Anda di halaman 1dari 40

ANALISA RESTITUSI PPN LEBIH BAYAR ATAS KASUS

BANDING PERUSAHAAN “D” MELALUI PENGADILAN PAJAK

Oleh :

Nama : Michelle Gracesilia

NIM : 34130183

Proposal Skripsi

Program Studi : Akuntansi

Konsentrasi : Perpajakan

INSTITUT BISNIS dan INFORMATIKA INDONESIA KWIK KIAN GIE

JAKARTA

Oktober, 2016
ANALISA RESTITUSI PPN LEBIH BAYAR ATAS KASUS

BANDING PERUSAHAAN “D” MELALUI PENGADILAN PAJAK

Oleh :

Nama : Michelle Gracesilia

NIM : 34130183

Proposal Skripsi

Program Studi : Akuntansi

Konsentrasi : Perpajakan

INSTITUT BISNIS dan INFORMATIKA INDONESIA KWIK KIAN GIE

JAKARTA

Oktober, 2016

INTISARI
Adanya perbedaan perhitungan antara Wajib Pajak (WP) dengan fiskus pajak

menyebabkan terjadinya perselisihan yang menyebabkan WP akhirnya memutuskan

untuk mengajukan banding ke pengadilan pajak. Perbedaan ini bisa timbul karena

adanya perbedaan pendapat mengenai dasar hukum yang seharusnya digunakan, beda

persepsi ketentuan peraturan pajak, dan lain sebagainya. WP dapat mengajukan

keberatannya melalui Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan Direktur Jendral Pajak.

WP dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak

(restitusi) atas PPN yang telah lebih dibayarkan atau dapat dijadikan sebagai kredit

pajak (kompensasi). Namun sayangnya dalam pelaksanaannya masih banyak WP yang

belum mengerti prosedur hukum apa yang harus dilakukan untuk memperoleh restitusi

PPN karena pemerintah masih kurang mensosialisasikan aturan-aturan perpajakan

kepada masyarakat.

Sehubungan dengan topik berikut, masalah-masalah yang ingin diteliti adalah

apa penyebab terjadinya lebih bayar PPN pada PT. “X”, bagaimana cara mengajukan

restitusi untuk memperoleh kembali PPN itu, prosedur banding yang harus dilakukan

dan bagaimana dampak pengajuan banding restitusi lebih bayar tersebut.

Penelitian ini pun penulis lakukan dengan tujuan agar penulis dapat

mengetahuifaktor penyebab terjadinya lebih bayar PPN pada PT.”X”, cara mengajukan

restitusi untuk memperoleh kembali PPN lebih bayar, mengetahui prosedur banding

yang harus dilakukan oleh PT.”X” dan mengetahui dampak pengajuan banding restitusi

PPN.

Metodologi Penilitian yang dilakukan penulis adalah dengan mengumpulkan

data sekunder yang penulis terima secara tidak langsung melalui media perantara. Data
yang dimaksud adalah berupa dokumen yang diperoleh dari pengadilan pajak atas

putusan pengadilan mengenai kasus banding restitusi PPN lebih bayar. Metode yang

dipakai untuk memperoleh data-data terkait adalah dengan melakukan penelitian

kepustakaan (library research), dan penelitian lapangan (field research) yang dimana

penelitian tersebut dapat dilakuakn dengan cara observasi dan wawancara.


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pajak  adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang,

sehingga dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat balas jasa secara langsung.

Menurut Charles E.McLure, pajak adalah kewajiban finansial atau retribusi

yang dikenakan terhadap wajib pajak (orang pribadi atau Badan)

oleh Negara atau institusi yang fungsinya setara dengan negara yang digunakan

untuk membiayai berbagai macam pengeluaran publik. Karena itulah pajak

merupakan salah satu sumber penerimaan Negara yang memberikan kontribusi

yang cukup besar untuk membantu pemerintah meningkatkan Pembangunan

Nasional (fungsi budgetair). Selain sebagai sumber penerimaan Negara, pajak

juga dapat digunakan pemerintah sebagai alat untuk mengatur atau untuk

melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi (fungsi

regulerend).

Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia adalah Self

Assessment System, yaitu sistem pemungutan pajak yang memberikan

wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri, melaporkan sendiri,

dan membayar sendiri pajak yang terhutang yang seharusnya dibayar. Namun

pada prakteknya, dalam pelaksanaan ketentuan perpajakan sering terjadi bahwa

WP merasa kurang atau tidak puas atas suatu ketetapan pajak yang dikenakan

atas pemotongan/pemungutan pajak oleh pihak ketiga. Hal tersebut

menyebabkan timbulnya sengketa pajak antara WP dengan pejabat berwenang.


Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan

antara WP atau Penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai

akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan

kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan

perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan UU

Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU No.19 tahun 2000)

Sengketa pajak tidak harus diselesaikan di Pengadilan Pajak, tetapi

sengketa pajak bisa juga diselesaikan di internal Direktorat Jendral Pajak.

Sengketa pajak yang diselesaikan di internal Direktorat Jendral Pajak meliputi

(Iswahyudi, 2005:8) :

1. Keberatan;

2. Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak;

3. Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi; dan

4. Pembetulan

Apabila WP tidak/belum puas atau tidak dapat enerima hasil putusan

keberatan, maka WP dapat mengajukan permohonan banding hanya ke

Pengadilan Pajak. Ketentuan tentang banding diatur secara khusus di UU

No.14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Salah satu permasalahan sengketa pajak yang sering terjadi adalah

masalah PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Masalah akan timbul ketika terjadi

perbedaan perhitungan atas jumlah PPN antara WP dengan fiskus pajak.

