Anda di halaman 1dari 42

PENGARUH PEMBERIAN KINESIOTAPING DAN MUSCLE

ENERGY TECHNIQUE TERHADAP PENGURANGAN


DERAJAT KIFOSIS PADA PENDERITA
MYOFASCIAL UPPER TRAPEZIUS

PROPOSAL PENELITIAN (SKRIPSI)

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Menyelesaikan Program Pendidikan Diploma IV Fisioterapi

Diajukan oleh :

Nailatul Safnia Dilla


170102012

PROGRAM STUDI DIPLOMA IV FISIOTERAPI


JURUSAN FISIOTERAPI
POLTEKES YRSU Dr. RUSDI MEDAN
2021

i
i

PROPOSAL PENELITIAN (SKRIPSI)

PENGARUH PEMBERIAN KINESIOTAPING DAN MUSCLE


ENERGY TECHNIQUE TERHADAP PENGURANGAN
DERAJAT KIFOSIS PADA PENDERITA
MYOFASCIAL UPPER TRAPEZIUS

Disusun oleh :
Nailatul Safnia Dilla
170102012

Telah di setujui
Pada Tanggal : 27 Mei 2021

Mengetahui :
Ketua Progdi D IV Fisioterapi Pembimbing

Riani Baiduri Siregar S.Ft, M.Fis Relina Sinaga SST, S.Pd, M.Kes
NIDN : 010508902 NIDN : 0120105301
ii

PENGARUH PEMBERIAN KINESIOTAPING DAN MUSCLE


ENERGY TECHNIQUE TERHADAP PENGURANGAN
DERAJAT KIFOSIS PADA PENDERITA
MYOFASCIAL UPPER TRAPEZIUS

Disusun oleh :
Nailatul Safnia Dilla
170102012

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji


Pada tanggal : 27 Mei 2021

Nama Tanda tangan

1. Relina Sinaga, SST, S.Pd, M.Kes ………...…………..

2. Riani Baiduri Siregar, S.Ft, M.Fis ……...……………..

3. Heri Saputra, SST, M.Fis ……….………..…..

Mengetahui; Medan, 27 Mei 2021


Ketua Jurusan Fisioterapi Ketua Prodi D IV Fisioterapi

Relina Sinaga, SST, S.Pd, M.Kes Riani Baiduri Siregar, S.Ft M.Fis
NIDN : 0120105301 NIDN : 010508902
iii

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya :

Nama : Nailatul Safnia Dilla

Nim : 170102012

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul PENGARUH


PEMBERIAN KINESIOTAPING DAN MUSCLE ENERGY TECHNIQUE
TERHADAP PENGURANGAN DERAJAT KIFOSIS PADA PENDERITA
MYOFASCIAL UPPER TRAPEZIUS adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-
hal yang bukan karya saya dalam skripsi ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan
dalam daftar pustaka

Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang saya peroleh
dari skripsi ini.

Medan,
Yang membuat pernyataan

Nailatul Safnia Dilla


iv

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena senantiasa melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehiga penulis dapat
meyelesaikan proposal yang berjudul “Pengaruh Pemberian Kinesiotaping Dan
Muscle Energy Technque Terhadap Pengurangan Derajat Kifosis Pada Penderita
Myofascial Upper Trapezius”. Proposal ini disusun guna memenuhi sebagian
persyarataan dalam menyelesaikan program pendidikan Diploma IV Fisioterapi
Poltekkes YRSU Dr. Rusdi Medan.

Penulis menyadari bahwa penulisan proposal ini tidak lepas dari bantuan,
bimbingan, arahan dan dorongan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Dra. Hj.Marlina Nasution, Sst,M Fis selaku ketua Yayasan Politekknik
Kesehatan YRSU Dr. Rusdi Medan.
2. Ibu Nurul Rahma Siregar, M.kes selaku Direktur Politekknik Kesehatan
YRSU Dr. Rusdi Medan.
3. Ibu Relina Sinaga SST, S.Pd, M.Kes selaku Ketua Jurusan Fisioterapi
Politekknik Kesehatan YRSU Dr. Rusdi Medan dan selaku dosen pembimbing
dalam menyusun proposal penulis.
4. Ibu Riani Baiduri Siregar, S.Ft, M.Fis selaku Kepala Prodi D IV Fisioterapi
Politekknik Kesehatan YRSU Dr. Rusdi Medan.
5. Para staf pendidik dan dosen yang telah memberi banyak ilmu bagi penulis
yang tidak bisa penulis ungkapkan satu-persatu.
6. Kepada Alm.Mama, Ayah, Nenek, Adik-Adik, Bunda serta Hazrul Mazwar
yang telah memberi banyak dukungan dan bantuan dalam pembuatan proposal
ini.
7. Kepada sahabat-sahabat dan teman seperjuangan D IV Fisioterapi yang telah
memberi banyak dukungan dan bantuan dalam pembuatan proposal ini.
v

Akhir kata, penulis menyadari bahwa apa yang tertuang dalam proposal ini
masih banyak memiliki kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Untuk itu,
saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan dan semoga proposal ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2021


Penulis

Nailatul Safnia Dilla


170102012
vi

DAFTAR ISI

……………………………………..........................ii

PERNYATAAN....................................................................................................iii

iv

vi

1. Pengertian Myofascial Pain Syndrome Upper Trapezius 6


2. Anatomi Terapan Myofascial Pain Syndrome Upper Trapezius 7
3. 9
4. 13
5. 17
6. 18

B. 22

23

26

26
vii

27

27

28

29

30

31

32

33
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO) Sehat adalah keadaan


yang sempurna dari fisik, mental, sosial, tidak hanya bebas dari penyakit atau
kelemahan , sedangkan Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2009 Tentang kesehatan pasal 1 butir 1 bahwa kesehatan adalah
keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi.

Menurut Word Confederation for Physical Therapy (WPCT)


fisioterapi adalah tenaga kesehatan profesional yang bekerja untuk manusia
segala umur yang bertujuan untuk memelihara, mengembalikan fungsi dan
ketergantungan bila seseorang atau individu mendapatkan kekurangan atau
atau gangguan kemampuan atau masalah yang disebabkan kerusakan fisik,
psikis, dan lain sebagainya. Ada juga pengertia lainnya tentang fisioterapi
menurut Confederation for Physical Therapy (WPCT) adalah suatu ilmu atau
kiat untuk melakukan suatu pengobatan dengan memanfaatkan khasiat alam
sepertinya cahaya, air, listrik, latihan-latihan, dan manual. (Physical therapy
treatment by means of therapeutic exercise, heat, cold, light, water, massage
and electricity).

Myofascial pain syndrome adalah gejala rasa nyeri pada bahu dan atau
leher dan atau nyeri tekan pada sekurang-kurangnya salah satu otot leher
bagian atas dan m. trapezius bagian atas; dan sekurang-kurangnya salah satu
dari m. supraspinatus atau m. infraspinatus (Suma’mur, 2009). Sindrom
nyeri myofascial adalah sebuah kondisi nyeri otot ataupun fascia, akut
maupun kronik, menyangkut fungsi sensorik, motorik, ataupun otonom yang
berhubungan dengan MTrPs. MTrPs ini sering ditemukan di daerah sekitar
leher dan punggung (Atmadja, 2016). Nyeri pada daerah leher sampai pundak
ini timbul karena kerja otot yang berlebihan, aktifitas sehari-hari yang terus-

1
2

menerus dan sering menggunakan kerja otot upper trapezius, sehingga otot
menjadi tegang, spasme, tightness dan stiffness (Makmuriyah et al., 2013).

