Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan suatu hal yang terpenting untuk membekali


manusia dalam menjalani kehidupannya sehingga output dari pendidikan itu dapat
berguna bagi manusia lainnya. Sebagaimana seorang bayi yang baru lahir akan
senantiasa menangis dalam menghadapi kehidupan pertamanya. Hal itu
merupakan hasil dari pengetahuan pertama bayi dalam menanggapi lingkungan
pertamanya. Lebih lanjut lagi, Syah (2012: 59) menjelaskan bahwa belajar adalah
key term ‘istilah kunci’ yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan....bentuk-
bentuk perkembangan yang terdapat dalam diri manusia bergantung ada belajar,
termasuk perkembangan berbicara. Manusia dapat belajar dalam 3 ranah
lingkungan yang berbeda. Sebagaimana UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 13 ayat
1 menyatakan bahwa jalur pendidikan terdiri dari pendidikan formal, non-formal
dan informal.

Oleh karena itu, belajar itu penting. Dalam hal ini, pendidikan terintegrasi
dengan pendidik dan proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar akan
berhasil apabila seluruh steakholder dalam pendidikan mengaplikasikan tugasnya
dengan baik. Yang paling berperan dalam mewujudkan proses belajar mengajar
adalah guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik. Guru sebagai
pendidik harus sesuai dengan fungsinya sebagai tenaga kerja yang profesional di
bidangnya. Dalam hal ini pengetahuan tentang belajar dan teorinya sangatlah
penting. Teori belajar merupakan hal yang mendasar dalam proses terbentuknya
belajar mengajar.

Sebagaimana Syah, (2012: 92) secara pragmatis, teori belajar dapat


dipaham sebagai prinsip umum atau kumpulan prinsip yang saling berhubungan
dan merupakan penjelasan atau sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan
dengan peristiwa belajar. Diantara sekian banyak teori yang berdasarkan hasil
eksperimen terdapat tiga macam yang sangat menonjol, yakni: connectionism,
clascical conditioning, dan operant conditioning. Teori-teori tersebut merupakan
ilham yang mendorong para ahli melakukan eksperimen-eksperimen lainnya
untuk mengembangkan teori-teori baru yang juga berkaitan dengan belajar seperti
contigouous conditioning (Guthrie), Sign Learning (Tolman), Gestalt Theory, dan
lain sebagainya. Dalam pembahasan ini, penulis akan membahas tentang teori
Connectionism dan turunanya serta hubungannya dengan teori belajar yang ada
sekarang.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, rumusan masalah dalam


makalah ini adalah?

1. Apakah teori Connectionisme itu?


2. Bagaimanakah teori connectionisme dalam pembelajaran?
3. Apakah kelebihan dan kelemahan teori connectionisme?
4. Apasajakah turunan teori connectionisme?

1.3. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari makalah ini


adalah untuk mengetahui:

1. Segala sesutau tentang teori connectionisme


2. Pranan teori connectionisme dalam pembelajaran
3. Kelemahan dan kelebihan teori connectionisme
4. Turunan teori connectionisme dalam pemebelajaran

1.4. Manfaat

Berdasarkan tujuan makalah tersebut, maka hasil pembahasan makalah ini


mempunyai manfaat sebaai berikut:

1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis pembahasan makalah ini bermanfaat untuk menambah
wawasan di bidang kelimuan pendidikan dasar sebagai bahan acuan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dalam proses belajar mengajar dan
tidak menutup kemungkinan untuk menciptakan teori baru yang dapat
digunakan dalam pendidikan
2. Manfaat Praktis
Hasil pembahasan makalah ini secara praktis dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan bagi :
a. Mahasiswa magster pendidikan dasar dalam mengembangkan teori dan
mengaplikasikannya dalam pendidikan
b. Dapat menambah wawasan bagi pembaca dalam memahami teori
connectionism dan turunannya dalam pendidikan dan proses belajar
mengajar
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Biografi Tokoh Pencetus Teori Connectionisme

Biografi tokoh teori connectionisme diambil dalam


http://id.wikipedia.org/wiki/Edward_Lee_Thorndike diakses 19 Februari 2017
yaitu :

“Edward Lee Thorndike (31 Agustus 1874 - 9 Agustus 1949) adalah


seorang psikolog Amerika yang menghabiskan hampir seluruh karirnya
di Teachers College, Columbia University. Karyanya di bidang psikologi
perbandingan dan proses pembelajaran membuahkan
teori Koneksionisme dan membantu meletakkan dasar ilmiah
untuk psikologi pendidikan modern. Dia juga bekerja di pengembangan
sumber daya manusia di tempat industri, seperti ujian dan pengujian
karyawan. Dia adalah anggota dewan dari Psychological Corporation dan
menjabat sebagai presiden dari American Psychological Association pada
tahun 1912. Thorndike, lahir di Williamsburg, Massachusetts, adalah anak
dari seorang pendeta Metodis di Lowell, Massachusetts. Thorndike lulus
dari The Roxbury (1891), di West Roxbury, Massachusetts dan Wesleyan
University (1895). Ia mendapat gelar MA di Harvard University pada
tahun 1897. Selama di Harvard, ia tertarik pada bagaimana hewan belajar
(etologi), dan bekerjasama dalam penelitian dengan William James.
Setelah itu, ia menjadi tertarik pada hewan 'manusia', dan kemudian
mengabdikan dirinya demi penelitiannya ini. Tesis Edward hingga saat ini
masih dianggap sebagai dokumen penting dalam ranah ilmu psikologi
komparatif modern. Setelah lulus, Thorndike kembali ke minat awal,
psikologi pendidikan. Pada tahun 1898 ia menyelesaikan PhD-nya di
Columbia University di bawah pengawasan James Mc Keen Cattell, salah
satu pendiri psikometri”.

Nur dan Baharuddin (2015: 92) menambahkan:


“Thorndike tinggal dan mengajar di Columbia sampai pensiun tahun 1940.
Thorndike berhasil menerbitkan satu buku yang berjudul Animal
Intelligence: An Experimental Study of Association Process in Animal.
Buku tersebut meruakan hasil penelitian Thorndike terhadap tingkah
beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing, dan burung yang
mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh
Thorndike, yaitu bahwa dasar dari proses belajar tidak lain adalah
asosiasi”.
Berdasarkan biografi yang telah dikemukan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa Throndike merupakan tokoh pencetus teori connectionisme
berdasarkan ekperimen yang telah dilakukannya ketika di Hardvard University.
Kemudian ia mendapat beasiswa di Columbia University dan menjadi dosen tetap
sampai ia pensiun. Selama karirnya di Columbia University, ia telah berhasil
menciptakan satu buku yang berisi penelitian tentang tingkah laku jenis hewan
yang mencerminkan prinsip dasar dari suatu proses belajar.

