus terjadi akibat akumulasi bilirubin dalam darah sehingga kulit, mukosa
dan atau sklera bayi tampak kekuningan. Hiperbilirubinemia merupakan istilah yang
dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan
peningkatan kadar bilirubin. Ikterus akan tampak secara visual jika kadar bilirubin
lebih dari 5 mg/dl.
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang
cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat
dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap.
Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi
sinar. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit
dan jaringan subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam
diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai
kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.
Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya
menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan
tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat
tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.
Tabel 1. Derajat ikterus pada neonatus menurut Kramer

Bagian tubuh yang Rata-rata serum bilirubin Bilirubin


Zona
kuning indirek ( mol/l) serum total
1. Kepala dan leher 100 5 mg/dL;
2. Pusat-leher 150 10 mg/dL
3. Pusat-paha 200 12 mg/dL
4. Lengan + tungkai 250 13-15mg/dL
5. Tangan + kaki > 250 >15 mg/dL

Hal-hal yang harus dicari pada pemeriksaan fisik:


- Prematuritas
- Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia.
- Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa kehamilan
- Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom
- Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah
ekstravaskular
- Petekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis
- Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi
kongenital, atau penyakit hati
- Omfalitis
- Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
- Tanda hipotiroid
Pemeriksaan penunjang
Tabel 2. Evaluasi Laboratorium Hiperbilirubinemia Neonatal
Indication Assessments
Jaundice in the first 24 hours TSB or TcB level
Jaundice excessive for infant's age TSB or TcB level
Indication Assessments
Receiving phototherapy or TSB level Blood type and Coombs' test
increasing rapidly CBC and peripheral blood smear
Conjugated bilirubin level
Consider reticulocyte count; G6PD and
end-tide carbon monoxide (corrected)
levels
Repeat TSB measurement in four to 24
hours
TSB level approaching exchange Reticulocyte count; G6PD, albumin, and
transfusion threshold or not end-tide carbon monoxide (corrected)
responding to phototherapy levels
Elevated conjugated bilirubin level Urine culture, urinalysis
Consider sepsis evaluation
Prolonged jaundice (more than 3 TSB and conjugated bilirubin levels
weeks) or sick infant Check results of newborn thyroid and
galactosemia screen
CBC = complete blood count; G6PD = glucose-6-phosphate dehydrogenase;
TcB = transcutaneous bilirubin; TSB = total serum bilirubin.

- Bilirubin serum total. Bilirubin serum direk dianjurkan untuk diperiksa bila
ikterus menetap sampai usia >2 minggu atau dicurigai adanya kolestasis.
- Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat
morfologi eritrosit dan ada tidaknya hemolisis. Bila fasilitas tersedia,
lengkapi dengan hitung retikulosit.
- Golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs’ test dari ibu dan bayi untuk
mencari penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan Rhesus negatif harus
menjalani pemeriksaan golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs’ test
segera setelah lahir.
- Kadar enzim G6PD pada eritrosit.
- Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji fungsi hati, pemeriksaan
urin untuk mencari infeksi saluran kemih, serta pemeriksaan untuk mencari
infeksi kongenital, sepsis, defek metabolik, atau hipotiroid.
2.8 Diagnosis Banding

Anamnesis Pemeriksaan Pemeriksaan Kemungkinan


penunjang atau diagnosis
diagnosis lain yang
sudah diketahui

Timbul saat lahir hari ke- Sangat ikterus Hb<13>8 mg/dl pada Ikterus hemolitik
2 Sangat pucat hari ke-1 atau akibat
kadar Bilirubin>13 inkompatibilitas
Riwayat ikterus pada bayi mg/dl pada hari ke-2 darah
sebelumnya ikterus/kadar bilirubin
Riwayat penyakit cepat
keluarga: Coombs tes positif
ikterus, anemia,
pembesaran hati, Defisiensi G6PD
pengangkatan limfa, Inkompatibilitas
defisiensi G6PD golongan darah ABO
atau Rh