Postur kolumna vertebralis terbentuk sejak anak mulai berdiri membentuk


lengkungan dalam bidang sagital berupa lordosis pada servikal dan lumbal,
kifosis pada thorakalis dan sacrum, dalam bidang frontal lurus. Lengkung
kolumna vertebralis dipertahankan oleh kerja otot trunk, otot stabilisator
global (global muscle) dan otot inti (core muscle). Peran otot stabilisator
global (global muscle) dan otot inti (core muscle) mempertahankan postur
tersebut melalui kontraksi isometric secara efisien, membentuk posisi tegak
normal. Pada posisi tersebut gaya (force) yang bekerja pada tiap bagian tubuh
tidak menimbulkan cidera pada jaringan kolumna vertebralis (Nadhifah.
2012).
Stabilitas trunk terbentuk oleh otot-otot global (superficial) dan otot-otot
inti (core) fungsi utamanya untuk mempertahankan postur. Otot-otot global
terdiri dari : m. rectus abdominis, m. oblique external dan internal, m.
quadratus lumborum, m. erector spine, m. illiopsoas. Sedangkan otot-otot inti
terdiri dari: transverses abdominis, lumbar multifidus, diagpragma dan pelvic
floor (Hall, 2003).
Dilihat dari arah gerak biomekanika lumbal memiliki arah gerak sagital
dan medial memungkinkan terjadi gerakan fleksi-ekstensi, sidefleksi, dan
rotasi (Kapandji, 2008). Gerakan fleksi, Terjadi pada bidang sagital, Gerakan
fleksi 60% - 75% terjadi pada antara L5 dan S1, 20 % - 25 % terjadi antara L4
dan L5 dan 5% - 10% terjadi antara L1 – L4 (terbanyak antara L2 – L4). Otot
penggerak utamanya adalah kelompok otot fleksor yaitu m. rektus abdominis
dibantu m. obliqus internus abdominis, m. psoas mayor. Gerakan fleksi lumbal
dihambat oleh ligamen interspinalis, ligamen longitudinal posterior serta
ketegangan otot-otot ekstensor punggung (Hislop dan Montgomery, 2002).
Gerakan ekstensi, Terjadi di bidang gerak sagital. Besar lingkup gerak
sendinya 30º. Otot penggerak utamanya adalah kelompok otot ekstensor yaitu
otot longisimus thorakalis, otot iliocostalis. Gerak ekstensi lumbal dihambat
3

oleh group otot fleksor dan ligamen longitudinal anterior (Kapandji, 2008).
Gerakan rotasi, Terjadi pada bidang horizontal dengan aksis melewati
prosesus spinosus dan membentuk sudut normal 45º. Otot penggerak
utamanya adalah otot iliocostalis lumborum untuk rotasi ipsi lateral dan
kontralateral. Pada gerakan rotasi terjadi kontraksi berlawanan dari otot
obliques eksternus abdominis. Gerakan rotasi dibatasi oleh otot obliques
internus dan ligamen interspinosus (Kapandji, 2008). Gerakan lateral fleksi,
Terjadi pada bidang frontal, dan membentuk sudut 30º. Otot penggerak
utamanya adalah otot obliques internus, otot obliques eksternus, otot
quadratus lumborus, otot erector spine, otot multifidus, dan otot
intertransversari (Hislop and Montgomery, 2002).
Prevalensi kasus myofascial pain syndrome di Indonesia belum terdapat
data. Namun di Amerika myofascial pain syndrome penyebab utama
disabilitas kerja dan penyebab kedua terbanyak disabilitas (Atmadja, 2016).
Myofascial pain syndrome umumnya terjadi pada masyarakat dengan angka
kejadian 54% pada perempuan dan 45% pada laki-laki. Usia yang paling
sering ditemukan myofascial pain syndrome adalah pada usia produktif yaitu
usia 27-50 tahun. (Delgado, et al. 2009 dalam Kharismawan et al. 2016).
Menurut Anggraeni (2013) dan Tarwaka (2015) beberapa faktor yang
mempengaruhi myofascial pain syndrome adalah usia, jenis kelamin,
kebiasaan merokok, kesegaran jasmani, trauma pada otot, masa kerja, dan
lama kerja.
Fisioterapi dapat memanajemen myofascial pain syndrome dengan
modalitas kinesiotaping dan muscle energy technique. Secara teoritis,
kinesiotaping pengobatan didasarkan pada fungsi pengangkatan kulit dari
jaringan lunak di bawahnya yang meningkatkan jarak antara kulit dan otot dan
karena itu mendorong aliran darah dan drainase limfatik. Juga, menerapkan
kinesiotaping pada kulit dapat mengubah fungsi rangsang sentral sistem saraf.
Oleh karena itu, kinesiotaping dapat digunakan untuk mengontrol rasa sakit
dan mengelola aktivitas otot serta meningkatkan range of motion.
4

Kinesiotaping dan Muscle energy merupakan suatu teknik manual yang


dapat mengurangi nyeri pada kondisi myofascial syndrome, yang dikaitkan
dengan efek hypoalgesic yang menghambat golgi tendon reflex, yaitu dengan
kontraksi otot isometric yang mengarahkan ke reflex relaksasi otot. Teknik ini
dilakukan dengan kontraksi isometrik pada bahu arah elevasi dengan tahanan
20-30% selama 10 detik rileks selama 10 detik dan dilanjutkan dengan
stretching slama 30 detik (Kumar, et al., 2015).
Alat ukur yang digunakan adalah midline, pengukuran lingkup gerak
sendi vertebra dapat dilakukan pada saat gerakan fleksi, ekstensi, lateral fleksi
dekstra, lateral fleksi sinistra. Pemeriksaan dengan menggunakan midline
untuk mengetahui besarnya lingkup gerak sendi yang ada pada suatu sendi dan
membandingkannya dengan lingkup gerak sendi pada sendi normal yang
sama. Informasi pemeriksaan lingkup gerak sendi digunakan untuk
menentukan tujuan dan rencana terapi yang akan digunakan dalam menambah
atau mengurangi lingkup gerak sendi.

B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh pemberian kinesiotaping dan muscle energy terhadap
pengurangan derajat kifosis pada penderita myofascial syndrome upper
trapezius

C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh kinesiotaping dan muscle energy terhadap
pengurangan derajat kifosis pada penderita myofascial syndrome upper
trapezius
5

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Fisioterapi
Dalam penelitian ini diharapkan fisioterapis mampu memberikan
informasi tentang penderita myofascial syndrom upper trapezius yang
mengalami peningkatan derajat kifosis dan penanganan yang lebih
berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan aktivitas fungsional
dengan memberikan intervensi kinesiotaping dan muscle energy.

2. Bagi peneliti
Dengan adanya skripsi ini akan menimbulkan manfaat bagi peneliti
dengan bertambahnya ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam
manajemen fisioterapi dan menjadi acuan dalam penelitian selanjutnya
pada penderita myofascial syndrom upper trapezius yang mengalami
kifosis.

3. Bagi masyarakat
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat tentang
pengertian, masalah pada penderita myofascial syndrom upper trapezius
serta penanganan fisioterapi terhadap pengurangan derajat kifosis.

4. Bagi Institusi
Dalam penelitian ini institusi dapat memperkaya jurnal lokal
maupun jurnal internasional tentang penderita myofascial pain syndrom
upper trapezius yang mengalami kifosis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori
1. Pengertian myofascial pain syndrome upper trapezius
Nyeri adalah pengalaman manusia yang normal dan biasa. Nyeri
membantu kita untuk mempelajari perilaku protektif ketika kita terancam dan
perilaku yang aman ketika tubuh kita terluka. Nyeri biasanya terlihat seperti
pengalaman yang bisa diprediksi. Dalam keadaan normal, reseptor dalam
jaringan tubuh merespon pada rangsangan stimulasi yang dapat diprediksi.
Ketika mereka merespon, mereka memulai potensial aksi yang berjalan
sepanjang neuron perifer ke sumsum tulang belakang. Neurotransmitter yang
dilepaskan dari neuron-neuron ini sering mengaktifkan neuron sekunder, yang
mengirim potensial aksi ke sumsum tulang belakang menuju ke otak. Lalu
otak mengevaluasi informasi ini. Seringkali rasa sakit dirasakan di jaringan
yang telah terstimulasi (Jones, et al. (2013).
Nyeri akut merupakan nyeri yang berlangsung singkat akibat cedera akut,
penyakit atau intervensi bedah dengan proses yang cepat dan memiliki
intensitas ringan hingga berat (Andarmoyo 2013, dalam Hindun, 2016).
Durasi nyeri diperkirakan ≤ 6 bulan dan area yang rusak dapat pulih kembali
serta akan menghilang tanpa pengobatan (Prasetyo (2010, dalam Hindun,
2016). Nyeri kronik berlangsung lama biasanya ≥ 6 bulan, intensitas bervariasi
(ringan hingga berat), nyeri konstan menetap dalam suatu periode waktu
(Potter, et al. 2007, dalam Hindun 2016)
Myofascial pain syndrome didefinisikan sebagai nyeri muskoloskeletal
yang lokasi nyerinya terdapat di otot. Myofascial pain syndrome
diklasifikasikan sebagai nyeri yang bisa terjadi secara akut ataupun kronis,
regional ataupun umum. Gangguan ini bisa menjadi gangguan primer yang
menyebabkan nyeri lokal atau regional, atau gangguan sekunder yang terjadi
akibat beberapa kondisi lainnya.

