Anda di halaman 1dari 9

RESEPSI SASTRA ARAB DALAM SASTRA BARAT

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Sastra Islam
Dosen Pengampu : Mishbah Khoirudin Zuhri

Oleh :

Kelompok 1

Aditya Prayoga (1904056001)

Rahmad Hidayat (1904056002)

Selamet Riyadi (1904056049)

ILMU SENI DAN ARSITEKTUR ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sastra Arab sudah tentu mencerminkan pikiran dan perasaan bangsa Arab
dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dalam konteks kelebihan bangsa Arab,
maka tidak ada pencapaian kebudayaan dan peradaban manusia yang mampu
menunjukan nilai-nilainya yang paling otentik dan khas kecuali apa yang telah di
capai oleh kesuastraan Arab. Para penulis Arab telah banyak mewarnai peradaban
manusia dengan keahlian dan kecakapan khas mereka dalam bersastra. Masyarakat
Arab mampu mengkreasi Budaya sehingga dapat mencapai tingkat peradaban yang
tinggi, yang tercermin pada produk budayanya yang berwujud karya sastra berbentuk
puisi, prosa, dan drama.

Sastra merupakan refleksi lingkungan budaya dan merupakan satu teks


dialektis antara pengarang dan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan
penjelasan satu sejarah dialekgik yang di kembangkan dalam karya sastra, semua
aspek kehidupan yang berkembang pada masa tertentu tercatat dan terekam dalam
sebuah karya sastra (syair). Hasil pemikiran manusia yang di ungkapkan dengan
ungkapan yang mengandung Seni dan keindahan atau seni ungkapan yang indah. Dari
berbagai macam definisi ini dapat disimpulkan bahwa sastra merupakan seni
ungkapan yang indah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian sastra?
2. Apa keunikan sastra arab?
3. Bagaimana resepsi sastra arab dalam sastra barat?
4. Bagaimana kemunduran sastra arab?
C. TUJUAN PEMABAHASAN
1. Untuk mengetahui pengertian sastra
2. Untuk mengetahui apa keunikan sastra arab
3. Untuk mengetahui resepsi sastra arab dalam sastra barat
4. Untuk mengatahui kemunduran sastra arab
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENDAHULUAN
Sastra adalah bagian dari entitas budaya yang praktiknya tercennin dalam
karya-karya sastra. Semua kebudayaan dan peradaban di dunia mengalami suatu
periode perubahan yang mendalam (Peursen, 1990:72), tennasuk kebudayaan dan
peradaban bangsa Arab dengan segala totalitasnya. Para penulis Arab telah banyak
mewamai peradaban manusia dengan keahlian dan kecakapan khas mereka dalam
bersastra. Peradaban itu berkaitan dengan term kolektif untuk menunjukkan kondisi
suatu masyarakat yang beradab (Weintraub, 1969:27). Di antara ciri masyarakat
beradab itu adalah kemampuan mengkreasi budaya dan mewujudkannya dalam entitas
budaya yang adiluhung. Dalam perjalanan sejarahnya, masyarakat Arab mampu
mengkreasi budaya sehingga dapat mencapai tingkat peradaban yang tinggi, yang
tercermin, antara lain, pada produk budayanya yang berwujud karya sastra berbentuk
puisi, prosa, dan drama.
Sastra Arab, sebagai entitas budaya, sudah tentu mencenninkan pikiran dan
perasaan bangsa Arab dengan segala kelebihan dan kekurangarmya. Dalam konteks
kelebihan bangsa Arab, maka tidak ada pencapaian kebudayaan dan peradaban
manusia yang mampu menunjukkan nilai-nilainya yang paling otentik dan khas
kecuali apa yang telah dicapai oleh kesusastraan Arab. Puisi adalah diantara
