Diajukan oleh :
i
i
Disusun oleh :
Nailatul Safnia Dilla
170102012
Telah di setujui
Pada Tanggal : 27 Mei 2021
Mengetahui :
Ketua Progdi D IV Fisioterapi Pembimbing
Riani Baiduri Siregar S.Ft, M.Fis Relina Sinaga SST, S.Pd, M.Kes
NIDN : 010508902 NIDN : 0120105301
ii
Disusun oleh :
Nailatul Safnia Dilla
170102012
Relina Sinaga, SST, S.Pd, M.Kes Riani Baiduri Siregar, S.Ft M.Fis
NIDN : 0120105301 NIDN : 010508902
iii
PERNYATAAN
Nim : 170102012
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang saya peroleh
dari skripsi ini.
Medan,
Yang membuat pernyataan
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena senantiasa melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehiga penulis dapat
meyelesaikan proposal yang berjudul “Pengaruh Pemberian Kinesiotaping Dan
Muscle Energy Technque Terhadap Pengurangan Derajat Kifosis Pada Penderita
Myofascial Upper Trapezius”. Proposal ini disusun guna memenuhi sebagian
persyarataan dalam menyelesaikan program pendidikan Diploma IV Fisioterapi
Poltekkes YRSU Dr. Rusdi Medan.
Penulis menyadari bahwa penulisan proposal ini tidak lepas dari bantuan,
bimbingan, arahan dan dorongan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Dra. Hj.Marlina Nasution, Sst,M Fis selaku ketua Yayasan Politekknik
Kesehatan YRSU Dr. Rusdi Medan.
2. Ibu Nurul Rahma Siregar, M.kes selaku Direktur Politekknik Kesehatan
YRSU Dr. Rusdi Medan.
3. Ibu Relina Sinaga SST, S.Pd, M.Kes selaku Ketua Jurusan Fisioterapi
Politekknik Kesehatan YRSU Dr. Rusdi Medan dan selaku dosen pembimbing
dalam menyusun proposal penulis.
4. Ibu Riani Baiduri Siregar, S.Ft, M.Fis selaku Kepala Prodi D IV Fisioterapi
Politekknik Kesehatan YRSU Dr. Rusdi Medan.
5. Para staf pendidik dan dosen yang telah memberi banyak ilmu bagi penulis
yang tidak bisa penulis ungkapkan satu-persatu.
6. Kepada Alm.Mama, Ayah, Nenek, Adik-Adik, Bunda serta Hazrul Mazwar
yang telah memberi banyak dukungan dan bantuan dalam pembuatan proposal
ini.
7. Kepada sahabat-sahabat dan teman seperjuangan D IV Fisioterapi yang telah
memberi banyak dukungan dan bantuan dalam pembuatan proposal ini.
v
Akhir kata, penulis menyadari bahwa apa yang tertuang dalam proposal ini
masih banyak memiliki kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Untuk itu,
saran dan kritik membangun sangat penulis harapkan dan semoga proposal ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR ISI
……………………………………..........................ii
PERNYATAAN....................................................................................................iii
iv
vi
B. 22
23
26
26
vii
27
27
28
29
30
31
32
33
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Myofascial pain syndrome adalah gejala rasa nyeri pada bahu dan atau
leher dan atau nyeri tekan pada sekurang-kurangnya salah satu otot leher
bagian atas dan m. trapezius bagian atas; dan sekurang-kurangnya salah satu
dari m. supraspinatus atau m. infraspinatus (Suma’mur, 2009). Sindrom
nyeri myofascial adalah sebuah kondisi nyeri otot ataupun fascia, akut
maupun kronik, menyangkut fungsi sensorik, motorik, ataupun otonom yang
berhubungan dengan MTrPs. MTrPs ini sering ditemukan di daerah sekitar
leher dan punggung (Atmadja, 2016). Nyeri pada daerah leher sampai pundak
ini timbul karena kerja otot yang berlebihan, aktifitas sehari-hari yang terus-
1
2
menerus dan sering menggunakan kerja otot upper trapezius, sehingga otot
menjadi tegang, spasme, tightness dan stiffness (Makmuriyah et al., 2013).
oleh group otot fleksor dan ligamen longitudinal anterior (Kapandji, 2008).