6
7

Pada bagian yang mengalami nyeri ditemukan trigger point. Trigger points
adalah benjolan/nodul yang hipersensitif yang ditemukan pada sebuah taut
band. Terdapat dua jenis trigger point, yaitu: aktif dan pasif. Trigger points
aktif berhubungan dengan keluhan nyeri spontan yang mungkin terjadi saat
istirahat atau selama bergerak dan menyebabkan nyeri rujukan sama seperti
yang dirasakan saat dilakukan palpasi pada trigger point. Sedangkan trigger
points pasif tidak menyebabkan nyeri spontan, namun ditimbulkan oleh
tekanan manual pada area trigger point. Trigger points pasif dapat mengubah
pola motor rekruitmen, menyebabkan keterbatasan gerak, kelemahan otot dan
dapat menjadi aktif jika stimulasi seperti postur yang salah, penggunaan otot
yang berlebihan atau ketidakseimbangan kerja otot (Maruli, et al., 2014).
Myofascial pain syndrome sering terjadi pada otot upper trapezius. Nyeri
yang terjadi pada otot upper trapezius merupakan nyeri lokal atau nyeri
menjalar. Nyeri ini disebabkan karena kerja otot yang berlebihan. Aktivitas
sehari-hari yang menggunakan otot trapezius dalam waktu lama menyebabkan
otot menjadi tegang, spasme, tightness dan stiffness. Otot yang tegang dalam
waktu lama akan membuat mikrosirkulasi menurun, sehingga terjadi iskemik
dalam jaringan. Pada serabut otot akan terjadi ikatan tali yang abnormal
membentuk taut band dan mencetuskan adanya nyeri, karena merangsang
hipersensitivitas (Makmuriyah dan Sugijanto, 2013).

2. Anatomi terapan myofacial pain syndrome upper trapezius


Otot trapezius adalah otot terbesar dan paling superfisial pada daerah
punggung atas. Otot trapezius terdapat di bagian leher, tepatnya di posterolateral
occiput, memanjang ke arah lateral melewati scapula, dan overlapping pada
bagian superior dari otot latissimus dorsi pada tulang belakang. Otot ini
dipersarafi oleh akar saraf C5-T1. Menurut arah serabutnya, otot trapezius dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu : upper fiber, middle fiber, dan lower fiber (Cael,
2010).
8

Protuberantia occipitalis external

M. sternocleidomastoideus
M. splenius capitis
M. trapezius
M. spienius capitis

Vertebra promines, Proc. spinosus


Spina scapulae
Fascia deltoidea

Acromion

M. teres major
Scapula, Angulus interior
M. infraspinatus,
Fascia infraspinata
M. rhomboideus major M. latissimus dorsi
Gambar Otot Upper Trapezius

(Sumber: Putz, R et al. 2003. Atlas aAnatomi Manusia Sobotta jilid 2. Buku
Kedokteran)

Otot upper trapezius, memiliki origo pada protuberentia occipital eksternal


dan bagian medial dari ligamentum nuchae. Sedangkan insertionya terletak pada
batas posterior dari 1/3 bagian luar dari clavicula. Fungsi dari otot upper trapezius
adalah untuk elevasi scapula dan menggerakkan leher (ekstensi, lateral fleksi,
kontralateral rotasi) (Cael, 2010).
Ketika semua serabut otot trapezius bekerja bersama, scapula akan
terfiksasi pada sangkar thoraks, memberikan bantuan yang kuat selama aktivitas
weight-bearing dan mendorong. Ketika ekstremitas atas tidak terfiksasi, serabut
pada trapezius akan bekerja dengan otot yang lain sesuai fungsinya. Meskipun
serabut otot trapezius memiliki kemampuan untuk bekerja bersama sebagai satu
kesatuan, serabut bawah (lower fiber) sering mengalami kelemahan dan jarang
digunakan. Sedangkan serabut atas (upper fiber) sering mengalami ketegangan
akibat sering digunakan saat bekerja (Cael, 2010).
9

3. Patofisiologi myofascial pain syndrome upper trapezius


a. Factor pemicu
Faktor pemicu nyeri myofascial syndrome dapat menyebabkan pelepasan
asetilkolin yang terfasilitasi pada pelat ujung motorik, kontraksi yang
berkelanjutan oleh serat-serat otot dan iskemik lokal dengan melepaskan zat
neuroaktif dan vaskular, dan nyeri otot. Semakin banyak asetilkolin yang
dilepaskan, semakin nyeri dan spasme pula otot tersebut (Yap, 2007).
Studi lain mengatakan bahwa postur yang buruk forward head position
ketika bekerja dapat menyebabkan otot cenderung tegang atau kontraksi.
Kondisi ini menimbulkan kelelahan pada otot yang berakhir iskemik pada
jaringan. Kurangnya nutrisi dan oksigen pada keadaan iskemik tersebut
mengakibatkan penumpukan zat sisa metabolisme yang segera merangsang
pelepasan neuro peptida berupa substansi P. Munculnya substansi P dapat
mempengaruhi saraf simpatik sehingga pembuluh darah mengalami
vasokontriksi dan menimbulkan nyeri menjalar apabila tidak terkontrol
(Makmuriyah, et al. 2013 dalam Kinteki, 2018).

b. Perubahan patologi
Otot upper trapezius adalah otot tipe I atau tonik dan juga merupakan otot
postural yang berfungsi melakukan gerakan elevasi. Kelainan yang terjadi
pada tipe otot ini cenderung tegang dan memendek. Itu sebabnya jika otot
upper trapezius berkontraksi dalam jangka waktu lama, maka jaringan ototnya
menjadi tegang dan akhirnya timbul nyeri. Kerja otot upper trapezius akan
bertambah berat dengan adanya postur yang buruk, mikro dan makro trauma.
Mikro trauma pada otot disebabkan karena overstretching, overshortening, dan
overloading. Ketika otot mengalami overstretching, overshortening, dan
overloading, maka bagian dari serabut otot akan rusak dan diikuti oleh ruptur
dari membran sel otot (sarcolemma). Mikro trauma dihasilkan oleh pergerakan
yang berulang (repetitive movement), gerakan dengan kecepatan tinggi, dan
posisi tubuh yang buruk (Kostopoulos & Rizopoulos, 2001).
10

c. Tanda dan gejala


Myofascial pain syndrome m.upper trapezius ditandai dengan adanya
myofasial trigger point yang mempunyai titik sangat peka pada otot atau fasia
yang menyebabkan nyeri dan tenderness saat istirahat atau gerakan mengulur
yang membebani otot upper trapezius. Tanda dan gejala myofascial pain
syndrome m.upper trapezius antara lain (Sugijanto, 2008), (1) Nyeri yang
terlokalisir pada otot upper trapezius. (2) Reffered pain umumnya dengan pola
yang dapat diprediksi. (3) Terdapat taut band pada otot dan fasia serta
jaringan ikat longgar (connective tissue). (4) Tightness pada otot yang terkena
sehingga menyebabkan keterbatasan lingkup gerak sendi. (5) Adanya titik
tenderness pada atau tempat sepanjang taut band yang disebut trigger point.
(6) Spasme otot akibat sekunder dari rasa nyeri yang timbul juga akibat
penumpukan zat-zat iritan atau sisa metabolisme. (7) Perubahan otonomik
seperti vasokontriksi pembuluh darah yang mengakibatkan daerah miofasial
hiposirkulasi dan nutrisi.