Timbul saat lahir sampai Sangat ikterus Lekositosis, leukopeni, Ikterus diduga karena
dengan hari ke2 atau Tanda trombositopenia infeksi berat/sepsis
lebih infeksi/sepsis:
Riwayat infeksi maternal malas minum,
kurang aktif,
tangis lemah,
suhu tubuh
abnormal
Timbul pada hari 1 Ikterus Ikterus akibat obat
Riwayat ibu hamil
pengguna obat
Ikterus hebat timbul pada Sangat Bila ada fasilitas: Hasil Ensefalopati
hari ke2 ikterus, tes Coombs positif
Ensefalopati timbul kejang, postur
pada hari ke 3-7 abnormal,
Ikterus hebat yang tidak letragi
atau terlambat diobati
Ikterus menetap setelah Faktor pendukung:
usia 2 minggu Urine gelap, feses Ikterus
pucat, peningkatan berkepenjangan
Ikterus bilirubin direks (Prolonged Ikterus)
berlangsung >
Timbul hari ke2 atau 2 minggu
lebih pada bayi
Bayi berat lahir rendah cukup bulan Ikterus pada bayi
dan > 3 prematur
minggu pada
bayi kurang
bulan

Bayi tampak
sehat

2.9 Penatalaksanaan
Farmakoterapi
Farmakoterapi telah digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia
dengan merangsang induksi enzim- enzim hati dan protein pembawa, guna
mempengaruhi penghancuran heme, atau untuk mengikat bilirubin dalam usus
halus sehingga reabsorpsi enterohepatik menurun. Antara lain :
1. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi- bayi dengan Rh
yang berat dan imunokompabilitas ABO untuk menekan hemolisis
isoimun dan menurunkan tindakan tranfusi. IVIG dapat digunakan
dengan dosis 0,5 g- 1g/kgbb (single dose)
2. Fenobarbital telah memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang
aktifitas, dan konsentrasi UDPGT dan ligandin serta dapat meningkatkan
jumlah tempat ikatan bilirubin. Terjadi peningkatan uptake hepar,
konjugasi dan eksresi bilirubin. Penggunaan fenobarbital setelah lahir
masih kontroversial dan secara umum tidak direkomendasikan.
Diperlukan waktu beberapa hari sebelum terlihat perubahan bermakna,
hal ini membuat pengguaan fototerapi nampak jauh lebih muda.
Fenobarbital telah digunakan pertama kali pada inkompabilitas Rh untuk
mengurangi jumlah tindakan tranfusi ganti. Penggunaan fenobarbital
profilaksis untuk mengurangi pemakaian fototerapi atau transfusi ganti
pada bayi dengan defisiensi G6PD ternyata tidak membuahkan hasil.
3. Pencegahan hiperbilirubinemia dengan menggunakan
metalloprotoporpirin juga telah diteliti. Zat ini adalah analoq sintesis
heme. Protoporpirin telah terbukti efektif sebagai inhibitor kompetitif sari
heme oksigenase, enzim ini deperlukan untuk katabolisme heme menjadi
biliverdin, dengan zat ini heme dicegah dari katabolisme dan
diekskresikan secara utuh didalam empedu.