Gerakan rotasi, Terjadi pada bidang horizontal dengan aksis melewati
prosesus spinosus dan membentuk sudut normal 45º. Otot penggerak
utamanya adalah otot iliocostalis lumborum untuk rotasi ipsi lateral dan
kontralateral. Pada gerakan rotasi terjadi kontraksi berlawanan dari otot
obliques eksternus abdominis. Gerakan rotasi dibatasi oleh otot obliques
internus dan ligamen interspinosus (Kapandji, 2008). Gerakan lateral fleksi,
Terjadi pada bidang frontal, dan membentuk sudut 30º. Otot penggerak
utamanya adalah otot obliques internus, otot obliques eksternus, otot
quadratus lumborus, otot erector spine, otot multifidus, dan otot
intertransversari (Hislop and Montgomery, 2002).
Prevalensi kasus myofascial pain syndrome di Indonesia belum terdapat
data. Namun di Amerika myofascial pain syndrome penyebab utama
disabilitas kerja dan penyebab kedua terbanyak disabilitas (Atmadja, 2016).
Myofascial pain syndrome umumnya terjadi pada masyarakat dengan angka
kejadian 54% pada perempuan dan 45% pada laki-laki. Usia yang paling
sering ditemukan myofascial pain syndrome adalah pada usia produktif yaitu
usia 27-50 tahun. (Delgado, et al. 2009 dalam Kharismawan et al. 2016).
Menurut Anggraeni (2013) dan Tarwaka (2015) beberapa faktor yang
mempengaruhi myofascial pain syndrome adalah usia, jenis kelamin,
kebiasaan merokok, kesegaran jasmani, trauma pada otot, masa kerja, dan
lama kerja.
Fisioterapi dapat memanajemen myofascial pain syndrome dengan
modalitas kinesiotaping dan muscle energy technique. Secara teoritis,
kinesiotaping pengobatan didasarkan pada fungsi pengangkatan kulit dari
jaringan lunak di bawahnya yang meningkatkan jarak antara kulit dan otot dan
karena itu mendorong aliran darah dan drainase limfatik. Juga, menerapkan
kinesiotaping pada kulit dapat mengubah fungsi rangsang sentral sistem saraf.
Oleh karena itu, kinesiotaping dapat digunakan untuk mengontrol rasa sakit
dan mengelola aktivitas otot serta meningkatkan range of motion.
4
B. Rumusan Masalah
Apakah ada pengaruh pemberian kinesiotaping dan muscle energy terhadap
pengurangan derajat kifosis pada penderita myofascial syndrome upper
trapezius
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui pengaruh kinesiotaping dan muscle energy terhadap
pengurangan derajat kifosis pada penderita myofascial syndrome upper
trapezius
5
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Fisioterapi
Dalam penelitian ini diharapkan fisioterapis mampu memberikan
informasi tentang penderita myofascial syndrom upper trapezius yang
mengalami peningkatan derajat kifosis dan penanganan yang lebih
berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan aktivitas fungsional
dengan memberikan intervensi kinesiotaping dan muscle energy.
2. Bagi peneliti
Dengan adanya skripsi ini akan menimbulkan manfaat bagi peneliti
dengan bertambahnya ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam
manajemen fisioterapi dan menjadi acuan dalam penelitian selanjutnya
pada penderita myofascial syndrom upper trapezius yang mengalami
kifosis.
3. Bagi masyarakat
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat tentang
pengertian, masalah pada penderita myofascial syndrom upper trapezius
serta penanganan fisioterapi terhadap pengurangan derajat kifosis.
4. Bagi Institusi
Dalam penelitian ini institusi dapat memperkaya jurnal lokal
maupun jurnal internasional tentang penderita myofascial pain syndrom
upper trapezius yang mengalami kifosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Pengertian myofascial pain syndrome upper trapezius
Nyeri adalah pengalaman manusia yang normal dan biasa. Nyeri
membantu kita untuk mempelajari perilaku protektif ketika kita terancam dan
perilaku yang aman ketika tubuh kita terluka. Nyeri biasanya terlihat seperti
pengalaman yang bisa diprediksi. Dalam keadaan normal, reseptor dalam
jaringan tubuh merespon pada rangsangan stimulasi yang dapat diprediksi.