d. Etiologi
Penyebab terjadinya myofacial pain syndrome otot upper
trapeziusdisebabkan oleh beberapa factor antara lain, (1) Faktor mekanik,
ergonomi yang meliputi poor body mechanics, penggunaan otot dalam kondisi
statis lama, kompresi pada otot dan mekanisme kerja yang buruk pada leher
dan bahu mengambarkan beban kerja otot upper trapezius lebih berat,
digambarkan seperti pada posisi bekerja yang menyebabkan kepala miring dan
menoleh terus menerus. (2) Degenerasi pada otot, proses degenerasi pada otot
akan terjadi penurunan jumlah serabut otot, atrofi beberapa serabut, fibril
menjadi tidak teratur, berkurangnya 30% massa otot terutama otot tipe II,
degerasi myofibril yang akan mempengaruhi penurunan kekuatan dan
fleksibilitas dari otot. (3) Trauma makro pada sytuktur miofasial, cederaakut
pada otot, tulang dan sendi maka akan membentuk trigger areaini dapat
diartikan sebagai daerah kecil terbatas tegas dan hipersensitif pada otot atau
jaringan ikat bila daerah tersebut diberi rangsangan/penekanan akan
11

menimbulkan nyeri local dan juga menyerang system saraf pusat yang
menimbulkan nyeri yang menjalar. (4) Trauma makro pada struktur miofasial,
trauma makro yang berulang-ulang (Repetitive Injury) akibat aktifitas sehari
hari dan strains otot khususnya pada individu dengan kegiatan yang sama dan
menetap setiap harinya pada usia diatas 35 tahun. (Widodo, 2011)

e. Diagnosa Banding
Fibromyalgia Syndrome merupakan Kondisi muskuloskeletal yang mirip
dengan myofascial syndrome, nyeri myofasial didefinisikan sebagai keluhan
sensorik, motorik dan otonom, yang disebabkan oleh adanya titik pemicu atau
Trigger Point (TrP). Sedangkan pada fibromyalgia dapat ditegakkan dengan
anamnesis berdasarkan rasa sakit umum dan rasa sakit pada minimal 11 dari
18 titik nyeri yang dapat ditentukan lokasinya secara tepat. Pasien dengan
fibromyalgia bisa disertai dengan keluhan-keluhan lainnya yang sangat tidak
spesifik. Membedakan nyeri miofasial dengan gangguan otot lainnya hanya
dapat dilakukan dengan melakukan palpasi pada trigger point.

f. Diagnosis
Kriteria diagnosis sindrom nyeri myofascial menurut Atmadja (2016)
masih berbeda-beda karena masih kurangnya kriteria diagnosis berbasis studi
multisenter internasional atau pertemuan konsensus para ahli. Kriteria
diagnosis sindrom nyeri myofascial berupa lima kriteria mayor dan setidaknya
satu dari tiga kriteria minor. Kriteria mayor, (1) Nyeri spontan yang
terlokalisasi. (2) Nyeri spontan atau perubahan sensasi pada suatu area nyeri
alih. (3) Teraba adanya gumpalan atau benjolan pada otot yang nyeri. (4)
Nyeri tekan lokal pada titik tertentu sepanjang benjolan atau gumpalan. (5)
Adanya penurunan ruang gerak pada berbagai derajat. Kriteria minor, (1)
Terjadinya nyeri spontan dan perubahan sensasi dengan menekan trigger
point. (2) Adanya respons kedut lokal pada serat otot dengan mempalpasi
tajam atau dengan insersi jarum ke trigger point. (3) Nyeri berkurang dengan
peregangan otot atau injeksi trigger point. Belum ada pemeriksaan
12

laboratorium untuk menegakkan sindrom nyeri myofascial. Diagnosis masih


dibuat berdasarkan hasil temuan klinis. Pemeriksaan penunjang hanya dapat
mendeteksi perubahan yang terjadi, seperti elektromiografi dapat
mengidentifikasi otot yang memiliki trigger point aktif akan lebih cepat
mengalami kelelahan, ultrasound dapat memperlihatkan respons kedut lokal
yang tercetus bila dipalpasi.

g. Prognosis
Nyeri miofasial sangat tergantung pada durasi penyakit dan faktor pemicu
yang dapat dikendalikan. Diagnosis dini dan penanganan segera akan
menghasilkan luaran yang baik. Nyeri yang memiliki etiologi jelas biasanya
memiliki prognosis baik. Trigger point yang aktif dapat dihilangkan dengan
penanganan adekuat sehingga pasien dapat merasakan ruang gerak penuh
tanpa nyeri. Pasien dengan nyeri alih yang stabil dan tidak disertai dengan
penyebaran ke otot sekitarnya biasanya merespon lebih baik (bisa sembuh
dengan mengoreksi faktor pemicu dan penanganan adekuat) ketimbang nyeri
yang berlangsung progresif memburuk. Apabila penanganan yang diberikan
tidak adekuat dan nyeri menetap lama, sensitisasi sentral segmental dapat
terjadi yang akhirnya berujung pada nyeri kronis. Pada kasus tersebut, apabila
sensitisasi sentral menyebar maka akan terjadi nyeri kronis yang menyebar
luas dan fibromyalgia. Meskipun trigger point aktif tampaknya sudah
dinonaktifkan, beberapa trigger point aktif dapat berubah menjadi trigger
point laten. Trigger point laten dapat menjadi aktif kembali ketika otot bekerja
berlebihan atau terekspos faktor pemicu lagi. Disabilitas dan keterbatasan
ruang gerak yang ditimbulkan oleh trigger point laten bisa menetap hingga
bertahun-tahun. Masih tidak jelas mengapa ada trigger point yang bisa sembuh
total dan mengapa ada yang justru berubah menjadi laten. Beberapa orang
tampaknya lebih rentan mengalami pembentukan trigger point dan lebih sulit
untuk mencegah reaktivasi trigger point laten dalam dirinya. Pada orang-orang
tersebut, trigger point bisa berakumulasi sepanjang hidupnya sehingga penting
untuk terus menerus menghindari faktor pemicu dan mencegah kerja otot
13

berlebih. Pada semua kasus, faktor pemicu nyeri harus sebisa mungkin
dihilangkan, pasien harus diposisikan seoptimal mungkin, serta dilakukan
program latihan yang optimal di rumah.

4. Intrvensi Fisioterapi
a. Kinesiotaping
Kinesiotaping adalah salah satu metode taping yang diperkenalkan oleh
Dr. Kenzo Kase di Jepang sekitar 25 tahun yang lalu. Taping ini digunakan
untuk membantu kinerja otot, sendi dan jaringan ikat. Kinesiotaping juga
membantu membatasi gerak sendi (ROM), mengurangi waktu pemulihan
cedera, serta mengurangi rasa nyeri dan peradangan. Elastisitas dari taping ini
bisa dari 30% hingga 40% dengan efek yang berbeda. Taping ini bisa
digunakan 3-5 hari dan tahan air (Mehran Mostafavifar, 2012).
Kinesiotaping merupakan salah satu perekat yang digunakan oleh
fisioterapis, dokter, sport medicine, & personal trainer untuk membantu
pemulihan dan menopang otot yang sedang mengalami cedera (Abdurrasyid,
2013). Kinesiotaping ini berbeda dengan taping/perekat yang sering
digunakan untuk menyokong atau menahan sendi, melainkan perekat yang
dibuat hampir menyerupai dengan kulit dan ketebalannya seperti epidermis
kulit tubuh manusia, serta dapat diregangkan hingga 140% dari panjang
normal sebelum di aplikasikan ke kulit, sehingga memberikan ketegangan
yang kuat saat diaplikasikan pada kulit (Prentice, 2011).
Beberapa manfaat dari kinesiotaping antara lain meningkatkan kontraksi
otot, membantu otot dalam melakukan fungsinya, mampu merangsang
mekanoreseptor pada kulit dan meningkatkan penerimaan motor unit
(Guilherme S, 2013). Aplikasi kinesiotaping juga mampu meningkatkan
kemampuan sensomotoris pasien post stroke. Kinesiotaping dapat
meningkatkan propioseptif feedback sehingga menghasilkan posisi tubuh yang
benar, hal ini menjadi hal yang sangat dasar yang diperlukan ketika latihan
untuk mengembalikan fungsi dari extremitas dilakukan. Pemotongan
14