Foto Terapi
Indikasi Fototerapi
- Sebagai patokan gunakan kadar bilirubin total
- Faktor resiko : isoimune hemolytic disease, defisiensi G6PD, asfiksia,
letargis,suhu tubuh yang tidak stabil, sepsis, asidosis, atau kadar albumin < 3g/dL
- Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 diperbolehkan untuk melakukan
fototerapi pada kadar bilirubin total sekitar medium risk line. Merupakan pilihan
untuk melakukan intervensi pada kadar bilirubin total serum yang lebih rendah
untuk bayi- bayi yang mendekati usia 35 minggu dan dengan kadar bilirubin total
serum yang lebih tinggi untuk bayi- bayi yang mendekati usia 37 minggu.
- Diperbolehkan melakukan foto terapi baik di rumah sakit atau dirumah pada kadar
bilirubin total 2-3 mg/dl dibawah garis yang ditunjukkan, namun pada bayi- bayi
yang memiliki faktor resiko fototerapi sebaiknya tidak dilakukan dirumah.
Petunjuk fototerapi tertera pada:
Perhatian: selama fototerapi (intensif ) ulang TSB setiap 2-3 jam / 4-24 jam.
1. Apabila TSB = 25 mg/dl bayi sehat, atau = 20 mg/dl bayi sakit/BKB
diperlukan transfusi tukar.
2. Bayi dengan hemolitik isoimun dengan fototerapi intensif TSB meningkat
diperlukan transfusi tukar. Apabila memungkinkan berikan imunoglobulin 0,5
– 1 gr/kg > 2 jam, ulangi dalam 12 jam bila perlu.
3. Apabila berat badan turun >12%, dehidrasi berikan formula/ASI peras/cairan
intravena (kristaloid).
4. Apabila TSB tidak menurun, atau TSB berubah pada kadar transfusi tukar,
atau rasio TSB/albumin melebihi fig. 4 à pertimbangkan transfusi tukar.
5. Tergantung penyebab hiperbilirubinemia, setelah terapi sinar distop dan
setelah pulang, periksa TSB setelah 24 jam kemudian
Gambar 2. Pedoman Fototerapi Intensive Neonatus Usia ≥35 Minggu.

Tabel 2. Indikasi Fototerapi berdasarkan TSB (WHO)