Perbedaan tersebut bisa timbul karena adanya perbedaan pendapat mengenai

dasar hukum yang seharusnya digunakan, adanya perbedaan persepsi atas


ketentuan peraturan pajak, perselisihan atas suatu transaksi tertentu, atau bisa

juga disebabkan oleh hal-hal lainnya.

WP yang merasa tidak puas dapat mengajukan keberatan atas suatu Surat

Ketetapan Pajak yang telah diterbitkan oleh Direktur Jendral Pajak, kemudian

WP dapat melakukan bandung jika masih tidak puas dengan putusan keberatan

yang dikeluarkan Direktur Jendral Pajak, atau bisa juga melakukan upaya

hukum melalui gugatan. WP dapat mengajukan permohonan pengembalian

kelebihan pembayaran pajak (restitusi) atas PPN yang telah lebih dibayarkan

atau dapat dijadikan sebagai kredit pajak (kompensasi).

Dalam UU Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU

Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) tidak menjelaskan apa yang dimaksud

dengan restitusi atau pengembalian kelebihan pajak. Istilah restitusi sendiri

sebenarnya tidak dikenal dalam UU Pajak di Indonesia. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, restitusi berarti ganti rugi atau pembayaran kembali.

Sehingga istilah yang lebih cocok dan sesuai dengan terminologi di UU Pajak

di Indonesia adalah  pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

Pada prakteknya, masih ada WP yang belum mengerti betul tata cara

melakukan restitusi kelebihan bayar PPN sehingga masih banyak di antara

mereka yang gugatannya masih belum di diterima/disetujui di pengadilan

pajak.
Melihat permasalahan sengketa pajak yang masih kerap kali terjadi

antara WP dengan pejabat yang berwenang khususnya mengenai restitusi PPN

yang diupayakan melalui banding di Pengadilan Pajak, maka penulis tertarik

untuk meneliti mengenai “ANALISA RESTITUSI PPN LEBIH BAYAR

ATAS KASUS BANDING PERUSAHAAN “D” MELALUI

PENGADILAN PAJAK”.

1.2. Perumusan Masalah

Sehubungan dengan ketertarikan penulis untuk meneliti mengenai

“ANALISA RESTITUSI PPN LEBIH BAYAR ATAS KASUS BANDING

PERUSAHAAN “D” MELALUI PENGADILAN PAJAK”, maka masalah-

masalah yang diteliti oleh penulis adalah :

1. Apa yang menjadi penyebab terjadinya lebih bayar PPN pada PT

“D”?

2. Bagaimana cara PT “D” melakukan pengajuan restitusi untuk

memperoleh kembali PPN lebih bayar tersebut?

3. Bagaimana prosedur banding yang harus dilakukan PT ”D” terhadap

pengajuan banding restitusi PPN lebih bayarnya?

4. Apa dampak pengajuan banding restitusi PPN lebih bayar tersebut

pada PT “D”?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulis dari penelitian atas kasus restitusi PPN melalui

banding di Pengadilan Pajak adalah :


1. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya lebih bayar PPN pada

PT “D”.

2. Untuk mengetahui cara mengajukan restitusi untuk memperoleh

kembali PPN lebih bayar tersebut pada PT “D”.

3. Untuk mengetahui prosedur banding yang harus dilakukan PT”D”

terhadap pengajuan restitusi PPN lebih bayarnya.

4. Untuk mengetahui dampak pengajuan banding restitusi PPN lebih

bayar tersebut pada PT “D”.

1.4. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian pada kasus “ANALISA RESTITUSI PPN

LEBIH BAYAR ATAS KASUS BANDING PERUSAHAAN “D” MELALUI

PENGADILAN PAJAK”, penulis berharap dapat memberikan manfaat kepada

para pembaca, yaitu :

1. Bagi Perusahaan

Dapat membantu memberikan informasi kepada WP yang

mengalami kasus banding atas restitusi PPN lebih bayar di

Pengadilan Pajak, sehingga dapat mempermudah WP dalam

memproses pelaksanaan restitusi PPN lebih bayarnya.

2. Bagi Masyarakat

Dapat memberikan tambahan pengetahuan kepada masyarakat

yang masih belum mengetahui mengenai restitusi PPN melalui

banding di Pengadilan Pajak.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang relevan terkait

dengan penelitian yang penulis lakukan. Teori yang dipaparkan pada bab ini

berisikan penjelasan mengenai teori-teori dasar yang digunakan sebagai

landasan untuk memecahkan masalah yang akan dibahas lebih lanjut.

2.1. Pengadilan Pajak

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 yang telah

mengalami perubahan yang ketiga atas undang-undang nomor 6 tahun 1983

Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (KUP) adalah

peraturan perpajakan yang mengatur tentang Ketentuan Umum Dan Tata

Cara Perpajakan bagi wajib pajak yang mulai berlaku pada 1 Januari 2008.

Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 terdapat tata cara tentang

pelaksanaan hak dan kewajiban sebagai Wajib Pajak.

Pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, tepatnya pada pasal

11 dibahas mengenai Wajib Pajak (WP) berhak untuk mengajukan banding.