kinesiotaping dibagian tubuh dibagi menjadi 4 kelompok yaitu fan cuts, X, Y,


dan I.
Beberapa pendapat ahli tentang pengaruh kinesiotaping bisa
dikelompokkan menjadi 2 pengaruh yaitu: (1) Pengaruh Fisiologi
Kinesiotaping. Kinesiotaping ini merangsang atau memfasilitasi beberapa
proses fisiologi tubuh manusia, seperti melancarkan aktivitas sistem limfatik,
dan mekanisme analgesic endogen serta meningkatkan mikrosirkulasi. Kinesio
memiliki pangaruh recoil yang dapat mengangkat kulit dan memberikan ruang
pemisah antara kulit dengan otot, sehingga dapat melancarkan sirkulasi
limfatik dan darah dengan adanya gerakan otot (Hendrick, 2010), serta
meningkatkan aktivitas propiosepsi melalui kulit untuk menormalisasikan
tonus otot, mengurangi nyeri, mengkoreksi ketidaksesuaian posisi jaringan
dan menstimulus atau merangsang mekanoreseptor di kulit (Prentice, 2011).
(2) Pengaruh Neuromuskular. Kinesiotaping melalui reseptor di cutaneus
dapat memberikan rangsangan pada sistem neuromuskuler dalam
mengaktivasi kinerja saraf dan otot saat melakukan suatu gerak fungsional
(Chien-Tsung Tsai, 2010). Perekat ini juga dapat menurunkan tonus otot yang
mengalami ketegangan yang berlebih akibat adanya kontrol neuromuskular
yang kurang baik. Kinesiotaping akan memfasilitasi melalui mekanoreseptor
yang berada pada kulit untuk mengarahkan gerakan yang diinginkan dan akan
memberikan rasa nyaman pada area yang dipasangkan kinesiotaping ini (Kase
et al, 2003).
Manfaat dari elastisitas kinesio taping menurut Barbara Schmenk, dan
Katrina Stibel (2014). (1) 0-15% regangan sangat sedikit, untuk mengatasi
edema dan lymphedema. (2) 15-25% regangan sedikit, untuk pola kinesio
taping insertio ke origo (untuk mengistirahatkan otot yang overuse dan otot
yang rusak, juga untuk spasme otot serta edema sekunder). (3) 50% regangan
sedang, origo ke insertio (untuk membantu otot yang lemah atau kondisi yang
kronis, memberikan stimulasi, dan untuk mendukung kontraksi otot selama
penggunaannya). (4) 75% regangan tinggi, untuk membantu menstabilisasi
15

dan mendukung kerja otot. (5) 100% regangan sangat tinggi, untuk membantu
menstabilisasi dan mendukung kerja otot.
Regangan dengan presentasi kecil lebih baik dari pada terlalu tegang untuk
menentukan toleransi.

b. Muscle energy technique


Muscle energy technique merupakan teknik relaksasi otot dengan cara
pemberian kontraksi isometrik sebelum dilakukan stretching yang bertujuan
sebagai proprioceptive neuromuscular facilitation untuk menghindari
kerusakan jaringan lebih lanjut. Penerapan muscle energy technique
didasarkan pada penggunaan otot pasien, selanjutnya dilakukan relaxasi dan
stretching pada otot agonis dan antagonis, yang bertujuan untuk penguatan
atau meningkatkan tonus otot yang lemah, melepaskan hipertonus, stretching
ketegangan otot dan fascia, meningkatkan fungsi muskuloskeletal, mobilisasi
sendi pada keterbatasan gerak sendi, dan meningkatkan sirkulasi lokal, dan
mengurangi nyeri (Fryer, 2011). Muscle energy technique sendiri mempunyai
prinsip memanipulasi secara halus dengan tahanan minimal 20% dari
kekuatan otot yang melibatkan kontrol pernafasan dari pasien dan repetisi
yang optimal. Muscle energy technique ini tidak menimbulkan iritasi karena
efeknya yang merelaksasi pada otot tanpa menimbulkan nyeri dan kerusakan
jaringan melalui tekanan minimal dan lembut (Chaitow, 2006).
Muscle energy technique dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu: (1)
Isometrik muscle energy technique atau post isometric relaxation (PIR). Post
isometric relaxation mengacu pada pengurangan tonus otot agonis yang terjadi
setelah kontraksi isometrik. Hal ini terjadi karena pengaruh reseptor stretch
yang disebut golgi tendon organ pada otot agonis. Reseptor ini bereaksi
terhadap overstretching otot oleh inhibisi otot yang selanjutnya berkontraksi.
Hal ini secara natural melindungi reaksi terhadap regangan berlebih,
mencegah ruptur dan memiliki pengaruh pemanjangan karena relaksasi yang
terjadi tiba-tiba pada seluruh otot dibawah pengaruh stretching. (2) Isotonik
muscle energy technique menggunakan teknik reciprocal innervations/ inhibisi
16

yang memiliki prinsip kerja yaitu ketika otot agonis berkontraksi dan
memendek, otot antagonis harus rileks dan memanjang sehingga gerakan
terjadi dibawah pengaruh otot agonis. Kontraksi otot agonis reciprocal
menghambat otot antagonis sehingga menimbulkan gerakan yang pelan, lebih
kuatnya kontraksi otot agonis, hambatan lebih terjadi, dan otot antagonis lebih
rileks (Chaitow, 2006).

Efek Pemberian intramuscular dan tonus pasif jaringan. (1) Fascia,


Pemberian muscle energy technique ini dapat melepaskan perlengketan yang
terjadi pada fascia dengan melepaskan jaringan fibrosus penyebab strees
mekanik yang menyebabkan ketenganan pada fascia. Selain itu juga terjadi
peningkatan sirkulasi darah dan peningkatan metabolisme tubuh sehingga
nyeri berkurang. (2) Otot, Otot yang kontraksi berlebihan akan mengakibatkan
hipertonus. Hal ini akan merubah fisiologi otot oleh mekanisme refleks.
Ketika otot berkontraksi, panjang dan tonusnya berubah yang mempengaruhi
fungsi biomekanikal, biokimia, dan immunologi. Muscle energy technique
memanjangkan otot yang terjadi pemendekan, mengurangi kontraktur,
mengurangi hipertonus otot dan secara fisiologis memperkuat kelompok otot
yang mengalami kelemahan. Muscle energy technique dapat digunakan untuk
membantu meningkatkan kekuatan otot yang mengalami kelemahan dengan
cara pasien mengkontraksikan otot yang mengalami kelemahan melawan
tahanan fisioterapis secara kontraksi isometrik dengan halus dan lembut.
Peningkatan metabolisme pada otot akan mengurangi ketegangan otot,
memanjangkan otot melalui pengaruh rileksasi muscle energy technique,
pengaruh rileksasi jaringan lunak otot diperoleh dengan mereduksi ketegangan
jaringan kontraktil otot sehingga stress pada jaringan otot berkurang dan
meningkatkan kekuatan otot. Selain itu, dapat menyeimbangkan kontraksi
antara otot agonis dan antagonis pada otot 33 postural yang mengalami
ketidakseimbangan dimana satu sisi mengalami kelemahan dan sisi lain
mengalami pemendekan otot akibat kesalahan postur (Chaitow, 2006).
17

5. Midline sebagai alat ukur


Alat ukur yang digunakan adalah midline, pengukuran lingkup gerak sendi
vertebra dapat dilakukan pada saat gerakan fleksi, ekstensi, lateral fleksi dekstra,
lateral fleksi sinistra. Pemeriksaan dengan menggunakan midline untuk
mengetahui besarnya lingkup gerak sendi yang ada pada suatu sendi dan
membandingkannya dengan lingkup gerak sendi pada sendi normal yang sama.
Informasi pemeriksaan lingkup gerak sendi digunakan untuk menentukan tujuan
dan rencana terapi yang akan digunakan dalam menambah atau mengurangi
lingkup gerak sendi.
a. Fleksi trunk
1) Subjekdalamposisiberdiri tegak posisi anatomis, posisi tangan
menggantung, bahu rileks.
2) Letakkan meteran pada posisi pita awalan pada bagian proksimal prosesus
spinosus C7 dan hingga ke bagian distal dari S1
3) Arahkan subjek untuk membungkuk maiksimal (fleksi vertebra)
4) Ukur ROM fleksi trunk dengan dengan membandingkan posisi awal dan
Akhir

Ilustrasi Gambar Fleksi Trunk


(Sumber: https://med.unhas.ac.id/fisioterapi/wp-
content/uploads/2016/12/PENGUKURAN-EOM.pdf)
18

b. Hyperekstensi trunk
1) Subjekdalamposisiberdiri tegak posisi anatomis, posisi tangan
menggantung, bahu rileks.
2) Letakkan meteran pada posisi pita awalan pada bagian proksimal prosesus
spinosus C7 dan hingga ke bagian distal dari S1
Arahkan subjek untuk ekstensi vertebra maksimal

