HIPERBILIRUBINEMIA
DISUSUN OLEH
Putri Justicarici N
1102014213
PEMBIMBING
dr. Tommy Yuner Sirait, Sp.A
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN ANAK
PERIODE 2 JULI – 8
SEPTEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2018
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kekuatan dan
kemampuan kepada penyusun sehingga penyusunan Referat yang berjudul
“Hiperbilirubinemia” ini dapat diselesaikan.
Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan
menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Kabupaten
Bekasi. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. dr. Tommy Yuner Sirait, Sp. A selaku dokter pembimbing.
2. Para Perawat dan Pegawai di Bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD
Kabupaten Bekasi.
3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD Kabupaten Bekasi.
Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik dan
bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk
itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat
menghasilkan tulisan yang lebih baik di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam
menjalani aplikasi ilmu.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Bekasi, Juli 2018
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Metabolisme bilirubin
Bilirubin diproduksi dari degradasi hemoglobin. Heme dilepaskan dari
hemoglobin sel darah merah atau dari hemoprotein lainnya yang terdegradasi oleh
proses enzimatik yang melibatkan heme oxygenase, yang membutuhkan NADPH dan
oksigen, dan mengakibatkan pelepasan besi dan pembentukan karbon monoksida dan
biliverdin. Biliverdin kemudian dikonversikan menjadi bilirubin oleh biliverdin
reduktase.
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial ini selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin, kemudian akan
ditransportasi ke sel hepar. Bilirubin ini disebut bilirubin tidak terkonjugasi yang
mempunyai sifat larut dalam lemak, tidak larut dalam air, dapat melalui plasenta.
Dalam bentuk bilirubin tidak terkonjugasi ini, bilirubin sulit untuk diekskresikan
(karena sifatnya yag larut lemak) dan bisa dengan mudah melewati sistem saraf pusat,
toksik bagi saraf sehingga bisa terjadi kernikterus.
Bilirubin dalam serum terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda.
1. Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk
sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum
2. Bilirubin bebas
3. Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukoronida dan diglukoronida)
yaitu bilirubin yang siap diekresikan melalu ginjal atau sistem bilier
4. Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (δ bilirubin).
Pada saat bilirubin mencapai membrane plasma hepatosit, albumin terikat
pada reseptor permukaan sel. Bilirubin ditransfer melalui sel membran yang berikatan
dengan ligandin (protein Y) dan dengan protein ikatan sistolik lainnya. Bilirubin tidak
terkonjugasi akan dikonjugasikan oleh Uridine Diphophate Glucuronosyltransferase
(UDPGT) dalam bentuk bilirubin terkonjugasi. Katalisasi oleh enzim ini akan
merubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan
dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam
lemak tetapi larut dalam air, non – toxic dan tidak dapat melewati sawar darah otak.
Bilirubin terkonjugasi dikeluarkan dari hepar melalui kanalikuli empedu ke dalam
traktus digestivus kemudian keluar bersama dengan feses atau direabsorpsi kembali.
Akan tetapi, bilirubin terkonjugasi tidak dapat langsung direabsorpsi kecuali jika
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim β-
glukoronidase yang terdapat dalam usus. Reabsorpsi bilirubin dari saluran cerna dan
kembali ke hati untuk dikonjugasi kembali disebut sirkulasi entero hepatik.
2.6 Manifestasi Klinis
Warna kuning (ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata
terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l. Disamping itu dapat
pula disertai dengan gejala-gejala:
1. Dehidrasi. Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-
muntah)
2. Pucat. Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan
golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah
ekstravaskular.
3. Trauma lahir. Bruising, sefalhematom (peradarahan kepala), perdarahan
tertutup lainnya.
4. Pletorik (penumpukan darah). Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh
keterlambatan memotong tali pusat.
5. Letargik dan gejala sepsis lainnya.
6. Petekiae (bintik merah di kulit). Sering dikaitkan dengan infeksi congenital,
sepsis atau eritroblastosis.
7. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal) Sering berkaitan dengan
anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
8. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
9. Omfalitis (peradangan umbilikus)
10. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
11. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
12. Feses dempul disertai urin warna coklat. Pikirkan ke arah ikterus obstruktif,
selanjutnya konsultasikan ke bagian hepatologi.
2.7 Diagnosis
Anamnesis
- Gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
o Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama
kernikterus pada neonates adalah letargi, tidak mau minum dan
hipotoni.
o Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry)
meliputi hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya
menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis,
gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan
displasia dentalis).
- Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi
glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD).
- Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan
galaktosemia, deifisiensi alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia,
penyakit Gilbert, sindrom Crigler-Najjar tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik.
- Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada
kemungkinan inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice.
- Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi
virus atau toksoplasma.
- Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser
ikatan bilirubin dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan
hemolisis pada bayi dengan defisiensi G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin,
antimalaria).
- Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan
perdarahan atau hemolisis. Bayi asfiksia dapat mengalami
hiperbilirubinemia yang disebabkan ketidakmampuan hati memetabolisme
bilirubin atau akibat perdarahan intrakranial. Keterlambatan klem tali pusat
dapat menyebabkan polisitemia neonatal dan peningkatan bilirubin.
- Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia
direk berkepanjangan.
- Pemberian ASI. Harus dibedakan antara breast feeding jaundice dan breast-
milk jaundice
Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan
asupan ASI.Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu
produksi ASI belum banyak. Untuk neonatus cukup bulan sesuai masa
kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah), hal ini tidak perlu
dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak coklat, glikogen,
dan cairan yang dapat mempertahankan metabolisme selama 72
jam.Walaupun demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya
hiperbilirubinemia, yang disebabkan peningkatan sirkulasi enterohepatik
akibat kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi ini tidak selalu
disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja merupakan
hiperbilirubinemia fisiologis.
Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu
(ASI). Insidens pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian
besar bayi, kadar bilirubin turun pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk
jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat mencapai 20-30 mg/dL pada
usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun secara drastis
dalam 48 jam. Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan kembali
naik tetapi umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi
menunjukkan pertambahan berat badan yang baik, fungsi hati normal,
dan tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-milk jaundice dapat berulang
(70%) pada kehamilan berikutnya. Mekanisme sesungguhnya yang
menyebabkan breast-milk jaundice belum diketahui, tetapi diduga
timbul akibat terhambatnya uridine diphosphoglucuronic acid
glucuronyl transferase (UDGPA) oleh hasil metabolisme progesteron,
yaitu pregnane-3-alpha2-beta-diol yang ada di dalam ASI sebagian ibu.
Pemeriksaan fisik
Ikterus terjadi akibat akumulasi bilirubin dalam darah sehingga kulit, mukosa
dan atau sklera bayi tampak kekuningan. Hiperbilirubinemia merupakan istilah yang
dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan
peningkatan kadar bilirubin. Ikterus akan tampak secara visual jika kadar bilirubin
lebih dari 5 mg/dl.
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang
cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat
dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap.
Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi
sinar. Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit
dan jaringan subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam
diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai
kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.
Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya
menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan
tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat
tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.
Tabel 1. Derajat ikterus pada neonatus menurut Kramer
- Bilirubin serum total. Bilirubin serum direk dianjurkan untuk diperiksa bila
ikterus menetap sampai usia >2 minggu atau dicurigai adanya kolestasis.
- Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat
morfologi eritrosit dan ada tidaknya hemolisis. Bila fasilitas tersedia,
lengkapi dengan hitung retikulosit.
- Golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs’ test dari ibu dan bayi untuk
mencari penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan Rhesus negatif harus
menjalani pemeriksaan golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs’ test
segera setelah lahir.
- Kadar enzim G6PD pada eritrosit.
- Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji fungsi hati, pemeriksaan
urin untuk mencari infeksi saluran kemih, serta pemeriksaan untuk mencari
infeksi kongenital, sepsis, defek metabolik, atau hipotiroid.
2.8 Diagnosis Banding
Timbul saat lahir hari ke- Sangat ikterus Hb<13>8 mg/dl pada Ikterus hemolitik
2 Sangat pucat hari ke-1 atau akibat
kadar Bilirubin>13 inkompatibilitas
Riwayat ikterus pada bayi mg/dl pada hari ke-2 darah
sebelumnya ikterus/kadar bilirubin
Riwayat penyakit cepat
keluarga: Coombs tes positif
ikterus, anemia,
pembesaran hati, Defisiensi G6PD
pengangkatan limfa, Inkompatibilitas
defisiensi G6PD golongan darah ABO
atau Rh
Timbul saat lahir sampai Sangat ikterus Lekositosis, leukopeni, Ikterus diduga karena
dengan hari ke2 atau Tanda trombositopenia infeksi berat/sepsis
lebih infeksi/sepsis:
Riwayat infeksi maternal malas minum,
kurang aktif,
tangis lemah,
suhu tubuh
abnormal
Timbul pada hari 1 Ikterus Ikterus akibat obat
Riwayat ibu hamil
pengguna obat
Ikterus hebat timbul pada Sangat Bila ada fasilitas: Hasil Ensefalopati
hari ke2 ikterus, tes Coombs positif
Ensefalopati timbul kejang, postur
pada hari ke 3-7 abnormal,
Ikterus hebat yang tidak letragi
atau terlambat diobati
Ikterus menetap setelah Faktor pendukung:
usia 2 minggu Urine gelap, feses Ikterus
pucat, peningkatan berkepenjangan
Ikterus bilirubin direks (Prolonged Ikterus)
berlangsung >
Timbul hari ke2 atau 2 minggu
lebih pada bayi
Bayi berat lahir rendah cukup bulan Ikterus pada bayi
dan > 3 prematur
minggu pada
bayi kurang
bulan
Bayi tampak
sehat
2.9 Penatalaksanaan
Farmakoterapi
Farmakoterapi telah digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia
dengan merangsang induksi enzim- enzim hati dan protein pembawa, guna
mempengaruhi penghancuran heme, atau untuk mengikat bilirubin dalam usus
halus sehingga reabsorpsi enterohepatik menurun. Antara lain :
1. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi- bayi dengan Rh
yang berat dan imunokompabilitas ABO untuk menekan hemolisis
isoimun dan menurunkan tindakan tranfusi. IVIG dapat digunakan
dengan dosis 0,5 g- 1g/kgbb (single dose)
2. Fenobarbital telah memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang
aktifitas, dan konsentrasi UDPGT dan ligandin serta dapat meningkatkan
jumlah tempat ikatan bilirubin. Terjadi peningkatan uptake hepar,
konjugasi dan eksresi bilirubin. Penggunaan fenobarbital setelah lahir
masih kontroversial dan secara umum tidak direkomendasikan.