WP dapat mengajukan banding hanya kepada bdan peradilan pajak terhadap

keputusan mengenai keberatan yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak. Badan

peradilan pajak yag dimaksud adalah “Pengadilan Pajak” yang dibentuk

dengan landasan UU Nomor 14 Tahun 2002. Pengadilan Pajak inilah yang


melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi WP atau Penanggung Pajak yang

mencari keadilan terhadap sengketa pajak.

Merujuk pada UU Nomor 14 Tahun 2002, proses banding di

Pengadilan Pajak akan ditangani oleh Majelis, terdiri dari seorang yang

ditunjuk sebagai Hakim Ketua dan dua orang Hakim Anggota, atau

cukup ditangani Hakim Tunggal. Selain menagani badning atas sengketa

pajak, Pengadilan Pajak juga menangani gugatan yang diajukan oleh WP

atau Penanggung Pajak atas pelaksanaan penagihan pajak oleh fiskus.

Pengertian Banding menurut Pasal 1 ayat (6) UU Nomor 14

Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yakni :

“Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib

Pajak atau Penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat

diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan

perpajakan yang berlaku.”

Penulis tidak membahas lebih jauh mengenai gugatan atas

pelaksanaan penagihan di karenakan penulis hanya melakukan penelitian

mengenai kasus banding atas sengketa pajak saja.

2.1.1 Kekuasaan Pengadilan Pajak

Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang

memeriksa dan memutus sengketa pajak, sesuai dengan bunyi

ketentuan Pasal 31 UU Pengadilan Pajak tahun 2002 :

1. Dalam hal banding, pengadilan pajak hanya memeriksa

dan memutuskan sengketa atas keputusan keberatan,


kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

2. Dalam hal gugatan, pengadilan pajak memeriksa dan

memutuskan sengketa atas pelaksanaan penagihan

pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan

lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat

(2) UU KUP tahun 2000 dan perundang-undangan

perpajakan yang berlaku.

Selain tugas dan wewenang tersebut, Pengadilan Pajak

mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum

kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam siding-sidang

Pengadilan Pajak. Pengawasan yang dimaksud diatur lebih lanjut

dengan Keputusan Ketua Pengadilan Pajak.

Pengadilan Pajak merupakan pengadilan tingkat pertama

dan terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.

Untuk keperluan Pemeriksaan Pajak, Pengadilan Pajak dapat

memanggil atau meminta data atau keterangan yang berkaitan

dengan Sengketa Pajak dari pihak ketiga sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

2.2. Kronologi Timbulnya Sengketa Banding

Banding diawali dengan adanya sengketa atau ketidaksetujuan WP

atas ketetapan pajak yang diterbitkan oleh fiskus. Ketetapan tersebut

diterbitkan atas dasar hasil pemeriksaan fiskus, baik pemeriksaan lapangan


maupun pemeriksaan kantor yang disertai koreksi fiscal dan umumnya

menyebabkan jumlah pajak yang terhutang menurut fiscal menjadi lebih

besar daripada jumlah yang telah dihitung, disetor, dan dilaporkan oleh WP.

Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, WP berhak mengajukan

permohonan keberatan kepada Dirjen Pajak atas ketetapan pajak yang tidak

disetujuinya. Berdasarkan ketentuan Pasal 25 ayat (1) UU KUP tahun 2000

keberatan dapat diajukan atas ketetapan pajak berupa :

1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)

2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)

3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)

4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) dan

5. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Ketetapan pajak tersebut di atas bisa dikenakan untuk jenis pajak

PPh (Pajak Penghasilan), PPN (Pajak Pertambahan Nilai), PPnBM (Pajak

Penjualan Atas Barang Mewah), PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), BPHTB

(Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Atau Bangunan), Bea dan Cukai, serta

Pajak Daerah dan Retribusi.

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat

Jenderal Pajak (DJP), maka akan diterbitkan suatu surat ketetapan pajak,

yang dapat mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih

bayar, atau nihil. Jika Wajib Pajak tidak sependapat maka dapat mengajukan

keberatan atas surat ketetapan tersebut. Selanjutnya apabila belum puas


dengan keputusan keberatan tersebut maka Wajib Pajak dapat mengajukan

banding. Langkah terakhir yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dalam

sengketa pajak adalah peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

(www.pajak.go.id)

a. KEBERATAN

Wajib Pajak mempunyai hak untuk mengajukan keberatan

atas suatu ketetapan pajak dengan mengajukan keberatan secara

tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 3 bulan sejak

tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan

atau pemungutan kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan

bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di

luar kekuasaannya.

Atas keberatan tersebut Direktur Jenderal Pajak akan

memberikan keputusan paling lama dalam jangka waktu 12 (dua

belas) bulan sejak surat keberatan diterima. Syarat pengajuan

keberatan adalah:

1. Mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak

Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat atas SKPKB, SKPKBT,

SKPLB, SKPN, dan Pemotongan dan Pemungutan oleh pihak

ketiga.

2. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan

mengemukakan jumlah pajak terutang menurut perhitungan

Wajib Pajak dengan menyebutkan alasanalasan yang jelas.


3. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan

sejak surat ketetapan pajak, kecuali Wajib Pajak dapat

menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi

karena di luar kekuasaannya.

4. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan di atas tidak

dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak

dipertimbangkan.

5. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat

ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih

harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib

Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat

keberatan disampaikan.

Perlu diketahui bahwa apabila permohonan keberatan Wajib

Pajak ditolak dan Wajib Pajak tidak mengajukan banding maka

Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50%

(lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan

keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum

mengajukan keberatan.

b. BANDING

Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat

Keputusan Keberatan atas keberatan yang diajukannya, maka Wajib

Pajak masih dapat mengajukan banding ke Badan Peradilan Pajak.

Syarat pengajuan banding adalah:


1. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa

Indonesia dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan

diterima dilampiri surat Keputusan Keberatan tersebut.

2. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.

Pengadilan Pajak harus menetapkan putusan paling lambat 12

(dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima. Dalam hal

permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak

dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus

persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi

dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan

keberatan.

c. PENINJAUAN KEMBALI

Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Putusan

Banding, maka Wajib Pajak masih memiliki hak mengajukan

Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan

Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada

Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Pengajuan

permohonan PK dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3

(tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu

muslihat atau sejak putusan Hakim Pengadilan pidana memperoleh

kekuatan hukum tetap atau ditemukannya bukti tertulis baru atau

sejak putusan banding dikirim.


Mahkamah Agung mengambil keputusan dalam jangka waktu 6

(enam) bulan sejak permohonan PK diterima. (www.pajak.go.id)

Pemeriksaan SKP Keberatan Banding

Sumber : SmarTaxes Series (2004)

Apabila keputusan keberatan menyatakan menerima seluruh

keberatan WP, maka sengketa telah terselesaikan pada proses itu.

Tetapi, apabila keputusan keberatan menyatakan menolak atau

menerima sebagaian, sangat mungkin WP belum menyetujui

keputusan tersebut. Jika kemudian WP mengajukan banding atas

keputusan keberatan yang tidak disetujuinya, maka terjadilah

sengketa banding.

2.2.1 Sengketa Pajak Dalam Proses Banding

Sengketa banding adalah sengketa yang timbul dalam bidang

perpajakan antara WP dengan fiskus, mengenai keputusan keberatan

yang tidak disetujui oleh WP. Jadi, sebagaimana halnya keberatan,

WP atau Penanggung Pajaklah yang harus mengajukan banding.

Sengketa banding bisa menyangkut masalah formal maupun

material. Namun kebanyakan WP menyangka sengketa banding

hanya menyangkut sengketa material, sehingga sering kali tidak

disadari bahwa sengketa mungkin sudah berawal saat fiskus mulai

melaksanakan pemeriksaan terhadap WP yang bersangkutan.


1. Sengketa Formal

Sengketa formal timbul apabila WP atau fiskus

atau keduanya tidak mematuhi prosedur dan tata cara

yang telah ditetapkan oleh UU Perpajakan, khususnys UU

KUP Nomor 16 Tahun 2000 dan UU Pengadilan Pajak

Nomor 14 Tahun 2002. Bagi fiskus, UU KUP telah

menetapkan prosedur dan tata cara pemeriksaan pajak,

penertiban ketetapan pajak, sampai penerbitan keputusan

keberatan. Apabila fiskus melanggar ketentuan tersebut,

maka pelanggaran itulah yang menimbulkan sengketa

formal dari pihak fiskus. Di lain pihak, sengketa formal

dari pihak WP bisa terjadi apabila WP tidak

melaksanakan prosedur dan tata cara yang ditetapkan

dalam UU KUP Nomor 16 Tahun 2000 maupun UU

Pengadilan Pajak Nomor 14 Tahun 2002.

2. Sengketa Material

Sengketa Material atau disebut juga materi

sengketa,terjadi apabila terdapat perbedaan jumlah pajak

yang terhutang atau terdapat perbedaan jumlah pajak yang

lebih dibayar (dalam kasus restitusi) menurut perhitungan

fiskus yang tercantum pada ketetapan pajak, dengan

jumlah menurut perhitungan WP. Perbedaan tersebut bisa

timbul karena adanya perbedaan pendapat mengenai dasar


hukum yang seharusnya digunakan, beda persepsi atas

ketentuan peraturan pajak, perselisihan atas suatu

transaksi tertentu, atau bisa juga disebabkan oleh hal-hal

lainnya. Kesemuanya itu dapat mengakibatkan jumlah

pajak yang ditetapkan oleh fiskus menjadi berbeda

dibandingkan dengan jumlah pajak menurut perhitungan

WP, Perbedaan jumlah pajak menurut fiskus dengan WP

itulah yang merupakan sengketa material.

2.2.2 Ketentuan Formal Pengajuan Banding

Ketentuan formal mengenai pelaksanaan banding diatur

dalam ketentuan Pasal 27 UU KUP Tahun 2000 dan UU

Pengadilan Pajak Tahun 2002 dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding

hanya kepada badan peradilan pajak terhadap

keputusan keberatan yang ditetapkan oleh Dirjen

Pajak.

2. Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan

keputusan tata usaha Negara.

3. Pengajuan permohonan banding tidak menunda

kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan

penagihan pajak.

4. Syarat Formal Pengajuan Banding


a. Banding diajukan dengan surat banding dalam

Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak,

b. Banding dilakukan dalam jangka waktu 3

(tiga) bulan sejak tanggal diterima surat

keputusan dibanding,

c. Terhadap 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu)

surat banding,

d. Banding diajukan dengan disertai alasan-

alasan yang jelas dan mencantumkan tanggal

terima Surat Keputusan Direktur Jenderal

Pajak serta mencantumkan nomor dan tanggal

Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang

diajukan banding,

e. Bersama surat banding dilampirkan salinan

surat keputusan yang dibanding

f. Bersama surat banding dilampirkan bukti

pembayaran 50% atas pajak yang terutang

(khusus berlaku untuk tahun pajak 2007 dan

sebelumnya saja),

g. Pada surat banding dilampiri bukti

pembayaran atas pajak yang masih harus

dibayar sesuai yang telah disetujui dalam

pembahasan akhir hasil pemeriksaan (berlaku


khusus untuk tahun pajak 2008 dan seterusnya

saja),

h. Surat banding ditanda tangani oleh pemohon

banding atau kuasanya dilampiri dengan surat

kuasa khusus.

5. Pencabutan Banding

WP yang sudah mengajukan Surat Banding ke

Pengadilan Pajak dapat mencabut bandingnya dengan

mengajukan surat pernyataan pencabutan kepada

Pengadilan Pajak. Banding yang dicabut akan dihapus

dari daftar sengketa dengan :

a. Penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan

pencabutan diajukan sebelum siding

dilaksanakan.

b. Putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui

pemeriksaan dalam hal surat pernyataan

pencabutan diajukan dalam siding atas

persetujuan terbanding.

Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau

putusan tidak dapat diajukan kembali.

2.2.3 Proses Pelaksanaan Banding

Prosedur dan tata cara banding, termasuk batasan jangka

waktunya, telah ditetapkan di dalam ketentuan UU Pengadilan


Pajak. Berikut ini adalah gambar proses banding yang telah

memenuhi ketentuan formal :

Gambar 2.2.3 Proses dan Jangka Waktu Pelaksanaan Banding

ke Pengadilan Pajak

Keterangan:

- Jangka waktu yang tercantum dalam gambar ini adalah jangka

waktu maksimal (paling lambat)

- PP = Pengadilan Pajak

- WP = Wajib Pajak Pemohon Banding


- Terbanding = Fiskus (pejabat berwenang yang mewakili Dirjen

Pajak)

- SUB = Surat Uraian Banding

Dalam ketentuan Pasal 45 ayat (5) UU Pengadilan Pajak

telah ditegaskan, bahwa Pengadilan Pajak tetap akan melanjutkan

pemeriksaan banding meskipun fiskus tidak menyerahkan Surat

Uraian banding (SUB) atau Surat Tanggapan dan WP Pemohon

Banding tidak menyampaikan Surat Bantahan. Hal itu bisa

diartikan, pembuatan SUB oleh fiskus maupun Surat Bantahan

oleh WP bukan merupakan suatu keharusan. Namun, baik SUB

maupun Surat Bantahan sebenarnya sangat penting. Sebab,

keduanya bisa menjadi saran untuk saling menyampaikan

pendapat, argumen, dan bukti-bukti dari masing-masing pihak

yang bersengketa. Secara tidak langsung hal itu dapat membentuk

opinni yang benar di mata Majelis atau Hakim Pengadilan Pajak

yang menangani sengketa.

2.3 Persiapan Persidangan

Dalam persiapan sidang ini, maka proses yang dilakukan adalah:

1. Pengadilan Pajak meminta Surat Uraian Banding atas Surat Banding

kepada Terbanding dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak

tanggal diterima Surat Banding.Dalam hal Pemohon Banding

mengirimkan surat atau dokumen susulan kepada Pengadilan Pajak,


jangka waktu 14 (empat belas) hari dihitung sejak tanggal diterima

surat atau dokumen susulan dimaksud.

2. Terbanding (dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak atau Direktorat

Jenderal Bea dan Cukai) menyerahkan Surat Uraian Banding dalam

jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat

Uraian banding.

3. Salinan Surat Uraian Banding (yang telah diterima dari Terbanding)

oleh Pengadilan Pajak dikirim kepada Pemohon Banding dalam

jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima, untuk

selanjutnya dibuatkan Surat Bantahan oleh Pemohon Banding.

4. Pemohon Banding dapat menyerahkan Surat Bantahan kepada

Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak

tanggal diterima salinan Surat Uraian Banding. Salinan Surat

Bantahan ini dikirimkan oleh Pengadilan Pajak kepada Terbanding,

dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima

Surat Bantahan.

5. Apabila Terbanding tidak memenuhi ketentuan untuk mengirimkan

Surat Uraian Banding atau serta Pemohon Banding tidak memenuhi

ketentuan untuk mengirimkan Surat Bantahan, Pengadilan Pajak

tetap melanjutkan pemeriksaan Banding.

2.3.1 Putusan Pengadilan Pajak

Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan

mempunyai kekuatan hukum tetap. Pengadilan Pajak dapat


mengeluarkan putusan sela atas Gugatan berkenaan dengan

permohonan Penggugat agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan

pajak ditunda selama pemeriksaan Sengketa Pajak sedang berjalan,

sampai ada putusan Pengadilan Pajak. Pihak-pihak yang bersengketa

dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak

kepada Mahkamah Agung. Putusan pemeriksaan dengan acara biasa

atas banding sesuai ketentuan Pasal 81 UU Pengadilan Pajak Tahun

2002 diambil dalam jangka waktu 12 bulan sejak Surat Banding

diterima. Dalam hal-hal khusus, jangka waktu tersebut diperpanjang

paling lama 3 bulan. Sesuai dengan Pasal 80 UU Pengadilan Pajak

Tahun 2002, putusan Pengadilan Pajak dapat berupa :

a. Menolak

b. Mengabulkan sebagian atau seluruhnya

c. Menambah pajak yang harus dibayar

d. Tidak dapat diterima

e. Membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung;

dan/atau

f. Membatalkan

Terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi diajukan Gugatan,

Banding, atau Kasasi. Namun pihak-pihak yang bersengketa baik

WP Pemohon Banding maupun fiskus (pihak Terbanding), dapat

mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Pengadilan

Pajak kepada Mahkamah Agung.


Putusan sengketa pajak atas pemeriksaan dengan acara cepat

(PAC) sesuai dengan ketentuan Pasal 82 UU Pengadilan Pajak

Tahun 2002

2.3.2. Pelaksanaan Putusan

Dalam ketentuan Pasal 87 dan Pasal 88 UU Pengadilan Pajak

Tahun 2002, salinan putusan atau salinan penetapan Pengadilan

Pajak dikirim kepada para pihak dengan surat oleh Sekretaris dalam

jangka waktu 30 hari sejak tanggal putusan Pengadilan Pajak

diucapkan, atau dalam jangka waktu 7 hari sejak tanggal putusan

diucapkan.

Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan dengan

tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali

peraturan perundang-undangan mengatur lain. Putusan Pengadilan

Pajak harus dilaksanakan oleh Pejabat yang berwenang dalam jangka

waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterima putusan.

Pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan Pajak dalam

jangka waktu tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan

kepegawaian yang berlaku.

Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian

atau seluruh Banding, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan

dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% sebulan untuk paling

lama 24 bulan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan perpajakan yang berlaku.


2.3.3. Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung

Apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Putusan

Banding, maka Wajib Pajak masih memiliki hak mengajukan

Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Permohonan

Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada

Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Pengajuan

permohonan PK dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3

(tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu

muslihat atau sejak putusan Hakim Pengadilan pidana memperoleh

kekuatan hukum tetap atau ditemukannya bukti tertulis baru atau

sejak putusan banding dikirim. Mahkamah Agung mengambil

keputusan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan PK

diterima.

Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan

berdasarkan alasan-alasan dan jangka waktu sebagai berikut :

1. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu

kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui

setelah perkaranya  diputus atau didasarkan pada bukti – bukti

yang kemudian oleh Hakim pidana dinyatakan  palsu.

Pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam

jangka waktu paling lambat 3 bulan terhitung sejak

diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan

Hakim pengadilan pidana memperoleh kekutan hukum tetap.


2. Apabila terdapat bukti – bukti tertulis baru yang penting dan

bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap

persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan

yang berbeda. Pengajuan permohonan peninjauan kembali

dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan terhitung

sejak ditemukan surat-surat bukti yang haru dan tanggal

ditemukannya harus dinyatakan dibawa sumpah dan disahkan

oleh pejabat yang berwenang.

3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut, kecuali

yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c.

Pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam

jangka waktu paling lambat 3 bulan sejak putusan dikirim.

4. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus

tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya. Pengajuan

permohonan penunjauan kembali dilakukan dalam jangka

waktu palin glambat 3 bulan sejak putusan dikirim.

5. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata–nyata tidak sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang–undangan yang

berlaku. Pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan

dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan sejak putusan

dikirim. ( Pasal 91 UU No. 14/1970 ).


2.3.4. Putusan Peninjauan Kembali Oleh Mahkamah Agung

Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan

peninjauan kembali dengan ketentuan dalam Pasal 93 UU

Pengadilan Pajak Tahun 2002 :

1. Dalam hal Pengadilan Pajak mengambil

putusan melalui pemeriksaan acara biasa maka putusan

diambil dalam jangka waktu 6 bulan sejak permohonan

peninjauan kembali diterima.

2. Dalam hal Pengadilan Pajak mengambil

keputusan melalui pemeriksaaan acara cepat maka putusan

diambil dalam jangka waktu 1 bulan sejak permohonan

peninjauan kembali diterima.

Putusan atas permohonan peninjauan kembali tersebut harus

diucapkan dalam siding terbuka untuk umum.

2.3.5 Menyiapkan Surat Banding

Menang atau kalah, hasil banding sangat tergantung dari aspek

materi yang dipersengketakan. Akan tetapi sebelum dilakukan uji

materi atas sengketa pajak, majelis akan melakukan pengujian atas

dipenuhi atau tidaknya syarat formal. Apabila aspek formal tidak

terpenuhi, maka penelitian materi sengketa tidak akan dilanjutkan.

Dengan demikian secara otomatis banding dari Pemohon Banding

(Wajib Pajak) pasti akan ditolak, kecuali apabila tidak dipenuhinya

syarat formal disebabkan adanya kejadian di luar kekuasaan Wajin


Pajak (force majeur). Dengan kata lain, terpenuhinya syarat formal

pengajuan permohonan banding merupakan pintu gerbang bagi

proses berikutnya sampai dengan ditetapkannya putusan banding.

2.3.6. Penyusunan Surat Banding

Agar permohonan banding dapat diproses lebih lanjut, Wajib

Pajak harus memperhatikan ketentuan formal penyampaian surat

banding. Dalam hal ini, Wajib Pajak harus berhati-hati ketika

membuat surat banding.

Penyusunan Surat Uraian Banding harus memperhatikan hal-hal


antara lain:

1. Pemenuhan ketentuan formal Surat Banding Wajib Pajak.

a. Pasal 27, Pasal 32 Undang-Undang KUP dan peraturan

perundang-undangan lainnya; dan

b. Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 Undang-Undang

Pengadilan Pajak;

2. Keputusan/objek yang disengketakan merupakan

keputusan/objek yang dapat diajukan Banding berdasarkan

Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang KUP dan Pasal 31 ayat

(2) Undang-Undang Pengadilan Pajak;

3. Materi yang diajukan banding adalah materi yang diajukan

keberatan;

4. Tanggapan Terbanding harus relevan dengan alasan yang

diajukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Banding;


5. Dalam hal terdapat sebagian nilai koreksi pemeriksa

dibatalkan pada proses keberatan dan sebagian nilai koreksi

yang dipertahankan diajukan banding, perhitungan

nilai koreksi yang dibatalkan dan dipertahankan diberikan

penjelasan secara rinci untuk dapat memberikan informasi

yang jelas pada saat Sidang Banding di Pengadilan Pajak.

(Surat edaran direktur jenderal pajak nomor : SE -

65/PJ/2012)

2.3.7. Struktur dan Bentuk Surat Putusan Pengadilan Pajak

Bentuk asli Surat Putusan Banding itu sendiri disusun dengan

struktur sebagai berikut seperti yang tertuang dalam SmarTaxes

Series (2004) :

1. Judul Surat

Di dalam judul surat tertuang nomor putusan dan

kepala putusan yang berbunyi “ DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

2. Membaca

Mengenai surat-surat resmi yang terjadi dalam proses

persidangan. Umunya, surat tersebut berupa :

a. Surat Banding Pemohon Banding, yang di dalamnya

tertuang mengenai :

- Nomor Surat Banding, hari dan tanggal diterimanya

Banding atau Gugatan;


- Nama, tempat tinggal atau tempat kegiatan,

dan/atau identitas lainnya dari pemohon Banding

atau penggugat;

- Nama Jabatan dan alamat terbanding atau tergugat;

- Hari, tanggal diterimanya Banding atau Gugatan

b. Surat Uraian Banding Terbanding, yang mencantumkan

nomor dan tanggal surat.

c. Surat Bantahan Pemohon Banding, yang

mencantumkan nomor dan tanggal surat.

3. Menimbang

Membahas mengenai hal-hal yang dijadikan dasar

pertimbangan di dalam memutuskan perkara oleh

Pengadilan Pajak, yang umumnya berupa:

a. Pertimbangan Aturan

Pencamtuman dasar hukum mengenai tugas dan

wewenang Pengadilan Pajak untuk memeriksa dan

memutuskan sengketa pajak serta kekuatan hukumnya.

b. Pengajuan Banding oleh Pemohon Banding

Di dalamnya diuraikan mengenai :

- Rincian Surat Ketetapan Pajak, berisi nomor dan

tanggal surat serta perincian koreksi,

- Rincian Surat Keputusan Keberatan, berisi nomor

dan tanggal surat, dan


- Keterangan mengenai pengajuan banding oleh

Terbanding akrena keberatan yang diajukan atas

Surat Ketetapan Pajak ditolak atau diterima

sebagian.

c. Ringkasan Banding

Di dalamnya diuraikan mengenai ringkasan isi surat

banding berupa :

- Pokok sengketa yang diajukan banding oleh

pemohon banding;

- Perhitungan sebenarnya menurut pemohon banding;

- Alasan yang mendukung perhitungan pemohon

banding

d. Ringkasan Surat Uraian Banding

Ringkasan Surat Uraian Banding dalam hal

terbanding menyampaikan surat uraian banding. Di

dalamnya berisi uraian tentang jawaban terbanding atas

pengajuan banding yang diajukan pemohon, yang

umumnya berisi perhitungan menurut terbanding serta

alasan yang mendukung perhitungan, dan kadang kala

disertai usul agar pengadilan menolak permohonan

banding pemohon.

e. Ringkasan Surat Bantahan Pemohon Banding

Ringkasan surat bantahan dibuat dalam hal

pemohon banding menyampaikan surat bantahan, di


dalamnya berisi bantahan pemohon atas surat uraian

bandingyang disampaikan terbanding.

f. Hal-hal yang berkembang dalam persidangan

Di dalamnya uraikan mengenai hal-hal yang

berkembang di dalam persidangan yang dapat diajdikan

sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan

putusan pengadilan, misalnya terbanding atau epmohon

banding tidak hadir dalam persidangan, dan

pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan

dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa.

g. Pemeriksaan Mengenai Ketentuan Formal

Di dalamnya diuraikan mengenai hasil pengujian

ketentuan formal pengajuan banding, yang meliputi :

- Ketentuan formal mengenai jangka waktu

pengajuan banding.

- Ketentuan formal mengenai pelunasan pajak

terutang.

Jika ternyata pengajuan banding tidak memenuhi

ketentuan formal maka permohonan banding tidak

dipertimbangkan lebih lanjut.

h. Pokok Sengketa

Dalam hal permohonan banding telah memenuhi

persyaratan formal, permohonan banding akan diproses

kepada materi sengketa. Pertimbangkan pokok


sengketa adalah berisi penuangan pokok sengketa yang

akan diputuskan oleh Pengadilan Pajak.

4. Memperhatikan

Menuangkan bahan-bahan pertimbangkan di atas yang

menjadi bahan perhatian dalam memutus perkara, yang

umumnya adalah Surat Banding Pemohon, Surat Uraian

Banding Terbanding, Surat Bantahan Pemohon,

pemeriksaan dan pembuktian dalam persidangan serta

kesimpulan.

5. Mengingat

Berisi alasan hukum yang menjadi dasar putusan.

6. Memutuskan

Berisi putusan yang diambil oleh Pengadilan Pajak

berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas. Putusan

yang diambil bisa berupa mengabulkan seluruhnya,

mengabulkan sebagian, atau menolak permohonan banding

Pemohon Banding. Di dalamnya juga dituangkan mengenai

hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama

Panitera dan keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya

para pihak.
2.4. Teknis Perhitungan PPN

Cara menghitung PPN yang terutang atas penyerahan Barang Kena

Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) diatur dalam ketentuan Undang-

Undang Dasar No.42 tahun 2009 pasal 7 :

1. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) adalah 10% (sepuluh

persen).

2. Tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) sebesar 0% (nol persen)

diterapkan atas:

A. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud

B. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud

C. Ekspor Jasa Kena Pajak

3. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berubah

menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi sebesar

15% (lima belas persen) sebagaimana diatur oleh Peraturan

Pemerintah.

B. Kerangka Pemikiran

Pengajuan Putusan Pengadilan


Lebih Bayar PPN
Banding (menerima/menolak)

Ketika Wajib Pajak merasa dia sudah menghitung PPN dengan benar dan

merasa telah membayar lebih PPN yang telah disetor, namun menurut fiskus

PPN yang disetor sudah tepat jumlahnya, hal ini dapat menyebabkan sengketa
pajak. Sengketa ini disebabkan ketika terjadi perbedaan perhitungan atas jumlah

PPN yang dihitung oleh Wajib Pajak (WP) dengan yang sudah dihitung oleh

fiskus. WP yang bersisikukuh dengan perhitungan jumlah PPNnya dan merasa

melakukan lebih bayar, dapat mengajukan keberatannya melalui Surat Ketetapan

Pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jendral Pajak dan dapat melakukan banding

atas kelebihan pembayaran pajak (restitusi) atas PPN yang telah lebih

dibayarkan atau dapat dijadikan sebagai kredit pajak (kompensasi). WP

mengajukan permohonan keberatannya kepada Dirjen Pajak dan Dirjen Pajak

harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan WP dalam jangka

waktu 12 bulan. Apabila keputusan keberatan diterima, maka sengketa

terselesaikan. Namun apabila ditolak, WP dapat mengajukan banding. Banding

diajukan oleh WP ke badan peradilan pajak sesuai dengan yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2000.


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskripstif analisis, yaitu penelitian terhadap masalah-masalah berupa

fakta saat ini dari suatu populasi, sehingga dalam penelitian ini penulis

menjelaskan dan menggambarkan permasalahan banding atas kasus

restitusi PPN lebih bayar oleh Wajib Pajak.

B. Objek Penelitian

Objek penelitian dari permasalahan yang diteliti oleh penulis adalah

Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memiliki masalah banding di

Pengadilan Pajak ata skasus restitusi PPN lebih bayar.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang dilakukan penulis dalam mengumpulkan data adalah

dengan melakukan pengumpulan data sekunder, yaitu data yang diperoleh

penulis secara tidak langsung melalui media perantara. Data sekunder

berupa data internal dan data eksternal. Data internal yaitu dokumen

akuntansi dan operasi yang dikumpulkan, dicatat, dan disimpan dalam

suatu organisasi. Sedangkan data eksternal berupa data yang disusun oleh

suatu entitas selain peneliti dari suatu organisasi misalnya jurnal, buku,

terbitan dari instansi pemerintah, media massa, data sensus dan data

statistik.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan data internal yaitu data

dari Pengadilan Pajak atas putusan pengadilan mengenai kasus Banding

restitusi PPN lebih bayar. Metode yang digunakan penulis dalam

memperoleh data-data yang berkaitan dengan masalah penelitian yaitu :

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Data yang digunakan dalam metode ini adalah data yang

bersumber dari data sekunder yang telah dipublikasikan baik oleh

pemerintah, swasta ataupun oleh lembaga lainnya seperti

Pengadilan Pajak. Data-data tersebut berupa artikel, peraturan

perundang-undangan, dan literatur lain yang memuat mengenai

perpajakan khususnya banding kasus restitusi PPN lebih bayar

melalui Pengadilan Pajak.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Data yang digunakan berasal dari penelitian langsung yang

dilakukan oleh penulis di lapangan seperti di Pengadilan Pajak

untuk mendapatkan data-data primer. Penelitian tersebut dapat

dilakukan dengan cara :

- Observasi dan Survei

Observasi dan survei penulis lakukan dengan cara

melakukan pengamatan langsung di Pengadilan Pajak.

- Wawancara

Penulis melakukan wawancara dengan pejabat yang

berwenang di Pengadilan Pajak


DAFTAR PUSTAKA

B.Ilyas, Wirawan. Dan Burton, Richard (2004), Hukum Pajak, Salemba Empat,

Jakarta.

Iswahyudi, Tedy (2004) “Proses Penyelesaian Sengketa Pajak:, Jurnal

Perpajakan Indonesia, Agustus 2005, pp 8-15

SmarTaxes Series (2004), Studi Kasus Banding Pengadilan Pajak : Buku Satu

Tata Cara dan Dasar Hukum, Semar Publishing, Jakarta.

Sukardji, Untung, “Teknis Perhitungan PPN dan PPnBM”, Jurnal Perpajakan

Indonesia, Oktober 2004, pp. 10-14

Undang-Undang No.14 Tahun 2002, Tentang Pengadilan Pajak.

Undang-Undang No. 19 Tahun 2000, Tentang Penagihan Pajak

Undang-Undang No. 28 Tahun 2007, Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara

Perpajakan

Undang-Undang No 42 Tahun 2009, Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang

Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

Anda mungkin juga menyukai