Ketika mereka merespon, mereka memulai potensial aksi yang berjalan
sepanjang neuron perifer ke sumsum tulang belakang. Neurotransmitter yang
dilepaskan dari neuron-neuron ini sering mengaktifkan neuron sekunder, yang
mengirim potensial aksi ke sumsum tulang belakang menuju ke otak. Lalu
otak mengevaluasi informasi ini. Seringkali rasa sakit dirasakan di jaringan
yang telah terstimulasi (Jones, et al. (2013).
Nyeri akut merupakan nyeri yang berlangsung singkat akibat cedera akut,
penyakit atau intervensi bedah dengan proses yang cepat dan memiliki
intensitas ringan hingga berat (Andarmoyo 2013, dalam Hindun, 2016).
Durasi nyeri diperkirakan ≤ 6 bulan dan area yang rusak dapat pulih kembali
serta akan menghilang tanpa pengobatan (Prasetyo (2010, dalam Hindun,
2016). Nyeri kronik berlangsung lama biasanya ≥ 6 bulan, intensitas bervariasi
(ringan hingga berat), nyeri konstan menetap dalam suatu periode waktu
(Potter, et al. 2007, dalam Hindun 2016)
Myofascial pain syndrome didefinisikan sebagai nyeri muskoloskeletal
yang lokasi nyerinya terdapat di otot. Myofascial pain syndrome
diklasifikasikan sebagai nyeri yang bisa terjadi secara akut ataupun kronis,
regional ataupun umum. Gangguan ini bisa menjadi gangguan primer yang
menyebabkan nyeri lokal atau regional, atau gangguan sekunder yang terjadi
akibat beberapa kondisi lainnya.
6
7
Pada bagian yang mengalami nyeri ditemukan trigger point. Trigger points
adalah benjolan/nodul yang hipersensitif yang ditemukan pada sebuah taut
band. Terdapat dua jenis trigger point, yaitu: aktif dan pasif. Trigger points
aktif berhubungan dengan keluhan nyeri spontan yang mungkin terjadi saat
istirahat atau selama bergerak dan menyebabkan nyeri rujukan sama seperti
yang dirasakan saat dilakukan palpasi pada trigger point. Sedangkan trigger
points pasif tidak menyebabkan nyeri spontan, namun ditimbulkan oleh
tekanan manual pada area trigger point. Trigger points pasif dapat mengubah
pola motor rekruitmen, menyebabkan keterbatasan gerak, kelemahan otot dan
dapat menjadi aktif jika stimulasi seperti postur yang salah, penggunaan otot
yang berlebihan atau ketidakseimbangan kerja otot (Maruli, et al., 2014).
Myofascial pain syndrome sering terjadi pada otot upper trapezius. Nyeri
yang terjadi pada otot upper trapezius merupakan nyeri lokal atau nyeri
menjalar. Nyeri ini disebabkan karena kerja otot yang berlebihan. Aktivitas
sehari-hari yang menggunakan otot trapezius dalam waktu lama menyebabkan
otot menjadi tegang, spasme, tightness dan stiffness. Otot yang tegang dalam
waktu lama akan membuat mikrosirkulasi menurun, sehingga terjadi iskemik
dalam jaringan. Pada serabut otot akan terjadi ikatan tali yang abnormal
membentuk taut band dan mencetuskan adanya nyeri, karena merangsang
hipersensitivitas (Makmuriyah dan Sugijanto, 2013).