Diperlukan waktu beberapa hari sebelum terlihat perubahan bermakna,
hal ini membuat pengguaan fototerapi nampak jauh lebih muda.
Fenobarbital telah digunakan pertama kali pada inkompabilitas Rh untuk
mengurangi jumlah tindakan tranfusi ganti. Penggunaan fenobarbital
profilaksis untuk mengurangi pemakaian fototerapi atau transfusi ganti
pada bayi dengan defisiensi G6PD ternyata tidak membuahkan hasil.
3. Pencegahan hiperbilirubinemia dengan menggunakan
metalloprotoporpirin juga telah diteliti. Zat ini adalah analoq sintesis
heme. Protoporpirin telah terbukti efektif sebagai inhibitor kompetitif sari
heme oksigenase, enzim ini deperlukan untuk katabolisme heme menjadi
biliverdin, dengan zat ini heme dicegah dari katabolisme dan
diekskresikan secara utuh didalam empedu.
Foto Terapi
Indikasi Fototerapi
- Sebagai patokan gunakan kadar bilirubin total
- Faktor resiko : isoimune hemolytic disease, defisiensi G6PD, asfiksia,
letargis,suhu tubuh yang tidak stabil, sepsis, asidosis, atau kadar albumin < 3g/dL
- Pada bayi dengan usia kehamilan 35-37 diperbolehkan untuk melakukan
fototerapi pada kadar bilirubin total sekitar medium risk line. Merupakan pilihan
untuk melakukan intervensi pada kadar bilirubin total serum yang lebih rendah
untuk bayi- bayi yang mendekati usia 35 minggu dan dengan kadar bilirubin total
serum yang lebih tinggi untuk bayi- bayi yang mendekati usia 37 minggu.
- Diperbolehkan melakukan foto terapi baik di rumah sakit atau dirumah pada kadar
bilirubin total 2-3 mg/dl dibawah garis yang ditunjukkan, namun pada bayi- bayi
yang memiliki faktor resiko fototerapi sebaiknya tidak dilakukan dirumah.
Petunjuk fototerapi tertera pada:
Perhatian: selama fototerapi (intensif ) ulang TSB setiap 2-3 jam / 4-24 jam.
1. Apabila TSB = 25 mg/dl bayi sehat, atau = 20 mg/dl bayi sakit/BKB
diperlukan transfusi tukar.
2. Bayi dengan hemolitik isoimun dengan fototerapi intensif TSB meningkat
diperlukan transfusi tukar. Apabila memungkinkan berikan imunoglobulin 0,5
– 1 gr/kg > 2 jam, ulangi dalam 12 jam bila perlu.
3. Apabila berat badan turun >12%, dehidrasi berikan formula/ASI peras/cairan
intravena (kristaloid).
4. Apabila TSB tidak menurun, atau TSB berubah pada kadar transfusi tukar,
atau rasio TSB/albumin melebihi fig. 4 à pertimbangkan transfusi tukar.
5. Tergantung penyebab hiperbilirubinemia, setelah terapi sinar distop dan
setelah pulang, periksa TSB setelah 24 jam kemudian
Gambar 2. Pedoman Fototerapi Intensive Neonatus Usia ≥35 Minggu.
7. Garna Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FKUP/RSHS. 97-103
8. Medscape. Hepatobilier pediactric hyperbilirubinemia
9. Pudjiadi, Antonius H, dkk. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jilid 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
10. Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal Dan Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.