Ilustrasi Gambar Hyperekstensi Trunk


(Sumber: https://med.unhas.ac.id/fisioterapi/wp-
content/uploads/2016/12/PENGUKURAN-EOM.pdf)

6. Assesment myofascial pain syndrome upper trapezius

Fisioterapis dalam memberikan pelayanan kepada pasien harus melakukan


tata urutan tindakan fisioterapi (assasment) yang meliputi, anamnesis,
pemeriksaan, diagnosa fisioterapi, dann tujuan/rencana fisioterapi. Di bawah ini
adalah pelaksanaan studi kasus pada myofascial pain syndrome upper trapezius

Pengkajian Fisioterapi, pengambilan data pasien yang pertama dilakukan


seorang fisioterapis adalah anamnesis. Anamnesis ini biasanya memberikan
informasi penting untuk mencapai diagnosis banding, dan memberikan wawasan
vital mengenai gambaran keluhan yang menurut pasien paling penting. Anamnesis
harus disajikan dengan kata-kata pasien sendiri dan tidak boleh disamarkan
19

dengan istilah medis (Gleadle, 2007). Anamnesis terbagi menjadi dua yaitu auto
anamnesis dan hetero anamnesis, dari anamnesis tersebut didapatkan hasil, seperti
identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
dahulu, riwayat keluarga dan pribadi, dan anamnesis sistem.

Identitas Pasien, Dari anamnesis didapatkan hasil meliputi (1) Nama, (2)
Umur, (3) Jenis Kelamin, (4) Agama, (5) Pekerjaan, (6) Alamat, dan (7) No. RM

Keluhan Utama adalah hal yang dirasakan pasien saat ini, dari keluhan utama
juga ditanyakan faktor yang memperberat dan memperingan sakitnya.

Riwayat penyakit sekarang adalah tentang perjalanan penyakit yang diderita


sekarang. Adapun pertanyaan yang diajukan adalah kapan terjadinya, dimana
lokasinya, bagaimana terjadinya, riwayat pengobatan.

Riwayat Penyakit Dahulu, Dinyatakan dengan perjalanan penyakit yang


sama yang diderita oleh pasien dahulu dengan penyakit yang diderita pasien
sekarang. Adapun pertanyaan yang diajukan adalah kapan terjadinya, bagaimana
kejadiannya, berapa kali terjadinya, riwayat pengobatan disertakan pula riwayat
alergi, merokok dan alkoholik.

Riwayat Penyakit Pribadi dan Keluarga, Penting untuk mengetahui penyakit


yang pernah diderita oleh keluarga pasien apabila mungkin terdapat kontribusi
genetik yang kuat pada beberapa penyakit. Penting pula untuk mengetahui riwayat
pribadi pasien diantaranya latar belakang pasien, pengaruh penyakit yang diderita
pasien terhadap hidup dan keluarga pasien. Pekerjaan tertentu beresiko
menimbulkan penyakit tertentu.

Vital Sign, (1) Tekanan Darah, Tekanan darah dengan menggunakan


spignomanometer. (2) Denyut Nadi, Denyut nadi diukur secara manual dengan
cara palpasi. Pengukuran denyut nadi dapat dilakukan di beberapa tempat, seperti
arteri radialis, brachialis, jugularis, temporalis, femoralis, dan lain-lain. (3) Suhu
Tubuh, Alat pengukuran suhu tubuh adalah termometer. Pemeriksaan suhu tubuh
dilakukan untuk mengetahui apakah pasien demam atau tidak. Hal ini penting
20

dilakukan untuk mengetahui apakah terapi dapat dilakukan atau tidak. (4)
Pernafasan, Pemeriksaan pernafasan dilakukan dengan pengamatan, yaitu dengan
melihat ekspirasi dan inspirasi pasien Tujuan dari pemeriksaaan pernafasan adalah
untuk mengetahui adanya gangguan sesak nafas/gangguan respirasi lain atau
tidak. (5) Tinggi Badan, Alat ukur untuk pemeriksaan tinggi badan dengan
menggunakan midline atau pita ukur. Dan (6) Berat Badan, Pengukuran berat
badan dilakukan dengan menggunakan alat timbangan berat badan.

Inspeksi adalah pemeriksaaan fisioterapi dengan cara melihat atau


mengamati. Inspeksi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu statis dan dinamis.Inspeksi
statis merupakan inspeksi yang dilakukan saat pasien tidak bergerak atau dalam
keadaan diam, sedangkan inspeksi dinamis merupakan inspeksi yang dilakukan
saat pasien bergerak.

Palpasi adalah pemeriksaan dengan cara meraba, menyentuh dan menekan.


Pemeriksaan Gerak, (1) Pemeriksaan Gerak Aktif, pemeriksaan ini dilakukan
untuk mengetahui apakah pasien mampu untuk melakukan gerakan sendiri tanpa
bantuan, nyeri saat digerakkan dan mengetahui keterbatasan lingkup gerak sendi
pasien. (2) Pemeriksaan Gerak Pasif, Pemeriksaan gerak pasif ini dilakukan
dengan batuan fisioterapis. Tujuannya untuk mengetahui adanya nyeri gerak saat
digerakkan, bisa atau tidaknya full ROM saat digerakkan dan terdapat end feel.
Dan (3) Gerakan Isometrik Melawan Tahanan , Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui apakah ada provokasi nyeri saat otot dikontraksikan. Dalam
pemeriksaan ini hanya dilakukan gerakan isometrik saja yaitu terdapat kontraksi
otot namun tidak merubah lingkup gerak sendinya.

Kemampuan Fungsional dan Lingkungan Aktifitas, Pemeriksaan


kemampuan fungsional dilakukan untuk mengetahui kemampuan pasien dalam
melakukan aktifitas sehari-hari, selain itu untuk mengetahui ketergantungan
pasien terhadap bantuan orang lain atau lingkungan sekitarnya dalam melakukan
aktifitas fungsional.
21

Pemeriksaan, 1) Nyeri, (VAS) Visual analog scale (VAS) adalah cara yang
paling banyak digunakan untuk menilai nyeri. VAS juga dapat diadaptasi menjadi
skala hilangnya/reda rasa nyeri, 2) Manual Muscle Testing (MMT) merupakan
salah satu bentuk pemeriksaan kekuatan otot yang paling sering digunakan. MMT
hanya mampu mengukur secara kelompok otot (Trisnowiyanto, 2012). 3) Lingkup
gerak sendi adalah ruang lingkup gerakan sendi yang mampu dicapai atau
dilakukan oleh sendi. Pengukuran LGS yang sering digunakan adalah
goneometer, tapi untuk sendi tertentu menggunakan midline atau pita ukur
(Trisnowiyanto, 2012). 4) Pemeriksaan Aktifitas Fungsional dengan Neck
Distability Index .
Diagnosa Fisioterapi, 1) Impairment adalah permasalahan fisioterapi yang
utama.Misal pada nyeri, keterbatasan Lingkup Gerak Sendi, penurunan Kekuatan
otot , spasme dan sebagainya. 2) Functional Limitation adalah keterbatasan
kemampuan pasien dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Misalnya paasien
kesulitan untuk duduk tegak 3) Disabillity Keterbatasan pasien dalam melakukan
aktifitas sosial dan pekerjaan yang disebabkan karena penyakit yang diderita oleh
pasien.
Prognosis, 1) Quo ad vitam adalah pengaruh penyakit terhadap hidupnya, 2)
Quo ad sanam adalah penyakit tersebut bisa sembuh total atau tidak, 3) Quo ad
fungsionam adalah pengaruh penyakit terhadap fungsi organnya, dan 4) Quo ad
cosmeticam adalah pengaruh penyakit terhadap keindahannya.
Program/Rencana Fisioterapi, Rencana fisioterapi yang akan dilakukan harus
sesuai dengan problematika fisioterapi yang dialami oleh pasien. Hal ini juga
berlandaskan dari anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan sebelumnya.
Rencana/tujuan fisioterapi dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Jangka Pendek,
Tujuan jangka pendek adalah tujuan yang sifatnya segera dicapai dari
problematika fisioterapi dan merupakan awal dari pemulihan aktifitas fungsional.
2. Jangka Panjang, Tujuan jangka panjang adalah meneruskan dari tujuan jangka
pendek, setelah tujuan jangka pendek berhasil sehingga tujuan akhirnya adalah
meningkatkan aktifitas fungsional pasien seperti semula.
22

Edukasi adalah tindakan yang dianjurkan oleh fisioterapi kepada pasien yang
harus dilakukan di rumah/setelah melakukan terapi untuk membantu mempercepat
pemulihan dan atau mengurangi komplikasi yang lebih lanjut.

