Anda di halaman 1dari 9

TUGAS TINDAK PIDANA TERTENTU DALAM KUHP

“Analisis Tindak Pidana Makar Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)”

Disusun oleh:

I Komang Ari Buana Nusantara Panasea

NIM. 1704551161

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Meninjau dari kejadian yang terjadi di Eropa tahun 1918, Belanda merupakan satu-
satunya negara Eropa yang memiliki pasal mengenai makar “aanslag”. Hal ini terjadi karena
ketakutan Belanda pada peristiwa revolusi komunis di Rusia. Dimana Tzar Nicolas II dan
seluruh keluarganya dibantai oleh komunis. Berlatar belakang dari itu, belanda membuat UU
anti-revolusi yang kemudian tanggal 28 Juli 1920 melalui stbl No. 619 “aanslag” dalam
KUHP Belanda dimunculkan. Belajar dari pengalaman Belanda, dimasukkannya “aanslag”
ke dalam Wetbook van Strafrecht voor Nedterlands Indie pada tahun 1930 dikarenakan pada
tahun 1926 terjadi pemberontakan PKI yang dipimpin oleh Muso. Istilah “aanslag”
digunakan untuk membedakan dengan istilah “poging” atau percobaan.
Makar berasal dari kata “aanslag” (Belanda) yang berarti serangan atau “aanval” yang
berarti suatu penyerangan dengan maksud tidak baik (misdadige aanranding). Sedangkan
makar secara harfiah bermakna penyerangan atau serangan1. Makar juga diartikan sebagai
akal busuk; tipu muslihat; perbuatan (usaha) dengan maksud hendak menyerang (membunuh)
orang ataupun perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah dengan cara yang tidak
sah atau in-konstitusional. Pengertian dari istilah makar dalam KUHP terdapat dalam Pasal
87 yang dalam naskah aslinya berbunyi:2
“aanslag tot een feit bestaat, zoodra het voornemen des daders zich door een begin van
uitvoering, in-den zin van art. 53, heeft geopenbaard”
Makna dari kalimat dalam pasal 87 KUHP berarti sesuatu perbuatan dianggap ada,
apabila niat sipembuat kejahatan sudah ternyata dengan dimulainya melakukan perbuatan itu
menurut maksud pasal 53 (KUHP. 53, 104-108, 130, 139 a-c)3 atau dengan kata lain,
perbuatan makar baru ada atau baru disebut makar apabila ada “permulaan pelaksanaan”
(begin van uitvoering). Tindak pidana makar yang mengancam kepentingan umum dan
keamanan negara terdapat dalam Bab I Buku II KUHP, yang terdiri dari 3 bentuk, yaitu:

1
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2002, hlm. 07.
2
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo, 2008, hlm. 07.
3
5 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentarkomentarnya lengkap pasal
demi pasal, Bogor: Politea, 1991, hlm. 97.
1. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keamanan Kapala Negara
atau Wakilnya (Pasal 104 KUHP);
2. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi keutuhan Wilayah Negara
(Pasal 106 KUHP);
3. Makar yang menyerang terhadap kepentingan hukum bagi tegaknya Pemerintahan
Negara (Pasal 107 KUHP).
Tindak pidana dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengatur
setidaknya tiga jenis makar, yakni makar terhadap Presiden, makar terhadap NKRI, dan
makar terhadap pemerintah yang sah. Namun, ada kejanggalan dalam penyusunan klausul
makar terhadap pemerintah yang sah, ia memiliki potensi untuk bertentangan dengan Pasal
7A dan 7B UUD 1945. Oleh karena itu dengan adanya hal tersebut penulis ingin melakukan
analisis terhadap perbedaan antara tindak pidana makar antara KUHP dengan RUKHP.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan tindak pidana makar?
2. Bagaimana perbedaan tindak pidana makar yang diatur dalam KUHP dan RUKHP?

1.3 Tujuan Penelitian


Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka maksud dan
tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari tindak pidana makar
2. Untuk mengakaji Bagaimana perbedaan tindak pidana makar yang diatur dalam KUHP
dan RUKHP
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tindak Pidana Makar


Pengaturan tindak pidana mengenai makar dalam KUHP merupakan delik
formil yang dapat menimbulkan penafsiran secara luas dan berbedabeda. Maksud dari
delik formil adalah tidak diperlukan adanya akibat dari tindak pidana. Sehingga,
kemerdekaan berekspresi, berpendapat, mengeluarkan pikiran dengan lisan ataupun
tulisan, tetapi berniat, bermufakat, atau berupaya menggulingkan pemerintahan yang
sah, dapat terkena delik formil ini. Ketiadaan tafsir mengenai makar dan kapan
adanya perbuatan permulaan dalam tindak pidana makar berpotensi menimbulkan
terlanggarnya hak-hak demokrasi.4 Maka, untuk mencegah terjadinya penafsiran yang
luas dan berbeda-beda, pembentuk UU harus dapat merumuskan unsur-unsur yang
jelas mengenai tindak pidana makar dan perbuatan permulaannya, sehingga
pemerintah (aparat penegak hukum) dapat terhindar dari kemungkinan bertindak
represif terhadap kemerdekaan menyampaikan pendapat dan pikiran sebagai hak asasi
manusia yang dijamin konstitusi dan Deklarasi Universal HAM.
Makar merupakan delik karet yang memiliki penafsiran yang luas dan
beragam. Makar memiliki multipurpose act dan tidak memiliki lex scripta (kejelasan
dalam rumusan delik). Delik makar memiliki kemiripan dengan delik-delik subversi
yang pernah diatur dalam UU No. 11/PNPS/1963. UU ini digolongkan sebagai UU
yang dapat mengkriminalkan semua kelompok yang bersebrangan dengan penguasa.5
Loebby Loqman berpendapat bahwa Delik Terhadap Keamanan Negara, dalam
prakteknya sering menimbulkan masalah apabila kita hubungkan dengan
pembuktiannya. Suatu perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan dalam suatu
percobaan melakukan delik terhadap keamanan negara, akan mengalami perbedaan
dalam pembuktiannya, meskipun tetap menggunakan “teori percobaan” baik subyektif
maupun yang obyektif seperti dalam delik biasa.6

4
Widayati, Lidya Suryani. (2016). “Tindak Pidana Makar”, Info Singkat Hukum, Vol 08 No. 23, hlm. 01.
5
Sofian, Ahmad. (2017). Makar dalam Hukum Positif di Indonesia. Diakses melalui laman business-
law.binus.ac.id/2017/05/31/makar-dalam-hukum-positif-indonesia/ pada tanggal 12 Oktober 2019.
6
Loebby Loqman, Loc.Cit., hal. 8
Erasmus7 menilai kata “aanslag” yang diterjemahkan sebagai makar tidaklah tepat.
Sebab, keduanya dalam konteks bahasa Indonesia jelas sangat berbeda. Padahal, sejatinya
kata “aanslag” jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lebih tepat diartikan sebagai
“serangan”. Mengenai kata makar itu sendiri, sebenarnya merupakan serapan dari bahasa
Arab yaitu “al-makr” yang berarti tipu daya, pemberontakan dan muslihat. Kesalahan dalam
menafsirkan istilah makar dalam pasal-pasal di KUHP berujung pada memendam masalah.
Hal ini berakibat ketujuh pasal tersebut mengandung ketidakjelasan rumusan dan tujuan (asas
legalitas) yang menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap delik makar.
Selain itu, ICJR juga berpendapat bahwa ada perbedaan definisi makar dalam KUHP
terjemahan bahasa Indonesia dan KUHP (asli) versi Belanda yang mengakibatkan kekeliruan
dalam penerapan pasal-pasal tindak pidana makar dalam praktik peradilan pidana. Sebab,
merujuk Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI), istilah makar
disebut aanslag yang sebenarnya diartikan dalam bahasa Indonesia adalah “serangan”. Pasal
87 KUHP terjemahan Indonesia disebutkan “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu
perbuatan apabila ada niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan
seperti disebut Pasal 53 KUHP.” Pasal 104 KUHP disebutkan “Makar dengan maksud
untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan presiden atau
wakil presiden memerintah diancam pidana mati atau seumur hidup, atau pidana paling
lama 20 tahun.” Sedangkan Pasal 107 ayat (1) KUHP disebutkan “Makar dengan maksud
untuk menggulingkan pemerintah diancam pidana penjara paling lama 15 tahun.8

2.2 Perbedaan Tindak Pidana Makar dalam KUHP dan RKUHP

I. Makar dalam KUHP


Dalam KUHP, delik makar muncul dalam bab pertama tentang kejahatan. Ia
masuk kategori Kejahatan terhadap Negara dan menjadi turunan langsung dari
kedaulatan negara. Karena tugas pasal itu adalah menjaga keutuhan negara dan sangat
genting, aparat dapat melakukan tindakan apabila mencium gelagat warga yang
mengarah ke makar. Pasal-pasal makar pernah diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK)
dan MK menyatakan pasal makar adalah konstitusional. Namun MK menegaskan

7
HukumOnline. (2016). MK Minta Luruskan Definisi Makar dalam KUHP. Diakses melalui laman
www.hukumonline.com/berita/baca/lt5853bad292be4/mk-dimintaluruskan-definisi-makar-dalam-kuhp pada
tanggal 12 Oktober 2019 pukul.
8
Hukum Online ibid
penegak hukum harus berhati-hati dalam menerapkan pasal-pasal yang berkenaan
dengan makar.
Mengenai pengertian tindak pidana makar dalam KUHP dalam Pasal 87
KUHP terdapat dalam buku kesatu KUHP mencantumkan juga frasa “Makar” namun
hal itu bukan merupakan pengaturan mengenai definisi dari “Makar”. Pasal 87 yang
berbunyi “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat
untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam
pasal 53”, dimaksudkan untuk mengatur perluasan pertanggungjawaban pidana
khusus untuk tindak pidana “makar” atau “aanslag” dimana dalam hal makar,
pertanggungjawaban pidana sudah ada apabila niat untuk itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan. Dari rumusan pasal tersebut, maka unsur utamanya
adalah:
1) Niat dan,
2) Permulaan pelaksanaan.
Namun jika dilihat lebih mendalam rumusan Pasal 87 KUHP tidak
memberikan definisi pada arti “Makar”. Pasal 87 sebagai bentuk pertanggungjawaban
“Makar” menghilangkan syarat ketiga dalam percobaan dan hanya mengadopsi unsur
pertama dan kedua, yaitu niat dan permulaan perbuatan, lalu unsur “tidak selesainya
pelaksanaan itu, bukan sematamata disebabkan karena kehendaknya sendiri”
dihapuskan, sehingga apabila seseorang sudah memiliki niat dan ada permulaan
pelaksanaan untuk melakukan makar atau serangan, pertanggungjawaban pidana
sudah dianggap ada, tanpa perlu mempertimbangkan unsur selesainya pelaksanaan
perbuatan. pemahaman unsur Pasal 87 hanya dapat dilakukan apabila “makar”
dimaknai sebagai sebuah perbuatan yang memiliki perluasan pertanggungjawaban
sendiri, apabila “makar” hanya dimaknai sebagai kata “sifat” atau “niat” sebagaimana
dalam KBBI atau pergeseran makna makar selama ini.

II. Makar dalam RKUHP


Tindak pidana dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
mengatur setidaknya tiga jenis makar, yakni makar terhadap Presiden, makar terhadap NKRI,
dan makar terhadap pemerintah yang sah.
Namun, ada kejanggalan dalam penyusunan klausul makar terhadap pemerintah yang
sah, ia memiliki potensi untuk bertentangan dengan Pasal 7A dan 7B UUD 1945.
Pengaturan mengenai pidana makar terhadap pemerintah yang sah terdapat dalam Pasal 224
RKUHP yang berbunyi, “Setiap orang yang melakukan makar dengan maksud
menggulingkan dan/atau mengambil alih pemerintah yang sah, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.” Narasi pasal ini
cukup berbeda dengan muatan materi pasal-pasal lain yang mengatur pidana makar, di mana
melibatkan adanya unsur pembunuhan, memisahkan diri dari NKRI (disintegrasi), ataupun
melakukan pemberontakan dengan senjata.
Jika dicermati, muatan Pasal 224 RKUHP ini mensyaratkan adanya upaya
penggulingan dan/atau pengambilalihan sebagai unsur pidana yang harus dipenuhi. Padahal,
upaya penggulingan dan/atau pengambilalihan terhadap pemerintah yang sah pada pokoknya
dapat dilakukan secara konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD
1945.
Secara tegas Pasal 7A UUD 1945 menyatakan bahwa seorang Presiden dan/atau
Wakil Presiden dapat diberhentikan apabila melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau
perbuatan tercela atau tidak mampu lagi menjadi seorang Presiden. Dalam hal menurunkan
Presiden yang sah ini. diperlukan sebuah usul yang terlebih dahulu diajukan oleh minimal
dua per tiga anggota DPR untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 7B UUD J945.
Klausul “menggulingkan” atau “mengambil alih” sebagaimana dikandung dalam
Pasal 224 RKUHP memiliki potensi untuk menghambat mekanisme pengawasan yang
dimiliki secara konstitusional oleh DPR. Manakala pada sebuah waktu di masa depan,
sekelom-pok orang oposisi yang ada di DPR menemukan dan menggali dugaan
pengkhianatan, korupsi, penyuapan, dan pidana berat yang dilakukan Presiden maka
sekelompok orang ini akan dimungkinkan dituduh dengan pidana makar menggulingkan
pemerintah yang sah.
Begitu juga dengan kelompok masyarakat lainnya, yang misalnya menemukan adanya
bukti Presiden melakukan tindakan yang bertentangan dengan Pasal 7A UUD 1945, seperti
pengkhianatan, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya, maka akan berpotensi
untuk dijerat menggunakan Pasal 224 RKUHP ini sebelum dapat dimohonkan ke Mahkamah
Konstitusi melalui DPR.
Istilah impeachment atau pemakzulan sendiri memiliki makna untuk membuat
seorang pejabat tidak lagi menduduki jabatan itu (removal from office). Sehingga pada
prinsipnya, proses pemakzulan/f/npeac/i-ment juga merupakan proses menggulingkan
Presiden dan/atau Waki] Presiden yang sah. Oleh karena itu, pengaturan mengenai tindak
pidana makar terhadap pemerintah yang sah harus diperjelas kembali agar tidak menghambat
proses pengawasan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Namun, dalam konteks penggunaan batu uji Pasal 7A dan 7B UUD 1945, maka boleh
jadi Pasal 224 RKUHP (Pasal 107 KUHP) memiliki potensi untuk mengebiri oposisi yang
berseberangan dengan pemerintah yang sah. Sayangnya, Pasal 7A dan 7B UUD 1945 tidak
digunakan pemohon untuk menguji Pasal 107 KUHP yang menjadi cikal bakal Pasal 224
RKUHP. Selanjutnya, yang juga patut menjadi perhatian adalah frasa “menggulingkan”, di
mana makna ini sebenarnya dapat digunakan secara konstitusional melalui terminologi
pemakzulan dan impeachment.
Selagi masih ada kesempatan mewujudkan masa depan demokrasi yang sejalan
dengan cita-cita negara hukum, ada baiknya Pasal 224 RKUHP ditinjau kembali dengan
memperhatikan kemungkinannya untuk bertentangan dengan Pasal 7A dan 7B UUD 1945
sebagai perwujudan checks and balances yang dapat dilakukan oleh para oposisi yang hendak
melakukan proses pemakzulan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari segi penggunaan bahasa secara umum, kata ‘makar’ ternyata mengandung arti
yang lebih luas dari arti kata ‘aanslag’ dan kata ‘aanslag’ itu sendiri lebih umum diartikan
sebagai suatu ‘serangan’ atau ‘perbuatan menyerang’. Demi menjaga kejelasan dalam uraian
kami selanjutnya, karena bisa jadi ‘serangan’ yang dimaksudkan di sini lebih spesifik lagi
sifatnya, kami akan secara konsisten menggunakan kata ‘aanslag’ sebagaimana aslinya untuk
perbuatan(-perbuatan) yang tercantum di dalam Pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140
KUHP. Selain itu perlu juga dilakukan peninjauan kembalin terhadap Pasal 224 RKUHP
dengan memperhatikan kemungkinannya untuk bertentangan dengan Pasal 7A dan 7B UUD
1945.

Anda mungkin juga menyukai