2.2. Teori Belajar Connectionisme

Menurut Djamarah (2011: 23), Teori belajar connectionisme merupakan


teori belajar menurut ilmu jiwa asosiasi yang akan dijelaskan sebagai berikut:

“Teori belajar asosiasi disebut juga teori sarbond. Sarbind singkatan dari
stimulus, respons, dna bond. Stimulus berarti rangsangan, respons berarti
tanggapan, dan bond berarti dihubungkan. Rangsangan diciptakan untuk
memunculkan tanggapan kemudian dihubungkan antara keduanya dan
terjadilah asosiasi. Teori asosiasi berprinsip bahwa keseluruhan itu
sebenarnya terdiri dari penjumlahan bagian-bagian atau unsur-unsurnya.
Penyatupaduan bagian-bagian melahirkan konsep keseluruhan.....dari
aliran ilmu jiwa asosiasi ada dua teori yang sangat terkenal, yaitu teori
koneksionisme dari Throndike dan teori conditioning dari Ivan P.Pavlov”.
Berdasarkan eksperimen yang dilakukan Throndike pada tahun 1890an.
Ekperimen ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui
fenomena belajar. Eksperimen Throndike dijelaskan oleh Hintzman dalam Syah,
(2012: 93) yaitu:

“Seekor kucing yang lapar ditempatkan dalam sangkat berbentuk kotak


berjeruji yang dilengkapi dengan peralatan, seperti pengungkit, gerendel
pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut.
Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memingkinkan kucing
tersebut memperoleh makanan yang tersedia di depan sangkar tadi.
Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) itu
merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi
melepaskan diri dna memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-
mula kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat, dan berlari-larian,
namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada
didepannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing tersebut
berhasil menekan pengungkit dna terbukalah pintu sangkar tersebut.
Eksperimen puzzle box ini kemudian terkenal dengan nama instrumen
conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai
instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang
dikehendaki”.
Berdasarkan ekperimen tersebut, melalui pemikiran Throndike yang
dikutip dari Nur dan Baharuddin (2015: 92) yakni:
“Menurut Throndike, belajar merupakan proses interaksi antara stimulus
(S) dan respons (R). Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya
kegiatan belajar yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau hal-hal lain
yang dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon adalah reaksi
yang dimunculkan oleh individu ketika belajar, yang dapat pula berupa
pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dalam S-R dikatakan bahwa
dalam proses belajar, kali pertama organisme (Hewan, Orang) belajar
dengan cara coba salah (trial and error). Apabila suatu organisme berada
dalam suatu situasi yang mengandung masalah, organisme itu akan
mengeluarkan tingkah laku yang serentak dari kumpulan tingkah laku
yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu”.
Sodiq dalam (https://www.academia.edu/8362784/6_Macam_Teori_Belaj
ar _Untuk_Para_ Tenaga_Pendidik diakses 13 Februari 2017) juga menyatakan

“Belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara


peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut teori
“conectionisme”. Atau dengan kata lain,  belajar adalah pembentukan atau
penguatan hubungan antara S (stimulus) dan R (respon, sambutan).
Hubungan S-R ( Stimilus-Respon  ) atau antara kesan indera ( sense
impression) dan impuls (dorongan spontan) untuk bertindak (impuls to
action ) disebut “bond” atau “connection” atau “association ”. Karena
itulah maka teori ini disebut “connectionis”  atau “bond psikologi”.
Menurut Thorndike, asosiasi itu membentuk sebagian besar, meskipun
bukan seluruhnya, apa yang di pelajari dan diingat oleh manusia .Teori ini
disebut juga dengan “trial and error learning” (belajar dengan cara coba
salah) atau “learning by selecting and connecting” (belajar dengan
menyaring dan menghubungkan). Menurut teori ini, belajar dilakukan
dengan cara menyaring atau memilih respons yang tepat terhadap stimulus
tertentu”.

Sebagaimana proses belajar trial and error, Djamarah (2011: 24)


menambahkan bahwa:

“Respon benar lambat laun “tertaman” atau diperkuat melalui percobaan


yang berulang-ulang. Respons yang tidak benar diperlemah atau
“tercabut”. Gejalah ini disebut “sub-stitusi respons”. Teori itu juga dikenal
dengan nama kondisioning instrumental, karena pemilihan suatu respons
itu merupakan alat atau instrumen bagi memperoleh ganjaran....menurut
Trondike, dasar dari belajar tidak lain adalah aosiasi antara kesan panca
indra dengan impuls untuk bertindak. Asosiasi ini dinamakan connecting.
Sama maknanya dengan belajar adalah pembentukan hubungan antara
stimulus dan respons, antara aksi dan reaksi. Antara stimulus dna respons
ini akan terjadi suatu hubungan yang erat bila sering dilatih. Berkat latihan
yang terus menerus, hubungan antara stimulus dan respons itu akan
menjadi terbiasa atau otomatis”.
Menurut Sujanto (2004: 123) mengatakan bahwa “Dalam proses berfikir
manusiapun mempergunakan trial dan error. Hanya karena manusia itu memiliki
inteligensi maka dapat bertrial dan error dengan lebih capat dan diam. Ciri-ciri
belajar menurut trial dan error yaitu: (1) ada motif pendorong aktivitas; (2) ada
berbagai respon terhadap situasi; (3) ada eliminasi respons-respons yang
gagal/salah; (4) ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan”.

Adapun beberapa ciri – ciri belajat menurut Thorndike, antara lain :

1. Ada motif pendorong aktivitas


2. Ada berbagai respon terhadap sesuatu.
3. Ada aliminasi respon - respon yang gagal atau salah
4. Ada kemajuan reaksi – reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.

(Tanti dalam http://catatantanti.blogspot.co.id/2012/08/teori-belajar-thorn


dike-pavlop-dan.html diakses 15 Februari 2017)

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan


respon. Stimulus yaitu apa saja dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar
seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat diterapkan melalui alat
indera. Sedangkan responnya itu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika
belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau gerakan/tindakan. Stimulus
dan respon merupakan upaya secara metodologi suntuk mengaktifkan siswa
secara utuh dan menyeluruh baik pikiran, perasaan dan perilaku (perbuatan).
Salah satu indikasi keberhasilan belajar terletak pada kualitas respon yang
dilakukan siswa terhadap stimulus yang diterima dari guru. (Ihsan
http://ihsandikdas.blogspot.co.id/2015/06/pengertian-teori-koneksionisme melalui
.html diakses 15 Februari 2017).

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar


menururt Thorndike belajar terjadi karena adanya interaksi antara stimulus dan
respons yang mempunyai hubungan satu sama lain sehingga terbentuklag proses
belajar Trial and Error. Dalam hal ini, proses apabila terdapat respons yang kuat
atau benar dan dilakukan berulang-ulang, maka respon tersebut akan tertanam
dalam diri peserta didik. Sebaliknya respon yang lemah atau salah akan terabaikan
begitu saja. Selain itu, berdasarkan pemaparan di atas, maka ciri belajar menurut
Thorndike adalah adanya motif belajar yang direspon oleh peserta didik. Respons
tersebut kemudian dipilah-pilah atau dieliminasi untuk mencapai tujuan dari
belajar yang dapat merubah tingkah laku yang pada akhirnya akan membentuk
karakter pada diri siswa.

2.3. Hukum Teori Connectionisme

Fenomena kucing tersebut,menimbulkan dua hal pokok yang mendorong


proses belajar mengajar. Yang pertama adalah keadaan kucing yang lapar. Dan
kedua adalah tersedianya makanan dimuka pintu puzzle box. Syah (2012: 94) juga
menambahkan bahwa :

“Makanan merupakan efek positid atau memuaskan yang dicapai oleh


respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang
disebut lauw of fect. Artinya jika sebuah respons menghasilkan efek yang
memuaskan, hubungan antara stimulus dna respons akan semakin kuat.
Sebaliknya, semakin tidak memuaskan (mengganggu) efek yang dicapai
respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dna respons tersebut.
Hukum belajar inilah yang mengilhami munculnya konsep reinforcer
dalam teori operant conditioning hasil penemuan B.F Skinner. Disamping
law of effect, Throndike juga mengemukakan dua macam hukum lainnya
yang masing-masing disebut law of readiness dan law of exercise.
Sekarang, kedua macam hukum ini sesungguhnya tidak begitu populer
namun cukup berguna sebagai tambahan kajian dan perbandingan. Law of
rediness (hukum kesiapan) pada prinsipnya hanya merupakan asumsi
bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan conduction
units (satuan perantara). Unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang
mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu....law of
exercise (hukum latihan) ialah generalisasi atau law of use dan law of
disuse...jika prilaku (perubahan hasil belajar) sering dilatih atau digunakan
maka eksistensi perilaku tersebut akan semakin kuat (law of use).
Sebaliknya, jika perilaku tadi tidak sering dilatih atau tidak digunakan
maka ia akan terlupakan atau sekurang-kurangnya akan menurun (law of
disuse)”.
Hukum teori connectionisme menurut Throndike dalam http://www
.karyaku.web.id/2014/12/teori-asosiasi-dari-thorndike.html diakses 15 Februari
2017. Adapun hukum-hukum belajar Thorndike antara lain adalah:

1. Law of Readiness (Hukum Kesiapan)


Law of readiness (hukum kesiapan) yang dikemukakan dalam bukunya
yang berjudul The Original Nature of Man mengandung tiga bagian
yang diringkas sebagai berikut:
a. Ketika seseorang siap untuk melakukan suatu tindakan, maka
melakukannya akan memuaskan
b. Ketika seseorang siap untuk melakukan suatu tindakan, maka tidak
melalkukannya akan menjenkelkan
c. Ketika seseorang belum siap untuk melakukan suatu rindakan
tetepi dipaksa melakukkannya, maka melakukannya akan
menhengkelkan.
2. Law of Exercise (Hukum Latihan)
Hukum latihan (The Law Exercise) atau prinsip use and disuse berisi
apabila hubungan itu sering dilatih maka ia akan menjasi kuat (Fized).
Teori Thorndike mencakup hukum law of exercise (Hukum Latihan),
yang terdiri dari dua bagian:
a. Koneksi antara stmulus dan respons akan mengaut saat keduanya
dipakai. Dengan kata lain, melatih koneksi (hubungan) antara
situasi yang menstimulasi dengan suatu respons akan memperkuat
koneksi di antara keduanya.
b. Koneksi antara stimulus dan respons akan melemah apabila praktik
hubungan dihentikan
3. Law of effect (Hukum Efek)
Law od effect (hukum efek) yang digunakan sebelum tahun 1930,
adalah penguatan atau pelemahan dari suatu koneksi antara stimulus
dan respon sebagai akibat dari konsekuansi dari respons. Jika suatu
respon diikuti dengan satisfying of affairs (keadaan yang memuaskan),
kekuatan koneksi itu akan bertambah. Jika respons diikuti dengan
annoying state of affrairs (keadaan yang menjengkelkan), kekuatan
koneksi itu menurun.
Nur dan Burhanuddin (2015: 95) menambahkan penjelasan mengenai
hukum teori belajar Thorndike yaitu sebagai berikut:

“Hukum kesiapan (law of Readiness), hukum ini menyatakan bahwa


dalam belajar organisasi atau individu harus dalam keadaan siap, baik siap
secara fisik maupun mental untuk menerima atau mempelajari
pengetahuan dan perilaku baru agar mencapai keberhasilan. Dalam
konteks pembelajaran, disamping harus siap secara fisik dan mental,
seseorang juga harus siap dalam penguasaan pengetahuan serta kecakapan-
kecakapan yang mendasari pengetahuan selanjutnya. Menurut Thorndike,
ada tiga keadaan berkaiatan degan kesiapan belajar individu pertama,
kesiapan untuk belajar merespon,...kedua, organisme atau individu yang
sudah siap untuk bertindak, apabila tidak bertindakn akan menimbulkan
ketidakpuasan, dan akan menimbulkan respons-respons yang lain untuk
mengurangi atau meniadakan ketidakpuasan itu. Ketiga, apabila organisme
atau individu yang tidak siap untuk bertindak dipaksa akan menimbulkan
ketidak puasan dan berakibat dilakukannya tindakan-tindakan lain untuk
mengurangi atau meniadakan ketidak puasan itu....Hukum latihan (Law of
exercise). Dalam hukum ini, Thorndike menyatakan bahwa untuk
menghasilkan tindakan yang sesuai dan memuaskan untuk merespon suatu
stimulus, maka seseorang harus mengadakan percobaan dan latihan yang
berulang-ulang. Hukum ini terdiri atas dua hukum, yaitu hukum kegunaan
(law of uses) dan hukum dilupakan (law of disuse). Penerapan ide ini
dalam pembelajran adalah perlunya pemilihan teknik yang sesuai agar
seseorang dapat mentransfer pesan yang didapat dari sort time memory ke
long time memory ini dibutuhkan pengulangan sebanyak-banyaknya
dengan harapan pesan yang telah didapat tidak mudah hilang.....Hukum
law of effect menyatakan bahwa setiap organisme memiliki respons
sendiri-sendiri dalam menghadapi stimulus dan situasi yang baru, jika
sebuah tindakan diikuti oleh perubahan yang menuaskan dalam
lingkungan, kemungkinan tindakan itu akan diulang kembali akan semaki
meningkat. Sebaliknya, jika suatu tindakan diikuti oleh perubahan yang
tidak memuaskan, dalam menghadapi situasi dan stimulus, maka tindakan
itu mungkin menurun atau tidak dilakukan sama sekali selama-lamanya.
Hal ini terjadi secara otomatis bagi semua binatang. Dengan kata lain,
konsekuen-konsekuen dan prilaku seseorang akan memainkan peran
penting bagi terjadinya perilaku yang akan datang....Dalam dunia
pendidikan, law of effect ini terjadi pada tindakan seseorang dalam
memberikan punishment atau reward. Dalam teori connectionisme dalam
hukum belajar law of effect, yaitu terjadi hubungan antara tingkah laku
atau respons yang dipengaruhi oleh stimulus dan situasi dan tingkah laku
tersebut mendatangkan hasilnya (effect)”.

Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan


bahwa hukum dalam teori Thorndike ada 3 yaitu:

1. Hukum kesiapan (law of readiness)


Dalam hukum kesiapan dapat disimpulakan bahwa seseorang akan
dapat belajar dengan baik apabila dalam keadaan siap, baik siap secara
fisik maupun mental.
2. Hukum latihan (law of exercise)
Dalam hukum latihan, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak
latihan atau pengulangan dalam belajar maka hubungan antara stimulus
dan respons akan semakin kuat. Apabilasedikit latihan atau bahkan
latihan dihentikan, maka hubungan antara stimulus dan respons akan
semakin melemah. Dengan kata lain, seseorang dapat mentrasfer sort
time memory atau ingatan jangka pendek ke long time memory atau
ingatan jangka panjang dengan melakukan pengulangan sebanyak-
banyaknya agar ingatan tersebut tidak mudah hilang.
3. Hukum efek (law of effect)
Dalam hukum efek, dapat disimpulkan bahwa setiap orang memiliki
respon berbeda-beda dalam menghadapi stimulus dan situasi yang
baru. Jika suatu tindakan diikuti perubahan yang memuaskan, maka
tindakan itu akan diulang semakin meningkat. Sebaliknya, jika suatu
tindakan diikuti oleh perubahan yang tidak memuaskan, maka tindakan
itu kana menurun dan tidak dilakukan kembali selama-lamanya.

2.4. Revisi Hukum Thorndike

Hukum-hukum Thorndik tersebut, mengalami revisi atau perbaikan yang


dikembangkan lagi dari hasil eksperimennya. Selain eksperimen yang dilakukan,
Teori Thorndike mengalami perubahan-perubahan atau revisi akibat dari kritikan-
kritikan para ahli yang menunjukkan bahwa pendapatnya tidak selalu benar.
Revisi pendapat Thorndike dalam http://www.karyaku.web.id/2014/12/teori-
asosiasi-dari-thorndike.html diakses 15 Februari 2017 yaitu:

a. Law of readiness tidak dirubah


b. Law of exercise dirubah secara keseluruhan

Ketidak tepatan law of exercise ini ditunjukkan dengan eksperimen .


eksperimen yang khas menunjukkan tidak benarnya law of exercise ialah
ulangan yang berlangsung dalam dalam keadaan dimana law of effect atau
tidak bekerja. Misalnya berulang-ulang membuat garis yang panjangnya
10 cm tanpa mengetahui garis yang dibuatnya itu terlalu pendek atau
terlalu panjang. Ulangan itu tidaklah menghasilkan apa-apa, ulangan
hanya membawa hasil kalau ada faktor lain yang bekerja menyebabkan
ulangan itu efektif (berhasil). Misalnya: jika sekiranya tahu garis yang
telah dibuatnya itu terlalu panjang atau terlalu pendek maka tentula usaha
yang berikutnya akan lebih berhasil (lebih baik hasilnya)

c. Perubahan law of effect


Eksperimen menunjukkan bahwa pengaruh (effect) hadiah dan hukuman
tiada bertentangan lurus seperti apa yang dikemukakan lebih dahulu yaitu
pengaruh hadiah memuaskan dan pengaruh hukuman tidak memuaskan
serta besarnya kepuasan dan ketidak puasan itu sama atau sebanding tetapi
ternyata bahwa dalam keadaan dimana aksi simetris mungkin dilakukan
hasiah nampaknya lebih kuat pengaruhnya daripada hukuman. Hal ini
diperkuat dengan eksperimen ayam. Suatu labirin yang sederhana dengan
dua jalan pilihan yaitu : (1) pilihan pertama menuju kebebasan berkumpul
dengan teman-temannya serta mendapatkan makanan (hadiah) dan (2)
pilihan kedua kembali kekukurungan lagi (hukuman). Dengan hasil
statistik diperhitungkan kecenderungan untuk mengulangi pilihan yang
membawa hadiah dan menghindari pilihan yang memberi hukuman.
Menurut Sodiq dalam blognya https://www.academia.edu/8362784/6
_Macam_ Teori_Belajar_Untuk_Para_Tenaga_Pendidik diakses 13 Februari
2017.

“Thorndike mengemukakan revisi Hukum Belajar yaitu : Hukum latihan


ditinggalkan karena ditemukan pengulangan saja tidak cukup untuk
memperkuat hubungan stimulus respon, sebaliknya tanpa pengulanganpun
hubungan stimulus respon belum tentu diperlemah. Selanjutnya hukum
akibat direvisi, dikatakan oleh Thorndike  bahwa yang berakibat positif
untuk perubahan tingkah laku adalah hadiah, sedangkan hukuman tidak
berakibat apa-apa. Syarat utama terjadinya hubungan stimulus respon
bukan kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara stimulus dan respon.
Dan akibat suatu perbuatan dapat menular  baik pada bidang lain maupun
pada individu lain”.

Berdasarkan pendapat tersebut, hukum yang direvisi oleh Thorndike yaitu


hukum latihan (law of exercise) dan hukum efek (law of effect). Dalam hal ini,
Thorndike menambahkan hukum conessionisme sebagaimana yang dikutip dalam
Nur dan Baharudding (2015: 99) hukum-hukum tersebut adalah sebagai berikut:

1. Law of multiple respons. Hukum ini menyatakna bahwa ketika suatu


respons tidak menghasilkan kepuasam, maka individu akan cenderung
berinisiatif untuk melakukan respons baru yang lain.
2. Law of attitude (law of set, law of disposition). Respons-respons yang
dilakukan oleh individu itu, ditentukan oleh cara penyelesaian individu
yang khas dalam menghadapi lingkungan kebudayaan tertentu. Sikap
tidak hanya menentukan yang dikerjakan oleh seseorang, tetapi juga
apakah respons-respons tersebut memuaskan atau tidak memuaskan
baginya.
3. Law of partial activity (law of prepotency element). Individu atau
organisme dapat berekasi secara selektif terhadap kemungkinan –
kemungkinan yang ada dalam situasi tertentu. Dia dapat memilih hal-
hal yang penting dan berguna serta mendasarkan tingkah lakunya
kepada hal-hal yang penting itu dan meninggalkan hal-hal yang tidak
penting atua tidak berguna.
4. Law of response by analogy (law of assimilation) orang berekasi
terhadap situasi yagn baru sebagaimana ia bereaksi terhadap situasi
yang mirip dengan itu sebelumnya, atau ia bereksi terhadap hal atau
unsur tertentu dalam situasi yang telah berulang kali dihadapinya. Jadi,
respons-respons selalu dapat diterangkandengan sesuatu yang pernah
dikenalnya.
5. Law of assosiative shifting. Bila respons dapat dipertahankan berlaku
dalam serangkaian perubahan-perubahan pada situasi yang
merangsang, maka respons itu akhirnya dapat diberikan kepada situasi
yang baru.

Selanjutnya Sodiq dalam blognya menjelaskan hukum tambahan


Thorndike antara lain:

1. Hukum Reaksi Bervariasi ( multiple response ). Hukum ini mengatakan


bahwa pada individu diawali oleh proses trial dan error yang menunjukkan
adanya bermacam-macam respon sebelum memperoleh respon yang tepat
dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
2. Hukum Sikap ( Set/ Attitude). Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku
belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan
respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu
baik kognitif, emosi, sosial, maupun psikomotornya.
3. Hukum Aktivitas Berat Sebelah ( Prepotency of Element ). Hukum ini
mengatakan bahwa individu dalam proses belajar memberikan respon pada
stimulus tertentu saja sesuai dengan  persepsinya terhadap keseluruhan
situasi (respon selektif ).
4. Hukum Respon by Analogy. Hukum ini mengatakan bahwa individu
dalam melakukan respon  pada situasi yang belum pernah dialami karena
individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah
dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer
atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin
banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
5. Hukum perpindahan Asosiasi ( Associative Shifting ). Hukum ini
mengatakan bahwa proses  peralihan dari situasi yang dikenal ke situasi
yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara menambahkan
sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi sedikit unsur
lama

Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa hukum belajar


menurut Thorndike ada 3 yaitu hukum kesiapan (Law of Readiness), hukum
latihan (law of exercise), dan hukum efek (law of effect) dan telah mengalami
perubahan atau revisi. Hukum yang direvisi adalah hukum latihan dan hukum
efek. Revisi hukum latihan ulangan hanya membawa hasil kalau ada faktor lain
yang bekerja menyebabkan ulangan itu efektif (berhasil). Revisi hukum efek
adalah pengaruh hadiah memuaskan dan pengaruh hukuman tidak memuaskan
serta besarnya kepuasan dan ketidak puasan itu sama atau sebanding tetapi
ternyata bahwa dalam keadaan dimana aksi simetris mungkin dilakukan hasiah
nampaknya lebih kuat pengaruhnya daripada hukuman. Hal ini diperkuat dengan
adanya hasil perhitungan statistik yagn condong pada hadiah dari pada ahukuman.
Kemudian hukum Thorndike mengalami perkembangan yaitu hukum multiple
respons, hukum sikap, hukum aktivitas berat sebelah, hukum respon anology dan
hukum perpindahan asosiasi.

2.5. Prinsip Belajar dan Aplikasi Teori Connectionisme

Teori connectionisme dengan tokohnya Edward Lee Thorndike


mengemukakan prinsip belajar yang dikemukan teori Thorndike adalah :

1. Pada saat seseorang berhadapan dengan situasi yang baru, berbagai


respon yang ia lakukan. Adapun respon-respon tiap-tiap individu berbeda-
beda tidak sama walaupun menghadapi situasi yang sama hingga akhirnya
tiap individu mendapatkan respon atau tindakan yang cocok dan
memuaskan. Seperti contoh seseorang yang sedang dihadapkan dengan
problema keluarga maka seseorang pasti akan menghadapi dengan respon
yang berbeda-beda walaupun jenis situasinya sama, misalnya orang tua
dihadapkan dengan prilaku anak yang kurang wajar.
2. Dalam diri setiap orang sebenarnya sudah tertanam potensi untuk
mengadakan seleksi terhadap unsur-unsur yang penting dan kurang
penting, hingga akhirnya menemukan respon yang tepat. Seperti orang
yang dalam masa pekembangan dan menyongsong masa depan maka
sebenarnya dalam diri orang tersebut sudah menegetahui unsur yang
penting yang harus dilakukan demi mendapatkan hasil yang sesuai dengan
yang diinginkan.
3. Orang cenderung memberikan respon yang sama terhadap situasi yang
sama. Seperti apabila seseorang dalam keadaan stress karena diputus oleh
pacarnya dan ia mengalami ini  bukan hanya kali ini melainkan ia pernah
mengalami kejadian yang sama karena hal yang sama maka sudah barang
tentu ia akan merespon situasi tersebut seperti yang ia lakukan seperti
dahulu yang ia lakukan. Sodiq dalam https://www.academia.edu/83627
84/6_Macam_Teori_Belajar_Untuk_Para_Tenaga_Pendidik diakses 13
Februari 2017.

Aplikasi teori connectionisme dalam pembelajaran amenurut Tanti dalam


http://catatantanti.blogspot.co.id/2012/08/teori-belajar-thorndike-pavlop-dan.html
diakses 15 Februari 2017 adalah sebagai berikut:
a. Guru harus tahu apa yang akan diajarkan, materi apa yang harus
diberikan, respon apa yang diharapkan, kapan harus memberi hadiah
atau membetulkan respon. Oleh karena itu tujuan pedidikan harus
dirumuskan dengan jelas.
b. Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar
peserta didik. Dan terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga
guru dapat menerapkan menurut bermacaam-macam situasi.
c. Agar peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus
bertahap dari yang sederhana sampai yang kompleks.
d. Dalam belajar motivasi tidak begitu penting karena yang terpenting
adalah adanya respon yang benar terhadap stimulus.
e. Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus diberi hadiah dan
bila belum baik harus segera diperbaiki.
f. Situasi belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan
kehidupan dalam masyarakat.
g. Materi pelajaran harus bermanfaat bagi peserta didik untuk kehidupan
anak kelak setelah keluar dari sekolah.
h. Pelajaran yang sulit, yang melebihi kemampuan anak tidak akan
meningkatkan kemampuan penalarannya
Menurut Mahlianurrahman dalam http://rahmanmahlil.blogspot.co.id/2014
/11/teori-koneksionisme.html. Diakses pada tanggal 17 Februari 2017 aplikasi
teori koneksionisme adalah sebagai berikut:

a. Tujuan pembelajaran harus masih dalam batas kemampuan belajar


siswa dan harus terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru
dapat menerapkan menurut bermacam-macam situasi
b. Proses belajar harus bertahap dari yang sederhana sampai yang
kompleks
c. Motivasi tidak begitu penting dlam belajar karena perilaku siswa
terutama ditentukan oleh eksternal awards dan bukan instrinsik
motivation
d. Supaya guru mempunyai gambaran yang jelas dan tidak keliru
terhadap kemajuan anak, ulangan harus dilakukan dengan mengingat
hukum kesiapan. Peserta didik yang sudah belajar dengan baik harus
segera diberi hadiah, dan bila belum baik, harus segera diperbaiki
e. Situasi belajar harus dibuat menyenangakan dan mirip dengan
kehidupan dalam masyarakat sebanyak mungkin sehingga terjadi
trasfer ilmu dari dalam kelas ke lingkungan luar kelas
f. Pelajaran yang sulit melebihi kemampuan anak tidak akan meningkat
kemampuan penalarannya.
Sedangkan menurut Muryono dalam https://www.slideshare.net/
muryonoonoo poopo/ppt-teori-koneksionisme diakses 15 Februari 2017
menyatakan bahwa implementasi teori connectionisme disekolah atau lembaga
pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Sekolah perlu mempunyai tujuan yang dirumuskan dengan jelas
b. Tujuan pendidikan harus sesuai dengan kondisi dan kemampuan
msingmasing anak
c. Bahan pelajaran dibagi menjadi unit-unit kecil
d. Proses belajar dilakukan secara bertahap sesuai materi yang sudah
dipecah dalam unit kecil
e. Tenakan pendidikan ada pada roses respon yang benar atau sesuai
stimulus
f. Berikan reward terhadap tingkah laku yang benar
g. Respon yang salah harus diperbaiki agar tidak di ulang
h. Ujian test secara teratur perlu diberikan sebagai umpan balik bagi guru
dan siswa untuk perbaikan belajar berikut
i. Buat situasi belajar yang mirip dengan kehidupan nyata
j. Pendidikan yang baik adalah memberikan pelajaran yang dapat
diguanakan dalam kehidupan sehari-hari

Berdasarka pendapat di atas, maka aplikasi teori connectionisme dalam


proses pembelajaran adalah sebagai berikut:

a. Tujuan pembelajaran harus dirumuskan dengan jelas


b. Proses belajar harus bertahap dari yang sederhana sampai yang
kompleks
c. Motivasi dalam belajar tidak begitu penting karena yang terpentign
adalah respon yang benar terhadap stimulus atau pembelajaran
ditentukan oleh eksternal award bukan instrinsik motivation
d. Peserta didik yang dapat belajar dengan baik harus diberi reward dan
yang tidak baik harus diperbaiki atau diberikan punishment
e. Respon yang salah harus segera diperbaiki agar tidak terulang
f. Situasi belajar haru dibuat menyenangkan dan bermakna bagi siswa
g. Materi pelajaran yang dipelajari harus dapat diaplikasikan dalam
kehidupan nyata
h. Tes yang diberikan secara teratur akan memberikan umpan balik bagi
guru dan siswa untuk memperbaiki pembelajaran berikutnya
2.6. Kelebihan dan Kelemahan Teori Connectionisme

Setiap teori pembelajaran mempunyai kelebihan dan kelamahan. Adapun


kelebihan teori connectionisme Menurut Sodiq https://www.academia
.edu/8362784/6_Macam_Teori_Belajar_Untuk_Para_Tenaga_Pendidik diakses 15
Februari 2017 menyatakan bahwa kelebihan teori belajar connectionisme adalah
“Dengan sering melakukan pengulangan dalam memecahkan suatu permasalahan,
anak didik akan memiliki sebuah pengalaman yang berharga. Selain itu dengan
adanya sistem pemberian hadiah, akan membuat anak didik menjadi lebih
memiliki kemauan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya”.

Menurut Atmaja, (2013: 272) kelebihan teori ini adalah:

a. Teori ini sering juga disebut dengan teori trial dan error dalam teori
ini orang bisa menguasai hubungan stimulus dan respon sebanyak-
banyaknya sehigga orang akan terbiasa berpikir dan terbiasa
mengembangkan pikirannya.
b. Dengan sering melakukan pengulangan dalam memecahkan suatu
permasalahan, anak didik akan memiliki sebuah pengalaman yang
berharga. Selain itu dengan adanya sistem pemberian hadiah, akan
membuat anak didik menjadi lebih memiliki kemauan dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapinya.

Berdasarkan pendapat ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa


kelebihan teori connectionisme adalah sebagai berikut:

1. Pembelajaran akan terasa bermakna bagi siswa


2. Dengan adanya pemberian hadiah dan hukuman mengakibatkan
peserta didik termotivasi dalam belajar
3. Peserta didik akan terbiasa berpikir dan mengembangkan pikirannya
4. Peserta didik mampu memecahkan permasalahan yang dihadapinya

Kelemahan teori conectionisme menurut Purwanto, (2007: 100) kelemahan teori


ini adalah:
a. Terlalu memandang manusia sebagai mekanisme dan otomatisme belaka
disamakan dengan hewan. Meskipun banyak tingkah laku manusia yang
otomatis, tetapi tidak selalu bahwa tingkah laku manusia itu dapat
dipengaruhi secara trial and error. Trial and error tidak berlaku mutlak
bagi manusia.
b. Memandang belajar hanya merupakan asosiasi belaka antara stimulus dan
respons. Sehingga yang dipentingkan dalam belajar ialah memperkuat
asosiasi tersebut dengan latihan-latihan, atau ulangan-ulangan yang terus-
menerus.
c. Karena proses belajar berlangsung secara mekanistis, maka “pengertian”
tidak dipandangnya sebagai suatu yang pokok dalam belajar. Mereka
mengabaikan “pengertian” sebagai unsur yang pokok dalam belajar

Selanjutnya Djamarah (2002: 25) menjelaskan ada beberapa kelemahan


dalam pelaksanaannya, yaitu:

a. Belajar menurut teori ini bersifat mekanistis


Apabila ada stimulus dengan sendirinya atau secara mekanis timbul
respons. Kelemahannya adalah anak didik banyak yang hafal bahan
pelajaran, tetapi mereka kurang mengerti cara pemakaiannya. Tidak jarang
anak didik hafal sejumlah rumus matematika, rumus-rumus bahasa asing,
rumus-rumus fisika, dalil-dalil tertentu, tetapi mereka kurang dapat
menerapkannya. Ilmu pengetahuan yang seseorang mempunyai lebih dekat
dengan istilah penumpukan ilmu yang bersifat kaku. Untuk menjawab
soal-soal ulangan objektif tes benar-benar (true false) atau multiple choice,
ilmu pengetahuan yang bersifat mekanis (hafalan) akan lebih cocok dan
mendukung untuk tes atau soal-soal tertentu.
b. Pelajar bersifat teacher centered (terpusat pada guru)
Guru yang aktif dalam membelajarkan anak didik, guru pemberi stimulus,
guru yang melatih dan menentukan apa yang harus dikerjakan oleh anak
didik.
c. Anak didik pasif
Anak didik kurang terdorong untuk berpikir dan ia juga tidak ikut
menentukan bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Anak didik
lebih mengharapkan stimulus dari guru. Bila tidak ada stimulus, anak didik
tidak kreatif dan aktif untuk belajar mandiri. Kemiskinan kreativitas anak
didik inilah yang tidak sesuai dengan konsep belajar discovery-inquiry.
d. Teori ini lebih mengutamakan materi
Materi cenderung dimasukkan sebanyak-banyaknya kedalam otak anak
didik (cara-cara pendidikan tradisional) dengan harapan anak didik banyak
mempunyai pengetahuan. Pola belajar seperti ini cenderung menjadi
intelektualistik.

Berdasarkan kedua pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa


kelemahan teori belajar connectionisme adalah sebagai berikut:

a. Teori ini menyamakan manusia dengan hewan, sehingga apabila ada


tingkah laku manusia yang otomatis tidak selamanya dipengaruhi oleh trial
dan error
b. Belajar hanya merupakan stimulus dan respon sehingga dibutuhkan latihan
dan ulangan secara terus menerus
c. Pembelajaran bersifat teacher centred atau terpusat pada guru
d. Peserta didik menjadi pasif tidak sesuai dengan discovery learning
e. Teori belajar lebih mengutamakan materi

2.7. Hubungan Teori Belajar Connectionisme terhadap Teori Belajar Saat ini

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikemukakan sebelumya


mengenai teori connectionisme, maka teori connectionisme dikembangkan
kembali oleh para ahli dengan melakukan eksperimen-eksperimen lainnya untuk
mengembangkan teori-teori baru yang juga berkaitan dengan belajar seperti
contigouous conditioning (Guthrie), Sign Learning (Tolman), Gestalt Theory, dan
lain sebagainya. Jika dilihat dari kelemahan teori connectionisme, maka teori ini
tidak sesuai dengan teori belajar yang dikemukakn saat ini. Berdasarkan
kompetensi yang harus dicapai tujuan belajar menurut UU Nomor 20 Tahun 2003
pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Berdasarkan tujuan pembelajaran tersebut, maka teori conexionisme tidak


mencakup semua tujuan pembelarajan tersebut, hal ini dapat dilihat dari kelebihan
teori connectionisme tersebut. Selain itu, jika dilihat dari kompetensi yang harus
dicapai pada kurikulum 2013 atau kurikulum nasional, maka kompetensi yang
harus dicapai meliputi kompetensi inti, kognitif, psikomotorik dan afektif. Dalam
hal ini model pembelajaran yang digunakan meliputi discovery learning, problem
based learning, project based learning, dan inquiry learning. Maka keseluruhan
model ini bertentangan dengan teori connectionisme. Yaitu berpusat pada guru.
Sedangkan model pembelajaran kurikulum nasional berpusat pada siswa.

Akan tetapi, ada model pembelajaran yang sesuai dan dapat juga
dikombinasikan dengan kurikulum nasional yaitu joypul learning dan meaningful
learning. Atau pembelajaran menyenangkan dan pembelajaran bermakna. Dalam
hal ini dapat disimpulkan bahwa teori pembelajaran connectionisme dapat
dimanfaatkan akan tetapi tidak secara keseluruhan. Sebagai pendidik harus
mampu memilah milih teori yang dapat diterapkan dalam pembelajara.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Edward Lee Thorndike (31 Agustus 1874 - 9 Agustus 1949) adalah


seorang psikolog Amerika yang menghabiskan hampir seluruh karirnya
di Teachers College, Columbia University. Karyanya di bidang psikologi
perbandingan dan proses pembelajaran membuahkan teori Koneksionisme dan
membantu meletakkan dasar ilmiah untuk psikologi pendidikan modern.
Thorndike lulus dari The Roxbury (1891), di West Roxbury, Massachusetts dan
Wesleyan University (1895). Ia mendapat gelar MA di Harvard University pada
tahun 1897. Selama di Harvard, ia tertarik pada bagaimana hewan belajar
(etologi), dan bekerjasama dalam penelitian dengan William James. Setelah itu, ia
menjadi tertarik pada hewan 'manusia', dan kemudian mengabdikan dirinya demi
penelitiannya ini. Tesis Edward hingga saat ini masih dianggap sebagai dokumen
penting dalam ranah ilmu psikologi komparatif modern. Setelah lulus, Thorndike
kembali ke minat awal, psikologi pendidikan. Pada tahun 1898 ia menyelesaikan
PhD-nya di Columbia University di bawah pengawasan James Mc Keen Cattell,
salah satu pendiri psikometri”.

Belajar menururt Thorndike belajar terjadi karena adanya interaksi antara


stimulus dan respons yang mempunyai hubungan satu sama lain sehingga
terbentuklag proses belajar Trial and Error. Dalam hal ini, proses apabila terdapat
respons yang kuat atau benar dan dilakukan berulang-ulang, maka respon tersebut
akan tertanam dalam diri peserta didik. Sebaliknya respon yang lemah atau salah
akan terabaikan begitu saja. Selain itu, berdasarkan pemaparan di atas, maka ciri
belajar menurut Thorndike adalah adanya motif belajar yang direspon oleh
peserta didik. Respons tersebut kemudian dipilah-pilah atau dieliminasi untuk
mencapai tujuan dari belajar yang dapat merubah tingkah laku yang pada akhirnya
akan membentuk karakter pada diri siswa.

Hukum dalam teori Thorndike ada 3 yaitu:

1. Hukum kesiapan (law of readiness)


Dalam hukum kesiapan dapat disimpulakan bahwa seseorang akan
dapat belajar dengan baik apabila dalam keadaan siap, baik siap secara
fisik maupun mental.
2. Hukum latihan (law of exercise)
Dalam hukum latihan, dapat disimpulkan bahwa semakin banyak
latihan atau pengulangan dalam belajar maka hubungan antara stimulus
dan respons akan semakin kuat. Apabilasedikit latihan atau bahkan
latihan dihentikan, maka hubungan antara stimulus dan respons akan
semakin melemah. Dengan kata lain, seseorang dapat mentrasfer sort
time memory atau ingatan jangka pendek ke long time memory atau
ingatan jangka panjang dengan melakukan pengulangan sebanyak-
banyaknya agar ingatan tersebut tidak mudah hilang.
3. Hukum efek (law of effect)

Dalam hukum efek, dapat disimpulkan bahwa setiap orang memiliki


respon berbeda-beda dalam menghadapi stimulus dan situasi yang
baru. Jika suatu tindakan diikuti perubahan yang memuaskan, maka
tindakan itu akan diulang semakin meningkat. Sebaliknya, jika suatu
tindakan diikuti oleh perubahan yang tidak memuaskan, maka tindakan
itu kana menurun dan tidak dilakukan kembali selama-lamanya.

Hukum belajar menurut Thorndike ada 3 yaitu hukum kesiapan (Law of


Readiness), hukum latihan (law of exercise), dan hukum efek (law of effect) dan
telah mengalami perubahan atau revisi. Hukum yang direvisi adalah hukum
latihan dan hukum efek. Revisi hukum latihan ulangan hanya membawa hasil
kalau ada faktor lain yang bekerja menyebabkan ulangan itu efektif (berhasil).
Revisi hukum efek adalah pengaruh hadiah memuaskan dan pengaruh hukuman
tidak memuaskan serta besarnya kepuasan dan ketidak puasan itu sama atau
sebanding tetapi ternyata bahwa dalam keadaan dimana aksi simetris mungkin
dilakukan hasiah nampaknya lebih kuat pengaruhnya daripada hukuman. Hal ini
diperkuat dengan adanya hasil perhitungan statistik yagn condong pada hadiah
dari pada ahukuman. Kemudian hukum Thorndike mengalami perkembangan
yaitu hukum multiple respons, hukum sikap, hukum aktivitas berat sebelah,
hukum respon anology dan hukum perpindahan asosiasi.
Kelebihan teori connectionisme adalah sebagai berikut:

1. Pembelajaran akan terasa bermakna bagi siswa


2. Dengan adanya pemberian hadiah dan hukuman mengakibatkan
peserta didik termotivasi dalam belajar
3. Peserta didik akan terbiasa berpikir dan mengembangkan pikirannya
4. Peserta didik mampu memecahkan permasalahan yang dihadapinya

Kelemahan teori belajar connectionisme adalah sebagai berikut:

1. Teori ini menyamakan manusia dengan hewan, sehingga apabila ada


tingkah laku manusia yang otomatis tidak selamanya dipengaruhi oleh trial
dan error
2. Belajar hanya merupakan stimulus dan respon sehingga dibutuhkan latihan
dan ulangan secara terus menerus
3. Pembelajaran bersifat teacher centred atau terpusat pada guru
4. Peserta didik menjadi pasif tidak sesuai dengan discovery learning
5. Teori belajar lebih mengutamakan materi

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa teori pembelajaran


connectionisme dapat dimanfaatkan akan tetapi tidak secara keseluruhan. Sebagai
pendidik harus mampu memilah milih teori yang dapat diterapkan dalam
pembelajaran. Model yang digunakan joyful dan meaningful. Akan tetapi Dalam
hal ini model pembelajaran yang digunakan meliputi discovery learning, problem
based learning, project based learning, dan inquiry learning. Maka keseluruhan
model ini bertentangan dengan teori connectionisme. Yaitu berpusat pada guru.
Sedangkan model pembelajaran kurikulum nasional berpusat pada siswa.
DAFTAR PUSTAKA

Muhibbin Syah. (2012). Psikologi Belajar. Jakarta: Rajawali Pers


http://id.wikipedia.org/wiki/Edward_Lee_Thorndike diakses 19 Februari 2017

Anda mungkin juga menyukai