B. Penelitian Yang Relevan

Penelitian ini mengenani tentang pengurangan derajat kifosis dengan terapi

Kinesiotapping dan Muscle Energi. Berdasarkan ekspolarasi peneliti, ditemukan

beberapa tulisan yang berkaitan dengan penelitian ini.

1. Penelitian yang di lakukan oleh Amalia Rakhman (2015) yang berjudul

Pengaruh Penambahan Kinesiotaping Pada Core Stability Exercise dan Auto

Correct Posture Exercise Terhadap Penurunan Derajat Kifosis di MTs

Mu’allimat, Yogyakarta. Berdasarkan hasil pengurangan derajat kifosis

didapat 28 orang yang mengalami peningkatan derajat kifosis, namun yang

memenuhi kriteria inklusi 20 orang sampel. Dari 20 orang dibagi secara acak

menjadi 2 kelompok dengan masing-masing kelompok 10 orang. Pada 1

kelompok diberi perlakuan penambahan kinesiotaping pada core stability

exercise dan auto correct posture exercise. Pemasangan kinesiotaping di

aplikasikan pada Trapezius upper dengan membentuk “I” kinesiotaping

kemudian ditarik secara diagonal ke prosesus spinous dari T6 sebagai titik

persimpangan antara taping diberikan seminggu 2 kali selama 4 minggu. Saat

pre test diperoleh nilai rata-rata 25,791 dan post test diperoleh nilai rata-rata

23,018 dengan selisih nilai pre test dan post test adalah 2,773.
23

2. Penelitian yang dilakukan oleh Hifzillah Army (2016) yang berjudul

Efektifitas Latihan Koreksi Postur Terhadap Disabilitas dan Nyeri Leher

Kasus Sindroma Myofacial Otot Upper Trapezius Mahasiswa Wanita

Universitas Esa Unggul. Adapun hasil penelitian, Saat pre test diperoleh nilai

rata-rata 0,956 dan post test diperoleh nilai rata-rata 0,052 dengan selisih nilai

pre test dan post test adalah 0,650.

3. Penelian yang dilakukan oleh Mehmet Fatih (2018) yang berjudul The Effect

Of Postural Kinesiotaping In The Treatment Of Thoracic Kyphosis. Adapun

hasil penelitian, Saat pre test diperoleh nilai rata-rata 62 dan post test

diperoleh nilai rata-rata 57 dengan selisih nilai pre test dan post test adalah 5.

C. Kerangka Berfikir

Myofacial pain syndrome adalah suatu kondisi nyeri dimana nyeri tersebut

dapat dirasakan atau terlokalisasi biasanya di tandai dengan penurunan aktifitas

fungsional, terkadang, menimbulkan keterbatasan fungsi gerak. Ada beberapa

factor penyebab dari myofacial pain syndrome, salah satunya adalah factor lokal,

beberapa kondisi lokal yang mempengaruhi aktivitas otot sperti kebiasaan sikap

badan yang salah, keseleo, dan aktivitas otot yang berlebihan dapat menghasilkan

nyeri myofacial, factor lain yang memicu terjadinya myofacial pain syndrome

adalah factor sistemik. Beberapa faktor sistemik dapat mempengaruhi atau bahkan

menghasilkan nyeri myofacial seperti: hipovitaminosis , kondisi fisik yang rendah,

lelah, dan inveksi virus. Selain itu, myofacial syndrome juga dapat di pengaruhi
24

oleh faktor internal yaitu usia. Otot yang sering mengalami myofacial adalah otot

trapezius.

Terdapatnya titik pemicu sakit (trigger point) pada myofacial syndrome,

menyebabkan terjadi nya penurunan daya tahan dan kekuatan otot. Hal ini

mengakibat kan terjadi nya penurunan lingkup gerak sendi pada leher. Adanya

trauma otot juga memicu ketegangan, ketegangan yang kuat akan membuat

penekanan pada nociceptor yang menyebabkan terjadinya iskemik pada jaringan.

Hal ini akan merangsang substansi yang menimbulkan nyeri.

Intervensi yang dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan

lingkup gerak sendi pada kasus myofacial pain syndrome ini adalah kinesiotaping

dan muscle energy technique selain itu fisioterapi dapat mengkombinasi kan

kedua terapi tersebut dengan mucle enrgy technique diberikan denga tujuan untuk

meningkat kan fungsi musculoskeletal dan mengurangi nyeri denga mengunakan

tahan minimal sebesar 20% dari kekuatan otot. Efek yang timbuulkan yaitu

rileksasi otot tanpa menimbulkan nyeri dan kerusakan jaringan, sehingga tidak

menimbulkan iritasi dan ketegangan.


25

Faktor Internal Faktor Eksternal

 Usia (25-50 tahun) Myofacial Upper  pekerjaan,


 Factor hormonal Trapezius  ergonomi kerja yang buruk
 jeniskelamin  sikap

 Nyeri dan spasme


 Penurunan lingkup gerak sendi
 Penurunan kemampuan aktifitas
fungsional
 kifosis

Muscle
kinesio Kifosis energi
tapping

 Mengurangi nyeri dan spasme


 Peningkatan lingkup gerak sendi
 Peningkatan kemampuan aktifias
fungsional
 Pengurangan derajat kifosis

Pengurangan
derajat kifosis

Bagan 2.1 Skema Kerangka pikir


26

D. Kerangka Konsep

Faktor Internal Faktor Eksternal

(Usia, Factor Myofacial Upper (pekerjaan, ergonomi


hormonal, jenis Trapezius kerja yang buruk, sikap)
kelamin)

kinesiotapping Kifosis Muscle energi

Pengurangan
derajat kifosis

Bagan 2.2 Skema Kerangka Konsep

E. Hipotesa

Ada pengaruh pemberian kniseotaping dan muscle energy terchnique terhadap


pengurangan derajat kifosis.
BAB III

RENCANA PENELITIAN

A. Jenis/ rancana metode penelitian dan metode pendekatan


1. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini bersifat ekperimental dengan menggunakan


penelitian berupa One group Pre Test and Post test Design (Sugiono, 2007).
Yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang berpengaruh atau
tidaknya perlakuan yang diberikan dalam penelitian dari hasil pengukuran
dalam suatu group sebelum dan sesudah diberikan perlakuan.
Perlakuan didalam penelitian ini diberikan sekali pengukuran yaitu saat
pengukuran awal dan pengukuran pada akhir perlakuan setelah melakukan 12
kali latihan pada group ini. Skema rancangan penelitian digambarkan seperti
dibawah:

P S O1 PERLAKUAN O2

Keterangan:

P : Populasi

S : Objek Penelitian/client

O1 : Nilai Pre test sebelum perlakuan

P : Perlakuan

O2 : Nilai Post test setelah diberikan perlakuan


28

B. Populasi dan Sample

1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah penjahit yang
mengalami kifosis di kota Medan.