bentukbentuk dominan karya bangsa Arab dan secara spesifik yang membedakarmya
dengan bangsa lain. Pembicaraan ini mendapatkan pembenararmya dengan adanya
fakta tentang pengaruh besar sastra Arab - dalam struktur maupun fungsi - atas sastra
lain yang secara langsung bersentuhan dengannya, seperti, sastra Persia, Turki,
Indostanik, dan yang secara tidak langsung di antaranya adalah sastra (puisi)
Gregorian, sastra Ibrani Abad Pertengahan, dan bahkan sastra Barat sekalipun. Sastra
Arab meninggalkan jejaknya sampai menjelang permulaan era puisi-puisi tradisi
Romawi (Cantarino, 1975).
B. KEUNIKAN SASTRA ARAB
Sastra Arab (bahasa Arab: ‫ الع;ربي األ;دب‬/ ALA-LC: al-Adab al-‘Arabī) adalah
penulisan, baik itu frosa dan puisi, yang dihasilkan oleh para penulis dalam bahasa
Arab. Sastra Arab muncul pada abad ke-5.
Keunikan puisi Arab dapat dilihat melalui perspektif resepsi karena berkaitan
dengan aspek historis dan estetis. Aspek historis berhubungan dengan kelahiran puisi
Ara pra-Islam dan perkembangannya sampai masa modern. Aspek estetis berkaitan
dengan keindahan bahasa Arab yang digunakan dalam puisi-puisi Arab itu.
Perbedaan antara pertimbangan-pertimbangan historis dan estetis dalam
kesustraan tidak cukup terbahas dalam teori-teori sastra yang ada. Oleh karena itu,
menurut Bendetto Croce’s, persoalan puisi dan prosaharus dibawa ke dalam wilayah
antagonism antara kesusastraan sinkronis dan kesusastraan diakronis yang solusinya
hanya dapat diselesaikan melalui pemahaman tentang estetika dasarnya (Jauss,
1983). Estetika dasar dalam memahami perkembangan puisi Arab dari masa pra-
Islam sampai masa modern adalah memalui teori resepsi, artinya melalui sastra
diakronis. Model sastra ini berfokus pada persoalan bagaimana fakta sastra Arab
menjadi otonom dalam dunianya. Secara ideal, sastra singkronis dan sastra diakronis
dapat dipadukan dalam suatu koherensi historis sastra, dan selanjutnya dipahami
secara produktid sebagai proses sosial atau sebagai momen perkembangan sastra
Arab.
Dalam aspek historisitas sastra, R.G. Collingwood (dalam Jauss, 1983), dalam
kritiknya tentang ideology objektivitas yang berlaku dalam sejarah, mengata-kan
bahwa sejarah tidak lain adalah pemberlakuan kembali gagasan-gagasan masa lalu
dalam pikiran seorang sejarawan. Dalam konteks ini, sejarawan sastra Arab bertugas
mengkomunikasikan gagasan-gagasan orang Arab masa lampau ke dalam masa kini
sebagai dasar pijakan bagi lahirnya gagasan-gagasan baru untuk masa yang akan
datang

Oleh karena itu, dalam prespektif teori resepsi, aspek interteks antara sastra
(puisi)Arab dengan sastra lain tidak dapat terhindarkan. Gagasan-gagasan dalam
puisi Arab, misalnya, terinspirasi dari gagasan-gagasan yang ada di dalam puisi-puisi
Yunani. Maka dari itu wajarlah karena apabila puisi Arab bersentuhan dengan puisi-
pusi Yunani karena banyak penulis arab yang membaca karya-karya filosof Yunani.
Puisi-puisi Yunani lebih bernuansa sastra keagamaan karena didalamnya tergambar
pengalaman keagamaan para oenulisanya, ia juga berfungsi menjembatani antara
sastra keagamaan itu dengan realitas kehidupan masyarakat Yunani (Harrison,
2007;374).

Demikian juga dalam puisi-puisi Arab banyak tterdapat pengalaman


keagamaan para penyairnya apalagi mereka adalah orang-orang yang ikut berjuang
dalam perluasan wilayah Islam.

C. TOKOH PENYAIR SASTRA ARAB


Masa Dinasti Umayyah juga melahirkan penyair-penyair Naqa'id, seperti Jarir
dan Farazdaq yang sampai beberapa tahun saling berdebat lewat puisi-puisi mereka.
Pada masa Dinasti ini, muncul tema-terna politik dan polemik yang menggambarkan
pergulatan politik dan aliran keagamaan. Pada masa ini, Islam mencapai prestasi
pembebasan wilayah yang luar biasa sehingga memunculkan puisi-puisi yang
bertema pembebasan, dakwah Islam, dan tasawuf. Para penyair yang terkenal pada
masa Dinasti Umayyah disebut al- 'Udzriyyiin, antara lain DzurRimach, Farazdaq,
Jarir, Akhthal, dan Qays Ibnu al-Mulawwich.
Qays Ibnu al-Mulawwich atau populer juga dengan nama Layla Majnun,
sebuah karya sastra Persia, yang berasal dari kesusastraan Arab. Kisah Layla Majnfm
sangat populer dan mendapat sambutan besar di dunia Timur, khususnya di Timur
Tengah dan Asia Tengah yang meliputi negara-negara Arab, Turki, Iran,
Afghanistan, Tajikistan, Kurdistan, India, Pakistan, dan Azerbaijan. Pada Abad
Pertengahan, kisah Layla Majnfm memberikan pengaruh besar terhadap tradisi sastra
Barat, dan pada abad ke-13 Masehi, sastra epic Jerman karya Gottfried Strassburg
yang berjudul "Tristan und Isolde" dan juga fabel Prancis karya Shakespeare abad
ke-16 Masehi, yang berjudul "Aucassin et Nicolette", mendapat pengaruh besar dari
kisah LaylaMajnOn (Guinhut, 1998:1)

D. RESEPSI SASTRA ARAB DALAM SASTRA BARAT

Gagasan-gagasan dalam puisi Arab, misalnya, terinspirasi dari gagasan-


gagasan yang ada di dalam puisi-puisi Yunani. Maka dari itu wajarlah karena apabila
puisi Arab bersentuhan dengan puisi-pusi Yunani karena banyak penulis arab yang
membaca karya-karya filosof Yunani. Puisi-puisi Yunani lebih bernuansa sastra
keagamaan karena didalamnya tergambar pengalaman keagamaan para oenulisanya,
ia juga berfungsi menjembatani antara sastra keagamaan itu dengan realitas
kehidupan masyarakat Yunani (Harrison, 2007;374). Demikian juga dalam puisi-
puisi Arab banyak tterdapat pengalaman keagamaan para penyairnya apalagi mereka
adalah orang-orang yang ikut berjuang dalam perluasan wilayah Islam.

Jika diperhatikan menurut klasifikasi puisi formal Yunani, maka puisi Arab
tampak sangat lyrical bila disbanding dengan puisi Yunani yang lebih naratif dan
cenderung dramatic. Puisi Arab lebih memiliki fungsi sosial daripada fungsi
individual karena kehadiran audiens dipertimbangkan di dalamnya, terlebih suku
atau kabilah yang menjadi tempat asal sang penyair. Puisi Arab walaupun pada
hakikatnya bukan sebuah epic. Terlebih dari gaya dan tema yang dikandungnya.
Kisah-kisah tentang kepahlawanan dan keberanian anggota kabilah dalam menantang
relaitas kehidupan gurun yang keras banyak dijadikan tema – tema puisi Arab.
Adapun tema-tema kematian banyak mendapatkan perhatian dan diekspresikan
dalam puisi religi. Tema-tema kesenangan hidup duniawi: cinta, anggur, judi,
perburuan, dan ketangkasan berkuda juga menjadi tema-tema yang banyak
dieksplorasi oleh para penyair Arab (Badawi, 1975:2)

