“Analisis Tindak Pidana Makar Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)”
Disusun oleh:
NIM. 1704551161
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2002, hlm. 07.
2
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo, 2008, hlm. 07.
3
5 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentarkomentarnya lengkap pasal
demi pasal, Bogor: Politea, 1991, hlm. 97.
1. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keamanan Kapala Negara
atau Wakilnya (Pasal 104 KUHP);
2. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keutuhan Wilayah Negara
(Pasal 106 KUHP);
3. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi tegaknya Pemerintahan
Negara (Pasal 107 KUHP).
Tindak pidana dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengatur
setidaknya tiga jenis makar, yakni makar terhadap Presiden, makar terhadap NKRI, dan
makar terhadap pemerintah yang sah. Namun, ada kejanggalan dalam penyusunan klausul
makar terhadap pemerintah yang sah, ia memiliki potensi untuk bertentangan dengan Pasal
7A dan 7B UUD 1945. Oleh karena itu dengan adanya hal tersebut penulis ingin melakukan
analisis terhadap perbedaan antara tindak pidana makar antara KUHP dengan RUKHP.
4
Widayati, Lidya Suryani. (2016). “Tindak Pidana Makar”, Info Singkat Hukum, Vol 08 No. 23, hlm. 01.
5
Sofian, Ahmad. (2017). Makar dalam Hukum Positif di Indonesia. Diakses melalui laman business-
law.binus.ac.id/2017/05/31/makar-dalam-hukum-positif-indonesia/ pada tanggal 12 Oktober 2019.
6
Loebby Loqman, Loc.Cit., hal. 8
Erasmus7 menilai kata “aanslag” yang diterjemahkan sebagai makar tidaklah tepat.
Sebab, keduanya dalam konteks bahasa Indonesia jelas sangat berbeda. Padahal, sejatinya
kata “aanslag” jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lebih tepat diartikan sebagai
“serangan”. Mengenai kata makar itu sendiri, sebenarnya merupakan serapan dari bahasa
Arab yaitu “al-makr” yang berarti tipu daya, pemberontakan dan muslihat. Kesalahan dalam
menafsirkan istilah makar dalam pasal-pasal di KUHP berujung pada memendam masalah.
Hal ini berakibat ketujuh pasal tersebut mengandung ketidakjelasan rumusan dan tujuan (asas
legalitas) yang menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap delik makar.
Selain itu, ICJR juga berpendapat bahwa ada perbedaan definisi makar dalam KUHP
terjemahan bahasa Indonesia dan KUHP (asli) versi Belanda yang mengakibatkan kekeliruan
dalam penerapan pasal-pasal tindak pidana makar dalam praktik peradilan pidana. Sebab,
merujuk Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI), istilah makar
disebut aanslag yang sebenarnya diartikan dalam bahasa Indonesia adalah “serangan”. Pasal
87 KUHP terjemahan Indonesia disebutkan “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu
perbuatan apabila ada niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan
seperti disebut Pasal 53 KUHP.” Pasal 104 KUHP disebutkan “Makar dengan maksud
untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden atau
wakil presiden memerintah diancam pidana mati atau seumur hidup, atau pidana paling
lama 20 tahun.” Sedangkan Pasal 107 ayat (1) KUHP disebutkan “Makar dengan maksud
untuk menggulingkan pemerintah diancam pidana penjara paling lama 15 tahun.8
7
HukumOnline. (2016). MK Minta Luruskan Definisi Makar dalam KUHP. Diakses melalui laman
www.hukumonline.com/berita/baca/lt5853bad292be4/mk-dimintaluruskan-definisi-makar-dalam-kuhp pada
tanggal 12 Oktober 2019 pukul.
8
Hukum Online ibid
penegak hukum harus berhati-hati dalam menerapkan pasal-pasal yang berkenaan
dengan makar.
Mengenai pengertian tindak pidana makar dalam KUHP dalam Pasal 87
KUHP terdapat dalam buku kesatu KUHP mencantumkan juga frasa “Makar” namun
hal itu bukan merupakan pengaturan mengenai definisi dari “Makar”. Pasal 87 yang
berbunyi “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat
untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam
pasal 53”, dimaksudkan untuk mengatur perluasan pertanggungjawaban pidana
khusus untuk tindak pidana “makar” atau “aanslag” dimana dalam hal makar,
pertanggungjawaban pidana sudah ada apabila niat untuk itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan. Dari rumusan pasal tersebut, maka unsur utamanya
adalah:
1) Niat dan,
2) Permulaan pelaksanaan.
Namun jika dilihat lebih mendalam rumusan Pasal 87 KUHP tidak
memberikan definisi pada arti “Makar”. Pasal 87 sebagai bentuk pertanggungjawaban
“Makar” menghilangkan syarat ketiga dalam percobaan dan hanya mengadopsi unsur
pertama dan kedua, yaitu niat dan permulaan perbuatan, lalu unsur “tidak selesainya
pelaksanaan itu, bukan sematamata disebabkan karena kehendaknya sendiri”
dihapuskan, sehingga apabila seseorang sudah memiliki niat dan ada permulaan
pelaksanaan untuk melakukan makar atau serangan, pertanggungjawaban pidana
sudah dianggap ada, tanpa perlu mempertimbangkan unsur selesainya pelaksanaan
perbuatan. pemahaman unsur Pasal 87 hanya dapat dilakukan apabila “makar”
dimaknai sebagai sebuah perbuatan yang memiliki perluasan pertanggungjawaban
sendiri, apabila “makar” hanya dimaknai sebagai kata “sifat” atau “niat” sebagaimana
dalam KBBI atau pergeseran makna makar selama ini.
3.1 Kesimpulan
Dari segi penggunaan bahasa secara umum, kata ‘makar’ ternyata mengandung arti
yang lebih luas dari arti kata ‘aanslag’ dan kata ‘aanslag’ itu sendiri lebih umum diartikan
sebagai suatu ‘serangan’ atau ‘perbuatan menyerang’. Demi menjaga kejelasan dalam uraian
kami selanjutnya, karena bisa jadi ‘serangan’ yang dimaksudkan di sini lebih spesifik lagi
sifatnya, kami akan secara konsisten menggunakan kata ‘aanslag’ sebagaimana aslinya untuk
perbuatan(-perbuatan) yang tercantum di dalam Pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140
KUHP. Selain itu perlu juga dilakukan peninjauan kembalin terhadap Pasal 224 RKUHP
dengan memperhatikan kemungkinannya untuk bertentangan dengan Pasal 7A dan 7B UUD
1945.