2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti
penentuan sampel harus memenuhi criteria inkulusi dan ekslusi.
a. Kriteria Inklusi
1) Penjahit yang berada di kota Meda dengan umur 25-50 tahun
2) Penjahit yang mengalami kifosis
3) Responden bersedia, dan maumenjadi objek penelitian hingga
penelitian berakhir.

b. Kriteria Eksklusi
1) Kondisi patologis seperti fraktur cervikal.
2) Adanya luka di sekitar leher.
3) Subjek yang telah atau sedang mendapat intervensi lain di region
leher.

c. Kriteria drop – out :


1) Subjek tidak datang tiga kali berturut – turut.
2) Subjek mengundurkan diri saat proses penelitian.
3) Kondisi subjek memburuk setelah pemberian terapi.
29

C. Variabel dan Defenisi Operasional

1. Variabel Penelitian
a. Variabel terikat (Independent) : Pengurangan Derajat Kifosis
b. Variabel bebas(dependent) : Program Fisioterapi

2. Defenisi Operasional
a. Kinesiotaping adalah plester berperekat yang berbentuk pita dan
terbuat dari bahan lateks. Taping digunakan untuk membantu kinerja
otot, sendi dan jaringan ikat. Kinesiotaping juga membantu membatasi
gerak sendi (ROM), mengurangi waktu pemulihan cedera, serta
mengurangi rasa nyeri dan peradangan. Elastisitas dari taping ini bisa
dari 30% hingga 40% dengan efek yang berbeda. Taping ini bisa
digunakan 3-5 hari dan tahan air.

b. Muscle energy technique merupakan teknik relaksasi otot dengan cara


pemberian kontraksi isometrik sebelum dilakukan stretching yang
bertujuan sebagai proprioceptive neuromuscular facilitation untuk
menghindari kerusakan jaringan lebih lanjut. Penerapan muscle energy
technique didasarkan pada penggunaan otot pasien, selanjutnya
dilakukan relaxasi dan stretching pada otot agonis dan antagonis, yang
bertujuan untuk penguatan atau meningkatkan tonus otot yang lemah,
melepaskan hipertonus, stretching ketegangan otot dan fascia,
meningkatkan fungsi muskuloskeletal, mobilisasi sendi pada
keterbatasan gerak sendi, dan meningkatkan sirkulasi lokal, dan
mengurangi nyeri.
30

D. Rencana Alur Penelitian

E.
Populasi

Inklusi Ekslusi

Sample: 10 orang

Pre-Test

Kinesiotapping & Muscle


Energi

Post- Test

Data
HasilPengujian

Analisis
Data

Hasil

Gambar : Alur Rencana Penelitian


31

E. Metode Rencana Pengumpulan Data

1. Ada beberapa langkah yang akan diterapkan dalam penelitian ini antara lain :
a. Melakukan proses perizinan pada institusi yang akan menjadi tempat
penelitian.
b. Memberikan penjelasan pada sejumlah calon sampel tentang rencana
penelitian.
c. Meminta persetujuan pasien (inform concent) untuk menjadi sampel
penelitian.
d. Sampel dengan kondisi kifosis dengan diambil data tentang karakteristik
sampel dengan menggunakan pemeriksaan penelitian yang ditetapkan.
e. Dilakukan pengukuran awal pada setiap sampel dengan pengukurann
Midline sebelum sampel mendapatkan perlakuan.
f. Pemberian perlakuan pada sampel sesuai dengan variable yang ditetapkan
dalam penelitian.
g. Pengukuran akhir pada setiap sampel dengan Kinesiotaping dan Muscle
Energi sampel mendapatkan perlakuan sebanyak 12 kali.
h. Pengumpulan data, analisa data dan pembuatan laporan hasil penelitian.

2. Tahap pemilihan sampel


a. Tahap pra penelitian
1) Studi pendahuluan dan teori untuk mendapatkan data yang mendukung
penelitian.
2) Persiapan materi dan konsep untuk mendukung jalannya penelitian.
3) Penyusunan proposal.

b. Tahap persiapan penelitian


1) Penyusunan instrumen penelitian yang akan digunakan.
2) Pengurusan izin penelitian dari Politekes dr.Rusdi Medan
3) Permohonan ijin kepada responden
32

c. Tahap pelaksanaan
Pelaksanaan penelitian diawali dengan mengumpulkan calon
responden dari Kelompok penjahit. Dilanjutkan mendata calon responden
yang menyetujui menjalani fisioterapi dan yang tidak. Selanjutnya calon
responden dibagikan lembar informasi penelitian dan informed consent
apabila bersedia menjadi subjek penelitian.
Subjek kelompok intervensi dilakukan pengambilan data pretest
melalui kuesioner pada saat menjalani fisioterapi pertama,dan postest saat
menjalani fisioterapi terakhir. Subjek kelompok kontrol dilakukan
pengambilan data pretest.
Data karakteristik subjek penelitian diperoleh melalui rekam medis
dan pemeriksaan yang dilakukan di poli

d. Tahap penyelesaian
Data yang diperoleh akan dianalisis kemudian dibahas untuk
penyusunan karya tulis ilmiah dan dilanjutkan dengan presentasi hasil
penelitian.

F. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang di peroleh dari responden kemudian dikumpulkan dengan


lengkap dan dioleh dengan cara:

1. Editing, merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan kusioner dari


aspek kelengkapan, kejelasan, relevansi dan konsistensinya
2. Data entry (memasukkan data) yaitu proses memasukkan data dengan
menggunakan fasilitas software computer untuk dilakukan pengelolahan data
dengan program olah data.
3. Pengolahan data yaitu data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis
dengan menggunakan software program SPSS for windows.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurasyid. (2013). Penggunaan Kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda


dengan perekat placebo dalam mengurangi resiko cedera berulang dan
derajat Q-Angle pada penderita patellofemoral pain syndrome. Tesis.
Udayana.

Amalia, R. (2015). Pengaruh Penambahan Kinesiotaping pada core stability


exercise dan auto correct posture exercise terhadap penurunan derajat
kifosis. Skripsi. Yogyakarta: STIKES ‘Aisyiyah.

Anggraeni, N. C. 2013. “Penerapan Myofascial Release Technique Sama Baik


dengan Ischemic Compression Technique dalam Menurunkan Nyeri
pada Sindroma Miofasial Otot Upper Trapezius”. Skripsi. Denpasar:
Universitas Udayana.

Atmadja, A. S. 2016. Sindrom Nyeri Myofascial. CDK-238/ Vol. 43 No. 3.

Bambang Trisnowiyanto, 2012. Instrument Pemmeriksaan Fisioterapi dan


Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika

Cael, C. 2010. Functional Anatomy, Musculoskeletal Anatomy, Kinesiology, And


Palpation For Manual Therapists. Philadelphia: Williams & Wilkins.

Chaitow, L. 2006. Muscle Energy Technique. 3rd Ed. Churchill Livingstone:


Edinburgh

Chochowska, Molgarzata. 2015. Differential Diagnosis between fibromyalgia


syndrome and myofascial pain syndrome. Journal of Pre- Clinical
and Clinical Reasearch.
Fryer, G. 2011. Muscle Energy Technique : An Evidence-Informed Approach.Int.
J. Osteopath Med, 14(1): 3-9.
34

Gerwin, R. D. 2001. Classification, Epidemiology, and Natural History of


Myofascial Pain Syndrome. USA: Departement of Neurology, John
Hopkins University.

Gleadle, Jonathan. 2007. At aGlance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:


Erlangga.

Hendrick, C.R. 2010. The Therapeutic Effects Of Kinesio™ Tape On A Grade I


Lateral Ankle Sprain (Disertasi). Virginia. Virginia Polytechnic Institute
and State University.

Kase, K. Wallis, J. Kase, T. 2003. Clinical therapeutic applications of the


kinesiotaping method 2nd edition. Jepang. Ken Ikai Co.

Kostopoulus, D., Rizoupoulus, K. 2001. The Manual of Trigger Point and


Myofascial Therapy. 1st ed. New York: Slack Incorporated.

Makmuriyah, & Sugijanto. 2013. Iontophoresis Diclofenac Lebih Efektif


Dibandingkan Ultrasound Terhadap Pengurangan Nyeri Pada
Myofascial Syndrome Musculus Upper Trapezius. Jurnal Fisioterapi
Vol.13 No.1.

Mostafavifar, M. Wertz, J. Borchers, J. 2012. A systematic review of the


effectiveness of kinesio taping for musculoskeletal injury. Columbus.
The Physician and Sport Medicine. 2012 Nov;40(4):33-40. Available

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta.

Prentice, William E. (2011). “Principle of Athletic Training : a Competency-


Based Approach 14th Edition”. New York;The McGraw-Hill.p.232-233.

Putz, R et al. 2003. Atlas aAnatomi Manusia Sobotta jilid 2. Buku Kedokteran

Tsai, Chien-Tsung; Wen-Den Chang; Jen-Pei Lee. (2010). “ Effects of Short-term


Treatment with Kinesio Taping for Plantar Fasciitis”. Jurnal of
Musculoskeletal Pain. 18(1), 71-80.

Anda mungkin juga menyukai