Tabel 3. Indikasi Fototerapi BBLR
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan terapi sinar ialah:
 Lampu yang dipakai sebaiknya tidak digunakan lebih dari 500 jam, untuk
menghindari turunnya energy yang dihasilkan oleh lampu yang digunakan.
 Pakaian bayi dibuka agar bagian tubuh dapat seluas mungkin terkena sinar.
 Kedua mata ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya untuk
mencegah kerusakan retina. Penutup mata dilepas saat pemberian minum dan
kunjungan orang tua untuk memberikan rangsang visual pada
neonatus. Pemantauan iritasi mata dilakukan tiap 6 jam dengan membuka
penutup mata.
 Daerah kemaluan ditutup, dengan penutup yang dapat memantulkan cahaya
untuk melindungi daerah kemaluan dari cahaya fototeraphy.
 Pada lampu diatur dengan jarak 20-30cm di atas tubuh bayi, untuk
mendapatkan energi yang optimal.
 Posisi bayi diubah tiap 8 jam , agar tubuh mendapat penyinaran seluas
mungkin.
 Suhu tubuh diukur 4-6 jam sekali atau sewaktu-waktu bila perlu.
 Pemasukan cairan dan minuman dan pengeluaran urine, feses, dan muntah
diukur, dicatat dan dilakukan pemantauan tanda dehidrasi
 Hidrasi bayi diperhatikan, bila perlu konsumsi cairan ditingkatkan.
 Lamanya terapi sinar dicatat.
Apabila dalam evaluasi kadar bilirubin serum barada dalam batas normal,
terapi sinar dihentikan. Jika kadar bilirubin masih tetap atau tidak banyak berubah,
perlu dipikirkan adanya beberapa kemungkinan, antara lain lampu yang tidak efektif
atau bayi menderita dehidrasi, hipoksia, infeksi, dan gangguan metabolism.
Pemberian terapi sinar dapat menimbulkan efek samping. Namun, efek
samping tersebut bersifat sementara, yang dapat di cegah atau dapat ditanggulangi
dengan memperhatikan tata cara penggunaan terapi sinar dan diikuti dengan
pemantauan keadaan bayi secara berkelanjutan.
Kelainan yang mungkin timbul pada neonatus yang mendapati terapi sinar adalah :
 Peningkatan kehilangan cairan yang tidak terukur.
 Energi cahaya fototerapi dapat meningkatkan suhu lingkungan dan
menyebabkan peningkatan penguapan melalui kulit. Terutama bayi premature
atau berat lahir sangat rendah. Keadaan ini dapat di antisipasi dengan
pemberian cairan tambahan.
 Frekuensi defekasi meningkat. Meningkatnya bilirubin indirect pada usus
akan meningkatkan pembentukan enzim lactase yang dapat meningkatkan
peristaltic usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan
mengurangi timbulnya diare.
 Timbul kelainan kulit di daerah muka badan dan ekstremitas, dan akan segera
hilang setelah terapi berhenti. Di laporkan pada beberapa bayi terjadi “bronze
baby syndrome”, hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan
dengan segera hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit ini bersifat sementara
dan tidak mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.
 Peningkatan suhu.
 Beberapa neonatus yang mendapat terapi sinar, menunjukkan kenaikan suhu
tubuh, ini disebabkan karena suhu lingkungan yang meningkat atau gangguan
pengaturan suhu tubuh bayi.
 Kadang di temukan kelainan, seperti gangguan minum, letargi, dan iritabilitas.
Ini bersifat sementara dan hilang sendirinya.
Mekanisme kerja fototerapi
Efektifitas dari fototerapi tergantung dari penyinaran (energi yang
dikeluarkan) sumber cahaya. Sinar diukur dengan radiometer atau spektroradiometer
dalam satuan W/cm2 atau μW/ cm2/nanometer. Diposisikan 20 cm diatas neonatus
36
dengan gelombang 430 -490 nm Baik sinar biru (400-550 nm), sinar hijau (550-
800nm) maupun sinar putih (300-800 nm) akan mengubah bilirubin indirek menjadi
bentuk yang larut dalam air untuk diekskresikan melalui empedu atau urine dan tinja.
Sewaktu bilirubin mengabsorpsi cahaya, terjadi reaksi kimia yaitu isomerisasi,
selain itu terdapat juga konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya yang
disebut lumirubin yang secara cepat dibersihkan dari plasma saluran empedu.
Lumirubin merupakan produk terbanyak dari degradasi bilirubin akibat terapi sinar
(fototerapi). Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonjugasi diubah oleh cahaya
menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Fotoisomer bilirubin lebih polar
dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa diekskresikan melalui
empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang dapat diekskresikan melalui urin.
Transfusi Tukar
Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah darah pasien
yang dilanjutkan dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama
yang dilakukan berulang-ulang sampai sebagian besar darah pasien tertukar (Fried,
1982). Pada pasien hiperbilirubinemia, tindakan tersebut bertujuan mencegah
ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada
bayi hiperbilirubinemia karena isoimunisasi, transfusi tukar mempunyai manfaat
lebih karena akan membantu mengeluarkan antibodi maternal dari sirkulasi darah
neonatus. Hal tersebut akan mencegah terjadinya hemolisis lebih lanjut dan
memperbaiki kondisi anemianya.

Tabel 4. Indikasi transfusi tukar berdasarkan TSB (WHO)