M. sternocleidomastoideus
M. splenius capitis
M. trapezius
M. spienius capitis
Acromion
M. teres major
Scapula, Angulus interior
M. infraspinatus,
Fascia infraspinata
M. rhomboideus major M. latissimus dorsi
Gambar Otot Upper Trapezius
(Sumber: Putz, R et al. 2003. Atlas aAnatomi Manusia Sobotta jilid 2. Buku
Kedokteran)
b. Perubahan patologi
Otot upper trapezius adalah otot tipe I atau tonik dan juga merupakan otot
postural yang berfungsi melakukan gerakan elevasi. Kelainan yang terjadi
pada tipe otot ini cenderung tegang dan memendek. Itu sebabnya jika otot
upper trapezius berkontraksi dalam jangka waktu lama, maka jaringan ototnya
menjadi tegang dan akhirnya timbul nyeri. Kerja otot upper trapezius akan
bertambah berat dengan adanya postur yang buruk, mikro dan makro trauma.
Mikro trauma pada otot disebabkan karena overstretching, overshortening, dan
overloading. Ketika otot mengalami overstretching, overshortening, dan
overloading, maka bagian dari serabut otot akan rusak dan diikuti oleh ruptur
dari membran sel otot (sarcolemma). Mikro trauma dihasilkan oleh pergerakan
yang berulang (repetitive movement), gerakan dengan kecepatan tinggi, dan
posisi tubuh yang buruk (Kostopoulos & Rizopoulos, 2001).
10
d. Etiologi
Penyebab terjadinya myofacial pain syndrome otot upper
trapeziusdisebabkan oleh beberapa factor antara lain, (1) Faktor mekanik,
ergonomi yang meliputi poor body mechanics, penggunaan otot dalam kondisi
statis lama, kompresi pada otot dan mekanisme kerja yang buruk pada leher
dan bahu mengambarkan beban kerja otot upper trapezius lebih berat,
digambarkan seperti pada posisi bekerja yang menyebabkan kepala miring dan
menoleh terus menerus. (2) Degenerasi pada otot, proses degenerasi pada otot
akan terjadi penurunan jumlah serabut otot, atrofi beberapa serabut, fibril
menjadi tidak teratur, berkurangnya 30% massa otot terutama otot tipe II,
degerasi myofibril yang akan mempengaruhi penurunan kekuatan dan
fleksibilitas dari otot. (3) Trauma makro pada sytuktur miofasial, cederaakut
pada otot, tulang dan sendi maka akan membentuk trigger areaini dapat
diartikan sebagai daerah kecil terbatas tegas dan hipersensitif pada otot atau
jaringan ikat bila daerah tersebut diberi rangsangan/penekanan akan
11
menimbulkan nyeri local dan juga menyerang system saraf pusat yang
menimbulkan nyeri yang menjalar. (4) Trauma makro pada struktur miofasial,
trauma makro yang berulang-ulang (Repetitive Injury) akibat aktifitas sehari
hari dan strains otot khususnya pada individu dengan kegiatan yang sama dan
menetap setiap harinya pada usia diatas 35 tahun. (Widodo, 2011)
e. Diagnosa Banding
Fibromyalgia Syndrome merupakan Kondisi muskuloskeletal yang mirip
dengan myofascial syndrome, nyeri myofasial didefinisikan sebagai keluhan
sensorik, motorik dan otonom, yang disebabkan oleh adanya titik pemicu atau
Trigger Point (TrP). Sedangkan pada fibromyalgia dapat ditegakkan dengan
anamnesis berdasarkan rasa sakit umum dan rasa sakit pada minimal 11 dari
18 titik nyeri yang dapat ditentukan lokasinya secara tepat. Pasien dengan
fibromyalgia bisa disertai dengan keluhan-keluhan lainnya yang sangat tidak
spesifik. Membedakan nyeri miofasial dengan gangguan otot lainnya hanya
dapat dilakukan dengan melakukan palpasi pada trigger point.
f. Diagnosis
Kriteria diagnosis sindrom nyeri myofascial menurut Atmadja (2016)
masih berbeda-beda karena masih kurangnya kriteria diagnosis berbasis studi
multisenter internasional atau pertemuan konsensus para ahli. Kriteria
diagnosis sindrom nyeri myofascial berupa lima kriteria mayor dan setidaknya
satu dari tiga kriteria minor. Kriteria mayor, (1) Nyeri spontan yang
terlokalisasi. (2) Nyeri spontan atau perubahan sensasi pada suatu area nyeri
alih. (3) Teraba adanya gumpalan atau benjolan pada otot yang nyeri. (4)
Nyeri tekan lokal pada titik tertentu sepanjang benjolan atau gumpalan. (5)
Adanya penurunan ruang gerak pada berbagai derajat. Kriteria minor, (1)
Terjadinya nyeri spontan dan perubahan sensasi dengan menekan trigger
point. (2) Adanya respons kedut lokal pada serat otot dengan mempalpasi
tajam atau dengan insersi jarum ke trigger point. (3) Nyeri berkurang dengan
peregangan otot atau injeksi trigger point. Belum ada pemeriksaan
12
g. Prognosis
Nyeri miofasial sangat tergantung pada durasi penyakit dan faktor pemicu
yang dapat dikendalikan. Diagnosis dini dan penanganan segera akan
menghasilkan luaran yang baik. Nyeri yang memiliki etiologi jelas biasanya
memiliki prognosis baik. Trigger point yang aktif dapat dihilangkan dengan
penanganan adekuat sehingga pasien dapat merasakan ruang gerak penuh
tanpa nyeri. Pasien dengan nyeri alih yang stabil dan tidak disertai dengan
penyebaran ke otot sekitarnya biasanya merespon lebih baik (bisa sembuh
dengan mengoreksi faktor pemicu dan penanganan adekuat) ketimbang nyeri
yang berlangsung progresif memburuk. Apabila penanganan yang diberikan
tidak adekuat dan nyeri menetap lama, sensitisasi sentral segmental dapat
terjadi yang akhirnya berujung pada nyeri kronis. Pada kasus tersebut, apabila
sensitisasi sentral menyebar maka akan terjadi nyeri kronis yang menyebar
luas dan fibromyalgia. Meskipun trigger point aktif tampaknya sudah
dinonaktifkan, beberapa trigger point aktif dapat berubah menjadi trigger
point laten. Trigger point laten dapat menjadi aktif kembali ketika otot bekerja
berlebihan atau terekspos faktor pemicu lagi. Disabilitas dan keterbatasan
ruang gerak yang ditimbulkan oleh trigger point laten bisa menetap hingga
bertahun-tahun. Masih tidak jelas mengapa ada trigger point yang bisa sembuh
total dan mengapa ada yang justru berubah menjadi laten. Beberapa orang
tampaknya lebih rentan mengalami pembentukan trigger point dan lebih sulit
untuk mencegah reaktivasi trigger point laten dalam dirinya. Pada orang-orang
tersebut, trigger point bisa berakumulasi sepanjang hidupnya sehingga penting
untuk terus menerus menghindari faktor pemicu dan mencegah kerja otot
13
berlebih. Pada semua kasus, faktor pemicu nyeri harus sebisa mungkin
dihilangkan, pasien harus diposisikan seoptimal mungkin, serta dilakukan
program latihan yang optimal di rumah.
4. Intrvensi Fisioterapi
a. Kinesiotaping
Kinesiotaping adalah salah satu metode taping yang diperkenalkan oleh
Dr. Kenzo Kase di Jepang sekitar 25 tahun yang lalu. Taping ini digunakan
untuk membantu kinerja otot, sendi dan jaringan ikat. Kinesiotaping juga
membantu membatasi gerak sendi (ROM), mengurangi waktu pemulihan
cedera, serta mengurangi rasa nyeri dan peradangan. Elastisitas dari taping ini
bisa dari 30% hingga 40% dengan efek yang berbeda. Taping ini bisa
digunakan 3-5 hari dan tahan air (Mehran Mostafavifar, 2012).
Kinesiotaping merupakan salah satu perekat yang digunakan oleh
fisioterapis, dokter, sport medicine, & personal trainer untuk membantu
pemulihan dan menopang otot yang sedang mengalami cedera (Abdurrasyid,
2013). Kinesiotaping ini berbeda dengan taping/perekat yang sering
digunakan untuk menyokong atau menahan sendi, melainkan perekat yang
dibuat hampir menyerupai dengan kulit dan ketebalannya seperti epidermis
kulit tubuh manusia, serta dapat diregangkan hingga 140% dari panjang
normal sebelum di aplikasikan ke kulit, sehingga memberikan ketegangan
yang kuat saat diaplikasikan pada kulit (Prentice, 2011).
Beberapa manfaat dari kinesiotaping antara lain meningkatkan kontraksi
otot, membantu otot dalam melakukan fungsinya, mampu merangsang
mekanoreseptor pada kulit dan meningkatkan penerimaan motor unit
(Guilherme S, 2013). Aplikasi kinesiotaping juga mampu meningkatkan
kemampuan sensomotoris pasien post stroke. Kinesiotaping dapat
meningkatkan propioseptif feedback sehingga menghasilkan posisi tubuh yang
benar, hal ini menjadi hal yang sangat dasar yang diperlukan ketika latihan
untuk mengembalikan fungsi dari extremitas dilakukan. Pemotongan
14
dan mendukung kerja otot. (5) 100% regangan sangat tinggi, untuk membantu
menstabilisasi dan mendukung kerja otot.
Regangan dengan presentasi kecil lebih baik dari pada terlalu tegang untuk
menentukan toleransi.
yang memiliki prinsip kerja yaitu ketika otot agonis berkontraksi dan
memendek, otot antagonis harus rileks dan memanjang sehingga gerakan
terjadi dibawah pengaruh otot agonis. Kontraksi otot agonis reciprocal
menghambat otot antagonis sehingga menimbulkan gerakan yang pelan, lebih
kuatnya kontraksi otot agonis, hambatan lebih terjadi, dan otot antagonis lebih
rileks (Chaitow, 2006).
b. Hyperekstensi trunk
1) Subjekdalamposisiberdiri tegak posisi anatomis, posisi tangan
menggantung, bahu rileks.
2) Letakkan meteran pada posisi pita awalan pada bagian proksimal prosesus
spinosus C7 dan hingga ke bagian distal dari S1
Arahkan subjek untuk ekstensi vertebra maksimal
dengan istilah medis (Gleadle, 2007). Anamnesis terbagi menjadi dua yaitu auto
anamnesis dan hetero anamnesis, dari anamnesis tersebut didapatkan hasil, seperti
identitas pasien, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
dahulu, riwayat keluarga dan pribadi, dan anamnesis sistem.
Identitas Pasien, Dari anamnesis didapatkan hasil meliputi (1) Nama, (2)
Umur, (3) Jenis Kelamin, (4) Agama, (5) Pekerjaan, (6) Alamat, dan (7) No. RM
Keluhan Utama adalah hal yang dirasakan pasien saat ini, dari keluhan utama
juga ditanyakan faktor yang memperberat dan memperingan sakitnya.
dilakukan untuk mengetahui apakah terapi dapat dilakukan atau tidak. (4)
Pernafasan, Pemeriksaan pernafasan dilakukan dengan pengamatan, yaitu dengan
melihat ekspirasi dan inspirasi pasien Tujuan dari pemeriksaaan pernafasan adalah
untuk mengetahui adanya gangguan sesak nafas/gangguan respirasi lain atau
tidak. (5) Tinggi Badan, Alat ukur untuk pemeriksaan tinggi badan dengan
menggunakan midline atau pita ukur. Dan (6) Berat Badan, Pengukuran berat
badan dilakukan dengan menggunakan alat timbangan berat badan.
Pemeriksaan, 1) Nyeri, (VAS) Visual analog scale (VAS) adalah cara yang
paling banyak digunakan untuk menilai nyeri. VAS juga dapat diadaptasi menjadi
skala hilangnya/reda rasa nyeri, 2) Manual Muscle Testing (MMT) merupakan
salah satu bentuk pemeriksaan kekuatan otot yang paling sering digunakan. MMT
hanya mampu mengukur secara kelompok otot (Trisnowiyanto, 2012). 3) Lingkup
gerak sendi adalah ruang lingkup gerakan sendi yang mampu dicapai atau
dilakukan oleh sendi. Pengukuran LGS yang sering digunakan adalah
goneometer, tapi untuk sendi tertentu menggunakan midline atau pita ukur
(Trisnowiyanto, 2012). 4) Pemeriksaan Aktifitas Fungsional dengan Neck
Distability Index .
Diagnosa Fisioterapi, 1) Impairment adalah permasalahan fisioterapi yang
utama.Misal pada nyeri, keterbatasan Lingkup Gerak Sendi, penurunan Kekuatan
otot , spasme dan sebagainya. 2) Functional Limitation adalah keterbatasan
kemampuan pasien dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Misalnya paasien
kesulitan untuk duduk tegak 3) Disabillity Keterbatasan pasien dalam melakukan
aktifitas sosial dan pekerjaan yang disebabkan karena penyakit yang diderita oleh
pasien.
Prognosis, 1) Quo ad vitam adalah pengaruh penyakit terhadap hidupnya, 2)
Quo ad sanam adalah penyakit tersebut bisa sembuh total atau tidak, 3) Quo ad
fungsionam adalah pengaruh penyakit terhadap fungsi organnya, dan 4) Quo ad
cosmeticam adalah pengaruh penyakit terhadap keindahannya.
Program/Rencana Fisioterapi, Rencana fisioterapi yang akan dilakukan harus
sesuai dengan problematika fisioterapi yang dialami oleh pasien. Hal ini juga
berlandaskan dari anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan sebelumnya.
Rencana/tujuan fisioterapi dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Jangka Pendek,
Tujuan jangka pendek adalah tujuan yang sifatnya segera dicapai dari
problematika fisioterapi dan merupakan awal dari pemulihan aktifitas fungsional.
2. Jangka Panjang, Tujuan jangka panjang adalah meneruskan dari tujuan jangka
pendek, setelah tujuan jangka pendek berhasil sehingga tujuan akhirnya adalah
meningkatkan aktifitas fungsional pasien seperti semula.
22
Edukasi adalah tindakan yang dianjurkan oleh fisioterapi kepada pasien yang
harus dilakukan di rumah/setelah melakukan terapi untuk membantu mempercepat
pemulihan dan atau mengurangi komplikasi yang lebih lanjut.
memenuhi kriteria inklusi 20 orang sampel. Dari 20 orang dibagi secara acak
pre test diperoleh nilai rata-rata 25,791 dan post test diperoleh nilai rata-rata
23,018 dengan selisih nilai pre test dan post test adalah 2,773.
23
Universitas Esa Unggul. Adapun hasil penelitian, Saat pre test diperoleh nilai
rata-rata 0,956 dan post test diperoleh nilai rata-rata 0,052 dengan selisih nilai
3. Penelian yang dilakukan oleh Mehmet Fatih (2018) yang berjudul The Effect
hasil penelitian, Saat pre test diperoleh nilai rata-rata 62 dan post test
diperoleh nilai rata-rata 57 dengan selisih nilai pre test dan post test adalah 5.
C. Kerangka Berfikir
Myofacial pain syndrome adalah suatu kondisi nyeri dimana nyeri tersebut
factor penyebab dari myofacial pain syndrome, salah satunya adalah factor lokal,
beberapa kondisi lokal yang mempengaruhi aktivitas otot sperti kebiasaan sikap
badan yang salah, keseleo, dan aktivitas otot yang berlebihan dapat menghasilkan
nyeri myofacial, factor lain yang memicu terjadinya myofacial pain syndrome
adalah factor sistemik. Beberapa faktor sistemik dapat mempengaruhi atau bahkan
lelah, dan inveksi virus. Selain itu, myofacial syndrome juga dapat di pengaruhi
24
oleh faktor internal yaitu usia. Otot yang sering mengalami myofacial adalah otot
trapezius.
menyebabkan terjadi nya penurunan daya tahan dan kekuatan otot. Hal ini
mengakibat kan terjadi nya penurunan lingkup gerak sendi pada leher. Adanya
trauma otot juga memicu ketegangan, ketegangan yang kuat akan membuat
lingkup gerak sendi pada kasus myofacial pain syndrome ini adalah kinesiotaping
dan muscle energy technique selain itu fisioterapi dapat mengkombinasi kan
kedua terapi tersebut dengan mucle enrgy technique diberikan denga tujuan untuk
tahan minimal sebesar 20% dari kekuatan otot. Efek yang timbuulkan yaitu
rileksasi otot tanpa menimbulkan nyeri dan kerusakan jaringan, sehingga tidak
Muscle
kinesio Kifosis energi
tapping
Pengurangan
derajat kifosis
D. Kerangka Konsep
Pengurangan
derajat kifosis
E. Hipotesa
RENCANA PENELITIAN
P S O1 PERLAKUAN O2
Keterangan:
P : Populasi
S : Objek Penelitian/client
P : Perlakuan
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah jumlah penjahit yang
mengalami kifosis di kota Medan.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti
penentuan sampel harus memenuhi criteria inkulusi dan ekslusi.
a. Kriteria Inklusi
1) Penjahit yang berada di kota Meda dengan umur 25-50 tahun
2) Penjahit yang mengalami kifosis
3) Responden bersedia, dan maumenjadi objek penelitian hingga
penelitian berakhir.
b. Kriteria Eksklusi
1) Kondisi patologis seperti fraktur cervikal.
2) Adanya luka di sekitar leher.
3) Subjek yang telah atau sedang mendapat intervensi lain di region
leher.
1. Variabel Penelitian
a. Variabel terikat (Independent) : Pengurangan Derajat Kifosis
b. Variabel bebas(dependent) : Program Fisioterapi
2. Defenisi Operasional
a. Kinesiotaping adalah plester berperekat yang berbentuk pita dan
terbuat dari bahan lateks. Taping digunakan untuk membantu kinerja
otot, sendi dan jaringan ikat. Kinesiotaping juga membantu membatasi
gerak sendi (ROM), mengurangi waktu pemulihan cedera, serta
mengurangi rasa nyeri dan peradangan. Elastisitas dari taping ini bisa
dari 30% hingga 40% dengan efek yang berbeda. Taping ini bisa
digunakan 3-5 hari dan tahan air.
E.
Populasi
Inklusi Ekslusi
Sample: 10 orang
Pre-Test
Post- Test
Data
HasilPengujian
Analisis
Data
Hasil
1. Ada beberapa langkah yang akan diterapkan dalam penelitian ini antara lain :
a. Melakukan proses perizinan pada institusi yang akan menjadi tempat
penelitian.
b. Memberikan penjelasan pada sejumlah calon sampel tentang rencana
penelitian.
c. Meminta persetujuan pasien (inform concent) untuk menjadi sampel
penelitian.
d. Sampel dengan kondisi kifosis dengan diambil data tentang karakteristik
sampel dengan menggunakan pemeriksaan penelitian yang ditetapkan.
e. Dilakukan pengukuran awal pada setiap sampel dengan pengukurann
Midline sebelum sampel mendapatkan perlakuan.
f. Pemberian perlakuan pada sampel sesuai dengan variable yang ditetapkan
dalam penelitian.
g. Pengukuran akhir pada setiap sampel dengan Kinesiotaping dan Muscle
Energi sampel mendapatkan perlakuan sebanyak 12 kali.
h. Pengumpulan data, analisa data dan pembuatan laporan hasil penelitian.
c. Tahap pelaksanaan
Pelaksanaan penelitian diawali dengan mengumpulkan calon
responden dari Kelompok penjahit. Dilanjutkan mendata calon responden
yang menyetujui menjalani fisioterapi dan yang tidak. Selanjutnya calon
responden dibagikan lembar informasi penelitian dan informed consent
apabila bersedia menjadi subjek penelitian.
Subjek kelompok intervensi dilakukan pengambilan data pretest
melalui kuesioner pada saat menjalani fisioterapi pertama,dan postest saat
menjalani fisioterapi terakhir. Subjek kelompok kontrol dilakukan
pengambilan data pretest.
Data karakteristik subjek penelitian diperoleh melalui rekam medis
dan pemeriksaan yang dilakukan di poli
d. Tahap penyelesaian
Data yang diperoleh akan dianalisis kemudian dibahas untuk
penyusunan karya tulis ilmiah dan dilanjutkan dengan presentasi hasil
penelitian.
Putz, R et al. 2003. Atlas aAnatomi Manusia Sobotta jilid 2. Buku Kedokteran