Tema-terna puisi yang ditulis berhubungan erat dengan model metrurn yang
dipakai, yang pada umurnnya sangat rurnit. Seperti halnya konsep formula dalarn
tradisi lisan (puisi) Yugoslavia, dalam puisi Arab dikenal juga formula, yaitu
kumpulan kata yang sering digunakan pada kondisi metrurn yang sarna untuk
menyatakan sebuah gagasan esensial (Lord, 1981).
Formula dalam puisi Arab dapat dilihat pada penggunaan satu metrurn dan
satu rima. Hal ini menjadi bukti yang jelas betapa penting pola bunyi dalam puisi
Arab, apalagi bahasa yang digunakan dalarn puisi adalah bahasa khusus yang
berbeda dengan bahasa sehari-hari (Scholes, 1977:22) yang tentu saja diperlukan
pemahaman yang khusus pula karena bunyi kata dalam tradisi lisan mempunyai arti
yang berbeda-beda.
Keunikan puisi Arab terlihat pula apabila puisi panjang (kasidah) yang sering
kali menjadi tampak pendek bila dibandingkan dengan puisi-puisi Eropa. Satu baris
dalam puisi Arab, biasanya dibagi menjadi dua, dengan pembagian metrurn yang
sarna, dan secara umum dengan pola rima di permulaan puisi, khususnya dalam
kasidah. Kasidah tidak seperti potongan qith 'a yang sangat panjang dengan struktur
yang terbagi-bagi. Pada zaman pra-Islam, puisi, yang disebut mu 'allaqdt, sebagian
besar ditulis dalam model kasidah.

E. KEMUNDURAN SASTRA ARAB


Sastra Arab pada masa Utsmany periode yang di mulai dengan penaklukan
Utsmany atas suriah (1510) dan Mesir (1517) sampai pada masa ekspedisi Napoleon
ke Mesir (1789) dicatat sebagai masa kemunduran kebudayaan arab. Akan tetapi ,
tentu saja periode ini tidaklah betul-betul mengalami kemunduran total sebagaimana
tertulis dalam banyak buku sjarah. Sarjana seperti Gibb dan Bowen teguh dengan
pendirinya bahwa “menolak semua nilai penting sastra arab Abad ke-18 sungguh
sangat tidak beralasan “. Bahkan Gibb dan Bowen mengakui Sastra Arab tetap
sangat menarik walaupun pada saat kondisi masyarakat yang melahirkanya
mengalami kelelahan. Upaya penegkan kembali sastra arab dengan gerakan yang
secara luas dikenal dengan Nabda atau al-inbi’ats yang bermakna Renaissance.
Akan tetapi, dalam perkembangan sastra Arab berikutnya, ternyata di Suriah
keadaanya menjadi terbalik dan cukup memperihatinkan. Hal ini bisa dilihat pada
stagnasi kehidupan sastra Arab yang ditandai, antara lain, dengan tidak adanya
majalah sastra, kecuali hanya “ath-Tali’ah” yang diterbitkan oleh para lulusan
perguruan tinggi Eropa. Selain itu, Novel-novel pun tidak banyak bermunculan,
kalaupun ada, para penulisnya sulit mendapatkan penerbit yang berminat
mempublikasikannya. Para sastrawan (penyair) seolah-olah sedang “tidur panjang”
(an-naumuth-tahwil) sehigga tiap lima tahun hanya bisa terbit satu kasidah yang
bermutu (ath-Thanthawy, 1992;166-167).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa sastra Arab lahir dari teori-teori
dan penelitian sastra kebudayaan Arab. Pun dengan sastra Barat merupakan sastra yang
lahir dari teori-teori dan penelitian sastra kebudayaan Barat. Dalam pegaplikasiannya,
baik sastra Arab maupun sastra Barat menggunakan metode sesuai kebudayaan masing-
masing. Namun, keduanya tetap memiliki korelasi dengan adanya dasar-dasar teori yang
sama.

Oleh karena itu, Barat tetaplah Barat dan Timur tetaplah Timur. Sehingga
keduanya memiliki karakteristik dan aroma tersendiri.

Anda mungkin juga menyukai