Tabel 5. Indikasi transfusi tukar pada BBLR
Indikasi transfusi tukar
1. Gagal dengan intensif fototerapi.
2. Ensefalopati bilirubin akut (fase awal, intermediate, lanjut/advanced) yang
ditandai gejala hipertonia, melengkung, retrocolli, opistotonus, panas, tangis
melengking.
Darah donor untuk transfusi tukar
1. Darah yang digunakan golongan O.
2. Gunakan darah baru (usia < 7 hari), whole blood.
3. Pada penyakit hemolitik Rhesus, jika darah dipersiapkan sebelum persalinan
harus golongan O dengan Rhesus (-), lakukan cross match terhadap ibu. Jika
darah dipersiapkan setelah kelahiran, caranya sama, hanya dilakukan cross
match dengan bayinya.
4. Pada inkompatibilitas ABO, darah donor harus golongan O, Rhesus (-) atau
Rhesus yang samadengan ibu atau bayinya. Cross match terhadap ibu dan
bayi yang mempunyai titer rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya
memakai eritrosit golongan O dengan plasma AB, untuk memastikan bahwa
tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.
5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi
antigen tersensitisasi dan harus di-cross match terhadap ibu.
6. Pada hiperbilirubinemia non imun, lakukan typing dan cross match darah
donor terhadap plasma dan eritrosit pasien/bayi.
7. Transfusi tukar memakai 2 kali volume darah ( 2 kali exchange), yaitu 160
ml/kgBB sehingga akan diperoleh darah baru pada bayi yang dilakukan
transfusi tukar, terjadi sekitar sekitar 87%.
2.10 Komplikasi
- Bilirubin enchepalopathy
- Kern icterus, adalah sindroma neurologik yang disebabkan oleh
menumpuknya bilirubin indirek/tak terkonjugasi dalam sel otak Kern
ikterus merupakan suatu sindroma kerusakan otak yang ditandai dengan
athetoid cerebral palsy, gangguan pendengaran hingga ketulian,
gangguan penglihatan, dan retardasi mental.
2.11 Prognosis
Konsentrasi yang tinggi bilirubin tak terkonjugasi dapat melewati sawar darah
otak dan penetrasi sel otak, sehingga mengakibatkan disfungsi neuron dan kematian.
Mekanisme bilirubin menginduksi kerusakan sel neuron tidak dapat sepenuhnya
dimengerti, namun konsentrasi tinggi bilirubin tak terkonjugasi dapat mengakibatkan
neurotoksik pada sel membran dan homeostasis kalsium intrasel di neuron dan
kegagalan energi mitokondria dalam sel. Faktor yang menentukan toksisitas bilirubin
pada neuron neonatus sangat komplek dan tidak sepenuhnya dimengerti. Konsentrasi
bilirubin yang spesifik pada bayi preterm dengan risiko kernikterus sampai saat ini
tidak teridentifikasi. Insiden kernikterus dalam grup ini tidak diketahui, dan hubungan
antara serum bilirubin dengan perkembangan neuron pada bayi berat badan sangat
rendah masih belum jelas.
Ensefalopati
Ensefalopati bilirubin klinis terdiri dari 2 tahap yaitu fase akut dan fase
kronis. Pada fase awal dan intermediate dari fase akut bersifat reversible (sementara)
yang masih aman jika segera diterapi (transfusi ganti dan foto terapi). Fase lanjut dan
kronis bersifat irreversible (menetap).
Ensefalopati bilirubin kronis dapat mengakibatkan gejala klinis refleks
tonik leher (tonic-neck reflex) menetap setelah tahun pertama kehidupan terjadi
gangguan ekstrapiramidal, gangguan visual, pendengaran, defek kognitif,
gangguan terhadap gigi, gangguan intelektual minor dapat terjadi. Angka kematian
dapat lebih dari 10 %.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdurachman Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. 2002. Ikterus
Neonatorum. Perinatologi. Bandung. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FKUP/RSHS. 64-84.
2. Behrman, Kliegman, Jenson. 2004. Kernicteru. Textbook of Pediatrics. New
Yorkl. 17th edition. Saunders. 596-598.
3. Behrmand Kliegelman. Nelson Essential of Pediatrics,hal 592-98. Edisi 17.
2014. EGC: Jakarta

4. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak FK UNDIP 2011 “Hiperbilirubinemia”


5. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. World Health
Organization. Ikterus neonatorum
6. Etika, Risa, Dkk. 2010. Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Surabaya: Divisi
Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr. Soetomo.

7. Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FKUP/RSHS. 97-103
8. Medscape. Hepatobilier pediactric hyperbilirubinemia
9. Pudjiadi, Antonius H, dkk. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jilid 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

10. Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal Dan Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai